Anda di halaman 1dari 13

MATERI PENYULUHAN

CHRONIC MYELOID LEUKEMIA (CML)

1.1 Definisi
Leukemia adalah penyakit neoplastik yang ditandai dengan diferensiasi dan
proliferasi sel induk hematopoietik yang mengalami transformasi dan ganas,
menyebabkan supresi dan penggantian elemen sumsum normal. Leukemia dibagi
menjadi 2 tipe umum: leukemia limfositik dan leukemia mieloid (Guyton and
Hall, 2007).
Leukemia mieloid kronik (LMK) atau chronic myeloid leukemia (CML)
merupakan leukemia kronik, dengan gejala yang timbul perlahan-lahan dan sel
leukemianya berasal dari transformasi sel induk mieloid. CML termasuk kelainan
klonal (clonal disorder) dari sel induk pluripoten dan tergolong sebagai salah satu
kelainan mieloproliferatif. Nama lain untuk leukemia myeloid kronik, yaitu
chronic myelogenous leukemia dan chronic myelocytic leukemia. (I Made, 2006).
Atul & Victor (2005) menambahkan bahwa CML yang merupakan
gangguan mieloproliferatif klonal ini ditandai dengan peningkatan neutrofil dan
prekusornya pada darah perifer dengan peningkatan selularitas sumsum tulang
akibat kelebihan prekusor granulosit.

1.2 Etiologi
Etiologi CML masih belum diketahui. Menurut Jorge et al., (2010)
Beberapa asosiasi menghubungkannya dengan faktor genetik dan faktor
lingkungan, tetapi di kebanyakan kasus, tidak ada faktor yang dapat di
identifikasikan.
Agung (2010) mengungkapkan bahwa ada dua faktor yang menyebabkan
CML, yaitu faktor instrinsik (host) dan faktor ekstrinsik (lingkungan).

1. Faktor Instrinsik
1) Keturunan dan Kelainan Kromosom
Leukemia tidak diwariskan, tetapi sejumlah individu memiliki faktor
predisposisi untuk mendapatkannya. Risiko terjadinya leukemia meningkat pada
saudara kembar identik penderita leukemia akut, demikian pula pada suadara
lainnya, walaupun jarang. Pendapat ini oleh Price atau Wilson (1982) yang
menyatakan jarang ditemukan leukemia Familial, tetapi insidensi leukemia terjadi
lebih tinggi pada saudara kandung anak-anak yang terserang dengan insiden yang
meningkat sampai 30 % pada kembar identik (monozigot), (Agung ,2010).
Kejadian leukemia meningkat pada penderita dengan kelainan fragilitas
kromosom (anemia fancori) atau pada penderita dengan jumlah kromosom yang
abnormal seperti pada sindrom Duwa, sindrom klinefelter dan sindrom turner.
2) Defisiensi Imun dan Defisiensi Sumsum Tulang
Sistem imunitas tubuh kita memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi
sel yang berubah menjadi sel ganas. Gangguan pada sistem tersebut dapat
menyebabkan beberapa sel ganas lolos dan selanjutnya berproliferasi hingga
menimbulkan penyakit. Hipoplasia dari sumsum tulang mungkin sebagai
penyebab leukemia (Agung ,2010).

2. Faktor Ekstrinsik
1) Faktor Radiasi
Adanya efek leukemogenik dan ionisasi radiasi, dibuktikan dengan
tingginya insidensi leukemia pada ahli radiologi (sebelum ditemukan alat
pelindung), penderita dengan pembesaran kelenjar tymus, Ankylosing spondilitis
dan penyakit Hodgkin yang mendapat terapi radiasi. Diperkirakan 10 % penderita
leukemia memiliki latar belakang radiasi Sebelum proteksi terhadap sinar rutin
dilakukan, ahli radiologi mempunyai risiko menderita leukemia 10 kali lebih
besar. Penduduk Hiroshima dan Nagasaki yang hidup sesudah ledakan bom atom
tahun 1945 mempunyai insidensi LMA dan LMK sampai 20 kali lebih banyak.
Demikian pula pada penderita ankylosing spondilitis yang diobati dengan sindar
radioaktif lebih dari 2000 rads mempunyai insidensi LMA 14 kali lebih banyak
(Agung ,2010).
2) Bahan Kimia dan Obat-obatan
Bahan-bahan kimia terutama Hydrokarbon sangat berhubungan dengan
leukemia akut pada binatang dan manusia. Remapasan Benzen dalam jumlah
besar dan berlangsung lama dapat menimbulkan leukemia. Penelitian Akroy et al
(1976) telah membuktikan bahwa pekerja pabrik sepatu di Turki yang kontak
lama dengan benzen dosis tinggi banyak yang menderita LMA . Kloramfenikol
dan fenilbutazon diketahui menyebabkan anemia aplastik berat, tidak jarang
diketahui dikahiri dengan leukemia, demikian juga dengan Arsen dan obat-obat
imunosupresif (Agung ,2010).
3) Infeksi Virus
Virus menyebabkan leukemia pada beberapa dirating percobaan di
laboratorium. Peranan virus dalam timbulnya leukemia pada manusia masih
dipertanyakan. Diduga yang ada hubungannya dengan leukemia adalah Human T-
cell leukemia virus (HTLV-1), yaitu suatu virus RNA yang mempunyai enzim
RNA transkriptase yang bersifat karsinogenik (Agung ,2010).
Beberapa virus tertentu sudah dibuktikan menyebabkan leukemia pada
binatang. Timbulnya leukemia dipengaruhi antara lain oleh umur, jenis kelamin,
strain virus, faktor imunologik serta ada tidaknya zat kimia dan sinar radioaktif.
Sampai sekarang tidak atau belum dapat dibuktikan bahwa penyebab leukemia
pada manusia adalah virus. Walaupun demikian ada beberapa hasil penelitian
yang menyokong teori virus sebagai penyebab leukemia, antara lain enzyme
reverse transcriptase ditemukan dalam darah penderita leukemia. Seperti diketahui
enzim ini ditemukan di dalan virus onkogenik seperti retrovirus tipe-C, yaitu jenis
virus RNA yang menyebabkan leukemia pada binatang (Agung ,2010).

1.3 Patogenesis
Pada CML dijumpai Philadelphia chromosom (Ph1 chr) suatu reciprocal
translocation 9,22 (t9;22). Kromosom Philadelphia merupakan kromosom 22
abnormal yang disebabkan oleh
translokasi sebagian materi genetik
pada bagian lengan panjang (q)
kromosom 22 ke kromosom 9, dan
translokasi resiprokal bagian
kromosom 9, termasuk onkogen
ABL, ke region klaster breakpoint
(breakpoint cluster region, BCR)
yang merupakan titik pemisahan tempat putusnya kromosom yang secara spesifik
terdapat pada kromosom 22. Sebagai akibatnya sebagian besar onkogen ABL
pada lengan panjang kromosom 9 mengalami juxtaposisi (bergabung) dengan
onkogen BCR pada lengan panjang kromosom 22. Titik putus pada ABL adalah
antara ekson 1 dan 2. Titik putus BCR adalah salah satu di antara dua titik di
region kelompok titik putus utama (M-BCR) pada CML atau pada beberapa kasus
ALL Ph+. Gen fusi (gen yang bersatu) ini akan mentranskripsikan chimeric RNA
sehingga terbentuk chimeric protein (protein 210 kd). Timbulnya protein baru ini
akan memengaruhi transduksi sinyal terutama melalui tyrosine kinase ke inti sel
sehingga terjadi kelebihan dorongan proliferasi pada sel-sel mieloid dan
menurunnya apoptosis. Hal ini menyebabkan proliferasi pada seri mieloid (I
Made, 2006; Atul & Victor, 2005; Victor et al., 2005).
Jaringan pembentuk darah ditandai oleh pergantian sel yang sangat cepat.
Normalnya, produksi sel darah tertentu dari prekusor sel stem diatur sesuai
kebutuhan tubuh. Apabila mekanisme yang mengatur produksi sel tersebut
terganggu, sel akan membelah diri sampai ke tingkat sel yang membahayakan
(proliferasi neoplastik). Proliferasi neoplastik dapat terjadi karena kerusakan
sumsum tulang akibat radiasi, virus onkogenik, maupun herediter.
Sel polimorfonuklear dan monosit normalnya dibentuk hanya dalam
sumsum tulang. Sedangkan limfosit dan sel plasma dihasilkan dalam berbagai
organ limfogen (kelenjar limfe, limpa, timus, tonsil). Beberapa sel darah putih
yang dibentuk dalam sumsum tulang, khususnya granulosit, disimpan dalam
sumsum tulang sampai mereka dibutuhkan dalam sirkulasi. Bila terjadi kerusakan
sumsum tulang, misalnya akibat radiasi atau bahan kimia, maka akan terjadi
proliferasi sel-sel darah putih yang berlebihan dan imatur. Pada kasus AML,
dimulai dengan pembentukan kanker pada sel mielogen muda (bentuk dini
neutrofil, monosit, atau lainnya) dalam sumsum tulang dan kemudian menyebar
ke seluruh tubuh sehingga sel-sel darah putih dibentuk pada banyak organ ekstra
medula.
Sedangkan secara imunologik, patogenesis leukemia dapat diterangkan
sebagai berikut. Bila virus dianggap sebagai penyebabnya (virus onkogenik yang
mempunyai struktur antigen tertentu), maka virus tersebut dengan mudah akan
masuk ke dalam tubuh manusia dan merusak mekanisme proliferasi. Seandainya
struktur antigennya sesuai dengan struktur antigen manusia tersebut, maka virus
mudah masuk. Bila struktur antigen individu tidak sama dengan struktur antigen
virus, maka virus tersebut akan ditolaknya. Struktur antigen ini terbentuk dari
struktur antigen dari berbagai alat tubuh, terutama kulit dan selaput lendir yang
terletak di permukaan tubuh atau HL-A (Human Leucocyte Locus A). Sistem HL-
A diturunkan menurut hukum genetik, sehingga etiologi leukemia sangat erat
kaitannya dengan faktor herediter.
Akibat proliferasi mieloid yang neoplastik, maka produksi elemen darah
yang lain tertekan karena terjadi kompetisi nutrisi untuk proses metabolisme
(terjadi granulositopenia, trombositopenia). Sel-sel leukemia juga menginvasi
tulang di sekelilingnya yang menyebabkan nyeri tulang dan cenderung mudah
patah tulang. Proliferasi sel leukemia dalam organ mengakibatkan gejala
tambahan : nyeri akibat pembesaran limpa atau hati, masalah kelenjar limfa; sakit
kepala atau muntah akibat leukemia meningeal.
1.4 Klasifikasi
Perjalanan penyakit CML, menurut I Made (2006); Agung (2010) dibagi
menjadi beberapa fase, yaitu:
1. Fase Kronik : pada fase ini pasien mempunyai jumlah sel blast dan sel premielosit
kurang dari 5% di dalam darah dan sumsum tulang. Fase ini ditandai dengan over
produksi granulosit yang didominasi oleh netrofil segmen. Pasien mengalami
gejala ringan dan mempunyai respon baik terhadap terapi konvensional.
2. Fase Akselerasi atau transformasi akut : fase ini sangat progresif, mempunyai
lebih dari 5% sel blast namun kurang dari 30%. Pada fase ini leukosit bisa
mencapai 300.000/mmk dengan didominasi oleh eosinofil dan basofil. Sel yang
leukemik mempunyai kelainan kromosom lebih dari satu
(selain Philadelphia kromosom).
3. Fase Blast (Krisis Blast) : pada fase ini pasien mempunyai lebih dari 30% sel blast
pada darah serta sumsum tulangnya. Sel blast telah menyebar ke jaringan lain dan
organ diluar sumsum tulang. Pada fase ini penyakit ini berubah menjadi Leukemia
Myeloblastik Akut atau Leukemia Lympositik Akut. Kematian mencapai 20%.

1.5 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis CML, menurut I Made (2006) dan Victor et al., (2005)
tergantung pada fase yang kita jumpai pada penyakit tersebut, yaitu :
1. Fase kronik terdiri atas :
1) Gejala hiperkatabolik : berat badan menurun, lemah, anoreksia, berkeringat pada
malam hari.
2) Splenomegali hampir selalu ada, sering massif.
3) Hepatomegali lebih jarang dan lebih ringan.
4) Gejala gout atau gangguan ginjal yang disebabkan oleh hiperurikemia akibat
pemecahan purin yang berlebihan dapat menimbulkan masalah.
5) Gangguan penglihatan dan priapismus.
6) Anemia pada fase awal sering tetapi hanya ringan dengan gambaran pucat,
dispneu dan takikardi.
7) Kadang-kadang asimtomatik, ditemukan secara kebetulan pada saat check up atau
pemeriksaan untuk penyakit lain.
2. Fase transformasi akut terdiri atas :
Perubahan terjadi perlahan-lahan dengan prodormal selama 6 bulan, di
sebut sebagai fase akselerasi. Timbul keluhan baru, antara lain : demam, lelah,
nyeri tulang (sternum) yang semakin progresif. Respons terhadap kemoterapi
menurun, lekositosis meningkat dan trombosit menurun (trombosit menjadi
abnormal sehingga timbul perdarahan di berbagai tempat, antara lain epistaksis,
menorhagia).
3. Fase Blast (Krisis Blast) :
Pada sekitar 1/3 penderita, perubahan terjadi secara mendadak, tanpa
didahului masa prodormal keadaan ini disebut krisis blastik (blast crisis). Tanpa
pengobatan adekuat penderita sering meninggal dalam 1-2 bulan.

1.6 Pemeriksaan Penunjang

I Made (2006) memaparkan beberapa pemeriksaan penunjang untuk CML, yaitu :


1. Laboratorium
1) Darah rutin :
a. Anemia mula-mula ringan menjadi progresif pada fase lanjut (fase transformasi
akut), bersifat normokromik normositer.
b. Hemoglobin : dapat kurang dari 10 g/100 m.
2) Gambaran darah tepi :
a. Leukositosis berat 20.000-50.000/mm3 pada permulaan kemudian biasanya
lebih dari 100.000/mm3.
b. Menunjukkan spectrum lengkap seri granulosit mulai dari mieloblast sampai
netrofil, komponen paling menonjol adalah segmen netrofil (hipersegmen) dan
mielosit. Metamielosit, promielosit, dan mieloblast juga dijumpai. Sel blast <
5%. Sel darah merah bernukleus.
c. Jumlah basofil dalam darah meningkat.
d. Trombosit bisa meningkat, normal atau menurun. Pada fase awal lebih sering
meningkat.
e. Fosfatase alkali netrofil (neutrophil alkaline phosphatase) selalu rendah.
3) Gambaran sumsum tulang
a. Hiperseluler dengan system granulosit dominan. Gambarannya mirip dengan
apusan darah tepi. Menunjukkan spektrum lengkap seri myeloid, dengan
komponen paling banyak ialah netrofil dan mielosit. Sel blast kurang dari 30
%. Megakariosit pada fase kronik normal atau meningkat.
b. Sitogenik : di jumpai adanya Philadelphia (Ph1) kromosom pada 95 % kasus.
c. Vitamin B12 serum dan B12 binding capacity meningkat.
d. Kadar asam urat serum meningkat.
e. Pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction) dapat mendeteksi adanya
chimeric protein bcr-abl pada 99% kasus (I Made, 2006).

Gambar 2.1 Gambar 2.2


Gambaran apusan darah tepi dengan Gambaran apusan darah tepi dengan
perbesaran 400x menunjukkan perbesaran 1000x menunjukkan promielosit,
hyperlekositosis. eosinofil,3 basofil, netrofil batang dan
segmen.
Terdapat juga eosinophilia, basofilia,
thrombocytosis.
Gambar 2.3 Gambar 2.4

Gambaran apusan darah tepi dengan perbesaran Gambaran apusan darah tepi, dengan
400x menunjukkan berbagai tahap perbesaran 1000x menunjukkan tahapan
granulopoiesis termasuk promielosit, mielosit, granulocytic termasuk eosinofil dan basofil.
metamielosit, dan netrofil batang serta segmen.

Gambar 2.5

Gambaran Sumsum tulang yang hiperseluler.


Dengan perbesaran 400x menunjukkan bahwa
adanya peningkatan eosinofil dan megakariosit.

1.7 Pemeriksaan Penunjang Lain


Menurut Agung (2010), ada beberapa pemeriksaan penunjang lain untuk penyakit
CML, antara lain :
1. Biopsi sumsum tulang : SDM abnormal biasanya lebih dari 50 % atau lebih dari
SDP pada sumsum tulang. Sering 60% - 90% dari blast, dengan prekusor eritroid,
sel matur, dan megakariositis menurun.
2. Foto dada dan biopsi nodus limfe : dapat mengindikasikan derajat keterlibatan.
3. David et al., (2009) menambahkan pemeriksaan lain, yaitu tes untuk mendeteksi
adanya kromosom Philadelphia.
1.8 Diagnosis Banding

Pemeriksaan darah tepi dan sumsung tulang merupakan situasi klinis yang
dapat menegakkan diagnosis adanya CML, pada beberapa pasien CML kadang
tidak ditemukan kromosom Ph. Sehingga di butuhkan suatu standar untuk
menegakkan suatu diagnosis.

1. Diagnosis CML dalam fase akselerasi menurut WHO :


1) Blast 10-19% dari WBC pada darah tepi dan atau dari sel sumsum tulang berinti.
2) Basofil darah tepi >20%.
3) Thrombositopenia persisten (<100x109/L) yang tidak dihubungkan dengan terapi,
atau thrombositosis (>1000x109/L) yang tidak responsif terhadap terapi.
4) Peningkatan ukuran lien atau WBC yang tidak responsif pada terapi.
5) Bukti sitogenik evolusi klonal (I Made, 2006)

2. Diagnosis CML pada fase krisis blastik menurut WHO :


1) Blast >20% dari darah putih pada darah perifer atau sel sumsum tulang berinti.
2) Proliferasi blast ekstrameduler.
3) Fokus besar atau cluster sel blast dalam biopsi sumsum tulang (I Made,2006).

Diagnosis banding pada fase kronis adalah trombositosis esensial, pada


trombositosis ditemukan adanya fosfatase normal atau meningkat sedangkan
CML selalu rendah dan tidak ditemukannya Ph kromosom seperti halnya yang
selalu ditemukan Ph kromosom pada penderita CML. Untuk fase krisis blast yaitu
leukemia mieloid akut dan sindrom mielodislasia (Victor et al., 2006).

Tidak ditemukannya Ph kromosom pada penderita CML yaitu pada kasus


penderita yang menderita CML tipe juvenillis yang asering dijumpai pada pasien
berumur kurang dari 4 tahun. Cirinya tidak adanya Ph kromosom, peningkatan Hb
janin, trombositopenia, monositosis yang menonjol, dan CML juvenillis jarang
mengalami transformasi blastik dan meninggal akibat infeksi atau kegagalan
organ akibat sebukan monosit dan makrofag (Victor et al., 2006).

1.9 Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
Penatalaksanaan CML tergantung pada fase penyakit, yaitu :
1) Fase Kronik
a. Busulphan (Myleran), dosis : 0,1-0,2 mg/kgBB/hari. Leukosit diperiksa tiap
minggu. Dosis diturunkan setengahnya jika leukosit turun setengahnya. Obat di
hentikan jika leukosit 20.000/mm3. Terapi dimulai jika leukosit naik menjadi
50.000/mm3. Efek smaping dapat berupa aplasia sumsum tulang
berkepanjangan, fibrosis paru, bahaya timbulnya leukemia akut (I Made,
2006).
b. Hydroxiurea, bersifat efektif dalam mengendalikan penyakit dna
mempertahankan hitung leukosit yang normal pada fase kronik, tetapi biasanya
perlu diberikan seumur hidup (Victor et al., 2005). Dosis mulai dititrasi dari
500 mg sampai 2000 mg. Kemudian diberikan dosis pemeliharaan untuk
mencapai leukosit 10.000-15.000/mm3. Efek samping lebih sedikit (I Made,
2006).
c. Interferon α juga dapat mengontrol jumlah sel darah putih dan dapat menunda
onset transformasi akut, memperpanjang harapan hidup menjadi 1-2 tahun
(Atul & Victor, 2005). IFN-α biasanya digunakan bila jumlah leukosit telah
terkendali oleh hidroksiurea. IFN-α merupakan terapi pilihan bagi kebanyakan
penderita leukemia Mielositik (CML) yang terlalu tua untuk transplantasi
sumsum tulang (BMT) atau yang tidak memiliki sumsum tulang donor yang
cocok. Interferon alfa diberikan pada rata-rata 3-5 juta IU / d subkutan
(Emmanuel, 2010). Tujuannya adalah untuk mempertahankan jumlah leukosit
tetap rendah (sekitar 4x109/l). Hampir semua pasien menderita gejala penyakit
”mirip flu” pada beberapa hari pertama pengobatan. Komplikasi yang lebih
serius berupa anoreksia, depresi, dan sitopenia. Sebagian kecil pasien (sekitar
15%) mungkin mencapai remisi jangka panjang dengan hilangnya kromosom
Ph pada analisis sitogenik walaupun gen fusi BCR-ABL masih dapat dideteksi
melalui PCR. (Victor et al., 2005).
d. STI571, atau mesylate imatinib (Gleevec), merupakan obat yang sedang diteliti
dalam percobaan klinis dan tampaknya memberikan hasil yang menjanjikan.
Zat STI 57I adalah suatu inhibitor spesifik terhadap protein ABL yaitu tiroksin
kinase sehingga dapat menekan proliferasi seri myeloid. Gleevec mengontrol
jumlah darah dan menyebabkan sumsum tulang menjadi Ph negative pada
sebagian besar kasus. Obat ini mungkin menjadi lini pertama pada CML, baik
digunakan sendiri atau bersama dengan interferon atau obat lain (Atul &
Victor, 2005; Emmanuel, 2010; Victor et al., 2005; I Made, 2006)
e. Transplantasi sumsum tulang alogenik (stem cell transplantation, SCT)
sebelum usia 50 dari saudara kandung yang HLA-nya cocok memungkinkan
kesembuhan 70% pada fase kronik dan 30% atau kurang pada fase akselerasi
(Atul & Victor, 2005).
2) Fase Akselerasi dan Fase Blast
Terapi untuk fase akselerasi atau transformasi akut sama seperti leukemia
akut, AML atau ALL, dengan penambahan STI 57I (Gleevec) dapat diberikan.
Apabila sudah memasuki kedua fase ini, sebagian besar pengobatan yang
dilakukan tidak dapat menyembuhkan hanya dapat memperlambat perkembangan
penyakit. (Atul & Victor, 2005; I Made, 2006).
2. Non-Medikamentosa
1) Radiasi
Terapi radiasi dengan menggunakan X-Rays dosis tinggi sinar-sinar tenaga
tinggi secara external radiation therapy untuk menghilangkan gejala-gejala atau
sebagian dari terapi yang diperlukan sebelum transplantasi sumsum tulang (Atul
& Victor, 2005).
1.10Prognosis
Sekitar 20-30% penderita meninggal dalam waktu 2 tahun setelah
penyakitnya terdiagnosis dan setelah itu sekitar 25% meninggal setiap
tahunnya. Banyak penderita yang bertahan hidup selama 4 tahun atau lebih setelah
penyakitnya terdiagnosis, tetapi pada akhirnya meninggal pada fase
akselerasi atau krisis blast. Angka harapan hidup rata-rata setelah krisis
blast hanya 2 bulan, tetapi kemoterapi kadang bisa memperpanjang harapan hidup
sampai 8-12 bulan (Agung, 2010).
KESIMPULAN

Leukemia mieloid kronik (LMK) atau chronic myeloid leukemia (CML)


merupakan leukemia kronik, dengan gejala yang timbul perlahan-lahan dan sel
leukemianya berasal dari transformasi sel induk mieloid. CML termasuk
kelainan klonal (clonal disorder) dari sel induk pluripoten dan tergolong
sebagai salah satu kelainan mieloproliferatif. Nama lain untuk leukemia
myeloid kronik, yaitu chronic myelogenous leukemia dan chronic myelocytic
leukemia (I Made, 2006).
CML merupakan 15-20% dari leukemia dan merupakan leukemia kronik
yang paling sering di jumpai di Indonesia, sedangkan di negara Barat Leukemia
kronik lebih banyak dijumpai dalam bentuk CLL (Chronic Lymphocytic
Leukemia). CML dapat terjadi karena adanya resiprokal translokasi pada
kromosom 22 dan kromosom 9 dengan ciri khas adanya kromosom
Philadelphia (Ph). Dibagi menjadi tiga fase dalam perjalan penyakitnya dan
juga digunakan untuk menentukan terapi yaitu fase kronik, fase akselerasi, fase
krisis blast (I Made, 2006; Atul & Victor, 2005).
CML dapat di terapi dengan berbagai cara seperti : pemberian busulfan,
pemberian hydroxyurea, pemberian Imatinib mesylate, pemberian Interferon
alpha, terapi dengan radiasi, dan dengan cara transplantasi sumsum tulang
(Atul & Victor, 2005; Emmanuel, 2010; Victor et al., 2005; I Made, 2006).
Prognosis pada CML, yaitu sekitar 20-30% penderita meninggal dalam
waktu 2 tahun setelah penyakitnya terdiagnosis dan setelah itu sekitar 25%
meninggal setiap tahunnya. Banyak penderita yang bertahan hidup selama 4
tahun atau lebih setelah penyakitnya terdiagnosis, tetapi pada akhirnya
meninggal pada fase akselerasi atau krisis blast. Angka harapan hidup rata-rata
setelah krisis blast hanya 2 bulan, tetapi kemoterapi kadang bisa
memperpanjang harapan hidup sampai 8-12 bulan (Agung, 2010).
DAFTAR PUSTAKA

Betz, CL & Sowden, LA. 2002.Buku Saku Keperawatan Pediatri. Edisi 3. Jakarta
: EGC.
Brunner& Suddarth. 2002.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Vol 2.
Jakarta : EGC.
ES Jaffe et al. 2001.World Health Organization Classification of Tumours. Lyon,
ARC Press,
Fauci, Anthony S.; Kasper, Dennis L. ; Longo, Dan L.; Braunwald,
Eugene;Hauser, Stephen L.; Jameson, J. Larry; Loscalzo, Joseph;. 2008.
Harrison's Principles of Internal Medicine 17th edition. USA: McGraw-hill,
Guyton.1995. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Edisi III. Jakarta :
EGC.
JM Bennett et al: Ann Intern Med 103:620, 1985.
Joyce Engel. 1999. Pengkajian Pediatrik. Edisi 2. Jakarta : EGC.
Kurnianda, Johan. 2007. Leukimia Mieloblastik Akut dalam buku ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan FK UI
Price, S A dan Wilson, L M. 2006.Patofisiologi , Konsep klinis proses-proses
penyakit . Jakarta : EGC, .
Whaley’s and Wong. 2001.Clinical Manual of Pediatric Nursing. Edisi 4. USA :
Mosby.

Anda mungkin juga menyukai