Tugas Mandiri
Stase Praktik Keperawatan Medikal Bedah
Disusun Oleh:
Alifvia Nuritansari (20/469758/KU/22696)
Dayana Pangestu Fajri Javasutra (20/469763/KU/22701)
Jihan Siti Lathifa L (20/469767/KU/22705)
Nur Atika Saraswati (20/469773/KU/22711)
Mellinda Widyamukti (20/469770/KU/22708)
Ussi Khairani Frestiarizka 20/469780/KU/22718
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kecemasan yang terjadi pada anak dapat menimbulkan respon fisiologis dan
psikologis. Kecemasan yang dialami oleh anak saat hospitalisasi dapat menghambat
proses kesembuhan. Proses kesembuhan dapat terhambat karena anak menolak perawatan
dan pengobatan. Selain itu, anak yang mengalami cemas dapat menolak makan, minum,
sulit tidur (Wong, 2008 dalam Sa’diah et al, 2014). Hal tersebut dapat menurunkan imun
pada anak.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menurunkan kecemasan adalah
dengan kegiatan terapi bermain. Bermain dapat dilakukan oleh anak yang sehat maupun
sakit. Anak yang sedang mengalami sakit akan tetap membutuhkan bermain (Suryanti et
al., 2012). Fungsi bermain pada anak salah satunya adalah anak akan terlepas dari
ketegangan dan stress yang dialami. Selain itu, bermain dapat mengalihkan rasa sakit
pada anak.
B. Rumusan Masalah
b. Gejala kecemasan
Gejala klinis kecemasan menurut Nursalam (2008), adalah :
1) Fase protes (phase of protest)
Tahap ini dimanifestasikan dengan menangis kuat, menjerit, dan memanggil ibunya atau
menggunakan tingkah laku agresif, seperti menendang, menggigit, memukul, mencubit, mencoba
untuk membuat orang tuanya tetap tinggal, dan menolak perhatian orang lain. Secara verbal,
anak menyerang dengan rasa marah, seperti mengatakan “pergi!”. Perilaku tersebut dapat
berlangsung dari beberapa jam sampai beberapa hari.
2) Fase putus asa (Phase of Despair)
Tahap ini dimanifestasikan dengan anak tampak tegang, tangisnya berkurang, tidak aktif, kurang
berminat untuk bermain, tidak ada nafsu makan, menarik diri, tidak mau berkomunikasi, sedih,
apatis, dan regresi misalnya mengompol atau mengisap jari. Kondisi anak mengkhawatirkan
karena menolak untuk makan atau bergerak.
3) Fase menolak (Phase of Denial)
Tahap ini ditandai dengan anak secara samar-samar menerima perpisahan, mulai
tertarik pada apa yang ada di sekitarnya, dan membina hubungan dangkal dengan
orang lain. Anak mulai kelihatan gembira. Fase ini biasanya terjadi setelah
perpisahan yang lama dengan orang tua.
2. Terapi Bermain
a. Pengertian
Terapi merupakan penerapan sistematis dari sekumpulan prinsip belajar terhadap suatu
kondisi atau tingkah laku yang dianggap menyimpang, dengan tujuan melakukan perubahan.
Perubahan yang dimaksud bisa berarti menghilangkan, mengurangi, meningkatkan, atau
memodifikasi suatu kondisi atau tingkah laku tertentu (Adriana, 2011). Bermain adalah aktivitas
yang dapat dilakukan anak sebagai upaya stimulasi pertumbuhan dan perkembangannya.
Kegiatan bermain merupakan cerminan kemampuan fisik, intelektual, emosional dan sosial.
Bermain merupakan media yang baik untuk belajar karena dengan bermain, anak-anak akan
berkata-kata atau berkomunikasi, belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan, melakukan apa
yang dilakukannya dan mengenal waktu, jarak, serta suara (Supartini, 2004). Berdasarkan
pengertian terapi dan bermain diatas maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
terapi bermain adalah suatu perlakuan dan pengobatan yang ditujukan kepada penyembuhan satu
kondisi yang mengalami hospitalisasi selama dirumah sakit yang dilakukan dengan sukarela oleh
pasien dengan cara bermain apa yang disukai untuk memperoleh kesenangan, kepuasan dan
dapat mengekspresikan diri.
b. Fungsi Bermain
Fungsi bermain bagi anak terdiri dari : (Nursalam, 2005)
1) Perkembangan sensori dan motorik
Menurut Hartini (2004) fungsi bermain pada anak dapat dikembangkan dengan melakukan
rangsangan pada sensorik dan motorik dalam mengekplorasikan alam di sekitarnya
2) Membantu perkembangan kognitif
Anak belajar mengenal warna, bentuk atau ukuran, tekstur dari berbagai
macam objek, angka, dan benda. Anak belajar untuk merangkai kata, berpikir
abstrak dan memahami hubungan ruang seperti naik, turun, dibawah dan
terbuka. Aktivitas bermain juga dapat membantu perkembangan keterampilan
dan mengenal dunia nyata atau fantasi (Aziz, 2005).
3) Meningkatkan kemampuan sosialisasi anak
Proses sosialisasi dapat terjadi melalui permainan, misalnya pada saat anak
akan merasakan kesenangan terhadap kehadiran orang lain dan merasakan ada
teman yang dunianya sama (Sutarya, 2005).
4) Meningkatkan kreativitas
Bermain juga dapat berfungsi dalam peningkatan kreativitas, dimana anak mulai belajar
menciptakan sesuatu dari permainan yang ada dan mampu memodifikasi objek yang digunakan
dalam permainan sehingga anak akan lebih kreatif melalui model permainan ini, seperti bermain
bongkar pasang dan mobil-mobilan (Nursalam, 2005).
5) Meningkatkan kesadaran diri
Bermain pada anak dapat memberi kemampuan untuk mengekplorasikan
tubuh dan merasakan dirinya sadar dengan orang lain yang merupakan bagian
dari individu yang saling berhubungan, anak mau belajar mengatur perilaku
serta membandingkan perilaku dengan orang lain (Nursalam, 2005).
6) Mempunyai nilai terapeutik
Bermain dapat menjadikan diri anak lebih senang dan nyaman sehingga adanya stress dan
ketegangan dapat dihindari, mengingat bermain dapat menghibur diri anak terhadap dunianya
(Vessey & Mohan, 1990 dikutip oleh Supartini, 2004).
7) Mempunyai nilai moral pada anak
Bermain juga dapat memberikan nilai moral tersendiri pada anak. Hal ini dapat dijumpai ketika
anak sudah mampu belajar benar atau salah dari budaya di rumah, di sekolah dan ketika
berinteraksi dengan temannya. Ada beberapa permainan yang memiliki aturan-aturan yang harus
dilakukan dan tidak boleh dilanggar (Soetjiningsih, 2010).
c. Karakteristik Bermain
Karakteristik bermain menurut Whatley & Wong (2009) :
Menurut isi
− Social affektif play
Permainan yang membuat anak belajar berhubungan dengan orang lain.
Contohnya antara lain orang tua berbicara, memeluk, bersenandung, anak
memberi respon dengan tersenyum, mendengkur, tertawa, beraktivitas dan
lain-lain.
− Sense pleasure play (bermain untuk bersenang-senang)
Sense pleasure play yaitu stimulus pengalaman non sosial yang berasal dari luar. Anak
menstimulasi sensori mereka dan kesenangan. Contohnya antara lainbermain air dan pasir, objek
seperti cahaya, kayu, rasa, benda alam dan gerakan tubuh.
− Skill-play
Skill play yaitu permainan yang bersifat membina ketrampilan anak khususnya motorik kasar
dan halus. Anak dapat memindahkan benda-benda dari satu tempat ke tempat yang lain.
Ketrampilan ini merupakan ketrampilan pengulangan kegiatan permainan yang dilakukan.
Contohnya antara lainbelajar naik sepeda, bermain puzzle dan origami.
− Dramatic plays
Dramatic plays dikenal sebagai permainan simbolik atau permainan berpura-pura. Permainan
drama memberikan kerangka bagi tingkah laku matang yang diuji. Contohnya antara lain
berpura-pura melakukan kegiatan keluarga seperti makan, minum dan tidur serta main dokter-
dokteran.
Ada banyak manfaat bermain dalam mengurangi dampak hospitalisasi (Wong, 2009):
Pemberian terapi bermain origami pada pasien anak prasekolah yang dirawat di
rumah sakit memberikan manfaat untuk mengembangkan kemampuan motorik halus
anak, sekaligus merangsang kreativitas anak. Terapi bermain origami memberikan
kesempatan pada anak untuk membuat berbagai bentuk dari hasil melipat kertas dan pada
usia ini, anak akan merasa bangga dengan sesuatu yang telah dihasilkan. Anak juga akan
merasa puas dan bangga dengan kemampuannya untuk menghasilkan sesuatu sebagai
prestasinya. Perasaan bangga membantu anak meningkatkan peran dirinya selama
menjalani proses hospitalisasi sehingga perasaan hilang kendali karena pembatasan
aktivitas pada anak dapat diatasi/dihilangkan. Jika stressor kecemasan berupa kehilangan
kendali dapat diatasi maka tingkat kecemasan pada anak dapat menurun.
Terapi bermain origami yang diberikan pada anak prasekolah yang dirawat di rumah
sakit akan memberikan perasaan senang dan nyaman. Aguilera-Perez & Whetsell
menyatakan bahwa anak yang merasa nyaman saat menjalani rawat inap akan membuat
anak dapat beradaptasi terhadap stressor kecemasan selama hospitalisasi seperti
perpisahan dengan lingkungan rumah, permainan dan teman sepermainan. Jika stressor
kecemasan berupa perpisahan dapat diatasi maka tingkat kecemasan pada anak dapat
menurun (Halimatus et al, 2014.
BAB III
PEMBAHASAN
A. PICO
C :-
BAB IV
IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
1. Intervensi dengan terapi mewarnai dan origami dapat diterapkan di ranah rumah sakit
karena intervensi tersebut sederhana dan modalnya terjangkau.
2. Perawat dapat menyediakan waktu tertentu bermain bagi anak-anak yang sedang di
hospitalisasi, tanpa mengganggu pengobatan yang sedang berlangsung.
BAB V
KESIMPULAN
Anak-anak memiliki sifat alamiah yaitu bermain. Artikel ilmiah yang telah dianalisis
dapat dijadikan sebagai acuan untuk pemberian intervensi berupa terapi bermain origami pada
anak usia 6-12 tahun dalam menurunkan tingkat kecemasan pada saat hospitalisasi. Terapi
bermain origami terbukti menurunkan tingkat kecemasan pada anak. Perawat dapat berlatih
untuk membua torigami dan mengajarkannya kepada pasien anak-anak.
DAFTAR PUSTAKA
Drewes, A. A., & Schaefer, C. E. (2016). Play therapy in middle childhood. Washington, DC, US:
American Psychological Association.
Mulyono, A. (2008). Pengaruh Terapi Bermain Terhadap Tingkat Stres Hospitalisasi Pada Anak Usia
Todler Studi di Ruang Empu Tantular RSUD Kanjuruhan Kepanjen, KTI. Abstrak. Diterbitkan.
Universitas Muhammadiyah Malang. Malang.
Nishida, Y. (2019). Something old, something new, something borrowed, and something froebel? The
development of origami in early childhood education in Japan. Paedagogica Historica, 55(4), 529–
547. https://doi.org/10.1080/00309230 .2018.1546330
Pangaribuan,H. (2005). Pengaruh Terapi Bermain Terhadap Sosialisasi pada Anak Prasekolah Selama
Dirawat di Lontara iv Perjan RSU dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Abstrak. Diterbitkan.
Universitas Hasanuddin. Makassar.
Purwandari H. Pengaruh Terapi Seni dalam Menurunkan Kecemasan Pada Anak Usia Sekolah yang
Menjalani Hospitalisasi di RSUD Prof. dr. Margono Soekardjo dan RSUD Banyumas. Available
from: http://www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/124844-TESIS0582%20Har%20N09p-pengaruh
%20terapi-HA.pdf. Supartini Y. Konsep dasar keperawatan anak. Jakarta: EGC; 2004.
Pribadi, T., Elsanti, D., & Yulianto, A. (2019). Reduction Of Anxiety In Children Facing Hospitalization
By Play Therapy: Origami And Puzzle In Lampung-Indonesia. Malahayati International Journal
of Nursing and Health Science, 1(1), 29-35. doi:10.33024/minh.v1i1.850
Ririn Halimatus Sa’diah, R.S., Hardiani, R. s., Rondhianto. 2014. Pengaruh Terapi Bermain Origami
terhadap Tingkat Kecemasan pada Anak Prasekolah dengan Hospitalisasi di Ruang Aster RSD dr.
Soebandi Jember. e-Jurnal Pustaka Kesehatan, vol. 2 (no. 3)
Sa’diah, R. H., Hardiani, R. S., & Rondhianto. (2014). Pengaruh Terapi Bermain Origami
terhadap Tingkat Kecemasan pada Anak Prasekolah dengan Hospitalisasi di Ruang Aster
RSD dr . Soebandi Jember Preschool Age Children Hospitalization in Aster ’ s Room Of
RSD dr . Soebandi Jember ). Pustaka Kesehatan, 2(3), 530–536. jurnal.unej.ac.id
Suryanti, Sodikin, & Yulistiani, M. (2012). Pengaruh Terapi Bermain Mewarnai Dan Origami
Terhadap Tingkat Kecemasan Sebagai Efek Hospitalisasi Pada Anak Usia Pra Sekolah Di
RSUD dr. R. Goetheng Tarunadibrata Purbalingga. Jurnal Kesehatan Samodra Ilmu, 3(2),
73–80.
Wilson, M. E., Megel, M. E., Enenbach, L., & Carlson, K. L. (2010). The Voices of Children:
Stories About Hospitalization. Journal of Pediatric Health Care, 24(2), 95–102.
https://doi.org/10.1016/j.pedhc.2009.02.008
Yuliastati, Y., Nurhayati, F., & Jaya, B. B. (2019). Harapan Orang Tua terhadap Peran Perawat
pada Anak dengan Hospitalisasi (Studi Fenomenologi). Jurnal Kesehatan, 10(3), 396.
https://doi.org/10.26630/jk.v10i3.1522
Yuzawa M. & Bart W.M. (2002). Young children’s learning of size comparison strategies: effect of
origami exercises. The Journal of Genetic Psychology, vol. 163 (4), hal. 459-78, diakses tanggal 1
Oktober 2020, <http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12495231>