Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

CHRONIC MYELOID LEUKEMIA (CML)


DI RUANG 23 INFEKSI RUMAH SAKIT DR. SAIFUL ANWAR MALANG

Untuk Memenuhi Tugas Individu Profesi Ners Departemen Medikal


Di Ruang 23 Infeksi RS. Dr. Saiful Anwar Malang

Oleh :
Mira Ramdhani
150070300011054
Kelompok 7

PENDIDIKAN PROFESI NERS


JURUSAN ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017

LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN INDIVIDU

RUANG 23 I RSUD DR SAIFUL ANWAR MALANG


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Profesi Ners Departemen Medical

Oleh :

Mira Ramdhani 150070300011054

Telah diperiksa kelengkapan pada

Hari :

Tanggal :

Dan dinyatkan memenuhi kompetensi

Mengetahui, Malang, 2017

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

)NIP. NIP.

Kepala Ruang 23 Infeksi RSSA Malang

NIP.

LAPORAN PENDAHULUAN
CHRONIC MIELOID LEUKEMIA (CML)
A. Definisi
Leukemia adalah penyakit neoplastik yang ditandai dengan diferensiasi
dan proliferasi sel induk hematopoietik yang mengalami transformasi dan
ganas, menyebabkan supresi dan penggantian elemen sumsum normal.
Leukemia dibagi menjadi 2 tipe umum: leukemia limfositik dan leukemia
mieloid (Guyton and Hall, 2007).
Leukemia mieloid kronik (LMK) atau chronic myeloid leukemia (CML)
merupakan leukemia kronik, dengan gejala yang timbul perlahanlahan dan sel
leukemianya berasal dari transformasi sel induk mieloid. CML termasuk
kelainan klonal (clonal disorder) dari sel induk pluripoten dan tergolong
sebagai salah satu kelainan mieloproliferatif. Nama lain untuk leukemia
myeloid kronik, yaitu chronic myelogenous leukemia dan chronic myelocytic
leukemia. (I Made, 2006).
Chronic myeloid leukemia (CML) juga merupakan keganasan yang
berkembang lambat di sumsum tulang dengan ditandai berkembangnya
leukosit dalam jumlah yang banyak.
Chronic Myeloid Leukemia adalah salah satu bentuk dari leukemia yang
ditandai dengan meningkatnya dan pertumbuhan yang tidak teratur dari sel
myeloid di dalam sum-sum tulang dan terakumulasi juga di dalam darah.
Leukemia mielositik kronik atau sering disebut juga leukemia granulositik
kronik adalah suatu penyakit klonal sel induk pluripoten yang digolongkan
sebagai salah satu penyakit mieloproliferatif (Price dan Wilson, 2006).
Penyakit ini timbul pada tingkat sel induk pluripoten dan secara terus-menerus
terkait dengan gen gabungan BCR-ABL(break cluster region-Abelson)
(Vardiman, 2007). Penyakit proliferatif adalah penyakit yang ditandai oleh
proliferasi dari seri granulosit tanpa gangguan diferensiasi, sehingga pada
apusan darah tepi dapat terlihat tingkatan diferensiasi seri granulosit, mulai
dari promielosit, sampai granulosit (Fadjari, 2006). Leukemia mielositik kronik
yang paling umum adalah disertai dengan kromosom Philadelphia (Ph)
(Hoffbrand et al, 2005).

B. Prevalensi
I Made (2006) dan Victor et al., (2005) mengungkapkan bahwa CML
merupakan 15-20% dari leukemia dan merupakan leukemia kronik yang
paling sering di jumpai di Indonesia, sedangkan di negara Barat Leukemia
kronik lebih banyak dijumpai dalam bentuk CLL (Chronic Lymphocytic
Leukemia). Insiden CML di negara Barat sekitar 1-1,4/100.000/tahun.
Penyakit ini terjadi pada kedua jenis kelamin (rasio pria : wanita sebesar
1,4:1). Umumnya CML mengenai usia pertengahan dengan puncak pada
umur 40-50 tahun. Pada anak-anak dapat di jumpai bentuk juvenile CML.

C. Etiologi

Etiologi CML masih belum diketahui. Menurut Jorge et al., (2010)


Beberapa asosiasi menghubungkannya dengan faktor genetik dan faktor
lingkungan, tetapi di kebanyakan kasus, tidak ada faktor yang dapat di
identifikasikan.
Agung (2010) mengungkapkan bahwa ada dua faktor yang menyebabkan
CML, yaitu faktor instrinsik (host) dan faktor ekstrinsik (lingkungan).
1. Faktor Instrinsik
a. Keturunan dan Kelainan Kromosom
Leukemia tidak diwariskan, tetapi sejumlah individu memiliki faktor
predisposisi untuk mendapatkannya. Risiko terjadinya leukemia
meningkat pada saudara kembar identik penderita leukemia akut,
demikian pula pada suadara lainnya, walaupun jarang. Pendapat ini
oleh Price atau Wilson (1982) yang menyatakan jarang ditemukan
leukemia Familial, tetapi insidensi leukemia terjadi lebih tinggi pada
saudara kandung anak-anak yang terserang dengan insiden yang
meningkat sampai 30 % pada kembar identik (monozigot), (Agung ,
2010).
Kejadian leukemia meningkat pada penderita dengan kelainan
fragilitas kromosom (anemia fancori) atau pada penderita dengan
jumlah kromosom yang abnormal seperti pada sindrom Duwa,
sindrom klinefelter dan sindrom turner.

b. Defisiensi Imun dan Defisiensi Sumsum Tulang

Sistem imunitas tubuh kita memiliki kemampuan untuk


mengidentifikasi sel yang berubah menjadi sel ganas. Gangguan
pada sistem tersebut dapat menyebabkan beberapa sel ganas lolos
dan selanjutnya berproliferasi hingga menimbulkan penyakit.
Hipoplasia dari sumsum tulang mungkin sebagai penyebab leukemia
(Agung ,2010).
2. Faktor Ekstrinsik
a. Faktor Radiasi
Adanya efek leukemogenik dan ionisasi radiasi, dibuktikan dengan
tingginya insidensi leukemia pada ahli radiologi (sebelum ditemukan
alat pelindung), penderita dengan pembesaran kelenjar tymus,
Ankylosing spondilitis dan penyakit Hodgkin yang mendapat terapi
radiasi. Diperkirakan 10 % penderita leukemia memiliki latar belakang
radiasi Sebelum proteksi terhadap sinar rutin dilakukan, ahli radiologi
mempunyai risiko menderita leukemia 10 kali lebih besar. Penduduk
Hiroshima dan Nagasaki yang hidup sesudah ledakan bom atom
tahun 1945 mempunyai insidensi LMA dan LMK sampai 20 kali lebih
banyak. Demikian pula pada penderita ankylosing spondilitis yang
diobati dengan sindar radioaktif lebih dari 2000 rads mempunyai
insidensi LMA 14 kali lebih banyak (Agung ,2010).
b. Bahan Kimia dan Obat-obatan
Bahan-bahan kimia terutama Hydrokarbon sangat berhubungan
dengan leukemia akut pada binatang dan manusia. Remapasan
Benzen dalam jumlah besar dan berlangsung lama dapat
menimbulkan leukemia. Penelitian Akroy et al (1976) telah
membuktikan bahwa pekerja pabrik sepatu di Turki yang kontak lama
dengan benzen dosis tinggi banyak yang menderita LMA .
Kloramfenikol dan fenilbutazon diketahui menyebabkan anemia
aplastik berat, tidak jarang diketahui dikahiri dengan leukemia,
demikian juga dengan Arsen dan obat-obat imunosupresif (Agung ,
2010).

c. Infeksi Virus

Virus menyebabkan leukemia pada beberapa dirating percobaan


di laboratorium. Peranan virus dalam timbulnya leukemia pada
manusia masih dipertanyakan. Diduga yang ada hubungannya
dengan leukemia adalah Human T-cell leukemia virus (HTLV-1), yaitu
suatu virus RNA yang mempunyai enzim RNA transkriptase yang
bersifat karsinogenik (Agung ,2010).
Beberapa virus tertentu sudah dibuktikan menyebabkan leukemia
pada binatang. Timbulnya leukemia dipengaruhi antara lain oleh umur,
jenis kelamin, strain virus, faktor imunologik serta ada tidaknya zat
kimia dan sinar radioaktif. Sampai sekarang tidak atau belum dapat
dibuktikan bahwa penyebab leukemia pada manusia adalah virus.
Walaupun demikian ada beberapa hasil penelitian yang menyokong
teori virus sebagai penyebab leukemia, antara lain enzyme reverse
transcriptase ditemukan dalam darah penderita leukemia. Seperti
diketahui enzim ini ditemukan di dalan virus onkogenik seperti
retrovirus tipe-C, yaitu jenis virus RNA yang menyebabkan leukemia
pada binatang (Agung ,2010).

Leukemia mielositik kronik adalah salah satu dari kanker yang


diketahui disebabkan oleh sebuah mutasi spesifik tunggal di lebih dari
90% kasus. Transformasi leukemia mielositik kronik disebabkan oleh
sebuah translokasi respirokal dari gen BCR pada kromosom 22 dan gen
ABL pada kromosom 9, menghasilkan gabungan gen BCR-ABL yang
dijuluki kromosom Philadelphia. Protein yang dihasilkan dari gabungan
gen tersebut, meningkatkan proliferasi dan menurunkan apoptosis dari sel
ganas.
Perjalanan penyakit leukemia mielositik kronik terdiri atas 3 fase yaitu :
1. Fase kronik
Fase ini ditandai dengan ekspansi yang tinggi dari hemopoietik pool
dengan peningkatan sel darah matur dengan sedikit gangguan
fungsional. Pada sumsum tulang, hepar, lien, dan darah perifer dijumpai
sel neoplasma yang sedikit. Lama fase kronik 3 tahun. Gejala klinis akibat
hipermetabolik seperti panas, keringat malam, lemah, perut kembung,
gangguan penglihatan, penurunan berat badan, gangguan penglihatan,
dan anorexia. Pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan anemia
normokromik normositer, dengan kadar leukosit meningkat antara 80.000-
800.000/mmk. Pada pemeriksaan apusan darah dapat dilihat seluruh
stadium diferensiasi sel. Kadar eosinofil dan basofil juga meningkat.
2. Fase Akselerasi
Setelah kurang lebih 3 tahun, leukemia mielositik kronik akan masuk ke
fase akselerasi yang lebih sulit dikendalikan daripada fase kronik dan fase
ini dapat berlangsung selama beberapa bulan (Hoffbrand et al, 2005).
Gejala fase akselerasi :
Panas tanpa penyebab yang jelas.
Spleenomegali progresif.
Trombositosis.
Basofilia (>20%), Eosinofilia, Myeloblast (>5%).
Gambaran myelodisplasia seperti hipogranulasi neutrofil, mikro
megakariosit atau mononuclear yang besar.
Fibrosis kolagen pada sumsum tulang.
Terdapat kromosom baru yang abnormal seperti kromosom
Philadelphia.
3. Fase Krisis Blas
Fase ini ditandai dengan ditemukannya lebih dari 30% sel blas pada
sumsum tulang. Sel blas kebanyakan adalah myeloid, tetapi dapat juga
dijumpai eritroid, megakariositik, dan limfoblas. Jika sel blas mencapai
>100.000/mmk, maka penderita memiliki resiko terkena sindrom
hiperleukositosis.

D. Faktor Resiko
Sampai saat ini yang dicurigai ikut berperan dalam patogenesis LMK
adalah factor radiasi ion, virus dan bahan-bahan kimia. Menurut beberapa
laporan kasus LMK lebih tinggi pada orang yang bekerja di unit radiology,
orang yang terpapar radiasi bom atom, penderita yang mendapat terapi
radiasi karena penyakit Ankilosing spondilitis dan penyakit lain. Walaupun
begitu, hanya 5 7 % dari kasus LMK yang dilaporkan berhubungan dengan
adanya paparan radiasi dan hal ini sangat jarang mengenai kelompok anak-
anak. Berdasarkan penelitian terhadap penduduk yang hidup setelah
terpapar radiasi bom atom, waktu yang diperlukan mulai dari saat terpapar
sampai timbulnya gejala klinis adalah antara 5-10 tahun. Pada anak muda,
khususnya yang terpapar saat umur di bawah 5 tahun akan meningkatkan
kejadian LMK, tetapi tidak dijumpai adanya peningkatan kejadian pada bayi
dalam kandungan yang ibunya terpapar saat hamil. Secara skematis
perubahan-perubahan yang terjadi mulai dari masa inisiasi preleukemia dan
akhirnya menjadi leukemia.
a. Paparan radiasi dosis tinggi
Menjadi terkena radiasi dosis tinggi (seperti menjadi selamat dari ledakan
bom atomatau kecelakaan reaktor nuklir ) merupakan satu-
satunya faktor risiko lingkungan untuk chronic myeloid leukemia
b. U s i a d a n J e n i s K e l a m i n
Risiko terkena CML meningkat sesuai pertambahan usia. CML sedikit
lebih umumterjadi pada laki-laki daripada perempuan, tetapi tidak
diketahui alasannya.Tidak ada faktor risiko lain yang terbukti untuk
CML. Risiko terkena CML tampaknyatidak akan dipengaruhi oleh
kebiasaan merokok, diet, paparan bahan kimia, atau
infeksi.Tidak ada bukti klinis yang jelas tentang faktor predisposisi
keturunan.

E. Klasifikasi

Perjalanan penyakit CML, menurut I Made (2006); Agung (2010)


dibagi menjadi beberapa fase, yaitu:
1. Fase Kronik : pada fase ini pasien mempunyai jumlah sel blast dan sel
premielosit kurang dari 5% di dalam darah dan sumsum tulang. Fase ini
ditandai dengan over produksi granulosit yang didominasi oleh netrofil
segmen. Pasien mengalami gejala ringan dan mempunyai respon baik
terhadap terapi konvensional.
2. Fase Akselerasi atau transformasi akut : fase ini sangat progresif,
mempunyai lebih dari 5% sel blast namun kurang dari 30%. Pada fase ini
leukosit bisa mencapai 300.000/mmk dengan didominasi oleh eosinofil
dan basofil. Sel yang leukemik mempunyai kelainan kromosom lebih dari
satu (selain Philadelphia kromosom).

3. Fase Blast (Krisis Blast) : pada fase ini pasien mempunyai lebih dari 30%
sel blast pada darah serta sumsum tulangnya. Sel blast telah menyebar
ke jaringan lain dan organ diluar sumsum tulang. Pada fase ini penyakit
ini berubah menjadi Leukemia Myeloblastik Akut atau Leukemia
Lympositik Akut. Kematian mencapai 20%.

F. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis CML, menurut I Made (2006) dan Victor et al.,


(2005) tergantung pada fase yang kita jumpai pada penyakit tersebut, yaitu :
1. Fase kronik terdiri atas :
a. Gejala hiperkatabolik : berat badan menurun, lemah, anoreksia,
berkeringat pada malam hari.
b. Splenomegali hampir selalu ada, sering massif.
c. Hepatomegali lebih jarang dan lebih ringan.
d. Gejala gout atau gangguan ginjal yang disebabkan oleh hiperurikemia
akibat pemecahan purin yang berlebihan dapat menimbulkan
masalah.
e. Gangguan penglihatan dan priapismus.
f. Anemia pada fase awal sering tetapi hanya ringan dengan gambaran
pucat, dispneu dan takikardi.
g. Kadang-kadang asimtomatik, ditemukan secara kebetulan pada saat
check up atau pemeriksaan untuk penyakit lain.
h. Fungsi trombosit yang abnormal menyebabkan gejala memar,
epiktaksis, menoraghia, ataupun perdarahan di tempat-tempat lain.
i. Pemecahan urin yang berlebihan menyebabkan hiperurikemia yang
bermanifestasi sebagai gout atau gangguan ginjal.
j. Gejala yang jarang dijumpai, namun masih ditemukan pada beberapa
pasien adalah gangguan penglihatan dan priapismus.
2. Fase transformasi akut terdiri atas :
Perubahan terjadi perlahan-lahan dengan prodormal selama 6
bulan, di sebut sebagai fase akselerasi. Timbul keluhan baru, antara lain :
demam, lelah, nyeri tulang (sternum) yang semakin progresif. Respons
terhadap kemoterapi menurun, lekositosis meningkat dan trombosit
menurun (trombosit menjadi abnormal sehingga timbul perdarahan di
berbagai tempat, antara lain epistaksis, menorhagia).

3. Fase Blast (Krisis Blast) :


Pada sekitar 1/3 penderita, perubahan terjadi secara mendadak,
tanpa didahului masa prodormal keadaan ini disebut krisis blastik (blast
crisis). Tanpa pengobatan adekuat penderita sering meninggal dalam 1-2
bulan.

G. Patogenesis

Pada CML dijumpai Philadelphia chromosom (Ph1 chr) suatu


reciprocal translocation 9,22 (t9;22). Kromosom Philadelphia merupakan
kromosom 22 abnormal yang disebabkan oleh translokasi sebagian materi
genetik pada bagian lengan panjang (q) kromosom 22 ke kromosom 9, dan
translokasi resiprokal bagian kromosom 9, termasuk onkogen ABL, ke region
klaster breakpoint (breakpoint cluster region, BCR) yang merupakan titik
pemisahan tempat putusnya kromosom yang secara spesifik terdapat pada
kromosom 22. Sebagai akibatnya sebagian besar onkogen ABL pada lengan
panjang kromosom 9 mengalami
juxtaposisi (bergabung) dengan
onkogen BCR pada lengan panjang
kromosom 22. Titik putus pada ABL
adalah antara ekson 1 dan 2. Titik
putus BCR adalah salah satu di
antara dua titik di region kelompok
titik putus utama (M-BCR) pada
CML atau pada beberapa kasus ALL
Ph+. Gen fusi (gen yang bersatu) ini akan mentranskripsikan chimeric RNA
sehingga terbentuk chimeric protein (protein 210 kd). Timbulnya protein baru
ini akan memengaruhi transduksi sinyal terutama melalui tyrosine kinase ke
inti sel sehingga terjadi kelebihan dorongan proliferasi pada sel-sel mieloid
dan menurunnya apoptosis. Hal ini menyebabkan proliferasi pada seri mieloid
(I Made, 2006; Atul & Victor, 2005; Victor et al., 2005).
Jaringan pembentuk darah ditandai oleh pergantian sel yang sangat
cepat. Normalnya, produksi sel darah tertentu dari prekusor sel stem diatur
sesuai kebutuhan tubuh. Apabila mekanisme yang mengatur produksi sel
tersebut terganggu, sel akan membelah diri sampai ke tingkat sel yang
membahayakan (proliferasi neoplastik). Proliferasi neoplastik dapat terjadi
karena kerusakan sumsum tulang akibat radiasi, virus onkogenik, maupun
herediter.
Sel polimorfonuklear dan monosit normalnya dibentuk hanya dalam
sumsum tulang. Sedangkan limfosit dan sel plasma dihasilkan dalam
berbagai organ limfogen (kelenjar limfe, limpa, timus, tonsil). Beberapa sel
darah putih yang dibentuk dalam sumsum tulang, khususnya granulosit,
disimpan dalam sumsum tulang sampai mereka dibutuhkan dalam sirkulasi.
Bila terjadi kerusakan sumsum tulang, misalnya akibat radiasi atau bahan
kimia, maka akan terjadi proliferasi sel-sel darah putih yang berlebihan dan
imatur. Pada kasus AML, dimulai dengan pembentukan kanker pada sel
mielogen muda (bentuk dini neutrofil, monosit, atau lainnya) dalam sumsum
tulang dan kemudian menyebar ke seluruh tubuh sehingga sel-sel darah
putih dibentuk pada banyak organ ekstra medula.
Sedangkan secara imunologik, patogenesis leukemia dapat
diterangkan sebagai berikut. Bila virus dianggap sebagai penyebabnya (virus
onkogenik yang mempunyai struktur antigen tertentu), maka virus tersebut
dengan mudah akan masuk ke dalam tubuh manusia dan merusak
mekanisme proliferasi. Seandainya struktur antigennya sesuai dengan
struktur antigen manusia tersebut, maka virus mudah masuk. Bila struktur
antigen individu tidak sama dengan struktur antigen virus, maka virus
tersebut akan ditolaknya. Struktur antigen ini terbentuk dari struktur antigen
dari berbagai alat tubuh, terutama kulit dan selaput lendir yang terletak di
permukaan tubuh atau HL-A (Human Leucocyte Locus A). Sistem HL-A
diturunkan menurut hukum genetik, sehingga etiologi leukemia sangat erat
kaitannya dengan faktor herediter.
Akibat proliferasi mieloid yang neoplastik, maka produksi elemen
darah yang lain tertekan karena terjadi kompetisi nutrisi untuk proses
metabolisme (terjadi granulositopenia, trombositopenia). Sel-sel leukemia
juga menginvasi tulang di sekelilingnya yang menyebabkan nyeri tulang dan
cenderung mudah patah tulang. Proliferasi sel leukemia dalam organ
mengakibatkan gejala tambahan : nyeri akibat pembesaran limpa atau hati,
masalah kelenjar limfa; sakit kepala atau muntah akibat leukemia meningeal.\

H. Pemeriksaan Penunjang

I Made (2006) memaparkan beberapa pemeriksaan penunjang untuk CML,


yaitu :
1. Laboratorium
a. Darah rutin :
1) Anemia mula-mula ringan menjadi progresif pada fase lanjut
(fase transformasi akut), bersifat normokromik normositer.
2) Hemoglobin : dapat kurang dari 10 g/100 m.
b. Gambaran darah tepi :
1) Leukositosis berat 20.000-50.000/mm3 pada permulaan
kemudian biasanya lebih dari 100.000/mm3.
2) Menunjukkan spectrum lengkap seri granulosit mulai dari
mieloblast sampai netrofil, komponen paling menonjol adalah
segmen netrofil (hipersegmen) dan mielosit. Metamielosit,
promielosit, dan mieloblast juga dijumpai. Sel blast < 5%. Sel
darah merah bernukleus.
3) Jumlah basofil dalam darah meningkat.
4) Trombosit bisa meningkat, normal atau menurun. Pada fase
awal lebih sering meningkat.
5) Fosfatase alkali netrofil (neutrophil alkaline phosphatase) selalu
rendah.
c. Gambaran sumsum tulang
1) Hiperseluler dengan system granulosit dominan. Gambarannya
mirip dengan apusan darah tepi. Menunjukkan spektrum
lengkap seri myeloid, dengan komponen paling banyak ialah
netrofil dan mielosit. Sel blast kurang dari 30 %. Megakariosit
pada fase kronik normal atau meningkat.
2) Sitogenik : di jumpai adanya Philadelphia (Ph1) kromosom pada
95 % kasus.
3) Vitamin B12 serum dan B12 binding capacity meningkat.
4) Kadar asam urat serum meningkat.
5) Pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction) dapat
mendeteksi adanya chimeric protein bcr-abl pada 99% kasus (I
Made, 2006)

Gambar 2.1 Gambar 2.2

Gambaran apusan darah tepi dengan Gambaran apusan darah tepi dengan
perbesaran 400x menunjukkan perbesaran 1000x menunjukkan promielosit,
hyperlekositosis. eosinofil,3 basofil, netrofil batang dan
segmen.
Terdapat juga eosinophilia, basofilia,
thrombocytosis.

Gambar 2.3 Gambar 2.4

Gambaran apusan darah tepi dengan Gambaran apusan darah tepi, dengan
perbesaran 400x menunjukkan berbagai perbesaran 1000x menunjukkan tahapan
tahap granulopoiesis termasuk promielosit, granulocytic termasuk eosinofil dan basofil.
mielosit, metamielosit, dan netrofil batang
serta segmen.
2. Pemeriksaan Penunjang Lain
Menurut Agung (2010), ada beberapa pemeriksaan penunjang lain untuk
penyakit CML, antara lain :
a. Biopsi sumsum tulang : SDM abnormal biasanya lebih dari 50 % atau
lebih dari SDP pada sumsum tulang. Sering 60% - 90% dari blast,
dengan prekusor eritroid, sel matur, dan megakariositis menurun.
b. Foto dada dan biopsi nodus limfe : dapat mengindikasikan derajat
keterlibatan.
c. David et al., (2009) menambahkan pemeriksaan lain, yaitu tes untuk
mendeteksi adanya kromosom Philadelphia.

I. Diagnosis Banding

Pemeriksaan darah tepi dan sumsung tulang merupakan situasi


klinis yang dapat menegakkan diagnosis adanya CML, pada beberapa pasien
CML kadang tidak ditemukan kromosom Ph. Sehingga di butuhkan suatu
standar untuk menegakkan suatu diagnosis.
1. Diagnosis CML dalam fase akselerasi menurut WHO :
a. Blast 10-19% dari WBC pada darah tepi dan atau dari sel sumsum
tulang berinti.
b. Basofil darah tepi >20%.
c. Thrombositopenia persisten (<100x109/L) yang tidak dihubungkan
dengan terapi, atau thrombositosis (>1000x109/L) yang tidak
responsif terhadap terapi.
d. Peningkatan ukuran lien atau WBC yang tidak responsif pada terapi.
e. Bukti sitogenik evolusi klonal (I Made, 2006).

2. Diagnosis CML pada fase krisis blastik menurut WHO :


a. Blast >20% dari darah putih pada darah perifer atau sel sumsum
tulang berinti.
b. Proliferasi blast ekstrameduler.
c. Fokus besar atau cluster sel blast dalam biopsi sumsum tulang (I
Made,2006).

Diagnosis banding pada fase kronis adalah trombositosis


esensial, pada trombositosis ditemukan adanya fosfatase normal atau
meningkat sedangkan CML selalu rendah dan tidak ditemukannya Ph
kromosom seperti halnya yang selalu ditemukan Ph kromosom pada
penderita CML. Untuk fase krisis blast yaitu leukemia mieloid akut dan
sindrom mielodislasia (Victor et al., 2006).
Tidak ditemukannya Ph kromosom pada penderita CML yaitu
pada kasus penderita yang menderita CML tipe juvenillis yang asering
dijumpai pada pasien berumur kurang dari 4 tahun. Cirinya tidak adanya
Ph kromosom, peningkatan Hb janin, trombositopenia, monositosis yang
menonjol, dan CML juvenillis jarang mengalami transformasi blastik dan
meninggal akibat infeksi atau kegagalan organ akibat sebukan monosit
dan makrofag (Victor et al., 2006).

J. Penatalaksanaan

1. Medikamentosa
Penatalaksanaan CML tergantung pada fase penyakit, yaitu :
a. Fase Kronik
1) Busulphan (Myleran), dosis : 0,1-0,2 mg/kgBB/hari. Leukosit
diperiksa tiap minggu. Dosis diturunkan setengahnya jika leukosit
turun setengahnya. Obat di hentikan jika leukosit 20.000/mm3.
Terapi dimulai jika leukosit naik menjadi 50.000/mm 3. Efek smaping
dapat berupa aplasia sumsum tulang berkepanjangan, fibrosis
paru, bahaya timbulnya leukemia akut (I Made, 2006).
2) Hydroxiurea, bersifat efektif dalam mengendalikan penyakit dna
mempertahankan hitung leukosit yang normal pada fase kronik,
tetapi biasanya perlu diberikan seumur hidup (Victor et al., 2005).
Dosis mulai dititrasi dari 500 mg sampai 2000 mg. Kemudian
diberikan dosis pemeliharaan untuk mencapai leukosit 10.000-
15.000/mm3. Efek samping lebih sedikit (I Made, 2006).
3) Interferon juga dapat mengontrol jumlah sel darah putih dan
dapat menunda onset transformasi akut, memperpanjang harapan
hidup menjadi 1-2 tahun (Atul & Victor, 2005). IFN- biasanya
digunakan bila jumlah leukosit telah terkendali oleh hidroksiurea.
IFN- merupakan terapi pilihan bagi kebanyakan penderita
leukemia Mielositik (CML) yang terlalu tua untuk transplantasi
sumsum tulang (BMT) atau yang tidak memiliki sumsum tulang
donor yang cocok. Interferon alfa diberikan pada rata-rata 3-5 juta
IU / d subkutan (Emmanuel, 2010). Tujuannya adalah untuk
mempertahankan jumlah leukosit tetap rendah (sekitar 4x10 9/l).
Hampir semua pasien menderita gejala penyakit mirip flu pada
beberapa hari pertama pengobatan. Komplikasi yang lebih serius
berupa anoreksia, depresi, dan sitopenia. Sebagian kecil pasien
(sekitar 15%) mungkin mencapai remisi jangka panjang dengan
hilangnya kromosom Ph pada analisis sitogenik walaupun gen fusi
BCR-ABL masih dapat dideteksi melalui PCR. (Victor et al., 2005).
4) STI571, atau mesylate imatinib (Gleevec), merupakan obat yang
sedang diteliti dalam percobaan klinis dan tampaknya memberikan
hasil yang menjanjikan. Zat STI 57I adalah suatu inhibitor spesifik
terhadap protein ABL yaitu tiroksin kinase sehingga dapat menekan
proliferasi seri myeloid. Gleevec mengontrol jumlah darah dan
menyebabkan sumsum tulang menjadi Ph negative pada sebagian
besar kasus. Obat ini mungkin menjadi lini pertama pada CML,
baik digunakan sendiri atau bersama dengan interferon atau obat
lain (Atul & Victor, 2005; Emmanuel, 2010; Victor et al., 2005; I
Made, 2006)
5) Transplantasi sumsum tulang alogenik (stem cell transplantation,
SCT) sebelum usia 50 dari saudara kandung yang HLA-nya cocok
memungkinkan kesembuhan 70% pada fase kronik dan 30% atau
kurang pada fase akselerasi (Atul & Victor, 2005).
b. Fase Akselerasi dan Fase Blast
Terapi untuk fase akselerasi atau transformasi akut sama
seperti leukemia akut, AML atau ALL, dengan penambahan STI
57I (Gleevec) dapat diberikan. Apabila sudah memasuki kedua
fase ini, sebagian besar pengobatan yang dilakukan tidak dapat
menyembuhkan hanya dapat memperlambat perkembangan
penyakit. (Atul & Victor, 2005; I Made, 2006).

2. Non-Medikamentosa
a. Radiasi
Terapi radiasi dengan menggunakan X-Rays dosis tinggi sinar-sinar
tenaga tinggi secara external radiation therapy untuk menghilangkan
gejala-gejala atau sebagian dari terapi yang diperlukan sebelum
transplantasi sumsum tulang (Atul & Victor, 2005).

a. Imatinib mesylate (imatinib)


Digunakan sebagai terapi awal pada fase kronik CML. Regimen ini dapat
digunakan setelah atau bersamaan dengan hydroxyurea ketika terdapat
peningkatan jumlah sel darah putih yang bermakna. Selain itu juga dapat
dikombinasikan dengan leukapheresis ketika sindrom hiperleukositik
terjadi. Obat ini merupakan golongan inhibitor tirosin kinase dimana
bekerja dengan menghambat BCR-ABL tirosin kinase yang penting dalam
membentuk fungsi BCR-ABL sehingga sel CML pun dapat dihambat. Obat
ini diduga dapat menghasilkan respon hematologik yang lengkap pada
hampir semua pasien yang berada dalam fase kronik dimana dapat
terjadi konversi dari Ph positif menjadi negatif. Oleh karena itu, obat ini
dijadikan sebagai obat lini pertama pada CML, baik digunakan sendiri
atau bersamaan dengan interferon atau obat lain.
b. Leukapheresis (suatu prosedur pemisahan sel darah putih dari
sampel darah)
Leukapheresis dapat mengontrol CML namun hanya sementara. Sangat
bermanfaat terutama untuk pasien hiperleukositik dan wanita hamil
selama kehamilan awal dimana kemoterapi tidak diperkenankan berkaitan
dengan risiko tinggi terhadap kesehatan janin.
c. Hydorxyurea
Merupakan obat kemoterapi yang bersifat efektif dalam mengendalikan
penyakit dan mempertahankan hitung leukosit normal pada fase kronik,
tetapi diberikan seumur hidup pasien. Dosisnya dimulai dengan 1-2 g/hari
dan kemudian diturunkan setiap minggu sampai mencapai dosis rumatan
sebesar 0,5-1,5 g/hari. Obat ini kemudian dihentikan ketika hitung sel
darah putih telah mencapai kurang dari 5000/l (5109/liter).
d. Anagrelide
Digunakan untuk menurunkan jumlah trombosit pasien
e. Interferon-
Saat ini masih merupakan obat terpilih pada CML dimana banyak
digunakan ketika jumlah leukosit meningkat. Obat ini bekerja dengan
mempertahankan jumlah leukosit tetap rendah (sekitar 4109/l). Dosis
yang digunakan adalah 3-9 megaunit dan diberikan tiga sampai tujuh kali
setiap minggu secara injeksi subkutan.

f. Transplantasi sel induk


Transplantasi yang bersifat alogen banyak digunakan untuk mengobati
CML. Transplantasi ini dapat dilakukan pada saudara kandung dengan
30% saja yang dapat mentolerir prosedur ini. Setelah ditransplantasikan
ketahanan hidup pasien mencapai 50-70% dalam 5 tahun. Hasil akan
lebih baik dilakukan pada fase kronik dibandingkan dengan fase akut.
K. Prognosis

Sekitar 20-30% penderita meninggal dalam waktu 2 tahun setelah


penyakitnya terdiagnosis dan setelah itu sekitar 25% meninggal setiap
tahunnya. Banyak penderita yang bertahan hidup selama 4 tahun atau lebih
setelah penyakitnya terdiagnosis, tetapi pada akhirnya meninggal pada fase
akselerasi atau krisis blast. Angka harapan hidup rata-rata setelah krisis
blast hanya 2 bulan, tetapi kemoterapi kadang bisa memperpanjang harapan
hidup sampai 8-12 bulan (Agung, 2010).

L. Komplikasi

a. Perdarahan berat. Trombositopenia dapat menyebabkan mudah berdarah


dan lebam. Perdarahan bisa merupakan perdarahan hidung, gusi, maupun
pada kulit (petechiae).
b. Nyeri. CML dapat menyebabkan nyeri sendi karena sumsum tulang
berkembang ketika terdapat peningkatan sel darah putih.
c. Splenomegali. Sel darah berlebih yang diproduksi pada CML banyak
disimpan dalam limpa. Hal ini menyebabkan limpa membesar dan
bengkak. Adanya perbesaran limpa ini juga dapat menimbulkan rasa penuh
pada perut setelah makan atau menyebabkan nyeri pada sisi kiri di bawah
tulang rusuk.
d. Stroke atau pembekuan berlebihan. Pada beberapa orang yang menderita
CML terdapat juga kelebihan produksi platelet. Tanpa adanya pengobatan,
trombositosis ini dapat menyebabkan pembekuan darah berlebihan dan
menyebabkan stroke.
e. Infeksi. Meskipun terdapat sel darah putih dalam jumlah yang tinggi, namun
fungsi mereka dalam pertahanan tubuh menurun sehingga imunitas tubuh
menurun dan rentan terkena infeksi. Selain itu, obat-obatan CML juga dapat
menurunkan jumlah sel darah putih (neutropenia) sehingga memudahkan
pula infeksi terjadi.

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN


CHRONIC MYELOID LEUKEMIA (CML)

A. Pengkajian
Pengkajian adalah dasar utama dari proses keperawatan, pengumpulan
data yang akurat dan sistematis akan membantu penentuan status kesehatan
dan pola pertahanan klien, mengidentifikasi kekuatan dan kebutuhan klien
serta merumuskan diagnosa keperawatan. (Budi Anna Keliat, 1994)

1. Pengkajian pada leukemia meliputi :


1. Riwayat penyakit
2. Kaji adanya tanda-tanda anemia :
a). Pucat
b). Kelemahan
c). Sesak
d). Nafas cepat
3. Kaji adanya tanda-tanda leucopenia
a). Demam
b). Infeksi
4. Kaji adanya tanda-tanda trombositopenia :
a) Ptechiae
b) Purpura
c) Perdarahan membran mukosa
5. Kaji adanya tanda-tanda invasi ekstra medulola :
a).Limfadenopati
b) Hepatomegali
c) Splenomegali
6. Kaji adanya :
a) Hematuria
b) Hipertensi
c) Gagal ginjal
d) Inflamasi disekitar rectal
e) Nyeri (Suriadi,R dan Rita Yuliani,2001 : 17)

2. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko infeksi berhubungan dengan menurunnya sistem pertahanan tubuh
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan akibat anemia
3. Resiko terhadap cedera : perdarahan yang berhubungan dengan
penurunan jumlah trombosit
4. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual dan
muntah
5. Perubahan membran mukosa mulut : stomatitis yang berhubungan dengan
efek samping agen kemoterapi
6. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan
anoreksia, malaise, mual dan muntah, efek samping kemoterapi dan atau
stomatitis
7. Nyeri yang berhubungan dengan efek fisiologis dari leukemia
8. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pemberian agens
kemoterapi, radioterapi, imobilitas
9. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan alopesia atau perubahan
cepat pada penampilan.
10.Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak yang
menderita leukemia.
Rencana keperawatan
1. Resiko infeksi berhubungan dengan menurunnya sistem pertahanan tubuh
Tujuan : Anak tidak mengalami gejala-gejala infeksi
Intervensi :
a). Pantau suhu dengan teliti
Rasional : untuk mendeteksi kemungkinan infeksi
b). Tempatkan anak dalam ruangan khusus
Rasional : untuk meminimalkan terpaparnya anak dari sumber infeksi
c). Anjurkan semua pengunjung dan staff rumah sakit untuk menggunakan
teknik mencuci tangan dengan baik
Rasional : untuk meminimalkan pajanan pada organisme infektif
d). Gunakan teknik aseptik yang cermat untuk semua prosedur invasive
Rasional : untuk mencegah kontaminasi silang/menurunkan resiko infeksi
e). Evaluasi keadaan anak terhadap tempat-tempat munculnya infeksi seperti
tempat penusukan jarum, ulserasi mukosa, dan masalah gigi
Rasional : untuk intervensi dini penanganan infeksi
f). Inspeksi membran mukosa mulut. Bersihkan mulut dengan baik
Rasional : rongga mulut adalah medium yang baik untuk pertumbuhan
organisme
g). Berikan periode istirahat tanpa gangguan
Rasional : menambah energi untuk penyembuhan dan regenerasi seluler
h). Berikan diet lengkap nutrisi sesuai usia
Rasional : untuk mendukung pertahanan alami tubuh
i) Berikan antibiotik sesuai ketentuan
Rasional : diberikan sebagai profilaktik atau mengobati infeksi khusus

2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan akibat anemia


Tujuan : terjadi peningkatan toleransi aktifitas
Intervensi :
a) Evaluasi laporan kelemahan, perhatikan ketidakmampuan untuk
berpartisipasi dala aktifitas sehari-hari
Rasional : menentukan derajat dan efek ketidakmampuan
b) Berikan lingkungan tenang dan perlu istirahat tanpa gangguan
Rasional : menghemat energi untuk aktifitas dan regenerasi seluler atau
penyambungan jaringan
c) Kaji kemampuan untuk berpartisipasi pada aktifitas yang diinginkan atau
dibutuhkan
Rasional : mengidentifikasi kebutuhan individual dan membantu pemilihan
intervens
d) Berikan bantuan dalam aktifitas sehari-hari dan ambulasi
Rasional : memaksimalkan sediaan energi untuk tugas perawatan diri
3. Nyeri yang berhubungan dengan efek fisiologis dari leukemia
Tujuan : pasien tidak mengalami nyeri atau nyeri menurun sampai tingkat
yang dapat diterima anak
Intervensi :
a. Mengkaji tingkat nyeri dengan skala 0 sampai 5
Rasional : informasi memberikan data dasar untuk mengevaluasi
kebutuhan atau keefektifan intervensi
b. Jika mungkin, gunakan prosedur-prosedur (misal pemantauan suhu non
invasif, alat akses vena
Rasional : untuk meminimalkan rasa tidak aman
c. Evaluasi efektifitas penghilang nyeri dengan derajat kesadaran dan sedasi
Rasional : untuk menentukan kebutuhan perubahan dosis. Waktu pemberian
atau obat
d. Lakukan teknik pengurangan nyeri non farmakologis yang tepat
Rasional : sebagai analgetik tambahan
e. Berikan obat-obat anti nyeri secara teratur
Rasional : untuk mencegah kambuhnya nyeri

4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pemberian agens kemoterapi,


radioterapi, imobilitas
Tujuan : pasien mempertahankan integritas kulit
Intervensi :
a) Berikan perawatan kulit yang cemat, terutama di dalam mulut dan daerah
perianal
Rasional : karena area ini cenderung mengalami ulserasi
b) Ubah posisi dengan sering
Rasional : untuk merangsang sirkulasi dan mencegah tekanan pada kulit
c) Mandikan dengan air hangat dan sabun ringan
Rasional : mempertahankan kebersihan tanpa mengiritasi kulit
d) Kaji kulit yang kering terhadap efek samping terapi kanker
Rasional : efek kemerahan atau kulit kering dan pruritus, ulserasi dapat
terjadi dalam area radiasi pada beberapa agen kemoterapi
e) Anjurkan pasien untuk tidak menggaruk dan menepuk kulit yang kering
Rasional : membantu mencegah friksi atau trauma kulit
f) Dorong masukan kalori protein yang adekuat
Rasional : untuk mencegah keseimbangan nitrogen yang negatif

DAFTAR PUSTAKA

Betz, CL & Sowden, LA. 2002.Buku Saku Keperawatan Pediatri. Edisi 3.


Jakarta : EGC.

Brunner& Suddarth. 2002.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Vol


2. Jakarta : EGC.

ES Jaffe et al.2001.World Health Organization Classification of Tumours.


Lyon, ARC Press,

Fauci, Anthony S.; Kasper, Dennis L. ; Longo, Dan L.; Braunwald,


Eugene;Hauser, Stephen L.; Jameson, J. Larry; Loscalzo, Joseph;. 2008.
Harrison's Principles of Internal Medicine 17th edition. USA: McGraw-hill,

Guyton.1995. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Edisi III. Jakarta :


EGC.

JM Bennett et al: Ann Intern Med 103:620, 1985.

Joyce Engel. 1999. Pengkajian Pediatrik. Edisi 2. Jakarta : EGC.

Kurnianda, Johan. 2007. Leukimia Mieloblastik Akut dalam buku ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan FK UI

Price, S A dan Wilson, L M. 2006.Patofisiologi , Konsep klinis proses-proses


penyakit . Jakarta : EGC, .

Whaleys and Wong. 2001.Clinical Manual of Pediatric Nursing. Edisi 4. USA :


Mosby.

Anda mungkin juga menyukai