Anda di halaman 1dari 44

BAB I

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
- Nama Pasien : Bp. S
- Umur : 60 tahun
- Jenis kelamin : Laki-laki
- Alamat : Keprabon 7/5 , karangpandan
- No. RM : 36xxxx
- Pekerjaan : Pengrajin kayu
- Status perkawinan : Menikah
- Agama : Islam
- Suku : Jawa
- Tanggal masuk RS : 14 Februari 2016
- Tanggal pemeriksaan : 14 Februari 2016
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Demam
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang di RSUD karanganyar dengan keluhan demam sejak 9 hari yang
lalu dan lebih sering timbul pada malam hari. Demam awalnya tidak terlalu dirasa
tinggi namun semakin lama semakin panas pada hari-hari berikutnya. Menurut
pasien demam yang dirasakan sempat tinggi hingga menggigil namun tidak diukur.
Selain itu, pasien juga mengalami sakit kepala disertai mual dan muntah. Mual
dan muntah selama 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Mual dan muntah setiap kali
sehabis makan. Sakit kepala dirasakan di kepala bagian depan dan lebih sering pada
malam hari. Sakit kepala tidak berputar dan tidak dipengaruhi oleh perubahan pada
posisi. Pasien juga mengeluh ada rasa pegal .
Pasien mengalami sakit perut dan tidak bisa buang air besar selama 2 hari
terakhir. .Pasien juga mengalami penurunan nafsu makan dan merasa lemah.Pasien
mengaku berat badannya turun 4 kilo dalam 1,5 bulan. Buang air kecil tidak
mengalami gangguan. Pasien juga mengeluh batuk sudah lebih dari 1 bulan. Batuk
berdahak , batuk darah (-)

1
Pada anggota keluarga tidak didapati keluhan yang sama seperti pasien.Pasien
tidak berpergian ke daerah-daerah tertentu sebelumnya. Pasien sempat berobat ke
dokter dan diberikan beberapa obat namun pasien tidak ingat namanya dan obatnya
sudah habis dimakan namun keluhan belum berkurang.

3. Riwayat penyakit dahulu


• Riwayat hipertensi disangkal
• Riwayat diabetes mellitus diakui
• Riwayat asma disangkal
• Riwayat alergi disangkal
• Riwayat sakit jantung disangkal
• Riwayat sakit paru disangkal
• Riwayat mondok disangkal
• Riwayat operasi disangkal

4. Riwayat Pribadi dan Sosial


• Riwayat merokok diakui
• Minum-minuman beralkohol disangkal
• Riwayat penggunaan obat-obatan terlarang disangkal

5. Riwayat Keluarga
• Riwayat hipertensi disangkal.
• Riwayat diabetes mellitus disangkal.
• Riwayat asma disangkal.
• Riwayat alergi disangkal.
• Riwayat sakit jantung disangkal.
• Riwayat sakit paru disangkal
• Riwayat sakit serupa disangkal

6. Riwayat Lingkungan , Ekonomi, dan Gizi


Pasien tinggal bersama istri dan anaknya yang terakhir. Pasien bekerja
sebagai pengrajin kayu. Biaya kehidupan sehari-hari ia tanggung sendiri. Pasien
sering jajan makanan diluar.

2
C. ANAMNESIS SISTEM
Sistem Serebrospinal Gelisah (-), Lemah (+), Demam (+), pusing
(+)
Sistem Kardiovaskular Akral dingin (-), sianosis (-), anemis (-),
palpitasi (-), nyeri dada (-)
Sistem Respiratorius Batuk (+), sesak nafas (-)
Sistem Genitourinarius BAK (+) lancar, nyeri (-) darah (-)
Sistem Gastrointestinal Nyeri perut ulu hati (-), mual (+), muntah (+),
nafsu makan menurun (+), BAB sulit.
Sistem Muskuloskeletal Badan lemas (+) nyeri seluruh tubuh (+),
atrofi otot (-)
Sistem Integumentum Pucat (-), Clubbing finger (-)
Kesan : terdapat masalah pada sistem serebrospinal, respiratorius, gastrointestinal, dan
muskuloskeletal

D. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum : Sadar
Kesadaran : Compos Mentis (GCS E4V5M6)
Status Gizi : BMI 18,3 (normal)
BB : 50 kg
TB : 165 cm
Vital Signs : TD: 100/70 mmHg;
Nadi: 72 x/menit;
Respirasi rate: 20 x/menit;
Suhu: 38 ºC
2. Pemeriksaan Fisik
• Kepala : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), nafas cuping hidung (-
), edema palpebra (-). Normocephal
• Mulut : lidah kotor (+) tepi lidah hiperemis (+) Thypoid tongue
• Leher : Retraksi supra sterna (-/-), deviasi trachea (-), pembesaran kelenjar
limfe (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)

3
- Thorax
Paru Hasil pemeriksaan
Inspeksi Dada kanan dan kiri simetris, tidak ada ketinggalan
gerak, pelebaran costa (-), retraksi (-),bentuk dada
normal
Palpasi Tidak ada nafas yang tertinggal, Fremitus dada
kanan dan kiri sama
Perkusi Sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi Terdengar suara dasar vesikuler (+/+), Wheezing (-
/-), Ronkhi (+/+)

Jantung Hasil pemeriksaan


Inspeksi Ictus cordis tidak tampak
Palpasi Ictus cordis tidak kuat angkat, teraba di SIC V linea
mid clavicula sinistra
Perkusi Bunyi : redup
Batas Jantung :
Batas Kiri Jantung
^ Atas : SIC II linea parasternalis sinistra.
^ Bawah : SIC VI ke medial linea midclavicularis
sinistra
Batas Kanan Jantung
^ Atas : SIC II linea sternalis dextra
^ Bawah : SIC IV linea sternalis dextra
Auskultasi HR= 78 x/menit BJ I/II murni reguler, bising
systole (-), gallop (-)

Abdomen
Abdomen Hasil pemeriksaan
Inspeksi Perut lebih rendah dibanding dengan dinding dada,
distended (-), sikatriks (-)
Auskultasi Suara peristaltik (+)
Palpasi Nyeri tekan (-), defans muskuler (-), hepar dan lien

4
tidak teraba
Perkusi Timpani pada 4 kuadran, asites (-) nyeri ketok
costovertebrae (-)

Ekstremitas
Ekstremitas Superior Dextra Akral Hangat (+), Edem (-)
sianotik (-) clubbing finger (-)
Ekstremitas Superior Sinistra Akral Hangat (+), Edema (-)
sianotik (-) clubbing finger (-)
Ekstremitas Inferior Dextra Akral Hangat (+), Edema (-)
sianotik (-) clubbing finger (-)
Ekstremitas Inferior Sinistra Akral Hangat (+), Edema (-)
sianotik (-) clubbing finger (-)

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
LABORATORIUM

Pemeriksaan darah rutin tanggal 14 FEBRUARI 2016 :


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Hemoglobin 13,4 g/dl 14.00 – 18.00
Hematokrit 40,6 % 42.00 – 52.00
Leukosit 14,95 10^3/Ul 5 -10
Trombosit 239 10^3/uL 150-300
Eritrosit 4,99 10^3/uL 4.50 – 5.50
MPW 7.4 Fl 6.5 – 12.00
PDW 16.1 P 9.0 – 17.0
MCV 81,4 Fl 82.0 – 92.0
MCH 26,9 Pg 27.0 – 31.0
MCHC 33.0 g/dl 32.0 – 37.0

5
Gran% 77.5 % 50.0 – 70.0
Limfosit% 13.6 % 25.0 - 40.0
Monosit% 6.5 % 3.0 – 9.0
Eosinofil% 2.1 % 0.5 – 5.0
Basofil% 0.3 % 0.0 – 1.0
Creatinin 1.17 Mg/dl 0.8 – 1.1
Ureum 23 Mg/dl 10 – 50
Glukosa darah 324 Mg/100ml 70 – 150
Sewaktu
Albumin 4.2 g/dl 3.5 – 5.5
IMUNO – SEROLOGI (WIDAL)
Salmonella Typhi O NEGATIVE NEGATIVE
Salmonella Typhi H + 1/320 NEGATIVE
Salmonella + 1/80 NEGATIVE
Paratyphi AO
Salmonella NEGATIVE NEGATIVE
Paratyphi AH
Salmonella + 1/80 NEGATIVE
Paratyphi BO
Salmonella NEGATIVE NEGATIVE
Paratyphi BH
Salmonella + 1/160 NEGATIVE
Paratyphi CO
Salmonella NEGATIVE NEGATIVE
Paratyphi CH

6
15 FEBRUARI 2016
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 12.7 12,00 – 16,00 g/dl
Hematokrit 38.3 37,00 – 47,00 %
Leukosit 12.38 5-10 103/ ul
Trombosit 238 150-300 103/ ul
Eritrosit 4.73 4,00 – 5,00 103/ ul
MPV 7.2 6,5 – 12,00 fL
PDW 15,8 9,0 – 17,0
INDEX
MCV 81.4 82,0 – 92,0 Fl
MCH 26.9 27,0 – 31,0 Pg
MCHC 33.0 32,0 – 37,0 g/dl
HITUNG JENIS
Limfosit% 15.6 25,0 – 40,0 %
Monosit% 6.5 3,0 – 9,0 %
Eosinofil% 2.1 0,5 – 5,0 %
Basofil% 0.3 0,0 – 1,0 %
Gran% 77.5 50,0 – 70,0 %
Glukosa darah 372 70 - 150 Mg/100ml
Sewaktu

16 februari 2016
KIMIA
GULA DARAH Hasil Nilai Rujukan Satuan
Glukosa darah 177 70 – 100 Mg/100 ml
Puasa
Glukosa 2 jam PP 205 70 - 140 Mg/100ml

18 februari 2016
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan

7
Glukosa darah 179 70 - 150 Mg/100ml
Sewaktu

19 februari 2016
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Glukosa darah 110 70 - 150 Mg/100ml
Sewaktu

20 februari 2016
MIKROBIOLOGI
MIKROSKOPIK Hasil Nilai Rujukan Satuan
Mikroskopis Sputum BTA 3+ NEGATIVE
Sewaktu
Mikroskopis Sputum BTA 3+ NEGATIVE
pagi
Mikroskopis Sputum BTA 3+ NEGATIVE
Sewaktu

RONTGEN THORAK

8
Kesan : TB Paru Aktif

Cor : DBN

EKG

9
F. DIAGNOSIS KERJA
Demam Typhoid dengan Tuberkulosis Paru BTA positif Kasus Baru dan Diabetes
Melitus tipe 2

G. DIAGNOSIS BANDING
1. Malaria
2. Pneumonia

H. TERAPI
- Infus RL 20 tpm
- Inj. Cefotaxim 1gr/12 j
- Inj. Ranitidin 1A/12 j
- Inj. Ondansentron 1A/12 j
- Paracetamol tablet 3 x 500 mg
- Inadryl Syr 3 x C1
- Metformin 2 x 500 mg
- Laxadine Syr 3 x C1
- OAT ( 2RHZE/4H3R3) : Rifampisin 450 mg , Isoniazid 300 mg , Pirazinamid 500
mg , Etambutol 250 mg

10
I. PROGNOSIS

Ad vitam : dubia ad bonam


Ad fungsionam : dubia ad malam
Ad sanactionam : dubia

J. HASIL FOLLOW UP
14-02- S/pasien datang ke IGD mengeluh P/
2016 Demam > 1 minggu. Meningkat - Infus RL 20 tpm
di sore hari dan menurun di pagi - Inj. Cefotaxim 1gr/12 j
hari. Pasien juga mengeluh - Inj. Ranitidin 1A/12 j
pusing, batuk , mual dan muntah - Inj. Ondansentron 1A/12 j
GDS : 324 serta nyeri perut , pegel” (+) . - Paracetamol tablet 3 x 500
nafsu makan menurun , berat mg
badan turun. Terasa pahit
lidahnya untuk makan .
O/
TD: 110/70 N: 78
S: 38,4 RR: 20
KU: cukup, CM
K/L: CA (-/-), SI (-/-), PKGB (-/-)
Thypoid tongue (+)
Tho: SDV (+/+), Rh (+/+), Wh (-
/-)
BJ I/IImurni reguler, galop(-)
Abd: NT (-)
Eks: oedem tungkai (-/-)
A/
Suspect Thypoid
DM tipe 2
15-02- S/pasien mengeluh P/
2016 Sudah tidak demam. Pasien juga - Infus RL 20 tpm

11
mengeluh pusing, batuk , mual - Inj. Cefotaxim 1gr/12 j
dan muntah serta nyeri perut , - Inj. Ranitidin 1A/12 j
pegel” (+) . nafsu makan menurun - Inj. Ondansentron 1A/12 j
, berat badan turun. Terasa pahit - Paracetamol tablet 3 x 500
lidahnya untuk makan . mg
O/
TD: 110/70 N: 78
S: 36,4 RR: 20
KU: cukup, CM
K/L: CA (-/-), SI (-/-), PKGB (-/-)
Thypoid tongue (+)
Tho: SDV (+/+), Rh (+/+), Wh (-
CEK GDP DAN 2 JAM PP
/-)
BJ I/IImurni reguler, galop(-)
Abd: NT (-)
Eks: oedem tungkai (-/-)
A/
Thypoid
DM tipe 2

16-02- S/ pasien mengeluh P/


2016 Sudah tidak demam. Pasien juga - Infus RL 20 tpm
mengeluh pusing, batuk , mual - Inj. Cefotaxim 1gr/12 j
GDP:177 dan muntah berkurang. serta nyeri - Inj. Ranitidin 1A/12 j
2JPP:205 perut , pegel” (+) . nafsu makan - Inj. Ondansentron 1A/12 j
menurun , berat badan turun. - Paracetamol tablet 3 x 500
Terasa pahit lidahnya untuk mg
makan . dada terasa agak sakit - Inadryl Syr 3xC1
untuk batuk .
O/
TD: 110/70 N: 80
S: 36,2 RR: 20 - EKG
KU: cukup, CM

12
K/L: CA (-/-), SI (-/-), PKGB (-/-) - RONTGEN THORAX
Thypoid tongue (+)
Tho: SDV (+/+), Rh (+/+), Wh (-
/-)
BJ I/IImurni reguler, galop(-)
Abd: NT (-)
Eks: oedem tungkai (-/-)
A/
Thypoid
DM tipe 2

17-02- S/ P/
2016 pasien mengeluh - Infus RL 20 tpm
Sudah tidak demam. Pasien juga - Inj. Cefotaxim 1gr/12 j
mengeluh pusing, batuk , mual - Inj. Ranitidin 1A/12 j
dan muntah berkurang. serta nyeri - Inj. Ondansentron 1A/12 j
perut , pegel” (+) . nafsu makan - Paracetamol tablet 3 x 500
menurun , berat badan turun. mg
Terasa pahit lidahnya untuk - Inadryl Syr 3xC1
makan . dada terasa agak sakit - Metformin 2 x 500 mg
untuk batuk .
O/
TD: 110/70 N: 80
S: 36,2 RR: 20
KU: cukup, CM
K/L: CA (-/-), SI (-/-), PKGB (-/-)
Thypoid tongue (+)
Tho: SDV (+/+), Rh (+/+), Wh (-
/-)
BJ I/IImurni reguler, galop(-)
Abd: NT (-)
Eks: oedem tungkai (-/-)

13
A/
Thypoid
DM tipe 2

18-02- S/ P/
2016 pasien mengeluh - Infus RL 20 tpm
Sudah tidak demam. Pasien juga - Inj. Cefotaxim 1gr/12 j
GDS: 179 mengeluh pusing, batuk , mual - Inj. Ranitidin 1A/12 j
dan muntah sudah tidak. serta - Inj. Ondansentron 1A/12 j
nyeri perut (-) , pegel” (+) . nafsu - Paracetamol tablet 3 x 500
makan membaik , batuk dan nyeri mg
dada berkurang, Sembelit (+) - Inadryl Syr 3xC1
O/ - Metformin 2 x 500 mg
TD: 110/70 N: 80 - laxadine syr 3xC1
S: 36,2 RR: 20
KU: cukup, CM
K/L: CA (-/-), SI (-/-), PKGB (-/-)
Thypoid tongue (+)
Tho: SDV (+/+), Rh (+/+), Wh (-
/-)
BJ I/IImurni reguler, galop(-)
Abd: NT (-)
Eks: oedem tungkai (-/-)
A/
Thypoid
DM tipe 2

19-02- S/ pasien mengeluh P/


2016 Sudah tidak demam. Pasien juga - Infus RL 20 tpm
mengeluh pusing, batuk , mual - Inj. Cefotaxim 1gr/12 j
GDS : 110 dan muntah sudah tidak. serta - Inj. Ranitidin 1A/12 j
nyeri perut (-) , pegel” (+) . nafsu - Inj. Ondansentron 1A/12 j
makan membaik , batuk dan nyeri - Paracetamol tablet 3 x 500

14
dada berkurang, Sembelit (+) mg
O/ - Inadryl Syr 3xC1
TD: 110/70 N: 80 - Metformin 2 x 500 mg
S: 36,2 RR: 20 - laxadine syr 3xC1
KU: cukup, CM
K/L: CA (-/-), SI (-/-), PKGB (-/-)
Thypoid tongue (+)
Tho: SDV (+/+), Rh (+/+), Wh (-
/-)
BJ I/IImurni reguler, galop(-)
Abd: NT (-)
Eks: oedem tungkai (-/-)
A/
Thypoid
DM tipe 2

20-01- S/ P/
2016 pasien mengeluh Infus RL 20 tpm
Sudah tidak demam. Pasien juga - Inj. Cefotaxim 1gr/12 j
mengeluh pusing, batuk , mual dan - Inj. Ranitidin 1A/12 j
muntah sudah tidak. serta nyeri - Inj. Ondansentron 1A/12 j
perut (-) , pegel” berkurang . nafsu - Paracetamol tablet 3 x 500
makan membaik , batuk dan nyeri mg
dada berkurang, Sudah bisa BAB - Inadryl Syr 3xC1
meskipun agak keras. - Metformin 2 x 500 mg
O/ - laxadine syr 3xC1
TD: 110/70 N: 80 - RHZE 450/300/500/250
S: 36,2 RR: 20
KU: cukup, CM
K/L: CA (-/-), SI (-/-), PKGB (-/-) BLPL
Thypoid tongue (+)

15
Tho: SDV (+/+), Rh (+/+), Wh (-/-)
BJ I/IImurni reguler, galop(-)
Abd: NT (-)
Eks: oedem tungkai (-/-)
A/
Thypoid
DM tipe 2
TB paru

16
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. THYPOID

1. Definisi
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram
negatif Salmonella typhi. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi
dalam sel fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran
darah.(Bhan, 2010)

2. Epidemiologi
Demam tifoid merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini
termasuk penyakit menular yang tercantum dalam undang-undang nomor 6 tahun
1962 tentang wabah. Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian
demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi
peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survey berbagai
rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan
peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus.
Case Fatality Rate (CFR) demam tifoid pada tahun 1996 sebesar 1,08% dari seluruh
kematian di Indonesia.(Widodo, 2009)

3. Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh jenis salmonella tertentu yaitu S. typhi, S.
paratyphi A, S. paratyphi B, dan S. paratyphi C.Demam yang disebabkan oleh S.
Typhi cenderung untuk menjadi lebih berat daripada bentuk infeksi salmonella yang
lain. Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif yang bersifat motil, tidak
membentuk spora, dan tidak berkapsul. Kebanyakkan strain meragikan glukosa,
manosa dan manitol untuk menghasilkan asam dan gas, tetapi tidak meragikan laktosa
dan sukrosa. Organisme salmonella tumbuh secara aerob dan mampu tumbuh secara
anaerob fakultatif. Kebanyakan spesies resistent terhadap agen fisik namun dapat
dibunuh dengan pemanasan sampai 54,4º C (130º F) selama 1 jam atau 60 º C (140 º

17
F) selama 15 menit. Salmonella tetap dapat hidup pada suhu ruang dan suhu yang
rendah selama beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama berminggu-minggu
dalam sampah, bahan makannan kering, agen farmakeutika,dan bahan tinja.
Salmonella memiliki antigen somatik O dan antigen flagella H. Antigen O adalah
komponen lipopolisakarida dinding sel yang stabil terhadap panas sedangkan antigen
H adalah protein labil panas. Antigen Vi adalah simpai atau kapsul kuman. Masa
inkubasi S. typhi adalah 3-21 hari.(Klotchko, 2009)

4. Patogenesis

Salmonella typhimasuk ketubuh manusia melalui makanan dan air yang


tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk
ke usus halus. Jika IgA kurang baik pertahanannya, maka kuman akan menembus sel-
sel epitel terutama sel M dan menuju ke lamina propia. Di lamina propia kuman akan
berkembangbiak. Sebagian kuman akan ditangkap dan digagosit oleh sel
mononuklear, namun masih dapat hidup di dalam makrofag tersebut, dibawa ke
Payer’s patch ileum distal, menuju kelenjar getah bening mesenterika, melalui duktus
toraksikus ke sirkulasi darah, terjadilah bakteriemi I namun masih asimtomatik.
Setelah berkembangbiak di RES dan tersebar ke organ-organ RES seperti hati dan
limpa, kuman akan keluar dari makrofag, berkembangbiak di luar sel atau ruang
sinusoid dan masuk lagi ke dalam sirkulasi darah, maka terjadilah bakteriemi II yang
dapat menimbulkan gejala-gejala sistemik.

Dari hepar, kuman masuk ke kantong empedu, berkembangbiak, dan


diekskresi secara intermiten ke lumen usus bersama-sama dengan cairan empedu.
Sebagian akan keluar lewat feses, dan sisanya akan menembus usus masuk ke darah.

Interaksi Salmonella typhidengan makrofag memunculkan mediator-mediator


lokal sehingga peyer’s patches mengalami hiperplasi jaringan, nekrosis dan ulkus
(hipersensitivitas tipe IV/lambat). Secara imunulogi, di usus diproduksi IgA
sekretorik yang berfungsi mencegah melekatnya Salmonella typhi pada mukosa usus.
Imunitas humoral sistemik, diproduksi IgM dan IgG untuk memudahkan fagositosis
Salmonella typhi oleh makrofag. Imunitas seluler berfungsi untuk membunuh
Salmonalla intraseluler.

18
Pada gejala sistemik timbul demam, instabilitas vaskuler, inisiasi sistem beku
darah, depresi sumsum tulang, bahkan nekrosis organ bila pembuluh darah di sekitar
peyer’s patchesmengalami erosi dan perdarahan.(Widodo, 2009)

5. Manifestasi Klinis

Masa inkubasi Salmonella Typhi berlangsung selama 3-21 hari. Transmisi atau
penularannya dapat terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi S.
typhi. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan
tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, dan tidak bersemangat. Kemudian menyusul
gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu:

1. Demam

Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung tiga minggu. Bersifat febris remiten
dan suhu tidak terlalu tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur
meningkat setiap hari, biaasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada
sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan
demam. Dalam minggun ketiga suhu badan berangsur-angsur turun dan normal
kembali pada akhir minggu ketiga.

2. Gangguan pada saluran pencernaan

Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah. Lidah
ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan, dapat
disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung
(meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada saat perabaan. Dapat
ditemukan gejala konstipasi, diare, dan kombinasi keduanya. Selain itu dapat disertai
gejala mual dan muntah.

3. Gangguan kesadaran (gejala susunan saraf pusat)

Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis
sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah. Pada punggung dan
anggota gerak dapat ditemukan rose spots, yaitu bintik-bintik kemerahan karena
emboli basil dalam kapiler kulit. Rose spots biasanya ditemukan dalam akhir minggu

19
pertama demam pada 25% kasus. Kadang-kadang ditemukan bradikardia dan
mungkin pula ditemukan epistaksis.

Rose spots pada


abdomen seorang
pasien dengan demam
tifoidakibatSalmonella
typhi.

Courtesy of CDC/Armed Forces Institute of Pathology, Charles N. Farmer.

( Brusch, 2010)

6. Diagnosa

Diagnosa demam tifoid dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan


fisik serta ditunjang oleh pemeriksaan laboratorik seperti ditemukannya leukopenia,
anesonofilia, dan limfositosis relatif pada permulaan timbulnya gejala. Mungkin
terdapat anemia dan trombositopenia ringan.

Pada pemeriksaan sumsung tulang dapat ditemukan gambaran sumsum tulang berupa
hiperaktif RES dengan adanya sel makrofag sedangkan sistem eritropoesis,
granulopoesis, dan trombopoesis berkurang.

Pada biakan empedu dapat ditemukan kuman Salmonella typhi dalam darah penderita
biasanya dalam minggu pertama sakit. Selanjutnya lebih sering ditemukan dalam urin
dan feces dan mungkin akan tetap positif untuk waktu yang lama. Oleh karena itu
pemeriksaan yang positif dari contoh darah digunakan untuk menegakkan diagnosis,
sedangkan pemeriksaan negatif dari contoh urin dan fases 2 kali berturt-turut
digunakan untuk menentukan bahwa penderita telah benar-benar sembuh dan bukan
karier.

20
Pemeriksaan Widal dapat dipakai untuk mendukung adanya diagnosis demam tifoid,
namun sekarang pemeriksaan Widal sudah mulai ditinggalkan. Prinsip
pemeriksaannya ialah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum penderita dicampur
dengan suspensi antigen Salmonella typhi. Pemeriksaan yang positif ialah bila terjadi
reaksi aglutinasi. Dengan jalan mengencerkan serum, maka kadar zat anti dapat
ditentukan, yaitu pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan reaksi aglutinasi.
Untuk menegakkan diagnosis yamg perlu diperlukan ialah titer zat anti tehadap
antigen O. titer yang bernilai 1/200 atau lebih dan atau menunjukkan kenaikan yang
progresif diperlukan untuk membuat diagnosis. Titer tersebut mencapai puncaknya
bersamaan dengan penyembuhan penderita. Titer terhadap antigen H tidak diperlukan
untuk diagnosis karena dapat tetap tinggi setelah mendapat imunisasi atau penderita
telah lama sembuh. Tidak selalu pemeriksaan widal positif walaupun penderita
sungguh-sungguh menderita demam tifoid sebagaimana terbukti pada autopsi setelah
penderita meninggal dunia.

Sebaliknya titer dapat positif (False Positive) pada keadaan tertentu seperti
didapatkan Titer O dan H tinggi karena terdapatnya aglutinin normal akibat infeksi
kumanE. coli patogen dalam usus, Pada neonates dimana zat anti tersebut diperoleh
dari ibunya melalui plasenta, terdapat infeksi silang dengan Rickettsia (Weil Felix),
serta akibat imunisasi secara alamiah karena masuknya basil peroral atau pada
keadaan infeksi subklinis.( Fauci, 2009)

7. Diagnosis Banding

Bila tedapat demam yang lebih dari satu minggu sedangkan penyakit yang
dapat menerangkan penyebab demam tersebut belum jelas, penyakit-penyakit yang
perlu dipikirkan selain demam tifoid adalahdemam dengue, influenza, tuberkulosis,
malaria, dan lain-lain. (Bhan,2010)

21
8. Tatalaksana
Tatalaksana meliputi tatalaksana medikamentosa dan non-medikamentosa.

a. Tatalaksana medikamentosa

Obat pilihan utama adalah golongan Fluoroquinolone selama 5-7 hari seperti
Ciprofloksasin 20 mg/kgbb/hari selama 6 hari atau Levofloksasin 10 mg/kgbb/hari
selama 1-2 minggu. Namun golongan Fluoroquinolone tidak boleh diberikan pada
anak-anak karena akan mengganggu pertumbuhan tulang karena mempercepat
penutupan epifisis. Maka dapat diganti dengan obat golongan Cephalosporin generasi
ketiga seperti Ceftriaxone dan Cefotaxime. Pada orang dewasa yang resisten terhadap
golongan Fluoroquinolone juga dapat diberikan golongan Cephalosporin generasi
ketiga seperti Ceftriaxone 1-2 gram intravena atau intramuskular selama 5 hari atau 3
gram dalam 3 hari dan Cefotaxime 1-2 gram intravena atau intramuskular.

Dulu obat pilihan utama adalah kloramfenikol, kecuali bila penderita mengalami
resistensi dapat diberikan obat lain misalnya ampisilin, kotrimoksasol, dan lain-lain.
Dianjurkan pemberian kloramfenikol dengan dosis yang tinggi, yaitu 100
mg/kgbb/hari, diberikan 4 kali sehari peroral atau intramuskular atau intravena bila
diperlukan. Pemberian kloramfenikol dosis tinggi tersebut memberikan manfaat yaitu
waktu perawatan dipersingkat dan relaps tidak terjadi. Akan tetapi mungkin
pembentukan zat anti kurang, oleh karena basil terlalu cepat dimusnahkan. Penderita
yang pulang perlu diberikan suntikan vaksin Tipa.

Pada wanita hamil tidak boleh diberikan Kloramfenikol karena dapat menimbulkan
partus prematurus pada trimester ketiga dan kematian janin intrauterine. Tiamfenikol
juga tidak aman diberikan karena bersifat teratogenik pada trimester pertama. Maka
pada wanita hamil dapat diberian Ampicilin 50-150 mg/kgbb untuk 2 minggu,
Amoxicilin 50-150 mg/kgbb untuk 2 minggu, dan Ceftriaxone 1-2 gram intravena
atau intramuscular selama 5 hari atau 3 gram dalam 3 hari.

Bila terdapat komplikasi harus diberikan terapi yang sesuai. Misalnya pemberian
cairan intravena untuk penderita dengan dehidrasi dan asidosis. Bila terdapat
bronkopneumonia harus ditambahkan Penicilin dan lain-lain.

22
b. Tatalaksana non-medikamentosa

1. Isolasi penderita dan disinfeksi pakaian dan ekskretauntuk mencegah penularan


kuman ke orang-orang sekitar pasien.

2. Bedrest.

Istirahat selama demam sampaidengan 2 minggu normal kembali yaitu istirahat


mutlak, berbaring terus di tempat tidur. Seminggu kemudian boleh duduk dan
selanjutnya boleh duduk dan berjalan.

3. Perawatan yang baik dilakukan untuk mencegah komplikasi, mengingat sakit yang
lama, lemah, anoreksia dan lain-lain.

4. Pengaturan diet.

Makanan harus mengandung cukup cairan, kalori dan tinggi protein. Bahan makanan
tidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang dan tidak menimbulkan
banyak gas. Susu 2 kali satu gelas sehari perlu diberikan. Jenis makanan untuk
penderita dengan kesadaran menurun ialah makanan cair yang dapat diberikan melalui
NGT. Bila pasien sadar dan nafsu makan baik, maka dapat diberikan makanan lunak.

5. Banyak minum untuk mecegah dehidrasi karena pasien mengalami diare dan
demam.

( Widodo, 2009)

9. Komplikasi
1. Komplikasi intestinal umumnya jarang terjadi, akan tetapi sering fatal. Pada usus
halus dapat terjadi :

a. Perdarahan usus. Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan


darah samar pada tinja dengan menggunakan benzidin. Bila perdarahan
banyak terjadi melena dan bila berat dapat disertai perasaan nyeri perut
dengan tanda-tanda renjatan.

23
b. Perforasi usus. Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setelah itu dan
terjadi pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya
dapat ditemukan bila terdapat udara di rongga peritoneum, yaitu pekak hati
menghilang dan terdapat udara diantara hati dan diafragma pada foto rontgen
abdomen yang dibuat dalam keadaan tegak.

c. Peritonitis. Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi


usus. Ditemukan gejala abdomen akut yaitu nyeri perut yang hebat, dinding
abdomen tegang (defense muscular) dan nyeri pada tekanan.

2. Komplikasi ekstra-intestinal yang terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis


(bakteremia) yaitu meningitis, kolesistis, ensefalopati dan lain-lain. Selain itu,
komplikasi ekstra-intestinal dapat terjadi karena infeksi sekunder misalnya pada
bronkopneumonia.
Dehidrasi dan asidosis dapat timbul akibat masukan makanan yang kurang dan
perspirasi akibat suhu tubuh yang tinggi.

( Widodo, 2009 )

10. Prognosis
Umumnya prognosis tifus abdominalis pada anak baik asal penderita cepat
berobat. Mortalitas pada penderita yang dirawat ialah 6%. Prognosis menjadi buruk
bila terdapat gejala klinis yang berat seperti:

1. Panas tinggi(hiperpireksia) atau febris kontinu.

2. Kesadaran menurun sekali yaitu stupor, koma atau delirium.

3.Terdapatkomplikasi yang berat misalnya dehidrasi atau asidosis, peritonitis,


bronkopneumonia dan lain-lain.

4. Keadaan gizi penderita buruk (malnutrisi energi protein).

( Brusch, 2010 )

24
B. TUBERKULOSIS PARU

1. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang berkembang dari infeksi sistemik yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Umumnya bakteri ini menyebar
dari orang ke orang melalui transmisi udara.. Penyakit ini biasanya menyerang organ
paru. Walaupun begitu, sepertiga dari jumlah kasus tuberkulosis menyerang organ ekstra
paru (Kemenkes, 2011)

2. Klasifikasi
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe
pasien, yaitu:
 Kasus baru : Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). Kasus kambuh
(Relaps) Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
 Kasus setelah putus berobat (Default ) : Adalah pasien yang telah berobat dan
putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
 Kasus setelah gagal (Failure) : Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya
tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan.
 Kasus Pindahan (Transfer In) : Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang
memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.
 Kasus lain:Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam
kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan
masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulang
( PDPI, 2014)

25
3. Manifestasi klinis
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala
respiratorik (atau gejalaorgan yang terlibat) dan gejala sistemik.
1. Gejala respiratorik
• batuk ≥3 minggu
• batuk darah
• sesak napas
• nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala
yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita terdiagnosis pada saat
medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka penderita
mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan
selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada
limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari
kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis,
sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada
pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.
2. Gejala sistemik
 Demam
 Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun
( PDPI, 2014)

4. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan Bakteriologik
a. Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti
yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan
bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan
bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL),
urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)
b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan

26
Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari berturutturut atau dengan
cara:
• Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
• Dahak Pagi ( keesokan harinya )
• Sewaktu/spot ( pada saatmengantarkan dahak pagi)
- Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral.
Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada
pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam
bentuk (multiform).
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
• Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah
• Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular
• Bayangan bercak milier
• Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif


• Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas
• Kalsifikasi atau fibrotik
• Kompleks ranke
• Fibrotoraks/Fibrosis parenkim parudan atau penebalan pleura
Luluh Paru (Destroyed Lung ) :
 Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat,
biasanya secara klinis disebut luluh paru. Gambaran radiologik luluh paruterdiri dari
atelektasis, multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktiviti lesi
atau penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologik tersebut.
 Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan
aktiviti proses penyakit
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatandapat
dinyatakan sbb (terutama pada kasus BTA dahak negatif)

27
 Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas
tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari iga
kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra
torakalis5 (sela iga 2)dan tidak dijumpai kaviti.
 Lesi luas
Bila proses lebih luas dari lesi minimal

( Putra, 2012).

5. Penatalaksanaan
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase
lanjutan 4 atau 7 bulan.Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan
tambahan.

A. OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)


Obat yang dipakai:

1. Jenis obat utama (lini 1)yang digunakan adalah:


• Rifampisin
• INH
• Pirazinamid
• Streptomisin
• Etambutol
2. Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination)
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari :
 Empat obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150
mg, isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg dan
 Tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg,
isoniazid 75 mg dan pirazinamid. 400 mg
1. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
 Kanamisin
 Kuinolon
 Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid,amoksilin + asam
klavulanat

28
 Derivat rifampisin dan INH
B. Dosis OAT
 Rifampisin . 10 mg/ kg BB, maksimal 600mg 2-3X/ minggu atau
BB > 60 kg : 600 mg
BB 40-60 kg : 450 mg
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan 29
Tuberkulosis di Indonesia
BB < 40 kg : 300 mg
Dosis intermiten 600 mg / kali

 INH 5 mg/kg BB, maksimal 300mg, 10 mg /kg BB 3 X seminggu, 15 mg/kg BB 2 X


semingggu atau 300 mg/hari untuk dewasa. lntermiten : 600 mg / kali
 Pirazinamid : fase intensif 25 mg/kg BB, 35 mg/kg BB 3 X semingggu, 50 mg /kg BB
2 X semingggu atau :
BB > 60 kg : 1500 mg
BB 40-60 kg : 1 000 mg
BB < 40 kg : 750 mg
 Etambutol : fase intensif 20mg /kg BB, fase lanjutan 15 mg /kg BB, 30mg/kg BB 3X
seminggu, 45 mg/kg BB 2 X seminggu atau :
BB >60kg : 1500 mg
BB 40 -60 kg : 1000 mg
BB < 40 kg : 750 mg
Dosis intermiten 40 mg/ kgBB/ kali
 Streptomisin:15mg/kgBB atau
BB >60kg : 1000mg
BB 40 - 60 kg : 750 mg
BB < 40 kg : sesuai B

29
Kategori Kasus Paduan obat yang Keterangan
diajurkan
I - TB paru 2 RHZE / 4 RH atau
BTA +, 2 RHZE / 6 HE
*2RHZE / 4R3H3
BTA - ,
lesi luas

II - Kambuh -RHZES / 1RHZE / Bila streptomisin alergi,


- Gagal sesuai hasil uji resistensi dapat diganti kanamisin
pengobatan atau 2RHZES / 1RHZE
/ 5 RHE
-3-6 kanamisin,
ofloksasin, etionamid,
sikloserin / 15-18
ofloksasin, etionamid,
sikloserin atau 2RHZES
/ 1RHZE / 5RHE
II - TB paru Sesuai lama pengobatan
putus sebelumnya, lama
berobat berhenti minum obat
dan keadaan klinis,
bakteriologi dan
radiologi saat ini (lihat
uraiannya) atau
*2RHZES / 1RHZE /
5R3H3E3
III -TB paru 2 RHZE / 4 RH atau
BTA neg. 6 RHE atau
lesi minimal *2RHZE /4 R3H3

30
IV - Kronik RHZES / sesuai hasil uji
resistensi (minimal
OAT yang sensitif) +
obat lini 2 (pengobatan
minimal 18 bulan)
IV - MDR TB Sesuai uji resistensi +
OAT lini 2 atau H
seumur hidup
Tabel pengkategorian pengobatan TB
( Kemenkes RI, 2011)

C. DIABETES MELITUS

I. Definisi
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan
jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa anggota tubuh, terutama mata, ginjal,
saraf, jantung dan pembuluh darah. World Health Organization (WHO) sebelumnya telah
merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu
jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu
kumpulan problematika anatomik dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor dimana
didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin.( Purnamasari,
2009)

II. Etiologi
Ada bukti yang menunjukkan bahwa etiologi diabetes melitus bermacam-macam.
Meskipun berbagai lesi dengan jenis yang berbeda akhirnya akan mengarah pada
insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik yang biasanya memegang peranan penting
pada mayoritas penderita diabetes melitus.

Diabetes melitus tipe 1 adalah penyakit autoimun yang ditentukan secara genetik dengan
gejala-gejala yang pada akhirnya menuju proses bertahap pengrusakan imunologik sel-

31
sel yang memproduksi insulin. Manifestasi klinis diabetes melitus terjadi jika lebih dari
90% sel-sel beta menjadi rusak.

Diabetes melitus tipe 2 ditandai dengan kelainan sekresi insulin serta kerja insulin. Pada
awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin
mula-mula mengikatkan dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu,
kemudian terjadi reaksi intraseluler yang menyebabkan mobilisasi pembawa GLUT 4
glukosa dan meningkatkan transpor glukosa menembus membran sel. Pada pasien-pasien
dengan diabetes tipe 2 terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor.
Kelainan ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempatb reseptor pada
membran sel yang selnya responsif terhadap insulin atau akibat ketidaknormalan reseptor
insulin intrinsik. Akibatnya, terjadi penggabungan abnormal antara kompleks reseptor
insulin dengan sistem transpor glukosa. Ketidaknormalan postreseptor dapat
mengganggu kerja insulin. Pada akhirnya timbul kegagalan sel beta dengan menurunnya
jumlah insulin yang beredar dan tidak lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia.
Sekitar 80% pasin diabetes tipe 2 mengalami obesitas. Karena obesitas berkaitan dengan
resisten insulin, maka kelihatannya akan timbul kegagalan toleransi glukosa yang
menyebabkan diabetes tipe 2. Pengurangan berat badan seringkali dikaitkan dengan
perbaikan dalam sensitivitas insulin dan pemulihan toleransi glukosa.(Price, 2010)

III. Diagnosis
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah.

Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM

Bukan DM Belum pasti DM DM

Kadar glukosa darah Plasma vena <110 110-199 ≥200


sewaktu (mg/dl)
Darah kapiler <90 90-199 ≥200

Kadar glukosa darah Plasma vena <110 110-125 ≥126


puasa (mg/dl)
Darah kapiler <90 90-109 ≥110

Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa
poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan

32
sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan,
gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria serta pruritus vagina pada wanita. Jika
keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dl sudah cukup untuk
menegakkan diagnosa DM. Hasil pemeriksaam kadar glukosa darah puasa ≥126 mg/dl
juga digunakan untuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM,
hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat
untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat
sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa ≥126 mg/dl, kadar glukosa
darah sewaktu ≥200 mg/dl pada hari yang lain atau dari hasil tes toleransi glukosa oral
(TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan ≥200 mg/dl.

Langkah-langkah diagnostik DM dan tolerasni glukosa terganggu

( Purnamasari , 2009 )

IV. Klasifikasi
Klasifikasi berdasarkan American Diabetes Association (ADA) :

1. Diabetes melitus
a. Tipe 1
Diabetes tipe 1 dulu dikenal sebagai tipe juvenille-onset dan tipe dependen
insulin; namun kedua tipe ini dapat muncul pada sembarang usia. Diabetes
tipe 1 ini dapat dibagi dalam 2 subtipe : (a) autoimun, akibat disfungsi

33
autoimun dengan kerusakan sel-sel beta; dan (b) idiopatik, tanpa bukti adanya
autoimun dan tidak diketahui sumbernya.

b. Tipe 2
Diabetes tipe 2 dulu dikenal sebagai tipe dewasa atau tipe onset maturitas dan
tipe nondependen insulin.

2. Diabetes gestasional
Diabetes gestasional (GDM) dikenali pertama kali selama kehamilan dan
mempengaruhi 4% dari semua kehamilan. Faktor risiko terjadinya GDM adalah usia
tua, etnik, obesitas, multiparitas, riwayat keluarga, dan riwayat gestasional terdahulu.

3. Tipe spesifik lain


a) Cacat genetik fungsi sel beta : MODY
b) Cacat genetik kerja insulin : sindrom resistensi insulin berat
c) Endokrinopati : sindrom cushing, akromegali
d) Penyakit eksokrin pankreas
e) Obat atau diinduksi secara kimia
f) infeksi
4. Gangguan toleransi glukosa (IGT)
Pasien dengan IGT tidak dapat memenuhi kriteria diabetes melitus, tetapi tes
toleransi glukosanya memperlihatkan kelainan. Pasien-pasien ini asimtomatis

5. Gangguan glukosa puasa (IFG)


Gangguan glukosa puasa ditetapkan dengan nilai antara 110 dan 126 mg/100 ml.

( Purnamasari, 2009 )

V. Penatalaksaan Diabetes Melitus


Modalitas yang ada pada penatalaksanaan DM terdiri dari; pertama terapi non
farmakologis yang meliputi perubahan gaya hidup dengan melakukan pengaturan pola
makan yang dikenal sebagai terapi gizi medis, meningkatkan aktivitas jasmani dan
edukasi berbagai masalah yang berkaitan dengan penyakit diabetes yang dilakukan
secara terus menerus, kedua terapi farmakologis, yang meliputi pemberian obat anti
diabetes oral dan injeksi insulin. Terapi farmakologis ini pada prinsipnya diberikan jika
penerapan terapi non farmakologis yang telah dilakukan tidak dapat mengendalikan

34
kadar glukosa darah sebagainana yang diharapkan. Pemberian terapi farmakologis tidak
meninggalkan terapi non farmakologis yang telah diterapkan sebelumnya.

1. Edukasi
Edukasi yang diberikan kepada pasien meliputi pemahaman :

 Perjalanan penyakit DM
 Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM
 Penyulit DM dan risikonya
 Intervensi farmakologis dan non farmakologis serta target perawatan
 Interaksi antara asupan makanan, aktifitas fisik dan hipoglikemik orak atau
insulin serta obat-obat lainnya
 Cara pemantauan glukosa darah
 Mengatasi sementara keadaan gawat darurat seperti hipoglikemia
 Pentingnya perawatan diri

2. Terapi Gizi Medis


Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:

a. Karbohidrat
Sebagai sumber energi, karbohidrat yang diberikan pada diabetisi tidak boleh
lebih dari 55-65% dari total kebutuhan energi sehari, atau tidak boleh lebih
dari 70% jika dikombinasikan dengan pemberian asam lemak tidak jenuh
rantai tunggal (MUFA = monounsaturated fatty acids). Pada setiap gram
karbohidrat terdapat kandungan energi sebesar 4 kilokalori.

b. Lemak
Lemak mempunyai kandungan sebesar 9 kilokalori per gramnya. Berdasarkan
ikatan rantai karbonnya, lemak dikelompokkan menjadi lemak jenuh dan
lemak tidak jenuh. Pembatasan asupan lemak jenuh dan kolesterol sangat
disarankan bagi para diabetisi karena terbukti dapat memperbaiki profil lipid
tidak normal yang sering dijumpai pada diabetes. Asam lemak tidak jenuh
rantai tunggal (MUFA = monounsaturated fatty acid), merupakan salah satu
asam lemak yang dapat memperbaiki kadar glukosa darah dan profil lipid.
Pemberian MUFA pada diet diabetisi dapat menurunkan kadar trigliserida,

35
kolesterol total, kolesterol VLDL dan meningkatkan kadar kolesterol HDL.
Sedangkan asam lemak tidak jenuh rantai panjang (PUFA = polyunsaturated
fatty acid) dapat melindungi jantung, menurunkan kadar trigliserida,
memperbaiki agregasi trombosit. PUFA mengandung asam lemak omega 3
yang dapat menurunkan sintesis VLDL di dalam hati dan meningkatkan
aktivitas enzim lipoprotein lipase yang dapat menurunkan kadar VLDL di
jaringan perifer, sehingga dapat menurunkan kadar kolesterol LDL. Untuk
mencukupi kebutuhan asam lemak tidak jenuh rantai panjang, dianjurkan
untuk mengkonsumsi ikan seminggu 2-3 kali.

c. Protein
Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15% dari total
kalori per hari.

3. Latihan Jasmani

Jumlah olahraga perminggu sebaiknya dilakukan dengan teratur 3-5 kali per minggu
dengan durasi 30-60 menit. Latihan jasmani yang dipilih sebaiknya yang disenangi
serta memungkin untuk dilakukan dan hendaknya melibatkan otot-otot besar.

4. Terapi Farmakologis
Golongan Insulin Sensitizing yaitu yang memperbaiki sensitivitas insulin ;

 Biguanid
Saat ini golongan biguanid yang banyak dipakai ialah metformin.
Metformin terdapat dalam konsentrasi yang tinggi di usus dan hati, tidak
dimetabolisme tapi dikeluarkan secara cepat melalui ginjal. Karena cepatnya
proses tersebut maka metformin biasanya diberikan 2-3 kali sehari kecuali
dalam bentuk extended release. Efek samping yang terjadi dapat berupa
asidosis laktat dan untuk menghindarinya sebaiknya tidak diberikan pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal( kreatinin > 1,3 mg/dl pada wanita dan
> 1,5 mg/dl pada pria) atau pada gangguan fungsi hati dan gagal jantung serta
harus hati-hati pada orang lanjut usia.

Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja


insulin pada tingkat seluler,distal reseptor insulin dan menurunkan produksi
glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel usus

36
sehingga menurunkan glukosa darah dan juga diduga menghambat absorpsi
glukosa di usus sesudah asupan makan. Setelah diberikan secara oral,
metformin akan mencapai kadar tertinggi dalam darah setelah 2 jam dan
dieksresikan lewat urin dalam keadaan utuh dengan waktu paruh 2 jam.

Metformin dapat menurunkan glukosa darah tapi tidak menyebabkan


hipoglikemik. Pemakaian tunggal metformin dapat menurunkan glukosa darah
sampai 20% dan konsentrasi insulin plasma pada keadaa basal juga turun.
Pada pemakaian kombinasi dengan sulfonilurea, hipoglikemik dapat terjadi
akibat pengaruh sulfonilureanya. Metformin tidak menyebabkan kenaikan
berat badan seperti pada pemakaian sulfonilurea. Pada pemakaian kombinasi
metformin dengan insulin dapat dipertimbangkan untuk pasien gemuk dengan
glikemia yang sukar dikendalikan.

 Glitazone atau Thiazolidinediones


Obat ini dapat diberikan secara oral dan monoterapinya dapat
memperbaiki konsentrasi glukosa darah puasa sebanyak 59-80 mg/dl dan
A1C 1,4-2,6% dibandingkan dengan plasebo. Glitazone merupakan agonis
peroxicame activated receptor gamma (PPAR) yang sangat selektif dan poten.
Reseptor PPAR gamma terdapat dijaringan target kerja insulin yang
merupakan regulator homeostatis lipid, diferensiasi adiposit dan kerja insulin.
Glitazone dapat merangsang ekskresi beberapa protein yang dapat
memperbaiki sensitifitas insulin dan memperbaiki glikemia serta dapat
mempengaruhi ekspresi dan pelepasan mediator resistensi insulin seperti TNF-
alpha dan leptin.

Glitazone diabsorpsi dengan cepat dan mencapai konsentrasi tertinggi


setelah 1-2 jam dan makanan tidak mempengaruhi farmakokinetik obat ini.
Waktu paruh berkisar 3-4 jam bagi rosiglitazone dan 3-7 jam bagi
pioglitazone. Obat ini dapat digunakan dalam monoterapi ataupun kombinasi
dengan metformin dan sekretago insulin. Secara klinik rosiglitazone dapat
diberikan 4 & 8 mg/hr ( dosis tunggal/terbagi 2x sehari) memperbaiki glukosa
darah puasa sampai 55 mg/dl. Sedangkan pioglitazone sebagai

37
monoterapi/kombinasi dapat menurunkan glukosa darah dengan dosis 45
mg/dl.

Golongan Sekretorik Insulin

Mempunyai efek hipoglikemik dengan cara stimulasi sekresi insulin oleh sel beta
pankreas. Golongan ini berupa sulfonilurea dan glinid.

 Sulfonilurea
Efek hipoglikemi sulfonilurea adalah dengan merangsang channel K
yang tergantung pada ATP dari sel beta pankreas. Golongan obat ini bekerja
dengan merangsang sel beta pankreas untuk melepaskan insulin yang
tersimpan. Karena itu hanya dapat bermanfaat pada pasien yang masih
mempunyai kemampuan untuk sekresi insulin. Golongan obat ini tidak dapat
dipakai untuk DM tipe 1. Efek akut obat golongan sulfonil urea berbeda
dengan efek pada pemakaian jangka lama. Glibenklamid misalnya mempunyai
masa paruh 4 jam pada pemakaian akut tapi pemakaian jangka lama > 12
minggu, masa paruhnya memanjang sampai 12 jam. Karena itu, dianjurkan
hanya sekali sehari. Glibenklamid menurunkan glukosa darah puasa (36%)
lebih besar dari glukosa sesudah makan (21%). Pada pemakaian jangka lama
efektifitas golongan obat ini dapat berkurang.

Pemakaian sulfonilurea selalu dimulai dengan dosis rendah untuk


menghindari kemungkinan hipoglikemia. Dosis permulaannya tergantung
pada beratnya hiperglikemia. Bila konsentrasi glukosa darah puasa < 200
mg/dl, SU sebaiknya dimulai dengan dosis kecil dan titrasi secara bertahap
setelah 1-2 minggu sehingga tercapai glukosa darah puasa 90-130 mg/dl. Bila
glukosa darah puasa > 200 mg/dl dapat diberikan dosis awal yang lebih besar .
Obat ini sebaiknya diberi setengah jam sebelum makan karena diserap dengan
lebih baik. Pada obat yang diberi sekali sehari sebaiknya diberi pada waktu
makan pagi atau pada makan makanan porsi terbesar.

38
 Glinid
Kerjanya juga melalui reseptor sulfonilurea dan memiliki struktur yang
mirip tapi tidak mempunyai efek sepertinya. Repaglinid & nateglinid
diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian oral dan cepat dikeluarkan melalui
metabolisme dalam hati sehingga diberikan 2-3 kali sehari. Repaglinid dapat
menurunkan glukosa darah puasa walaupun mempunyai masa paruh yang
singkat karena lama menempel pada kompleks SUR sehingga dapat
menurunkan ekuivalen A1C pada SU.

Nateglinid mempunyai masa tinggal lebih singkat dan tidak


menurunkan glukosa darah puasa. Sehingga keduanya merupakan sekretagok
yang khusus menurunkan glukosa pascaprandial dengan efek hipoglikemik
yang minimal.

Penghambat Alfa Glukosidase

Obat ini bekerja dengan menghambat kerja enzim alfa glukosidase didalam
saluran cerna sehingga menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan
hiperglikemia postprandial. Obat ini bekerja dilumen usus dan tidak menyebabkan
hipoglikemia dan tidak berpengaruh pada kadar insulin.

Efek samping akibat maldigesti karbohidrat akan berupa gejala gastrointestinal


seperti meteorismus,diare. Acarbose dapat digunakan sebagai monoterapi atau
kombinasi dengan insulin,metformin,glitazone atau sulfonilurea. Untuk mendapat
efek maksimal obat ini harus digunakan pada saat makanan utama karena merupakan
penghambat kompetitif dan sudah harus ada pada saat kerja enzimatik pada saat yang
sama karbohidrat berada diusus halus. Monoterapi acarbose dapat menurunkan
glukosa postprandial 40-60 mg/dl dan glukosa puasa rata-rata 10-20 mg/dl.
Sedangkan dengan terapi kombinasi akan menurunkan glukosa postprandial sebesar
20-30 mg/dl dari keadaan sebelumnya.

39
Dipeptidyl Peptidase-4 inhibitors DPP-4 inhibitor

DPP-4 merupakan protein membran yang diekspresikan pada berbagai jaringan


termasuk sel imun. DPP-4 Inhibitor adalah molekul kecil yang meningkatkan efek
GLP-1 dan GIP yaitu meningkatkan “glucose- mediated insulin secretion” dan
mensupres sekresi glukagon. Penelitian klinik menunjukkan bahwa DPP-4 Inhibitor
menurunkan A1C sebesar 0,6-0,9 %.Golongan obat ini tidak meninmbulkan
hipoglikemia bila dipakai sebagai monoterapi. Obat yang termasuk golongan ini :
sitagliptin, vildagliptin, saxagliptin, and linagliptin.

Insulin

Terapi insulin diperlukan pada keadaan:

 Penurunan BB yang cepat


 Hiperglikemia berat disertai ketosis
 Ketoasidosis diabetik
 Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
 Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
 Hiperglikemia dengan asidosis laktat
 Stres berat( infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke )
 Kehamilan dengan DM / DMG yang tidak terkendali dengan TGM
 Gangguan fungsi hati/ginjal berat
 Kontraindikasi/alergi dengan OHO
 Kanker
 Sirosis hati
 TBC paru
 Fraktur
 Tirotoksikosis
( Greenstein, 2010 )

40
DAFTAR PUSTAKA

Bhan MK, Bahl R, Bhatnagar. 2010. S. Typhoid and parattyphoid fever. Lancet. Aug
366:749-62.

Brusch J. Typhoid fever. April 8, 2010. [cited 2011Jan 11]. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/231135-overview.

Fauci AS, et al. Harrison’s Manual of Medicine. 2009.17thed. New York: McGraw Hill; p
456-457

Greenstein, B., Wood, D. 2010. At a Glance: SIstem Endokrin. 2nd ed. Jakarta :Erlangga
Medical Series

Kemenkes RI. 2011. Stop TB Menuju Terobosan Universal Strategi Nasional Pengendalian
TB di Indonesia tahun 2010 – 2014. Jakarta

Klotchko A, Mark RW. Salmonellosis. Mar 31, 2009.[cited 2011Jan 11].[Internet] Available
at: http://emedicine.medscape.com/article/228174-overview

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2014. Tuberculosis : Pedoman Diagnosis dan


Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta : PDPI

Price, Sylvia A., 2010. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Jilid 1.Ed-6.
Jakarta: EGC

Purnamasari Dyah., 2009. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Putra,Irandi dkk. Malnutrisi dan tuberkulosis. J indon med assoc, 2012. Vol.6 Pp.230 - 236

41
Widodo D. 2009. Demam Tifoid .Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; p1752-1757

LAPORAN KASUS
SEORANG LAKI-LAKI USIA 60 TAHUN DENGAN DEMAM THYPOID DAN
TUBERKULOSIS PARU BTA POSISTIF KASUS BARU SERTA DIABETES
MELITUS TIPE 2
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Pembimbing: dr. Nur Hidayat Sp,PD,M. Kes

Disusun Oleh :
Kurnia Yuniati, S.Ked
J510155078

42
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2016

LAPORAN KASUS
SEORANG LAKI-LAKI USIA 60 TAHUN DENGAN DEMAM THYPOID DAN
TUBERKULOSIS PARU BTA POSISTIF KASUS BARU SERTA DIABETES
MELITUS TIPE 2
Yang Diajukan Oleh:

Kurnia Yuniati, S Ked


J510155078

Telah disetujui dan dipertahankan dihadapan pembimbing bagian program pendidikan profesi
fakultas kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta pada tanggal
.........................................

Pembimbing

dr. Nur Hidayat Sp,PD, M.Kes (.................................)

Dipresentasikan Dihadapan

dr. Nur Hidayat Sp,PD. M.Kes (.................................)

Disahkan Ketua Program Profesi

43
Nama : dr. Dona Dewi Nirlawati (.................................)

44

Anda mungkin juga menyukai