Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN ASUHAN ANALISA ARTIKEL ILMIAH

Effectiveness of Origami on Hospitalized Anxiety Among Children

Tugas Mandiri
Stase Praktik Keperawatan Medikal Bedah

Disusun Oleh:
Alifvia Nuritansari (20/469758/KU/22696)
Dayana Pangestu Fajri Javasutra (20/469763/KU/22701)
Jihan Siti Lathifa L (20/469767/KU/22705)
Nur Atika Saraswati (20/469773/KU/22711)
Mellinda Widyamukti (20/469770/KU/22708)
Ussi Khairani Frestiarizka 20/469780/KU/22718

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
KESEHATAN MASYARAKAT DAN KEPERAWATAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hospitalisasi adalah suatu keadaan dimana anak diharuskan untuk tinggal di


rumah sakit untuk menjalani terapi dan perawatan. Pada proses tersebut, anak dan juga
orang tua mengalami peristiwa yang dapat menjadi pengalaman yang traumatik dan
penuh tekanan (Wong, 2000 dalam Yuliastati et al., 2019). Wilson et al (2010)
mengatakan bahwa reaksi anak saat hospitalisasi sangat bermacam-macam, yaitu: takut,
marah, sedih, bosan, dan cemas. Pada penelitian Sa’diah et al (2014), dari 10 pasien anak
yang dirawat, 8 diantaranya menunjukkan tanda dan gejala kecemasan seperti sulit tidur,
sering menangis, sering bangun tengah malam, nafsu makan menurun, dan takut didekati
petugas.

Kecemasan yang terjadi pada anak dapat menimbulkan respon fisiologis dan
psikologis. Kecemasan yang dialami oleh anak saat hospitalisasi dapat menghambat
proses kesembuhan. Proses kesembuhan dapat terhambat karena anak menolak perawatan
dan pengobatan. Selain itu, anak yang mengalami cemas dapat menolak makan, minum,
sulit tidur (Wong, 2008 dalam Sa’diah et al, 2014). Hal tersebut dapat menurunkan imun
pada anak.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menurunkan kecemasan adalah
dengan kegiatan terapi bermain. Bermain dapat dilakukan oleh anak yang sehat maupun
sakit. Anak yang sedang mengalami sakit akan tetap membutuhkan bermain (Suryanti et
al., 2012). Fungsi bermain pada anak salah satunya adalah anak akan terlepas dari
ketegangan dan stress yang dialami. Selain itu, bermain dapat mengalihkan rasa sakit
pada anak.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana intervensi non-farmakologi yang dapat mengurangi kecemasan pada anak


saat hospitalisasi?
C. Tujuan

1. Mengetahui dan memahami konsep kecemasan anak saat hospitalisasi

2. Mengetahui intervensi yang dapat mengurangi kecemasan pada anak saat


hospitalisasi
BAB II
Tinjauan Pustaka
1. Kecemasan
a. Pengertian Kecemasan
Kecemasan adalah emosi yang tidak menyenangkan, yang ditandai dengan
kekhawatiran, keprihatinan, rasa takut yang kadang kita alami dalam tingkat yang
berbeda-beda. Cemas sangat berkaitan dengan perasaan yang sangat tidak enak, khawatir,
gelisah, tidak pasti dan tidak berdaya yang disertai satu atau lebih gejala badaniah (Stuart
& Sundeen, 2007).
Maramis (2004) mengungkapkan bahwa kecemasan merupakan suatu respon stressor
yang merupakan gangguan efek dan emosi. Efek adalah nada perasaan yang
menyenangkan atau tidak menyenangkan yang menyertai suatu pikiran dan biasanya
berlangsung lama dan disertai oleh banyak komponen fisiologik.
Menurut Carpenito (2005), cemas berbeda dengan takut, walaupun hampir sama tetapi
terdapat perbedaan yang penting, yaitu :
1) Takut merupakan rasa tidak berani terhadap suatu objek yang konkrit.
2) Kecemasan menyerang pada tingkat lebih dalam dari pada takut, yaitu sampai pusat
kepribadian.
Hospitalisasi menyebabkan anak harus berpisah dari lingkungannya yang lama serta
orang-orang yang terdekat dengannya. Anak biasanya memiliki hubungan yang sangat
dekat dengan ibunya, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan perasaan tidak aman
dan rasa cemas. Kecemasan juga dapat terjadi pada anak juga akibat kehilangan kendali
atas dirinya dan kehilangan kebebasan dalam mengembangkan otonominya. Anak akan
bereaksi negatif terhadap ketergantungan yang dialaminya, terutama anak akan menjadi
cepat marah dan agresif (Nursalam, 2008).

b. Gejala kecemasan
Gejala klinis kecemasan menurut Nursalam (2008), adalah :
1) Fase protes (phase of protest)
Tahap ini dimanifestasikan dengan menangis kuat, menjerit, dan memanggil ibunya atau
menggunakan tingkah laku agresif, seperti menendang, menggigit, memukul, mencubit, mencoba
untuk membuat orang tuanya tetap tinggal, dan menolak perhatian orang lain. Secara verbal,
anak menyerang dengan rasa marah, seperti mengatakan “pergi!”. Perilaku tersebut dapat
berlangsung dari beberapa jam sampai beberapa hari.
2) Fase putus asa (Phase of Despair)
Tahap ini dimanifestasikan dengan anak tampak tegang, tangisnya berkurang, tidak aktif, kurang
berminat untuk bermain, tidak ada nafsu makan, menarik diri, tidak mau berkomunikasi, sedih,
apatis, dan regresi misalnya mengompol atau mengisap jari. Kondisi anak mengkhawatirkan
karena menolak untuk makan atau bergerak.
3) Fase menolak (Phase of Denial)
Tahap ini ditandai dengan anak secara samar-samar menerima perpisahan, mulai
tertarik pada apa yang ada di sekitarnya, dan membina hubungan dangkal dengan
orang lain. Anak mulai kelihatan gembira. Fase ini biasanya terjadi setelah
perpisahan yang lama dengan orang tua.
2. Terapi Bermain
a. Pengertian
Terapi merupakan penerapan sistematis dari sekumpulan prinsip belajar terhadap suatu
kondisi atau tingkah laku yang dianggap menyimpang, dengan tujuan melakukan perubahan.
Perubahan yang dimaksud bisa berarti menghilangkan, mengurangi, meningkatkan, atau
memodifikasi suatu kondisi atau tingkah laku tertentu (Adriana, 2011). Bermain adalah aktivitas
yang dapat dilakukan anak sebagai upaya stimulasi pertumbuhan dan perkembangannya.
Kegiatan bermain merupakan cerminan kemampuan fisik, intelektual, emosional dan sosial.
Bermain merupakan media yang baik untuk belajar karena dengan bermain, anak-anak akan
berkata-kata atau berkomunikasi, belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan, melakukan apa
yang dilakukannya dan mengenal waktu, jarak, serta suara (Supartini, 2004). Berdasarkan
pengertian terapi dan bermain diatas maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
terapi bermain adalah suatu perlakuan dan pengobatan yang ditujukan kepada penyembuhan satu
kondisi yang mengalami hospitalisasi selama dirumah sakit yang dilakukan dengan sukarela oleh
pasien dengan cara bermain apa yang disukai untuk memperoleh kesenangan, kepuasan dan
dapat mengekspresikan diri.
b. Fungsi Bermain
Fungsi bermain bagi anak terdiri dari : (Nursalam, 2005)
1) Perkembangan sensori dan motorik
Menurut Hartini (2004) fungsi bermain pada anak dapat dikembangkan dengan melakukan
rangsangan pada sensorik dan motorik dalam mengekplorasikan alam di sekitarnya
2) Membantu perkembangan kognitif
Anak belajar mengenal warna, bentuk atau ukuran, tekstur dari berbagai
macam objek, angka, dan benda. Anak belajar untuk merangkai kata, berpikir
abstrak dan memahami hubungan ruang seperti naik, turun, dibawah dan
terbuka. Aktivitas bermain juga dapat membantu perkembangan keterampilan
dan mengenal dunia nyata atau fantasi (Aziz, 2005).
3) Meningkatkan kemampuan sosialisasi anak
Proses sosialisasi dapat terjadi melalui permainan, misalnya pada saat anak
akan merasakan kesenangan terhadap kehadiran orang lain dan merasakan ada
teman yang dunianya sama (Sutarya, 2005).
4) Meningkatkan kreativitas
Bermain juga dapat berfungsi dalam peningkatan kreativitas, dimana anak mulai belajar
menciptakan sesuatu dari permainan yang ada dan mampu memodifikasi objek yang digunakan
dalam permainan sehingga anak akan lebih kreatif melalui model permainan ini, seperti bermain
bongkar pasang dan mobil-mobilan (Nursalam, 2005).
5) Meningkatkan kesadaran diri
Bermain pada anak dapat memberi kemampuan untuk mengekplorasikan
tubuh dan merasakan dirinya sadar dengan orang lain yang merupakan bagian
dari individu yang saling berhubungan, anak mau belajar mengatur perilaku
serta membandingkan perilaku dengan orang lain (Nursalam, 2005).
6) Mempunyai nilai terapeutik
Bermain dapat menjadikan diri anak lebih senang dan nyaman sehingga adanya stress dan
ketegangan dapat dihindari, mengingat bermain dapat menghibur diri anak terhadap dunianya
(Vessey & Mohan, 1990 dikutip oleh Supartini, 2004).
7) Mempunyai nilai moral pada anak

Bermain juga dapat memberikan nilai moral tersendiri pada anak. Hal ini dapat dijumpai ketika
anak sudah mampu belajar benar atau salah dari budaya di rumah, di sekolah dan ketika
berinteraksi dengan temannya. Ada beberapa permainan yang memiliki aturan-aturan yang harus
dilakukan dan tidak boleh dilanggar (Soetjiningsih, 2010).
c. Karakteristik Bermain
Karakteristik bermain menurut Whatley & Wong (2009) :
Menurut isi
− Social affektif play
Permainan yang membuat anak belajar berhubungan dengan orang lain.
Contohnya antara lain orang tua berbicara, memeluk, bersenandung, anak
memberi respon dengan tersenyum, mendengkur, tertawa, beraktivitas dan
lain-lain.
− Sense pleasure play (bermain untuk bersenang-senang)
Sense pleasure play yaitu stimulus pengalaman non sosial yang berasal dari luar. Anak
menstimulasi sensori mereka dan kesenangan. Contohnya antara lainbermain air dan pasir, objek
seperti cahaya, kayu, rasa, benda alam dan gerakan tubuh.
− Skill-play
Skill play yaitu permainan yang bersifat membina ketrampilan anak khususnya motorik kasar
dan halus. Anak dapat memindahkan benda-benda dari satu tempat ke tempat yang lain.
Ketrampilan ini merupakan ketrampilan pengulangan kegiatan permainan yang dilakukan.
Contohnya antara lainbelajar naik sepeda, bermain puzzle dan origami.
− Dramatic plays

Dramatic plays dikenal sebagai permainan simbolik atau permainan berpura-pura. Permainan
drama memberikan kerangka bagi tingkah laku matang yang diuji. Contohnya antara lain
berpura-pura melakukan kegiatan keluarga seperti makan, minum dan tidur serta main dokter-
dokteran.

d. Bermain Sebagai Terapi


Pada saat dirawat di rumah sakit, anak akan mengalami berbagai perasaan yang sangat tidak
menyenangkan, seperti marah, takut, cemas, sedih, dan nyeri. Perasaan tersebut merupakan
dampak dari hospitalisasi yang dialami anak karena menghadapi beberapa stressor yang ada
dilingkungan rumah sakit. Untuk itu, dengan melakukan permainan anak akan terlepas dari
ketegangan dan stress yang dialaminya karena dengan melakukan permainan anak akan depat
mengalihkan rasa sakitnya pada permainannya (distraksi) dan relaksasi melalui kesenangannya
melakukan permainan.
Pada saat dirawat dirumah sakit, anak akan mengalami berbagai perasaan yang
sangat tidak menyenangkan, seperti marah, takut, cemas, sedih, dan nyeri. Perasaan
tersebut merupakan dampak dari dirawatnya dirumah sakit yang dialami anak karena
menghadapi berberapa stresor yang ada akan terlepas dari ketegangan dan stress yang
dialami karena dengan melakukan permainan, anak akan dapat mengalihkan rasa
sakitnya pada permainannya (distraksi) dan relaksasi melalui kesenangan melakukan
permainan (Andriana, 2011). Bermain harus seimbang artinya harus ada
keseimbangan antara bermain aktif dan bermain pasif yang biasanya disebut hiburan.
Dalam bermain aktif kesenangan diperoleh dari apa yang dilakukan oleh anak itu
sendiri sedangkan bermain pasif kesenangan didapat dari orang lain.
e. Tujuan Terapi Bermain
Anak bermain pada dasarnya agar dapat melanjutkan tumbuh kembang yang
normal selama perawatan, sehingga tumbuh kembang anak tidak terhambat karena
keadaan anak yang sakit. Agar anak dapat mengekspresikan pikiran dan fantasinya
serta dapat mengembangkan kreatifitasnya melalui pengalaman permainan yang
tepat. Serta anak dapat beradaptasi secara lebih efektif terhadap stres yang dialami
oleh anak karena penyakitnya atau karena dirawat di rumah sakit, dan anak
mendapatkan ketenangan dalam bermain (Nursalam &dkk , 2013)
f. Manfaat bermain dalam mengurangi dampak hospitalisasi

Ada banyak manfaat bermain dalam mengurangi dampak hospitalisasi (Wong, 2009):

1) Memfasilitasi anak untuk beradaptasi dengan situasi yang tidak asing


2) Memberi kesempatan untuk membuat keputusan dan kontrol
3) Membantu untuk mengurangi stress terhadap perpisahan
4) Member kesempatan untuk mempelajari tentang fungsi dan bagian tubuh
5) Memperbaiki konsep-konsep yang salah tentang penggunaan, tujuan peralatan,
dan prosedur medis
6) Member peralihan dan relaksasi
7) Membantu anak untuk merasa aman dalam lingkungan yang asing
8) Memberikan cara untuk mengurangi tekanan dan untuk mengekspresikan
perasaan
9) Menganjurkan untuk berinteraksi dan mengembangkan sikap-sikap yang positif
terhadap orang lain.
g. Prinsip Permainan pada Anak
Menurut suriadi & Rita (2010)Bermain memiliki banyak prinsip yaitu:
1) Permainan tidak boleh bertentangan dengan terapi dan pengobatan.
2) Tidak mengeluarkan energy yang banyak dan dilakukan secara singkat
3) Harus mempertimbangkan keamanan dan infeksi anak
4) Dilakukan pada kelompok umur yang sama
5) Melibatkan orang tua/keluarga
h. Faktor yang Mempengaruhi Aktivitas Bermain
Menurut andriana (2011) faktor yang mempengaruhi aktivitas bermain yaitu:
1) Tahan perkembangan, tiap tahap mempunyai potensi/keterbatasan;
2) Status kesehatan, anak sakit sehingga perkembangan psikomotor kognitif
terganggu;
3) Jenis kelamin; Lingkungan: lokasi, negara, dan kultur;
4) Alat permainan:menyenangkan dan dapat menggunakannya;
5) Intelegensia dan status sosial ekonomi;
i. Tahap Perkembangan Terapi Bermain
1) Tahap eksplorasi merupakan tahapan menggali dengan melihat cara bermain;
2) Tahap permainan, yaitu setelah tau cara bermain, anak mulai masuk dalam tahap
permainan;
3) Tahap bermain sungguhan yaitu anak sudah ikut dalam permainan;
Tahap melamun merupakan tahapan terakhir anak membayangkan permainan berikutnya;
j. Hal-hal yang Perlu di Perhatikan dalam Aktivitas Bermain
1) Energi ekstra/tambahan
Bermain memerlukan energi tambahan, anak sakit kecil keinginannya untuk bermain.
Apabila anak mulai lelah atau bosan maka akan menghentikan permainan
2) Waktu
Anak harus mempunyain cukup waktu untuk bermain agar stimulus yang diberikan
dapat optimal;
3) Alat permainan
Untuk bermain diperlukan alat permainan yang sesuai dengan umur dan taraf
perkembangan anak
4) Ruang untuk bermain
Aktivitas bermain dapat dilakukan di mana saja, di ruang tamu, di halaman maupun
di kamar tidur
5) Pengetahuan cara bermain
Anak belajar bermain melalui mencoba-coba sendiri, meniru teman-temannya atau
diberi tahu caranya. Cara yang terakhir adalah yang terbaik karena anak lebih terarah
dan lebih berkembang pengetahuannya
6) Teman bermain
Dalam bermain, anak memerlukan teman, bisa teman sebaya, saudara, orangtua nya.
Ada saat-saat tertentu di mana anak bermain sendiri agar dapat menemukan
kebutuhannnya sendiri. (Nursalam & Rita, 2008)
7) Reward
Menurut Andriana, 2011 memberikan semangat & pujian atau hadiah pada anak bila
berhasil melakukan sebuah permainan.Kadang-kadang tidak dapat dicapai
keseimbangan dalam bermain yaitu apabila terdapat hal dibawah ini :
− Kesehatan anak menurun

Anak yang sakit, tidak mempunyai energi untuk aktif bermain;

− Tidak ada variasi dari alat permainan


Tidak ada kesempatan belajar dari alat permainan. Meskipun banyak alat
permainan tetapi tidak banyak manfaatnya kalau anak tidak tahu cara
menggunakannya.
− Tidak mempunyai teman bermain Kalau tidak mempunyai teman bermain
maka aktifitas bermain yang dapat dikerjakan sendirinakan terbatas.
h. Manfaat Bermain Bagi Perkembangan Anak
Menurut Triharso (2008) Bermain memiliki beberapa manfaat diantaranya:
1) Bermain mempengaruhi perkembangan fisik anak
Bila anak mendapatkan kesempatan untuk melakukan kegiatan yang banyak melibatkan gerakan-
gerakan tubuh maka tubuh akan menjadi sehat. Otot-otot dapat berkembang dan menjadi kuat.
2) Bermain dapat digunakan sebagai terapi
Bermain dapat digunakan sebagai media psiko terapi atau pengobatan terhadap anak. Tetapi
merupakan terapan sistematis dari sekumpulan prinsip belajar terhadap suatu kondisi atau
tingkah laku yang dianggap menyimpang dengan tujuan melakukan perubahan. Perubahan yang
dimaksud bisa berarti menghilangkan, mengurangi, meningkatkan atau memodifikasi suatu
kondisi atau tingkah laku tertentu. Terapi ini dikenal dengan sebutan terapi bermain (Adriana,
2011).
3) Bermain meningkatkan pengetahuan anak
Dengan bermain, aspek motoric kasar dan motoric halus anak turut berkembang. Melalui
permainan pula anak prasekolah diharapkan akan menguasai konsep seperti warna, ukuran,
bentuk, arah dan besaran sebagai landasan untuk beljar menulis, Bahasa, matematika dan ilmu
pengetahuan lain.
4) Bermain melatih penglihatan dan pendengaran
Bermain mempengaruhi perkembangan kreativitas anak. Anak usia dini masih mengalami
kesulitan untuk belajar dengan serius. dengan bermain anak merasa senang, dan kreativitas anak
pun meningkat;
5) Bermain mengembangkan tingkah laku anak.
6) Bermain memengaruhi nilai moral anak
Bermain dapat memenuh kebutuhan-kebutuhan dan dorongan dalam diri anak yang tidak
mungkin terpuaskan dalam dunia nyata. Bila anak memeroleh kesempatan untuk menyalurkan
perasaan tegang, tertakan, dan menyalurkan dorongan yang muncul dalam diri, anak akan merasa
lega dan rileks.
3. Terapi Bermain Origami
Origami adalah seni melipat kertas yang berasal dari Jepang. Origami sendiri berasal
dari oru yang artinya melipat, dan kami yang artinya kertas. Ketika dua kata itu
bergabung menjadi origami yang artinya melipat kertas. Origami bermanfaat untuk
melatih motorik halus, serta menumbuhkan motivasi, kreativitas, keterampilan serta
ketekunan. Latihan origami dapat membantu anak-anak memahami ukuran yang relatif
lebih lengkap dengan menggunakan strategi yang lebih efektif untuk perbandingan
ukuran.
Sebuah penelitian menunjukkan ada pengaruh signifikan antara terapi bermain
terhadap stres hospitalisasi. Penelitian lain menyebutkan ada pengaruh bermakna
sosialisasi anak selama berada di rumah sakit setelah dilakukan terapi bermain. Bermain
memungkinkan anak mengalami kemenangan dengan menyelesaikan teka-teki, berlatih
peranan orang dewasa, meniru peran penyerang bukannya korban, meniru kekuatan super
(memainkan pahlawan super) dan mendapatkan hal-hal yang ditolak dalam
kehidupannyata (membuat percaya teman atau binatang kesayangan). Menggambar,
mewarnai dan aktivitas artistik lainnya (origami) adalah bentuk permainan yang
menunjukkan motivasi kreatif yang lebih jelas

Pemberian terapi bermain origami pada pasien anak prasekolah yang dirawat di
rumah sakit memberikan manfaat untuk mengembangkan kemampuan motorik halus
anak, sekaligus merangsang kreativitas anak. Terapi bermain origami memberikan
kesempatan pada anak untuk membuat berbagai bentuk dari hasil melipat kertas dan pada
usia ini, anak akan merasa bangga dengan sesuatu yang telah dihasilkan. Anak juga akan
merasa puas dan bangga dengan kemampuannya untuk menghasilkan sesuatu sebagai
prestasinya. Perasaan bangga membantu anak meningkatkan peran dirinya selama
menjalani proses hospitalisasi sehingga perasaan hilang kendali karena pembatasan
aktivitas pada anak dapat diatasi/dihilangkan. Jika stressor kecemasan berupa kehilangan
kendali dapat diatasi maka tingkat kecemasan pada anak dapat menurun.

Terapi bermain origami yang diberikan pada anak prasekolah yang dirawat di rumah
sakit akan memberikan perasaan senang dan nyaman. Aguilera-Perez & Whetsell
menyatakan bahwa anak yang merasa nyaman saat menjalani rawat inap akan membuat
anak dapat beradaptasi terhadap stressor kecemasan selama hospitalisasi seperti
perpisahan dengan lingkungan rumah, permainan dan teman sepermainan. Jika stressor
kecemasan berupa perpisahan dapat diatasi maka tingkat kecemasan pada anak dapat
menurun (Halimatus et al, 2014.
BAB III

PEMBAHASAN

A. PICO

P : children anxiety of invasive procedure

I : origami play therapy

C :-

O : reduce anxiety on hopitalized children


Kemudian dari PICO tersebut, kami susun kata kunci untuk mencari artikel ilmiah. Kami
menggunakan kata kunci “((children anxiety of invasive procedure) AND (origami play therapy)
AND (reduce anxiety on hopitalized children))” untuk mencari artikel ilmia di database Google
Scholar. Setelah dilakukan pencarian dengan kata kunci tersebut ditemukan 243 artikel ilmiah.
Kemudian dilakukan limitasi dengan memilih artikel yang dipublikasi dalam 5 tahun terakhir, artikel
full text, dan artikel yang hanya memuat penelitian terapi bermain pada anak. Setelah dilakukan
limitasi, terdapat 16 artikel ilmiah. Kemudian kami melakukan screening judul mengenai beberapa
artikel yang dapat menjawab pertanyaan klinis kami, sederhana, dan sekiranya dapat dengan mudah
untuk diterapkan dalam pelayanan keperawatan. Screening judul, didapat 5 artikel ilmiah. Setelah
dilakukan screening abstrak dan isi, kami memilih artikel ilmiah yang berjudul “Effectiveness of
Origami on Hospitalized Anxiety Among Children “ untuk kami analisa lebih lanjut.
B. IDENTITAS ARTIKEL ILMIAH
Judul: Effectiveness of origami on hospitalized anxiety among children
Penulis: Christy Susan Mathew dan Daly Christabel H.
Tahun terbit: 2018
Nama Jurnal: International Journal of Advance Research and Development, Volume 3, Issue 8
C. ANALISIS JURNAL
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan terapi Origami pada anak yang mengalami
kecemasan saat dirawat di rumah sakit. Penelitian ini dilakukan di Bangsal Anak Sree Mookambika
Medical College Hospital, Tamilnadu, India. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan
derajat kepercayaan 95%. Desain penelitian quasi - experimental dengan metode pre test dan post
test. Penelitian ini dilakukan pada anak-anak di Bangsal Anak yang berusia 6 sampai dengan 12
tahun. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling untuk menempatkan anak pada
kelompok intervensi maupun kelompok kontrol dengan total sampel sebanyak 40 anak, yang mana
20 anak pada masing-masing kelompok. Penelitian berlangsung dari tanggal 1 - 29 Februari 2017.
Kriteria inklusi pada penelitian ini yaitu anak yang terawat selama minimal 3 hari di Bangsal
Anak, Anak laki-laki maupun perempuan dengan segala jenis penyakit, anak dalam keadaan sadar,
dan anak yang dapat melakukan ambulasi pasca operasi. Kriteria eksklusi pada penelitian ini yaitu
anak yang sakit kritis, anak yang baru saja operasi, mengalami kecacatan mental dan fisik, anak
mengalami komplikasi seperti tidak sadar, luka bakar berat.
Peneliti mengembangkan instrumen yang dibagi menjadi 2 bagian, yaitu bagian A yang berisi
data demografi seperti umur, jenis kelamin, tempat tanggal lahir, agama, dan lain-lain. Bagian B
merupakan instrumen Hospital Anxiety Assessment Checklist yang digunakan untuk mengkaji
kecemasan pada anak yang dirawat di Rumah Sakit. Instrumen yang dikembangkan oleh peneliti
terdiri dari 20 respon perilaku yang terbagi menjadi 7 item untuk aspek reaksi selama vokalisasi, 9
item untuk aspek bekerja sama selama rawat inap, dan 4 item untuk aspek terkait cedera tubuh dan
nyeri. Indikator skor pada instrumen yaitu 1 untuk “tidak pernah”, 2 untuk “kadang-kadang” dan 3
untuk “selalu”.
Intervensi yang diberikan berupa pemberian handicrafts atau origami yang terbuat dari kertas.
Origami dibuat dengan berbagai cara seperti melipat, menggunting, menghias, atau menyatukan
bagian-bagian origami dengan lem atau plester untuk membentuk boneka kertas. Peneliti telah
memiliki skill untuk membuat berbagai bentuk origami yang kemudian diajarkan pada anak-anak
berusia 6 sampai dengan 10 tahun. Kemudian anak-anak tersebut membuat origami dengan
bentuk,warna, dan kertas yang digunakan sesuai dengan pilihan mereka. Anak yang berhasil
menyelesaikan origaminya akan diberikan apresiasi, sedangkan anak yang belum menyelesaikannya
akan dibantu oleh peneliti.
Peneliti melakukan pre-test menggunakan Hospital Anxiety Assessment Checklist untuk
kelompok eksperimental dan kelompok kontrol. Sebelum mengenalkan Origami, peneliti menjelaskan
dahulu terkait origami kepada anak yang termasuk dalam kelompok eksperimental. Setelah itu, anak
diminta untuk duduk dengan nyaman di kasur dan dipastikan anak tersebut tidak dalam keadaan
nyeri, lapar, dan mengantuk. Anak tersebut didorong untuk membuat mainan menggunakan origami
sesuai kesukaan mereka selama tiga hari berturut-turut. Pada hari ketiga akan dilakukan post-test
menggunakan Hospital Anxiety Assessment Checklist. Untuk masing-masing anak membutuhkan
waktu selama 15-30 menit untuk membuat Origami. Pada kelompok kontrol, anak dibiarkan
melakukan kegiatan rutin di bangsal seperti menonton televisi dan bermain dengan mainan mereka.
Post-test dilakukan pada hari ketiga menggunakan Hospital Anxiety Assessment Checklist. Anak
dipastikan tidak dalam keadaan nyeri, lapar, dan mengantuk selama observasi berlangsung.

D. HASIL DAN PEMBAHASAN


Responden anak berusia 6-10 tahun sebagian besar mereka adalah laki-laki, mayoritas merupakan
anak pertama dalam keluarga. Sebagian besar responden tinggal di perkotaan sebagian besar anak
termasuk keluarga inti dan beragama Hindu. Enam puluh persen dari total responden anak-anak tidak
memiliki riwayat rawat inap sebelumnya, beberapa anak dirawat karena penyakit medis dan sebagian
besar pengasuh di rumah sakit adalah ibu mereka.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa setelah menerima intervensi terapi bermain dengan
origami, kelompok eksperimen memiliki penurunan tingkat kecemasan yang jauh lebih besar
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Dalam penelitian tersebut dilakukan perbandingan skor pada
pre-test dan post-test untuk mengetahui penurunan kecemasan rawat inap. Ditemukan perbedaan
secara statistik sangat berbeda karena nilai 't' yang dihitung (6,61) lebih tinggi dari nilai tabel (2.02),
df = 38, pada p <0.05.
Pada kelompok eksperimen, pre-test menunjukkan bahwa 8 (40%) anak memiliki tingkat
kecemasan sedang dan 12 (60%) memiliki tingkat kecemasan ringan dan pada post-test, 2 anak (10%)
memiliki tingkat kecemasan sedang dan 18 anak (90%) mengalami tingkat kecemasan ringan. Tidak
ada anak yang memiliki tingkat kecemasan yang parah. Pada kelompok kontrol, pre-test
menunjukkan 5 (25%) anak memiliki tingkat kecemasan sedang dan 15 (75%) anak memiliki tingkat
kecemasan ringan. Pada post-test 3 (15%) anak memiliki tingkat kecemasan sedang dan 17 (85%)
anak mengalami tingkat kecemasan ringan. Tidak ada anak yang memiliki tingkat kecemasan yang
parah.
Ada hubungan yang signifikan antara kecemasan rawat inap dengan variabel sosio-demografis
responden, seperti usia dan pengasuh anak pada kelompok eksperimen dan pengasuh anak pada
kelompok kontrol. Namun tidak ada hubungan signifikan antara pre-test dengan variabel sosio-
demografis responden terkait jenis kelamin, urutan kelahiran anak, daerah tempat tinggal, jenis
keluarga, pendapatan keluarga, agama, rawat inap sebelumnya dan jumlah rawat inap dalam satu
tahun terakhir pada kelompok eksperimen, dan tambahan terkait usia pada kelompok kontrol.
Terapi bermain dengan menggunakan origami terbukti dapat menurunkan kecemasan pada anak-
anak yang sedang hospitalisasi, khususnya pada anak usia menengah 6-12 tahun. Permainan origami
adalah sebuah permainan dengan melipat kertas menjadi benda hias yang akan mengembangkan
kreativitas anak dan memberi kesenangan kepada anak sehingga akan membantu anak menurunkan
pikiran cemas, takut, sedih, tegang dan menyakitkan. Origami adalah permainan yang bisa dimainkan
oleh semua usia anak, bahkan anak prasekolah sekalipun karena prinsip permainan yang tidak
membutuhkan banyak energi, singkat, sederhana, aman dan murah (Pribadi, Elsanti, & Yulianto,
2019). Sebuah literatur review menyebutkan bahwa origami telah menjadi kegiatan keterampilan bagi
97% anak pra sekolah di Jepang dan praktik ini telah dilakukan lebih dari 140 tahun (Nishida, 2019).
Anak-anak usia 6-12 tahun mengalami perubahan perkembangan yang besar. Pada usia ini
konsep sehat dan sakit sedang berubah. Selama periode ini, yang dikenal sebagai masa kanak-kanak
menengah, mereka mengembangkan rasa diri yang lebih maju, keterampilan pengaturan emosi, dan
kepercayaan diri. Mereka menjadi kurang bergantung pada orang tua mereka dan belajar untuk
menjalin hubungan dengan teman sebaya. Karena perkembangan sosial, emosional, dan kognitif ini,
terapi bermain dengan anak-anak ini terlihat berbeda dibandingkan dengan anak yang lebih kecil.
Segmen dari umur yang berkisar dari 6 tahun sampai 12 tahun memiliki variasi label. Saat anak-
anak memasuki tahun sekolah, permainan mereka terus berlanjut dimensi baru yang mencerminkan
tahap perkembangan baru. Anak-anak usia sekolah akan memiliki tugas perkembangan industri
versus inferioritas. Erikson menyatakan bahwa tugas pertumbuhan utama anak usia sekolah harus
mengembangkan "industri" (rasa produktivitas) versus "Inferiority" (rasa tidak kompeten). Anak-anak
diusia ini belajar membuat sesuatu, menggunakan alat, dan memperoleh keterampilan untuk menjadi
pekerja dan memiliki potensi. Mereka termotivasi untuk berhasil dan mau berlatih untuk
mengembangkan keterampilan. Keberhasilan perkembangan diri pada tahap ini ditunjukkan dengan
keberhasilan anak dalam melakukan tugas (Drewes & Schaefer, 2016).
Anak-anak usia menengah di rumah sakit membutuhkan bekal bermain karena mereka memiliki
kebutuhan alami untuk bermain. Bermain atau terapi bermain saat mereka sedang rawat inap juga
bisa membantu mencegah regresi perkembangan, untuk mengurangi stres dan kecemasan pada orang
tua dan anak. Bermain membantu untuk memfasilitasi komunikasi antara perawat dan anak-anak,
mendorong kerjasama anak dalam prosedur rumah sakit dan selain itu akan membantu seorang anak
untuk beradaptasi dengan lingkungan rumah sakit.

BAB IV
IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

1. Intervensi dengan terapi mewarnai dan origami dapat diterapkan di ranah rumah sakit
karena intervensi tersebut sederhana dan modalnya terjangkau.
2. Perawat dapat menyediakan waktu tertentu bermain bagi anak-anak yang sedang di
hospitalisasi, tanpa mengganggu pengobatan yang sedang berlangsung.
BAB V
KESIMPULAN

Anak-anak memiliki sifat alamiah yaitu bermain. Artikel ilmiah yang telah dianalisis
dapat dijadikan sebagai acuan untuk pemberian intervensi berupa terapi bermain origami pada
anak usia 6-12 tahun dalam menurunkan tingkat kecemasan pada saat hospitalisasi. Terapi
bermain origami terbukti menurunkan tingkat kecemasan pada anak. Perawat dapat berlatih
untuk membua torigami dan mengajarkannya kepada pasien anak-anak.
DAFTAR PUSTAKA

Drewes, A. A., & Schaefer, C. E. (2016). Play therapy in middle childhood. Washington, DC, US:
American Psychological Association.

Hirai M. (2006). Origami untuk Sekolah Dasar. Kawan Pustaka, Jakarta.

Mulyono, A. (2008). Pengaruh Terapi Bermain Terhadap Tingkat Stres Hospitalisasi Pada Anak Usia
Todler Studi di Ruang Empu Tantular RSUD Kanjuruhan Kepanjen, KTI. Abstrak. Diterbitkan.
Universitas Muhammadiyah Malang. Malang.

Nishida, Y. (2019). Something old, something new, something borrowed, and something froebel? The
development of origami in early childhood education in Japan. Paedagogica Historica, 55(4), 529–
547. https://doi.org/10.1080/00309230 .2018.1546330

Pangaribuan,H. (2005). Pengaruh Terapi Bermain Terhadap Sosialisasi pada Anak Prasekolah Selama
Dirawat di Lontara iv Perjan RSU dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Abstrak. Diterbitkan.
Universitas Hasanuddin. Makassar.

Purwandari H. Pengaruh Terapi Seni dalam Menurunkan Kecemasan Pada Anak Usia Sekolah yang
Menjalani Hospitalisasi di RSUD Prof. dr. Margono Soekardjo dan RSUD Banyumas. Available
from: http://www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/124844-TESIS0582%20Har%20N09p-pengaruh
%20terapi-HA.pdf. Supartini Y. Konsep dasar keperawatan anak. Jakarta: EGC; 2004.

Pribadi, T., Elsanti, D., & Yulianto, A. (2019). Reduction Of Anxiety In Children Facing Hospitalization
By Play Therapy: Origami And Puzzle In Lampung-Indonesia. Malahayati International Journal
of Nursing and Health Science, 1(1), 29-35. doi:10.33024/minh.v1i1.850

Ririn Halimatus Sa’diah, R.S., Hardiani, R. s., Rondhianto. 2014. Pengaruh Terapi Bermain Origami
terhadap Tingkat Kecemasan pada Anak Prasekolah dengan Hospitalisasi di Ruang Aster RSD dr.
Soebandi Jember. e-Jurnal Pustaka Kesehatan, vol. 2 (no. 3)

Sa’diah, R. H., Hardiani, R. S., & Rondhianto. (2014). Pengaruh Terapi Bermain Origami
terhadap Tingkat Kecemasan pada Anak Prasekolah dengan Hospitalisasi di Ruang Aster
RSD dr . Soebandi Jember Preschool Age Children Hospitalization in Aster ’ s Room Of
RSD dr . Soebandi Jember ). Pustaka Kesehatan, 2(3), 530–536. jurnal.unej.ac.id

Suryanti, Sodikin, & Yulistiani, M. (2012). Pengaruh Terapi Bermain Mewarnai Dan Origami
Terhadap Tingkat Kecemasan Sebagai Efek Hospitalisasi Pada Anak Usia Pra Sekolah Di
RSUD dr. R. Goetheng Tarunadibrata Purbalingga. Jurnal Kesehatan Samodra Ilmu, 3(2),
73–80.

Wilson, M. E., Megel, M. E., Enenbach, L., & Carlson, K. L. (2010). The Voices of Children:
Stories About Hospitalization. Journal of Pediatric Health Care, 24(2), 95–102.
https://doi.org/10.1016/j.pedhc.2009.02.008

Yuliastati, Y., Nurhayati, F., & Jaya, B. B. (2019). Harapan Orang Tua terhadap Peran Perawat
pada Anak dengan Hospitalisasi (Studi Fenomenologi). Jurnal Kesehatan, 10(3), 396.
https://doi.org/10.26630/jk.v10i3.1522

Yuzawa M. & Bart W.M. (2002). Young children’s learning of size comparison strategies: effect of
origami exercises. The Journal of Genetic Psychology, vol. 163 (4), hal. 459-78, diakses tanggal 1
Oktober 2020, <http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12495231>

Anda mungkin juga menyukai