Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

DAN ASUHAN KEPERAWATAN TEORI


PADA KASUS ABSES

Disusun Oleh :
Niswatun Hasanah
(P27820716001)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURABAYA


JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI DIV KEPERAWATAN KAMPUS SURABAYA

2020
1. LAPORAN PENDAHULUAN ABSES

1.1. Definisi 

Abses (Latin: abscessus) merupakan kumpulan nanah (netrofil


yang telah mati) yang terakumulasi di sebuah kavitas jaringan karena
adanya proses infeksi (biasanya oleh bakteri atau parasit) atau karena
adanya benda asing (misalnya serpihan, luka peluru, atau jarum
suntik). Proses ini merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan untuk
mencegah penyebaran/perluasan infeksi ke bagian tubuh yang lain.
Abses adalah infeksi kulit dan subkutis dengan gejala berupa kantong
berisi nanah. (Siregar, 2004).
Abses adalah peradangan purulenta yang juga melebur ke dalam suatu rongga
(rongga Abses) yang sebelumnya tidak ada, berbatas tegas (Rassner et al, 1995:
257). Menurut Smeltzer, S.C et al (2001: 496). Abses adalah infeksi bakteri
setempat yang ditandai dengan pengumpulan pus (bakteri, jaringan nekrotik dan
SDP). Sedangkan menurut EGC (1995: 5) Abses adalah kumpulan nanah
setempat dalam rongga yang terbentuk akibat kerusakan jaringan.

Abses adalah pengumpulan nanah yang terlokalisir sebagai akibat


dari infeksi yang melibatkan organisme piogenik, nanah merupakan
suatu campuran dari jaringan nekrotik, bakteri, dan sel darah putih
yang sudah mati yang dicairkan oleh enzim autolitik. (Morison, 2003).

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa abses adalah


terbentuknya kantong berisi nanah pada jaringan kutis dan subkutis
akibat infeksi kulit yang disebabkan oleh bakteri/parasit atau karena
adanya benda asing.
1.2. Etiologi 
Underwood, J.C.E (1999: 232) mengemukakan penyebab Abses antara

lain:

1. Infeksi mikrobial

Salah satu penyebab yang paling sering ditemukan pada proses radang ialah

infeksi mikrobial. Virus menyebabkan kematian sel dengan cara multiplikasi

intraseluler. Bakteri melepaskan eksotoksin yang spesifik yaitu suatu sintesis

kimiawi yang secara spesifik mengawali proses radang atau melepaskan

endotoksin yang ada hubungannya dengan dinding sel.

2. Reaksi hipersentivitas

Reaksi hipersentivitas terjadi bila perubahan kondisi respons imunologi

mengakibatkan tidak sesuainya atau berlebihannya reaksi imun yang akan

merusak jaringan.

3. Agen fisik

Kerusakan jaringan yang terjadi pada proses radang dapat melalui trauma

fisik, ultraviolet atau radiasi ion, terbakar atau dingin yang berlebih (frosbite).

4. Bahan kimia iritan dan korosif

Bahan kimiawi yang menyebabkan korosif (bahan oksidan, asam, basa) akan

merusak jaringan yang kemudian akan memprovokasi terjadinya proses

radang. Disamping itu, agen penyebab infeksi dapat melepaskan bahan

kimiawi spesifik yang mengiritasi dan langsung mengakibatkan radang.

5. Nekrosis jaringan

Aliran darah yang tidak mencukupi akan menyebabkan berkurangnya

pasokan oksigen dan makanan pada daerah bersangkutan, yang akan

mengakibatkan terjadinya kematian jaringan, kematian jaringan sendiri

merupakan stimulus yang kuat untuk terjadinya infeksi. Pada tepi daerah

infark sering memperlihatkan suatu respons, radang akut.

1.3. Manifestasi Klinis 


Smeltzer, S.C et al (2001: 496) mengemukakan bahwa pada Abses terjadi

nyeri tekan. Sedangkan Lewis, S.M et al (2000: 1187) mengemukakan bahwa

manifestasi klinis pada Abses meliputi nyeri lokal, bengkak dan kenaikan suhu

tubuh. Leukositosis juga terjadi pada Abses (Lewis, S.M et al, 2000: 589).

Sedangkan tanda-tanda infeksi meliputi kemerahan, bengkak, terlihat jelas (lebih

dari 2,5 cm dari letak insisi), nyeri tekan, kehangatan meningkat disekitar luka,

warna merah jelas pada kulit disekitar luka, pus atau rabas, bau menusuk,

menggigil atau demam (lebih dari 37,7oC/100oF) (Smeltzer, S.C et al, 2001: 497).

1.4. Patofisiologi
Sjamsuhidajat et al (1998: 5) mengemukakan bahwa kuman penyakit yang

masuk ke dalam tubuh akan menyebabkan kerusakan jaringan dengan cara

mengeluarkan toksin. Underwood, J.C.E (1999: 232) menjelaskan bahwa bakteri

melepaskan eksotoksin yang spesifik yaitu suatu sintesis, kimiawi yang secara

spesifik mengawali proses radang atau melepaskan endotoksin yang ada

hubungannya dengan dinding sel. Reaksi hipersensitivitas terjadi bila perubahan

kondisi respons imunologi mengakibatkan tidak sesuainya atau berlebihannya

reaksi imun yang akan merusak jaringan. Sedangkan agen fisik dan bahan

kimiawi yang iritan dan korosif akan menyebabkan kerusakan jaringan. Kematian

jaringan merupakan stimulus yang kuat untuk terjadi infeksi.

Price, S.A et al (1995: 36) mengemukakan bahwa infeksi hanya

merupakan salah satu penyebab dari peradangan. Pada peradangan, kemerahan

merupakan tanda pertama yang terlihat pada daerah yang mengalami peradangan

akibat dilatasi arteriol yang mensuplai daerah tersebut akan meningkatkan aliran

darah ke mikrosirkulasi lokal. Kalor atau panas terjadi bersamaan dengan

kemerahan. Peningkatan suhu bersifat lokal. Namun Underwood, J.C.E (1999:

246) mengemukakan bahwa peningkatan suhu dapat terjadi secara sistemik akibat

endogen pirogen yang dihasilkan makrofag mempengaruhi termoregulasi pada

temperatur lebih tinggi sehingga produksi panas meningkat dan terjadi hipertermi

(Guyton, A.C, 1995: 647-648).


Underwood, J.C.E (1999: 234-235) mengemukakan bahwa pada

peradangan terjadi perubahan diameter pembuluh darah sehingga darah mengalir

ke seluruh kapiler, kemudian aliran darah mulai perlahan lagi, sel-sel darah mulai

mengalir mendekati dinding pembuluh darah di daerah zona plasmatik. Keadaan

ini memungkinkan leukosit menempel pada epitel, sebagai langkah awal

terjadinya emigrasi leukosit ke dalam ruang ektravaskuler. Lambatnya aliran

darah yang menikuti fase hiperemia menyebabkan meningkatnya permeabilitas

vaskuler, mengakibatkan keluarnya plasma untuk masuk ke dalam jaringan,

sedangkan sel darah tertinggal dalam pembuluh darah akibat peningkatan tekanan

hidrostatik dan penurunan tekanan osmotik sehingga terjadi akumulasi cairan

didalam rongga ektravaskuler yang merupakan bagian dari cairan eksudat yaitu

edema. Regangan dan distorsi jaringan akibat edema dan tekanan pus dalam

rongga Abses menyebabkan rasa sakit. Beberapa mediator kimiawi pada radang

akut termasuk bradikinin, prostaglandin dan serotonin akan merangsang dan

merusakkan ujung saraf nyeri sehingga menurunkan ambang stimulus terhadap

reseptor mekanosensitif dan termosensitif sehingga menimbulkan nyeri. Adanya

edema akan menyebabkan berkurangnya gerak jaringan sehingga mengalami

penurunan fungsi tubuh yang menyebabkan terganggunya mobilitas.


Sjamsuhidajat et al (1998: 6-7) menjelaskan bahwa inflamasi terus terjadi

selama masih ada pengrusakan jaringan. Bila penyebab kerusakan jaringan bisa

diberantas maka debris akan di fagositosis dan dibuang oleh tubuh sampai terjadi

resolusi dan kesembuhan. Bila trauma berlebihan, reaksi sel fagosit kadang

berlebihan sehingga debris yang berlebihan terkumpul dalam suatu rongga

membentuk Abses atau bertumpuk di sel jaringan tubuh yang lain membentuk

flegmon. Trauma yang hebat, berlebihan, dan terus menerus menimbulkan reaksi

tubuh yang juga berlebihan berupa fagositosis debris yang diikuti dengan

pembentukan jaringan granulasi vaskuler untuk mengganti jaringan yang rusak.

Fase ini disebut fase organisasi. Bila dalam fase ini pengrusakan jaringan

berhenti akan terjadi fase penyembuhan melalui pembentukan jaringan granulasi

fibrosa. Tetapi bila pengrusakan jaringan berlangsung terus, akan terjadi fase

inflamasi kronik yang akan sembuh bila rangsang yang merusak hilang. Abses

yang tidak diobati akan pecah dan mengeluarkan pus kekuningan (FKUI, 1989:

21) sehingga terjadi kerusakan integritas kulit. Sedangkan Abses yang di insisi

dapat meningkatkan risiko penyebaran infeksi (Brown, J.S, 1995: 94).

1.5. Pemeriksaan penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium : Peningkatan jumlah sel darah putih.

b. Untuk menentukan ukuran dan lokasi abses dilakukan


pemeriksaan rontgen, USG, CT Scan, atau MRI.
1.6. Komplikasi

Komplikasi mayor dari abses adalah penyebaran abses ke jaringan


sekitar atau jaringan yang jauh dan kematian jaringan setempat yang
ekstensif (gangren). Pada sebagian besar bagian tubuh, abses jarang
dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga tindakan medis secepatnya
diindikasikan ketika terdapat kecurigaan akan adanya abses. Suatu
abses dapat menimbulkan konsekuensi yang fatal. Meskipun jarang,
apabila abses tersebut mendesak struktur yang vital, misalnya abses
leher dalam yang dapat menekan trakea (Siregar, 2004).
1.7. Penatalaksanaan medis
Suatu abses harus diamati dengan teliti untuk mengidentifikasi
penyebabnya, terutama apabila disebabkan oleh benda asing, karena
benda asing tersebut harus diambil. Apabila tidak disebabkan oleh
benda asing, biasanya hanya perlu dipotong dan diambil absesnya,
bersamaan dengan pemberian obat analgetik dan antibiotik.
Drainase abses dengan menggunakan pembedahan diindikasikan
apabila abses telah berkembang dari peradangan serosa yang keras
menjadi tahap nanah yang lebih lunak. Drain dibuat dengan tujuan
mengeluarkan cairan abses yang senantiasa diproduksi bakteri.
Apabila menimbulkan risiko tinggi, misalnya pada area-area yang
kritis, tindakan pembedahan dapat ditunda atau dikerjakan sebagai
tindakan terakhir yang perlu dilakukan. Memberikan kompres hangat
dan meninggikan posisi anggota gerak dapat dilakukan untuk
membantu penanganan abses kulit.

Pada abses retrofaring klien diposisikan head down. Efek posisi


head down atau Trendelenburg yang paling nyata pada sistem
respirasi adalah adanya intervensi mekanik pada gerakan dada dan
pembatasan ekspansi paru. Dengan kepala dan dada yang berada pada
tingkat yang lebih rendah dari abdomen, maka berat organ viscera
abdomen akan mengganggu pergerakan diafragma dan mengurangi
volume paru. Komplikasi posisi head-down antara lain regurgutasi
atau muntah, aspirasi isi lambung, dan peningkatan tekanan vena
serebral dan tekanan intraokuler serta tekanan intrakranial.
1.8. Patofisiologi pathway

Infeksi Reaksi Agen fisik Kimiawi Nekrosis jaringan:


mikrobial hipersensitivitas infark iskemik

Endotoksin Eksotoksin

Inflamasi

Perubahan pembuluh darah Polimorf dan makrofag

Peningkatan aliran darah


Merangsang sintesa dan pelepasan zat pirogen

Peningkatan permeabilitas Mempengaruhi pusat


vaskuler thermoregulator di hipotalamus
(titik setel termostat di hipotalamus
Peningkatan tekanan Dilatasi pembuluh darah meningkat)
hidrostatik dan penurunan
tekanan osmotik
Mengalir ke Peningkatan produksi panas
mikrosirkulasi lokal
Edema
hipertermi
Hiperemia
Berkurangnya
gerak jaringan
Rubor

Bengkak (tumor)

Resolusi Pus tertimbun dalam jaringan


Fungsiolaesa
Tertimbunnya mediator
Pus dikelilingi membran
Gangguan kimiawi (bradikinin,
piogenik
mobilitas fisik prostaglandin, serotinin

Abses pada retrofaring


Regangan dan
distrosi jaringan Merangsang dan
merusakkan ujung saraf Obstruksi jalan napas
Dolor nyeri
Pemasangan endo trakeal tube
Nyeri
Menstimulasi produksi
Menurunkan ambang sekret
stimulus resptor
mekanosensitif dan Produksi sekret berlebih
termosensitif
Bersihan jalan napas tidak
efektif

Tindakan pembedahan
Gangguan komunikasi
verbal
Luka insisis

Respon inflamasi Nyeri akut Port di entry terbuka

Suhu tubuh naik


Risiko infeksi

Hipertermia
2. ASUHAN KEPERAWATAN TEORI PADA KASUS ABSES

2.1. Pengkajian keperawatan pada kasus abses


2.1.1. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama
Nyeri, panas, bengkak, dan kemerahan pada area abses.
2) Riwayat kesehatan sekarang
(1) Abses dikulit atau dibawah kulit sangat mudah dikenali,
sedangkan abses dalam seringkali sulit ditemukan.
(2) Riwayat trauma
(3) Riwayat infeksi (suhu tinggi) sebelumnya yang secara cepat
menunjukkan rasa sakit diikuti adanya eksudat tetapi tidak bisa
dikeluarkan.
3) Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat penyakit menular dan kronis, seperti TBC dan diabetes
mellitus.
2.1.2. Pemeriksaan fisik
1) B1 (Breathing)
Dalam batas normal.
2) B2 (Blood)
Dalam batas normal.
3) B3 (Brain)
Suhu tubuh diatas normal (normal).
4) B4 (Bladder)
Dalam batas normal.
5) B5 (Bowel)
Dalam batas normal.
6) B6 (Bone)
Edema dan kemerahan pada daerah abses.

2.2. Diagnosis keperawatan pada kasus abses


2.2.1. Nyeri akut berhubungan dengan luka insisi ditandai dengan adanya
keluhan nyeri
2.2.2. Hipertermi berhubungan dengan peradangan ditandai dengan suhu
tubuh diatas normal
2.2.3. Risiko infeksi berhubungan dengan luka insisi
2.3. Perencanaan keperawatan pada kasus abses
2.3.1. Diagnosis keperawatan : Nyeri akut berhubungan dengan luka insisi
ditandai dengan adanya keluhan nyeri
Kriteria hasil :
1) Keluhan nyeri menurun
2) Meringis menurun
3) Sikap protektif menurun
4) Gelisah menurun
5) Kesulitan tidur menurun
6) Frekuensi nadi membaik
Tindakan:
Observasi
1) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
nyeri.
2) Identifikasi skala nyeri
3) Identifikasi respons verbal dan nonverbal
4) Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
5) Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
6) Monitor efek samping penggunaan analgesik
Terapeutik
1) Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
2) Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
3) Fasilitasi istirahat dan tidur
Edukasi
1) Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
2) Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurani nyeri
Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian analgetik, bila perlu
2.3.2. Diagnosis keperawatan : Hipertermi berhubungan dengan peradangan
ditandai dengan suhu tubuh diatas normal
Kriteria hasil :
1) Menggigil menurun
2) Suhu tubuh membaik
3) Suhu kulit membaik
Tindakan:
Observasi
1) Identifikasi penyebab hipertermia
2) Monitor suhu tubuh
3) Monitor kadar elektrolit
4) Monitor haluaran urine
5) Monitor komplikasi hipertermia
Terapeutik
1) Sediakan lingkungan yang dingin
2) Longgarkan atau lepaskan pakaian
3) Berikan cairan oral
4) Lakukan pendinginan eksternal (kompres)
5) Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
1) Anjurkan tirah baring
Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit intravena, jika perlu

2.3.3. Diagnosis keperawatan : Risiko infeksi berhubungan dengan luka


insisi
Kriteria hasil :
1) Demam menurun
2) Kemerahan menurun
3) Nyeri menurun
4) Bengkak menurun
5) Kadar sel darah putih membaik
Tindakan:
Observasi
1) Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik
Terapeutik
1) Batasi jumlah pengunjung
2) Berikan perawatan kulit pada area edema
3) Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan
lingkungan pasien
4) Pertahankan teknik aseptik pada pasien berisiko tinggi
Edukasi
1) Jelaskan tanda dan gejala infeksi
2) Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA

PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus


Pusat PPNI
PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus
Pusat PPNI
PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus
Pusat PPNI
Sudoyo, Aru W., et al. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai