Anda di halaman 1dari 5

2.

1 Diagnosis PPOK
Diagnosis PPOK dapat dipertimbangkan berdasarkan dari anamnesis (meliputi sesak
napas, batuk kronik atau batuk kronik berdahak, dan riwayat pajanan terhadap faktor risiko
PPOK), pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (rontgen toraks dan spirometri).1-3,10,12,21
Anamnesis pada penderita PPOK dipertimbangkan dengan melihat indikator seperti pada tabel
2.3.
Tabel 2.3 Pertimbangan indikator kunci untuk diagnosis penyakit paru obstruktif kronik
Gejala
Sesak napas

Batuk kronik
Batuk kronik berdahak
Riwayat terpajan faktor
risiko

Keterangan
Progresif (sesak bertambah berat atau memburuk seiring berjalannya
waktu).
Bertambah berat dengan aktivitas.
Persisten (menetap sepanjang hari).
Hilang timbul dan mungkin tidak produktif.
Setiap batuk kronik berdahak dapat mengidikasikan PPOK
Asap rokok.
Asap dapur dan bahan bakar pemanas.
Bahan kimia dan debu di tempat kerja.

Dikutip dari: Global Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention of COPD, dalam Global
Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD).3

Anamnesis meliputi riwayat faktor risiko dan gejala. Faktor risiko meliputi (1) riwayat
merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan, (2) usia biasanya timbul pada
usia pertengahan, (3) riwayat terpajan zat iritan, debu atau bahan kimia yang bermakna di tempat
kerja, (4) riwayat penyakit emfisema pada keluarga, dan (5) terdapat faktor predisposisi pada
masa bayi atau anak, misal berat badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang,
lingkungan asap rokok dan polusi udara. Gejala penderita PPOK meliputi (1) sesak napas yang
progresif, bertambah berat dengan aktivitas dan persisten (2) batuk kronik atau batuk berdahak
kronik hilang timbul dan berulang selama 3 bulan yang tidak hilang dengan pengobatan.1-3,10,21
Pemeriksaan fisik pada PPOK dini umumnya tidak ada kelainan yang jelas, sedangkan
pada PPOK derajat sedang dan berat seringkali terlihat perubahan cara bernapas atau perubahan

bentuk anatomi toraks. Pemeriksaan fisik meliputi inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.
Inspeksi meliputi (1) mulut setengah terkatup atau mencucu atau seperti orang meniup (pursedlips breathing), (2) diameter antero-posterior dan transversal sebanding atau dada seperti tong
(barrel chest), (3) terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu napas, (4)
pelebaran sela iga, (5) bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di
leher dan edema tungkai, dan (6) penampilan pink puffer (timbulnya sesak napas tanpa disertai
batuk dan produksi sputum yang berarti) atau blue bloater (kondisi batuk produktif dan berulang
kali mengalami infeksi pernapasan yang dapat berlangsung selama bertahun-tahun sebelum
tampak gangguan fungsi paru). Blue bloater adalah gambaran khas pada bronkitis kronik,
dimana penderita gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis
sentral dan perifer. Palpasi pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar. Perkusi pada
emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke
bawah. Auskultasi meliputi (1) suara napas vesikuler normal atau melemah, (2) terdapat ronki
dan atau mengi (biasanya timbul pada eksaserbasi) pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa, (3) ekspirasi memanjang, dan (4) bunyi jantung terdengar jauh.1,2,21
Dinyatakan PPOK secara klinis apabila sekurang-kurangnya pada anamnesis ditemukan
adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai batuk kronik dan berdahak dengan sesak napas
terutama saat melakukan aktivitas pada seseorang yang berusia pertengahan atau lebih tua.2

DAFTAR PUSTAKA

1. Antariksa B, Sitompul ANL, Ginting AK, Hasan A, Tanuwihardja BY, Drastyawan B, et


al. Penyakit Paru Obstruktif Kronik Diagnosis dan Penatalaksanaan. Revisi pertama.
Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI); 2011. hal.1-86.
2. Departemen Kesehatan RI (DEPKES RI). Pedoman Pengendalian Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK). DEPKES RI. Jakarta. 2008.
3. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Global Strategy for the
Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease.
GOLD. USA. 2014.
4. Juvelekian G, Stoller JK. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. In: Abelson A,
Gordon S, Hobbs R, Hoogwerf BJ, Kothari S, Lang DM, et al, editors. Current Clinical
Medicine. 1st ed. China: Elsevier Inc; 2009. p.1067-1073.
5. Repke JT, Shapiro SD, Silverman EK. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. In:
Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, editors. Harrisons
Principles of Internal Medicine. 18th ed. United States of America: McGraw-Hills
Companies; 2012. p.1635-1643.
6. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. Laporan
Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. LITBANG DEPKES RI. Jakarta.
2013.
7. Thamtono, Y. Hubungan Nilai Spirometri dengan Learn Body Mass Index Pada Penderita
Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil di RS Tembakau Deli Medan. Medan: Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2011.
8. American Lung Association. Trends in COPD (Chronic Bronchitis and Emphysema):
Morbidity and Mortality. ALA. Chicago: 2013.
9. National Institute for Health and Clinical Excellence. Management of Chronic Obstuctive
Pulmonary Disease in Adult in Primary and Secondary Care. NICE. London, Manchester:
2010.
10. Prabaningtyas O. Hubungan Antara Derajat Merokok dengan Kejadian PPOK. Surakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2010.
11. Mosenifar
Z.
Chronic
Obstructive
Pulmonary
Disease.
http://emedicine.medscape.com/article/297664-overview#showall. Updated 2 June 2014.
Diakses 20 Juli 2014.

12. Oemiati R. Kajian Epidemiologis Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Media
Litbangkes. 2013; 23: 82-88.
13. Celli BR, Cote CG, Marin JM, Casanova C, de Oca MM, Mendez RA, et al. The BodyMass Index, Airflow Obstruction, Dyspnea, and Exercise Capacity Index in Chronic
Obstructive Pulmonary Disease. The New England Journal of Medicine. 2004; 350:
1005-1012.
14. World Health Organization (WHO). Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD).
WHO. Geneva. 2013.
15. Kurniawan FD, Andarini SL, Yunus F. Peranan Penuaan dan Senescence Selular dalam
Patogenesis PPOK. Jurnal Respirologi Indonesia. 2011; 31: 224-232.
16. Hasanah M, Djajalaksana S. Fenotip Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Jurnal
Respirologi Indonesia. 2013; 33: 271-279.
17. Donohue JF, Sheth K, Schwer WA, Schlager SI. Asthma & COPD: Management
Strategies for the Primary Care Provider. Medical Communications Media, Inc. 2006.
p.2-12.
18. Parhusip DH. Kadar C-Reactive Protein Pada Penderita PPOK Eksaserbasi Penelitian
Potong Lintang di Departemen / SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran USU /
RSUP H Adam Malik / RSUD dr. Pirngadi Medan Maret 2008 Juni 2008. Medan:
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2008.
19. Ariyani DR, Sarbini D, Yulianti R. Hubungan Antara Status Gizi dan Pola Makan dengan
Fungsi Paru pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) di Balai Besar
Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta. Publikasi Ilmiah Universitas Muhammadiyah
Surakarta (UMS). 2013; 14: 95-100.
20. Paauw DS, Burkholder LR, Migeon MB. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. In:
Merritt J, DiCicco N, editors. Internal Medicine Clerkship Guide. 3rd ed. USA: Elsevier
Inc; 2008. p.505-510.
21. Rini IS. Hubungan Antara Efikasi Diri dengan Kualitas Hidup Pasien Penyakit Paru
Obstruktif Kronik Dalam Konteks Asuhan Keperawatan di RS Paru Batu dan RSU DR.
Saiful Anwar Malang Jawa Timur. Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Program Studi
Magister Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. 2011.
22. Brashier BB, Kodgule R. Risk Factors and Pathophysiology of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease (COPD). Journal of Association of Physicians of India (JAPI). 2012;
60: 17-21.
23. Barnes PJ, Celli BR. Systemic Manifestations and Comorbidities of COPD. European
Respiratory Journal. 2009; 34: 975-996.

24. Sharma P. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. In: Szar DH, Taylor A, editors.
General Medicine. 3rd ed. China: Elsevier Inc; 2008. p.204-209.
25. Dahlan MS. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian Kedokteran
dan Kesehatan. Edisi 3. Jakarta: Salemba Medika; 2013. hal.1-33.
26. Tobing NH. Rokok dan Kesehatan Respirasi. Jurnal Respirologi Indonesia. 2001; 65:
381-399.
27. Fitriyanti S, Wiramihardja KK. Biomedik Dasar 1. Cetakan 1. Cimahi: Fakultas
Kedokteran Universitas Jendral Achmad Yani; 2009. hal.30-44.
28. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu Anak (KIA) Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia. Tabel IMT. GIZI KIA DEPKES RI. 2011.
29. Hastuti WS, Wiyono WH, Ratnawati, Gumiwang I, Prihartono J. Peran Modifikasi Skor
CURB-65 Sebagai Faktor Prediktor Mortalitas Dalam Satu Tahun pada Penyakit Paru
Obstruktif Kronik Eksaserbasi Akut. Jurnal Respirologi Indonesia. 2013; 33: 244-257.
30. Sholikhah S, Yunus F, Wiyono WH. Kadar Desmosine Serum pada Penyakit Paru
Obstruktif Kronik Stabil. Jurnal Respirologi Indonesia. 2012; 32: 223-232.
31. Khotimah S. Latihan Endurance Meningkatkan Kualitas Hidup Lebih Baik daripada
Latihan Pernafasan pada Pasien PPOK di BP4 Yogyakarta. Program Studi Magister
Fisiologi Olahraga Universitas Udayana Sport and Fitness Journal. 2013; 1: 20-32.

Anda mungkin juga menyukai