Anda di halaman 1dari 12

JOURNAL READING

POOR GLYCEMIC CONTROL IS ASSOCIATED WITH RISK OF


SUBCLINICAL HYPOTHYROIDISM IN PATIENT WITH TYPE 2
DIABETES MELLITUS

Tugas Kepanitiaan Klinik


Departemen Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Minggu
Periode 11 Desember 2019 – 15 Februari 2020

Pembimbing :
dr. Bram Paringkoan, Sp.PD

Diajukan Oleh :
Salsa Nabila 18202211165

KEPANITRAAN KLINIK DEPARTEMEN


ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PASAR MINGGU
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA
TAHUN 2020
LEMBAR PENGESAHAN

JOURNAL READING

POOR GLYCEMIC CONTROL IS ASSOCIATED WITH RISK OF


SUBCLINICAL HYPOTHYROIDISM IN PATIENT WITH TYPE 2
DIABETES MELLITUS

Diajukan Sebagai Tugas untuk Memenuhi Syarat


Mengikuti Ujian Kepanitraan Klinik di Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Minggu

Disusun Oleh:

Salsa Nabila 18202211165

Jakarta, Januari 2020

Telah dibimbing dan disahkan oleh,

Pembimbing,

dr. Bram Paringkoan, Sp.PD

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
segala karunia-Nya sehingga tugas referat ini berhasil diselesaikan. Journal reading
yang berjudul “POOR GLYCEMIC CONTROL IS ASSOCIATED WITH
RISK OF SUBCLINICAL HYPOTHYROIDISM IN PATIENT WITH TYPE
2 DIABETES MELLITUS” ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat
mengikuti Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit
Umum Daerah Pasar Minggu.
Bukan suatu hal yang mudah bagi penulis untuk menyelesaikan tugas referat
ini. Karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada dr. Bram Paringkoan, Sp.PD selaku pembimbing
yang telah memberikan pengajaran, serta terima kasih pula untuk seluruh teman
dan semua pihak di Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Penyakit Dalam atas
kerjasamanya selama penyusunan makalah ini.
Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca guna
perbaikan yang lebih baik. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat baik bagi
penulis sendiri, pembaca maupun bagi semua pihak-pihak yang berkepentingan.

Jakarta, Januari 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................................................................... ii


KATA PENGANTAR ................................................................................................................................. iii
DAFTAR ISI................................................................................................................................................. iv

iv
POOR GLYCEMIC CONTROL IS ASSOCIATED WITH RISK OF SUBCLINICAL
HYPOTHYROIDISM IN PATIENT WITH TYPE 2 DIABETES MELLITUS

KONTROL GLIKEMIK BURUK TERKAIT DENGAN RISIKO HIPOTIROID SUBKLINIS


PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2

Jae Ho Cho, Ho Jin Kim, Jun Ho Lee, Il Rae Park, Jun Sung Moon, Ji Soon Young, In-Kyu
Lee, Kyu Chang Won, and Hyoung Woo Lee

ABSTRAK

Latar Belakang/Tujuan
Kejadian hipotiroidisme sering terjadi pada pasien dengan Diabetes Melitus Tipe 2 (DM-2),
namun sampai saat ini hubungan antara kedua penyakit masih belum jelas. Penelitian ini
bertujuan untuk mengevaluasi perbedaan kejadian Hipotiroid Subklinis (Subclinical
Hypothyroidism/ SCH) pada pasien dengan DM-2 dengan populasi umum tanpa DM-2 dan
hubungan antara SCH dengan status kontrol gula darah pada pasien DM-2.

Metode
Penelitian ini merupakan studi cross-sectional. Total sampel penelitian sebanyak 8528. SCH
didefinisikan sebagai peningkatan serum TSH (>4.0 mIU/L) dengan level serum tiroksin yang
normal dan pasien DM-2 dikelompokan berdasarkan hasil HBA1c <7%, >7%, <9% dan >9%.

Hasil
Terdapat sebesar 7966 yang menjadi subjek penelitian. Prevalensi kejadian SCH pada pasien
DM-2 tidak berbeda dengan populasi non DM-2 (p= 0.533 pada laki-laki dan p=0.573 pada
perempuan), namun kejadian SCH meningkat pada pasien DM-2 dengan kontrol gula darah
yang kurang baik berdasarkan HBA1c, khususnya pada perempuan. Resiko SCH meningkat
pada pasien dengan kontrol glukosa yang lebih buruk dengan odds ratio untuk HBA1c > 9%
dibandingkan <7% adalah 2.52 (95% CI, 1.09 – 5.86, P=0.031) dan 4.58 (95% CI, 1.41 – 14.87,
p=0.11) pada wanita, namun tidak signifikan pada laki-laki.

Kesimpulan
Prevalensi SCH tidak berbeda jauh antara pasien dengan DM-2 dengan tanpa DM-2, namun
kontrol glukosa yang buruk berdasarkan HBA1c dapat meningkatkan resiko terjadinya SCH
khususnya pada perempuan tua. Hasil ini menunjukan bahwa SCH merupakan kondisi
komorbid yang harus diperhitungkan pada pasien perempuan usia lanjut dengan kontrol
glukosa darah yang buruk.

Kata Kunci
Hipotiroid Subklinis, Diabetes Melitus Tipe 2, Hemoglobin A, Glikosilasi

5
PENDAHULUAN

SCH didefinisikan sebagai peningkatan serum TSH dengan kadar FT4 yang normal. Beberapa
penelitian memberikan hasil yaitu SCH mempunyai hubungan dengan dislipidemia, gangguan
fungsi vaskular, aterosklerosis, disfungsi miokardial dan progresivitas hipotiroidisme itu
sendiri. Karena pemeriksaan laboratirum fungsi tiroid saat ini mempunyai akurasi yang baik,
insidensi SCH pun meningkat beberapa dekade terakhir. Prevalensi terjadinya SCH dilaporkan
antara 4-10% pada skrining populasi umum, namun hal tersebut bervariasi berdasarkan umur,
jenis kelamin dan ras.

Telah diasumsikan bahwa DM-2 berhubungan dengan SCH. Penelitian sebelumnya


menyatakan bahwa SCH sering terjadi pada pasien dengan DM-2 dibandingkan dengan
individu non DM-2. Beberapa penelitian juga melaporkan tidak ada perbedaan antara kedua
kelompok, sehingga masih dibutuhkan penelitian lanjutan untuk mengetahui hubungan antara
DM-2 dengan SCH. Namun masih sangat sedikit data yang diketahui hubungan antara SCH
dengan status kontrol glukosa.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan prevalensi SCH pada pasien dengan
DM-2 dengan populasi non DM-2 dan untuk mengevaluasi hubungan antara SCH dan status
kontrol gula darah pada pasien dengan DM-2.

METODE

Populasi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional yang dilakukan pada Januari 2008 hingga
Desember 2009. Sebanyak 8528 pasien melakukan pemeriksaan di Yeungnam Univesity
Health Promotion Center, Daegeu, South Korea. Rentang usia populasi penelitian adalah 20-
85 tahun. Penelitian ini mengeksklusi keadaan berikut: hipotiroid klinis atau hipertiroid klinis
(FT4 > 1.9 atau FT4< 0.9 ng/dl), anemia berat (Hb <8 g/dl), penyakit ginjal kronik (kreatinin
> 1.5), abnormalitas fungsi hepar bilirubin direk dan indiriek, SGOT atau SGPT, abnormalitas
tumor marker (alpha fetoprotein > 15 mg/ml, antigen karbohidrat 19-9 >37U/ml,
carcinoembrionik antigen >10mg/ml, antigen kanker 125>35U/ml, PSA >4mg/ml), pasien
dengan infeksi kronik, wanita hamil, wanita post-partum, penggunaan tionamid, levotiroksin,

6
amiodarone atau litium. Penelitian ini telah disetujui oleh YUMC 2004-11-002. Semua
prosedur dilakukan berdasarkan Standard Committee on Human Ecperimentation dan dengan
Helsinki declaration.

Definisi Operasional
SCH didefiniskan sebagai peningkatan serum TSH >4.0 miu/L dengan serum FT4 yang normal
(0.9-1.9 ng/dl). Kriteria diagnosis DM-2 adalah HBA1c >6.5% dan GDP >126mg/dl
berdasarkan Guidelines of American Diabetes Association. Subjek penelitian DM-2 terbagi
atas HBA1c <7%, >7% dan HBA1c <9% dan > 9%.

Pemeriksaan Klinis dan Laboratorium


Indeks Massa Tubuh (IMT) dihitung berdasarkan berat badan dalam kilogram (kg) dan tinggi
badan berdasarkan m2. Tekanan darah diukur menggunakan spigmomamometer standard
setelah 10 menit dalam posisi duduk. Hipertensi didefinisikan apabila tekanan darah sistolik
>140 mmHg dan tekanan diastolik > 90 mmHg atau adanya data penggunaan obat
antihipertensi secara rutin. Pemeriksaan darah vena dilakukan setelah pasien berpuasa selama
12 jam. GDP diukur mnggunakan metode heksokinase. HBA1c diukur menggunakan cairan
kromatografi. Total kolesterol diukur menggunakan enzim kalorimetri sementara TAG diukur
menggunakan metode eliminasi gliserol dan HDL diukut menggunakan pemeriksaan assay
enzim secara langsung. LDL diukur menggunakan formula Friedwald. Level TSH dan FT4
diukur menggunakan elektrokemiluminense immunoassay.

Analisis Statistik
Semua data numeric dikelompokan sebagai rata-rata standar deviasi sedangkan semua data
kategorik dikelompokan dalam persentase. Perbandingan antar variabel menggunakan metode
T-test, sedangkan one-way analysis terhadap variabel dibandingkan langsung terhadap
kelompok variabel dengan kelompok level kontrol gula darah. Chi-square digunakan untuk
mengestimasi perbedaan dari prevalensi hipertensi dan SCH pada kelompok-kelompok
variabel. Analisis multivariat regresi logistik dilakukan untuk mengestimasi OR untuk SCH
pada kontrol glukosa buruk. Semua analisis statistik dilakukan menggunakan SPSS versi 20.0.
Hasil p-value <0.05 diasumsikan sebagai hasil yang signifikan.

7
HASIL

Setelah melakukan eliminasi subjek penelitian, didapatkan sebesar 7966 subjek. Sebanyak 678
subjek merupakan pasien dengan DM-2. Distribusi usia tercantum pada grafik.
1. Karakteristik klinis penelitian dideskripsikan pada tabel 1. Subjek dengan DM-2
merupakan pasien dengan usia tua dan cenderung lebih banyak laki-laki daripada
wanita. IMT, tekanan sistolik dan diastolik, FPG, HBA1c, BUN, total kolesterol dan
TAG lebih tinggi pada pasien dengan DM-2 sedangkan HDL lebih rendah pada pasien
non DM-2 tanpa memperhatikan jenis kelamin. TSH dan FT4 tidak berbeda secara
signifikan pada kedua kelompok sampel. SCH lebih cenderung terjadi pada perempuan
dibandingkan dengan laki-laki (11.0% [382/3,483] vs. 5.7% [255/4,483], p = 0.000)
yang tercantum pada grafik.

2. Prevalensi SCH sebesar 5.1% pada pasien laki-laki dengan DM-2 dan 5.7% pada pasien
tanpa DM-2 (P=0.57). Pada perempuan, prevalensi SCH adalah sebesar 11.7% pasien
dengan DM-2 sedangkan 10.9% pada pasien non DM-2 (P=0.712). Tidak ada
perbedaan yang signifikan pada kelompok laki-laki maupun perempuan (Grafik 3B).
Sebagai tambahan, prevalensi SCH tidak lebih besar secara signifikan pada pasien
dengan usia lanjut. Dilakukan analisis subjek penelitian berdasarkan usia. Kadar TSH
lebih tinggi pada pasien laki-laki usia lanjut namun tidak pada pasien perempuan
(Grafik 3A). Kelompok subjek dengan DM-2 tidak berhubungan antara usia dengan
kadar TSH baik pada laki-laki maupun perempuan. Subjek dengan DM-2 dibagi
menjadi dua kelompok berdasarkan fungsi tiroid yaitu SCH dan eutiroid (Tabel 2).
Hasil IMT, tekanan darah sistolik dan diastolik, FPG, BUN, Cr, kolesterol total, HDL,
TAG, LDL dan FT4 tidak berbeda antar kedua kelompok. Terdapat kecenderungan
terjadinya SCH pada pasien dengan kadar HBA1c yang tinggi pada laki-laki maupun
perempuan (laki-laki: 7.67% ± 1.30% vs. 7.53% ± 1.33%, p = 0.62, perempuan: 8.34%
± 2.38% vs. 7.42% ± 1.29%, p = 0.05). Subjek penelitian dengan DM-2 dibagi menjadi
tiga kelompok berdasarkan kadar HBA1c didapatkan hasil bahwa prevalensi SCH lebih
tinggi pada pasien dengan kontrol gula darah yang buruk (Grafik 4A). Prevalensi SCH
juga meningkat secara signifikan pada pasien DM-2 dengan kontrol gula darah yang
buruk pada pasien wanita (Grafik 4B). Penelitian kami juga bertujuan untuk meneliti
hubungan antara SCH dengan kontrol gula darah yang buruk pada pasien dengan DM-

8
2 (Tabel 3). Setelah dilakukan analisis multivariat menggunakan regresi logistik
ditemukan terdapat hubungan yang signifikan antara SCH dengan kontrol gula darah.
OR antara HBA1c >9% dan <7% adalah 2.52 (95% CI, 1.09 to 5.86; p = 0.031).
Hubungan ini juga semakin meningkat secara signifikan pada pasien dengan usia lanjut
> 60 tahun dan pada perempuan (OR HbA1c ≥ 9% dibandingkan dengan < 7% adalah
4.77; 95% CI, 1.18 to 19.29; p = 0.028, dan OR, 4.58; 95% CI, 1.41 sampai 14.87; p =
0.011). Hubungan antara SCH dengan kontrol gula darah semakin jelas pada pasien
perempuan usia lanjut (OR HbA1c ≥ 9% dibandingkan dengan < 7% adalah 12.76; 95%
CI, 1.41 sampai 115.68; p = 0.024) tapi tidak pada laki-laki.

DISKUSI

Penelitian kami menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara SCH pada pasien
DM-2 atau SCH tanpa DM-2. Namun pada kelompok DM-2, buruknya kontrol gula darah
berhubungan secara signifikan dengan tingginya prevalensi SCH dan cenderung pada
perempuan usia lanjut.

Pada penelitian kami didapatkan prevalensi SCH tidak berbeda secara signifikan pada
kelompok kontrol dan kelompok DM-2. Masih terdapat kontroversi mengenai hubungan antara
SCH dengan DM-2. Beberapa penelitian melaporkan disfungsi tiroid cenderung lebih sering
terjadi pada pasien DM-2, namun sebagian besar penelitian ini mempunyai kekurangan dalam
kontrol subjek penelitian. Seleksi bias tidak dapat digunakan sebagai patokan karena perubahan
fungsi tiroid lebih tinggi pada pasien DM dibandingkan dengan populasi kontrol. Hasil
penelitian kami sesuai dengan Ishay et al, yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan antara pasien kelompok DM-2 dengan kelompok kontrol. Penelitian kohort
sebelumnya menyatakan bahwa resiko SCH pada pasien DM-2 tidak lebih besar dibandingkan
dengan resiko hiptiroid pada pasien DM-2, SCH tidak lebih sering pada pasien DM-2 namun
penelitian lebih lanjut masih dibutuhkan. Kejadian SCH terbukti lebih banyak pada perempuan
dari pada laki-laki pada penelitian ini, hal tersebut sesuai dengan beberapa penelitian
sebelumnya.

Temuan penting pada penelitian kami adalah risiko SCH meningkat pada pasien DM-2 dengan
kontrol gula darah yang buruk, khususnya pada pasien dengan kadar HBA1c >9% dan hal ini

9
cenderung terjadi pada pasien perempuan usia lanjut. Berdasarkan pengetahuan kami hanya
sedikit penelitian yang meneliti hubungan antara kadar kontrol gula darah dengan resiko
terjadinya SCH pada pasien DM-2. Resistensi insulin mungkin terlibat dengan hubungan
kejadian SCH pada pasien dengan kontrol gula darah yang buruk. Penelitian sebelumnya
menyatakan adanya gangguan fungsi insulin yang di stimulasi glukosa ditemukan pada pasien
SCH, hal ini dapat disebabkan oleh abnormalitas GLUT-4 pada permukaan sel. Namun
penelitian kami tidak menyertakan indeks resisten insulin seperti HOMA-IR, dapat
dispekulasikan bahwa resistensi insulin dapat meningkat pada pasien dengan kontrol gula
darah yang buruk. Menariknya terdapat penelitian dengan hasil yang berlawanan. Terdapat
penelitian experimental, menyatakan peningkatan sedang kadar TSH pada sampel tikus dengan
diabetes yang dilindungi dari stress oksidatif dibandingkan dengan kelompok diabetes
terisolasi. Mereka menyatakan peningkatan kejadian SCH merupakan suatu adaptasi fisiologis
dari kerusakan akibat diabetes. Berdasarkan hasil penelitian yang ada, dapat diindikasikan
peningkatan kadar TSH berhubungan dengan hiperglikemia puasa dan resistensi insulin pada
pasien DM-2 dengan kadar HBA1c >9%. Hubungan antara SCH dengan DM-2 nampaknya
mempunyai interaksi interdependen yang kompleks. Penelitian lebih lanjut masih sangat
dibutuhkan.

Hipotiroidisme jelas terlibat dengan abnormalitas profil lipid namun ada beberapa penelitian
yang tidak sesuai dengan adanya hubungan antara SCH dengan dyslipidemia. Penelitian meta-
analisis sebelumnya menyatakan SCH tidak berhubungan dengan dyslipidemia. Pada
penelitian kami, pasien kelompok DM dengan SCH mempunyai kadar TAG dan profil HDL
yang lebih baik dibandingkan dengan pasien DM-2 tanpa SCH. Namun hal ini tidak dapat
dijadikan sebagai acuan yakni efek SCH pada profil lipid karena adanya beberapa keterbatasan.
Namun hasil ini dapat dijadikan sebagai petunjuk untuk melakukan penelitian lebih lanjut.

Penelitian di Korea menyatakan prevalensi kejadian SCH pada pasien DM-2 adalah sebesar
12.4%, namun pada penelitian kami hanya 7.4%. Perbedaan jumlah ini kemungkinan terjadi
akibat perbedaan karakteristik subjek penelitian. Pada penelitan mereka, seluruh subjek
mempunyai komplikasi mikrovaskular dan kontrol gula darah yang lebih buruk dibandingkan
dengan subjek pada penelitian kami.

Penelitian kami mempunyai keunggulan dengan jumlah sampel yang sangat besar, namun
harus digaris bawahi bahwa penelitian kami mempunyai beberapa keterbatasan. Pertama, tes

10
fungsi tiroid hanya dilakukan satu kali. Kedua, penelitian ini merupakan disain potong lintang
selanjutnya penelitian kami tidak dapat menjelaskan penyebab adanya hubungan antara SCH
dengan kontrol gula darah yang buruk. Penelitian dengan disain prospektif dapat meneliti
hubungan antara SCH dengan kontrol kadar gula darah. Penelitian-penelitian selanjutnya
disarankan untuk meneliti mengenai terapi pengganti hormon tiroid dapat meningkatkan
kontrol kadar gula darah pada pasien DM-2 dengan SCH. Terakhir kekurangan pada penelitian
kami adalah tidak mempertimbangkan obat-obatan yang dikonsumsi pasien secara rutin yang
mungkin dapat mengganggu fungsi hormon tiroid.

Skrining hormon tiroid hanya dilakukan pada anak-anak yang kemungkinan menderita DM1,
tidak ada consensus yang menganjurkan untuk melakukan skrining gangguan tiroid pada
pasien DM-2. Dengan hasil yang didapat pada penelitian kami, kami menganjurkan untuk
mempertimbangkan SCH sebagai kondisi komorbid pada pasien DM-2 sehingga disarankan
untuk melakukan pemeriksaan fungsi tiroid pada pasien DM-2 dengan kontrol gula darah yang
buruk terutama pada pasien wanita usia lanjut.

KESIMPULAN

Prevalensi SCH tidak berbeda secara signifikan antara kelompok DM-2 dan kelompok kontrol.
Namun resiko SCH meningkat pada pasien dengan kontrol gula darah yang buruk terutama
pada pasien perempuan usia lanjut. Hasil ini dapat menjadi acuan untuk mempertimbangkan
SCH sebagai konfisi komotbid pada pasien dengan DM-2 kontrol gula darah yang buruk pada
pasien perempuan usia lanjut.

11
REFERENSI

Cho, J. H., Kim, H. J., Lee, J. H., Park, I. R., Moon, J. S., Yoon, J. S., … Lee, H. W. (2016).
Poor glycemic control is associated with the risk of subclinical hypothyroidism in patients with
type 2 diabetes mellitus. The Korean journal of internal medicine, 31(4), 703–711.
doi:10.3904/kjim.2015.198 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4939501/#

12

Anda mungkin juga menyukai