Anda di halaman 1dari 33

REFERAT

FINGERTIP INJURY

Penyusun:
Muhammad Syaifudin 17710116

Pembimbing:
dr. R. Muh. David Djayanegara, Sp.OT

SMF BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
RSUD IBNU SINA KABUPATEN GRESIK
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa berkat dan
rahmat-Nya lah penulis dapat menyelesaikan tugas referat “Fingertip Injury”
sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian di bidang Ilmu Bedah dalam
menyelesaikan Pendidikan dokter muda di Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya
Kusuma Surabaya.
Referat ini dibuat selain tugas, juga semoga dapat membantu teman sejawat
yang ingin mengetahui tentang “Fingertip Injury” dan juga membantu penulis
dalam mempelajari lebih dalam tentang “Fingertip Injury”.
Selain itu penulis ingin mengucapkan rasa hormat dan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
2. Direktur RSUD Ibnu Sina Kabupaten Gresik, atas kesempatan yang
diberikan sehingga saya dapat menimba ilmu dirumah sakit ini.
3. dr. Rochmad Yasin, Sp.U selaku Kepala Bagian Ilmu Bedah di RSUD Ibnu
Sina Kabupaten Gresik.
4. dr. R. Muh. David Djayanegara, Sp.OT selaku dokter pembimbing saya dan
teman-teman saya.
5. Kedua orang tua saya yang telah memberikan dukungan moril, materil,
maupun spiritual.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, maka dari
itu penulis mengharap kritik dan saran yang membangun. Semoga referat ini dapat
bermanfaat untuk dokter muda yang melaksanakan kepaniteraan klinik pada
khususnya, serta masyarakat pada umumnya, Aamiin.

Gresik, April 2019

ii
DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul...................................................................................... i

Kata Pengantar .................................................................................... ii

Daftar Isi............................................................................................... iii

BAB I Pendahuluan ............................................................................. 1

BAB II Tinjauan Pustaka

2.1. Anatomi Patella ....................................................................... 2

2.2. Biomekanikal genu ................................................................. 3

2.3. Fraktur Patella ........................................................................ 4

2.4. Mekanisme Cedera.................................................................. 5

2.5. Diagnosis dan manifestasi klinis............................................. 5

2.6. Klasifikasi fraktur patella ........................................................ 6

2.7. Terapi konservatif fraktur patella............................................ 7

2.8. Rencana preoperatif dan cara pembedahan fraktur patella ..... 8

2.9. Terapi operatif ......................................................................... 9

2.10. Open frakture ........................................................................ 12

2.11. Clinical outcome ................................................................... 12

2.12. Komplikasi ............................................................................ 12

2.13. Dislokasi Patella .................................................................... 15

2.14. Epidemiologi ......................................................................... 16

2.15. Etiologi .................................................................................. 17

iii
2.16. Mekanisme cedera ................................................................. 17

2.17. Manifestasi klinis .................................................................. 18

2.18. Diagnosis dan Prognosis ....................................................... 19

2.19. Terapi Non operatif ............................................................... 20

2.20. Tindakan pembedahan .......................................................... 22

2.21. Komplikasi ............................................................................ 22

BAB III Ringkasan ............................................................................... 23

DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Fingertip pada manusia adalah struktur khusus yang memiliki fungsi

kompleks, kehilangan fingertip biasanya tidak sepenuhnya berarti kecuali

kehilangan fungsinya satu komponen atau lebih . Pengetahuan anatomi dan

fungsional fingertip secara mendalam sangat diperlukan untuk memahami masing-

masing komponen secara individu dan bagaimana saling keterkaitan antara jari satu

dengan lainnya secara keseluruhan.

Fingertip terdiri dari elemen kerangka (phalanx distal, tendon, dan struktur

ligamen), kompleks kuku atau perionikium (matriks germinal dan steril, plat kuku,

selubung, dan lipatan kulit), jaringan jaringan ikat berserat dengan jaringan

subkutan, jaringan pembuluh darah, jaringan pembuluh darah , saraf dengan organ

ujung, dan kulit nonperionikial.

Phalanx distal memiliki kepala atau "tonjolan," diafisis atau poros, dan

dasar dengan permukaan artikular (Gambar 1.1). Korteks dorsal diafisis distal dan

tonjolan mendukung lempeng kuku dan matriks kuku yang mendasarinya. Kepala

dari phalanx distal adalah terminasi yang diperbesar dari phalanx dengan

tuberositas "berbentuk-U" yang disebut proses ungula

Permukaan yang kasar memungkinkan perlekatan jaringan ikat yang padat

untuk melubangi kulit dan subkutis dengan kuat untuk manipulasi objek agar tetap

aman. Bantalan kuku melekat dengan kuat ke arah ekspansi phalanx. Selain itu,

matriks kuku melekat dengan kuat pada aspek proksimal phalanx distal melalui

serat ekspansif dari ligamen kolateral radialis dan ulnar yang berfungsi untuk

menjangkar matriks ke dasar phalanx distal.

1
Tendon terminal (dari jari telunjuk, tengah, cincin, dan kecil) dan tendon

ekstensor pollicis longus (dari ibu jari) memiliki insersi terminal ke dasar dorsal

phalanx distal agak sempit dari proksimal ke phisis (Penyisipan hanya proksimal

dari phisis memungkinkan “fraktur Seymour” terjadi di ujung jari yang belum

matang.). Cedera pada tendon-tendon ini, koneksi tendonous, atau ke pangkal

dorsal dari phalanx distal dapat mengakibatkan “deformitas mallet.” Demikian

juga, cedera pada tendon, penyisipan tendon, atau fraktur melalui bagian dasar volar

dari phalanx distal dapat menyebabkan hilangnya fleksi sendi jari distal

interphalangeal (DIP).

Gambar 1 : Anatomi kerangka ujung jari dan sendi interphalangeal distal. Phalanx
distal memiliki proses ungual kasar dan membesar (UP) yang
disisipkan oleh ligamentum interoseus lateral (LIL) radial dan ulnar
pada distal dan berasal dari ligamen kolateral lateral proksimal dan
ekspansi lateral tendon ekstensor dan fleksor. LIL mendukung alas
kuku dan membantu melindungi struktur neurovaskular fingertip
(sumber kepustakaan 1)

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Fingertip

Perionikium (kompleks kuku) adalah struktur yang sangat penting untuk

fungsi digit/jai normal. Kompleks kuku memungkinkan untuk meningkatkan

manipulasi benda-benda kecil atau halus, membantu mengatur perfusi,

berkontribusi terhadap sensasi sentuhan, melindungi ujung jari, dan mungkin

merupakan struktur paling penting dari ujung jari (fingertip) dalam hal estetika.

Anatomi perionikium meliputi lapisan kuku (matrik steril dan germinal),

paronikium, eponikium, lipatan kuku, dan hyponychium. Plat kuku itu sendiri

adalah struktur tiga lapisan keras, kertinaceous yang dibentuk oleh kontribusi dari

berbagai komponen [2, 3]. Komponen perionikial dapat dianggap generatif atau

formatif dari plat kuku, atau membantu plat kuku sebagai struktur yang

membingkai dan melapisi kuku.

Komponen generatifnya adalah struktur epitel lapisan kuku yang sering

disebut sebagai matriks germinal, apa yang sering disebut matriks "germinal" atau

"germinative" ditetapkan sebagai kombinasi matriks intermediet dan dorsal.

Matriks intermediet terdiri dari matriks pada aspek proksimal dari lempeng

kuku yang melekat pada permukaan dalam lempeng kuku dan meluas ke arah

lunula. Matrik intermediet ini juga sebagai zona utama dari keratinisasi dan

pembentukan lempeng kuku. Lunula, atau jarak distal dari zona ini, sebagai

pembatas demarkasi matriks germinal yang lebih pucat-biru-abu-abu dan matriks

ventral yang lebih merah muda, sering disebut sebagai matriks steril.

3
Warna matriks germinal dianggap sangat berbeda karena cahaya tersebar

oleh inti yang lebih besar dari sel-sel yang sangat sintetik dari matriks intermediet

/ matriks germinal karena menghasilkan sebagian besar lempeng kuku dan

keratinnya. Pada kenyataannya, seluruh matriks memiliki warna ini, meskipun

hanya bagian distal yang terlihat dari bawah lipatan eponikial. Matriks intermediet

diperkirakan menghasilkan 20% lebih lempeng kuku berasal dari matriks ventral,

meskipun ini masih kontroversial [3-5, 7]

Gambar 2 :

Luas paling proksimal dari matriks germinal kombinasi biasanya kurang

dari 1 mm dari serat terminal dari tendon terminal phalanx distal. Pada lunula,

matriks distal atau ventral dimulai, disebut juga sebagai matriks "steril", atau secata

terminology disebut sebagai nail bed epithelium (NBE). Dikatakan bahwa lapisan

ini dapat berkontribusi sekitar 20% dari lempeng kuku karena lempeng kuku

menjadi lebih tebal tumbuh keluar secara distal di atas matriks ventral / NBE.

Matriks germinal lebih tebal dan memiliki pola menempel pada lempeng kuku,

sedangkan NBE menjadi punggung yang menempel secara distal dan lebih tipis.

4
NBE menghasilkan lapisan keratin tipis yang bergerak secara distal bersama

dengan lempeng kuku karena terus tumbuh secara terus menerus.

Secara histologi, matriks germinal berbeda dari NBE. Keduanya tidak

memiliki lapisan granular ke epitel, tetapi matriks germinal lebih tebal dan dengan

fibrocollagen dasar kuku. Mamelon (pucuk basaloid) lebih menonjol secara

proksimal ke lateral dan mengarah ke ujung jari.

5
Stabilitas lutut tercipta berkat kompleks stabilisasi pasif (ligament kolateral,

ligamen cruciate, meniscus, dan joint capsule) dan kompleks stabilisasi aktif

(quadriceps, hamstrings, dan musculus popliteus).2

Gambar 2.1. Anatomi sendi lutut dilihat dari lateral, medial, dan potongan sagittal.

Patella merupakan tulang sesamoid terbesar pada tubuh manusia. Patella

terletak pada tendon quadriceps dua pertiga proximal dari patella terbenam dan

berartikulasi dengan permukaan anterior dari condyles femoral dan dibagi secara

6
membujur menjadi facet lateral dan

medial. Sepertiga distal dari patella

tertaut pada tendon patellar

(patellar ligaments). Tendon

quadriceps tertaut pada batas

superior dari patella dan ekspansi

retinacular dari vastus medialis dan

vastus lateralis menjadi pembatas

dari patella.2 Patella juga

merupakan salah satu dari beberapa

Gambar 2.2 Tampak anterior lutut kanan1 tulang yang tidak memiliki

pembungkus periosteal. Patella mengeras pada usia 4 sampai 7 tahun.3

2.2. Biomekanikal Genu

Mekanisme ekstensor pada lutut merupakan hasil kombinasi kompleks

antara stabilitator statis dan dinamis. Pada mekanisme ini, patella menjadi tuas

untuk ekstensi lutut dengan cara memperkuat daya quadriceps yang berfungsi pada

mekanisme ekstensor lutut. Fungsi krusial patella pada mekanisme ekstensor adalah

untuk menjaga posisi kontraksi. Pada saat fleksi, patella terletak pada lekukan

femoral trochlea dan berperan sebagai penghubung otot quadriceps dan proximal

tibia. Pada fleksi 450 sampai 600, bagian proximal pada patella, bagian yang

terlapisi kartilago yang tebal, harus menahan tekanan terbesar.3

Patella juga memiliki peran penting pada ketahanan fleksi lutut. Patella akan

mengkonversi “tensile forces” menjadi “compression forces” dan memperlambat

fleksi lutut khususnya saat menuruni tangga atau berjalan turun. Hal ini disebut

7
sebagai Patella Femoral Joint Reaction (PFJR). Unutk melakukan fungsi ini,

patella harus menahan kekuatan yang besar yaitu sebesar 3200N yang setara dengan

4 sampai 5 kali berat badan.3

Diperkirakan membutuhkan waktu 8 sampai 12 minggu untuk

menyembuhkan faktur pada patella dan melalui 100.000 siklus fleksi dan ekstensi

pada periode tersebut.3

2.3. Fraktur patella

Gambar 2.3. (a,b) Fraktur dengan sedikit dan tanpa perpindahan tempat, dapat diterapi secara
konservatif. (c,d) Fraktur kominutif, patellectomy dapat dipertimbangkan sebagai pilihan terakhir.2

Fraktur pada patella memiliki prevalensi 1% dari seluruh cedera skeletal dan

sering terjadi pada rentang usia 20-50 tahun. Studi epidemiologi menunjukkan

bahwa insidensi pada laki-laki dua kali lebih besar dari pada perempuan. Fraktur

patella sebagian besar terjadi akibat cedera langsung. Pola fraktur yang terbentuk

biasanya berupa simple-2-part yang disebabkan benturan langsung dan

menyebabkan fungsi ekstensor menjadi melemah.3

Close fracture merupakan jenis fraktur yang paling sering terjadi, namun

sebanyak 7% dari kasus berupa open fracture. Penyebab terjadinya open fracture

patella adalah cedera dengan kecepatan tinggi. Kondisi ini dapat menyebabkan

kerusakan parah pada jaringan disekitarnya ditambah lagi kondisi fraktur kominutif

dan terjadi ruptur pada tendon dan otot pada mekanisme ekstensor. Menurut

catatan, 80% kasus open fracture patella biasanya disertai dengan cedera lainnya

8
seperti fraktur femur atau acetabulum, dislokasi traumatik sendi panggul, dan

kerusakan ligament lutut.3

Kasus tersering yang menjadi penyebab fraktur patella adalah kecelakaan

lalulintas 78,3%, kecelakaan kerja 13,7%, dan insiden lainnya 11,4%. Fraktur

akibat olahraga jarang terjadi.3

2.4. Mekanisme cedera

Fraktur patella dapat terjadi akibat direct force yang menghancurkan tulang

atau akibat indirect force berupa suatu traksi kuat yang dapat menarik tulang. Direct

injury biasanya berupa benturan keras pada dashboard mobil yang dapat

menyebabkan retakan bahkan fraktur kominutif tanpa cedera berat pada otot

ekstensor. Indirect injury biasanya terjadi pada kondisi dimana seseorang

melakukan kontraksi paksa pada quadriceps dan biasanya menghasilkan fraktur

transversal.2

2.5. Diagnosis dan manifestasi klinis

Diagnosis fraktur patella dapat ditegakkan melalui mekanisme cedera,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan radiologis. Pasien dengan cedera langsung pada

area lutut anterior dan tidak dapat menggerakkan sendi lutut secara aktif dapat

dicurigai menderita fraktur patella.3

Pemeriksaan fisik biasanya menujukkan adanya deformitas dan pada

palpasi dirasakan defect antara fragmen fraktur dan local hematoma. Pasien yang

tidak bisa meluruskan sendi lututnya menunjukkan adanya robekan pada

retinaculum medial dan lateral. Pada kasus dengan riwayat cedera pada dashboard

mobil, dengan cedera langsung ke lutut anterior atau proximal tibia, diperlukan

pemeriksaan sendi lutut dan sendi panggul. Evaluasi dari soft tissue juga merupakan

9
hal yang penting untuk menentukan terapi yang akan dilakukan pada pasien

kedepannya.3

2.6. Klasifikasi fraktur patella

Pada prinsipnya, fraktur traumatik patella dapat diklasifikasikan sebagai

transverse, vertical, kominutif, marginal atau osteochondral. Fraktur transverse

berbentuk horizontal sepanjang patella merupakan bentuk tersering yang muncul

akibat cedara indirek (contoh : terjatuh).3

Fraktur vertikal

biasanya terjadi pada ujung

inferior ke ujung superior

dapat stabil dan dapat

dirawat secara konservatif.

Fraktur pada ujung patella

dapat terjadi akibat adanya


Gambar 2.4. (a) Fraktur tranverse pada patella. (b) Diagram
penanganan fraktur tranverse patella dengan K-wires.2
cedera langsung pada

bagian samping patella. Fraktur kominutif biasanya terjadi pada pasien dengan

cedera multiple. Fraktur ini biasanya disertai dengan kerusakan jaringan yang

parah.3

10
Gambar 2.5. Klasifikasi fraktur patella berdasarkan AO/ASIF

2.7. Terapi konservatif fraktur patella

Fraktur non-displaced stabil (dislokasi kurang dari 2 mm) dapat dirawat

secara konservatif. Kasus ini harus dipastikan dengan fleksi 600 untuk memastikan

bahwa fraktur bersifat stabil dan tidak ada kecenderungan untuk terdislokasi.

Bahkan fraktur kominutif dapat diberikan perlakuan yang sama jika memenuhi

syarat tersebut. Kontraindikasinya adalah adanya fraktur chondral atau subchondral

yang harus di operasi meskipun memenuhi kriteria sebelumnya.3

11
Resiko terapi konservatif yaitu kehilangan fungsi ekstensi maksimal yang

disebabkan oleh non-union dari fragmen tulang dan kekakuan dari lutut yang

disebabkan immobilisasi yang lama.3

2.8. Rencana preoperative dan cara pembedahan fraktur patella

Sebelum dilakukan

pembedahan, perencanaan

preoperative harus dilakukan.

Hal ini termasuk memilih

implant, cara pembedahan

dan menentukan posisi

fragmen tulang untuk

menentukan perkiraan

pemasangan implant.
Gambar 2.6. Non-displaced fracture pada proximal
patella.
Sehingga operator dapat

menentukan pola fraktur dan menentukan peralatan yang digunakan. Prosedur

pembedahan dilakukan dengan anestesi epidural atau anestesi general dengan

pasien berada pada posisi supine. Antibiotik profilaksis harus diinjeksikan minimal

30 menit sebelum dilakukan insisi pada kulit. Cara pembedahan dapat dilakukan

dengan 2 cara, yaitu transverse approach, dengan mengesampingkan pertimbangan

kosmetik, memberikan akses yang baik kepada patella dan struktur ligamen pada

mekanisme ekstensor dan longitudinal midline incision, yang memberikan

exposure terbaik terhadap patella dan juga tidak menggangu proses implantasi TKA

selanjutnya.3

12
2.9. Terapi operatif

a. Modified Tension band wiring

Fraktur patella yang tidak stabil

membutuhkan tindakan operatif.

Metode fiksasi yang digunakan

untuk hal ini adalah modified

tension band wiring dengan

beberapa teknik kombinasi lainnya

seperti K-wires, screws dan cerclage

wiring. Dari sudut pandang

biomekanikal, tujuan pembedahan

adalah untuk menetralkan daya Gambar 2.7. (Atas) Gambar X-ray


preoperative dari fraktur patella
tegangan yang diterima patella pada kominutif. (bawah) 3 bulan setelah
operasi dengan penggunaan kombinasi
mekanisme ekstensor dan K-wires, screws, dan cerclage wiring
berbentuk angka 8
mengubahnya menjadi daya kompresi. Untuk hal ini, diperlukan setidaknya

2 K-wires yang diletakkan perpendicular terhadap garis fraktur dan

dilakukan pemasangan tension band berbentuk angka delapan untuk

memperkuat reduksi. Ujung dari K-wires kemudian dibenamkan di patella.

Sebagai tambahan, cerclage melingkar dapat dipasang disekitar equator

patella untuk menambah stabilitas konstruksi osteosintestik.3

b. Screw fixation with modified tension band

Fiksasi dengan screw dapat mengurangi resiko dislokasi fragmen patahan.

Screw diaplikasikan secara perpendicular terhadap garis patahan dan harus

sesuai dengan ukuran patella. Setelah fragmen terfiksasi menggunakan

13
screw, ditambahkan cerclage

sirkuler menggunakan

stainless steel atau braided

sutures. Metode ini dapat

dipertimbangkan karena

menjanjikan kesempatan

rehabilitasi yang lebih awal

dengan resiko iritasi yang


Gambar 2.8. (atas) Gambar X-ray preoperative
kecil.3 fraktur patella kominutif. (bawah) 3 bulan
setelah operasi menggunakan screw fixation and
c. Partial patellectomy modified tension band

Pada beberapa kasus, fraktur pada patella terdiri dari fragmen utama dan

fragmen kominutif pada bagian kutub bawah patella. Pada kondisi ini,

reduksi dan fiksasi yang stabil sulit untuk didapatkan, maka partial

patellectomy dapat dipertimbangkan. Namun, reseksi parsial dapat berujung

pada pemendekan jarak antara patella dan tuberositas tibia yang berakibat

menjadi patella baja dengan peningkatan kontak pressure pada

patellofemoral yang menimbulkan peningkatan resiko nyeri lutut anterior

dan mempercepat proses osteoarthritis. Untuk tetap menjaga mekanisme

ekstensor, setidaknya dibutuhkan bagian central patella dan dua pertiga

permukaan articular.3

d. Patellectomy

Proses mekanisme ekstensor memerlukan patella untuk dapat bekerja.

Patellectomy hanya dipertimbangkan bila tulang patella sudah tidak dapat

diselamatkan lagi. Beberapa studi menyatakan bahwa dmpak lanjutan dari

14
patellectomy sangat merugikan. Studi oleh Kaufer et al. melaporkan bahwa

dibutuhkan setidaknya 30% tenaga tambahan oleh kompleks quadriceps

untuk melakukan mekanisme ekstensor pada lutut setelah dilakukan

patellectomy. Ditambah lagi, daya traksi antara otot quadriceps dan tendon

patella akan meningkat 15-50% setelah dilakukan patellectomy. Hal ini

akan berakibat pada persistent anterior knee pain, area gerak yang terbatas,

pembengkakan, dan penurunan kekuatan quadriceps yang signifikan.

Karena dampak ini, maka patellectomy hanya dipertimbangkan pada kasus

osteomyelitis yang parah, atau pola patahan kominutif yang parah. Bahkan

pada fraktur kominutif yang parah, segala upaya unutk rekonstruksi harus

dilakukan terlebih dahulu.3

Gambar 2.9. Beberapa fraktur pada patella dan gambaran cara penanganan operatif

15
2.10. Open fracture

Terapi untuk open fracture pada patella memiliki algoritma yang sama

seperti patah tulang terbuka umumnya. Kasus ini membutuhkan intervensi sesegera

mungkin untuk menghindari terjadinya osteomyelitis dan septic arthritis.

Tergantung pada keparahan kerusakan jaringan sekitarnya dan kondisi umum

pasien, terapi yang dilakukan melalui beberapa tahapan. Tahapan yang dilakukan

adalah debridement, irigasi, pemberian antibiotik yang sesuai, dan dilakukan fiksasi

yang stabil. Penggunaan eksternal fiksasi tidak disarankan, indikasi penggunaan

fikasi external bergantung pada kerusakan jaringan disekitarnya. Segala upaya yang

dilakukan bertujuan untuk menutup jaringan yang terbuka.3

2.11. Clinical outcome

Literatur mengenai outcome fraktur patella baik secara klinis dan radiologis

masih terbatas meskipun perhitungan kemungkinan union sudah diketahui. masih

sedikit yang diketahui mengenai outcome fungsional, kualitas hidup dan fungsi

ekstrimitas bawah pasien.3

Bagaimanapun, berdasarkan konsensus terkahir, transverse fracture, yang

mengalami sedikit dislokasi dan diterapi konservatif memiliki outcome terbaik.

Sementara fraktur kominutif memiliki outcome 30-50% dari pasien mengeluhkan

nyeri persisten pada knee anterior dan 15-30% mengeluhkan ketidaksesuaian

fungsi sendi lutut.3

2.12. Komplikasi

a. Loss of knee motion

Komplikasi paling umum setelah fraktur patella dalah berkurangnya range

of motion (ROM). Infeksi, immobilisasi yang berkepanjangan post operasi

16
dan rehabilitasi yang tidak sesuai menjadi alasan utama hal ini terjadi.

Adanya trauma pada lutut yang menyebabkan kerusakan jaringan dan

menimbulkan adhesi berujung pada masalah yang sama.3

b. Loss of reduction

Loss of reduction terjadi pada

sekitar 20% fraktur patella

yang ditangani dengan

operasi. Hal ini biasanya

disebabkan oleh kesalahan

teknis, umumnya dikarenakan

kesalahan pemasangan atau

kesalahan pengaturan

tengangan pada tension band

yang berdampak pada

konstruksi yang tidak stabil

dan terjadi perpindahan


Gambar 2.10. (atas) X-ray fraktur tranverse patella.
3
fragmen fraktur. (tengah) 3 bulan setelah operasi tampak screw
terlepas dari fragmen patahan. (bawah) 3 bulan
c. Infeksi setelah operasi revisi dengan penambahan
modified tension band
Infeksi pada patella yang mengalami cedera terbuka memiliki resiko 3-10%.

Infeksi harus ditangan sesuai prosedur yang termasuk irigasi, debridement,

reseksi jaringan necrotik dan pengguanaan antibiotik yang sesuai. Pada

beberapa kasus langka, dapat terjadi osteomyelitis, maka tindakan

patellectomy dapat dipertimbangkan bila patella sudah tidak dapat

diselamatkan lagi.3

17
d. Delayed or non-union

Insidensi non-union atau delayed union pada fraktur patella berkisar antara

2.7 sampai 12,5%. Prinsip terapi pada non-union berdasar pada situasi klinis

dan kondisi pasien (contoh : umur, komorbid dan kebutuhan) untuk

mendapatkan strategi terapi yang paling optimal. Pasien dengan

kepentingan yang rendah, cenderung menyesuaikan cara berjalannya

dengan ekstensi penuh dan rotasi internal pada tungkai bawah dan tidak

membuthkan intervensi bedah. Namun, pada pasien dengan kegiatan fisik

yang berlebih atau seorang altet, biasanya akan membutuhkan revisi melalui

pembedahan.3

e. Patellafemoral osteoarthritis

Kemungkinan terjadinya patellofemoral osteoarthritis diperkirakan sebesar

8.5%. Cedera awal yang mengenai cartilage dapat berujung pada perubahan

degeneratif. Meningkatnya tahanan dan penurunan resistan mekanik akibat

kekurangan nutrient juga memungkinkan untuk mempercepat proses

degeneratif. Metode terapi yang digunakan dapat berfokus pada reduksi

permukaan articular untuk menghindari terjadinya post traumatic

osteoarthritis karena belum ada tindakan klinis yang berguna untuk

mengobati patellafemoral osteoarthritis. Pasien dengan patellafemoral

osteoarthritis biasanya memerlukan total knee arthroplasty pada usia

muda.3

18
2.13. Dislokasi patella

Dislokasi patella merupakan suatu

penyebab yang umum untuk hemarthrosis dan

memiliki hubungan erat terhadap berbagai

kelainan anatomi termasuk patella alta, throclea

dysplasia, dan malalignment ekstrimitas bawah.

Medial patellofemoral ligament (MPFL)

menstabilkan patella saat awal fleksi dan akhir

ekstensi, ligamen ini akan ruptur pada saat

dislokasi terjadi. Melalui evaluasi radiologis,

evaluasi terhadap MPFL sangat penting untuk

menentukan terapi pada manajemen recurrent instability. Terapi konservatif dapat

dilakukan pada dislokasi yang pertama kali dan memiliki prognosis yang baik pada

banyak pasien. Tindakan pembedahan ditujukan kepada pasien dengan dislokasi

berulang atau dislokasi pertama dengan komplikasi cedera osteochondral atau

cedera MPFL yang berat dengan kebutuhan fisiologis yang tinggi. Untuk kembali

pada bidang olahraga, dibutuhkan range of motion yang penuh, tidak ada rasa nyeri,

dan kekuatan otot yang simetris. Latihan dirumah dan perubahan pola hidup

dibutuhkan pada kegiatan sehari-hari sangat penting untuk mengurangi tingkat

kekambuhan dislokasi patella.4

Dislokasi patella merupakan cedera lutut yang umum dijumpai pada remaja

yang aktif. Dislokasi ini dapat menyebabkan nyeri pada lutut anterior, perasaan

tidak seimbang, dan terbatasnya aktivitas fisik yang signifikan. Dalam jangka

waktu lama, dislokasi patella dapat berujung pada cartilage deteoration, dan

19
meningkatkan resiko berkembangnya patellofemoral osteoarthritis sebanyak 3.4.

Pada sebagian besar kasus, patella terdislokasi ke lateral. Dislokasi yang berulang

mengacu pada episode dislokasi yang terjadi akibat cedera. Di sisi lain, habitual

dislocation merupakan suatu kondisi dimana patella mengalami dislokasi saat fleksi

dan akan terelokasi spontan saat pasien mulai berjalan.4

2.14. Epidemiologi

Dislokasi patella merupakan penyebab terbanyak kedua untuk traumatic

hemarthrosis pada lutut setelah robekan ligament cruciate anterior. Dislokasi

patella sering terjadi pada wanita dengan usia 10 sampai 17 tahun. Insidensinya

yaitu 104 dalam 100,000 orang pada wanita dan 29 dari 100,000 orang pada usia

10 sampai 17 tahun.4

20
Persentase dislokasi berulang bervariasi antara 15-80%. Resiko cedera

patellofemolar meningkat sampai 50% jika terjadi dislokasi kedua. Faktor

predisposisi lainnya untuk dislokasi berulang yaitu usia muda, skeletal immaturity,

cedera olahraga, general hypermobility, riwayat pada keluarga, dan riwayat

dislokasi patella kontralateral.4

2.15. Etiologi

Lebih dari 70% terjadinya dislokasi patella yang pertama kali disebabkan

karena olahraga dan sangat jarang terjadi saat melakukan aktivitas sehari-hari atau

saat mengalami cidera langsung. Patella akan cenderung mengalami dislokasi saat

menerima stess valgus pada posisi ekstensi terminal seperti terutama saat femur

berotasi kedalam terhadap tibia dengan kaki menapak di tanah. Patella berartikulasi

dengan permukaan anterior trochlear groove dan condilus femoral yang mana

menigkatkan efisiensi mekanik pada ekstensi lutut. Stabilitas sendi patellofemoral

dibentuk oleh konfigurasi tulang yang statis pada sendi patellofemoral, tahanan

passive dari non-contractile structure, dan stabilisasi aktif oleh kontraksi otot.4

2.16. Mekanisme cedera

Saat lutut dalam keadaan fleksi, dan

otot quadriceps dalam kondisi relaksasi,

patella dapat bergeser ke lateral secara

paksa oleh suatu daya yang hebat

(benturan), namun hal ini jarang terjadi.

Kasus yang lebih sering adalah dislokasi

akibat suatu trauma indirect force:

Kontraksi yang kuat dan tiba-tiba dari otot

21
quadriceps saat sendi lutut ekstensi dalam posisi valgus dan eksternal rotasi.

Keadaan ini biasanya terjadi dalam bidang olahraga terutama saat pemain berlari

kencang dan melakukan gerakan menghindar ke salah satu sisi. Patella akan

terdislokasi ke lateral dan ligament patellofemoral medial serta retinaculum fiber

akan robek. Faktor predisposisinya adalah variasi anatomi yaitu genu valgum,

torsio tibia, patella alta, intercondylar groove yang dangkal, dan juga

hipermobilitas patellar yang diakibatkan oleh kelemahan ligament general atau

kelemahan otot lokal.2

2.17. Manifestasi klinis

Saat terdislokasi pertama kali, pasien akan merasakan sensasi seperti

robekan dan perasaan seperti tempurung lutut yang lepas dari persendiannya, jika

terjadi saat berlari, pasien akan langsung terjatuh. Tidak jarang patella akan

langsung kembali ke tempatnya secara spontan, namun, jika tidak kembali secara

spontan, maka akan terlihat suatu deformitas berupa patella yang tidak di tempat

seharusnya yaitu berada pada lateral dari tempat yang seharusnya. Jika ini terjadi,

maka tidak ada gerakan pasif atau aktif yang dapat dilakukan pada sendi lutut. Jika

dislokasi kembali secara spontan, lutut mungkin membengkak dan mungkin akan

ada bekas memar serta akan terasa nyeri pada area medial sendi. Jika ditemukan

cairan pada sendi, aspirasi akan menunjukkan adanya darah. Jika ditemukan

gelembung-gelembung lemak, maka dapat dicurigai adanya fraktur osteochondral.

Pada dislokasi yang recurrent, gejala dan tanda lebih sulit dikenali, meskipun tetap

terasa tidak nyaman. Setelah kembali secara spontan, persendian akan terlihat

normal, namun test apprehension akan positif.2

22
2.18. Diagnosis dan prognosis

Gambar 2.11. (a) Dislokasi pada patella dextra. Patella dextra terdislokasi ke lateral. (b,c) X-ray
posisi anteroposterior dan lateral pada dislokasi traumatik pada patella
Lebih dari 90% dari dislokasi patella terjadi setelah mengalami daya fleksi

dan valgus pada lutut. Pada saat pasien mengalami dislokasi patella, pasien akan

merasakan sensasi “slippage” dari patella, nyeri lutut berat, dan persendian yang

bengkak akibat hemarthrosis. Dislokasi patella akan semakin parah dengan adanya

komplikasi cidera MPFL dan fraktur ostochondral yang dapat menyebabkan

mechanical locking yang dapat memperparah nyeri lutut anterior. Secara kronis,

pasien mungkin merasakan perasaan tidak nyaman yang berulang, nyeri lutut

persisten, sendi yang tidak berfungsi, dan hilangnya kepercayaan diri untuk

memulai kegiatan fisik sebelumnya. Aktivitas yang melibatkan pivot pada lutut

akan terbatas. Pada anamnesa, perlu diketahui mekanisme cedera, adanya riwayat

dislokasi sebelumnya, riwayat kelemahan ligamen secara umum, dan riwayat

keluarga tentang instabilitas patellofemoral.4

Dislokasi patella sering menyebabkan perdarahan pada sendi dengan

krepitasi. Adanya nyeri pada medial retinacular menjadi penanda adanya cedera

MPFL. Pemeriksaan fisik harus mengevaluasi general joint hypermobility dan

susunan rotasi serta angulasi dari tungkai bawah. Evaluasi dinamis dapat dilakukan

dengan meminta pasien melakukan jongkok dengan satu kaki. Q-angle, dibentuk

oleh vector dari tendon quadriceps dan patella, q-angle merupakan indikator

23
orientasi tertariknya patella oleh quadriceps. Meningkatnya Q-angle, menunjukkan

daya perpindahan lateral, dapat

disebabkan oleh femoral

anteversion yang berlebihan

dan meningkatnya rotasi

eksternal tibia. Q-angle dengan

fleksi memiliki reabilitas lebih

tinggi dari pada Q-angle yang

diekstensikan berdasarkan adanya hubungan antara tochlear groove dan tibia

karena Q-angle ekstensi dapat menjadi false low karena adanya kelemahan pada

stuktur medial retinacular. Meningkatnya Q-angle biasanya disertai oleh patella

yang menghadap kedalam dan atau tibia vara. Adanya J sign merupakan deviasi

lateral dari patella saat ekstensi terminal, dan bila tanda ini positif menandakan

adanya pergerakan abnormal dari patella. Posisi patella yang tinggi pada patella

alta dapat dilihat saat lutut difleksikan lebih dari 70 derajat. Asimetri juga dapat

dievaluasi pada proses ini. Test apprehension juga dapat digunakan untuk

mengevaluasi adanya kemungkinan instabilitas patella dengan kemungkinan cedera

MPFL dengan cara mengevaluasi ekspresi pasien kesakitan atau tidak.4

2.19. Terapi non operatif

Terapi non-operatif dapat dimulai dengan immobilisasi, manajemen nyeri,

rehabilitasi, dan melakukan modalitas terapi. Stelah mengalami dislokasi, lutut

yang mengalami dislokasi harus segera di mobilisasi dengan batas fleksi sampai 20

derajat saja untuk 3 sampai 6 minggu dengan weigh bearing yang terbatas dengan

atau tanpa tongkat bantu berjalan sehingga rupture MPFL dapat membaik. Durasi

24
immobilisasi yang lebih pendek meningkatkan resiko insidensi dislokasi berulang,

namun durasi immobilisasi yang terlalu lama akan membuat quadriceps melemah,

terbatasnya ROM dan degenerasi kartilago.4

Tujuan rehabilitasi adalah kembalinya ROM yang normal, memperkuat

kekuatan otot dan meningkatkan propriosepsi. Tanda keberhasilan terapi adalah

nyeri dan bengkak yang terkontrol. Cryotherapy efektif unutk menghilangkan nyeri

dan bengkak antara 40 jam sampai 3-4 minggu post-injury. Pemijatan, ultrasound,

dan electrotheraphy tidak memiliki manfaat untuk menghilangkan bengkak.

Stimulasi elektrik pada otot yang dikombinasikan dengan kontraksi isometric dapat

bermanfaat untuk mencegah atropi otot. ROM dapat ditingkatkan dengan teknik

Proprioceptive Neuromuscular Facilitation (PNF) hold/relax atau dengan berlatih

bersepeda. Pada pasien ini, biasanya ditemukan kekauan pada hip anterior, hal ini

dapat diatasi dengan “figure of four” pada posisi prone. Latihan kekuatan dapat

dicapai dengan stimulasi otot atau biofeedback untuk meningkatkan efisiensi

kontrol dari otot-otot spesifik. Latihan kekuatan herus melibatkan otot gluteal,

hamstring, dan otot trunkus lateral.4

Pasien dengan dislokasi patella biasanya berjalan dengan lutut terfleksi

untuk membantu menstabilkan patella yang berakibat pada berubahnya gait pasien.

Latihan gait harus dilatih juga sejak awal program terapi. Pasien harus berlatih

menapak, berjongkok, dan melompat. Edukasi terhadap pasien merupakan hal yang

penting. Pasien harus diajari mengenai pentingnya stabilitas tungkai, bagaimana

cara latihan dirumah, dan perubahan gaya hidup dalam kehidupannya untuk

menurunkan resiko dislokasi patella. Latihan dirumah bertujuan untuk menguatkan

otot dan menigkatkan stabilitas dinamis. Terakhir, pasien disarankan untuk

25
mengekstensikan kakinya jika terjadi dislokasi berulang untuk mengurangi rasa

tidak nyaman dan menghindari cedera yang lebih serius.4

2.20. Tindakan pembedahan

Pembedahan biasanya dilakukan pada pasien dengan recurrent patella

instability dan bertujuan unutk memperbaiki jaringan dan deficit tulang.

Perencanaan pembedahan dapat dilakukan dengan evaluasi radiologis.4

Tindakan pembedahan biasanya menggunakan insisi pada daerah medial.

Jika terjadi avulsi pada ligament patellofemoral medial dari femur, ligament ini

harus dikembalikan ke tempatnya. Ligament yang mengalami robekan segera

dijahit lansgung. Jika terjadi fraktur, maka fragment patahan harus dikeluarkan,

kecuali fragmen tersebut cukup besar dan masih memungkinkan untuk

menyambung dengan patahan utama. Setelah operasi, cetakan silinder dipasang

pada sendi lutut dalam kondisi ekstensi. Brace dapat digunakan setelahnya agar

sendi lutut dapat digerakkan. Latihan otot quadriceps juga dapat disarankan.2

2.21. Komplikasi

Recurrent dislocation, pasien dengan dislokasi pertama kali yang tidak

diterapi secara operatif memiliki kemungkinan 15-20% menderita dislokasi

berulang. Hal ini bergantung pada faktor predisposisi lainnya.2

26
BAB III

RINGKASAN

Fraktur patella dapat terjadi akibat adanya direct force, cidera langsung

terhadap tulang patella ataupun indirect force, akibat kontraksi atau dampak traksi

kuat yang berdampak pada patahnya patella dengan bentuk patahan tranverse,

vertical, kominutif, marginal atau osteochondral. Frakture patella dapat diterapi

secara konservatif atau pembedahan. Terapi konservatif hanya dilakukan pada

kasus fraktur dengan fragmen patahan yang stabil, kecuali patahan osteochondral.

Terapi pembedahan dilakukan untuk mengembalikan fungsi sendi sebaik mungkin

dengan berbagai Teknik seperti pemasangan screw, k-wires, dan modified tension

band. Open frakture pada patella diperlakukan sesuai dengan algoritma open

frakture lainnta. Tindakan uatama adanya debridement, irigasi, pemberian

antiobiotik dan pemasangan fiksasi yang stabil. Komplikasi yang dapat terjadi pada

fraktur patella adalah Loss of motion, loss of reduction, infeksi, delayed atau non-

union, patellofemoral osteoarthrtitis. Prognosis terbaik pada kasus close fraktur

transverse dan prognosis terburuk pada fraktur kominutif dengan pertimbangan

patellectomy.

Dislokasi patella terjadi akibat kontraksi yang kuat dan tiba-tiba dari otot

quadriceps saat sendi lutut ekstensi dalam posisi valgus dan eksternal rotasi.

Dislokasi patella biasanya akan terjadi ke lateral dengan penampakan deformitas

pada sendi lutut. Dislokasi patella dapat diterapi secara konservatif dan melalui

pembedahan. Terapi konservatif biasanya dilakukan pada sebagian besar kasus dan

bertujuan untuk mengimmobilisasi sendi lutut selama 3-6 minggu agar dapat

mengembalikan ROM, kekuatan otot, dan kemampuan propriosepsi pasien.

27
Tindakan pembedahan dilakukan pada pasien dengan recurrent patella instability,

untuk memperbaiki dan mengembalikan jaringan ke tempatnya semula. Komplikasi

yang dapat terjadi akibat dislokasi patella adalah recurrent patellar dislocation.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Fox, et al. 2012. The Basic Science Of The Patella : Structure, Composition,
and Function. The hournal of Knee Surgery.
2. Solomon, Loui et al. 2010. Apley’s System Of Orthopaedics and Fractures Ed.
9th. United Kingdom : Hodder Arnold.
3. Gwinner, Clemens et al. 2016. Current concepts review : fractures of patella.
GMS Interdisciplinary Plastic and Reconstructive Surgery DGPW 2016, Vol. 5
4. Gao, Chan, Aaron Yang. 2018. Patellar Dislocations: Review of Current
Literature and Return to Play Potential. Current Physical Medicine and
Rehabilitation Reports (2018) 6:161–170

29

Anda mungkin juga menyukai