Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN ANALISIS ARTIKEL ILMIAH

“Guided imagery effects on chemotherapy induced nausea and vomiting in Irnanian


breast cancer patients”

DI ICC/TULIP RSUP DR SARDJITO

Tugas Kelompok

Stase Praktik Keperawatan Medikal Bedah

Disusun oleh :

Alifvia Nurintansari (20/469758/KU/22696)

Bestari Intan K (20/469762/KU/22700)

Melinda Wardani (20/469769/KU/22707)

Siska Indriani (20/469778/KU/22716)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN, KESEHATAN MASYARAKAT DAN


KEPERAWATAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kanker payudara merupakan jenis kanker yang paling sering terjadi dan
menjadi penyebab utama kematian akibat kanker pada wanita di dunia (Jemal et al.,
2011). Sekitar 627.000 wanita di dunia meninggal karena kanker payudara pada tahun
2018, yaitu 15% dari jumlah kematian wanita akibat kanker (WHO, 2019). Kasus
kematian wanita akibat kanker payudara ditemukan paling banyak di negara dengan
ekonomi berkembang dan menjadi beban mortalitas kanker payudara tertinggi dari
semua jenis kanker pada wanita yaitu sebesar 11% (Jemal et al., 2011). Kanker
payudara juga menempati urutan tertinggi angka kejadian kanker pada wanita di
Indonesia yaitu sekitar 42,1 per 100.000 penduduk dengan angka kematian 17 per
100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2019). Daerah Istimewa Yogyakarta menempati
urutan pertama sebagai provinsi dengan kasus kanker payudara terbanyak yaitu 2,4
per 1000 penduduk (Kemenkes RI, 2015).
Salah satu terapi pada penderita kanker payudara adalah dengan kemoterapi.
Kemoterapi bersifat sistemik dan dapat menjangkau sel-sel kanker yang mungkin
sudah menjalar dan menyebar ke bagian tubuh yang lain (Junaidi, 2014). Akan tetapi,
program kemoterapi memiliki beberapa efek samping dengan yang paling umum
terjadi yaitu rasa mual dan muntah (Tjay & Rahardja, 2007). Pada penelitian
sebelumnya yang pernah dilakukan oleh Nasif, Junaidi, dan Muchtar (2011),
didapatkan hasil bahwa secara umum obat antiemetik masih belum efektif dalam
mengatasi mual dan muntah pasien yang menjalani kemoterapi, sehingga diperlukan
adanya terapi non-farmakologis sebagai tambahan.
Salah satu teknik non-farmakologi yang dapat diterapkan untuk mengatasi
mual pada pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi adalah dengan guided
imagery. Relaksasi guided imagery akan membentuk suatu bayangan yang akan
diterima sebagai rangsang oleh berbagai indera. Dengan membayangkan sesuatu yang
indah, perasaan akan merasa tenang dan ketegangan serta ketidaknyaman akan
dikeluarkan, sehingga tubuh menjadi rileks dan nyaman (Smeltzer & Bare, 2001).
Respon relaksasi akan mempengaruhi sistem saraf parasimpatik, dan perasaan yang
tenang akan mengendurkan saraf-saraf yang tegang dengan mengendalikan fungsi
denyut jantung, sehingga membuat tubuh rileks (Setiadarma, 2000). Analisis jurnal ini
dilakukan karena penulis ingin mengetahui mengenai keefektifan guided imagery
untuk menurunkan rasa mual pada pasien yang menjalani kemoterapi.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah mengenai analisis artikel ilmiah ini adalah bagaimana
keefektifan guided imagery pada pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami konsep dari guided imagery dalam penurunan
mual pada pasien yang menjalani kemoterapi
2. Untuk mengetahui keefektifan guided imagery pada pasien kanker payudara yang
menjalani kemoterapi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kemoterapi
1. Definisi
Kemoterapi merupakan terapi yang melibatkan penggunaan zat kimia ataupun
obat- obatan dalam penggunaan kanker. Kemoterapi konvensional bekerja dengan
cara menghancurkan struktur atau metabolisme dari sel-sel kanker (Ariani,2015).
Kemoterapi adalah pengobatan kanker dengan menggunakan obat-obatan/
hormon. Kemoterapi dapat digunakan secara efektif pada penyakit- penyakit baik
yang menyebar maupun yang terlokalisasi. Kemoterapi merupakan terapi
sistemik, yang berarti obat menyebar ke seluruh tubuh dan dapat mencapai sel
kanker yang telah menyebar jauh atau bermetastase ketempat lain (Rasjidi,
2007). Tujuan pemberian Kemoterapi (Chun. 2021) sebagai berikut:
- Menurunkan jumlah sel kanker dalam tubuh.
- Mengurangi kemungkinan penyebaran kanker.
- Mengecilkan ukuran tumor.
- Mengurangi gejala saat ini.
2. Efek Samping Kemoterapi
Efek samping kemoterapi secara fisik dan psikologis , meliputi :
1) Dampak kemoterapi secara fisik :
a. Mual dan muntah
Faktor pemicu mual dan muntah dapat dipicu oleh selera, bau, pikiran
dan kecemasan terkait dengan kemoterapi
b. Konstipasi
Konstipasi terjadi kurang lebih selama satu minggu. Faktor
penyebabnya yaitu penggunaan analgesik opoid, berkurangnya intake
makanan dan minuman, mobilitas yang berkurang, usia lanjut terkait
kondisi keganasan kanker itu sendiri.
c. Neuropati perifer
Neuropati perifer adalah gejala yang disebabkan oleh kerusakan saraf
yang lebih jauh dari otak dan sum-sum tulang belakang. Neuropati
perifer terjadi setiap saat setelah pengobatan dimulai dan semakin
parah seiring berjalannya pengobatan. Faktor yang mempengaruhi
diantaranya usia, intensitas kemoterapi, dosis obat, durasi pemberian
kemoterapi.
d. Toksisitas kulit
Efek samping pemberian obat kemoterapi tertentu dapat
menggelapkan warna kulit sepanjang vena, dapat juga berupa eritema
atau garis hiperpigmentasi yang menyebar di sepanjang vena
superfisial. Toksisitas kulit tidak mengancam kehidupan tetapi
memperburuk kualitas hidup pasien.
e. Alopecia (kerontokan rambut)
Kerontokan rambut mulai terjadi 2 hingga 4 minggu dan akan selesai
1 sampai 2 bulan setelah kerontokan, kerontokan bias terjadi sebagian
atau lengkap. Bagian tubuh lain yang mengalami kerontokan yaitu
bagian ketiak,alis dan kemaluan.
f. Penurunan berat badan
Penurunan berat badan terjadi karena beberapa faktor diantaranya
adalah penurunan nafsu makan, mual dan muntah, dan mukositis.
Sebagian besar pasien kemoterapi mengalami penurunan sebanyak
5% dari berat badan sebelum menjalani kemoterapi.
g. Penurunan nafsu makan
Penurunan nafsu makan terkait kanker dapat terjadi karena sinyal rasa
lapar yang berasal dari hipotalamus berkurang dan sinyal kenyang
yang dihasilkan oleh melacortins diperkuat. Pada pasien kemoterapi
penurunan nafsu makan juga dipengaruhi oleh rasa mual dan
perubahan sensasi rasa.
h. Fatigue( kelelahan)
Rasa lelah terjadi selama 1 sampai 2 minggu setelah pemberian
kemoterapi, kelelahan dapat terjadi karena kebutuhan nutrisi yang
kurang sehingga kebutuhan energy di dalam tubuh tidak
tercukupi,pada pasien kemoterapi terjadi penurunan nafsu makan
sehingga kebutuhan energy dalam tubuh tidak dapat tercukupi.
i. Perubahan rasa
Pada pasien kemoterapi sering mengeluhkan perubahan dalam
persepsi rasa, dan banyak dikeluhkan rasa pahit atau rasa metal.
Kualitas rasa juga berkurang yang dideskripsikan sebagai rasa tidak
enak dimulut atau mual. Factor yang berpengaruh karena kurangnya
perawatan mulut, infeksi, gastrointestinal reflux.
j. Nyeri
Rasa nyeri timbul dibagian perut bawah dan punggung, terjadi secara
hilang timbul, dapat diperberat oleh aktifitas fisik yang berat, setelah
kemoterapi selesai nyeri akan berkurang (Ambarwati, 2013).
2) Dampak kemoterapi secara psikologis
a) Cemas
Kecemasan pada pasien kemoterapi dipengaruhi oleh beberapa factor,
bisa karena factor interna maupun eksternal. Faktor eksternal
diantaranya : Adanya ancaman fsik dan harga diri, dan tingkat
keparahan penyakit.Faktor internal diantaranya: Kemampuan
beradaptasi, Keyakinan akan kemampuan mengontrol situasi, jenis
kelamin dan kepribadian, pengalaman individu dengan situasi yang
dialami, pengetahuan pasien mengenai berbagai hal tentang kanker
dan prosedur pengobatan (Oetami, 2014).
b) Merasa ketidakberdayaan
Pada pasien kemoterapi ketidakberdayaan dapat berupa gangguan
emosi, misalnya menangis kaena teringat akan penyakit yang
dideritanya (Oetami, 2014
c) Harga diri rendah
Pada pasien kemoterapi dampak psikologis harga diri berupa rasa
malu dan rasa pesimis dalam menjalani kehidupan dikarenakan efek
kemoterapi yang merubah kondisi fisiologis tubuhnya (Oetami,
2014).
d) Stress dan amarah
Stress dan marah pada pasien kemoterapi timbul karena adanya rasa
tidak suka terhadap efek pengobatan yang dirasakannya (Oetami,
2014).
e) Depresi
Depresi yang dialami pasien kemoterapi adalah depresi minimal dan
depresi sedang (Rulianti, 2013).Dari hasil penelitian yang dilakukan
oleh Sonia (2014),penderita keganasan yang mendapatkan kemoterapi
menunjukkan pravelensi gejala psikologis depresi lebih tinggi dari
ansietas.Menurut penelitian yang dilakukan oleh Suharmilah (2013),
pada pasien kanker payudara, terjadi depresi karena diakibatkan oleh
pengobatan kanker, yang dirasa sangat membebankan pasien. Hal ini
dikarenakan efek samping kemoterapi yang memberikan aspek
traumatis pada pasien.
B. Mual Muntah pada Pasien Kemoterapi
1. Definisi
Mual muntah merupakan salah satu efek samping yang sering terjadi pada
penggunaan sitostatika. Mual muntah termasuk dalam efek samping dini karena
sering terjadi dalam satu sampai dua puluh empat jam setelah pemberian
sitostatika, meskipun juga dapat terjadi pada waktu lebih dari dua puluh empat
jam. Risiko mual muntah dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti potensi
emetogenik dan regimen sitostatika serta faktor spesifik dari pasien (Likun et al,
2011)
Mual merupakan sensasi tidak nyaman yang dirasakan di tenggorok dan
epigastrum yang dapat menyebabkan keluarnya isi lambung. Muntah merupakan
keluarnya isi lambung melalui mulut yang disebabkan oleh refleks motorik. Mual
muntah pasca kemoterapi atau chemotherapy induced nausea and vomiting
(CINV) diklasifikasikan menjadi akut, lambat dan antisipatori (Janelsins et al,
2013).
Chemotherapy induced nausea and vomiting akut terjadi pada awal dua puluh
empat jam pasca kemoterapi dengan puncak terjadi pada lima sampai enam jam
setelah pemberian kemoterapi. Chemotherapy induced nausea and vomiting
lambat terjadi setelah dua puluh empat jam dan dapat menetap selama lima
sampai tujuh hari, umumnya terjadi pada pasien yang mendapat sitostatika
cisplatin, karboplatin, siklosfosfamid dan doksorubisin. Chemotherapy induced
nausea and vomiting antisipatori jika didapatkan keluhan mual muntah sebelum
kemoterapi diberikan. Keadaan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
gangguan pengecapan, bau mulut, pikiran dan kecemasan. Mual muntah jenis ini
menjadi lebih sulit dikontrol daripada jenis yang lain (Janelsins et al, 2013).
2. Dampak Mual Muntah pada Pasien Kemoterapi
Mual yang dialami oleh pasien kanker tentunya menimbulkan dampak bagi
kondisi pasien. Yodang (2018) menyatakan bahwa mual dan muntah merupakan
salah satu penyebab terjadinya anoreksia dan kakeksia. Anoreksia yang dialami
pasien kanker dapat menyebabkan status nutrisi pasien terganggu. Anoreksia
yang berkelanjutan akan mengakibatkan tidak terpenuhinya nutrisi pasien secara
optimal (malnutrisi) yang dapat menyebabkan kakeksia dan mempengaruhi
kualitas hidup pasien kanker.
Mual muntah juga bisa menjadi potensi terjadinya stress pada pasien yang
terkadang membuat pasien memilih untuk menghentikan siklus terapi dan
berpotensi untuk mempengaruhi harapan hidup di masa depan. Disamping itu,
jika efek samping ini tidak ditangani dengan baik, maka mual muntah dapat
menyebabkan terjadinya dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit, dan resiko
aspirasi pneumonia (Hesketh, 2008)
3. Terapi untuk Mengurangi Mual Muntah pada pasien Kemoterapi
Faktor yang perlu diperhatikan dalam mengobati CINV yaitu harapan pasien
terhadap pengobatan, onset mual muntah yang timbul, dan resistensi terhadap
terapi anti emetik. Penanganan CINV melalui pendekatan kompehensif yang
diberikan kepada pasien dengan kanker untuk mengurangi efek samping
kemoterapi (Mustian et al, 2011).
1. Pemberian obat antiemetic
Antiemetik yang biasa digunakan dalam terapi CINV yaitu :
1) Fenotiazin, digunakan untuk mengobati mual muntah karena kemoterapi
dengan emetogenisitas ringan, misalnya : proklorperazin, klorpromazin.
2) Kortikosteroid, khususnya deksametason digunakan untuk mencegah
mual muntah karena kemoterapi dengan emetogenisitas sedang.
3) Metoklopramid, memblokade reseptor dopaminergik di CTZ.
4) Antagonis reseptor neurokinin, digunakan secara kombinasi dengan
SSRI dan kortikosteroid untuk mencegah mual muntah akut dan tunda,
misalnya : aprepitan
5) SSRI, memblokade fase CINV akut, sehingga digunakan sebagai terapi
standar CINV, PONV, RINV, misalnya : ondansentron, granisentron,
palonosentron, dolasentron. (DiPiro dan Taylor, 2005).
2. Suplementasi herbal
Jahe (Zingiber Officinale) merupakan terapi herbal yang sering
diberikan untuk mencegah atau mengurangi CINV. Jahe diberikan sebelum
kemoterapi untuk mencegah keluhan mual muntah. Beberapa suplemen
herbal lain yang diketahui dapat mengurangi keluhan muntah yaitu cinnamon
bark, peppermint, chamomile, fennel, dan rosewood (Mustian et al, 2011).
3. Akupuntur
Akupunktur merupakan bentuk lain pengobatan China tradisional
untuk mengatasi keluhan mual muntah. Titik akupunktur yang umum dipakai
untuk mengontrol mual muntah adalah titik P6 dan ST36. 18 Titik P6 terletak
diantara tendon pada pergelangan tangan sekitar dua inci dekat lipatan
pergelangan tangan. Titik ST36 terletak pada sisi anterior lateral dari kaki.
Beberapa penelitian menunjukkan kombinasi akupunktur dan preparat anti
emetik standar secara signifikan menurunkan keluhan mual muntah pada
CINV akut (Dibble et al, 2007).
4. Biopsychobehavioral
Intervensi biopsychobehavioral meliputi teknik progressive muscle
relaxation (PMR), imajinasi terbimbing, hipnosis dan latihan. Intervensi
tersebut merupakan terapi efikasi untuk mengatasi mual muntah terinduksi
kemoterapi. Intervensi ini seharusnya diberikan sebelum pasien mendapat
kemoterapi pertama dan pada awal onset gejala yang muncul pada CINV
akut (Mustian et al, 2011).
C. Guided Imagery
1. Definisi
Guided Imagery atau imaginasi terbimbing adalah proses yang menggunakan
kekuatan pikiran dengan menggerakkan tubuh untuk menyembuhkan diri dan
memelihara kesehatan atau rileks melalui komunikasi dalam tubuh melibatkan
semua indra meliputi sentuhan, penciuman, penglihatan, dan pendengaran (Potter
& Perry, 2005)
Teknik guided imagery digunakan untuk mengelola koping dengan cara
berkhayal atau membayangkan sesuatu yang dimulai dengan proses relaksasi pada
umumnya yaitu meminta kepada klien untuk perlahan-lahan menutup matanya dan
fokus pada nafas mereka, klien didorong untuk relaksasi mengosongkan pikiran
dan memenuhi pikiran dengan bayangan untuk membuat damai dan tenang
(Smeltzer & Bare, 2008).
2. Tujuan Guided Imagery
Tujuan dari menerapkan guided imagery ialah (Mehme, 2010):
a) Memelihara kesehatan atau mencapai keadaan rileks melalui komunikasi
dalam tubuh melibatkan semua indra (visual, sentuhan, penciuman,
penglihatan, dan pendengaran) sehingga terbentuklah keseimbangan antara
pikiran, tubuh, dan jiwa.
b) Mempercepat penyembuhan yang efektif dan membantu tubuh mengurangi
berbagai macam penyakit seperti depresi, alergi dan asma.
c) Mengurangi tingkat stres, penyebab, dan gejala-gejala yang menyertai stres.
d) Menggali pengalaman pasien depresi
3. Manfaat Guided Imagery
Guided imagery mengarahkan pasien untuk memikirkan hal-hal yang menarik
dan indah bagi pasien sehingga menyebabkan pelepasan endorfin ke seluruh
tubuh. Efek dari pelepasan endorfin adalah meningkatkan rasa damai,
mengurangi stres, dan pada akhirnya akan membuat perasaan menjadi
senang (Karagozoglu et al., 2012). Hormon endorfin adalah zat kimia seperi morfin
yang diproduksi sendiri oleh tubuh. Hormon ini diproduksi oleh sistem saraf pusat
dan kelenjar hipofisis. Endorfin memiliki efek mengurangi rasa sakit dan memicu
perasaan senang, tenang, atau bahagia, endorpin juga dapat berfungsi sebagai
antiemetik yang menghambat impuls mual muntah di pusat muntah dan CTZ
(Stern, Koch, & Andrews, 2011). Bhana (2016) mengemukakan bahwa imajinasi
terbimbing memiliki efek fisik, psikologis, sosial dan spiritual yang dapat
meningkatkan dukungan pada perawatan pasien kanker
4. Prosedur Guided Imagery
Berikut ini adalah standar operasional prosedur dari pelaksanaan guided imagery
(Grocke&Moe, 2015):
1. Bina hubungan saling percaya.
2. Jelaskan prosedur, tujuan, posisi, waktu dan peran perawat sebagai
pembimbing
3. Anjurkan klien mencari posisi yang nyaman menurut klien.
4. Duduk dengan klien tetapi tidak mengganggu.
5. Lakukan pembimbingan dengan baik terhadap klien.
a. Minta klien untuk memikirkan hal-hal yang menyenangkan atau
pengalaman yang membantu penggunaan semua indra dengan suara yang
lembut.
b. Ketika klien rileks, klien berfokus pada bayangan dan saat itu perawat
tidak perlu bicara lagi..
c. Jika klien menunjukkan tanda-tanda agitasi, gelisah, atau tidak nyaman
perawat harus menghentikan latihan dan memulainya lagi ketika klien
telah siap.
d. Relaksasi akan mengenai seluruh tubuh. Setelah 15 menit klien dan daerah
ini akan digantikan dengan relaksasi. Biasanya klien rileks setelah
menutup mata atau mendengarkan musik yang lembut sebagai background
yang membantu.
e. Catat hal-hal yang digambarkan klien dalam pikiran untuk digunakan pada
latihan selanjutnya dengan menggunakan informasi spesifik yang
diberikan klien dan tidak membuat perubahan pernyataan klien
BAB III
ANALISIS ARTIKEL ILMIAH
A. PICO
P : Nausea induced by chemotherapy
I : Complementary therapy
C :-
O : Effective
Pertanyaan Klinis : Apakah jenis terapi komplementer/non farmakologi yang
efektif digunakan untuk mengurangi mual pada pasien dengan kemoterapi?
Selanjutnya dilakukan pencarian artikel ilmiah menggunakan PICO tersebut pada
database Pubmed sehingga didapatkan hasil 86 artikel ilmiah dengan filter: tahun
2015-2020, free access, dan full article. Selanjutnya dilakukan screening judul
didapatkan 9 artikel, kemudian dilakukan screening abstrak sehingga terpilih 3 artikel
ilmiah dan kemudian dipilih 1 artikel ilmiah yang sekiranya menjawab pertanyaan
klinis sehingga didapatkan jurnal yang berjudul “Guided imagery effects on
chemotherapy induced nausea and vomiting in Iranian breast cancer patients”
B. Identitas Artikel Ilmiah
Judul : Guided imagery effects on chemotherapy induced nausea and
vomiting in Iranian breast cancer patients
Penulis : Mahboobehsadat Hosseini, Batool Tirgari, Mansooreh Azizzadeh
Forouzi, Yunes Jahani
Tahun : 2016
Jurnal : Complementary Therapies in Clinical Practice
DOI : http://dx.doi.org/10.1016/j.ctcp.2016.07.002
C. Artikel Ilmiah
1. Metode
Penelitian ini merupakan quasi-experimental study, partisipan dalam
penelitian ini yaitu sebanyak 55 orang dengan tingkat kepercayaan 80% (alpha
¼ 0.05). Kriteria inklusi dalam penelitian ini yaitu: berusia 18 sampai dengan
70 tahun, mempunyai kanker payudara stadium I, II, atau III, mengalami mual
dan muntah dalam waktu 24 jam setelah pemberian terapi pertama kemoterapi
dan diberitahu untuk menjalani kemoterapi kedua untuk menerima sesi infus
kemoterapi intravena selama 30 hingga 90 menit. Pasien yang diberikan agen
kemoterapi dan antiemetik dengan dosis yang sama, maka keduanya juga
masuk kriteria inklusi.
Kriteria ekslusi dalam penelitian ini yaitu: Mengalami gangguan
psikologis atau sistem saraf (gangguan bipolar, epilepsi, gangguan sistem saraf
mayor seperti multiple sclerosis and myasthenia gravis), mengalami gangguan
pendengaran, menggunakan obat penenang dan gastrointestinal atau kanker
sistem saraf.
Pengambilan sampel dilakukan dengan convenience sampling. Setelah
menjelaskan tujuan dari penelitian dan metodologinya, subjek yang memenuhi
syarat diminta untuk menandatangani formulir persetujuan pada kunjungan
pertama. Pasien pada sesi kedua kemoterapi dipilih sebagai kelompok kontrol
dan kelompok yang sama dipilih sebagai kelompok intervensi pada sesi
kemoterapi ketiga.
Instrumen Morrow Assessment of Nausea and Vomiting digunakan
untuk mengevaluasi mual dan muntah. Instrumen ini dikembangkan oleh
Morrow (1992) dan digunakan dalam banyak penelitian untuk penilaian diri
sendiri terhadap keparahan dan frekuensi mual dan muntah. Pasien dapat
mengevaluasi mual dan muntah yang terjadi dalam dua periode: sebelum dan
setelah kemoterapi. Instrumen ini digunakan di lebih dari 12 studi dan
reliabilitas yang dilaporkan adalah (0.66 sampai 0.78). Intrumen ini berisi 16
pertanyaan termasuk berikut: menderita mual dan muntah dalam satu atau
kedua periode (ya, tidak); keparahan (sangat ringan, ringan, sedang,parah,
sangat parah dan tak tertahankan); durasi (dalam jam) dan periode di mana
pasien mengalami mual / muntah yang paling parah; bagaimana keadaan
sebelum dan sesudah kemoterapi mual / muntah pertama terjadi; obat yang
diminum untuk mual / muntah (ya, tidak) dan jika ya, seberapa bermanfaat
obat itu (banyak, cukup banyak, agak,tidak semuanya).
Pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut: Sebelum memulai
terapi kemoterapi kedua, dan berdasarkan kriteria inklusi, pasien masuk
diikutsertakan dalam penelitian.. Dalam sesi kedua pasien kemoterapi dipilih
sebagai kelompok kontrol, mual dan muntah mereka diukur sebelum dan
setelah sesi kedua. Partisipan dalam kelompok kontrol adalah tidak diberitahu
tentang guided imagery, tetapi mereka diberitahu tentang prosedur mengenai
tingkat keparahan dan frekuensi mereka mual dan muntah akibat kemoterapi.
Peserta diberitahu bahwa mereka akan diberikan obat antiemetik yang
dikonsumsi selama dan setelah terapi. Intervensi yang digunakan partisipan
penelitian pada sesi ketiga terdiri dari mendengarkan dua naskah guided
imagery yang direkam audio yang diformat sebagai dua trek terpisah pada dua
CD. Setiap trek berdurasi 10 menit untuk mendapatkan respons imagery.
Suara pertama terdiri dari suara alam campuran yang lembut, bertempo
lambat, (mis., suara air mengalir atau kicauan burung menjadi latar belakang
musik. Trek kedua dari intervensi yaitu skrip guided imagery yang
menginstruksikan pendengar untuk membayangkan perasaan mereka menjadi
lebih baik. Peserta didorong untuk membiasakan diri dengan lingkungan
sekitar yang dipikirkan mereka, bayangkan diri mereka di tempat yang aman
dan tempat yang aman di mana memungkinkan untuk beristirahat dan
bersantai sepenuhnya. Pasien diminta untuk mendengarkan lagu pertama pada
malam sebelum sesi ketiga selama 10 menit. Di pagi hari sesi ketiga sebelum
memulai kemoterapi, tingkat keparahan dan frekuensi kemoterapi mual dan
muntah diukur. CD guided imagery termasuk trek kedua dan pemutar CD
diberikan kepada kelompok intervensi. Mereka juga diberikan headphone
kecil dan ringan yang mudah digunakan untuk mencegah kebisingan
lingkungan untuk memastikan konsentrasinya pada konten CD. Peneliti
merekomendasikan partisipan untuk menutup mata saat mendengarkan trek
CD sehingga mereka dapat merangsang imajinasi mereka. CD guided imagery
disiapkan oleh staf pengajar Departemen Hipnotisme Iran. Semua pasien
ditanyai untuk menandai frekuensi dan beratnya mual dan muntah mereka
selama dan setelah intervensi pada sesi kemoterapi ketiga.
Data dianalisis dengan SPSS 21 for Windows. Statistik deskriptif
dihitung untuk variabel penelitian. Untuk membandingkan mual dan muntah
sebelum dan sesudah kemoterapi digunakan uji-t berpasangan untuk
menganalisis. Nilai P <0,05 dianggap signifikan
Pada tahap perencanaan, manajemen rumah sakit dihubungi untuk izin
melakukan penelitian, dan persetujuan diperoleh dari komite Etika Universitas
Kedokteran Kerman (kode etik: Ir.kmu.rec.1394.43).
2. Hasil dan Pembahasan Penelitian
Hasil
Sampel penelitian terdiri dari 55 wanita dengan kanker payudara yang
dengan usia rata-rata 57,5 tahun. Tingkat pendidikan sampel dalam rentang
dari buta huruf hingga tingkat perguruan tinggi. Mayoritas sampel telah
menikah yakni sebanyak 89,9% dan sebanyak 65,5% merupakan penderita
kanker payudara stage II.

Skor rata-rata nausea severity/keparahan mual pre-kemoterapi adalah


(1.91 ± 1.97) pada siklus kedua dan berkurang secara signifikan pada siklus
ketiga yakni 1.28 ± 0.85. Selaras dengan saat pre-kemoterapi, skor nausea
severity post-kemoterapi berkurang dari 2.07 ± 1.63 pada siklus kedua menjadi
0.98 ± 0.84 pada siklus ketiga. Dilihat dari frekuensinya, nausea pada pre dan
post kemoterapi pada siklus ketiga lebih rendah daripada pre-post kemoterapi
pada siklus kedua.
Kejadian vomiting atau muntah pada pre post kemoterapi juga
dievaluasi. Hasilnya skor rata-rata vomiting severity / keparahan muntah pada
pre-kemoterapi siklus kedua adalah 0.48 ± 0.09 lalu menurun menjadi 0 pada
siklus ketiga. Selain itu nilai rata-rata keparahan muntah post-kemoterapi pada
siklus ketiga juga menurun yakni 0 dari awalnya di siklus kedua yakni 0.62 ±
0.05. Dilihat dari frekuensi, baik pre dan post kemoterapi pada siklus ketiga
lebih rendah daripada siklus kedua.
Pembahasan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, guided imagery mengurangi
keparahan dan frekuensi CINV pada pasien kanker payudara. Hasil penelitian
saat ini didukung oleh temuan studi sebelumnya yang memeriksa efektivitas
terapi komplementer dan alternatif seperti intervensi mind-body untuk
mengendalikan efek samping perawatan kanker. Intervensi mind-body seperti
guided imagery, napas dalam/deep breathing, meditasi, dan relaksasi otot
progresif telah menunjukkan untuk mengurangi respon stres dan dapat
bermanfaat bagi depresi dan kecemasan. Terapi ini mengurangi tingkat
Kortisol dan Sitokin pada manusia. Dibuktikan pada penelitian lain, bahwa
guided imagery dapat bermanfaat mengurangi stres dan fatigue/ keletihan pada
pasien radioterapi.
Intervensi mind-body ini memberi pasien pengetahuan dan keterampilan
untuk mengatasi penyakit mereka dan mengendalikan gejala mereka. Terapi
ini adalah pilihan yang sangat menarik untuk pengobatan gejala kanker selain
strategi farmakologis, metode ini memiliki hasil yang menguntungkan
termasuk beberapa efek samping negatif, kemampuan untuk digunakan oleh
pasien secara mandiri dengan pelatihan yang cukup dan murah. Telah
dijelaskan pula dalam literatur bahwa guided imagery merupakan teknik
terkuat yang dapat digunakan pada efek samping terbanyak dan terparah dalam
kemoterapi yakni nausea dan vomiting/mual muntah.
Penjelasan terkait guided imagery bekerja dalam sebuah terapi
diantaranya adalah teknik yang menggunakan mental image yang
menguntungkan dan menenangkan untuk mengalihkan perhatian seseorang
dari efek samping yang tidak menyenangkan dari kemoterapi. Guided
imagery sering disebut dapat memberikan rasa kesejahteraan. Konten positif
dari bayangan-bayangan ini berinteraksi dengan sistem kekebalan tubuh dan
menyebabkan tubuh mengidentifikasi kelainan apapun seperti sel kanker.
Teori lain menjelaskan bahwa selama proses guided imagery, keadaan
relaksasi mendalam diinduksi menggunakan relaksasi otot progresif yang
memungkinkan pasien untuk dipandu secara aktif membuat gambaran atau
bayangan yang memfasilitasi resolusi masalah tertentu. Apa yang membuat
guided imagery secara klinis adalah bahwa, orang yang menggunakan
gambaran atau bayangan dapat mengalami perilaku yang efektif atau respon
fisiologis tanpa peristiwa stimulus nyata sebagai proses persepsi terlibat dalam
bayangan atau gambaran. Oleh karena itu, ini gambaran atau bayangan mental
dapat digunakan untuk mengubah proses fisiologis seseorang, kondisi mental,
citra diri, kinerja, atau perilaku. Guided imagery adalah teknik yang sederhana,
mudah diajarkan, tetapi dianggap kurang sebagai metode intervensi pada
pasien kanker.
Kelemahan dalam penelitian ini diantaranya yaitu partisipan hanya
dipilih dari satu rumah sakit dan tidak merepresentasikan populasi dengan
kanker payudara, ukuran sampel yang kecil / sedikit, penggunaan convenience
sample, intervensi yang singkat dan kurangnya follow-up data. Hal yang dapat
ditingkatkan adalah follow up yang terus menerus dan sampel yang lebih
besar.
BAB IV
IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

Kemoterapi merupakan salah satu penatalaksanaan dari penyakit kanker. Perawat


berada di posisi sentral dan menjembatani perawatan dan berkomunikasi dengan pasien
kanker. Pasien kanker yang menjalani kemoterapi menderita berbagai efek samping yang
ditimbulkan termasuk mual dan muntah. Perawat memainkan peran penting dalam
mengedukasi kepada pasien terkait efek samping kemoterapi dengan jelas dan tepat.

Perawat dapat berperan dalam pencegahan mual dan muntah pada pasien kemoterapi.
salah satu terapi non farmakologi yang dapat dilakukan yaitu dengan mendorong pasien
untuk melakukan guided imagery. Guided imagery yang merupakan terapi yang simpel, non
invasif, dan murah dapat meningkatkan kompetensi dan keterampilan staf perawat onkologi
dan memungkinkan perawat onkologi untuk menerapkan perawatan secara holistik. Jika
perawat memiliki pemahaman penuh tentang efek Guided imagery, mereka akan lebih baik
dalam merencanakan strategi untuk mengelola mual dan muntah yang diinduksi oleh
kemoterapi.
BAB V
KESIMPULAN
Guided imagery terbukti efektif mengurangi mual dan muntah berhubungan dengan
kemoterapi atau chemotherapy-induced nausea and vomiting. Meskipun efektivitas terapeutik
guided imagery dalam mengatasi mual muntah kemoterapi ditemukan dalam penelitian ini.
Perawat masih asing dengan guided imagery padahal guided imagery adalah terapi sederhana,
noninvasif dengan potensi manfaat untuk mengendalikan komplikasi kemoterapi seperti mual
dan muntah. Guided imagery efektif secara klinis dan tidak terkait dengan efek samping.
Penggunaan awal jenis terapi ini selama kemoterapi, dapat mengurangi tidak hanya jumlah
hari dengan mual dan muntah dan selanjutnya kembali ke kegiatan rutin, tetapi juga
mengurangi biaya perawatan kesehatan dengan mengurangi penggunaan layanan kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Ariani, S., (2015). STOP! KANKER. Yogyakarta. Istana Media
Chun, Christina. 2021. What is Chemotherapi?. Diakes di
https://www.healthline.com/health/chemotherapy. Diakses pada 24 Februari 2021
Dibble SL, Luce J, Cooper BA, Israel J. (2007). Acupressure for chemotherapy-induced
nausea and vomiting : A randomized Clinical Trial. Oncology Nursing Forum. ;
34(4);p.813-20.
Dipiro, J. T., & Taylor, A. T. (2005). Nausea and vomiting. pharmacotherapy a
pathophysiologic approach (6th Ed). United State : The McGraw-Hill Companies Inc.
Hesketh, P. J. (2008). Chemotherapy-Induced Nausea and Vomiting. The New England
Journal of Medicine, 358, 2482–2494. Retrieved from www.nejm.org
Hosseini, M., Tirgari, B., Forouzi, M A., & Jahani, Y. (2016). Guided imagery effects on
chemotherapy induced nausea and vomiting in Iranian breast cancer patients.
Complementary Therapies in Clinical Practice 25 (2016) 8-12
http://dx.doi.org/10.1016/j.ctcp.2016.07.002
Janelsins MC, Tejani M, Kamen C, Peoples A, Mustian KM, Morrow GR.(2013). Current
pharmacotherapy for chemotherapy-induced nausea and vomiting in cancer patients.
Expert Opin Pharmacother;14.p.757-66.
Jemal, A., Bray, F., Center, M. M., Ferlay, J., Ward, E., Forman, D. (2011). Global Cancer
Statistics. A Cancer Journal for Clinicians.
Junaidi, I. (2014). Hidup sehat bebas kanker mewaspadai kanker sejak dari dini.
Yogyakarta: Rapha Publishing
Kementrian Kesehatan RI. (2015). Riset Kementrian Kesehatan Dasar. Prevalensi Kanker Di
Indonesia, 2–10. https://doi.org/10.1007/s13398-014-0173-7.2
Kemenkes RI (2017). Pedoman dan Standar Etik Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Nasional.
Likun Z, Xiang J, Xin D, Liu Z. (2011). A systematic review and meta-analysis of
intravenous palonosetron in the prevention of chemotherapy-induced nausea and
vomiting in adults. The Oncologist;16.p.207-16. Mustian KM, Devine K, Ryan JL,
Janelsins MC, Sprod LK, Peppone LJ, et al. (2011). Treatment of nausea and vomiting during
chemotherapy. US Oncol Hematol ;7(2).p.91-7
Nasif, Junaidi, dan Muchtar. (2011). Efektivitas antiemetik pada pasien yang menggunakan
sitostatika pasca bedah pada berbagai jenis kanker di rumah sakit umum daerah dr.
achmad mochtar bukit tinggi. http://jstf.ffarmasi.unand.ac.id/in
dex.php/jstf/article/viewFile/56/5 9
Oetami, F. (2014). Analisis Dampak Psikologis Pengobatan Kanker Payudara di
RS.Dr.Wahidin Sudirohusodo Makasar
Potter & Perry. (2005). Buku ajar fundamental keperawatan volume 1, Edisi 4. Jakarta: EGC.
Rasjidi, Imam. 2007. Panduan Penatalaksanaan Kanker Ginekologi: Berdasarkan Evidence
Base. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta : EGC
Setiadarma, M. P. (2000). Dasar-dasar Psikologi Olahraga. Jakarta : Pustaka Sinar.
Smeltzer, S. C., Bare, B. G.,. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth. Vol. 2. E/8, EGC, Jakarta.
Tjay, T.H., & Rahardja, K. (2007). Obat-obat penting: khasiat, penggunaan, dan efek-efek
sampingnya. Edisi Ke Enam. Cetakan Pertama. Jakarta: PT Elex Media Komputindo
WHO. (2019). Early Screening of Breast Cancer.
Yodang. (2018). Buku Ajar Keperawatan Paliatif : Berdasarkan Kurikulum AIPNI 2015.
jakarta: TIM.

Anda mungkin juga menyukai