Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kanker Nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh di daerah
nasofaring dengan predileksi di Fosa Rossenmuller dan atap nasofaring. KNF
adalah tumor yang berasal dari sel epitel yang menutupi permukaan nasofaring.
Kanker nasofaring merupakan tumor ganas yang sering dijumpai dibagian telinga,
hidung, tenggorokan, kepala dan leher (THTKL). Kanker nasofaring di Indonesia
menduduki urutan keempat dari seluruh keganasan setelah kanker mulut rahim,
payudara dan kulit (Nasir, 2009).
Berdasarkan GLOBOCAN (2012), terdapat 87.000 kasus baru nasofaring
muncul setiap tahunnya (dengan 61.000 kasus baru terjadi pada laki-laki dan
26.000 kasus baru pada perempuan) dengan 51.000 kematian akibat KNF (36.000
pada laki-laki, dan 15.000 pada perempuan). KNF terutama ditemukan pada pria
usia produktif (perbandingan pasien pria dan wanita adalah 2,18:1) dan 60%
pasien berusia antara 25 hingga 60 tahun (Ferlay, 2015).
Pada penderita KNF stadium awal yaitu stadium I dan II mempunyai
prognosis lebih baik dibandingkan dengan stadium lanjut yaitu stadium III dan
IV. Faktor usia menjadi peranan penting dalam terjadinya KNF (Kartikawati,
2007). Sedangkan faktor faktor lain yang mempengaruhi adalah jenis kelamin,
stadium, sumber biaya, pekerjaan (Roezin, 2007). Angka harapan hidup lima
tahun pada stadium I, II, III, IV didapatkan sekitar 100%, 85,7%, 30,4%, 25%
(El-Sherbieny, 2011)
Terapi KNF terdiri dari readioterapi, kemoterapi dan pembedahan (Zeng,
2010). Terapi yang selama ini digunakan adalah kemoterapi, yang merupakan
salah satu penatalaksanaan untuk kanker nasofaring. Obat yang digunakan dalam
kemoterapi berfungsi merusak, menekan dan mencegah penyebaran sel kanker
yang berkembang biak dengan cepat. Angka harapan hidup untuk KNF terkait

1
erat dengan stadium yang diderita pasien yang sudah melakukan kemoterapi,
semakin tinggi stadium yang diderita pasien, semakin tinggi pula resiko
kematiannya. Berdasarkan data Globocan 2008, tingkat ketahanan hidup lima
tahun penderita KNF di Indonesia hanya sekitar 6,4% (International Agency for
Research on Cancer, 2010). Menurut Dokter spesialis Rumah Sakit Siloam, dr
Marlinda A Yudharto, pada umumnya KNF baru terdiagnosis pada stadium lanjut
ketika kanker telah bermetastasis atau menyebar karena cenderung tanpa gejala
dan baru terdiagnosis pada stadium lanjut karena letaknya yang sulit secara
anatomis di bagian belakang hidung (Poskotanews, 2012).

2
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


- Nama : AAGT
- Tanggal lahir : 18/01/1967
- Usia : 54 tahun
- Jenis Kelamin : Laki – laki
- Status Perkawinan : Sudah menikah
- Agama : Hindu
- Tanggal MRS : 10-05-2021
- Alamat : Kabupaten Klungkung

2.2 Anamnesa
a. Keluhan utama : Nyeri diatas kemaluan
Seorang pasien laki-laki usia 54 tahun datang ke poliklinik Bedah
Digestif RSUD Klungkung dengan keluhan terasa nyeri pada bagian atas
kemaluan. Keluhan disertai dengan adanya benjolan yang keluar masuk pada
daerah tersebut. Ia mengatakan keluhan nyeri lebih berat pada bagian kanan
atas kemaluan dan benjolan lebih besar pada daerah tersebut. Keluhan
dirasakan sejak 1 bulan yang lalu dan benjolan sering tampak keluar saat
BAK. Selain itu, ia mengatakan ketika berdiri benjolan tampak keluar dan
ketika berbaring istirahat benjolan tersebut menghilang. Keluhan dirasakan
terus-menerus hingga mengganggu aktifitas. Ia mengatakan awalnya
benjolan tersebut tiba-tiba muncul dan tampak kecil yang menyebabkan ia
menghiraukannya hingga saat ini benjolan semakin besar dan semakin nyeri.
Nyeri dirasakan memeberat saat ia BAK. Pasien menjelaskan sebelumnya 3
hari yang lalu pernah berobat ke praktek dokter umum dan diberikan obat
untuk meringankan keluhan tersebut (pasien lupa nama obatnya) namun

3
keluhan tidak membaik. Selain dari keluhan tersebut, ia juga menjelaskan
bahwa nyeri pada bagian sekitar anus sejak 15 tahun yang lalu. Keluhan
dirasakan terus menerus. Ia mengatakan pada bagian sekitar anus tampak
adanya benjolan berisi nanah bercampur darah yang terus menerus terjadi
hingga saat ini. Ia mengatakan 15 tahun yang lalu pernah ada riwayat jatuh
hingga menyebabkan kelumpuhan total pada kedua kaki sehingga ketika
ingin berpindah tempat ia menggunakan pantatnya (mengesot). Ia
mengatakan sebelumnya dulu pernah berobat ke dokter umum namun hanya
beberapa kali dan obat yang diberikan tidak diminum secara rutin. Keluhan
lain seperti inkontinensia urin (+), mual muntah (-), perut kembung (-).
b. Riwayat penyakit dahulu

Tidak ada riwayat benjolan pada suprapubis sebelumnya. Penyakit


kronis seperti diabetes mellitus, hipertensi, keganasan disangkal.
c. Riwayat penyakit keluarga

Tidak ada keluhan serupa yang dialami oleh keluarganya. Riwayat


penyakit kronis seperti diabetes mellitus dan hipertensi disangkal.
Keluhan terkait tumor atau kanker di keluarganyapun disangkal.
d. Riwayat sosial :

Pasien merupakan seorang petani dan sering melakukan banyak


aktivitas. Pola makan dalam batas normal.
e. Riwayat alergi :
Riwayat penyakit alergi seperti asma, rhinitis alergi, alergi terhadap
makanan, dan pengobatan disangkal.

f. Riwayat pengobatan : Pasien mengkonsumsi obat untuk


mengurangi demam dan sakit kepala yang dirasakan.
2.3 Pemeriksaan Fisik

4
 Keadaan umum : Tampak sakit ringan
 Kesadaran : Compos metis
 GCS : E4 V5 M6
 Tanda vital : TD : 110/70 mmHg, Nadi 84 x/menit (cukup dan kuat
angkat), RR 20 x/menit, suhu 36, 5 °C
 Berat badan : 50kg
 Tinggi badan : 165 cm
o Pemeriksaan Kepala dan Leher
 Kepala : Normochepali
 Mata : Anemis (-/-), Refleks pupil (+/+)
 Leher : KGB (-)
o Pemeriksaan Thorax (depan dan belakang)
 Inspeksi : Bentuk dada simetris, pergerakan dinding dada kiri
dan kanan simestris , serta tidak tampak adanya retraksi dinding dada.
 Palpasi : Fremitus raba normal kedua lapang paru
 Perkusi : Sonor kedua lapang paru
 Auskultasi :
Vesikuler Ronki Wheezing
+ + - - - -
+ + - - - -
+ + - - - -

o Pemeriksaan Jantung
 Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
 Palpasi : Iktus kordis kuat angkat cukup

5
 Perkusi : Batas jantung kanan pada ICS 4 line parasternal
dextra
Batas jantung kiri pada ICS 5 mid klavikula sinistra
Batas pinggang jantung, ICS 3 line parasternal
sinistra
Batas artas ajntung pada ICS 2 line parasternal sinistra
 Auskultasi : S1 S2 tunggal regular, murmur (-)
o Pemeriksaan Abdomen
 Inspeksi : Distensi tidak ada
 Auskultasi : Bising usus (+) normal selama 12-16 x/menit
 Perkusi : Timpani pada 4 kuadran
 Palpasi : Nyeri tekan (-)

 Pemeriksaan Ekstermitas
 Akral hangat : + +
+ +

6
 Edema : - -
- -

 Status Lokalis
 Telinga
Bagian Dextra Sinistra
Auricula  Bentuk normal  Bentuk normal
 Nyeri Tarik (-)  Nyeri Tarik (-)
 Nyeri tragus (-)  Nyeri tragus (-)
 Cairan (-)  Cairan (-)
 Hematoma (-)  Hematoma (-)
Mastoid  Bengkak (-)  Bengkak (-)
 Nyeri tekan (-)  Nyeri tekan (-)
CAE  Serumen (-)  Serumen (-)
 Hiperemis (-)  Hiperemis(-)
 Korpus alieum (-)  Korpus alieum (-)
 Sekret (-)  Sekret (-)
Membran timpani  Retraksi (-)  Retraksi (-)
 Bulging (-)  Bulging (-)
 Hiperemis (-)  Hiperemis (-)
 Edema (-)  Edema (-)
 Perforasi (-)  Perforasi (-)
 Cone of light (+)  Cone of light (+)

Tes Pendengaran
Bagian Dextra Sinistra
Tes Bisik Normal Normal
Tes Rinne Normal Normal
Tes Weber (-) lateralisasi (-) lateralisasi

7
Tes swabach Normal Normal

AD AS

 Hidung
Pemeriksaan Hidung Cavum Nasi Dextra Cavum Nasi Sinistra
Hidung bagian luar Inspeksi : Inpeksi :
 Bentuk normal  Bentuk normal
 Deformitas (-)  Deformitas (-)
 Hiperemis (-)  Hiperemis (-)
 Massa (-)  Massa (-)
 Septum deviasi (-)  Septum deviasi (-)
Palpasi : Palpasi :
 Nyeri tekan (-)  Nyeri tekan (-)
Rhinoskopi Anterior  Mukosa normal  Mukosa normal
 Sekret (-)  Sekret (-)
 Cavum nasi normal  Cavum nasi normal
 Septum nasi  Septum nasi
normal normal
 Konka media dan  Konka media dan
inferior normal inferior normal
 Meatus media dan  Meatus media dan
inferior normal inferior normal

 Mulut dan Tenggorokan


Bagian Kelainan Keterangan
Mulut Mukosa Basah berwarna merah

8
muda
Lidah Bersih, basah Gerakan
normal kesegala arah
Gigi geligi Gigi lengkap, karies
(-)
Uvula Letak ditengah,
hiperemis (-)
Tonsil Ukuran T1/T1, tenang,
hiperemis (-/-) , kripta
melebar (-/-), detritus
(-/-)
Arkus faring Mukosa normal,
simetris , dan reflex
muntah (+)
Laringoskopi indirek Laring Mukosa normal,
epiglottis normal

 Leher
Ditemukan massa pada colli sinistra , dengan ukuran 5 cm , padat dan nyeri
tekan -
2.4 Pemeriksaan Penunjang
 USG tiroid
 Biopsi
2.5 Diagnosis Banding
 Limfoma
2.6 Diagnosis Kerja
 Susp karsinoma nasofaring
2.7 Planning

9
 Terapi simptomatik
 Rujuk Ke RS Sanglah
2.8 Prognosis
Dubia at malam

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Tenggorok


 Nasofaring
Berhubungan erat dengan beberapa struktur penting misalnya adenoid,
jaringan limfoid pada dinding lateral faring dengan resessus faring yang disebut
sebagai fosa rosenmuller, kantong rathke, yang merupakan invaginasi struktur
embrional hipofisis serebri, tonus tubarius, suatu refleksi mukosa faring diatas
penonjolan kartilago tuba eustacius, konka foramen jugularis yang dilalui oleh

10
nervus glosofaringeus, nervus vagus, dan asesorius, vena juguaris interna bagian
petrosus os.tempolaris dan foramen laserum serta muara tuba eustacius.
 Orofaring
Disebut juga sebagai mesofaring dengan batas atas adalah palatum mole,
batas bawahnya adalah tepi atas glotis, kedepan adalah rongga mulut, sedangkan
kebelakang adalah vertebra servikal. Struktur yang terdapat pada rongga orofaring
adalah dinding posterior faring, tonsil palatina, arkus faring anterior dan posterior,
uvula, tonsil lingual, dan foramen sekum.
 Laringofaring (Hipofaring)
Batas laringofaring disebelah superior adalah tepi atas yaitu dibawah valekula
epiglotis berfungsi untuk melindungi glotis ketika menelam minuman atau bolus
makanan pada saat bolus tersebut menuju sinus piriformis (muara glotis bagian
medial dan lateral) dan ke esofagus. Nervus laring superior berjalan di antara
lipatan ariepiglotika dan kartilago tiroid. Batas anteriornya adalah laring, batas
inferior adalah esofagus serta batas posterior adalah vertebra servikalis. Lebih
kebawah lagi terdapat otot dari lamina krikoid dan dibawahnya terdapat muara
esofagus (lihat Gambar 1).

Gambar 3.1 Anatomi Tenggorok.2

11
3.2 Anatomi Nasofaring
Nasofaring merupakan suatu ruang atau rongga yang berbentuk kubus yang
terletak di belakang hidung. Batas-batas rongga nasofaring, di sebelah depan
adalah koana (nares posterior). Sebelah atas, yang juga merupakan atap adalah
basis cranii. Sebelah belakang adalah jaringan mukosa di depan vertebra servikal.
Sebelah bawah adalah ismus faring dan palatum mole, dan batas lainnya adalah
dua sisi lateral.2

Gambar 2. Anatomi Hidung dan Nasofaring Tampak Samping.2

Batas - batas nasofaring adalah (Soepardi, 2012) :

 Superior : basis kranii, diliputi oleh mukosa dan fascia


 Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke
posterior, bersifat subjektif karena tergantung dari palatum durum
 Anterior : koana, oleh os vomer dibagi atas koana kanan dan kiri.
 Posterior :
- Vertebra cervicalis I dan II
- Fascia space = rongga yang berisi jaringan longgar
- Mukosa lanjutan dari mukosa atas
 Lateral :
- Mukosa lanjutan dari mukosa atas dan belakang

12
- Muara tuba eustachii
- Fossa rosen mulleri

Gambar 3. Anatomi Nasofaring Tampak Belakang.3

Bangunan-bangunan penting yang terdapat di nasofaring adalah:2

1. Adenoid atau Tonsila Lushka


Bangunan ini hanya terdapat pada anak-anak usia kurang dari 13 tahun. Pada
orang dewasa struktur ini telah mengalami regresi.
2. Fosa Nasofaring atau Forniks Nasofaring
Struktur ini berupa lekukan kecil yang merupakan tempat predileksi fibroma
nasofaring atau angiofibroma nasofaring.

3. Torus Tubarius
Merupakan suatu tonjolan tempat muara dari saluran tuba Eustachii (ostium
tuba)
4. Fossa Rosen mulleri
Merupakan suatu lekuk kecil yang terletak di sebelah belakang torus tubarius.
Lekuk kecil ini diteruskan ke bawah belakang sebagai alur kecil yang disebut
sulkus salfingo-faring. Fossa Rosenmulleri merupakan tempat perubahan atau
pergantian epitel dari epitel kolumnar/kuboid menjadi epitel pipih. Tempat
pergantian ini dianggap merupakan predileksi terjadinya keganasan nasofaring.

13
Walaupun fossa Rosen mulleri atau dinding lateral nasofaring merupakan lokasi
keganasan tersering, tapi kenyataannya keganasan dapat juga terjadi di tempat-tempat
lain di nasofaring:1

1. Dinding atas nasofaring atau basis kranii dan tempat di mana terdapat adenoid
2. Di bagian depan nasofaring yaitu terdapat di pinggir atau di luar koana
3. Dinding lateral nasofaring mulai dari fosa Rosenmulleri sampai dinding faring
dan palatum molle

Gambar 4. Anatomi nasofaring.1

Antara nasofaring dengan corpus vertebra terdapat spasium retrofaring


dan spasium prevertebralis. Di dalam spasium retropharyngeal ada nodus
retropharyngeal lateral Rouviere. Nodus ini merupakan nodus pertama pada aliran
limfatik nasofaring dan dapat diidentifikasi sebagai nodul berukuran 3-5 mm akan
tetapi, pada 35% pasien dengan KNF, limfadenopati servikal dapat ditemukan tanpa
adanya pembesaran nodus retropharyngeal lateral. Aliran limfatik dari nasofaring
mengalir dalam arah anteroposterior menuju ke basis krani dimana nervus IX dan XII
berada. Jalur aliran limfatik lainnya meliputi drainase ke limfonodus servikal
posterior dan jugulodigastrik.1

14
3.3 Karsinoma Nasofaring
3.3.1 Definisi
Karsinoma Nasofaring merupakan tumor ganas yang timbul pada epitelial
pelapis nasofaring yang menunjukkan bukti adanya diferensiasi skuamosa
mikroskopik ringan atau ultrastruktur. Tumor ini bermula dari dinding lateral
nasofaring (fosa russenmuller) dan dapat menyebar ke dalam atau keluar
nasofaring menuju dinding lateral, posterosuperior, dasar tengkorak, palatum,
kavum nasi, dan orofaring serta metastase ke kelenjar limfe leher. Tipe KNF
terbanyak adalah keganasan sel skuamosa.3,4,5

3.3.2 Epidemiologi
Pada tahun 2018, perkiraan global kejadian kanker di seluruh dunia telah
dilaporkan sekitar 18,1 juta kasus, dengan 129.079 kasus tersebut adalah KNF
yang memperkirakan tingkat standar usia (ASR) 1,5 per 100.000 orang. Pada
tahun yang sama, sebanyak 72.987 kematian akibat KNF telah dilaporkan, yaitu
0.8% dari total kematian akibat kanker. Membandingkan kejadian dengan jenis
lain, distribusinya di seluruh dunia sangat tidak seimbang. KNF adalah kanker
langka di Amerika Serikat (ASR 0,45) dan sebagian besar negara Eropa (ASR
0,44). Namun, ini jauh lebih umum di Asia, terutama di negara-negara Tenggara
(ASR 5.0) dan Asia Timur (ASR 2.7) di mana 27% dan 50% dari total kasus KNF
telah dilaporkan.6

3.3.3 Etiologi

Sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab karsinoma nasofaring adalah


Virus Epstein-Bar, karena pada semua pasien karsinoma nasofaring didapatkan titer
anti-virus EB yang cukup tinggi. Titer ini lebih tinggi dari titer orang sehat, pasien
tumor ganas leher dan kepala lainnya. Namun virus ini bukan satu-satunya faktor,

15
karena banyak juga faktor lain yang mempengaruhi kemungkinan timbulnya tumor
ini yaitu seperti:2,4
a. Faktor Genetik
Perubahan genetik mengakibatkan proliferasi sel-sel kanker secara
tidak terkontrol. Perubahan ini sebagian besar diakibatkan karena mutasi,
putusnya kromosom, dan kehilangan sel-sel somatik. Beberapa penelitian
menyebutkan bahwa HLA (Human Leucocyte Antigen) berperan penting
dalam kejadian KNF. Analisis genetik pada populasi endemik menunjukkan
orang-orang dengan kelemahan pada gen HLA (Histocompatibility Locus
Antigen) memiliki resiko dua kali lebih tinggi untuk menderita karsinoma
nasofaring. Teori tersebut didukung dengan adanya studi epidemiologik
mengenai angka kejadian dari kanker nasofaring. Kanker nasofaring banyak
ditemukan pada masyarakat keturunan Tionghoa.

b. Faktor Lingkungan
Beberapa kebiasaan/makanan telah dilaporkan berhubungan dengan
meningkatnya resiko dari KNF. Mengkomsumsi ikan asin dan makanan yang
diawetkan yang mengandung volatile nitrosamin, merupakan faktor
karsinogenik yang penting yang berhubungan dengan KNF. Dan telah terbukti
bahwa mengkonsumsi ikan asin sejak anak-anak meningkatkan resiko KNF di
Cina Selatan. Selain itu, orang yang mengkonsumsi rokok selama 10 tahun
atau lebih mempunyai resiko yang tinggi terhadap KNF, tetapi paparan yang
rendah terhadap asap rokok sebagai perokok pasif dan mengkonsumsi alkohol
bukan merupakan faktor resiko KNF. Faktor lain yang diduga berperan dalam
terjadinya kanker nasofaring adalah debu, asap rokok, uap zat kimia, asap
kayu bakar, asap dupa, serbuk kayu industri, dan obat-obatan tradisional,
tetapi hubungan yang jelas antara zat-zat tersebut dengan kanker nasofaring
belum dapat dijelaskan.
c. Faktor Virus Epstein-Bar

16
Virus Epstein-Barr merupakan karsinogen yang menjadi penyebab
beberapa keganasan pada manusia, termasuk KNF. Serum antibodi IgA yaitu
virus capsid antigen (VCA) dan early antigen (EA) berhubungan signifikan
dengan KNF. Pada hampir semua kasus karsinoma nasofaring dikaitkan
dengan keberadaan virus Ebstein Barr. Virus ini diklasifikasi sebagai anggota
famili virus Herpes yang saat ini telah diyakini sebagai agen penyebab
beberapa penyakit yaitu, mononucleosis infeksiosa, penyakit Hodgkin,
limfoma-Burkitt dan kanker nasofaring. Untuk mengaktifkan virus ini
dibutuhkan suatu mediator. Jadi, adanya virus ini tanpa faktor pemicu lain
tidak cukup untuk menimbulkan proses keganasan.

3.3.4 Patogenesis
Nasofaring berhubungan erat dengan beberapa struktur. Bagian anterior
nasofaring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, sehingga
sumbatan hidung merupakan gangguan yang sering timbul. Penyebaran tumor
ke lateral akan menyumbat tuba muara eustachius sehingga akan
menimbulkan gangguan pendengaran dan penumpukan cairan di telinga
tengah. Di bagian posterior dinding nasofaring melengkung ke atas dan ke
depan, terletak di bawah korpus os sphenoid dan bagian basilar os oksipital.
Nekrosis akibat penekanan mungkin timbul di tempat-tempat tersebut. Di
supero-posterior torus tubarius terdapat resesus faring atau fossa rosenmuleri
dan tepat di ujung posterosuperiornya terdapat foramen laserum. Tumor dapat
menjalar kea rah intracranial dalam dua arah, yang masing-masing
menimbulkan gejala neurologis yang khas. Perluasan langsung melalui
foramen laserum ke sinus kavernosus dan fossa cranii media menyebabkan
gangguan pada N.III, IV, VI dan kadang N.II. Penyebaran ke kelenjar faring
lateral dan di sekitar selubung karotis / jugularis pada ruang retroparotis akan
menyebabkan gangguan pada N. IX, N. X, N.XI, dan N.XII 10

17
3.3.5 Manifestasi Klinis

Pada tahap awal, tumor ini sulit diidentifikasi. Jika ada massa di leher,
penyakit saraf, atau metastasis jauh, pasien biasanya sudah dalam stadium lanjut.
Gejala termasuk hidung tersumbat, mimisan, tinnitus, telinga penuh, nyeri telinga,
diplopia, trigeminal neuralgia dan massa leher.5 Gejala ini dikelompokkan dalam 4
kelompok, yaitu:2

1. Gejala nasofaring
Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung.
2. Gejala telinga
Gangguan pada telinga merupakan gangguan dini yang timbul karena
tempat asal tumor dekat muara tuba eustachius (fossa rosenmuller).
Gangguan dapat berupa tinitus, rasa tidak nyaman, nyeri telinga (otalgia),
dan dapat terjadi gangguan pendengaran.
3. Gejala mata, seperti diplopia.
4. Gejala saraf, meliputi gangguan saraf III, IV, V dan VI. Neuralgia
trigeminal merupakan gejala yang sering ditemui. Adanya keterlibatan
saraf IX, X, XI dan XII menandakan bahwa karsinoma dalam tingkat
lanjut atau disebut sebagai sindrom Jackson. Apabila mengenai seluruh
saraf otak disebut dengan sindrom unilateral. Prognosis pasen akan
menjadi buruk jika ditemukan adanya destruksi tulang tengkorak.

3.3.6 Diagnosis

Diagnosis kanker nasofaring dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan penunjang.

a. Anamnesis

18
Gejala yang biasanya dikeluhkan adalah gejala hidung, gejala telinga,
gejala mata dan saraf, dan gejala metastasis/leher. Gejala berupa hidung
tersumbat, mukus berdarah, tinitus, telinga penuh, sakit telinga, diplopia dan
trigeminal neuralgia (saraf III, IV, V, VI) dan benjolan di leher.5
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan status generalis dan status lokalis. Pemeriksaan
nasofaring dapat dilakukan dengan rinoskopi posterior dan nasofaringoskop.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan massa leher, kelumpuhan saraf
kranial, dan tampak massa pada nasofaring pada pemeriksaan dengan
nasofaringoskop.2,5
c. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan Radiologi
Bagian koroner, aksial dan sagital dari CT scan/MRI nasofaring
bentuk pemeriksaan radiologis (tanpa atau dengan kontras) membantu
mengamati tumor primer dan menyebar ke jaringan sekitarnya dan
kelenjar getah bening. Untuk metastasis jauh, diperlukan rontgen dada,
scan tulang, dan ultrasonografi abdomen. Endoskopi hidung NBI (Narrow
Band Imaging) adalah pemeriksaan radiologis, yang sangat cocok untuk
perawatan selanjutnya dari residu dan residu yang dicurigai.5

- Pemeriksaan Patologi Anatomi


Karsinoma nasofaring dikonfirmasi dengan spesimen anatomi
patologis dan biopsi nasofaring. Hasil biopsi menunjukkan jenis dan
derajat diferensiasi keganasan. Spesimen biopsi dari nasofaring dapat
diambil dengan bius lokal atau umum. Diagnosis pasti didasarkan pada
pemeriksaan PA dari biopsi nasofaring. Pada saat yang sama, biopsi
aspirasi jarum halus atau biopsi insisi/reseksi kelenjar getah bening
serviks bukanlah diagnosis yang jelas. Biopsi dilakukan dengan
menggunakan tang biopsi yang dimasukkan melalui hidung atau mulut di

19
bawah panduan rinoskopi posterior atau nasofaringoskopi rigid/fiber.
Pelaporan diagnosis karsinoma nasofaring berdasarkan kriteria WHO
yaitu:5
1. Karsinoma sel skuamosa berkeratin (WHO 1)
2. Karsinoma tidak berkeratin: berdiferensiasi (WHO 2) dantidak
berdiferensiasi (WHO 3)
3. Karsinoma basaloid skuamosa

Biopsi aspirasi jarum halus (BAJH) dapat dilakukan jika diduga


kuat bahwa kelenjar leher yang bermetastasis ke tumor nasofaring ganas
membesar, yaitu internal jugular chain superior, posterior cervical
triangle node, dan kelenjar getah bening supraklavikular yang membesar.
Biopsi tidak boleh dilakukan sebelum tumor ibu ditemukan.5

- Pemeriksaan laboratorium
Untuk histologi nonkeratinisasi atau tidak berdiferensiasi,
pertimbangkan pengujian EBV dalam tumor dan darah. Cara umum untuk
mendeteksi EBV dalam spesimen patologis termasuk hibridisasi in situ
untuk EBV-encoded RNA (EBER) atau pewarnaan imunohistokimia untuk
latent membran protein (LMP). Kadar EBV DNA dalam serum atau
plasma dapat dihitung dengan menggunakan polymerase chain reaction
(PCR) yang menargetkan urutan genom dari DNA EBV seperti BamHI-
W, EBNA, atau LMP; tes ini bervariasi dalam sensitivitasnya (Pastor, et
al., 2018).

Tabel 1. Sistem TNM pada kanker nasofaring berdasarkan AJCC edisi 8 tahun 2017.7

Tumor (T) Kelenjar getah bening (N) Metastasis (M)


T: Tumor primer N: Pembesaran KGB M: Metastasis jauh
regional
T0: Tidak tampak tumor, NX: Pembesaran KGB M0: Tidak ada metastasis jauh
tetapi positif EBV pada tidak dapat dinilai
KGB leher

20
T1s: Karsinoma in situ N0: Tdak ada pembesaran M1: Terdapat metastasis jauh
KGB
T1: Tumor terbatas di N1: Metastasis KGB
nasofaring, atau tumor servikal unilateral
meluas ke orofaring dan/atau unilateral
dan/atau rongga hidung atau bilateral
tanpa keterlibatan metastasis KGB
parafaring retrofaringeal dengan
ukuran terbesar ≤6 cm
di atas batas kaudal
dari kartilago krikoid
T2: Tumor meluas ke daerah N2: Metastasis KGB
parafaring dan/atau servikal bilateral,
infiltrasi ke pterigoid dengan ukuran
medial, pterigoid lateral terbesar ≤6 cm di atas
dan/atau otot prevertebra batas kaudal dari
kartilago krikoid
T3: Tumor menginvasi N3: Metastasis KGB
struktur tulang dan/atau bilateral, dengan
sinus paranasal. ukuran terbesar ≥6 cm
atau terletak di bawah
kartilago krikoid

T4: Tumor dengan perluasan


intrakranial dan/atau
terdapat keterlibatan
saraf kranial, fossa
infratemporal,
hipofaring, orbita,
kelenjar paratiroid
dan/atau infiltrasi ke
permukaan lateral dari
otot pterigoid lateral
Tabel 2. Stadium kanker nasofaring.7

Stadium T N M
Stadium 0 T1s N0 M0
Stadium 1 T1 N0 M0
Stadium II T1 N0, N1 M0
T2 N0, N1
Stadium III T0, T1, T2 N2 M0
T3 N0, N1, N2
Stadium IVA T4 N0, N1, N2 M0
Semua T N3
Stadium IVB Semua T Semua N M1

3.3.7 Diagnosis Banding 11,12

21
1. Limfoma
Limfoma merupakan tumor kedua tersering pada daerah kepala dan
leher. Keluhan yang dialami pasien dapat berupa benjolan daerah leher
, nyeri pada tulang , sefalgia, penurunan berat badan, demam
berkepanjangan.
2. Neuroblastoma olfaktori
Kanker ini cukup jarang terjadi, sekitar 2% dari semua tumor traktus
sinonasal. Keluhan yang paling sering terjadi adalah obstruksi nasal
dan epistaksis. Selain itu bisa terjadi adanya cephalgia, rhinorrea,
anosmia, dan gangguan penglihatan. Pada pemeriksaan imaging
didapatkan adanya massa yang memanjang melewati cribiform plate.
3. Polip nasal
Pada polip nasal, keluhan yang biasanya timbul adalah obstruksi
saluran napas, epistaksis, dan postnasal drip. Pada pemeriksaan fisik
rhinoskopi anterior ditemukan adanya massa pada meatus nasal.

3.3.8 Penatalaksanaan7

Terapi radiasi (RT) adalah pengobatan terbaik dan merupakan komponen


penting dari pengobatan maksud kuratif KNF nondisseminated. Pembedahan tidak
memiliki peran dalam pengobatan awal mengingat kekhususan anatomi daerah
tersebut. Peran pembedahan saat ini terbatas untuk menyelamatkan sisa penyakit atau
relaps.

Teknik perencanaan 3D dan terapi radiasi termodulasi intensitas (IMRT)


dapat meningkatkan hasil tanpa memperburuk toksisitas dan dapat menawarkan
perlindungan yang lebih baik dari berbagai organ di area yang biasanya membatasi
dosis radiasi yang dapat diberikan (penggunaan IMRT dapat mengurangi xerostomi
yang sering terlihat dengan iradiasi kelenjar ludah) [IIA].

22
a. Pengobatan tahap awal (stadium I dan II)
Perawatan untuk tumor tahap awal adalah RT, termasuk kedua sisi
leher dan kelenjar getah bening retropharyngeal. Dosis harus 66-70 Gy untuk
tumor primer dan daerah kelenjar getah bening yang terkena, dan 50 Gy untuk
leher yang tidak terlibat. Pada pasien yang diobati dengan IMRT saja, tingkat
kelangsungan hidup bebas metastasis jauh selama 5 tahun adalah 92-94%.
Mengingat toksisitas yang signifikan dari kemoradioterapi bersamaan
(CT/RT) dan prognosis yang secara umum sangat baik dari kanker nasofaring
stadium II dengan IMRT, peran pemberian kemoterapi bersamaan dengan
radiasi pada semua pasien stadium II tetap harus didefinisikan dengan jelas,
meskipun pertimbangan basis individu harus dibuat berdasarkan faktor risiko
seperti penyakit nodal yang signifikan, perluasan tumor parapharyngeal, dan
kadar EBV plasma.
b. Pengobatan stadium lanjut lokal (III dan IV A/B)
CT/RT bersamaan adalah pengobatan standar untuk karsinoma
nasofaring lanjut lokoregional (dengan CDDP pada 100 mg/m 2 setiap 21 hari)
secara substansial meningkatkan kontrol lokoregional dibandingkan dengan
RT eksklusif, tetapi metastasis jauh adalah sumber utama kegagalan
pengobatan. Jika terdapat kelainan servikal yang menetap setelah pengobatan
CT/RT standar, operasi penyelamatan servikal harus dilakukan. Dalam kasus
dengan penyakit serviks besar (N3), terlepas dari respon terhadap CT/RT,
penggunaan sistematisnya dapat dipertimbangkan. Ini bisa sangat relevan
dalam kasus dengan WHO tipe 1 histologi WHO. Namun, morbiditas dari
pendekatan ini dapat menjadi substansial dan belum diterima secara umum.
Tidak ada penelitian untuk mengklarifikasi poin ini secara pasti.
c. Pengobatan penyakit berulang dan metastasis (RMNPSCC) (IV C)
Dalam pengaturan kekambuhan lokal dan/atau regional, tim
multidisiplin harus menilai kemungkinan penyelamatan terapi lokal, baik

23
dengan pembedahan atau penyinaran ulang, dengan atau tanpa kemoterapi.
Pendekatan ini dapat menyelamatkan sebagian kecil kasus, meskipun dengan
biaya toksisitas yang tinggi. Pemilihan satu atau pendekatan lain belum jelas.
Hasil terbaik dicapai bila interval bebas penyakit sebelumnya lebih lama. Jika
kekambuhan loko-regional dari NPSCC terjadi, pengobatan lokal dengan
pembedahan dan/atau kemo-radioterapi direkomendasikan.

24
Gambar 5. Algoritma diagnosis dan tatalaksana KNF.5

3.3.9 Follow-Up7
- Penilaian akhir (2-3 bulan setelah akhir perawatan)
 Pemeriksaan lokal dan regional ditambah fibroskopi nasofaring
 FDG-PET / CT dan / atau RMI
- Dua tahun pertama
 Pemeriksaan lokal dan regional ditambah fibroskopi nasofaring (setiap 3
sampai 4 bulan)
 Rontgen dada, tes fungsi tiroid, CT/MRI (tahunan)
- Dua sampai lima tahun
 Pemeriksaan lokal dan regional ditambah fibroskopi nasofaring (setiap 6
bulan)
 Rontgen dada, tes fungsi tiroid, CT/MRI (tahunan)
3.3.10 Komplikasi dan Prognosis

Komplikasi pasca radioterapi seperti komplikasi mulut dan aural, dan


kelumpuhan saraf kranial sering terjadi pada pengobatan KNF.8

a. Komplikasi oral pasca radioterapi


- Xerostomia (80% sampai 100%)
- Mucositis (60% dari minggu ketiga sampai keempat setelah dimulainya
radioterapi)
- Kandidiasis (16% sampai 67%)
b. Osteoradionecrosis
Penyakit gigi meningkatkan risiko osteoradionecrosis (ORN). Oleh
karena itu, pemeriksaan gigi sebelum radioterapi sangat penting untuk
mengurangi risiko ORN.

25
c. Kelumpuhan saraf kranial
d. Otitis Media dengan Efusi

Seperti kebanyakan penyakit neoplastik lainnya, prediktor prognosis yang


paling kuat adalah stadium KNF. Menurut American Cancer Society, tingkat
kelangsungan hidup 5 tahun untuk pasien dengan stadium 0 mendekati 100% dan ini
berkurang menjadi sekitar 80% dan 60% untuk stadium I dan II. Untuk pasien dengan
stadium III, IVA, ini turun menjadi antara 30% dan 40%. Pasien dengan stadium
IVB, yaitu penyakit metastasis jauh, memiliki tingkat kelangsungan hidup 5 tahun
sebesar 10%. Luasnya tumor primer harus dinilai dengan MRI dan/atau CT scan.9

26
BAB IV

KESIMPULAN

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang timbul pada epitelial pelapis
nasofaring yang menunjukkan bukti adanya diferensiasi skuamosa mikroskopik
ringan atau ultrastruktur. Penyebab karsinoma nasofaring adalah Virus Epstein-Bar,
karena pada semua pasien karsinoma nasofaring didapatkan titer anti-virus EB yang
cukup tinggi. Titer ini lebih tinggi dari titer orang sehat, pasien tumor ganas leher dan
kepala lainnya. Namun virus ini bukan satu-satunya faktor, karena terdapat faktor
yang mempengaruhi kemungkinan timbulnya tumor ini yaitu seperti faktor genetic
dan faktor lingkungan. Diagnosis karsinoma nasofaring ditegakan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada kasus diatas berdasarkan
keluhan dan gejala, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang yang telah
dilakukan pada pasien didapatkan bahwa adanya benjolan di leher bagian kiri pasien
dan keluhan yang dirasakan pasien diduga karena adanya karsinoma pada bagian
nasofaring , sehingga pengobatan yang bisa dilakukan untuk saat ini adalah terap
simptomatik tergantung dari keluhan pasien dan merujuk pasien ke RS sanglah untuk
dilakukan tindakan lebih lanjut.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Adams GL, Boies LR, Higler PH. Boies, 2012. Buku Ajar Penyakit THT.
Edisi 6. Effendi H, editor. Jakarta: EGC.
2. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, 2012. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Dan Leher, Edisi Ke-7.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI
3. Snell RS, 2012. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, ed. 6. Jakarta:
EGC.
4. Anggidian M P, Imanto M. 2017. Tumor Nasofaring dengan Diplopia Pada
Pasien Usia 44 Tahun. Medula, 7(4):181.
5. Kementerian Kesehatan RI, 2017. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
Kanker Nasofaring.

6. Richardo, Timmy & Prattapong, Pongphol & Ngernsombat, Chawalit &


Wisetyaningsih, Nurulfitri & Iizasa, Hisashi & Yoshiyama, Hironori &
Janvilisri, Tavan. (2020). Epstein-Barr Virus Mediated Signaling in
Nasopharyngeal Carcinoma Carcinogenesis. Cancers. 12. 2441.
10.3390/cancers12092441.

7. Pastor, M., Lopez Pousa, A., Del Barco, E., Perez Segura, P., Astorga, B. G.,
Castelo, B., Bonfill, T., Martinez Trufero, J., Grau, J. J., & Mesia, R. (2018).
SEOM clinical guideline in nasopharynx cancer (2017). Clinical &
translational oncology : official publication of the Federation of Spanish
Oncology Societies and of the National Cancer Institute of Mexico, 20(1), 84–
88. https://doi.org/10.1007/s12094-017-1777-0

28
8. Ministry of Health Malaysia, 2016. Management of Nasopharingeal
Carcinoma. Malaysia: MaHTAS.
9. Petersson F. (2015). Nasopharyngeal carcinoma: a review. Seminars in
diagnostic pathology, 32(1), 54–73.
https://doi.org/10.1053/j.semdp.2015.02.021
10. Ballenger, JJ.,1997. Audiologi. Dalam Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok,
Kepala dan Leher. Edisi 13, Jilid II, Alih Bahasa Staf Ahli Bagian THT FK-
UI/ RSCM, Jakarta, Binarupa Aksara, 273-300.
11. Paulino AC. Nasopharyngeal Cancer. 2016. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/988165-overview
12. Thompson LDR. Olfactory neuroblastoma. Head Neck Pathol. 2009;3(3):252-259. 
10. Wei WI, Sham J S. Nasopharyngeal carcinoma. The Lancet, 2005. 365(9476):
2041–2054. doi:10.1016/s0140-6736(05)66698-6 

29

Anda mungkin juga menyukai