Anda di halaman 1dari 7

BAB IV

ANALISA KASUS

Pada kasus ini didapatkan seorang pasien perempuan berinisial Ny. S


berusia 65 tahun, saat ini dirawat di bangsal penyakit dalam, ruang Ahmad Dahlan
1/3, Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang. Pasien memiliki keluhan utama
sesak napas yang memberat sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Apabila
dilihat dari keluhan utama pasien yaitu sesak napas, maka dapat diperkirakan
terdapat dua organ yang mungkin mengalami kelainan, yaitu paru dan jantung.
Pasien mengatakan bahwa pasien mengalami sesak napas sejak ± 2 bulan
SMRS. Sesak muncul pertama kali setelah melakukan aktivitas seperti berjalan
sejauh 100 meter. Sebelumnya, pasien tidak ada keluhan saat melakukan aktivitas
yang sama. sesak tidak dipengaruhi cuaca, debu, dan emosi. Pasien mengeluhkan
jantung seperti berdebar kencang seperti akan keluar. Keluhan mengi, nyeri dada,
batuk tidak ada. Keluhan mual, muntah, nyeri ulu hati tidak ada. Pasien pernah
berobat untuk mengurangi keluhan sesak dan diberikan obat yaitu aspilet dan
clopidogrel. Pasien tidak mengeluh kaki bengkak karena pasien mengatakan
dirinya gemuk jadi tidak mengetahui apakah kakinya bengkak atau tidak.
Berdasarkan keluhan di atas dapat diperkirakan sesak napas yang dialami
merupakan kelainan dari organ jantung.
Sejak ± 1 bulan SMRS pasien mengeluh sesak napas yang dialami dirasakan
lebih memberat. Sesak muncul setelah pasien berjalan sekitar 50 meter. Pasien
juga merasakan sesak saat berbaring sehingga harus menggunakan 2-3 bantal saat
tidur. Pada malam hari, pasien sering terbangun karena tiba-tiba sesak napas.
Sesak tidak dipengaruhi cuaca, debu, dan emosi. Sesak juga tidak disertai mengi.
Pasien mengatakan jantung berdebar terus dirasakan. Keluhan nyeri dada tidak
ada. pasien juga mengeluh batuk berdahak berwarna putih kental, tidak berdarah,
dan batuk lebih sering muncul saat pasien berbaring dan membaik saat duduk.
Pasien mengeluh mual, muntah, nyeri ulu hati, dan perut terasa kembung.
Berdasarkan keluhan di atas, didapatkan adanya dyspneu d’effort, ortopneu,
paroxysmal nocturnal dyspneu, palpitasi, batuk, dan perasaan kembung yang
merupakan gejala dari gagal jantung. Gagal jantung merupakan kumpulan gejala

50 Universitas Muhammadiyah Palembang


51

klinis pasien dengan tampilan seperti sesak napas saat istirahat atau aktivitas,
kelelahan, edema tungkai. Sesak yang muncul setelah pasien berjalan sekitar 50
meter merupakan klasifikasi gagal jantung berdasarkan fungsional NYHA kelas
III, dimana pasien terdapat batasan aktivitas bermakna. Tidak terdapat keluhan
saat istirahat, tetapi aktivitas fisik ringan menyebabkan kelelahan, palpitasi, atau
sesak napas.
Sejak ± 1 minggu SMRS, pasien mengeluh sesak napas yang semakin
memberat. Pasien sudah tidak melakukan pekerjaan apapun tapi sesak napas tetap
ada meskipun pasien beristirahat. Pasien tidak bisa tidur karena sesak semakin
bertambah jika posisi berbaring. Sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca, debu, dan
emosi. sesak juga tidak disertai mengi dan nyeri dada. Pasien mengeluh batuk
yang semakin berat terutama jika pasien berbaring, batuk berdahak putih kental
tidak berdarah. Berdasarkan hasil anamnesis di atas, didapatkan bahwa terjadi
progresivitas dari penyakit gagal jantung yang dialami secara fungsional menjadi
NYHA kelas IV, dimana pasien tidak dapat melakukan aktivitas fisik tanpa
keluhan. Terdapat gejala saat istirahat dan keluhan meningkat saat melakukan
aktivitas.
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit sebelumnya. Dalam keluarga pasien
terdapat riwayat penyakit jantung, yaitu ayah pasien menderita penyakit jantung
koroner, ibu pasien menderita gagal jantung kongestif, saudara kandung
menderita penyakit jantung koroner. Pasien memiliki kebiasaan makan dengan
porsi yang banyak dan tidak memiliki batasan menu serta jarang berolahraga.
Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum tampak sakit sedang dan kesadaran
composmentis. Tekanan darah 90/60 mmHg, nadi 120x/menit, ireguler, frekuensi
pernapasan 26 x/menit, dan suhu 36,2ºC. Status generalis didapatkan kepala
dalam batas normal. Pada status lokalis leher didapatkan adanya peningkatan
tekanan vena jugularis (5+3) cm H2O. Pada regio thorax, didapatkan adanya
ronchi basah halus pada basal kedua paru (+/+), ictus cordis terlihat dan teraba
pada ICS VI Linea Axilaris Anterior, batas jantung kiri di ICS VI Linea Axilaris
Anterior, dan Gallop (+). Pada regio abdomen didapatkan cembung, nyeri tekan
epigastrium (+), dan hepatomegali. Pada ekstremitas inferior dextra et sinistra
didapatkan adanya pitting edema pretibial.

Universitas Muhammadiyah Palembang


52

Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik didapatkan adanya takikardia, nadi


ireguler, takipneu, peningkatan JVP, ronki, apex jantung bergeser ke lateral,
gallop, hepatomegali, dan edema perifer yang merupakan tanda klinis dari gagal
jantung. Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, pada pasien ini
memenuhi diagnosis gagal jantung kongestif menurut kriteria Framingham yaitu
adanya 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dengan tambahan 2 kriteria minor
bersamaan. Adapun kriteria mayor yang terpenuhi pada pasien ini adalah adanya
paroxysmal nocturnal dyspnoe, distensi vena leher, ronki paru, S3 Gallop, dan
peninggian tekanan vena jugularis. Kriteria minor yang ditemukan pada pasien ini
adalah edema ekstremitas, batuk, dyspnea d’effort, hepatomegali, dan takikardi.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hematokrit menurun, eosipenia,
monositosis, peningkatan nilai LED, peningkatan nilai ureum, dan hiponatremia.
Pada pemeriksaan EKG didapatkan adanya takikardia, infark miokard, dan
hipertrofi ventikel. Pemeriksaan radiologi thorax AP didapatkan kesan
cardiomegali. Hiponatremia adalah kondisi dimana kadar natrium didalam darah
<135 mEq/L, hiponatremia bisa disebabkan oleh beberapa kondisi seperti gagal
jantung kronik, hemodilusi, pelepasan arginine vasopresin, atau pun penggunaan
diuretik. Sedangkan, gambaran infark miokard dari hasil EKG pada pasien ini
merupakan salah satu kemungkinan penyebab dari gagal jantung yang dialami
oleh pasien serta terdapat gambaran gelombang Q juga mendukung untuk kondisi
infark.
Ada beberapa penyebab dimana fungsi jantung dapat terganggu. Yang
paling sering menyebabkan kemunduran dari fungsi jantung adalah kerusakan
atau berkurangnya otot jantung, iskemik akut atau kronik, meningkatnya resistensi
vaskuler dengan hipertensi, atau adanya takiaritmia seperti atrial fibrilasi (AF).
Penyakit jantung koroner adalah yang paling sering menyebabkan penyakit
miokard, dan 70% akan berkembang menjadi gagal jantung. Masing -masing 10%
dari penyakit jantung katup dan kardiomiopati akan menjadi gagal jantung juga.
Pada pasien ini didapatkan adanya kardiomegali yang merupakan kondisi
dimana ukuran jantung membesar, gambaran kardiomegali merupakan salah satu
gambaran abnormal yang dapat ditemukan pada gagal jantung. Berbagai penyebab

Universitas Muhammadiyah Palembang


53

dari kardiomegali adalah akibat dilatasi ventrikel kiri, dilatasi ventrikel kanan,
adanya efusi perikard, hipertrofi ventrikel kiri, dan hipertrofi ventrikel kanan.
Pada pasien ini tatalaksana farmakologis yang diberikan adalah Digoxin 2x1
tab, Furosemid i.v 2x1 Amp (20 mg), Captopril 2x6.25 mg tab, dan OBH syr 3x1
C. Tujuan diagnosis dan terapi gagal jantung yaitu untuk mengurangi morbiditas.
Tindakan preventif dan pencegahan perburukan penyakit jantung tetap merupakan
bagian penting dalam tatalaksana penyakit jantung.
Digoxin merupakan obat antiaritmia dan merupakan agen inotropik. Digoxin
menghambat Na-K ATPase, yang pada gilirannya menyebabkan peningkatan
ketersediaan kalsium intraseluler dalam miokardium dan sistem konduksi.
Inotropi dan otomatisitas kemudian meningkat sementara kecepatan konduksi
berkurang. Terapi secara tidak langsung menyebabkan stimulasi parasimpatis
sistem saraf otonom, dengan efek yang berakibat pada nodus sino-atrium (SA)
dan atrioventrikular (AV).
Digoxin mengurangi pengambilan kembali katekolamin di terminal saraf,
membuat pembuluh darah lebih sensitif terhadap katekolamin endogen atau
eksogen. Meningkatkan kepekaan baroreseptor, dengan konsekuensi peningkatan
aktivitas saraf sinus karotis dan peningkatan penarikan simpatis untuk setiap
peningkatan tertentu dalam tekanan arteri rata-rata. Pada konsentrasi yang lebih
tinggi, meningkatkan aliran simpatis dari sistem saraf pusat (SSP) ke saraf
simpatis jantung dan perifer. Ini juga memungkinkan eflux progresif kalium
intraseluler, dengan konsekuensi peningkatan kadar kalium serum.
Digoksin memiliki bioavailibilitas sebesar 60-80% pada pemberian tablet,
onset 30 menit sampai 2 jam dengan pemberian per oral, onset 5 sampai 30 menit
pada pemberin intravena. Durasi kerja obat yaitu 3-4 hari dengan waktu puncak
nya adalah 1-3 jam pada pemberian oral. Digoksin dimetabolisme di hepar dan
eliminasi nya 57-80% melalui urine, 9-13% melalui feses, digoksin memiliki
waktu paruh 1-3 hari. digoksi diindikasikan pada penderita fibrilasi atrial, irama
sinus dengan gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II-IV NYHA). Dosis
pemberian digoksin pada fibrilasi atrial adalah 10-15 mcg/kgBB dengan
pemberian oral, dan 0,125-0,25 mg per oral pada gagal jantung. Kontraindikasi
pemberian digoksin yaitu bila Blok AV derajat 2 dan 3 (tanpa pacu jantung tetap),

Universitas Muhammadiyah Palembang


54

hati-hati jika pasien diduga sindroma sinus sakit, sindroma pre-eksitasi, dan
riwayat intoleransi digoksin. Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat
pemberian digoksin adalah blok sinoatrial dan blok AV, aritmia atrial dan
ventrikular, terutama pada pasien hipokalemia, dan tanda keracunan digoksin:
mual, muntah, anoreksia, serta gangguan melihat warna.
Furosemid merupakan obat golongan diuretik loop, dimana obat ini bekerja
dengan menghambat reabsorpsi ion natrium dan klorida pada tubulus ginjal
proksimal dan distal serta loop Henle; dengan mengganggu sistem co-transport
yang mengikat klorida, menyebabkan peningkatan air, kalsium, magnesium,
natrium, dan klorida. Furosemid memiliki biovailabilitas sebesar 47-64% pada
pemberian oral dengan onset 30-60 menit pada pemberian per oral, 30 menit pada
pemberian intramuskular, dan 5 menit melalui intravena. Waktu puncak obat ini
adalah 1-2 jam pada pemberian oral, dan kurang dari 15 menit melalui intravena.
Durasi kerja obat adalah 6-8 jam melalui oral dan 2 jam melalui intravena.
Furosemid dimetabolisme di hepar, dieliminasi melalui urine dengan waktu paruh
30-120 menit pada pasien dengan fungsi ginjal normal, dan 9 jam pada pasien
dengan end stage renal disease.
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis
atau gejala kongesti (kelas rekomendasi I, tingkatan bukit B).Tujuan dari
pemberian diuretik adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan hangat)
dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien,
untuk menghindari dehidrasi atau reistensi. Pada edema yang berkaitan dengan
gagal jantung kongestif, sirosis hepatid, dan penyakit renal, dosis pemberian nya
adalah 20-80 mg per oral satu kali per hari, 20-40 mg IV atau IM satu kali. Pada
hipertensi bisa diberikan dengan dosis 20-80 mg per oral dua kali dalam satu hari.
efek samping dari pemberian furosemide yaitu hiperurisemia dengan 40% kasus,
serta hipokalemia sebesar 14-60% kasus. efek samping lain yang bisa timbul
adalah anafilaksis, anemia, diare, hipomagnesemia, hipotensi, hipokalsemia,
nausea, dan lain-lain.
Captopril merupakan obat golongan ACEI (Angiotensin Converting Enzyme
Inhibitors). ACEI menyebabkan dilatasi arteri dan vena dengan secara kompetitif
menghambat konversi angiotensin I menjadi angiotensin II (vasokonstriktor

Universitas Muhammadiyah Palembang


55

endogen kuat) dan dengan menghambat metabolisme bradykinin; tindakan ini


menghasilkan pengurangan preload dan afterload pada jantung. Inhibitor ACE
juga meningkatkan ekskresi natrium dan air dengan menghambat sekresi
aldosteron yang diinduksi angiotensin-II; peningkatan kalium juga dapat diamati.
Inhibitor ACE juga menimbulkan efek renoprotektif melalui vasodilatasi arteriol
ginjal. ACE inhibitor mengurangi remodeling jantung dan pembuluh darah yang
berhubungan dengan hipertensi kronis, gagal jantung, dan infark miokard.
Captopril memiliki waktu paruh 2 jam pada penderita gagal jantung, 20-40
jam pada pasien anuria. Onset pada respon inisial 15-30 menit pada pemberian per
oral dan respon puncak yaitu pada waktu 60-90 menit. Bioavailibilitas 70-75%,
dimetabolisme di hepar, dan dieliminasi 95% melalui urine. Kecuali
kontraindikasi, ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal jantung
simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %.ACEI memperbaiki fungsi
ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena
perburukan gagal jantung, dan meningkatkan angka kelangsungan hidup (kelas
rekomendasi I, tingkatan bukti A). ACEI kadang-kadang menyebabkan
perburukanfungsi ginjal, hiperkalemia, hipotensi simtomatik, batuk dan
angioedema (jarang), oleh sebab itu ACEI hanya diberikan pada pasien dengan
fungsi ginjal adekuat dan kadar kalium normal.
Indikasi pemberian ACEI yaitu fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, dengan
atau tanpa gejala. Kontraindikasi pemberian ACEI adalah riwayat angioedema,
stenosis renal bilateral, kadar kalium serum > 5,0 mmol/L, serum kreatinin > 2,5
mg/dL, dan stenosis aorta berat. Dosis pemberian captopril pada hipertensi akut
adalah 12,5-25 mg per oral, hipertensi dengan dosis inisial 25 mg 3 x/hari. Pada
gagal jantung kongestif (dengan diuretik dan digitalis) dosis inisial adalah 6,25-
12,5 mg per oral per 8 jam. Efek samping pemberian captopril adalah
hiperkalemia, hipotensi, pruritus, batuk, palpitasi, dan lain-lain.
Prognosis penyakit pada pasien ini adalah dubia ad malam pada fungsionam.
Menentukan prognosis pada gagal jantung sangat kompleks. Beragam etiologi,
usia, komorbiditas, variasi dalam perkembangan individu harus dipertimbangkan.
Beberapa kondisi yang berhubungan dengan prognosis buruk pada gagal jantung
pada pasien ini yaitu secara demografis adalah berusia lanjut, secara klinis

Universitas Muhammadiyah Palembang


56

terdapat iskemik, NYHA kelas III-IV, takikardi, gangguan bernapas yang


berhubungan dengan tidur. Secara elektrofisiologi terdapat takikardi, gelombang
Q, hipertrofi ventrikel kiri, dan secara laboratorium, terdapat hiponatremia.

Universitas Muhammadiyah Palembang

Anda mungkin juga menyukai