Anda di halaman 1dari 47

Laporan Kasus

PNEUMOTORAKS TRAUMATIK

Presentan : dr. Septriana Putri


Hari/Tanggal :
Waktu : 13.00 WIB
Tempat : Ruang KonferensiPulmonologi dan Kedokteran
Respirasi FK. Unand/RS Dr.M.Djamil Padang
Pembimbing : Dr.Oea Khairsyaf, Sp.P (K)
Dr. Russilawati, Sp.P (K)
Penguji :

DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2023
PNEUMOTORAKS TRAUMATIK

Septriana Putri1, Oea Khairsyaf1, Russilawati Russilawati1

1
Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas,
RSUP Dr M Djamil Padang

Abstrak
Pneumothoraks spontan adalah kondisi abnormal paru yang ditandai dengan penumpukan udara pada ruang
pleura di antara paru dan dinding dada, dengan penyebab primer maupun sekunder. Telah dilaporkan seorang
pasien laki-laki umur 41 tahun, dengan keluhan sesak napas yang meningkat sejak 1 hari sebelum masuk
rumah sakit terutama ketika beraktivitas dan nyeri dada sebelah kiri ketika batuk dan menarik nafas, serta
riwayat tuberkulosis dan hidropneumothoraks. Pasien didiagnosis dengan Pneumothoraks Sinistra Spontan
Sekunder Berulang ec Bekas TB Paru + Bullae Paru Sinistra. Pasien terpasang chest tube yang disambungkan
ke SINAPI selama 7 hari dan dilakukan CT Thoraks tidak didapatkan lagi gambaran pneumothoraks,
kemudian pasien dilakukan pleurodesis kimiawi dengan doksisiklin. Pemantauan setelah 30 hari dinilai
tindakan pleurodesis pada pasien ini berhasil
Kata kunci : Pneumothoraks Spontan,

TRAUMATIC PNEUMOTHORAX

Abstract

Spontaneus pneumothorax is an abnormal condition which is marked by accumulation of the air at pleural
space in between lung and thorax’s wall, caused by primary or secondary aetiology. A 41st male patient,
with chief complaint increasing shortness of breath 1 day before admission, especially during activity and left
chest pain while coughing and inspiration, and history of tuberculosis and hydropneumothorax. This patient
was diagnosed with Spontant Secondary Left Pneumothorax ec Ex TB + Left Lung Bullae. Patient was using
chest tube that connected to SINAPI for 7 days, performed CT thorax which showed none of pneumothorax’s
sign, then performed chemical pleurodesis by doxycicline to the patient. Monitoring after 30 days assessed
pleurodesis action in this patient was successful.
Keywords: Spontaneous Pneumothorax,
BAB I

PENDAHULUAN

Pneumotoraks adalah udara di dalam ruang pleura, yaitu udara di antara paru-paru dan dinding
dada. Pneumotoraks dapat dibagi menjadi pneumotoraks spontan, yang terjadi tanpa trauma sebelumnya
atau penyebab lain yang jelas, dan pneumotoraks traumatik, yang terjadi akibat trauma langsung atau
tidak langsung pada dada. Subkategori dari pneumotoraks traumatik adalah pneumotoraks iatrogenik,
yang terjadi sebagai konsekuensi yang disengaja atau tidak disengaja dari manuver diagnostik atau
terapeutik. Pneumotoraks spontan dibagi lagi menjadi pneumotoraks spontan primer dan sekunder.
Pneumotoraks spontan primer terjadi pada individu yang sehat, sedangkan pneumotoraks spontan
sekunder terjadi sebagai komplikasi dari penyakit paru yang mendasari, yang paling sering adalah
penyakit paru obstruktif kronik. penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).1

Pneumothoraks didefinisikan sebagai terdapatnya udara pada ruang pleura. Walaupun tekanan
intrapleura negatif sepanjang siklus respirasi, udara tidak memasuki ruang plaura karena jumlah total
tekanan parsial udara pada kapiler darah hanya 93,9 kPa (706 mmhg). Namun, perpindahan udara dari
kapiler darah ke ruang pleura akan membutuhkan tekanan pleura lebih rendah dari -54 mmHg yang sulit
terjadi pada kondisi normal. Namun, jika terdapat udara pada ruang pleura, salah satu dari tiga hal
berikut dapat terjadi yakni adanya hubungan antara ruang alveolus dan pleura, hubungan langsung atau
tidak langsung antara atmosfer dan ruang pleura, atau adanya organisme yang dapat menghasilkan gas
pada ruang pleura.2

Insidensi pneumothoraks sulit diketahui karena episode nya banyak yang tidak diketahui,
dimana laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan dengan perbandingan 5:1.3 Pneumothoraks
paling banyak terjadi pada dewasa dibandingkan anak.1 Data di Inggris menunjukan bahwa insidensi
tahunan pneumothoraks spontan sekunder setiap tahunnya adalah 14,1 per 100.000 populasi. Jumlah ini
tampaknya konsisten dengan data dari penelitian sebelumnya.4 Data dari Rumah Sakit Soetomo
Surabaya dari tahun 2000-2004 disebutkan bahwa terdapat 392 kasus pneumotoraks spontan sekunder
yang dirawat di bangsal paru dan pasien dengan penyakit yang mendasari yaitu Tuberkulosis sebanyak
304 kasus (76%).5

Guidelines The British Thoracic Society dan the Belgian Society of Pulmonology untuk
penanganan PSS merekomendasikan pleurodesis untuk tindakan akut dan pencegahan berulangnya
pneumotoraks. Pleurodesis kimiawi medis direkomendasikan pada pasien yang tidak bisa dioperasi.6,7
Kita juga harus mempertimbangkan pencegahan pneumotoraks berulang, mengingat kematian (4,1%)
terkait dengan komplikasinya.8

Agen sklerosis yang ideal harus berbiaya rendah, mudah didapat, mudah digunakan, relatif
bebas dari efek samping, dan sangat efisien. Pleurodesis kimiawi menonjol karena mudah dilakukan,
memiliki banyak variasi agen sklerosis dan telah terbukti efektif.9 Laporan kasus ini bertujuan untuk
memberikan informasi tentang diagnosis dan tatalaksana pada pasien PSS yang disebabkan oleh
penyakit paru obstruksi yang dilakukan tindakan pleurodesis.
PRESENTASI KASUS

Seorang pasien laki-laki atas nama Tn.Y, usia 41 tahun dibawa ke UGD RSUP dr. M.
Djamil Padang dengan keluhan sesak napas yang semakin meningkat sejak 1 hari sebelum masuk
rumah sakit. Sesak dirasakan sejak 1 minggu yang lalu, terutama ketika beraktivitas. Selain itu
pasien juga
mengeluhkan nyeri dada sebelah kiri sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit dimana nyeri
terutama dirasakan ketika batuk dan menarik nafas. Batuk ada sejak 1 minggu sebelum masuk rumah
sakit sesekali, batuk tidak berdahak. Demam saat ini tidak ada, riwayat demam tidak ada. Batuk darah
tidak ada. Berkeringat malam tidak ada. Penurunan berat badan tidak ada.

Pasien diketahui mempunyai riwayat tuberkulosis paru pada tahun 2005, dengan
pemeriksaan dahak positif, serta mendapat OAT dari dokter spesialis paru
yang diminum selama 6 bulan dan telah dinyatakan sembuh. Pasien juga
mempunyai riwayat hidropneumothoraks kiri ec TB paru terkonfirmasi bakteriologis
pada tahun 2005, yang ditatalaksana dengan pemasangan toraks tube.
Pasien bekerja sebagai dokter. Pasien tidak merokok.
Keadaan umum sedang, dengan tekanan darah 115/78 mmHg, nadi 80 kali/menit, frekuensi
nafas 26 kali/menit. Pada pemeriksaan fisik leher tidak terdapat
pembesaran KGB. Pemeriksaan fisik paru
didapatkan asimetris, kiri cembung dari kanan, kiri hipersonor, kanan suara nafas
vesikuler, tanpa adanya rhonki dan wheezing. Pemeriksan jantung dalam batas normal. Pada hasil
pemeriksaan laboratorium, didapatkanhemoglobin 14,2 gr/dL, Leukosit
7.150/mm3, dengan hitung jenis 0/2/70/21/7, PT dan
APTT berurutan 26,2 detik dan 10,9 detik, bilirubin direk 0,2 mg/dL, bilirubin indirek
0,5 mg/dL, ureum 21 mg/dL, kreatinin 1 mg/dL, GDS 92 mg/d, dengan Natrium, Kalium,
Klorida berurutan 139 mmol/L, 3,6 mmol/L, dan 111 mmol/L. Berikut hasil pemeriksaan rontgen
toraks dan CT Scan toraks pada tanggal 21 September 2021 di RSUD Adnaan WD (Gambar
1 dan Gambar 2).

Gambar 1. Foto Rontgen Toraks Tanggal 21 September 2021


Gambar 2. CT Scan Toraks tanggal 21 September 2021

Pada tanggal 22 September 2021 dilakukan pemasangan toraks tube di RSUP dr. M. Djamil dan
diberikan terapi fentanyl saat pemsangan toraks tube. Pasien didiagnosis kerja dengan pneumothoraks
spontan sekunder sinistra berulang ec bekas TB paru.

Pada hari pemantauan pertama setelah pasien dipasang toraks tube 20, sesak nafas sudah
berkurang, nyeri dada berkurang, pasien tidak batuk dan demam. Keadaan umum pasien sedang,
komposmentis kooperatif, dengan vital sign dalam batas normal. Pada pemeriksaan fisik, suara nafas
kiri masih melemah. Pasien didiagnosis dengan post insersi chest tube dengan toraks tube 20 a/i
Pneumothoraks Spontan Sekunder Sinistra Berulang ec Bekas TB Terpasang Toraks tube disambung
ke SINAPI hari ke-2. Terapi pasien saat ini adalah IVFD NaCl 0,9% per 12 jam, N-asetil sistein 2x200
mg p.o, asam mefenamat 3x500 mg p.o, inj ketorolac 10 g iv.

Pada hari follow up berikutnya, pasien tidak lagi mengalami sesak nafas, batuk, dan demam.
Pasien masih mengeluh nyeri di lokasi pemasangan
toraks tube 20 dilakukan konsul anestesi untuk manajemen nyeri dan mendapat drip fentanyl 1
ampul dalam 500 cc RL habis dalam 8 jam. Keadaan umum pasien sedang,
komposmentis kooperatif, dengan tekanan darah 110/70
mmHg, frekuensinadi 87 kali/menit, nafas 19 kali/menit, suhu 36,7⁰C, dengan SpO2
98% pada free air. Pada pemeriksaan fisik paru ditemukan suara nafas
bronkovesikuler, tanpa rhonki maupun wheezing. Pasien
tampak terpasang chest tube di dinding dada kiri yang disambungkan dengan SINAPI hari ke-7.
Diagnosis saat ini adalah Pneumothoraks Sinistra Spontan Sekunder Berulang ec Bekas TB Paru
Terpasang Chest Tube yang disambungkan ke SINAPI hari ke-7.

Pada tanggal 27 September 2021, didapatkan hasil pemeriksaan rontgen toraks dimana paru
sudah mengembang (Gambar 3). Berdasarkan pemeriksaan CT Scan toraks tanpa kontras pada
tanggal 29 September 2021 di RSUP dr.
M. Djamil Padang didapatkan kesan tidak tampak lagi gambaran pneumothoraks dan terdapat
small bullae di paru sinistra. Bullae ini berdinding tipis di daerah fisura
interlobaris dengan ukuran 2,48 cm x 3 cm. Berikut merupakan hasil CT Scan Thoraks tanggal 29
September 2021 di RSUP dr. M. Djamil Padang (Gambar 4). Diagnosis saat ini adalah Pneumothoraks
Sinistra Spontan Sekunder Berulang ec Bekas TB Paru Terpasang Chest Tube yang disambungkan ke
SINAPI hari ke-7 dengan Bullae Paru Sinistra.

Dilakukan pleurodesis pada pasien dengan agen kimia doksisiklin. Pada pasien dimasukkan
analgetik lidocain 200mg kedalam rongga pleura melalui toraks tube dilanjutkan dgn memasukkan zat
sklerosan doksisiklin 500mg yg dilarutkan dlm Nacl 0.9% 50cc dimasukkan melalui toraks tube
(pada pasien ini dimasukkan 35cc), selanjutnya toraks tube di klem selama 2 jam sambil pasien
membolak-balikkan badan setiap 15menit (telentang, miring kiri, miring kanan dan telungkup).
Dilakukan pemantauan pasca pleurodesis pada pasien. Pasien mengeluh dada terasa
berat, kemungkinan nyeri pada pasien tidak begitu dikeluhkan lagi karena pasien sdh mendapatkan
fentanyl sebelumnya. Pasien juga mengeluhkan mual pasca pleurodesis sehingga mendapat
tambahan terapi inj ranitidin 2x1ampul iv dan sucralfat syr 3x10ml. Setelah observasi 2 hari pasca
pleurodesis pasien dipulangkan. Pasien kontrol setelah 1 bulan pleurodesis, dilakukan foto toraks.

Gambar 3. Rontgen Toraks Follow Up Hari Rawatan ke-7


Gambar 4. CT Scan ToraksTanpa Kontras Tanggal 29 September 2021

Gambar 5. Perbandingan Foto Thorax sebelum Pleurodesis dan 1 bulan Pasca


Pleurodesis

DISKUSI
Pasien laki-laki usia 41 tahun dirujuk dari RSUD Adnaan WD Payakumbuh dengan didiagnosis
kerja sebagai pneumothoraks spontan sekunder sinistra berulang ec bekas
TB paru. Berdasarkan anamnesis pasien didapatkan adanya keluhan sesak napas yang semakin
meningkat terutama ketika beraktivitas. Pasien juga
mengeluhkan nyeri dada sebelah kiri, terutama dirasakan ketika batuk dan menarik napas. Batuk
ada sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit dan tidak berdahak. Tidak ada demam, riwayat
demam, batuk darah, keringat malam maupun penurunan berat badan. Pasien diketahui
mempunyai riwayat minum tuberkulosis paru pada tahun 2005, dengan pemeriksaan dahak positif
dan mendapat OAT dari dokter spesialis paru dan telah dinyatakan sembuh. Pasien juga mempunyai
riwayat hidropneumothoraks (2005), yang ditatalaksana dengan pemasangan thoraks tube, juga riwayat
pneumothoraks kiri (2012) yang ditatalaksana dengan terapi oksigen saja. Pada pemeriksaan fisik paru
didapatkan suara nafas kanan bronkovesikuler saat auskultasi, sedangkan suara nafas kiri melemah
Berdasarkan fitur klinis gejala, riwayat penyakit dahulu, dan pemeriksaan fisik maka pasien didiagnosis
dengan pneumothoraks spontan sekunder, dengan penyakit dasar yang diduga mendasarinya
adalah bekas tuberkulosis. Hal ini sesuai dengan definisi pneumothoraks
spontan yakni kondisi abnormal paru yang ditandai dengan penumpukan udara pada ruang pleura
diantara paru dan dinding dada, dimana pada pasien berdasarkan klinis dan etiologi nya diklasifikasikan
menjadi pneumothoraks sekunder, dengan kecurigaan mengarah pada penyakit tuberkulosis paru yang
diderita pasien pada tahun 2005.1

Pneumothoraks dapat terjadi akibat pecahnya alveoli paru yang memungkinkan udara keluar ke
rongga pleura, biasanya akibat jejas pada dinding dada sehingga udara masuk ke rongga pleura. Secara
anatomis, pleura merupakan satu lapis sel mesotel yang ditunjang oleh jaringan ikat, pembuluh darah
dan kapiler serta saluran limfatik.
Rongga pleura dibatasi oleh dua lapisan tipis mesotelial, yang terdiri dari pleura parietalis yang
melapisi otot-otot, dinding dada, tulang, kartilago, diafragma dan mediastinum. Pleura viseralis
yang melapisi paru menyusup ke semua fisura. Rongga pleura normal terisi cairan 10-20 ml dan
berfungsi sebagai pelumas diantara kedua lapisan pleura.3,10

Namun, tanpa trauma dada, pneumothoraks juga dapat terjadi secara spontan. Mayoritas
kasus didefinisikan sebagai pneumothoraks spontan primer yang penyebabnya belum diketahui,
dan banyak terjadi pada anak muda tanpa penyakit paru. Biasanya yang menjadi faktor
pencetusnya adalah anatomi badan yang kurus tinggi dan riwayat merokok. Pneumothoraks
spontan primer didefinisikan sebagai penyakit paru seperti anomali emfisema (bleb, kista, atau
bullae) yang diobservasi pada bedah atau pencitraan CT pada kebanyakan kasus. Mekanisme
pneumothoraks spontan primer adalah rupturnya beberapa alterasi subpleura pulmoner yang
dikenal sebagai blebs, yang umumnya berlokasi di apeks paru. Pneumothoraks spontan primer
terjadi karena robeknya suatu kantong udara dekat pleura viseralis. Penelitian secara patologis
menunjukan bahwa pasien pneumothoraks spontan yang dilakukan reseksi paru tampak adanya
satu atau dua ruang berisi udara dalam bentuk bulla yang dibatasi pleura fibrotik yang
menebal, sebagian oleh jaringan fibrosa paru sendiri sebagian lagi oleh jaringan paru emfisematous.
Namun, proses terbentuknya bula belum diketahui, dimana banyak pendapat menyatakan terjadinya
kerusakan bagian apeks paru berhubungan dengan iskemia atau peningkatan distensi pada alveoli di
daerah apeks paru akibat tekanan pleura yang lebih rendah (negatif). Pecahnya alveoli berhubungan
dengan obstruksi check-valve pada saluran nafas kecil sehingga timbul distensi ruang udara bagian
distal.3,10,11

Namun, hal tersebut berbeda pada kasus pasien ini, dimana secara epidemiologi usia pasien 41
tahun, dan riwayat beberapa kelainan paru sebelumnya menjadi dasar diagnosis pneumothoraks
sekunder. Pneumothoraks spontan sekunder berhubungan dengan
bukti klinis atau radiologis adanya penyakit paru yang signifikan, terutama akibat konsekuensi PPOK
(70%) serta TB paru, dengan berbagai gambaran klinis pasien. Pneumothoraks spontan sekunder
terjadi akibat pecahnya bleb viseralis atau bulla subpleura yang berhubungan dengan penyakit
dasar.3,10,11

Pneumothoraks spontan sekunder terjadi karena pecahnya bulla viseralis dan berhubungan
dengan penyakit yang mendasarinya. Biasanya bersifat multifaktorial, akibat komplikasi PPOK,
tuberkulosis, asma, penyakit paru infiltratif lain seperti pneumonia supuratif, pneumocystic carinii).
Pneumothoraks
spontan sekunder umumnya lebih berat daripada pneumothoraks spontan primer, karena pada
pneumothoraks spontan sekunder terdapat penyakit paru yang sebelumnya
mendahului. Pneumothoraks yang
terjadi pada pasien TB paru merupakan komplikasi akibat ruptur lesi paru yang
terletak dekat permukaan pleura sehingga udara inspirasi memperoleh akses ke rongga pleura. Lesi
pleura juga dapat terjadi pada penyakit emfisema, abses paru, karsinoma, dan banyak proses
lainnya. berbeda dengan pneumothoraks spontan primer, pada pneumothoraks spontan sekunder
keadaan penderita tampak serius dan kadang mengancam kehidupan karena adanya penyakit paru
yang mendasarinya. Pneumothoraks spontan sekunder diduga terjadi oleh karena pecahnya
bleb yang berada di sub pleura viseralis dan
sering ditemukan di daerah apeks lobus superior dan inferior.
Terbentuknya bleb akibat perembesan udara melalui alveoli yang
dindingnya ruptur kemudian melalui jaringan interstitial ke lapisan jaringan ikat yang
berada di sub pleura viseralis. Penyebab pecahnya alveolus ini belum diketahui
pasti, diduga terdapat 2 faktor yaitu penyakit paru dan peningkatan tekanan intraalveolar
akibat batuk. Alveoli disangga oleh kapiler yang mempunyai dinding lemah dan mudah robek.
Apabila alveoli tersebut melebar dan tekanan alveoli melebar dan tekanan di dalam alveoli
meningkat maka udara masuk dengan mudah menuju ke jaringan peribronkovaskuler.
Gerakan nafas yang kuat, infeksi dan obstruksi endobronkial merupakan beberapa faktor yang
memudahkan terjadinya robekan, sehingga udara yang terbebas dari alveoli dapat merobek
jaringan fibrotik peribronkovaskuler. Robekan pleura ke arah yang berlawanan
akan menimbulkan pneumothoraks sedangkan robekan yang searah dapat menimbulkan
pneumomediastinum. Pada kondisi tuberkulosis milier, pneumothoraks bilateral yang cukup jarang
terjadi. Pembentukan daerah kecil konfluen nodul miliaria sub pleural yang mengalami kaseasi dan
nekrosis kemudian dapat pecah dan masuk ke dalam ruang sub pleura sehingga menyebabkan
terjadinya pneumothoraks.3

Dalam beberapa tahun terakhir, probabilitas terjadinya pneumothoraks pada pasien TB paru
mencapai 0,6- 1,4% sehingga dapat diestimasikan lebih kurang 1% pasien dengan TB Paru akan
mengalami pneumothoraks. Berdasarkan penelitian oleh Freixinet dkk, diketahui bahwa sekitar 1%
pasien dengan TB paru aktif mengalami pneumothoraks spontan sekunder. Namun juga diketahui
bahwa kejadian pneumothoraks sekunder spontan ditemukan berkurang pada pasien yang terdiagnosis
TB Paru lebih awal dan kemungkinan sembuh dengan pengobatan yang adekuat. Freixinet dkk juga
menyatakan bahwa pneumothoraks spontan sekunder tidak hanya dapat
terjadi pada penderita TB paru aktif namun juga TB antesenden walaupun tidak menunjukan
aktivitas saat pneumothoraks spontan sekunder muncul. Freixinet dkk juga menyebutkan bahwa
pneumothoraks spontan sekunder dapat muncul pada berbagai momen penyakit, termasuk pada
stadium sekuele, karena destruksi paru terkait dapat berhubungan dengan pneumothoraks spontan
sekunder.3,13

Pasien mengeluhkan sesak nafas yang semakin memberat terutama saat beraktivitas sejak 1
minggu sebelum masuk rumah sakit dan nyeri dada kiri terutama saat batuk dan mengambil nafas.
Gangguan pernafasan telah dideskripsikan menjadi gejala utama dari pneumothoraks spontan
sekunder dengan underlying disease. Hal ini disebabkan karena fungsi paru pada pasien ini sudah
mengalami gangguan, maka pneumothoraks spontan sekunder akhirnya dapat muncul sebagai
penyakit yang dapat membahayakan nyawa, dan membutuhkan aksi segera, berbeda dengan
pneumothoraks spontan primer yang biasanya dapat dimanajemen dengan baik. Berhubungan
dengan penyakit penyebabnya, insidensi puncak pneumothoraks spontan sekunder biasanya terjadi
pada usia 60-65 tahun pada populasi emfisema.2

Pada pneumothoraks spontan sekunder, dispnea merupakan gambaran klinis yang paling
dominan. Hal ini sesuai dengan keluhan utama pasien. Selain itu nyeri dada, sianosis,
hipoksemia dan hiperkapnea kadang dapat menyebabkan gagal nafas. Selain itu, pada beberapa kasus
dapat pula terjadi pendorongan mediastinum ke arah paru yang sehat dan berakibat pada penekanan
pada vena cava superior dan inferior yang berakibat berkurangnya cardiac preload dan menurunnya
cardiac output. Diagnosis dapat dikonfirmasi pada pemeriksaan radiologis dada PA, dimana pada bula
emfisema, diagnosis banding dengan bulla besar dapat menjadi cukup sulit, dan membutuhkan
konfirmasi CT Scan. Pada pneumothoraks spontan primer, udara dapat memasuki ruang pleura melalui
berbagai mekanisme seperti ruptur langsung alveolar, seperti pada emfisema atau pneumonia, melalui
interstitial paru, atau balik melalui bundel bronkovaskuler dan pleura mediastinal
(pneumomediastinum). Tingkat rekurensi pneumothoraks sekunder biasanya lebih tinggi
dibandingkan primer, yakni berkisar pada 80% dari total kasus, terutama ditemukan pada fibrosis
kistik.2,3

Pada pasien telah dilakukan rontgen thoraks dan CT scan thoraks tanpa kontras serial untuk
menganalisis etiologi definitif pneumothoraks spontan rekuren pada pasien ini. Dimana pada
pemeriksaan CT scan pasien tampak bullae sinistra yang berukuran cukup kecil yakni 2,48 cm x 3 cm.
Bullae ini berdinding tipis dan terletak di fissura interlobaris. Pada gambaran CT Scan bullae terlihat
utuh dan tidak mengalami
ruptur sehingga peluang etiologi pneumothoraks spontan primer dengan bullae yang mengalami
ruptur pada pasien ini menjadi irrelevan. Berdasarkan penelitian Frexinet dkk, temuan radiologis
berapa destruksi paru merupakan hal rutin yang ditemukan pada kelompok pasien yakni pada
sekitar 53,2%.10

Pada pasien setelah 1 minggu pemasangan toraks tube 20 dilakukan pemeriksaan rontgen
thoraks tidk ditemukan kelainan dan pemeriksaan CT Scan tanpa kontras dan terlihat gambaran
pneumothoraks sudah tidak ada dan keluhan pasien pun jauh membaik, dimana sesak sudah jauh
berkurang dan hampir tidak ada, demam dan batuk juga tidak ada. Penanganan pneumothoraks
tergantung dari luasnya lesi. Tujuan dari penanganan yang diberikan adalah mengeluarkan udara
dari rongga pleura dan menurunkan kemungkinan kambuh lagi. Prinsip penanganan meliputi
observasi dan pemberian tambahan oksigen, aspirasi sederhana dengan jarum dan pemasangan
tube torakotomi dengan atau tanpa pleurodesis, torakoskopi, dan torakotomi. Pada pasien telah
dilakukan pemasangan chest tubes dengan toraks tube 20 kemudian dialihkan menjadi kontainer
SINAPI serta direncanakan pleurodesis saat paru telah mengembang. Chest tubes yang digunakan
yaitu chest tubes small bore nomor 20. Insersi chest tubes merupakan prosedur yang umumnya
dilakukan untuk drainase kebocoran udara, caian seperti darah, dari rongga pleura. Chest tube ini juga
dapat digunakan sebagai rute instilasi antibiotik post empiema pneumonia, untuk agen sklerosis
(pleurodesis), fibrinolitik, DNAse, dan salin. Semua chest tube kemudian akan terhubung dengan
device sistem drainase, diantaranya flutter valve, underwater seal, sistem elektronik atau Indwelling
Pleural Catheter, botol vakum dan kontainer SINAPI. Ukuran chest tubes mengacu kepada diameter
luar dari selang. Terdapat dua kelompok chest tubes yaitu small-bore chest tubes (SBCT) dan large-
bore chest tubes (LBCT). Ukuran chest tubes yang optimal untuk pengelolaan penyakit pleura masih
kontroversi. The British Thoracic Society Guideline menunjukkan bahwa
pada pneumotoraks dan efusi yang bersifat ganas (termasuk empyema) biasanya
menggunakan SBCT. Ukuran chest tubes juga penting untuk kemajuan pleurodesis. Berdasarkan
pendapat ahli, penggunaan chest tubes nomor 20F direkomendasikan pada situasi, seperti :
(1) adanya kekhawatiran klinis untuk kebocoran udara yang sedang berlangsung (atau risiko
signifikan, seperti pneumotoraks traumatis atau bronchial dehiscence); (2) pneumotoraks
iatrogenic dari barotrauma (ventilasi mekanik); (3) hematotoraks; dan (4) drainase pasca operasi
rongga dada. SINAPI merupakan kontainer drainase cairan
pleura yang terdiri dari dry seal, dry suction system dan mempunyai suction bulb yang dapat
membantu klinisi dalam pengambilan keputusan manjemen drainase thoraks. Dimana hal ini
dikarenakan suction bulb dilengkapi fitur indikasi kualitatif dari paru yang sudah mengembang
sehingga menyediakan pedoman ketika sebuah kateter dada diangkat akibat resolusi bocornya
udara. Kontainer SINAPI juga bersifat portabel sehingga dapat mudah dipindahkan. Kemampuan
mengurangi ruang rugi secara signifikan, mobilisasi pasien dini juga dapat difasilitasi tanpa
menggunakan sedot daya.3,12,13

Pleurodesis adalah prosedur yang dilakukan untuk menciptakan simfisis diantara pleura
parietal dan viseral dalam rangka untuk mengeliminasi ruang pleura. Prosedur yang diaplikasikan
untuk mencegah rekurensi pneumothoraks spontan atau efusi pleura. Mayoritas peneliti
menyetujui bahwa pleurodesis harus ditawarkan pada pasien dengan rekurensi pertama (episode
kedua) pneumothoraks spontan. Namun, pengobatan definitif ditujukan untuk mencegah rekurensi
pneumothoraks tidak dibatasi oleh pleurodesis kimiawi, namun juga opsi terapeutik lainnya.
Efektivitas pleurodesis kimiawi dalam mencegah rekurensi pneumothoraks spontan primer
mencapai 90-99%.4

Akhir-akhir ini tampaknya adhesi


fibrin dan fibrosis merupakan proses penting yang terlibat dalam menciptakan simfisis permanen
diantara pleura viseral dan parietal. Walaupun jalur berbeda dapat berujung pada pembentukan adhesi
pleura, inflamasi merupakan mekanisme paling penting dan paling umum yang terlibat dalam
pleurodesis. Mekanisme ini melibatkan produksi dan lepasnya sitokin sebagaimana adhesi molekul
yang berujung pada aktivasi kaskade koagulasi dan imbalans diantara fibrinolisis dan fibrinogenesis di
kemudian hari. Konsekuensi lebih proses ini adalah penarikan fibroblas dan proliferasi. Keterlibatan
inflamasi pada pembentukan adhesi pleura menjadi kekurangannya karena berhubungan dengan efek
samping terutama nyeri. Sel mesotel dipercaya sebagai aksis utama dari proses inflamasi. Sebagai
respon dari agen sklerosis, sel mesotel akan menyekresi berbagai mediator yang memainkan peran
kunci dalam berbagai jalur inflamasi. Hal ini meliputi kemokin
seperti interleukin 8, MCP-1, VEGF, PDGF, dan bFGF. Dimana kontak yang adekuat antara agen
sklerosis dan sel mesotel diduga mempunyai pengaruh yang krusial untuk pleurodesis yang efektif.
Perlu diingat bahwa sel mesotel merupakan pemeran kunci dari inisiasi pleurodesis, dengan proses
yang sangat kompleks dan tidak melibatkan sel lainnya, termasuk neutrofil, sel endotel, fibroblas,
makrofag, dan sel kanker sebagaimana berbagai mediator lainnya.4

IL-8 merupakan kemokin yang poten, dan dapat menginduksi influx netrofil ke dalam
ruang pleura. Pada kondisi normal, IL-8 diproduksi oleh sel mesotel, dan produksinya akan
meningkat berhubungan dengan stimuli inflamasi. Neutrofil yang bermigrasi ke pleura juga akan
memicu sitokin lainnya, seperti TNF-α, IL-1α, IL-1ß. Peran inflamasi dalam pleurodesis dapat
dilihat pada gambar berikut:4
Gambar 6. Peran Inflamasi dalam Pleurodesis4

Pada kondisi fisiologis, terdapat keseimbangan antara fibrinogensis dan fibrinolisis pada ruang
pleura. Hal ini bergantung pada pelepasan faktor ant koagulan – aktivator plasminogen jaringan (tPA)
dan inhibitor aktivator plasminogen (PAI 1) yang beraksi sebagai prokoagulan. Kedua faktor tersebut
disekresikan oleh sel mesotel. Efek umum darin agen sklerosis yang diaplikasikan intrapleura dapat
dilihat pada penurunan aktivitas fibrinolisis dan peningkatan aktivitas koagulasi intrapleura.4

Fibrinogenesis dan fibrinolisis merupakan proses yang terlibat dalam regulasi fibrosis dan
komposisi matriks ekstraseluler. Fibrinogenesis merujuk pada pembentukan dan proliferasi serat atau
jaringan yang berhubungan dengan penyembuhan luka, regenerasi, dan pencegahan jaringan
mengalami
kerusakan akibat inflamasi, nekrosis, dan lepasnya lisin. Selama pleurodesis, fibrinogenesis
terjadi pada stadium akhir pembentukan simfisis pleura dan melibatkan perekrutan dan proliferasi
fibroblast yang menghasilkan kolagen dana komponen matriks ekstraseluler.4

Pada pasien ini direncanakan tindakan pleurodesis setelah paru mengembang dengan
menggunakan zan sklerosan doksisiklin sebagai agen pleurodesis kimiawi dan pasien dipantau
nyeri post pleurodesis. Dosis sesuai berat badan. Pada pneumotoraks spontan berulang sifat asam
nya mampu merangsang proses inflamasi pleura. Pleurodesis kimiawi merupakan modalitas
pengobatan bocornya udara paru. Turunan dari tetrasiklin biasanya digunakan untuk pleurodesis
kimiawi, dan efektifitas mereka sudah ditunjukan oleh berbagai penemuan. Selain itu,
dapat pula digunakan bedak, minosiklin, tetrasiklin, doksisiklin, povidon iodin, bleomisin, eritromisin
dan obat-obatan lainnya.10 Pleurodesis adalah prosedur yang dilakukan untuk menciptakan simfisis
diantara pleura parietal dan viseral dalam rangka untuk mengeliminasi ruang pleura. Prosedur yang
diaplikasikan untuk mencegah rekurensi pneumothoraks spontan atau efusi pleura. Metode umum dapat
digunakan untuk pleurodesis adalah jejas langsung pada pleura dengan metode mekanik atau fisik yaitu
berupa abrasi mekanis, laser atau koagulasi sinar argon) selama administrasi intra pleura bedah
thorakoskopi yang diassist video (VATS) daari berbagai agen kimiawi seperti kapur, bleomisin,
tetrasiklin, povidoniodin,
cepat pasca penarikan awal. Efek positif pleurodesis pada pasien dengan efusi pleura dapat
diobservasi dalam hitunga minggu atau bulan pasca prosedur. Pada pneumothoraks spontan
rekuren, pleurodesis mempunya efek yang tertunda dalam bulan atau tahun, karena tidak
diaplikasikan untuk mencegah episode pneumothoraks saat itu, tapi ditujukan untuk mencegah
rekurensi pneumothoraks di masa depan.4 Efek samping paling umum dari pleurodesis kimiawi
adalah nyeri, demam dan gejala gastrointestinal. Gagal nafas dan pneumonitis dapat pulang terjadi
walaupun jarang.14

Tabel 1. Karakteristik agen pleurodesis kimiawi.15

Agen Keuntungan Kekurangan


Corynebacterium parvum yang dapat menginduksi pembentukan adhesi pleura. Mayoritas dari agen ini
adalah agen kimiawi, namun membutuhan
Talcum -Mudah digunakan
-Mudah didapat
-Harga murah
-Menurunkan angka pneumotoraks berulang (91%)
-Demam
-Nyeri Pleuritik
tindakan yang lebih tidak invasif dibandingkan VATS serta lebih umum dilakukan.4

Kondisi klinis umum yang dapat


Tetrasiklin HCL
-Mudah digunakan
-Efek sinergis dengan agen lainnya
-Menurunkan angka pneumotoraks berulang (9-25%)
-Susah didapat
-Nyeri Pleuritik
-Efek sistemik

diobati dengan pleurodesis kimiawi


Minosiklin -Efek sinergis dengan
agen lainnya
-Nyeri pleuritik
-Gagal nafas
adalah efusi pleura rekuren dan pneumothoraks spontan rekuren.
Dosisiklin -Dosis dapat diulang -Nyeri pleuritik
-Demam
-Batuk
Konsep pleurodesis kimiawi pada kedua hal tersebu mempunyai sedikit perbedaan. Pada pasien
dengan efusi
Bleomisin -Mudah didapat
-Harga murah
-Nyeri pleuritik
-Demam
-Mual dan muntah
pleura rekuren, pleurodesis merupakan pengobatan simtomatis yang dapat mencegah dispnea yang
berhubungan dengan reakumulasi cairan pleura yang
Povidone
Iodin
-Mencegah efek
keracunan sistemik
-Menurunkan angka pneumotoraks berulang (0-6%)
-Nyeri pleuritik
-Hipotensi
-Demam
-Empiema
-Gagal nafas akut
Agen sklerosis yang ideal harus berbiaya rendah, mudah didapat, mudah digunakan, relatif bebas
dari efek samping, dan sangat efisien. Pleurodesis kimiawi menonjol karena mudah dilakukan,
memiliki banyak variasi agen sklerosis dan telah terbukti efektif. Dosisiklin, tetrasiklin HCL dan
minoksiklin intrapleural akan menghasilkan respon inflamasi. Nyeri merupakan
komplikasi pada pleurodesis dengan doksisiklin yang paling sering dikeluhkan sehingga
direkomendasikan untuk menggunakan analgetik golongan narkotik dan sedasi. Tidak sedikit laporan
yang terkait dengan komplikasi serius sklerosan seperti ARDS, pneumonitis akut, edema paru dan
infiltrasi.15

Diantara komplikasi yang dapat terjadi pada pneumothoraks spontan yaitu tension
pneumothoraks (3-5% pasien), kegagalan respirasi akut, piohidropneumothoraks, hidro/hemo
pneumothoraks, henti jantung paru dan kematian. Pasien dengan pneumothoraks spontan hampir
separuhnya akan mengalami kekambuhan, terutama pada pasien yang dilakukan torakotomi terbuka.
Pasien yang sudah ditangani dengan baik umumnya jarang mengalami komplikasi, kecuali pada
pneumothoraks spontan sekunder yang bergantung pada penyakit dasarnya. Kebocoran udara yang
berkelanjutan pasca pneumothoraks atau bedah reseksi paru merupakan penyebab umum dari rawat
inap rumah sakit yang lama dengan peningkatan pengeluaran.3,14

Pengobatan pneumothoraks spontan sekunder tidak begitu menjadi masalah


sehingga resolusi tiap episode nya sering dapat dicapai pada kebanyakan kasus. Hanya terdapat
13% kasus dengan drainase pulmonar, rekurensi terjadi pada 23% kasus dan sekitar 28% kasus
membutuhkan tindakan bedah. Namun tidak dapat disimpulkan TB aktif akan memperburuk
evolusi pneumothoraks spontan sekunder, karena tidak terdapat perbedaan signifikan mengenai hal
ini. Satu-satunya yang dapat membedaan manajemen pneumothoraks spontan sekunder dengan TB
dari pneumothoraks spontan primer adalah jumlah hari drainase pulmonar ditempatkan sebelum
menjadi indikasi bedah untuk kebocoran udara, dimana pada pneumothoraks spontan primer
biasanya membutuhkan waktu 5-7 hari. Hal ini akan menjadi indikasi pendekatan konservatif
pada pneumothoraks spontan sekunder dengan TB. Pada intervensi bedah, hampir semua tindakan
dilaksanakan menggunakan prosedur pelengkap yang bertujuan untuk memperbaiki abrasi pleura.
Hal ini menyarankan bahwa pneumothoraks spontan sekunder dengan TB mempunyai perilaku
klinis yang tidak agresif dan dapat diselesaikan, hampir pada semua kasus dengan bedah
konvensional. Namun, pada penelitian oleh Freixinet dkk,
terdapat 4% kasus dengan evolusi intra rumah sakit yang fatal. Dimana kasus tersebut muncul dengan
kondisi kesehatan yang buruk dan insufisiensi nafas yang serius dan dapat berujung pada kematian. Hal
ini terjadi terutama pada pasien dengan HIV dan diduga berkaitan dengan usia pasien.6

Pada pasien ini dilakukan rontgen toraks 1 bulan setelah pleurodesis untuk menilai keberhasilan
pleurodesis. Kesan adanya perbaikan dan tampak adanya penebalan pleura. Peranan penting proses
inflamasi pada pleurodesis dapat dilihat dari penelitian pada hewan coba yang menunjukan
pengurangan efikasi sklerosan doksisiklin dan talk ketika digunakan dengan NSAID, efek yang sama
dari kortikosteroid ditemukan untuk pleurodesis iodopovidone. NSAID dapat menghambat proses
inflamasi dan pembentukan fibrosis, karena kemampuannya untuk menekan sintesis prostaglandin.
Berbeda dengan yang didapatkan oleh Maria Anna Smolle dkk yang mengevaluasi pengaruh NSAID
pada keefektifan pleurodesis kimia, menurut penelitian ini, NSAID sebagai bagian analgesik tiga
langkah standar World Health Organization tidak mengganggu efikasi pleurodesis kimia.15

KESIMPULAN
Pneumothoraks spontan adalah kondisi abnormal paru yang ditandai dengan penumpukan udara
pada ruang pleura di antara paru dan dinding dada, dengan penyebab primer maupun sekunder.
Pleurodesis adalah
penyatuan pleura viseralis dengan parietal baik secara kimiawi, mineral ataupun mekanik secara
permanen untuk mencegah akumulasi cairan maupun udara dalam rongga pleura. Telah dilaporkan
seorang pasien laki- laki umur 41 tahun, dengan keluhan sesak napas yang meningkat sejak 1 hari
sebelum masuk rumah sakit terutama ketika beraktivitas dan nyeri dada sebelah kiri ketika batuk
dan menarik nafas, serta riwayat tuberkulosis dan hidropneumothoraks. Pasien didiagnosis
dengan Pneumothoraks Sinistra Spontan Sekunder Berulang ec Bekas TB Paru +
Bullae Paru Sinistra. Pasien terpasang chest tube yang disambungkan ke SINAPI selama 7 hari
dan dilakukan CT Thoraks tidak didapatkan lagi gambaran pneumothoraks, kemudian pasien
dilakukan pleurodesis kimiawi dengan doksisiklin. Pada pasien ini dilakukan rontgen toraks 1
bulan setelah pleurodesis untuk menilai keberhasilan pleurodesis. Kesan pleurodesis berhasil,
tampak adanya penebalan pleura.
DAFTAR PUSTAKA

1. Light, R.W. Pneumothorax. In Pleural Disease. Sixth Edition. Philadelphia:


Lippincott Williams & Wilkins. 2013. P. 363-404.

2. Noppen M. Spontaneous Pneumothorax : Epidemiology, Pathophysiology, and Cause.2010. Eur


Respir Rev 2010;19:117.Pg 217-9

Anda mungkin juga menyukai