Anda di halaman 1dari 11

A.

PENGERTIAN
Leukemia adalah keganasan organ pembuat darah, sehingga sumsum tulang
didominasi oleh limfoblas yang abnormal. Leukemia limfoblastik akut adalah keganasan
yang sering ditemukan pada masa anak-anak (25-30%) dari seluruh keganasan pada
anak), anak laki lebih sering ditemukan dari pada anak perempuan, dan terbanyak pada
anak usia 3-4 tahun. Faktor risiko terjadi leukimia adalah faktor kelainan kromosom,
bahan kimia, radiasi faktor hormonal,infeksi virus (Ribera, 2009).
Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) adalah suatu keganasan pada sel-sel prekursor
limfoid, yakni sel darah yang nantinya akan berdiferensiasi menjadi limfosit T dan
limfosit B. LLA ini banyak terjadi pada anak-anak yakni 75%, sedangkan sisanya terjadi
pada orang dewasa. Lebih dari 80% dari kasus LLA adalah terjadinya keganasan pada sel
T, dan sisanya adalah keganasan pada sel B. Insidennya 1 : 60.000 orang/tahun dan
didominasi oleh anak-anak usia < 15 tahun, dengan insiden tertinggi pada usia 3-5 tahun
(Landier dkk, 2004)

B. ETIOLOGI
Penyebab yang pasti belum diketahui, akan tetapi terdapat faktor predisposisi yang
menyebabkan terjadinya leukemia yaitu :
1. Genetik
a. Keturunan
1) Adanya Penyimpangan Kromosom
Insidensi leukemia meningkat pada penderita kelainan kongenital,
diantaranya pada sindroma Down, sindroma Bloom, Fanconi’s Anemia,
sindroma Wiskott-Aldrich, sindroma Ellis van Creveld, sindroma
Kleinfelter, D-Trisomy sindrome, sindroma von Reckinghausen, dan
neurofibromatosis. Kelainan-kelainan kongenital ini dikaitkan erat dengan
adanya perubahan informasi gen, misal pada kromosom 21 atau C-group
Trisomy, atau pola kromosom yang tidak stabil, seperti pada aneuploidy.
2) Saudara kandung
Dilaporkan adanya resiko leukemia akut yang tinggi pada kembar identik
dimana kasus-kasus leukemia akut terjadi pada tahun pertama kelahiran.
Hal ini berlaku juga pada keluarga dengan insidensi leukemia yang sangat
tinggi.
3) Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan di ketahui dapat menyebabkan kerusakan
kromosom dapatan, misal : radiasi, bahan kimia, dan obat-obatan yang
dihubungkan dengan insiden yang meningkat pada leukemia akut,
khususnya ALL.
4) Virus
Dalam banyak percobaan telah didapatkan fakta bahwa RNA virus
menyebabkan leukemia pada hewan termasuk primata. Penelitian pada
manusia menemukan adanya RNA dependent DNA polimerase pada sel-sel
leukemia tapi tidak ditemukan pada sel-sel normal dan enzim ini berasal
dari virus tipe C yang merupakan virus RNA yang menyebabkan leukemia
pada hewan. (Wiernik, 1985). Salah satu virus yang terbukti dapat
menyebabkan leukemia pada manusia adalah Human T-Cell Leukemia .
Jenis leukemia yang ditimbulkan adalah Acute T- Cell Leukemia.

2. Bahan Kimia dan Obat-obatan


a. Bahan Kimia
Paparan kromis dari bahan kimia (misal : benzen) dihubungkan dengan
peningkatan insidensi leukemia akut, misal pada tukang sepatu yang sering
terpapar benzen. Selain benzen beberapa bahan lain dihubungkan dengan
resiko tinggi dari AML, antara lain : produk – produk minyak, cat , ethylene
oxide, herbisida, pestisida, dan ladang elektromagnetik
b. Obat-obatan
Obat-obatan anti neoplastik (misal : alkilator dan inhibitor topoisomere II)
dapat mengakibatkan penyimpangan kromosom yang menyebabkan AML.
Kloramfenikol, fenilbutazon, dan methoxypsoralen dilaporkan menyebabkan
kegagalan sumsum tulang yang lambat laun menjadi AML
c. Radiasi
Hubungan yang erat antara radiasi dan leukemia (ANLL) ditemukan pada
pasien-pasien anxylosing spondilitis yang mendapat terapi radiasi, dan pada
kasus lain seperti peningkatan insidensi leukemia pada penduduk Jepang yang
selamat dari ledakan bom atom. Peningkatan resiko leukemia ditemui juga
pada pasien yang mendapat terapi radiasi misal : pembesaran thymic, para
pekerja yang terekspos radiasi dan para radiologis .
d. Leukemia Sekunder
Leukemia yang terjadi setelah perawatan atas penyakit malignansi lain
disebut Secondary Acute Leukemia ( SAL ) atau treatment related leukemia.
Termasuk diantaranya penyakit Hodgin, limphoma, myeloma, dan kanker
payudara. Hal ini disebabkan karena obat-obatan yang digunakan termasuk
golongan imunosupresif selain menyebabkan dapat menyebabkan kerusakan
DNA .

C. PATOFISIOLOGI
Komponen sel darah terdiri atas eritrosit atau sel darah merah (RBC) dan
leukosit atau sel darah putih (WBC) serta trombosit atau platelet. Seluruh sel darah
normal diperoleh dari sel batang tunggal yang terdapat pada seluruh sumsum tulang. Sel
batang dapat dibagi ke dalam lymphpoid dan sel batang darah (myeloid), dimana pada
kebalikannya menjadi cikal bakal sel yang terbagi sepanjang jalur tunggal khusus. Proses
ini dikenal sebagai hematopoiesis dan terjadi di dalam sumsum tulang tengkorak, tulang
belakang., panggul, tulang dada, dan pada proximal epifisis pada tulang-tulang yang
panjang.
ALL meningkat dari sel batang lymphoid tungal dengan kematangan lemah dan
pengumpulan sel-sel penyebab kerusakan di dalam sumsum tulang. Biasanya dijumpai
tingkat pengembangan lymphoid yang berbeda dalam sumsum tulang mulai dari yang
sangat mentah hingga hampir menjadi sel normal. Derajat kementahannya merupakan
petunjuk untuk menentukan/meramalkan kelanjutannya. Pada pemeriksaan darah tepi
ditemukan sel muda limfoblas dan biasanya ada leukositosis, kadang-kadang leukopenia
(25%). Jumlah leukosit neutrofil seringkali rendah, demikian pula kadar hemoglobin dan
trombosit. Hasil pemeriksaan sumsum tulang biasanya menunjukkan sel-sel blas yang
dominan. Pematangan limfosit B dimulai dari sel stem pluripoten, kemudian sel stem
limfoid, pre pre-B, early B, sel B intermedia, sel B matang, sel plasmasitoid dan sel
plasma. Limfosit T juga berasal dari sel stem pluripoten, berkembang menjadi sel stem
limfoid, sel timosit imatur, cimmom thymosit, timosit matur, dan menjadi sel limfosit T
helper dan limfosit T supresor.
Peningkatan prosuksi leukosit juga melibatkan tempat-tempat ekstramedular
sehingga anak-anak menderita pembesaran kelenjar limfe dan hepatosplenomegali. Sakit
tulang juga sering dijumpai. Juga timbul serangan pada susunan saraf pusat, yaitu sakit
kepala, muntah-muntah, “seizures” dan gangguan penglihatan.
Sel kanker menghasilkan leukosit yang imatur / abnormal dalam jumlah yang
berlebihan. Leukosit imatur ini menyusup ke berbagai organ, termasuk sumsum tulang
dan menggantikan unsur-unsur sel yang normal. Limfosit imatur berproliferasi dalam
sumsum tulang dan jaringan perifer sehingga mengganggu perkembangan sel normal. Hal
ini menyebabkan haemopoesis normal terhambat, akibatnya terjadi penurunan jumlah
leucosit, sel darah merah dan trombosit. Infiltrasi sel kanker ke berbagai organ
menyebabkan pembersaran hati, limpa, limfodenopati, sakit kepala, muntah, dan nyeri
tulang serta persendian. Penurunan jumlah eritrosit menimbulkan anemia, penurunan
jumlah trombosit mempermudah terjadinya perdarahan (echimosis, perdarahan gusi,
epistaksis dll.). Adanya sel kanker juga mempengaruhi sistem retikuloendotelial yang
dapat menyebabkan gangguan sistem pertahanan tubuh, sehingga mudah mengalami
infeksi. Adanya sel kaker juga mengganggu metabolisme sehingga sel kekurangan
makanan. (Ngastiyah, 1997; Smeltzer & Bare, 2002; Suriadi dan Rita Yuliani, 2001, Betz
& Sowden, 2002).

D. KEMUNGKINAN KOMPLIKASI
1. Perdarahan
Akibat defisiensi trombosit (trombositopenia). Angka trombosit yang rendah ditandai
dengan :
a. Memar (ekimosis)
b. Petchekie (bintik perdarahan kemerahan atau keabuan sebesar ujung jarum
dipermukaan kulit)
c. Perdarahan berat jika angka trombosit < 20.000 mm 3 darah. Demam dan infeksi
dapat memperberat perdarahan
2. Infeksi
Akibat kekurangan granulosit matur dan normal. Meningkat sesuai derajat netropenia
dan disfungsi imun.
3. Pembentukan batu ginjal dan kolik ginjal.
Akibat penghancuran sel besar-besaran saat kemoterapi meningkatkan kadar asam urat
sehingga perlu asupan cairan yang tinggi.
4. Anemia
5. Masalah gastrointestinal.
a. Mual
b. Muntah
c. Anoreksia
d. Diare
e. Lesi mukosa mulut
Terjadi akibat infiltrasi lekosit abnormal ke organ abdominal, selain akibat
kemoterapi.

E. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Leukemia Limfoblastik Akut :
Tujuan pengobatan adalah mencapai kesembuhan total dengan menghancurkan sel-sel
leukemik sehingga sel normal bisa tumbuh kembali di dalam sumsum tulang.
Penderita yang menjalani kemoterapi perlu dirawat di rumah sakit selama beberapa
hari atau beberapa minggu, tergantung kepada respon yang ditunjukkan oleh sumsum
tulang.
Sebelum sumsum tulang kembali berfungsi normal, penderita mungkin memerlukan:
transfusi sel darah merah untuk mengatasi anemia, transfusi trombosit untuk
mengatasi perdarahan, antibiotik untuk mengatasi infeksi. Beberapa kombinasi dari
obat kemoterapi sering digunakan dan dosisnya diulang selama beberapa hari atau
beberapa minggu. Suatu kombinasi terdiri dari prednison per-oral (ditelan) dan dosis
mingguan dari vinkristin dengan antrasiklin atau asparaginase intravena. Untuk
mengatasi sel leukemik di otak, biasanya diberikan suntikan metotreksat langsung ke
dalam cairan spinal dan terapi penyinaran ke otak. Beberapa minggu atau beberapa
bulan setelah pengobatan awal yang intensif untuk menghancurkan sel leukemik,
diberikan pengobatan tambahan (kemoterapi konsolidasi) untuk menghancurkan sisa-
sisa sel leukemik. Pengobatan bisa berlangsung selama 2-3 tahun. Sel-sel leukemik
bisa kembali muncul, seringkali di sumsum tulang, otak atau buah zakar. Pemunculan
kembali sel leukemik di sumsum tulang merupakan masalah yang sangat serius.
Penderita harus kembali menjalani kemoterapi. Pencangkokan sumsum tulang
menjanjikan kesempatan untuk sembuh pada penderita ini. Jika sel leukemik kembali
muncul di otak, maka obat kemoterapi disuntikkan ke dalam cairan spinal sebanyak
1-2 kali/minggu. Pemunculan kembali sel leukemik di buah zakar, biasanya diatasi
dengan kemoterapi dan terapi penyinaran.
2. Pengobatan Leukeumia Limfoblastik Kronik
Berkembang dengan lambat, sehingga banyak penderita yang tidak memerlukan
pengobatan selama bertahun-tahun sampai jumlah limfosit sangat banyak, kelenjar
getah bening membesar atau terjadi penurunan jumlah eritrosit atau trombosit.
Anemia diatasi dengan transfusi darah dan suntikan eritropoietin (obat yang
merangsang pembentukan sel-sel darah merah). Jika jumlah trombosit sangat
menurun, diberikan transfusi trombosit. Infeksi diatasi dengan antibiotik.
Terapi penyinaran digunakan untuk memperkecil ukuran kelenjar getah bening, hati
atau limpa. Obat antikanker saja atau ditambah kortikosteroid diberikan jika jumlah
limfositnya sangat banyak. Prednison dan kortikosteroid lainnya bisa menyebabkan
perbaikan pada penderita leukemia yang sudah menyebar. Tetapi respon ini biasanya
berlangsung singkat dan setelah pemakaian jangka panjang, kortikosteroid
menyebabkan beberapa efek samping. Leukemia sel B diobati dengan alkylating
agent, yang membunuh sel kanker dengan mempengaruhi DNAnya. Leukemia sel
berambut diobati dengan interferon alfa dan pentostatin.

Penatalaksanaan lain :
1. Pelaksanaan Kemoterapi
a. Melalui mulut
b. Dengan suntikan langsung ke pembuluh darah balik (atau intravena)
c. Melalui kateter (tabung kecil yang fleksibel)
d. Dengan suntikan langsung ke cairan cerebrospinal
e. Pengobatan umumnya terjadi secara bertahap, meskipun tidak semua fase
yang digunakan untuk semua orang.
2. Tahap 1 (terapi induksi)
Tujuan dari tahap pertama pengobatan auntuk membunuh sebagian besar sel-sel
leukemia di dalam darah dan sumsum tulang. Terapi induksi kemoterapi biasanya
memerlukan perawatan di rumah sakit yang panjang karena obat menghancurkan
banyak sel darah normal dalam proses membunuh sel leukemia. Pada tahap ini
dengan memberikan kemoterapi kombinasi yaitu daunorubisin, vincristin,
prednison dan asparaginase.
3. Tahap 2 (terapi konsolidasi/ intensifikasi)
Setelah mencapai remisi komplit, segera dilakukan terapi intensifikasi yang
bertujuan untuk mengeliminasi sel leukemia residual untuk mencegah relaps dan
juga timbulnya sel yang resisten terhadap obat. Terapi ini dilakukan setelah 6
bulan kemudian.
4. Tahap 3 ( profilaksis SSP)
Profilaksis SSP diberikan untuk mencegah kekambuhan pada SSP. Perawatan
yang digunakan dalam tahap ini sering diberikan pada dosis yang lebih rendah.
Pada tahap ini menggunakan obat kemoterapi yang berbeda, kadang-kadang
dikombinasikan dengan terapi radiasi, untuk mencegah leukemia memasuki otak
dan sistem saraf pusat.
5. Tahap 4 (pemeliharaan jangka panjang)
Pada tahap ini dimaksudkan untuk mempertahankan masa remisi. Tahap ini
biasanya memerlukan waktu 2-3 tahun. Angka harapan hidup yang membaik
dengan pengobatan sangat dramatis. Tidak hanya 95% anak dapat mencapai
remisi penuh, tetapi 60% menjadi sembuh. Sekitar 80% orang dewasa mencapai
remisi lengkap dan sepertiganya mengalami harapan hidup jangka panjang, yang
dicapai dengan kemoterapi agresif yang diarahkan pada sumsum tulang dan SSP.
6. Terapi Biologi
Orang dengan jenis penyakit leukemia tertentu menjalani terapi biologi untuk
meningkatkan daya tahan alami tubuh terhadap kanker. Terapi ini diberikan
melalui suntikan di dalam pembuluh darah balik. Bagi pasien dengan leukemia
limfositik kronis, jenis terapi biologi yang digunakan adalah antibodi monoklonal
yang akan mengikatkan diri pada sel-sel leukemia. Terapi ini memungkinkan
sistem kekebalan untuk membunuh sel-sel leukemia di dalam darah dan sumsum
tulang. Bagi penderita dengan leukemia myeloid kronis, terapi biologi yang
digunakan adalah bahan alami bernama interferon untuk memperlambat
pertumbuhan sel-sel leukemia.
7. Terapi Radiasi
Terapi Radiasi (juga disebut sebagai radioterapi) menggunakan sinar berenergi
tinggi untuk membunuh sel-sel leukemia. Bagi sebagian besar pasien, sebuah
mesin yang besar akan mengarahkan radiasi pada limpa, otak, atau bagian lain
dalam tubuh tempat menumpuknya sel-sel leukemia ini. Beberapa pasien
mendapatkan radiasi yang diarahkan ke seluruh tubuh. (radiasi seluruh tubuh
biasanya diberikan sebelum transplantasi sumsum tulang.)
8. Transplantasi Sel Induk (Stem Cell)
Beberapa pasien leukemia menjalani transplantasi sel induk (stem cell).
Transplantasi sel induk memungkinkan pasien diobati dengan dosis obat yang
tinggi, radiasi, atau keduanya. Dosis tinggi ini akan menghancurkan sel-sel
leukemia sekaligus sel-sel darah normal dalam sumsum tulang. Kemudian, pasien
akan mendapatkan sel-sel induk (stem cell) yang sehat melalui tabung fleksibel
yang dipasang di pembuluh darah balik besar di daerah dada atau leher. Sel-sel
darah yang baru akan tumbuh dari sel-sel induk (stem cell) hasil transplantasi ini.
Setelah transplantasi sel induk (stem cell), pasien biasanya harus menginap di
rumah sakit selama beberapa minggu. Tim kesehatan akan melindungi pasien dari
infeksi sampai sel-sel induk (stem cell) hasil transplantasi mulai menghasilkan
sel-sel darah putih dalam jumlah yang memadai.
9. Transfusi darah, biasanya diberikan bila kadar Hb kurang dari 6 g%. Pada
trombositopenia yang berat dan perdarahan masif, dapat diberikan transfusi
trombosit dan bila terdapat tanda-tanda DIC dapat diberikan heparin.
10. Kortikosteroid
11. Sitostatika.
12. Infeksi sekunder dihindarkan (bila mungkin penderita diisolasi dalam kamar yang
suci hama).
13. Imunoterapi, merupakan cara pengobatan yang terbaru. Setelah tercapai remisi
dan jumlah sel leukemia cukup rendah (10 5 - 106), imunoterapi mulai diberikan.
Pengobatan yang aspesifik dilakukan dengan pemberian imunisasi BCG atau
dengan Corynae bacterium dan dimaksudkan agar terbentuk antibodi yang dapat
memperkuat daya tahan tubuh. Pengobatan spesifik dikerjakan dengan penyunti-
kan sel leukemia yang telah diradiasi. Dengan cara ini diharapkan akan terbentuk
antibodi yang spesifik terhadap sel leukemia, sehingga semua sel patologis akan
dihancurkan sehingga diharapkan penderita leukemia dapat sembuh sempurna.
F. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

NO DIAGNOSA NOC NIC


KEPERAWATAN
1. Resiko Infeksi (NANDA Kontrol Risiko: Proses Infeksi Perlindungan Infeksi (NIC. 6550)
D.11 00004) (NOC. 1924)  Monitor adanya tanda dan
Rentan pada invasi dan Tindakan individu untuk mengerti, gejala infeksi sistemik dan
multiplikasi organisme mencegah, mengeliminasi atau lokal
patogenik yang dapat mengurangi ancaman terkena infeksi  Monitor kerentanan terhadap
mengganggu kesehatan Indikator A T infeksi
Mengidentifikasi risiko 2 3  Batasi jumlah pengunjung
infeksi  Pertahankan asepsis untuk
Mengenali faktor-faktor 2 3 pasien berisiko
risiko individu terkait  Tingkatkan asupan nutrisi
infeksi yang cukup
Mempertahankan 2 3  Jaga penggunaan antibiotik
lingkungan yang bersih dengan bijaksana
Menggunakan alat 2 3  Ajarkan pasien dan keluarga
pelindung diri pasien mengenai perbedaan
Mencuci tangan 2 4 antara infeksi-infeksi virus dan
Memonitor perubahan 2 4 bakteri
status kesehatan  Ajarkan pasien dan keluarga
Melakukan imunisasi 2 3 pasien mengenai tanda dan
yang direkomendasikan gejala infeksi dan kapan harus
Menggunakan fasilitas 2 4 melaporkan kepada pemberi
kesehatan yang sesuai layanan kesehatan
dengan kebutuhan  Berikan ruang pribadi, yang
Keterangan: diperlukan
1: tidak pernah menunjukkan
2: jarang menunjukkan
3: kadang-kadang menunjukkan
4: sering menunjukkan
5: secara konsisten menunjukkan

2 Penurunan toleransi Toleransi Terhadap Aktivitas Terapi Akivitas (NIC. 4310)


aktivitas (NANDA D.4 (NOC. 0005)  Pertimbangkan kemampuan
00298) Respon biologis terhadap pergerakan klien dalam berpartisipasi
Ketidakcukupan ketahanan yang memerlukan energi dalam melalui aktivitas spesifik
untuk menyelesaikan aktivitas sehari-hari  Bantu klien untuk fokus pada
aktivitas hidup sehari-hari Indikator A T kekuatan (yang dimilikinya)
yang dibutuhkan atau Toleransi berjalan 2 3 dibandngkan dengan
diinginkan Kekuatan tubuh bagian 2 3 kelemahan (yang dimilikinya).
atas  Bantu klien mengidentifikasi
Kekuatan tubuh bagian 2 3 aktivitas yang diinginkan
bawah  Bantu klien dan keluarga
Kemudahan dalam 2 3 mengidentifikasi kelemahan
melakukan aktivitas dalam level aktivitas tertentu
hidup harian (Activity of  Sarankan metode- metode
Daily Living/ADL) untuk meningkatkan aktivitas
Keterangan: fisik yang tepat
1: menurun  Berikan kesempatan keluarga
2: cukup menurun untuk terlibat dalam aktivitas,
3: sedang dengan cara yang tepat
4: cukup meningkat  Bantu klien meningkatkan
5: meningkat motivasi diri dan penguatan
 Bantu klien dan keluarga
memantau perkembangan
klien terhadap pencapaian
tujuan (yang diharapkan)
3 Mual (D.12 00134) Keparahan Mual dan Muntah Manajemen Mual (NIC. 1450)
Suatu fenomena subjektif (NOC. 2107)  Lakukan penilaian lengkap
tentang rasa tidak nyaman Keparahan dari tanda dan gejala terhadap mual, termasuk
pada bagian belakang mual terdengar suara akan muntah frekuensi, durasi, tingkat
tenggorok dan lambung yang Indikator A T keparahan, dan faktor pencetus
dapat atau tidak Frekuensi mual 2 3  Evaluasi dampak dari
mengakibatkan muntah Intensitas mual 2 3 pengalaman mual pada
Frekuensi muntah 2 3 kualitas hidup (misal, nafsu
Intensitas muntah 2 3 makan, aktivitas, tidur)
Kehilangan berat badan 2 3  Identifikasi faktor-faktor yang
dapat menyebabkan atau
Keterangan: berkontribusi terhadap mual
1: berat (misalnya, obat-obatan dan
2: cukup berat prosedur)
3: sedang  Pastikan obat antiemetik yang
4: ringan efektif diberikan untuk
5: tidak ada mencegah mual
blamemungkinkan (kecuali
untuk mual yang berhubungan
dengan kehamilan)
 Ajari penggunaan teknik
nonfarmakologi (misalnya,
biofeedback, hipnosis,
relaksasi, imajinasi
terbimbing, terapi musik,
distraksi, akupresur) untuk
mengatasi mual
 Dorong penggunaan teknik
nonfarmakologi sebelu mual
meningkat atau terjadi,
ssebelum, selama, dan setelah
kemoterapi bersama dengan
tindakan pengendalian mual
lainnya.
 Informasikan keluarga strategi
nonfarmakologi yang
digunakan oleh [pasien] yang
mual.

G. DAFTAR ISI

Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K, dan Siti Setiati. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta Pusat : Interna Publishing.
Butcher, H. K., Bulechek, G. M., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2018). Nursing Interventions Classification (NIC) 7th
Edition. Indonesia: Mocomedia.
Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2021). Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2018-2020 11th Edition. Indonesia:
EGC.
Moorhead, S., Swanson, E., & Maas, M. J. (2018). Nursing Outcome Classification (NOC) ^th Edition. Indonesia: Mocomedia.
Robbins dan Kumar. 1995. Buku Ajar Patologi 1. Jakarta : Buku Kedokteran.
Yatim, Faisal. 2003. Talasemia Leukemia dan Anemia. Jakarta : Pustaka Populer Obor.

Anda mungkin juga menyukai