ANALISA KASUS
klinis pasien dengan tampilan seperti sesak napas saat istirahat atau aktivitas,
kelelahan, edema tungkai. Sesak yang muncul setelah pasien berjalan sekitar 50
meter merupakan klasifikasi gagal jantung berdasarkan fungsional NYHA kelas
III, dimana pasien terdapat batasan aktivitas bermakna. Tidak terdapat keluhan
saat istirahat, tetapi aktivitas fisik ringan menyebabkan kelelahan, palpitasi, atau
sesak napas.
Sejak ± 1 minggu SMRS, pasien mengeluh sesak napas yang semakin
memberat. Pasien sudah tidak melakukan pekerjaan apapun tapi sesak napas tetap
ada meskipun pasien beristirahat. Pasien tidak bisa tidur karena sesak semakin
bertambah jika posisi berbaring. Sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca, debu, dan
emosi. sesak juga tidak disertai mengi dan nyeri dada. Pasien mengeluh batuk
yang semakin berat terutama jika pasien berbaring, batuk berdahak putih kental
tidak berdarah. Berdasarkan hasil anamnesis di atas, didapatkan bahwa terjadi
progresivitas dari penyakit gagal jantung yang dialami secara fungsional menjadi
NYHA kelas IV, dimana pasien tidak dapat melakukan aktivitas fisik tanpa
keluhan. Terdapat gejala saat istirahat dan keluhan meningkat saat melakukan
aktivitas.
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit sebelumnya. Dalam keluarga pasien
terdapat riwayat penyakit jantung, yaitu ayah pasien menderita penyakit jantung
koroner, ibu pasien menderita gagal jantung kongestif, saudara kandung
menderita penyakit jantung koroner. Pasien memiliki kebiasaan makan dengan
porsi yang banyak dan tidak memiliki batasan menu serta jarang berolahraga.
Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum tampak sakit sedang dan kesadaran
composmentis. Tekanan darah 90/60 mmHg, nadi 120x/menit, ireguler, frekuensi
pernapasan 26 x/menit, dan suhu 36,2ºC. Status generalis didapatkan kepala
dalam batas normal. Pada status lokalis leher didapatkan adanya peningkatan
tekanan vena jugularis (5+3) cm H2O. Pada regio thorax, didapatkan adanya
ronchi basah halus pada basal kedua paru (+/+), ictus cordis terlihat dan teraba
pada ICS VI Linea Axilaris Anterior, batas jantung kiri di ICS VI Linea Axilaris
Anterior, dan Gallop (+). Pada regio abdomen didapatkan cembung, nyeri tekan
epigastrium (+), dan hepatomegali. Pada ekstremitas inferior dextra et sinistra
didapatkan adanya pitting edema pretibial.
dari kardiomegali adalah akibat dilatasi ventrikel kiri, dilatasi ventrikel kanan,
adanya efusi perikard, hipertrofi ventrikel kiri, dan hipertrofi ventrikel kanan.
Pada pasien ini tatalaksana farmakologis yang diberikan adalah Digoxin 2x1
tab, Furosemid i.v 2x1 Amp (20 mg), Captopril 2x6.25 mg tab, dan OBH syr 3x1
C. Tujuan diagnosis dan terapi gagal jantung yaitu untuk mengurangi morbiditas.
Tindakan preventif dan pencegahan perburukan penyakit jantung tetap merupakan
bagian penting dalam tatalaksana penyakit jantung.
Digoxin merupakan obat antiaritmia dan merupakan agen inotropik. Digoxin
menghambat Na-K ATPase, yang pada gilirannya menyebabkan peningkatan
ketersediaan kalsium intraseluler dalam miokardium dan sistem konduksi.
Inotropi dan otomatisitas kemudian meningkat sementara kecepatan konduksi
berkurang. Terapi secara tidak langsung menyebabkan stimulasi parasimpatis
sistem saraf otonom, dengan efek yang berakibat pada nodus sino-atrium (SA)
dan atrioventrikular (AV).
Digoxin mengurangi pengambilan kembali katekolamin di terminal saraf,
membuat pembuluh darah lebih sensitif terhadap katekolamin endogen atau
eksogen. Meningkatkan kepekaan baroreseptor, dengan konsekuensi peningkatan
aktivitas saraf sinus karotis dan peningkatan penarikan simpatis untuk setiap
peningkatan tertentu dalam tekanan arteri rata-rata. Pada konsentrasi yang lebih
tinggi, meningkatkan aliran simpatis dari sistem saraf pusat (SSP) ke saraf
simpatis jantung dan perifer. Ini juga memungkinkan eflux progresif kalium
intraseluler, dengan konsekuensi peningkatan kadar kalium serum.
Digoksin memiliki bioavailibilitas sebesar 60-80% pada pemberian tablet,
onset 30 menit sampai 2 jam dengan pemberian per oral, onset 5 sampai 30 menit
pada pemberin intravena. Durasi kerja obat yaitu 3-4 hari dengan waktu puncak
nya adalah 1-3 jam pada pemberian oral. Digoksin dimetabolisme di hepar dan
eliminasi nya 57-80% melalui urine, 9-13% melalui feses, digoksin memiliki
waktu paruh 1-3 hari. digoksi diindikasikan pada penderita fibrilasi atrial, irama
sinus dengan gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II-IV NYHA). Dosis
pemberian digoksin pada fibrilasi atrial adalah 10-15 mcg/kgBB dengan
pemberian oral, dan 0,125-0,25 mg per oral pada gagal jantung. Kontraindikasi
pemberian digoksin yaitu bila Blok AV derajat 2 dan 3 (tanpa pacu jantung tetap),
hati-hati jika pasien diduga sindroma sinus sakit, sindroma pre-eksitasi, dan
riwayat intoleransi digoksin. Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat
pemberian digoksin adalah blok sinoatrial dan blok AV, aritmia atrial dan
ventrikular, terutama pada pasien hipokalemia, dan tanda keracunan digoksin:
mual, muntah, anoreksia, serta gangguan melihat warna.
Furosemid merupakan obat golongan diuretik loop, dimana obat ini bekerja
dengan menghambat reabsorpsi ion natrium dan klorida pada tubulus ginjal
proksimal dan distal serta loop Henle; dengan mengganggu sistem co-transport
yang mengikat klorida, menyebabkan peningkatan air, kalsium, magnesium,
natrium, dan klorida. Furosemid memiliki biovailabilitas sebesar 47-64% pada
pemberian oral dengan onset 30-60 menit pada pemberian per oral, 30 menit pada
pemberian intramuskular, dan 5 menit melalui intravena. Waktu puncak obat ini
adalah 1-2 jam pada pemberian oral, dan kurang dari 15 menit melalui intravena.
Durasi kerja obat adalah 6-8 jam melalui oral dan 2 jam melalui intravena.
Furosemid dimetabolisme di hepar, dieliminasi melalui urine dengan waktu paruh
30-120 menit pada pasien dengan fungsi ginjal normal, dan 9 jam pada pasien
dengan end stage renal disease.
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis
atau gejala kongesti (kelas rekomendasi I, tingkatan bukit B).Tujuan dari
pemberian diuretik adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan hangat)
dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien,
untuk menghindari dehidrasi atau reistensi. Pada edema yang berkaitan dengan
gagal jantung kongestif, sirosis hepatid, dan penyakit renal, dosis pemberian nya
adalah 20-80 mg per oral satu kali per hari, 20-40 mg IV atau IM satu kali. Pada
hipertensi bisa diberikan dengan dosis 20-80 mg per oral dua kali dalam satu hari.
efek samping dari pemberian furosemide yaitu hiperurisemia dengan 40% kasus,
serta hipokalemia sebesar 14-60% kasus. efek samping lain yang bisa timbul
adalah anafilaksis, anemia, diare, hipomagnesemia, hipotensi, hipokalsemia,
nausea, dan lain-lain.
Captopril merupakan obat golongan ACEI (Angiotensin Converting Enzyme
Inhibitors). ACEI menyebabkan dilatasi arteri dan vena dengan secara kompetitif
menghambat konversi angiotensin I menjadi angiotensin II (vasokonstriktor