Oleh :
Mira Ramdhani
150070300011054
Kelompok 7
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN INDIVIDU
Oleh :
Hari :
Tanggal :
)NIP. NIP.
NIP.
LAPORAN PENDAHULUAN
CHRONIC MIELOID LEUKEMIA (CML)
A. Definisi
Leukemia adalah penyakit neoplastik yang ditandai dengan diferensiasi
dan proliferasi sel induk hematopoietik yang mengalami transformasi dan
ganas, menyebabkan supresi dan penggantian elemen sumsum normal.
Leukemia dibagi menjadi 2 tipe umum: leukemia limfositik dan leukemia
mieloid (Guyton and Hall, 2007).
Leukemia mieloid kronik (LMK) atau chronic myeloid leukemia (CML)
merupakan leukemia kronik, dengan gejala yang timbul perlahanlahan dan sel
leukemianya berasal dari transformasi sel induk mieloid. CML termasuk
kelainan klonal (clonal disorder) dari sel induk pluripoten dan tergolong
sebagai salah satu kelainan mieloproliferatif. Nama lain untuk leukemia
myeloid kronik, yaitu chronic myelogenous leukemia dan chronic myelocytic
leukemia. (I Made, 2006).
Chronic myeloid leukemia (CML) juga merupakan keganasan yang
berkembang lambat di sumsum tulang dengan ditandai berkembangnya
leukosit dalam jumlah yang banyak.
Chronic Myeloid Leukemia adalah salah satu bentuk dari leukemia yang
ditandai dengan meningkatnya dan pertumbuhan yang tidak teratur dari sel
myeloid di dalam sum-sum tulang dan terakumulasi juga di dalam darah.
Leukemia mielositik kronik atau sering disebut juga leukemia granulositik
kronik adalah suatu penyakit klonal sel induk pluripoten yang digolongkan
sebagai salah satu penyakit mieloproliferatif (Price dan Wilson, 2006).
Penyakit ini timbul pada tingkat sel induk pluripoten dan secara terus-menerus
terkait dengan gen gabungan BCR-ABL(break cluster region-Abelson)
(Vardiman, 2007). Penyakit proliferatif adalah penyakit yang ditandai oleh
proliferasi dari seri granulosit tanpa gangguan diferensiasi, sehingga pada
apusan darah tepi dapat terlihat tingkatan diferensiasi seri granulosit, mulai
dari promielosit, sampai granulosit (Fadjari, 2006). Leukemia mielositik kronik
yang paling umum adalah disertai dengan kromosom Philadelphia (Ph)
(Hoffbrand et al, 2005).
B. Prevalensi
I Made (2006) dan Victor et al., (2005) mengungkapkan bahwa CML
merupakan 15-20% dari leukemia dan merupakan leukemia kronik yang
paling sering di jumpai di Indonesia, sedangkan di negara Barat Leukemia
kronik lebih banyak dijumpai dalam bentuk CLL (Chronic Lymphocytic
Leukemia). Insiden CML di negara Barat sekitar 1-1,4/100.000/tahun.
Penyakit ini terjadi pada kedua jenis kelamin (rasio pria : wanita sebesar
1,4:1). Umumnya CML mengenai usia pertengahan dengan puncak pada
umur 40-50 tahun. Pada anak-anak dapat di jumpai bentuk juvenile CML.
C. Etiologi
c. Infeksi Virus
D. Faktor Resiko
Sampai saat ini yang dicurigai ikut berperan dalam patogenesis LMK
adalah factor radiasi ion, virus dan bahan-bahan kimia. Menurut beberapa
laporan kasus LMK lebih tinggi pada orang yang bekerja di unit radiology,
orang yang terpapar radiasi bom atom, penderita yang mendapat terapi
radiasi karena penyakit Ankilosing spondilitis dan penyakit lain. Walaupun
begitu, hanya 5 7 % dari kasus LMK yang dilaporkan berhubungan dengan
adanya paparan radiasi dan hal ini sangat jarang mengenai kelompok anak-
anak. Berdasarkan penelitian terhadap penduduk yang hidup setelah
terpapar radiasi bom atom, waktu yang diperlukan mulai dari saat terpapar
sampai timbulnya gejala klinis adalah antara 5-10 tahun. Pada anak muda,
khususnya yang terpapar saat umur di bawah 5 tahun akan meningkatkan
kejadian LMK, tetapi tidak dijumpai adanya peningkatan kejadian pada bayi
dalam kandungan yang ibunya terpapar saat hamil. Secara skematis
perubahan-perubahan yang terjadi mulai dari masa inisiasi preleukemia dan
akhirnya menjadi leukemia.
a. Paparan radiasi dosis tinggi
Menjadi terkena radiasi dosis tinggi (seperti menjadi selamat dari ledakan
bom atomatau kecelakaan reaktor nuklir ) merupakan satu-
satunya faktor risiko lingkungan untuk chronic myeloid leukemia
b. U s i a d a n J e n i s K e l a m i n
Risiko terkena CML meningkat sesuai pertambahan usia. CML sedikit
lebih umumterjadi pada laki-laki daripada perempuan, tetapi tidak
diketahui alasannya.Tidak ada faktor risiko lain yang terbukti untuk
CML. Risiko terkena CML tampaknyatidak akan dipengaruhi oleh
kebiasaan merokok, diet, paparan bahan kimia, atau
infeksi.Tidak ada bukti klinis yang jelas tentang faktor predisposisi
keturunan.
E. Klasifikasi
3. Fase Blast (Krisis Blast) : pada fase ini pasien mempunyai lebih dari 30%
sel blast pada darah serta sumsum tulangnya. Sel blast telah menyebar
ke jaringan lain dan organ diluar sumsum tulang. Pada fase ini penyakit
ini berubah menjadi Leukemia Myeloblastik Akut atau Leukemia
Lympositik Akut. Kematian mencapai 20%.
F. Manifestasi Klinis
G. Patogenesis
H. Pemeriksaan Penunjang
Gambaran apusan darah tepi dengan Gambaran apusan darah tepi dengan
perbesaran 400x menunjukkan perbesaran 1000x menunjukkan promielosit,
hyperlekositosis. eosinofil,3 basofil, netrofil batang dan
segmen.
Terdapat juga eosinophilia, basofilia,
thrombocytosis.
Gambaran apusan darah tepi dengan Gambaran apusan darah tepi, dengan
perbesaran 400x menunjukkan berbagai perbesaran 1000x menunjukkan tahapan
tahap granulopoiesis termasuk promielosit, granulocytic termasuk eosinofil dan basofil.
mielosit, metamielosit, dan netrofil batang
serta segmen.
2. Pemeriksaan Penunjang Lain
Menurut Agung (2010), ada beberapa pemeriksaan penunjang lain untuk
penyakit CML, antara lain :
a. Biopsi sumsum tulang : SDM abnormal biasanya lebih dari 50 % atau
lebih dari SDP pada sumsum tulang. Sering 60% - 90% dari blast,
dengan prekusor eritroid, sel matur, dan megakariositis menurun.
b. Foto dada dan biopsi nodus limfe : dapat mengindikasikan derajat
keterlibatan.
c. David et al., (2009) menambahkan pemeriksaan lain, yaitu tes untuk
mendeteksi adanya kromosom Philadelphia.
I. Diagnosis Banding
J. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
Penatalaksanaan CML tergantung pada fase penyakit, yaitu :
a. Fase Kronik
1) Busulphan (Myleran), dosis : 0,1-0,2 mg/kgBB/hari. Leukosit
diperiksa tiap minggu. Dosis diturunkan setengahnya jika leukosit
turun setengahnya. Obat di hentikan jika leukosit 20.000/mm3.
Terapi dimulai jika leukosit naik menjadi 50.000/mm 3. Efek smaping
dapat berupa aplasia sumsum tulang berkepanjangan, fibrosis
paru, bahaya timbulnya leukemia akut (I Made, 2006).
2) Hydroxiurea, bersifat efektif dalam mengendalikan penyakit dna
mempertahankan hitung leukosit yang normal pada fase kronik,
tetapi biasanya perlu diberikan seumur hidup (Victor et al., 2005).
Dosis mulai dititrasi dari 500 mg sampai 2000 mg. Kemudian
diberikan dosis pemeliharaan untuk mencapai leukosit 10.000-
15.000/mm3. Efek samping lebih sedikit (I Made, 2006).
3) Interferon juga dapat mengontrol jumlah sel darah putih dan
dapat menunda onset transformasi akut, memperpanjang harapan
hidup menjadi 1-2 tahun (Atul & Victor, 2005). IFN- biasanya
digunakan bila jumlah leukosit telah terkendali oleh hidroksiurea.
IFN- merupakan terapi pilihan bagi kebanyakan penderita
leukemia Mielositik (CML) yang terlalu tua untuk transplantasi
sumsum tulang (BMT) atau yang tidak memiliki sumsum tulang
donor yang cocok. Interferon alfa diberikan pada rata-rata 3-5 juta
IU / d subkutan (Emmanuel, 2010). Tujuannya adalah untuk
mempertahankan jumlah leukosit tetap rendah (sekitar 4x10 9/l).
Hampir semua pasien menderita gejala penyakit mirip flu pada
beberapa hari pertama pengobatan. Komplikasi yang lebih serius
berupa anoreksia, depresi, dan sitopenia. Sebagian kecil pasien
(sekitar 15%) mungkin mencapai remisi jangka panjang dengan
hilangnya kromosom Ph pada analisis sitogenik walaupun gen fusi
BCR-ABL masih dapat dideteksi melalui PCR. (Victor et al., 2005).
4) STI571, atau mesylate imatinib (Gleevec), merupakan obat yang
sedang diteliti dalam percobaan klinis dan tampaknya memberikan
hasil yang menjanjikan. Zat STI 57I adalah suatu inhibitor spesifik
terhadap protein ABL yaitu tiroksin kinase sehingga dapat menekan
proliferasi seri myeloid. Gleevec mengontrol jumlah darah dan
menyebabkan sumsum tulang menjadi Ph negative pada sebagian
besar kasus. Obat ini mungkin menjadi lini pertama pada CML,
baik digunakan sendiri atau bersama dengan interferon atau obat
lain (Atul & Victor, 2005; Emmanuel, 2010; Victor et al., 2005; I
Made, 2006)
5) Transplantasi sumsum tulang alogenik (stem cell transplantation,
SCT) sebelum usia 50 dari saudara kandung yang HLA-nya cocok
memungkinkan kesembuhan 70% pada fase kronik dan 30% atau
kurang pada fase akselerasi (Atul & Victor, 2005).
b. Fase Akselerasi dan Fase Blast
Terapi untuk fase akselerasi atau transformasi akut sama
seperti leukemia akut, AML atau ALL, dengan penambahan STI
57I (Gleevec) dapat diberikan. Apabila sudah memasuki kedua
fase ini, sebagian besar pengobatan yang dilakukan tidak dapat
menyembuhkan hanya dapat memperlambat perkembangan
penyakit. (Atul & Victor, 2005; I Made, 2006).
2. Non-Medikamentosa
a. Radiasi
Terapi radiasi dengan menggunakan X-Rays dosis tinggi sinar-sinar
tenaga tinggi secara external radiation therapy untuk menghilangkan
gejala-gejala atau sebagian dari terapi yang diperlukan sebelum
transplantasi sumsum tulang (Atul & Victor, 2005).
L. Komplikasi
A. Pengkajian
Pengkajian adalah dasar utama dari proses keperawatan, pengumpulan
data yang akurat dan sistematis akan membantu penentuan status kesehatan
dan pola pertahanan klien, mengidentifikasi kekuatan dan kebutuhan klien
serta merumuskan diagnosa keperawatan. (Budi Anna Keliat, 1994)
2. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko infeksi berhubungan dengan menurunnya sistem pertahanan tubuh
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan akibat anemia
3. Resiko terhadap cedera : perdarahan yang berhubungan dengan
penurunan jumlah trombosit
4. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual dan
muntah
5. Perubahan membran mukosa mulut : stomatitis yang berhubungan dengan
efek samping agen kemoterapi
6. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan
anoreksia, malaise, mual dan muntah, efek samping kemoterapi dan atau
stomatitis
7. Nyeri yang berhubungan dengan efek fisiologis dari leukemia
8. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pemberian agens
kemoterapi, radioterapi, imobilitas
9. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan alopesia atau perubahan
cepat pada penampilan.
10.Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak yang
menderita leukemia.
Rencana keperawatan
1. Resiko infeksi berhubungan dengan menurunnya sistem pertahanan tubuh
Tujuan : Anak tidak mengalami gejala-gejala infeksi
Intervensi :
a). Pantau suhu dengan teliti
Rasional : untuk mendeteksi kemungkinan infeksi
b). Tempatkan anak dalam ruangan khusus
Rasional : untuk meminimalkan terpaparnya anak dari sumber infeksi
c). Anjurkan semua pengunjung dan staff rumah sakit untuk menggunakan
teknik mencuci tangan dengan baik
Rasional : untuk meminimalkan pajanan pada organisme infektif
d). Gunakan teknik aseptik yang cermat untuk semua prosedur invasive
Rasional : untuk mencegah kontaminasi silang/menurunkan resiko infeksi
e). Evaluasi keadaan anak terhadap tempat-tempat munculnya infeksi seperti
tempat penusukan jarum, ulserasi mukosa, dan masalah gigi
Rasional : untuk intervensi dini penanganan infeksi
f). Inspeksi membran mukosa mulut. Bersihkan mulut dengan baik
Rasional : rongga mulut adalah medium yang baik untuk pertumbuhan
organisme
g). Berikan periode istirahat tanpa gangguan
Rasional : menambah energi untuk penyembuhan dan regenerasi seluler
h). Berikan diet lengkap nutrisi sesuai usia
Rasional : untuk mendukung pertahanan alami tubuh
i) Berikan antibiotik sesuai ketentuan
Rasional : diberikan sebagai profilaktik atau mengobati infeksi khusus
DAFTAR PUSTAKA
Kurnianda, Johan. 2007. Leukimia Mieloblastik Akut dalam buku ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan FK UI