Author
verry
Thursday, 31 March 2011 07:14
Category
Artikel
Read
1261 x
FacebookTwitterDiggStumbleuponDelicious
Pemeriksaan ferritin tidak dapat dipisahkan dengan pemeriksaan hematologi rutin agar
dapat memberikan informasi diagnostik lebih baik. Jika ditemukan keadaan anemia
mikrositik dan hipokromik, maka pemeriksaan ferritin dapat digunakan untuk
membedakan anemia yang disebabkan thalassemia atau infeksi kronik dan anemia yang
disebabkan tumor dan lain-lain.
Darah adalah cairan berwarna merah yang terdapat pada semua makhluk hidup (kecuali
tumbuhan) tingkat tinggi.
Fungsi darah :
- transportasi (sari makanan, oksigen, karbondioksida, sampah dan air)
- termoregulasi (pengatur suhu tubuh)
- imunologi (pertahanan tubuh terhadap virus atau bakteri)
- homeostasis (mengatur keseimbangan zat, pengatur pH tubuh)
Sel darah :
1. Sel darah merah (eritrosit)
Mengangkut oksigen dan karbondioksida.
2. Sel darah putih (leukosit)
Pertahanan tubuh terhadap virus dan bakteri.
3. Platelet (trombosit)
Berperan aktif pada pembekuan darah (koagulasi) dan menghentikan perdarahan
(hemostasis)
a. Eritrosit : mengetahui kelainan sel darah merah yang berfungsi sebagai alat transport
utama untuk membawa oksigen
Ferritin
Ferritin adalah cadangan besi dalam tubuh. Zat besi menjadi sangat penting dalam
kualitas manusia karena setiap pertumbuhan sel manusia membutuhkan keberadaan zat
besi ini.
Faktor risiko :
- seseorang yang mempunyai gejala anemia
- wanita hamil, karena mayoritas secara fisiologis mereka mengalami defisiensi zat besi
- anak-anak, prevalensi anemia defisiensi besi di Indonesia tinggi terutama pada anak-
anak
- pasien transfusi darah rutin, untuk mengetahui risiko kelebihan zat besi yang dapat
menumpuk dalam tubuh
Bagi para pasien baru yang menjalani hemodialisa atau proses cuci darah,
banyak yang masih bertanya-tanyadan bingung mengapa sering terjadi bahwa
kadar hemoglobin dalam darah para pasien dalam hitungan minggu atau bulan
tiba-tiba “drop” dan berada dalam kondisi anemia.
Anemia sendiri adalah suatu kondisi dimana tubuh tidak memproduksi sel darah
merah dalam kadar yang cukup. Hal ini dapat dinilai dari kadar hemoglobin atau
sel darah merah pasein yang berada dalam nilai dibawah normal melalui
pemeriksaan laboratorium dengan mengambil sampel darah. Hemoglobin adalah
suatu protein yang mengikat oksigen dan mengangkutnya dari paru-paru
keseluruh tubuh. Nilai normal untuk Hb secara umum adalah dalam kisaran
11.5s/d 17 gram/dl. Bila kadar Hb berkurang karena menurunnya sel darah
merah maka akan timbul gejala-gejala anemia seperti :
- Pucat, lemas, rasa mengantuk
- Pusing berkunang-kunang
- Berdebar-debar
- Sesak nafas
- Kesemutan
- Tidak dapat mentoleransi dingin
- Berkurang kemampuan beraktifitas
- Gangguan fungsi seksual
- Gejala pada jantung seperti ampek, sesak, hingga bisa berakibat gagal jantung
Anemia pada penyakit ginjal kronis disebabkan oleh beberapa hal diantaranya
adanya penurunan fungsi hormon eritropoeitin akibat kerusakan ginjal,
perdarahan hebat, kekurangan zat besi, umur sel darah merah yang pendek,
kekurangan asamfolat, dan kekurangan Vit. B12 serta adanya penekanan fungsi
sumsum tulang.
Salah satu fungsi ginjal adalah menghasilkan hormon eritropoeitin yang berguna
untuk memproduksi sel-sel darah merah dan menjaga keseimbangan kadar
oksigen dalam darah. Pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal maka
produksi hormon eritropoeitin ini menjadi berkurang, selain itu juga terjadi
gangguan fungsi sumsum tulang yang mempengaruhi produksi sel-sel darah
merah sehingga terjadi anemia. Pengobatan yang dilakukan untuk anemia pada
penyakit ginjal kronis bisa dengan beberapa cara :
Namun padapenyakit ginjal kronis respon produksi EPO akibat anemia sedikit
sekali, dan pembentukan sel darah merah menjadi terhambat. Sehingga
penyebab tersering dari anemia pada PGK adalah kekurangan EPO di dalam
tubuh. Di samping faktor-faktorlain yang sudah disebutkan sebelumnya. Bila
EPO kurang dengan demikian terapinya adalah pemberian EPO dari luar atau
suntikan EPO. Injeksi EPO ini diberikan secara SC ( subcutan) setelah session
HD berakhir, dibawah pengawasan dokter dengan tetap memperhatikan kondisi
hemodiamik pasien yaitu tekanan darah dan keadaan umum haruslah
stabil. Dengan pemberian EPO diharapkan dapat meningkatkan Hb dalam batas
normal yang berarti meminimalkan terjadinya kondisi anemia dan meningkatkan
kualitas hidup bagi pasien PGK.
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
(HPLC)
Ditulis oleh Jim Clark pada 06-10-2007
HPLC adalah alat yang sangat bermanfaat dalam analisis. Bagian ini menjelaskan
bagaimana pelaksanaan dan penggunaan serta prinsip HPLC yang sama dengan
kromatografi lapis tipis dan kromatografi kolom.
Pelaksanaan HPLC
Pengantar
HPLC memperbolehkan penggunaan partikel yang berukuran sangat kecil untuk material
terpadatkan dalam kolom yang mana akan memberi luas permukaan yang lebih besar
berinteraksi antara fase diam dan molekul-molekul yang melintasinya. Hal ini
memungkinkan pemisahan yang lebih baik dari komponen-komponen dalam campuran.
Membingungkan, ada dua perbedaan dalam HPLC, yang mana tergantung pada polaritas
relatif dari pelarut dan fase diam.
Ini secara esensial sama dengan apa yang sudah anda baca tentang kromatografi lapis
tipis atau kromatografi kolom. Meskipun disebut sebagai “normalâ€, ini bukan
merupakan bentuk yang biasa dari HPLC.
Kolom diisi dengan partikel silika yang sangat kecil dan pelarut non polar misalnya
heksan. Sebuah kolom sederhana memiliki diameter internal 4.6 mm (dan mungkin
kurang dari nilai ini) dengan panjang 150 sampai 250 mm.
Senyawa-senyawa polar dalam campuran melalui kolom akan melekat lebih lama pada
silika yang polar dibanding degan senyawa-senyawa non polar. Oleh karena itu, senyawa
yang non polar kemudian akan lebih cepat melewati kolom.
Dalam kasus ini, akan terdapat atraksi yang kuat antara pelarut polar dan molekul polar
dalam campuran yang melalui kolom. Atraksi yang terjadi tidak akan sekuat atraksi
antara rantai-rantai hidrokarbon yang berlekatan pada silika (fase diam) dan molekul-
molekul polar dalam larutan. Oleh karena itu, molekul-molekul polar dalam campuran
akan menghabiskan waktunya untuk bergerak bersama dengan pelarut.
Senyawa-senyawa non polar dalam campuran akan cenderung membentuk atraksi dengan
gugus hidrokarbon karena adanya dispersi gaya van der Waals. Senyawa-senyawa ini
juga akan kurang larut dalam pelarut karena membutuhkan pemutusan ikatan hydrogen
sebagaimana halnya senyawa-senyawa tersebut berada dalam molekul-molekul air atau
metanol misalnya. Oleh karenanya, senyawa-senyawa ini akan menghabiskan waktu
dalam larutan dan akan bergerak lambat dalam kolom.
Ini berarti bahwa molekul-molekul polar akan bergerak lebih cepat melalui kolom.
Fase balik HPLC adalah bentuk yang biasa digunakan dalam HPLC.Melihat seluruh
proses
Injeksi sampel
Injeksi sample seluruhnya otomatis dan anda tidak akan mengharapkan bagaimana
mengetahui apa yang terjadi pada tingkat dasar. Karena proses ini meliputi tekanan, tidak
sama halnya dengan kromatografi gas (jika anda telah mempelajarinya).
Waktu retensi
Waktu yang dibutuhkan oleh senyawa untuk bergerak melalui kolom menuju detektor
disebut sebagai waktu retensi. Waktu retensi diukur berdasarkan waktu dimana sampel
diinjeksikan sampai sampel menunjukkan ketinggian puncak yang maksimum dari
senyawa itu.
Senyawa-senyawa yang berbeda memiliki waktu retensi yang berbeda. Untuk beberapa
senyawa, waktu retensi akan sangat bervariasi dan bergantung pada:
tekanan yang digunakan (karena itu akan berpengaruh pada laju alir dari pelarut)
kondisi dari fase diam (tidak hanya terbuat dari material apa, tetapi juga pada
ukuran partikel)
Itu berarti bahwa kondisi harus dikontrol secara hati-hati, jika anda menggunakan waktu
retensi sebagai sarana untuk mengidentifikasi senyawa-senyawa.
Detektor
Ada beberapa cara untuk mendeteksi substansi yang telah melewati kolom. Metode
umum yang mudah dipakai untuk menjelaskan yaitu penggunaan serapan ultra-violet.
Jumlah cahaya yang diserap akan bergantung pada jumlah senyawa tertentu yang
melewati melalui berkas pada waktu itu. Anda akan heran mengapa pelarut yang
digunakan tidak mengabsorbsi sinar UV. Pelarut menyerapnya! Tetapi berbeda, senyawa-
senyawa akan menyerap dengan sangat kuat bagian-bagian yang berbeda dari specktrum
UV.
Misalnya, metanol, menyerap pada panjang gelombang dibawah 205 nm dan air pada
gelombang dibawah 190 nm. Jika anda menggunakan campuran metanol-air sebagai
pelarut, anda sebaiknya menggunakan panjang gelombang yang lebih besar dari 205 nm
untuk mencegah pembacaan yang salah dari pelarut.
Anda juga dapat menggunakan puncak sebagai jalan untuk mengukur kuanti?tas dari
senyawa yang dihasilkan. Mari beranggapan bahwa tertarik dalam senyawa tertentu, X.
Jika anda menginjeksi suatu larutan yang mengandung senyawa murni X yang telah
diketahui jumlahnya pada instrumen, anda tidak hanya dapat merekam waktu retensi dari
senyawa tersebut, tetapi anda juga dapat menghubungkan jumlah dari senyawa X dengan
puncak dari senyawa yang dihasilkan.
Area yang berada dibawah puncak sebanding dengan jumlah X yang melalui detektor,
dan area ini dapat dihitung secara otomatis melalui layar komputer. Area dihitung sebagai
bagian yang berwarna hijau dalam gambar (sangat sederhana).
Jika larutan X kurang pekat, area dibawah puncak akan berkurang meskipun waktu
retensi akan sama. Misalnya,
Meskipun demikian, harus berhati-hati. Jika anda mempunyai dua substansi yang berbeda
dalam sebuah campuran (X dan Y), dapatkah anda mengatakan jumlah relatifnya? Anda
tidak dapat mengatakannya jika anda menggunakan serapan UV sebagai metode
pendeteksinya.
Dalam gambar, area di bawah puncak Y lebih kecil dibanding dengan area dibawah
puncak X. Ini mungkin disebabkan oleh karena Y lebih sedikit dari X, tetapi dapat sama
karena Y mengabsorbsi sinar UV pada panjang gelombang lebih sedikit dibanding
dengan X. Ini mungkin ada jumlah besar Y yang tampak, tetapi jika diserap lemah, ini
akan hanya memberikan puncak yang kecil.
Ini menunjukkan hal yang sangat menakjubkan! Pada saat detektor menunjukkan puncak,
beberapa senyawa sementara melewati detektor dan pada waktu yang sama dapat
dialihkan pada spektrometer massa. Pengalihan ini akan memberikan pola fragmentasi
yang dapat dibandingkan pada data komputer dari senyawa yang polanya telah diketahui.
Ini berarti bahwa identifikasi senyawa dalam jumlah besar dapat ditemukan tanpa harus
mengetahui waktu retensinya.
Jumlah penderita thalassemia di dalam negeri tidaklah sedikit, saat ini hal yang paling
umum yang dapat dilakukan dunia media untuk membantu orang-orang dengan
thalassemia adalah melakukan transfusi darah berulang ketika tubuh kehilangan darah
melalui perombakan darah yang rusak secara berlebihan. Namun prosedur seperti ini dan
akibat kondisi thalassemia itu sendiri berdampak tubuh seseorang akan berlebihan atau
terbebani oleh kadar zat besi yang tinggi.
Dalam 1 liter darah terdapat kurang lebih 500 mg zat besi (Fe), dan tubuh dalam kondisi
normal setiap harinya akan kehilangan besi kurang lebih 1 mg. Oleh karenanya jika
seseorang mendapatkan transfusi dalam secara terus menerus tanpa disertai adanya
pendarahan yang kronis maka zat besi bersama darah transfusi akan tertimbun dalam
tubuh dan mengakibatkan hemosiderosis transfusional (HT).
Penimbunan zat besi pada organ-organ tubuh menyebabkan terganggunya fungsi organ
yang bersangkutan. HT umumnya terjadi pada pasien yang mengalami transfusi kronis
seperti pada pasien anemia aplastik, anemia hemolitik dan Thalassemia.
Selama periode transfusi konsumsi zat besi pada pasien Thalassemia juga dikurangi guna
mengurangi kemungkinan HT. Jika kemungkinan besar terjadi penumpukan zat besi pada
pasien, maka pasien dapat menjalan protokol diet bagi pasien dengan hemochromatosis
dan anemia yang telah dimodifikasi. Pada pasien pemberian protein hewani tetap dapat
diberikan, misal dengan pemberian ikan laut harus dimasak dengan baik sebelum
dikonsumsi (tidak mentah atau setengah matang). Tidak juga disarankan untuk pemberian
vitamin C buatan, kecuali yang berasal dari sumber natural. Konsumsi teh setelah makan
juga dapat membantu menghambat penyerapan zat besi, karena tannin di dalamnya
berperan sebagai inhibitor, namun ini bukanlah sebuah terapi pengganti diet.
Pengambilan darah secara reguler untuk mengurangi penumpukan besi tidak merupakan
terapi yang disarankan. Baik diet zat besi maupun penggunaan terapi iron chelating
agents, pasien sebaiknya dipantau kadar besi serumnya secara berkala.
Pengurangan rekurensi transfusi pada pasien thalassemia juga dapat dilakukan guna
menghambat terjadinya HT. Splenectomi pada merupakan pilihan pada pasien
thalassemia dengan hiperplasia splenomegali. Penelitian pada anak dengan SCA
(Ahmed, 2006), menunjukkan bahwa dengan manajemen pre-operasi yang baik,
splenektomi tidak hanya aman, namun juga bermanfaat dalam mengurangi frekuensi
transfusi pada pasien, serta menghilangkan ketidaknyamanan dan tekanan mekanis akibat
pembesaran limpa. Sebuah studi perbandingan antara splenektomi parsial (SP) dan
splenektomi total (ST) pada pasien ?-thalassemia menunjukkan bahwa pada kedua
tindakan dapat menurunkan keperluan transfusi pada pasien hingga tiga kali lipat jumlah
sebelum operasi. 3 tahun pasca operasi 22,7% pada SP dan 13,3% pada ST memerlukan
kembali jumlah transfusi yang sama seperti sebelum operasi, dan menjadi 27,3% pada SP
dan 18,3% pada ST setelah 5 tahun. Dari 143 kasus yang diikuti selama periode 1991-
1999, 2 pasien SP dan 6 pasien ST menunjukkan tanda-tanda sepsis yang kemungkinan
besar adalah dampak splenektomi, (Bahador, et all 1999). Beberapa pendapat lain
menyatakan perlu pemberian imunisasi pre-operasi oleh karena adanya resiko sepsis
pasca operasi (overwhelming post-splenectomy infection), namun beberapa pendapat
lainnya menyatakan pemberian imunisasi tidak bermakna.
Simpulan:
Pada pasien thalassemia yang menjalani transfusi berulang memiliki kemungkinan risiko
untuk mengalami hemosiderosis transfusional yang dapat mengakibatkan gangguan multi
organ. Tatalaksana untuk risiko ini adalah meningkatkan ekskresi zat besi dengan terapi
iron chelating agents (e.g. deferoxamine, deferiprone, deferasirox), mengurangi asupan
zat besi dengan diet zat besi sesuai dengan kebutuhan (dipantau dengan pengukuran
kadar besi serum secara berkala). Splenektomi dapat dilakukan dengan indikasi
mengurangi frekuensi transfusi, sehingga menurunkan risiko hemosiderosis transfusional.
Namun perlu diperhatikan bahwa risiko terjadinya sepsis meningkat pada pasien pasca
splenektomi.
Daftar Pustaka:
Bahador, Ali., et all. 1999. A Comparative Study of Partial vs Total Splenectomy in Thalassemia Major Patients.
Journal of Indian Association Pediatric Surgery – July/September 2007 – Vol. 12 – Issue 3. Aviable at URL:
http://www.jiaps.com.
Wolff, James A., et all. 1960. Effect of Splenectomy on Thalassemia. Pediatric® Official Journal of The American
Academy of Pediatrics 1960;26;674-678. Aviable at URL: http://www.pediatrics.org.
Muljono, Budi. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Sub Hematologi – Sub Hipersplenisme. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Hal. 681.
Al-Salem, Ahmed H. 2006. Indications and Complications of Splenectomy in Children with Sickle Cell Disease.
Journal of Pediatric Surgery – November, Volume 41, Issue 11, Pages 1909-1915. Aviable at URL:
http://www.jpedsurg.org.
Artikel: Hemochromatosis and Anemia Diet. 2002. Iron Overload Disease Assn. Inc. Aviable at: URL:
http://www.ironoverload.org/Diet.html.
Artikel: Hemosiderosis and Iron Overload. 2007. Morefocus Group Inc. Aviable at URL: http://www.about-blood-
disorders.com/articles/iron-disorders/hemosiderosis.php.