Anda di halaman 1dari 37

Universitas Kristen Krida Wacana

Laporan Kasus Kunjungan Rumah


Pasien Skizofrenia
di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Rengasdengklok, Kabupaten
Karawang

Oleh:
Nike Pebrica Purnamasari

Kepaniteraan Ilmu Kedokteran Komunitas


Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Karawang, Desember 2017
Kata Pengantar
Kata Pengantar

Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
karunia-Nya saya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini
disusun untuk memenuhi salah satu kewajiban dalam rangka Kepaniteraan Klinik
Ilmu Kesehatan Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana.
Makalah ini dibuat dengan pendekatan kedokteran keluarga. Semoga laporan
yang saya buat ini dapat berguna dan bermanfaat bagi para pembaca. Akhir kata,
saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala bimbingan dan
bantuan yang telah diberikan dalam penyelesaian makalah ini kepada dr E. Irwandy
Tirtawidjaja dan semua pihak yang turut membantu terselesainya makalah ini.
Saya juga menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam makalah yang
saya buat ini, oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun
sehingga di masa mendatang dapat ditingkatkan menjadi lebih baik.

Jakarta, Desember 2017

Penyusun
Bab I
Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Kesehatan jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang


secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari
kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan
mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Kondisi perkembangan yang
tidak sesuai pada individu disebut gangguan jiwa (UU No.18 tahun 2014).
Kesehatan jiwa masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan yang
signifikan di dunia, termasuk di Indonesia. Menurut data WHO (2016), terdapat
sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta terkena
skizofrenia, serta 47,5 juta terkena dimensia. Di Indonesia dengan berbagai faktor
biologis, psikologis dan sosial dengan keanekaragaman penduduk; maka jumlah
kasus gangguan jiwa terus bertambah yang berdampak pada penambahan beban
negara dan penurunan produktivitas manusia untuk jangka panjang.
Data Riskesdas 2013 memunjukkan prevalensi ganggunan mental emosional
yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun ke
atas mencapai sekitar 14 juta orang atau 6% dari jumlah penduduk Indonesia.
Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia mencapai sekitar
400.000 orang atau sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk.
Di Rumah Sakit Jiwa Pusat Jakarta, tercatat 10.074 kunjungan pasien jiwa
pada 2006, meningkat menjadi 17.124 pasien pada 2007. Sedangkan di Rumah Sakit
Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara, jumlah pasien meningkat hingga 100%
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2006-2007, Rumah Sakit Jiwa
Daerah Provinsi Sumatera Utara hanya menerima 25-30 penderita perhari, dan pada
awal 2008 mengalami peningkatan , 50 penderita perhari untuk menjalani rawat inap
dan sekitar 70-80 penderita untuk rawat jalan.
Penderita gangguan jiwa ringan hingga berat di Jawa barat saat ini mencapai
465.975 orang. Jumlah ini naik signifikan dari 2012 yang jumlahnya 296.943 orang,
kata Rieke.
Kementerian Kesehatan RI dr. Fidiansyah, SpKJ, MPH menegaskan,
Kesehatan jiwa merupakan bagian penting terhadap terciptanya sumber daya manusia
Indonesia yang produktif dan sekaligus merupakan aset bangsa yang berharga. Untuk
itu, menjaga kesehatan jiwa seluruh masyarakat Indonesia merupakan tugas semua
pihak. Keluarga sebagai unit terkecil masyarakat harus mampu menjadi garda
terdepan berperan dalam menjaga kesehatan jiwa anggota keluarganya dan menjadi
pihak yang memberikan pertolongan pertama psikologis apabila tampak gejala-gejala
yang mengarah pada masalah kesehatan jiwa. Selain itu juga berupaya menjalankan
program kegiatan pencegahan dan pengendalian masalah kesehatan jiwa termasuk
menterjemahkan makna revolusi mental bagi mewujudkan bangsa Indonesia yang
memiliki karakter berkualitas

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan
masalahnya adalah: .
1.2.1. Menurut data WHO (2016), terdapat sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60
juta orang terkena bipolar, 21 juta terkena skizofrenia, serta 47,5 juta terkena
dimensia. Di Indonesia
1.2.2. Data Riskesdas 2013 memunjukkan prevalensi ganggunan mental emosional
yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15
tahun ke atas mencapai sekitar 14 juta orang atau 6% dari jumlah penduduk
Indonesia. Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia
mencapai sekitar 400.000 orang atau sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk
1.2.3. Di Rumah Sakit Jiwa Pusat Jakarta, tercatat 10.074 kunjungan pasien jiwa
pada 2006, meningkat menjadi 17.124 pasien pada 2007. Sedangkan di
Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara, jumlah pasien meningkat
hingga 100% dibandingkan tahun-tahun sebelumnya
1.2.4. Penderita gangguan jiwa ringan hingga berat di Jabar saat ini mencapai
465.975 orang. Jumlah ini naik signifikan dari 2012 yang jumlahnya 296.943
orang, kata Rieke.
1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui masalah, penyebab masalah, dan membantu menemukan solusi
dalam suatu masalah program upaya kesehatan jiwa di Puskesmas Kecamatan
Rengasdengklok, Kabupaten Karawang periode Januari 2017 sampai dengan
November 2017 dengan pendekatan sistem

1.3.2. Tujuan Khusus


1.3.2.1.Diketahuinya cakupan deteksi dini gangguan kesehatan jiwa di Puskesmas
Rengasdengklok, Kabupaten Jawa Barat periode Januari 2017 sampai dengan
Novemeber 2017.
1.3.2.2.Diketahuinya cakupan penanganan pasien terdeteksi gangguan kesehatan jiwa
di Puskesmas Rengasdengklok, Kabupaten Jawa Barat periode Januari 2017
sampai dengan November 2017.

1.4. Manfaat
1.4.1. Bagi Evaluator
1.4.1.1.Melatih diri dalam mengevaluasi suatu program puskesmas melalui
pendekatan sistem.
1.4.1.2.Mengembangkan kemampuan berfikir kritis dalam menghadapi suatu
masalah.
1.4.1.3.Menerapkan ilmu pengetahuan yang sudah di pelajari saat kuliah
1.4.1.4.Menambah pengetahuan dan pengalaman mengenai evaluasi program pada
puskesmas.

1.4.2. Bagi Perguruan Tinggi


1.4.2.1.Mewujudkan UKRIDA sebagai masyarakat ilmiah dalam peran sertanya di
bidang kesehatan masyarakat.
1.4.2.2.Mewujudkan UKRIDA sebagai universitas yang menghasilkan dokter yang
berkualitas dan memiliki kepedulian terhadap kesehatan masyarakat luas
terutama kesehatan jiwa.
1.4.3. Bagi Puskesmas yang Dievaluasi
1.4.3.1.Mengetahui masalah-masalah yang timbul dalam pelaksanaan program upaya
kesehatan jiwa disertai dengan usulan atau saran sebagai pemecahan masalah.
1.4.3.2.Memberikan masukan dalam meningkatkan kerjasama dan membina peran
serta masyarakat dalam melaksanakan program upaya kesehatan jiwa secara
optimal.
1.4.3.3.Membantu kemandirian puskesmas dalam upaya lebih mengaktifkan program
upaya kesehatan jiwa sehingga dapat memenuhi target cakupan program yang
bersangkutan.

1.4.4. Bagi Masyarakat


1.4.4.1.Meningkatkan pembinaan peran serta masyarakat dalam kegiatan upaya
kesehatan jiwa di wilayah kerja Puskesmas Rengasdengklok, Kabupaten Jawa
Barat.
1.4.4.2.Meningkatkan pengetahuan masyarakat akan pentingnya kegiatan upaya
kesehatan jiwa di wilayah kerja Puskesmas Rengasdengklok, Kabupaten Jawa
Barat.
1.4.4.3.Meningkatkan derajat kesehatan jiwa masyarakat di wilayah kerja Puskesmas
Rengasdengklok, Kabupaten Jawa Barat.
1.4.4.4.Menurunkan dan mempertahankan prevalensi angka kejadian gangguan jiwa
pada masyarakat di sektar wilayah kerja Puskesmas Rengasdengklok
Kabupaten Jawa Barat.

1.5.Sasaran
1.5.1. Masyarakat yang belum terdiaknosa dan terdeteksi mengalami gangguan
jiwa
Dan belum mendapatkan penanganan yang tepat di wilayah kerja Puskesmas
Rengasdengklok, Kabupaten Jawa Barat periode Januari 2017 sampai dengan
November 2017.
Bab II
Tinjauan Pustaka

2.1. Definisi
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, “shizein” yang berarti “terpisah” atau
“pecah”, dan “phren” yang artinya “jiwa”. Pada skizofrenia terjadi pecahnya atau
ketidakserasian antara afeksi, kognitif, dan perilaku. Secara umum, gejala skizofrenia
dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu gejala positif, gejala negatif, dan gangguan
dalam hubungan interpersonal.
Skizofrenia adalah diagnosis kejiwaan yang menggambarkan gangguan
mental dengan karakter abnormalitas dalam persepsi atau gangguan mengenai
realitas. Abnormalitas persepsi dapat berupa gangguan komunikasi sosial yang nyata.
Sering terjadi pada dewasa muda, ditegakkan melalui pengalaman pasien dan
dilakukan observasi tingkah laku, serta tidak dibutuhkan adanya pemeriksaan
laboratorium.
Berdasarkan PPDGJ III, skizofrenia adalah suatu deskripsi sindrom dengan
variasi penyebab (banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu
bersifat kronis atau “deteriorating”) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung
pada perimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya. Pada umumnya
ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari pikiran dan
persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted),
kesadaran yang jernih (clear consciousness) dan kemampuan intelektual biasanya
tetap terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang
kemudian.
Skizofrenia merupakan suatu gangguan psikotik yang kronik, sering mereda,
namun hilang timbul dengan manifestasi klinis yang amat luas variasinya. Menurut
Eugen Bleuler, skizofrenia adalah suatu gambaran jiwa yang terpecah belah, adanya
keretakan atau disharmoni atara proses pikir, perasaan, dan perbuatan.
2.2. Etiologi
Skizofrenia merupakan suatu bentuk psikosis yang sering dijumpai sejak dulu.
Meskipun demikian pengetahuan tentang faktor penyebab dan patogenesisnya masih
minim diketahui. Adapun beberapa faktor etiologi yang mendasari terjadinya
skizofrenia, antara lain:
 Genetik
Dapat dipastikan bahwa ada faktor genetik yang turut menentukan timbulnya
skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-
keluarga penderita skizofrenia dan terutama anak-anak kembar satu telur.
Angka kesakitan bagi saudara tiri adalah 0,9-1,8%; bagi saudara kandung 7-
15%; bagi anak dengan salah satu orang tua yang menderita skizofrenia 7-
16%; bila kedua orang tua menderita skizofrenia 40-68%; bagi kembar dua
telur (heterozigot) 2-15%; bagi kembar satu ttelur (monozigot) 61-86%.
Diperkirakan bahwa yang diturunkan adalah potensi untuk mendapatkan
skizofrenia (bukan penyakit itu sendiri) melalui gen yang resesif. Potensi ini
mungkin kuat, mungkin juga lemah, tetapi selanjutnya tergantung pada
lingkungan individu itu apakah akan terjadi manifestasi skizofrenia atau tidak
 Faktor Biologis
o Hipotesis dopamine
Gejala skizofrenia merupakan hasil dari peningkatan aktifitas

dopamine pada system limbic (gejala positif) dan penurunan aktifitas

dopamine (gejala negatif). Patologi dopamine ini bisa karena

abnormalitas jumlah reseptor atau sensitifitasnya, atau abnormalitas

pelepasan dopamine (terlalu banyak atau terlalu sedikit)

o Hipotesis Norepinefrin
Peningkatan level norepinefrin pada skizofrenia menyebabkan
peningkatan sensitisasi masukan sensorik.
o Hipotesis GABA
Penurunan aktifitas GABA menyebabkan peningkatan aktifitas
dopamine.

o Hipotesis Serotonin
Metabolisme serotonin tampaknya tidak normal pada beberapa pasien
skizofrenia, dengan dilaporkannya hiperserotoninemia ataupun
hiposerotoninemia. Secara spesifik, antagonis dari reseptor serotonin
5-HT2 ditegaskan memiliki peran penting dalam mengurangi gejala
psikotik dan dalam melawan perkembangan dari gangguan gerak yang
berhubungan dengan antagonis D2

o Halusinogen

Diperkirakan beberapa endogenous amines bertindak bertindak


sebagai substrat untuk abnormalitas methylation, yang dihasilkan
dalam endogenous hallucinogens. Hipotesis ini tidak didukung oleh
data yang akurat.

o Hipotesis Glutamat
Penurunan fungsi dari glutamat reseptor N-methyl-D-aspartate
(NMDA) diteorikan dalam menyebabkan gejala positif ataupun
negatif dari skizofrenia.

o Teori Neurodevelopmental dan Neurodegeneratif


Angka kejadian untuk abnormalitas migrasi neuronal terjadi selama
trimester ke dua dari perkembangan janin. Teori dari abnormalitas
fungsi neuron pada orang dewasa merujuk kepada gejala-gejala
emergency. Reseptor glutamat yang memediasi kematian sel mungkin
terjadi. Semua ini dapat menjelaskan kematian sel tanpa gliosis yang
terlihat pada skizofrenia, dan perjalanan progresif penyakit ini pada
beberapa pasien.

 Faktor Psikososial
Skizofrenia ditinjau dari factor psikososial sangat dipengaruhi oleh faktor
keluarga dan stressor psikososial. Pasien yang keluarganya memiliki emosi
ekspresi yang tinggi memiliki angka relaps lebih tinggi daripada pasien yang
berasal dari keluarga berkspresi yang rendah. EE didefinisikan sebagai
perilaku yang intrusive, terlihat berlebihan, kejam dan kritis. Disamping itu,
stress psikologik dan lingkungan paling mungkin mencetuskan dekompensasi
psikotik yang lebih terkontrol. Di Negara industri sejumlah pasien skizofrenia
berada dalam kelompok sosio ekonomi rendah. Pengamatan tersebut telah
dijelaskan oleh hipotesis pergeseran ke bawah (Downward drift hypothesis),
yang menyatakan bahwa orang yang terkena bergeser ke kelompok
sosioekonomi rendah karena penyakitnya. Suatu penjelasan alternative adalah
hipotesis akibat sosial,yang menyatakan stress yang dialami oleh anggota
kelompok sosioekonomi rendah berperan dalam perkembangan skizofrenia.
Beberapa pendapat mengatakan bahwa penyebab sosial dari
skizofenia di setiap kultur berbeda tergantung dari bagaim ana penyakit
mental diterima di dalam kultur, sifat peranan pasien, tersedianya
sistem pendukung sosial dan keluarga, dan kompleksitas komunikasi sosial.

 Teori Infeksi
Angka kejadian dari penyebab virus meliputi perubahan neuropatologi karena
infeksi: gliosis, glial scaring, dan antivirus antibody dalam CSF serum pada
beberapa pasien skizofrenia.

2. 3 Klasifikasi

Klasifikasi Skizofrenia3,4,10

1. Skizofrenia Paranoid (F20.0)


Pasien skizofrenik paranoid biasanya berumur lebih tua dari pada pasien
skizofrenik terdisorganisasi atau katatonik jika mereka mengalami episode
pertama penyakitnya. Pasien yang sehat sampai akhir usia 20 atau 30 tahunan
biasanya mencapai kehidupan social yang dapat membantu mereka melewati
penyakitnya. Juga, kekuatan ego paranoid cenderung lebih besar dari pasien
katatonik dan terdisorganisasi. Pasien skizofrenik paranoid menunjukkan
regresi yang lambat dari kemampuanmentalnya, respon emosional, dan
perilakunya dibandingkan tipe lain pasien skizofrenik.
Pasien skizofrenik paranoid tipikal adalah tegang, pencuriga, berhati-
hati, dan tak ramah. Mereka juga dapat bersifat bermusuhan atau agresif.
Pasien skizofrenik paranoid kadang-kadang dapat menempatkan diri mereka
secara adekuat didalam situasi social. Kecerdasan mereka tidak terpengaruhi
oleh kecenderungan psikosis mereka dan tetap intak.

Memenuhi kriteria diagnostik skizofrenia


· Halusinasi dan atau waham harus menonjol :
(a) Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi
perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi
pluit, mendengung, atau bunyi tawa.
(b) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual,
atau lain-lain perasaan tubuh halusinasi visual mungkin ada tetapi
jarang menonjol.
(c) Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham
dikendalikan (delusion of control), dipengaruhi (delusion of
influence), atau “Passivity” (delusion of passivity), dan keyakinan
dikejar-kejar yang beraneka ragam, adalah yang paling khas.
Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala
katatonik secara relatif tidak nyata / menonjol.

2. Skizofrenia Hebefrenik (F20.1)


Skizofrenia hebefrenik atau disebut juga disorganised, permulaannya
perlahan-lahan dan sering timbul pada masa remaja atau antara 15–25 tahun.
Gejala yang menyolok adalah gangguan proses berfikir, gangguan kemauan
dan adanya depersonalisasi. Gangguan psikomotor seperti perilaku kekanak-
kanakan sering terdapat pada jenis ini. Waham dan halusinasi banyak sekali.

Pedoman Diagnostik
- Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
Diagnosis hebefrenia untuk pertama kali hanya ditegakkan pada usia
remaja atau dewasa muda (onset biasanya mulai 15-25 tahun).
Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas : pemalu dan senang
menyendiri (solitary), namun tidak harus demikian untuk menentukan
diagnosis. umumnya diperlukan pengamatan kontinu selama 2 atau 3
bulan lamanya, untuk memastikan bahwa gambaran yang khas berikut ini
memang benar bertahan :
- Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan, serta
mannerisme; ada kecenderungan untuk selalu menyendiri (solitary), dan
perilaku menunjukkan hampa tujuan dan hampa perasaan;
- Afek pasien dangkal (shallow) dan tidak wajar (inappropriate), sering
disertai oleh cekikikan (giggling) atau perasaan puas diri (self-satisfied),
senyum sendirir (self-absorbed smiling), atau oleh sikap, tinggi hati (lofty
manner), tertawa menyeringai (grimaces), mannerisme, mengibuli secara
bersenda gurau (pranks), keluhan hipokondrial, dan ungkapan kata yang
diulang-ulang (reiterated phrases);
- Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu
(rambling) serta inkoheren.

3. Skizofrenia Katatonik (F20.2)


Skizofrenia katatonik atau disebut juga katatonia, timbulnya pertama kali
antara umur 15-30 tahun dan biasanya akut serta sering didahului oleh stres
emosional. Mungkin terjadi gaduh gelisah katatonik atau stupor katatonik.

Stupor Katatonik


Pada stupor katatonik, penderita tidak menunjukan perhatian sama sekali


terhadap lingkungannya dan emosinya sangat dangkal. Secara tiba-tiba atau
perlahan-lahan penderita keluar dari keadaan stupor ini dan mulai berbicara
dan bergerak.

Gaduh Gelisah Katatonik


Pada gaduh gelisah katatonik, terdapat hiperaktivitas motorik, tapi tidak


disertai dengan emosi yang semestinya dan tidak dipengaruhi oleh
rangsangan dari luar.
Pedoman Diagnostik
- Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia. Satu atau lebih
dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran klinisnya :
(a) stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap lingkungan dan
dalam gerakan serta aktivitas spontan) atau mutisme (tidak berbicara):
(b) Gaduh gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang tak bertujuan,
yang tidak dipengaruhi oleh stimuli eksternal)
(c) Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil dan
mempertahankan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar atau aneh);
(d) Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif terhadap
semua perintah atau upaya untuk menggerakkan, atau pergerakkan kearah
yang berlawanan);
(e) Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk melawan
upaya menggerakkan dirinya);

(f) Fleksibilitas cerea / ”waxy flexibility” (mempertahankan anggota


gerak dan tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar); dan
(g) Gejala-gejala lain seperti “command automatism” (kepatuhan secara
otomatis terhadap perintah), dan pengulangan kata-kata serta kalimat-
kalimat.
Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku dari
gangguan katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda sampai
diperoleh bukti yang memadai tentang adanya gejala-gejala lain. Penting
untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala katatonik bukan petunjuk diagnostik
untuk skizofrenia. Gejala katatonik dapat dicetuskan oleh penyakit otak,
gangguan metabolik, atau alkohol dan obat-obatan, serta dapat juga terjadi
pada gangguan afektif.

4. Skizofrenia Tak Terinci (F20.3)


Seringkali pasien skizofrenik tidak dapat dengan mudah dimasukkan kedalam
salah satu tipe. PPDGJ mengklasifikasikan pasien tersebut sebagai tipe tidak
terinci. Kriteria diagnostic menurut PPDGJ III yaitu:
- Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
- Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid,
hebefrenik, atau katatonik.
- Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca
skizofrenia.

5. Depresi Pasca-skizofrenia (F20.4)


Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau :
a) Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria diagnosis
umum skizzofrenia) selama 12 bulan terakhir ini;
b) Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi
mendominasi gambaran klinisnya); dan
c) Gejala-gejala depresif menonjol dan menganggu, memenuhi paling
sedikit kriteria untuk episode depresif, dan telah ada dalam kurun waktu
paling sedikit 2 minggu.
Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia diagnosis menjadi
episode depresif. Bila gejala skizofrenia diagnosis masih jelas dan menonjol,
diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang sesuai.

6 Skizofrenia Residual (F20.5)


Menurut DSM IV, tipe residual ditandai oleh bukti-bukti yang terus menerus
adanya gangguan skizofrenik, tanpa adanya kumpulan lengkap gejala aktif
atau gejala yang cukup untuk memenuhi tipe lain skizofrenia. Penumpulan
emosional, penarikan social, perilaku eksentrik, pikiran yang tidak logis, dan
pengenduran asosiasi ringan adalah sering ditemukan pada tipe residual. Jika
waham atau halusinasi ditemukan maka hal tersebut tidak menonjol dan tidak
disertai afek yang kuat.

Pedoman Diagnostik
Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus
dipenuhi semua :
(a) Gejala “negative” dari skizofrenia yang menonjol misalnya
perlambatan psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang
menumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam
kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi non-verbal yang
buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara,
dan posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk;
(b) Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa
lampau yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofenia;
(c) Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana
intensitas dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan
halusinasi telah sangat berkurang (minimal) dan telah timbul
sindrom “negative” dari skizofrenia;
(d) Tidak terdapat dementia atau penyakit / gangguan otak organik
lain, depresi kronis atau institusionalisasi yang dapat
menjelaskan disabilitas negative tersebut.
7. Skizofrenia Simpleks (F20.6)
Skizofrenia simpleks sering timbul pertama kali pada masa
pubertas. Gejala utama pada jenis simpleks adalah kedangkalan emosi
dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berpikir biasanya sukar
ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali terdapat. Jenis ini
timbulnya perlahan-lahan sekali. Pada permulaan mungkin penderita
mulai kurang memperhatikan keluarganya atau mulai menarik diri
dari pergaulan. Makin lama ia makin mundur dalam pekerjaan atau
pelajaran dan akhirnya menjadi pengangguran, dan bila tidak ada
orang yang menolongnya ia mungkin akan menjadi pengemis,
pelacur, atau penjahat.
Pedoman Diagnostik
- Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan
karena tergantung pada pemantapan perkembangan yang
berjalan perlahan dan progresif dari :
- gejala “negative” yang khas dari skizofrenia residual tanpa
didahului riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari
episode psikotik, dan disertai dengan perubahan-perubahan
perilaku pribadi yang bermakna, bermanifestasi sebagai
kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu, tanpa
tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial.

Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe


skizofrenia lainnya.
8. Skizofrenia Lainnya (F20.8)
9. Skizofrenia YTT (F20.9)

2.4. Epidemiologi
Sekitar satu persen penduduk dunia akan mengidap skizofrenia pada
suatu waktu dalam hidupnya. Di Indonesia diperkirakan satu sampai dua
persen penduduk atau sekitar dua sampai empat juta jiwa akan terkena
penyakit ini. Bahkan sekitar sepertiga dari sekitar satu sampai dua juta yang
akan terjangkit penyakit skizofrenia ini atau sekitar 700 ribu hingga 1,4 juta
jiwa kini sedang mengidap skizofrenia. Perkiraan angka ini disampaikan Dr.
LS Chandra, SpKJ dari Sanatorium Dharmawangsa Jakarta Selatan.
Tiga per empat dari jumlah pasien skizofrenia umumnya dimulai pada
usia 16 sampai 25 tahun pada laki-laki. Pada kaum perempuan, skizofrenia
biasanya mulai diidap pada usia 25 hingga 30 tahun. Penyakit yang satu ini
cenderung menyebar di antara anggota keluarga sedarah.4
Studi epidemiologi menyebutkan bahwa perkiraan angka prevalensi
skizofrenia secara umum berkisar antara 0,2%-2,0%. Di Indonesia angka
prevalensi skizofrenia yang tercatat di Depkes berdasarkan survey di rumah
sakit (1983), antara 0,5%-0,15%, dengan perkiraan bahwa 90% dari penderita
skizofrenia mengalami halusinasi pada saat mereka sakit. Empat besar kasus
penderita yakni klien dengan paranoid sebanyak 359 orang, skizofrenia 290
orang, depresi 286 orang dan gangguan psikologis akut 269 orang. Penderita
lainnya mengalami neurosa, epilepsi, gangguan afektif, parafrenia, retardasi
mental, sindrom ketergantungan obat dan lainnya.5

2.5. Perjalanan Penyakit4


Tanda awal dari skizofrenia adalah simtom-simtom pada masa
premorbid. Biasanya simtom ini muncul pada masa remaja dan kemudian
diikuti dengan berkembangnya simtom prodormal dalam kurun waktu
beberapa hari sampai beberapa bulan. Adanya perubahan social /
lingkungan dapat memicu munculnya simtom gangguan. Masa prodormal
ini bisa langsung sampai bertahun-tahun sebelum akhirnya muncul simtom
psikotik yang terlihat.
Perjalanan penyakit skizofrenia yang umum adalah memburuk dan
remisi. Setelah sakit yang pertama kali, pasien mungkin dapat berfungsi
normal untuk waktu lama (remisi), keadaan ini diusahakan dapat terus
dipertahankan. Namun yang terjadi biasanya adalah pasien mengalami
kekambuhan. Tiap kekambuhan yang terjadi membuat pasien mengalami
deteriorasi sehingga ia tidak dapat kembali ke fungsi sebelum ia kambuh.
Kadang, setelah episode psikotik lewat, pasien menjadi depresi, dan ini
bisa berlangsung seumur hidup. Seiring dengan berjalannya waktu, simtom
positif hilang, berkurang, atau tetap ada, sedangkan simtom negative
relative sulit hilang bahkan bertambah parah.
Faktor-faktor resiko tinggi untuk berkembangnya skizofrenia adalah
Mempunyai anggota keluarga yang menderita skizofrenia, terutama jika
salah satu orang tuanya/saudara kembar monozygotnya menderita
skizofrenia, kesulitan pada waktu persalinan yang mungkin menyebabkan
trauma pada otak, terdapat penyimpangan dalam perkembangan
kepribadian, yang terlihat sebagai anak yang sangat pemalu, menarik diri,
tidak mempunyai teman, amat tidak patuh, atau sangat penurut, proses
berpikir idiosinkratik, sensitive dengan perpisahan, mempunyai orang tua
denga sikap paranoid dan gangguan berpikir normal, memiliki gerakan
bola mata yang abnormal, menyalahgunakan zat tertentu seperti
amfetamin, kanabis, kokain, Mempunyai riwayat epilepsi, memilki
ketidakstabilan vasomotor, gangguan pola tidur, control suhu tubuh yang
jelek dan tonus otot yang jelek.

2.6 Penatalaksanaan Skizofrenia

Medikamentosa
Obat-obatan anti-psikotik meliputi dopamine reseptor antagonis dan
serotonin-dopamin antagonis, seperti risperidon (Risperdal) dan clozapine
(Clozaril).
1. Obat Pilihan
a. Dopamin reseptor antagonis (tipikal antipsikotik)
Efektif untuk mengobati gejala-gejala positif pada skizofrenia.
Dapat menimbulkan efek samping berupa gejala
ekstrapiramidal, terutama pada penggunaan haloperidol.
b. Serotonin-dopamin antagonis (atipikal antipsikotik)
Efektif untuk mengobati gejala-gejala negatif pada skizofrenia.
Memiliki efek samping gejala ekstrapiramidal yang minimal,
terutama clozapine.
2. Dosis
Untuk gejala psikotik akut, pemberian obat diberikan selama 4-6
minggu, atau lebih pada kasus yang kronis. Dosis untuk terapi
tipikal adalah 4-6 minggu risperidone per hari, 10-20 mg
olanzapine (Zyprexa) per hari, dan 6-20 mg haloperidol per hari.
3. Maintenance
Skizofrenia merupakan penyakit kronis, dan pemberian terapi
jangka panjang sangat dibutuhkan terutama untuk mencegah
kekambuhan. Apabila keadaan pasien sudah stabil selama 1 tahun,
maka dosis pemberian obat dapat diturunkan secara perlahan,
sekitar 10-20% per bulan. Selama penurunan dosis, pasien dan
keluarga pasien diberikan edukasi agar melaporkan bisa terjadi
kekambuhan, termasuk insomnia, kecemasan, withdrawal, dan
kebiasaan yang aneh.
4. Obat lainnya
Apabila pengobatan standart dengan antipsikotik tidak berhasil,
beberapa obat lainnya telah dilaporkan dapat meningkatan
keefektifan pengobatan. Penambahan lithium dapat meningkatkan
keefektifan pengobatan pada sebagian besar pasien. propanolol
(Inderal), benzodiazepine, asam valproat (Depakene) atau
divalproex (Depakote), dan carbamazepine (Tegretol) telah
dilaporkan dapat meningkatkan keefektifan pengobatan pada
beberapa kasus.
5.
Terapi Elektrokonvulsif

Terapi Elektrokonvulsif disingkat ECT juga dikenal sebagai


terapi elektroshock. ECT telah menjadi pokok perdebatan dan
keprihatinan masyarakat karena beberapa alasan. Di masa lalu
ECT ini digunakan di berbagai rumah sakit jiwa pada berbagai
gangguan jiwa, termasuk schizophrenia. Namun terapi ini tidak
membuahkan hasil yang bermanfaat. Sebelum prosedur ECT yang
lebih manusiawi dikembangkan, ECT merupakan pengalaman
yang sangat menakutkan pasien. Pasien seringkali tidak bangun
lagi setelah aliran listrik dialirkan ke tubuhnya dan mengakibatkan
ketidaksadaran sementara, serta seringkali menderita kerancuan
pikiran dan hilangnya ingatan setelah itu. Adakalanya, intensitas
kekejangan otot yang menyertai serangan otak mengakibatkan
berbagai cacat fisik.


Namun, sekarang ECT sudah tidak begitu menyakitkan. Pasien


diberi obat bius ringan dan kemudian disuntik dengan penenang otot.
Aliran listrik yang sangat lemah dialirkan ke otak melalui kedua
pelipisatau pada pelipis yang mengandung belahan otak yang tidak
dominan. Hanya aliran ringan yang dibutuhkan untuk menghasilkan
serangan otak yang diberikan, karena serangan itu sendiri yang
bersifat terapis, bukan aliran listriknya. Penenang otot mencegah
terjadinya kekejangan otot tubuh dan kemungkinan luka. Pasien
bangun beberapa menit dan tidak ingat apa-apa tentang pengobatan
yang dilakukan. Kerancuan pikiran dan hilang ingatan tidak terjadi,
terutama bila aliran listrik hanya diberikan kepada belahan otak yang
tidak dominan (nondominan hemisphere).
Indikasi pemberian terapi ini adalah pasien skizofrenia
katatonik dan bagi pasien karena alasan tertentu karena tidak dapat
menggunakan antipsikotik atau tidak adanya perbaikan setelah

pemberian antipsikotik.
 Kontra indikasi Elektrokonvulsif terapi

adalah Dekompensasio kordis, aneurisma aorta, penyakit tulang


dengan bahaya fraktur tetapi dengan pemberian obat pelemas otot
pada pasien dengan keadaan diatas boleh dilakukan. Kontra indikasi
mutlak adalah tumor otak.
Psikoterapi
Gejala-gejala gangguan schizophrenia yang kronik telah
membuat situasi pengobatan di dalam maupun di luar Rumah Sakit
Jiwa (RSJ) menjadi monoton dan menjemukan. Para psikiater dan
petugas kesehatan terkondisi untuk menangani schizophrenia dengan
obat saja selain terapi kejang listrik (ECT). Psikoterapi suportif, terapi
kelompok, maupun terapi perilaku hampir tidak pernah dilakukan,
karena dianggap tidak akan banyak manfaatnya. Wawancara tatap

muka yang rutin dengan pasien jarang dilakukan.


Psikoterapi adalah perawatan dan penyembuhan gangguan


jiwa dengan cara psikologis. beberapa pakar psikoterapi beranggapan
bahwa perubahan perilaku tergantung pada pemahaman individu atas

motif dan konflik yang tidak disadari.


1) Terapi Psikoanalisa
Terapi Psikoanalisa adalah metode terapi berdasarkan konsep
Freud. Tujuan psikoanalisis adalah menyadarkan individu akan
konflik yang tidak disadarinya dan mekanisme pertahanan yang
digunakannya untuk mengendalikan kecemasannya. Hal yang paling
penting pada terapi ini adalah untuk mengatasi hal-hal yang direpress

oleh penderita. 
 Metode terapi ini dilakukan pada saat penderita

schizophrenia sedang tidak “kambuh”. Macam terapi psikoanalisa


yang dapat dilakukan, adalah Asosiasi Bebas. Pada teknik terapi ini,
penderita didorong untuk membebaskan pikiran dan perasaan dan
mengucapkan apa saja yang ada dalam pikirannya tanpa penyuntingan

atau penyensoran. 
 Pada teknik ini, penderita disupport untuk bisa

berada dalam kondisi relaks baik fisik maupun mental dengan cara
tidur di sofa. Ketika penderita dinyatakan sudah berada dalam
keadaan relaks, maka pasien harus mengungkapkan hal yang

dipikirkan pada saat itu secara verbal. 


Pada saat penderita tidur di sofa dan disuruh menyebutkan


segala macam pikiran dan perasaan yang ada di benaknya dan
penderita mengalami blocking, maka hal itu merupakan manifestasi
dari keadaan over-repressi. Hal yang direpress biasanya berupa
dorongan vital seperti sexual dan agresi. Repressi terhadap dorongan
agresi menyangkut figur otorotas yang selalu diwakili oleh father dan
mother figure. Repressi anger dan hostile merupakan salah satu
bentuk intrapsikis yang biasa menyebabkan blocking pada individu.
Akibat dari blocking tersebut, maka integrasi kepribadian menjadi

tidak baik, karena ada tekanan ego yang sangat besar.


Menurut Freud, apabila terjadi blocking dalam proses asosiasi


bebas, maka penderita akan melakukan analisa. Hasil dari analisanya
dapat menimbulkan insight pada penderita. Analisa pada waktu terjadi
blocking bertujuan agar penderita mampu menempatkan konfliknya
lebih proporsional, sehingga penderita mengalami suatu proses
penurunan ketegangan dan penderita lebih toleran terhadap konflik
yang dialaminya.
Seperti yang telah diungkapkan terdahulu bahwa penderita
diberi kesempatan untuk dapat mengungkapkan segala traumatic
events dan keinginan-keinginan yang direpressnya. Waktu ini disebut
dengan moment chatarsis. Disini penderita diberi kesempatan untuk
mengeluarkan uneg-uneg yang ia rasakan, sehingga terjadi redusir
terhadap pelibatan emosi dalam menyelesaikan masalah yang
dialaminya. Dalam teknik asosiasi bebas ini, juga terdapat proses
transference, yaitu suatu keadaan dimana pasien menempatkan
therapist sebagai figur substitusi dari figur yang sebenarnya
menimbulkan masalah bagi penderita. Terdapat 2 macam transference,
yaitu transference positif, yaitu apabila therapist menggantikan figur
yang disukai oleh penderita, transference negatif, yaitu therapist
menggantikan figur yang dibenci oleh penderita.

2) Terapi Perilaku (Behavioristik)


Pada dasarnya, terapi perilaku menekankan prinsip


pengkondisian klasik dan operan, karena terapi ini berkaitan dengan
perilaku nyata. Para terpist mencoba menentukan stimulus yang
mengawali respon malasuai dan kondisi lingkungan yang menguatkan

atau mempertahankan perilaku itu.


Akhir-akhir ini, pakar terapi perilaku melihat adanya pengaruh


variabel kognitif pada perilaku (misalnya, pemikiran individu tentang
situasi menimbulkan kecemasan tentang akibat dari tindakan tertentu)
dan telah mencakupkan upaya untuk mengubah variabel semacam itu
dengan prosedur yang khusus ditujukan pada perilaku tersebut. Pada
kongres psikiatri di Malaysia tahun 2000 ini, cognitif behavior
therapy untuk pasien schizophrenia ditampilkan pakar psikiatri dari
Amerika maupun dari Malaysia sendiri. Ternyata, terdapat hasil yang
cukup baik, terutama untuk kasus-kasus baru, dengan menggunakan
cognitif behavior therapy tersebut. Rupanya ada gelombang besar
optimisme akan kesembuhan schizophrenia di dunia dengan terapi

yang lebih komprehensif ini.


Selain itu, secara umum terapi ini juga bermaksud secara


langsung membentuk dan mengembangkan perilaku penderita
schizophrenia yang lebih sesuai, sebagai persiapan penderita untuk
kembali berperan dalam masyarakat. Paul dan Lentz menggunakan
dua bentuk program psikososial untuk meningkatkan fungsi

kemandirian.


a. Social Learning Program


Social learning program menolong penderita
skizofrenia untuk mempelajari perilaku-perilaku yang sesuai.
Program ini menggunakan token economy, yakni suatu cara
untuk menguatkan perilaku dengan memberikan tanda tertentu
(token) bila penderita berhasil melakukan suatu perilaku
tertentu. Tanda tersebut dapat ditukar dengan hadiah (reward),

seperti makanan atau hak-hak tertentu.
 Program lainnya

adalah millieu program atau terapi komunitas. Dalam program


ini, penderita dibagi dalam kelompok-kelompok kecil yang
mempunyai tanggung jawab untuk tugas-tugas tertentu.
Mereka dianjurkan meluangkan waktu untuk bersama-sama
dan saling membantu dalam penyesuaian perilaku serta
membicarakan masalah-masalah bersama dengan pendamping.
Terapi ini berusaha memasukkan penderita schizophrenia
dalam proses perkembangan untuk mempersiapkan mereka
dalam peran sosial yang bertanggung jawab dengan

melibatkan seluruh penderitan dan staf pembimbing.
 Dalam

penelitian, social learning program mempunyai hasil yang


lebih baik dibandingkan dengan perawatan dalam rumah sakit
jiwa dan millieu program. Persoalan yang muncul dalam terapi
ini adalah identifikasi tentang unsur-unsur mana yang efektif.
Tidak jelas apakah penguatan dengan tanda (token) ataukan
faktor-faktor lain yang menyebabkan perubahan perilaku; dan
apakah program penguatan dengan tanda tersebut membantu
perubahan perilaku hanya selama tanda diberikan atau hanya

dalam lingkungan perawatan.


b. Social Skills Training


Terapi ini melatih penderita mengenai ketrampilan atau
keahlian sosial, seperti kemampuan percakapan, yang dapat
membantu dalam beradaptasi dengan masyarakat. Social Skills
Training menggunakan latihan bermainsandiwara. Para
penderita diberi tugas untuk bermain peran dalam situasi-
situasi tertentu agar mereka dapat menerapkannya dalam
situasi yang sebenarnya. Bentuk terapi seperti ini sering
digunakan dalam panti-panti rehabilitasin psikososial untuk
membantu penderita agar bisa kembali berperan dalam
masyarakat. Mereka dibantu dan didukung untuk
melaksanakan tugas-tugas harian seperti memasak, berbelanja,

ataupun utnuk berkomunikasi, bersahabat, dan sebagainya.


Meskipun terapi ini cukup berhasil, namun tetap ada persoalan


bagaimana mempertahankan perilaku bila suatu program telah
selesai, dan bagaimana dengan situasi-situasi yang tidak
diajarkan secara langsung.

3) Terapi Humanistik


a. Terapi Kelompok.
Banyak masalah emosional menyangkut kesulitan
seseorang dalam berhubungan dengan orang lain, yang dapat
menyebabkan seseorang berusaha menghindari relasinya dengan
orang lain, mengisolasi diri, sehingga menyebabkan pola
penyelesaian masalah yang dilakukannya tidak tepat dan tidak
sesuai dengan dunia empiris. Dalam menangani kasus tersebut,
terapi kelompok akan sangat bermanfaat bagi proses

penyembuhan klien, khususnya klien skizofrenia.


Terapi kelompok ini termasuk salah satu jenis terapi


humanistik. Pada terapi ini, beberapa klien berkumpul dan saling
berkomunikasi dan terapist berperan sebagai fasilitator dan
sebagai pemberi arah di dalamnya. Di antara peserta terapi
tersebut saling memberikan feedback tentang pikiran dan perasaan

yang dialami oleh mereka.
 Klien dihadapkan pada setting sosial

yang mengajaknya untuk berkomunikasi, sehingga terapi ini dapat


memperkaya pengalaman mereka dalam kemampuan
berkomunikasi. Di rumah sakit jiwa, terapi ini sering dilakukan.
Melalui terapi kelompok ini iklim interpersonal relationship yang
konkrit akan tercipta, sehingga klien selalu diajak untuk berpikir
secara realistis dan menilai pikiran dan perasaannya yang tidak

realistis.


b. Terapi Keluarga.
Terapi keluarga ini merupakan suatu bentuk khusus dari
terapi kelompok. Kelompoknya terdiri atas suami istri atau orang
tua serta anaknya yang bertemu dengan satu atau dua terapist.
Terapi ini digunakan untuk penderita yang telah keluar dari rumah
sakit jiwa dan tinggal bersama keluarganya. Ungkapan-ungkapan
emosi dalam keluarga yang bisa mengakibatkan penyakit
penderita kambuh kembali diusahakan kembali. Keluarga diberi
informasi tentang cara-cara untuk mengekspresikan perasaan-
perasaan, baik yang positif maupun yang negatif secara
konstruktif dan jelas, dan untuk memecahkan setiap persoalan
secara bersama-sama. Keluarga diberi pengetahuan tentang
keadaan penderita dan cara-cara untuk menghadapinya. Keluarga
juga diberi penjelasan tentang cara untuk mendampingi,
mengajari, dan melatih penderita dengan sikap penuh
penghargaan. Perlakuan-perlakuan dan pengungkapan emosi
anggota keluarga diatu dan disusun sedemikian rupa serta
dievaluasi.
Dari beberapa penelitian, seperti yang dilakukan oleh
Fallon ternyata campur tangan keluarga sangan membantu dalam
proses penyembuhan, atau sekurang-kurangnya mencegah
kambuhnya penyakit penderita, dibandingkan dengan terapi-terapi
secara individual.

Bab III
Laporan Hasil Kunjungan Rumah

Puskesmas : Rengasdengklok
Tanggal kunjungan rumah : 05 Desember 2017

Keluarga Binaan V
Puskesmas : Rengasdengklok Kec.Rengasdengklok
Tanggal Kunjungan : 5 Desember 2017

Identitas Pasien
Nama Lengkap : Tn. Itom
Usia : 39 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Desa Dewisari
Suku Bangsa : Sunda
Agama : Islam
Pendidikan :-

Riwayat Biologis Keluarga

Keadaan kesehatan sekarang : Cukup


Kebersihan Perorangan : baik
Penyakit yang Diderita : Tidak ada
Penyakit Keturunan : Tidak ada
Penyakit Kronis : Tidak ada
Kecacatan Anggota Keluarga : Tidak ada
Pola Makan : Baik
Pola Istirahat : Baik
Jumlah Anggota Keluarga : 3 orang

Psikologis Keluarga
Kebiasaan Buruk : Tidak ada
Pengambilan Keputusan : Musyawarah
Ketergantungan Obat : Tidak ada
Tempat Mencari Pelayanan Kesehatan : Ada
Pola Rekreasi : Cukup
Keadaan Rumah/Lingkungan
Jenis Bangunan : Permanen
Lantai Rumah : Ubin
Luas Rumah : 48 m2
Penerangan : Baik
Kebersihan : Baik
Ventilasi : Ada
Dapur : Ada
Jamban Keluarga : Ada
Sumber Air Minum : Air tanah
Sumber Pencemaran Air : Tidak ada
Pemanfaatan Pekarangan : Ada
Tempat Pembuangan Sampah : Ada
Sanitasi Lingkungan : Baik

Spiritual Keluarga
Ketaatan Beribadah : Baik
Keyakinan Tentang Kesehatan : Cukup
Keadaan Sosial Keluarga
Tingkat Pendidikan Terakhir : SMA
Hubungan Antar Keluarga : Baik
Hubungan Dengan Orang Lain : Baik
Kegiatan Organisasi Sosial : Baik
Keadaan Ekonomi : Baik

Kultural Keluarga
Adat yang Berpengaruh : Sunda

Keluhan Utama
mengamuk ± 4 minggu yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang


A. Alloanamnesis : Dengan adik kandungnya. Menurut keluarganya, pasien
mengalami perubahan tingkah laku sejak kurang lebih 4 minggu yang lalu.
Keluarga mengatakan pasien mengamuk karena dikabaran istri nya yang
menjadi TKW di Arab menikah lagi, dan tetangga serta keluarganya langsung
membawanya ke rumah sakit jiwa yang ada di bogor dan sebelum kejadian
mengamuk keluarganya mengatakan hampir setiap hari setelah di tinggal
istrinya pergi menjadi TKW Pasien sering tersenyum sendiri, tertawa sendiri.
Apabila keluarga pasien menegur pasien langsung diam, pasien jarang
bersosialisasi dengan keluarganya dan teman-temannya yang ada
disekitarnya. Keluarga mengatakan bahwa pasien memiliki gangguan dalam
perawatan diri, pasien tidak mau mandi, dan pasien tidak mau berganti
pakaian. Namun Pasien masih mau makan, dan sering tidur larut malam

Pemeriksaan generalis
Kepala
Bentuk dan Ukuran : Normocephali, tidak ada deformitas
Rambut dan Kulit Kepala : Rambut berwarna hitam, distribusi merata, kulit
kepala tidak ada kelainan
Wajah : normal
Mata : Conjunctiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Telinga : Bentuk normal, liang telinga lapang, sekret -/-
Hidung : Bentuk normal, sekret -/- Pernapasan cuping hidung -
Bibir : Merah, tidak kering, sianosis (-)
Gigi-geligi : Dalam batas normal
Mulut : Bentuk normal, stomatitis (-), sianosis (-)
Lidah : Bentuk normal, lidah kotor (-)
Tonsil : T1-T1 tenang, hiperemis (-)
Faring : Hiperemis (-)

Leher
Tidak ada kelainan bentuk, tiroid dan kelenjar getah bening tidak teraba membesar.

Toraks
Paru : Vesikular +/+, Rhonki (- /-), Wheezing ( - /- )
Jantung : BJ I dan II murni, reguler. Murmur(-), Gallop(-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, tidak terdapat benjolan
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Timpani (+)
Anus dan Rectum : Tidak dilakukan pemeriksaan
Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan
Anggota gerak : Akral hangat

Diagnosa : Skizofrenia

Binaan pada pasien dan keluarga


- Menjelaskan kondisi yang dialami pasien.
- Menjelaskan tentang pengobatan yang harus dijalani pasien, pasien
dianjurkan untuk rutin minum obat secara teratur, dan melakukan kontrol
kembali ke puskesmas apabila obat telah habis, untuk mengetahui apakah
terdapat adanya perbaikan dari sakit yang pasien alami.
- Menjelaskan cara-cara menghardik halusinasi
- Menjelaskan tentang pola hidup sehat dan

Lmpiran Foto
VIII. Anggota Keluarga :
Hubungan
Keadaan
No Nama dengan Umur Pekerjaan Agama
Kesehatan
keluarga
67
1 M Suami Buruh Islam Hipertensi
tahun
64 Ibu rumah
2 C Istri Islam Hipertensi
tahun tangga
32
3 R Anak Buruh Islam Sehat
tahun

Keterangan :
Tanda Panah abu-abu = Pasien
IX. Keluhan Utama
mengamuk ± 4 minggu yang lalu.
X. Keluhan Tambahan
-.
XI. Riwayat Penyakit Sekarang
Alloanamnesis : Dengan tetangganya adik kandungnya. Menurut
keluarganya, pasien mengalami perubahan tingkah laku sejak kurang lebih 4 minggu
yang lalu. Keluarga mengatakan pasien mengamuk karena dikabaran istri nya yang
menjadi TKW di Arab menikah lagi, dan tetangga serta keluarganya langsung
membawanya ke rumah sakit jiwa yang ada di bogor dan sebelum kejadian
mengamuk keluarganya mengatakan hampir setiap hari setelah di tinggal istrinya
pergi menjadi TKW Pasien sering tersenyum sendiri, tertawa sendiri. Apabila
keluarga pasien menegur pasien langsung diam, pasien jarang bersosialisasi dengan
keluarganya dan teman-temannya yang ada disekitarnya. Keluarga mengatakan
bahwa pasien memiliki gangguan dalam perawatan diri, pasien tidak mau mandi, dan
pasien tidak mau berganti pakaian. Namun Pasien masih mau makan, dan sering tidur
larut malam
XII. Riwayat Penyakit Dahulu
-

XIII. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan Fisik Ibu
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital
Frekuensi Nadi : 80 kali/menit
Berat Badan : 55 kg
Frekuensi Napas : 18 kali/menit
Suhu : 36,50C
Tekanan Darah : 120/80 mmHg

XIV. Status Generalis


Kepala
Bentuk dan Ukuran : Normocephali, tidak ada deformitas
Rambut dan Kulit Kepala : Rambut berwarna hitam, distribusi merata, kulit
kepala tidak ada
kelainan
Wajah : normal
Mata : Conjunctiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Telinga : Bentuk normal, liang telinga lapang, sekret -/-
Hidung : Bentuk normal, sekret -/- Pernapasan cuping hidung (-
)
Bibir : Merah, tidak kering, sianosis (-)
Gigi-geligi : Dalam batas normal
Mulut : Bentuk normal, stomatitis (-), sianosis (-)
Lidah : Bentuk normal, lidah kotor (-)
Tonsil : T1-T1 tenang, hiperemis (-)
Faring : Hiperemis (-)

Leher
Tidak ada kelainan bentuk, tiroid dan kelenjar getah bening tidak teraba membesar.

Toraks
Paru : Vesikular +/+, Rhonki (- /-), Wheezing ( - /- )
Jantung : BJ I dan II murni, reguler. Murmur(-), Gallop(-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, tidak terdapat benjolan
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Timpani (+)
Anus dan Rectum : Tidak dilakukan pemeriksaan
Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan
Anggota gerak : Akral hangat

Diagnosa : Skizofrenia
XVI. Diagnosis Keluarga :
-

XVII. Anjuran Penatalaksanaan penyakit :


 Promotif : memberikan penyuluhan dan pengertian kepada pasien tentang.
penyakit, dan keteraturan dalam berobat sehingga terkontrolnya
 Preventif : Memotivasi pasien agar mau berobat dan kontrol puskesmas
 Kuratif :
 Non farmakologis:
 Menghardik halusimasi
 Kontrol berobat ke dokter secara teratur
 Membuat jadwal menyibukan diri
 Farmakologis:
 CPZ
 Triheksilpenidil

XVIII. Prognosis
Penyakit : dubia ad malam
Keluarga : dubia ad bonam
Masyarakat : dubia ad bonam

XIX. Resume :
Pasien mengamuk kurang lebih 4 minggu yang lalu. Pasien sering tersenyum
sendiri, tertawa sendiri. Apabila keluarga pasien menegur pasien langsung diam,
pasien jarang bersosialisasi dengan keluarganya dan teman-temannya yang ada
disekitarnyKeluhan dirasakan setelah pasien di tinggal oleh istrinya menjadi TKW.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 149/76 mmHg.

Bab IV
Pembahasan

Dari hasil kunjungan rumah didapatkan bahwa pasien mempunyai penyakit


Skizofrenia. pasien mengalami perubahan tingkah laku sejak kurang lebih 4 minggu
yang lalu. Keluarga mengatakan pasien mengamuk karena dikabaran istri nya yang
menjadi TKW di Arab menikah lagi, dan Pasien sering tersenyum sendiri, tertawa
sendiri. Apabila keluarga pasien menegur pasien langsung diam, pasien jarang
bersosialisasi dengan keluarganya dan teman-temannya yang ada disekitarnya.
Keluarga mengatakan bahwa pasien memiliki gangguan dalam perawatan diri, pasien
tidak mau mandi, dan pasien tidak mau berganti pakaian
Dilihat dari hasil kunjungan rumah pasien, didapatkan bahwa tempat tinggal
pasien tergolong rumah yang cukup sehat. Ventilasi cukup memadai. Penerangan dan
kebersihan rumah juga cukup, sehingga dalam rumah terlihat terang, serta kondisi
rumah yang agak berantakan. Terdapat di belakang rumah dan kamar mandi serta
tempat cuci dalam rumah pasien yang letaknya bersebelahan dengan dapur.
Jambannya adalah wc pribadi dan keluarganya menggunakan air galon sebagai
sumber air minum. Tidak ditemukan sumber pencemaran air. Terdapat pembuangan
sistem pembuangan air limbah dan tempat pembuangan sampah berupa tempat
kantung plastik.
Oleh karena itu sebagai dokter keluarga yang bekerja di Puskesmas,
sebaiknya dapat memberikan komunikasi, informasi dan edukasi perorangan untuk
memperbaiki pola hidup pasien, serta menerapkan prinsip kedokteran keluarga yaitu
komprenhensif (promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif) dan pencegahan (primer,
sekunder, tersier).
Bab V
Penutup

Dari hasil pemeriksaan saat kunjungan rumah pada tanggal 05 Desember


2017, didapatkan bahwa pasien adalah penderita Skizofrenia.. Pasien berusia 39
tahun. Pasien kurang memberi perhatian akan keadaan kesehatan dirinya dan
keluarganya. Pasien memiliki 1 orang anak perempuan.
Tempat tinggal pasien tergolong rumah yang sehat. Ventilasi cukup memadai.
Penerangan dan kebersihan rumah cukup diperhatikan, hanya kondisi rumah yang
agak berantakan. Terdapat di belakang rumah dan kamar mandi serta tempat cuci
dalam rumah pasien yang letaknya bersebelahan dengan dapur. Jambannya adalah wc
pribadi dan keluarganya menggunakan air galon sebagai sumber air minum. Tidak
ditemukan sumber pencemaran air. Terdapat pembuangan sistem pembuangan air
limbah dan tempat pembuangan sampah berupa tempat kantung plastik.
Keluarga pasien merupakan keluarga yang cukup sehat. Saat ini kondisi
pasien cukup baik. Namun untuk mencapai tingkat kesehatan yang lebih optimal
hendaknya didukung pula oleh kondisi rumah yang lebih sehat dan rapi, cukup dan
seimbangnya asupan gizi, serta mengontrol pola makan dan minum, serta keteraturan
berobat bagi pasien.
Daftar pustaka

1. Anonim. Mengenal Skizofrenia. [Online]


http://www.skizofrenia.co.id/content/mengenai-skizofrenia (diunduh pada
tanggal 2 Agustus 2012).

2. Anonim. Skizofrenia. [Online] http://www.news-


medical.net/health/Schizophrenia-(Indonesian).aspx (diunduh pada tanggal 2
Agustus 2012).

3. Maslim, Rusdi. 2001. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-


III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.

4. Anonim. 2009. Skizofrenia. [Online]


http://yumizone.wordpress.com/2009/01/10/skizofrenia/ (diunduh pada
tanggal 3 Agustus 2012).

5. Mulyana Sari, Eka. 2008. Perubahan Kemampuan Kognitif Klien Skizofrenia


Setelah Diberikan Terapi Aktifitas Kelompok Stimulasi Persepsi di Rumah
Sakit Jiwa Daerah Surakarta. [Online]
http://etd.eprints.ums.ac.id/892/1/J210040012.pdf (diunduh pada tanggal 3
Agustus 2012).

6. Anonim. 2011. Faktor-faktor Penyebab Skizofrenia. [Online]


http://abnormalpsychologyschizophrenia.blogspot.com/2011/08/faktor-faktor-
penyebab-skizofrenia.html (diunduh pada tanggal 3 Agustus 2012).

7. Sadock, Bejamin J. 2001. Kaplan & Sadock’s: Pocket Handbook of Clinical


Psychiatry 3rd edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

8. Phi-D. 2011. Gejala Skizofrenia. [Online]


http://www.vdshared.com/kesehatan/34-dunia-manusia/110-gejala-
skizofrenia.html (diunduh pada tanggal 3 Agustus 2012).

9. Phi-D. 2011. Jenis-jenis Skizofrenia. [Online]


http://www.vdshared.com/kesehatan/34-dunia-manusia/111-jenis-jenis-
skizofrenia.html (diunduh pada tanggal 3 Agustus 2012).
10. Anonim. 2011. Penatalaksanaan Skizofrenia. [Online]
http://shafamedica.wordpress.com/2011/12/17/penatalaksanaan-skizofrenia/
(diunduh pada tanggal 5 Agustus 2012).

11. Anonim. Schizophrenia. [Online]


http://medicastore.com/penyakit/3013/Schizophrenia.html (diunduh pada
tanggal 5 Agustus 2012).

12. Maslim. R. 2001. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik,


edisi 3. Jakarta: Penerbit Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa.

Lampiran

Anda mungkin juga menyukai