Dosen Pembimbing :
Ety Nurhayati.,S.Kp.,M.Kep, Ns. Sp. Kep. Mat
Disusun Oleh :
Yeni Mursiani 2019-0305-030
Faktor penyebab langsung kanker serviks belum diketahui secara pasti, akan tetapi beberapa
faktor risiko tertinggi kejadian kanker adalah akibat dari infeksi dari Human Papilloma Virus
(HPV) melalui hubungan seksual. Hampir 90% kejadian kanker serviks disebabkan oleh virus
HPV (Ramondetta, 2013). Salah satu jenis HPV yang menyebabkan kanker adalah HPV 16
dan HPV 18. Jenis ini ditemukan hampir 83% penyebab kanker serviks. Mayoritas infeksi
HPV tidak memiliki gejala, ketika sudah semakin sering terinfeksi oleh HPV 16 dan HPV 18
maka akan menjadi pre kanker. Ketika tidak ditangani dengan segara akan menjadi kanker.
Fakter resiko HPV mengalami persisten dan berkembang menjadi kanker adalah melakukan
hubungan seksual diusia kurang dari 20 tahun, merokok, memiliki imun yang rendah,
memiliki banyak pasangan dalam berhubungan seksual, meiliki suani dengan risiko tinggi
melakukan hubungan seksual yang sering, ekonomi yang rendah, tidak mendapat vaksinasi
HPV, menggunakan kontrasepsi oral atau suntik dan juga adanya keluarga yang memiliki
riwayat kanker serviks (WHO, 2016).
Kanker serviks dengan stadium lanjut, sudah sulit untuk disembuhkan dan hanya memiliki
harapan bertahan hidup 15% (American society cancer, 2016). Tindakan yang diberikan
hanya untuk mengontrol gejala kanker serviks. Menurut National Comprehensif Cancer
Network(2016) menyebutkan bahwa perawatan paliatif sangat tepat diberikan kepada
penderita kanker serviks. Perawatan paliatif merupakan perawatan yang meningkatkan
kualitas hidup klien dan keluarga yang menghadapi masalah penyakit yang sudah sulit untuk
disembuhkan, hal ini ditangani dengan melakukan pencegahan dan meringankan penderitaan
seperti pengobatan nyeri, kahaksia, anoreksia, mual muntah, gangguan tidur, keletihan,
psikososial dan spiritual (Black&hawks, 2014).
WHO (2014) menyebutkan bahwa perawatan paliatif adalah perawatan yang meningkatkan
kualitas hidup klien dan keluarga dalam menghadapi masalah yang berkaitan dengan
penyakit yang mengancam kehidupan, melalui mencegah dan meringankan penderitaan
dengan cara menangani nyeri maupun masalah fisik, psikososial dan spiritualnya. Dengan
demikian perawatan paliatif merupakan perawatan yang dilakukan bukan untuk
menyenbuhkan tetapi untuk meringankan gejala yang timbul agar tidak memperberat derita
klien dan meningkatkan kualitas hidup diakhir hidup klien. Hal ini sejalan dengan prinsip
pada perawatan paliatif yaitu menghilangkan nyeri dan gejala fisik lainnya, menghargai
kehidupan dan menganggap kematian sebagai proses normal, tidak bertujuan menghambat
atau mempercepat kematian, mengintegrasikan aspek psikologis, sosial dan spiritual,
melakukan pendekatan kepada keluarga sampai masa duka cita dan menghindari tindakan
yang sia-sia (WHO, 2014).
Gejala yang biasa terjadi pada pasien kanker serviks dengan perawatan paliatif adalah nyeri,
kehilangan berat badan, edema dan asites, mual dan muntah, konstipasi, diare dan
inkontinesia fekal, inkontinensia urine, infeksi saluran kemih, perdarahan atau adanya cairan
pus dari vagina, sesak nafas, DVT, psiko-spiritual dan hubungan sosial (WHO, 2014).
Gejala-gejala tersebut dapat dikurangi dengan memberikan perawatan yang tepat oleh tenaga
profesional seperti perawat. Perwawatan Paliatif dilakukan interdisiplin ilmu seperti dokter,
perawat, pekerja sosial dan psikolog, konselor spirirtual, relawan, apoteker. Kerjasama dalam
tim untuk mengurangi gejala yang dimiliki klien pada perawatan paliatif sangat penting. Satu
sama lain memiliki perannya masing-masing dan berkolaborasi memberikan perawatan
holistik kepada klien.
Nyeri merupakan salah faktor yang mempengaruhi aspek kualitas hidup penderita kanker
serviks. Nyeri pada pasien kanker serviks stadium lanjut merupakan nyeri kronis yang
bersifat subjektif, dengan pengalam nyeri yang dirasakan secara terus menerus terjadi selama
enam bulan atau lebih. Pasien dengan nyeri kronik mengalami gangguan dalam mengerjakan
aktifitas sehari-hari, makan dan tidur, serta merasa frustasi karena kurangnya dukungan
keluarga dengan penyakit yang dialami pasien. Nyeri kanker serviks menyerang pada bagian
bawah perut dan punggung serta diperberat oleh aktifitas fisik yang berat.
Pengobatan terhadap keluhan penderita kanker serviks dapat dilakukan dengan terapi
komplementer yang menimbulkan keselarasan tubuh dan pikiran yang diyakini mampu
memfasilitasi penyembuhan fisik dan psikologis. Salah satu terapi komplementer yaitu
Progressive Muscle Relaxation (PMR) yang menggabungkan nafas dalam, serangkaian seri
kontraksi serta relaksasi otot tertentu, dan distraksi. PMR merupakan salah satu dari teknik
relaksasi yang paling mudah dilakukan, memiliki gerakan yang sederhana, telah digunakan
secara luas dan dapat meningkatkan kemandirian pasien dalam mengatasi masalah kesehatan
(Syarif&Putra, 2014).
PMR merupakan salah satu bentuk penerapan perawatan paliatif untuk kanker serviks.
Menurut KepMenKes RI no. 812 tahun 2007, tujuan dari perawatan paliatif adalah
memperbaiki kualitas hidup pasien dan keluarga dalam menghadapi masalah yang
berhubungan dengan penyakit terminal dan kronik dengan pencegahan melalui identifikasi
dini dan penilaian yang tertib serta penangan nyeri dan masala-masalah lain meliputi fisik,
psikososial dan spiritual. Tujuan dari Penulis adalah untuk mengetahui pengaruh Progressive
Musle Relaxation terhadap Nyeri pada klien dengan Kanker servix.
BAB II
KONSEP TEORITIS.
Pengertian Paliatif Care.
Perawatan Paliatif berasal dari kata palliate (bahasa Inggris) yang berarti meringankan, dan
“Palliare” (bahasa Latin yang artinya “menyelubingi”-penj), merupakan jenis pelayanan
kesehatan yang berfokus untuk meringankan gejala klien, buka untuk kesembuhan.
Perawatan paliatif care adalah pendekatan yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas hidup
pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan penyakit yang
dapat mengancam jiwa, mellaui pencegahan dan membantu meringankan penderitaan,
identifikasi dini dan penilaian yang tertib serta penanganan nyeri dan masalah lain, baik fisik,
psikososial dan spiritual (WHO,2011).
Paliatif care adalah pendekatan yang meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga
mereka dalam menghadapi masalah yang terkait dengan penyakit yang mengancam jiwa,
melalui pencegahan-pencegahan sempurna dan pengobatan rasa sakit, masalah lain, fisik dan
psikososial, spiritual ( Kemenkes RI nomor 812, 2007)
Tujuan Perawatan Paliatif.
Tujuan dari perawatan paliatif adalah untuk mengurangi penderitaan pasien, memperpanjang
umurnya, meningkatkan kualitas hidupnya, juga memberikan support kepada keluarganya.
meski pada akhirnya pasien meninggal, yang terpenting sebelum meninggal, klien sudah siap
secara psikologis dan spiritualnya, tidak stress menghadapi penyakit yang dideritanya.
Perawatan paliatif meliputi:
1. Menyediakan bantuan dari rasa sakit dan gejala menyedihkan lainnya
2. Mengintergrasikan aspek-aspek psikologis dan spiritual dalam perawatan pasien
3. Tidak mempercepat atau memperlambat kematian
4. Meredakan nyeri dan gejala fisik yang mengganggu
5. Menawarkan sistem pendukung untuk membantu keluarga menghadapi penyakit pasien
dan proses kehilangan.
Prinsip Perawatan Paliatif.
1. Meningkatkan kualitas hidup dan menganggap kematian sebagai proses yang normal
2. Tidak mempercepat atau menunda kematian
3. Menghilangkan nyeri dan keluhan lain yang mengganggu
4. Menjaga keseimbangan psikologis, sosial dan spiritual
5. Berusaha agar penderita tetap aktif sampai akhir hayat nya
6. Berusaha membantu mengatasi suasana duka cita pada keluarga
7. Mengguanakan pendekatan tim untuk mengatasi ekbutuhan pasien dan keluarga
8. Menghindari tindakan yang sia-sia.
Hak-hak Penderita.
1. Tahu status kesehatannya
2. Ikut serta dalam merencanakan perawatan
3. Mendapatkan informasi tentang tindakan yang didapatkan
4. Pelayanan tanpa diskriminasi
5. Dirahasiakan penyakitnya
6. Dapat bekerja dan produktif
7. Berkeluarga
8. Perlindungan asuransi
9. Pendidikan yang layak
Peran Fungsi Perawat pada Asuhan Keperawatan Paliatif.
1. Perawat Pelaksana : pemberi asuhan keperawatan, pendidikan kesehatan, koordinator,
advokasi, kolaborator, modifikasi lingkungan
2. Pengelola : manajer kasus, konsultan, koordinasi
3. Pendidikan: dipendidikan/dipelayanan
4. Peneliti.
Prinsip Asuhan perawatan Paliatif.
1. Melakukan pengkajian dengan cermat, mendengarkan keluhan dengan sungguh-sungguh
2. Menetapkan diagnosa/masalah keperawatan dengan tepat
3. Merencanakan asuhan keperawatan
4. Melaksanakan tindakan/asuhan keperawatan
5. Mengevaluasi perkembangan pasien secara cermat.
Pengertian Kanker Serviks.
Kanker adalah pertumbuhan sel/jaringan yang tidak terkendali, terus bertumbuh dan
bertambah, immortal (tidak dapat mati), sel akan menysuup kejaringan sekitar dan
membentuk anak sebar (Riskesdas, 2013). Nama penyakit kanker sesuai dengan pertama kali
sel kanker tersebut mulai abnormal, seperti kanker serviks. Kankerserviks adalah kanker yang
menyerang uterus yaitu bagian leher rahim, suatu daerah organ reproduksi wanita yang
merupakan pintu masuk kedalam rahim (uterus) yang terletak diantara rahim dan vagina atau
rahim bagian bawah ( centers of Disease control and prevention (CDC), 2016)).
Kanker serviks adalah adanya sel yang bertumbuh abnormal dilapisan serviks yang biasanya
dimulai dari leher rahim yang disebut tramsformation zone, selain itu dpat juga menyebar
kejaringan-jaringan disekitar leher rahim, seperti vagina atau ke bagian lain dari tubuh seperti
paru-paru dan hati (Rao, Carpenter& Jackson, 2015)
Etiologi.
Penyebab langsung kanker serviks belum diketahui. Faktor ekstrinsik yang diduga
berhubungan dengan insiden karsinoma serviks, antara lain infeksi Human Papilloma Virus
(HPV) dan spermatozoa. Kasinoma serviks timbul disambungan skuamokolumer serviks.
Menurut Wiknjosastro Hanifa, ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan resiko
terjadinya kanker serviks, antara lain :
1. Hubungan seks pada usia muda atau pernikahan pada usia muda.
Faktor ini merupakan faktor resiko utama. Semakin muda seorang perempuan melakukan
hubungan seks, semakin besar resikonya untuk terkena kanker serviks. Berdasarkan
penelitian pada ahli, perempuan yang melakukan hubungan seks pada usia kurang dari 17
tahun mempunyai resiko 3x lebih besar daripada yang menikah pada usai lebih dari 20
tahun.
2. Berganti-ganti pasangan seksual.
Perilaku seksual berganti-ganti pasangan seksual akan meningkatkan penularan penyakit
kelamin. Penyakit yang ditularkan salah satunya adalah infeksi Human papilloma virus
(HPV) telah terbukti dapat meningkatkan timbulnya kanker serviks, penis dan vulva.
Resiko terkena kanker serviks menjadi 10x lipat pada wanita yang mempunyai partner
seksual 6 orang atau lebih. Disamping itu, virus herpes simpleks tipe 2 juga menjadi
faktor pendamping.
3. Faktor Genetik.
Terjadinya mutasi sel pada sel skuamosa serviks yang menyebabkan terjadinya kanker
serviks pada wanita dapat diturunkan melalui kombinasi genetik dari orang tua ke
anaknya.
4. Kebiasaan merokok.
Wanita perokok memiliki resiko 2x labih besar terkena kanker serviks dibandingkan
dengan wanita yang tidak merokok. Penelitian menunjukkan, lendir serviks pada wanita
perokok mengandung nikotin yang dapat menurunkan daya tahan serviks disamping
merupakan ko-karsinogen infeksi virus. Selain itu, rokok mengandung zat benza ayng
dapat memicu terbentuknya radikal bebas dalam tubuh yang dapat menjadi mediator
terbentuknya displasi sel epitel pada serviks.
5. Defisiensi zat gizi (vitamin A dan C).
Ada beberapa penelitian yang menyimpulkan bahwa defisiensi vitamin C dapat
meningkatkan resiko terjadinya displasi ringan dan sedang serta mungkin juga
meningkatkan resiko terjadinya kanker serviks pada wanita yang makanannya rendah beta
karoten dan retinol (vitamin A).
6. Multi paritas.
Trauma mekanis yang terjadi pada waktu paritas dapat mempengaruhi timbulnya infeksi,
perubahan struktur sel dan iritasi menahun.
7. Gangguan sistem kekebalan.
Bisa disebabkan oleh nikotin yang terkandung dalam rokok, dan penyakit yang sifanya
immunosuppresan,seperti HIV/AIDS
8. Status Ekonomi Rendah.
Umumnya perempuan dengan latar belakang ekonomi yang rendah tidak mempunyai
biaya untuk melakukan pemeriksaan sitologi pap smear secara rutin, sehingga upaya
deteksi dini tidak dapat dilakukan.
Patofisiologi.
Karsinoma serviks timbul dibatas antara epitel yang melapisi ektoserviks (portio) dan
endoserviks kanalis serviks yang disebut sebagai squamo-columnar junction (SCJ). Histologi
anatar epitel gepeng berlapis (squamous complex) dari portio dengan epitel kuboid/silindris
pendek selapis bersilia dari endoserviks kanalis serviks. Pada wanita SCJ ini berada diluar
ostius uteri eksternum, sedangkan pada wanita umur> 35tahun, SCJ berada didalam kanalis
serviks. Tumor dapat tumbuh :
1. Eksofilik; mulai dari SCJ ke arah lumen vagina sebagai massa yang mengalami infeksi
sekunder dan nekrosis.
2. Endofilik; mulai dari SCJ tumbuh kedalam stomatoserviks dan cenderung untuk
mengadakan infiltrasi menjadi ulkus.
3. Ulseratif; mulai dari SCJ dan cenderung merusak struktur jaringan serviks dengan
melibatkan awal fornises vagina untuk menjadi ulkus yang luas.
Serviks normal secara alami mengalami proses metaplasi/erosio akibat saling sedak
mendesak kedua jenis epitel yang melapisi. Dengan masuknya mutagen, portio yang erosif
(metaplasia skuamosa) yang semula fisiologik dapat berubah menjadi patologik melalui
tingkatan NIS I,II,III dan KIS untuk akhirnya menjadi karsinoma invasif. Sekali menjadi
mikroinvasif atau invasif, proses keganasan akan berjalan terus.
Periode laten NIS-I s/d KIS 0 tergantung dari daya tahan tubuh penderita. Umumnya fase pra
invasif berkisar antara 3-20 tahun (rata-rata 5-10tahun). Perubahan epitel displastik serviks
secara kontinu yang masih memungkinkan terjadinya regresi spontan dengan
pengobatan/tanpa diobati itu dikenal dengan Unitarian Concept dari Richard. Hispatologik
sebagian besar 95-97% berupa epidermoid atau squamous cell carsinoma sisanya
adenocarsinoma, clearcell carcinoma/mesonephroid carcinoma dan yang paling jarang adalah
sarcoma.
Pemeriksaan penunjang.
1. Pemeriksaan Sitologi Pap smear.
Salah satu pemeriksaan sitologi yang bisa dilakukan adalah pap smear. Pap smear
merupakan salah satu cara deteksi dini kanker leher rahim. Tes ini mendeteksi adanya
perubahan-perubahan sel leher rahim yang abnormal, yaitu suatu pemeriksaan dengan
mengambil cairan pada leher rahim dengan spatula kemudian dilakukan pemeriksaan
dengan mikroskop.
Saat ini telah ada teknik Thin Prep (liquid base cytology) adalah metode pap smear yang
dimodifikasi yaitu sel usapan serviks dikumpulkan dalam cairan dengan tujuan untuk
menghilangkan kotoran, darah, lendir serta memperbanyak sel serviks yang dikumpulkan
sehingga akan meningkatkan sensitifitas. Pengambilan sample dilakukan dengan
menggunakan semacam sikat (brush) kemudian sikat dimasukkan kedalam cairan dan
disentrifuge, sel yang terkumpul diperiksa dengan mikroskop.
Pap smear hanyalah sebatas skrining, bukan diagnosis adanya kanker serviks. Jika
ditemukan hasil pap smear yang abnormal, maka dilakukan pemeriksaan standart berupa
koloscopi. Penanganan kanker serviks dilakukan sesuai stadium penyakit dan gambaran
histopatologinya. Sensitifitas pap smear yang dilakukan setiap tahun mencapai 90%.
2. Kolposcopi.
Pemeriksaan dengan pembesaran (seperti mikroskop) yang digunakan untuk mengamati
secara langsung permukaan serviks yang abnormal. Dengan kolposcopi akan tampak jelas
lesi-lesi pada permukaan serviks, kemudian dilakukan biopsi pada lesi-lesi tersebut.
3. IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat).
IVA merupakan tes alternatif skrining untuk kanker serviks. Tes sangat mudah dan
praktid dilaksanakan, sehingga tenaga kesehatan non dokter ginekologi, bidan praktek
dan lain-lain. Prosedur pelaksanaannya sangat sederhana, permukaan serviks/leher rahim
diolesi dengan asam asetat, akan tampak bercak-bercak putih pada permukaan serviks
yang abnormal.
4. Serviksografi.
Servikografi terdiri dari kamera 35mm dengan lensa 100mm dan lensa ekstensi 50mm.
fotografi diambil oleh tenaga kesehatan dan slide (servikogram) dibaca oleh yang mahir
dengan kolposkop. Disebut negatif atau curiga jika tampak kelainan abnormal, tidak
memuaskan jika SSk tidak tampak seluruhnya dan disebut defek secara teknik jika
servikogram tidak dapat dibaca (faktor kamera atau flash).
Kerusakan (defect) secara teknik pada servikogram kurang dari 3%. Servikogram dapat
dikembangkan sebagai skrining kolposkopi. Kombinasi servikografi dan kolposkopi
dangen sitologi mempunyai sensitifitas masing-masing 83% dan 98% sedangkan
sensitifitas masing-masing 73% dan 99%. Perbedaan ini tidak bermakna. Dengan
demikian servikografi dapat digunakan sebagai motoda yang baik untuk skring massal,
terutama didaerah yang tidak memiliki seorang ahli sitologi, maka kombinasi
servikogram dan kolposkopi sangat membantu dalam mendeteksi kanker serviks.
5. Gineskopi.
Gineskopi menggunakan telskop monokuler, ringan dnegan pembesaran 2,5x dapat
digunakan untuk meningkatkan skrining dengan sitologi. Biopsi atau pemeriksaan
kolposkopi dapat segera disarankan bila tampak daerah warna putih dengan pulasan asam
asetat. Sensitifitas dan spesifisitas masing-masing 84% dan 87% dan negatif palsu
sebanyak 12,6% dan positif palsu 16%.
6. Pemeriksaan Penanda Tumor
Penanda tumor adalah suatu substansi yang dapat diukur secara kuantitatif dalam kondisi
prakanker maupun kanker. Salah satu penanda tumor yang dapat digunakan untuk
mendeteksi adanya perkembangan kanker serviks adalah CEA dan HCG. Kadar CEA
abnormal adalah > 5ul/ml, sedangkan kadar HCG abnormal adalah >5 mg/ml. HCG
dalam keadaan normal disekresikan oleh jaringan plasenta dan mencapai kadar tertinggi
pada usia kehamilan 60 hari. Kedua PT ini dapat dideteksi melalui pemeriksaan darah dan
urine.
7. Pemeriksaan darah lengkap.
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi tingkat komplikasi perdarahan yang terjadi
pada penderita kanker serviks dengan mengukur kadar hemoglobin, hematokrit, trombosit
dan kecepatan pembekuan darah yang berlangsung dalam sel-sel tubuh.
Kriteria Diagnosis.
Intrepretasi sitologi yang dapat menunjang diagnosis kanker serviks, antara lain :
1. Hasil pemeriksaan negatif : tidak ditemukan sel ganas. Ulangi pemeriksaan sitologi dalam
1 tahun lagi.
2. Inkonklusif : sediaan tidak memuaskan. Bisa disebabkan fiksasi tidak baik. Tidak
ditemukan sel endoserviks, gambaran sel radang yang padat menutupi sel. Ulangi
pemeriksaan sitologi setelah dilakukan pengobatan radang dan sebagainya
3. Displasia : terdapat sel-sel diskariotik pada pemeriksaan mikroskopik. Derajat ringan,
sedang sampai karsinoma in situ. Diperlukan konfirmasi dengan kolposkopi dan biopsi.
Dilakukan penanganan lebih lanjut dan harus diamati minimal 6 bulan berikutnya.
4. Hasil pemeriksaan positif : terdapat sel-sel ganas pada lapisan e[itel serviks melalui
pengamatan mikroskopik. Harus dilakukan biposi untuk memperkuat diagnosis.
Penanganan harus dilakukan dirumah sakit rujukan dangan ahli onkologi.
Pengertian.
Progressive Musle Relaxation (PMR) atau latihan otot progresiv didefinisikan sebagai suatu
teknik relaksasi yang menggunakan serangkaian gerakan tubuh yang bertujuan untuk
melemaskan dan memberi efek nyaman pada seluruh tubuh (Corey, 2005). Batasan lain
menyebutkan bahwa relaksasi otot progresive merupakan teknik untuk mengurangi
kecemasan dengan cara menegangkan otot dan merilekskannya secara bergantian
(Miltenberber, 2004).
Menurut Herodes (2010), teknik relaksasi otot progresif adalah teknik relaksasi otot dalam
yang tidak memerlukan imajinasi, ketekunan atau sugesti. Berdasarkan keyakinan bahwa
tubuh manusia berespon pada kecemasan dan kejadian yang merangsang pikiran dengan
ketegangan otot. Teknik relaksasi progresif memusatkan perhatian pada suatu aktifitas otot
dengan mengidentifkasi otot yang tegang kemudian menurunkan ketegangan dengan
melakukan teknik relaksasi untuk mendapatkan perasaan rileks. Teknik relaksasi otot
progresif merupakan suatu terapi relaksasi yang diberikan kepada klien dengan menegangkan
otot-otot tertentu dan kemudian relaksasi.
Prosedur relaksasi.
Individu belajar latihan ralaksasi otot progresif bagaimana menegangkan sekelompok otot
kemudian melepaskan ketegangan itu. Inti dari latihan tersebut terletak pada kemampuan
individu mengelola ketegangan fisik dan atau mental dengan memehami perbedaan sensasi
antara otot yang tegang dan rileks. Soewondo (2012) mendeskripsikan prosedur relaksasi
progresif sebagai berikut :
a. Pertama duduk bersandar pada kursi dengan nyaman dan tenang
b. Lepas kacamata dan sepatu ( bila pasien menggunakannya)
c. Menegangkan sekumpulan otot tertentu dan melemaskannya
d. Menyadarkan klien akan perbedaan sensasi otot tegang dan rileks
e. Jumlah kumpulan otot yang perlu ditegangkan dan dilemaskan tiap kali hendaknya
berkurang
f. Klien diharapkan dapat mengelola ketegangan dengan menginstruksikan diri sendiri
untuk rileks dimana dan kapan saja.
Konsep Nyeri
Pengertian.
Nyeri merupakan gejala yang paling sering pada klien dengan perawatan paliatif. Nyeri pada
klien paliatif tidak hanya respon fisik terhadap gangguan atau penyakit yang mendasarinya,
namun akibat dari berbagai dimensi emosional intelektual, perilaku, sensori dan juga budaya
klien (Black & Hawks, 2014; Wilkie&Ezenwa 2012). Nyeri pada pasien kanker dengan
paliatif terdiri dari akumulasi junlah rasa sakit fisik, psikologis, sosial dan spiritual pasien.
Dengan demikian, pengalaman nyeri pada klien paliatif berbeda dengan pengalaman nyeri
pada klien dengan non paliatif. Oleh karena itu penanganan nyeri yang diberikan hanya untuk
mengontrol nyeri bukan untuk menyembuhkan.
Penanganan nyeri dapat dilakukan dengan farmakologi dan non famakologi. Penanganan
nyeri dengan farmakologi pada pasien paliatif sesuai dengan yang direkomendasikan oleh
WHO yaitu nyeri ringan (skala 1-3) menggunakan acetaminophen atau NSAID. Sedangkan
nyeri ringan sampai sedang (skala4-7) penanganan yang paling tepat adalah dengan
menggunakan analgesik jenis opioid lemah dan acetaminophen atau NSAID +/- adjuvant.
Dan yang terakhir nyeri sedang sampai berat (skala 8-10) menggunakan jenis opioid kuat dan
acetaminophen atau NSAID +/- adjuvant. Sekitar 75%-85% dari pasien yang mengalami
nyeri dapat dikontrol dengan obat oral, dan juga melalui rektum. Sedangkan penanganan
nyeri nonfarmakologi yang dapat diberikan seperti terapi fisik seperti pijat, akupuntur, olah
raga, kompres hangat dan latihan otot progresif.
Sifat-sifat Nyeri :
Nyeri melelahkan dan membutuhkan banyak energi
Nyeri bersifat subjektif dan individual
Nyeritidak dapat dinilai secara objektif seperti sinar X atau lab darah
Perawat hanya dapat mengkaji nyeri pasien dengan melihat perubahan fisiologis, tingkah
laku dan pernyataan klien
Hanya klien yang mengetahui kapan nyeri timbul dan seperti apa rasanya
Nyeri merupakan mekanisme pertahanan fisiologis
Nyeri merupakan tanda peringatan adanya kerusakan jaringan
Nyeri mengawali ketidakmampuan
Persepsi yang salah tentang nyeri menyebabkan manajemen nyeri menjadi tidak optimal
Nyeri bersifat individu
Nyeri tidak menyenangkan
Merupakan suatu kekuatan yang mendominasi
Bersifat tidak berkesudahan.
Klasifikasi Nyeri.
a. Berdasarkan sumbernya.
- Cutaneus/ superfisial : nyeri yang mengenai kulit/ jaringan subkutan yang biasanya
bersifat burning (seperti terbakar), nyeri berlangsung sebentar dan terlokalisir
contohnya seperti terkena pisau atau gunting.
- Deep somatic/ nyeri dalam : nyeri akibat stimulasi organ-organ internal, nyeri dapat
menyebar ke bebrapa arah. Nyeri dapat terasa lebih tajam, tumpul, sensasi pukul
(pada angina pektoris), sensasi terbakar (pada ulkus lambung).
- Nyeri alih : nyeri yang dirasakan pada daerah lain yang jauh dari jaringan penyebab
nyeri.
- Viseral (pada organ dalam) : stimulasi reseptor nyeri dalam rongga abdomen, kranium
dan thoraks. Biasanya terjadi karena spasme otot, iskemisdan regangan jaringan.
b. Berdaasarkan Penyebab.
- Fisik : biasa terjadi karena stimulus fisik (misal fraktur)
- Psikogenik : terjadi karena sebab yang kurang jelas atau sulit identifikasi, bersumber
dari emosi/psikis dan biasanya tidak disadari.
c. Berdasarkan Durasi/ lamanya.
- Nyeri akut.
Nyeri ini biasanya berlangsung tidak lebih dari 6 bulan. Awitan gejalanya mendadak
dan biasanya penyebab serta lokasi nyeri sudah diketahui. Nyeri akut ditandai dengan
pengingkatan tegangan otot dan kecemasan yang keduanya meningkatkan persepsi
nyeri.
- Nyeri Kronik.
Nyeri kronik berlangsung lebih dari 6 bulan. Sumber nyeri bisa diketahui ataupun
tidak. Nyeri cenderung hinag timbul dan biasanya sulit atau bahkan tidak bisa
disembuhkan. Penginderaan nyeri lebih dalam sehingga penderita sulit menunjukkan
lokasinya. Dampak nyeri penderita lebih mudah tersinggung dan insomnia. Nyeri
kronis biasanya hilang timbul dalam periode waktu tertentu. Ada kalanya penderita
terbebas dari rasa nyeri(sakit kepala, migran)
d. Berdasarkan Lokasi/letak.
- Radiating pain : nyeri menyebar darisumber nyeri ke jaringan disekitarnya
- Intractable pain : nyeri yang sangat susah dihilangkan (misal: nyeri pada kanker)
- Phantom pain : sensai nyeri yang dirasakan pada bagian tubuh yang hinag (bagian
tubuh yang diamputasi) atau bagian tubuh yang lumpuh karena injuri medulla
spinalis.
Faktor yang mempengaruhi nyeri.
a. Usia.
b. Jenis kelamin
c. Kultur
d. Makna nyeri
e. Perhatian
f. Ansietas
g. Pengalaman masa lalu
h. Pola koping
i. Support keluarga dan sosial.
Skala Nyeri.
Intensitas Nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu,
pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam
intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran
nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah dengan menggunakan respon
fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri.
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak Nyeri nyeri hebat
Ketrangan :
0 : tidak nyeri
1-3 : nyeri ringan: secara objektif klien dapat berkomunikasi dengan baik
4-6 : nyeri sedang; secara objektif klien mendesis, menyeringai dan dapat menunjukan lokasi
nyeri dapat mendeskripsikannya dan mengikuti perintah dengan baik
7-9 : nyeri berat ; secara objektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih
merespon terhadap tindakan, dapat menunnjukkan lokasi nyeri, tidak dapat
mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi, nafas panjang dan distraksi.
10 : nyeri sangat berat : pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul, nyeri
sudah tidak bisa dikontrol.
PEMBAHASAN
Teknik PMR terhadap Nyeri dan Kecemasan
Nyeri merupakan pengalaman seorang pasien secara sensori dan emosional yang
berhubungan dengan kerusakan jaringan secara potensial ataupun aktual (K.H
Kumar&Elavarasi, 2016). Nyeri merupakan hasil dari pernyataan verbal yang disampaikan
oleh pasien yang bersifat subjektif. Oleh karena bersifat subyektif, perasaan nyeri yang
dirasakan pasien akan berbeda. Nyeri yang dirasakan dalam kurun waktu kurang dari 3 bulan
disebut nyeri akut, sedanglan nyeri yang dirasakan selamam 3-6 bulan disebut nyeri
kronis.Nyeri merupakan salah satu gejala kanker yang paling sering manjadi beban berat
pasien selama sakit (Shute, 2013). Nyeri kanker serviks dirasakan pada daerah panggul atau
dimulai dari ekstremitas bagian bawah dari daerah lumbal, dapat bervariasi dan semakin
progresif pada stadium lanjut (Wulandari, Effendy & Nisman, 2017).
Nyeri dapat terjadi akibat dari fenomena neural-biochemical didalam tubuh manusia,
yang dipicu oleh faktor-faktor lain. Agar masalah nyeri pada pasien dapat diatasi, salah satu
tugas perawat adalah memberikan intervensi berupa terapi famakologis dan non
farmakologis. Salah satunya dengan latihan otot progresif (Butcher, Dochterman,
Wagner&Bulecheck, 2018 dalam Prihanto, 2020).
Terapi otot progresif yaitu terapi yang digunakan untuk menurunkan ketegangan otot
seseorang. Prinsip dari terapi ini adalah melakukan latihan penegangan otot setelah dilakukan
peregangan otot. Terapi ini merupakan terapi yang menghemat biaya, dapat dilakukan
dirumah dengan pendampingan seroang perawat. Keuntungan terapi ini selain mengurangi
nyeri adalah untuk meningkatkan kualitas hidup, menurunkan tingkat stres dan kecemasan
seseorang.
Relaksasi otot progresif menjadi salah satu alternatif komplementer dalam memberikan
terapi menurunkan tingkat nyeri. Beberapa artikel menunjukkan efektifitas pemberian terapi
relaksasi otot progresif untuk menurunkan nyeri. Nyeri merupakan suatu pengalaman yang
dialami dan dirasakan oleh pasien, sehingga merupakan sesuatu yang bersifat subyektif.
Proses terjadinya nyeri terdiri dari proses stimulus (signal system), modulasi dari pusat
tertinggi (higer centers) dan persepsi unik yang dimunculkan oleh individu tertentu (Steed,
2016).
Nyeri ini merupakan mekanisme proteksi tubuh dalam menganggapi hal yang
mengancam tubuh pasien. Penyebab nyeri terjadi dapat dikarenakan adanya kerusakan
jaringan atau irirtasi pada reseptor nyeri yang berada dibagian kulit, persendian ataupun
diorgan bagian dalam. Secara proses fisiologis perspepsi subjektif nyeri dari pasien sangat
penting yang dimunculkan oleh sistem saraf dimana terdiri dari aspek emosional yaitu rasa
yang menyakitkan, sikap terhadap nyeri dan ekspresi dari nyeri (Sweiboda, Filip,2013 dalam
Prihanto, 2020). Respon nyeri memiliki karakteristik yang dapat dijadikan sebagai penilaian
nyeri pasien yaitu lokasi, intensitas, durasi dan kualitas.
No Author Penelitian Tujuan Metode Hasil
. (Tahun) penelitian Penelitian
1. Prihanto, Relaksasi Otot Memberikan Literature Penggunaan
Caecilia Titin Progressive gambaran dalam review teknik
Retnani (2020) untuk menerapkan relaksasi otot
Menurunkan teknik relaksasi progressive
Nyeri otot progresive memberikan
dalam manfaat yang
menurunkan sama yaitu
nyeri. menurunkan
nyeri, baik
klien tersebut
dalam kondisi
nyeri akut
maupun nyeri
kronis.
2. Eka Nadya Pengaruh Mengetahui Metode Hasil
Rahmania, Jum Progressive pengaruh Kuantitatif penelitian ini
Natosba, Muscle Progressive dengan pra menunjukkan
Karolin Adhisty relaxation Muscle eksperimental bahwa
(2020) Terhadap Relaxation dalam p=0,000 yang
Nyeri dan terhadap nyeri klasifikasi berarti bahwa
Kecemasan dan kecemasan one group secara
Pasien Kanker pasien kanker pretest and statistik dapat
Serviks. serviks postest diartikan
design terdapat
perbedaan
yang
bermakna
antara skala
nyeri sebelum
dan setelah
diberikan
intervensi
PMR.
3. Hacer Alan Effect of Melihat A single Refleksi dan
Dikmen, Fusun Reflexology efektifitas blind, PMR efektif
Terzioglu and refleksi dan PM randomized menurunkan
(2019) Progressive selama controlled tingkat nyeri.
Muscle kemoterapi study
Relaxation on dalam consisting of
Pain, Fatique mengontrol three
and Quality of gejala pada intervention
Life during pasien kanker groups and
Chemotherapy ginekologi control
in Ginecologic group.
Cancer
Patient.
4. Jum Natosba, Aplikasi Meningkatkan Dilakukan PMR terbukti
Sigit Purwanto, Progressive kemampuan pada 20 dapat
Jaji, Firnaliza Muscle adaptasi pasien pasien kanker mengurangi
Rizona (2020) Relaxation kanker terhadap yang mau nyeri dan
sebagai Upaya nyeri dan mengikuti kecemasan.
Reduksi Nyeri kecemasan yang pelatihan
dan dirasakannya. PMR ini di
Kecemasan rumah
singgah.
5. Sri Analisa Menganalisa Dilakukan Terdapat
Wahyuningsih asuhan Askep dengan terhadap 5 penurunan
(2017) keperawatan menggunakan pasien dengan tingkat
dengan PMR pada kanker kecemasan
kebutuhan pasien kanker serviks pada pasien
dasar ansietas servik kemoterapi I kanker servik
pada pasien kemoterapi I dengan
kanker servik kemoterapi I
kemoterapi I
6. Kurniawati, Asuhan Melihat Dilakukan Teknik PMR
Dian dan Keperawatan gambaran askep pada Ny. M efektif dalam
Wahyutri, Ny. M dengan pasien dengan dengan membantu
(2018) Kanker servik kanker servik kanker penurunan
nyeri kronis menggunakan serviks nyeri.
“Metode metode PMR
PMR”
7. Vina Yolanda Perbandingan Mengetahui Desain Menunjukkan
Sari S, Shanti tingkat pengaruh PMR penelitian adanya
W, Yanuar P kecemasan terhadap dengan Quasy pengaruh
(2018) penderita kecemasan pada Experimental PMR
kanker serviks pasien penderita Pre-Post Test terhadap
yang sedang kanker serviks Design. tingkat
menjalani yang sedang kecemasan.
kemoterapi, menjalani
sebelum dan kemoterapi.
sesudah PMR
8. Jum Natosba, Studi Mengetahui Penelitan Ada pengaruh
Eka NR, Siti deskriptif : gambaran deskriptif terhadap
AL (2019) Pengaruh pengaruh PMR kuantitatif penurunan
PMR dan dan Hypnoterapi tingkat nyeri
Hypnoterapi terhadap tingkat dan
terhadap nyeri nyeri dan kecemasan
dan kecemasan pada dengan
kecemasan pasien kanker menggunakan
pasien kanker serviks. PMR
serviks.
9. Duma LT, Budi Pengaruh Mengidentifikasi Menggunaka Kecemasan
Anna Keliat, Ice PMR dan pengaruh terapi n kuasi menurun
Yulia Logoterapi PMR dan eksperimen secara
Wardhani(2014 terhadap logoterapi pre-post test bermakna,
) Kecemasan, terhadap with control kemampuan
Depresi dan kecemasan dan group relaksasi
Kemampuan depresi, meningkat,
Relaksasi pada kemampuan dan
pasien kanker relaksasi dan kemampuan
kemampuan memaknai
memaknai hidup hidup
klien kanker. meningkat
secara
bermakna.
10. Haryati, ratna S Pengaruh Mengidentifikasi Nonequivalen Terdapat
(2015) Latihan PMR efek dari PMR kontrol grup peningkatan
terhadap status terhadap status dengan pre- yang
fungsional fungsional post desain signifikan
dalam konteks dalam konteks terhadap
Askep Pasien Askep Pasien status
kanker dengan kanker dengan fungsional
kemoterapi kemoterapi setelah
dilakukan
PMR
KESIMPULAN
Nyeri merupakan salh satu faktor yang mempernagruhi aspek kualitas hidup penderita kanker
serviks. Pasien dengan nyeri kronik mengalami gangguan dalam mengerjakan aktifitas
sehari-hari, makan dan tidur, serta merasa frustasi karena kurangnya dukungan keluarga
dengan penyakit yang dialami. PMR merupakan intervensi perilaku yang dapat mengurangi
nyeri dan kecemasan. PMR menimbulkan adaptasi individu yang lebih positif dalam waktu
yang singkat. Terdapat perbedaan skala nyeri pada pasien kanker sebelum dan setelah
diberikan intervensi PMR.