Anda di halaman 1dari 26

1

I. PENDAHULUAN

Koma adalah suatu keadaan kesadaran yang hilang sama sekali, dalam arti
tidak terjaga/ tidak terbangun secara utuh sehingga tidak mampu memberikan
respon yang normal terhadap stimulus (Posner et al., 2013). Koma pada anak
merupakan kejadian gawat darurat yang seringkali dijumpai dalam praktik sehari-
hari, sebagai suatu kegawatan fungsi susunan saraf pusat memerlukan tindakan
yang cepat dan tepat, sebab semakin lama berlangsung makin parah keadaan
susunan saraf pusat sehingga kemungkinan makin kecil terjadinya penyembuhan
sempurna. Kesalahan dalam tatalaksana awal pasien anak yang datang dengan
koma dapat meningkatkan angka mortalitas. (Anonymus, 2010).
Koma pada anak dapat disebabkan beraneka ragam penyebab, intrakranial
ataupun ekstrakranial, yang mengakibatkan kerusakan struktural/ metabolik di
tingkat korteks serebri, batang otak atau keduanya. Penanggulangan koma sangat
tergantung pada patologi dasarnya serta patofisiologi gangguan kesadaran (Taylor
dan Ashwal, 2010).
Menurut (WHO, 2008) sebanyak 10 % dari penderita yang datang ke unit
gawat darurat merupakan penderita koma dan sebanyak 85 % dengan penyebab
medikal dan 15 % dengan penyebab struktural. Sedangkan penyebab terbanyak
koma pada anak di Indonesia pada tahun 2011-2014 adalah infeksi (38%), diikuti
epilepsi dan kelainan kongenital (masing-masing berkisar antara 8-10 %),
kecelakaan dan gangguan metabolik (masing- masing 6 %) dan selebihnya adalah
akibat pendarahan non traumatic dan penyakit keganasan (masing-masing 2 %)
(Passat, 2013). Data dari WHO menunjukkan, kematian akibat koma pada anak di
negara berkembang adalah 50 kali lebih tinggi dibanding negara maju.
Mortalitasnya sangat tinggi karena biasanya baru mendapat penanganan bila
keadaan sudah gawat. Di Indonesia, koma pada anak merupakan salah satu
penyebab utama kematian, yaitu sebesar 85 % (WHO, 2008).
Tingginya angka kejadian kematian akibat koma pada anak ini menjadi
dasar bagi penulis untuk membahas tentang kasus koma pada anak sehingga
tenaga medis diharapkan dapat mengetahui dan segera memberikan pertolongan
atau tindakan pertama saat menemui kasus koma pada anak.
2

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Kesadaran adalah keadaan yang mengacu kepada ketanggapan seseorang
terhadap lingkungan sekitarnya dan dirinya sendiri. Kesadaran memiliki dua
aspek, yaitu aspek wakefulness/ bangun dan awareness/ tanggap. Aspek bangun
diatur oleh sistem saraf otonom vegetatif otak yang bekerja karena adanya
stimulus ascendens dari tegmentum pontin, hipotalamus posterior dan thalamus
yang tergabung dan membentuk sebuah sistem bernama ARAS (Ascending
Reticular Activating System) yang merupakan bagian dari formatio retikularis.
Sementara aspek tanggap diatur oleh neuron-neuron yang berada pada korteks
otak dan proyeksi timbal baliknya dengan inti-inti yang terletak pada sub
korteks. Untuk menjadi tanggap terhadap lingkungan sekitarnya, seseorang
membutuhkan bangun, tetapi bangun dapat terjadi tanpa harus tanggap
(Pudjiadi, 2011). Pada keadaan ini aktifitas kompleks yang sesuai dengan usia
dapat dilakukan tanpa kesulitan dan anak dapat berorientasi baik dengan orang
lain, tempat, waktu, dan situasi (Taylor dan Ashwal, 2010).
Penurunan kesadaran pada anak merupakan kedaruratan yang dapat
mengancam jiwa dan membutuhkan diagnosis dan tata laksana cepat. Definisi
koma sendiri adalah suatu keadaan kesadaran yang hilang sama sekali, dalam
arti tidak terjaga/ tidak terbangun secara utuh sehingga tidak mampu
memberikan respon yang normal terhadap stimulus (Posner et al., 2013).

B. Epidemiologi
Prevalensi dan insidensi dari koma sulit untuk ditentukan secara pasti,
mengingat luas dan beragamnya faktor penyebab dari koma. Laporan rawat
inap nasional Inggris tahun 2010-2013 melaporkan bahwa 0,02 % dari seluruh
konsultasi rumah sakit disebakan oleh gangguan terkait dengan koma dan
penurunan kesadaran, 82% dari kasus tersebut memerlukan rawat inap di
rumah sakit (Solomon, 2014).
Menurut (WHO, 2008) sebanyak 10 % dari penderita yang datang ke unit
gawat darurat merupakan penderita koma dan sebanyak 85 % dengan penyebab
medikal dan 15 % dengan penyebab struktural. Sedangkan penyebab terbanyak
3

koma pada anak di Indonesia pada tahun 2011-2014 adalah infeksi (38%),
diikuti epilepsi dan kelainan kongenital (masing-masing berkisar antara 8-10
%), kecelakaan dan gangguan metabolik (masing- masing 6 %) dan selebihnya
adalah akibat pendarahan non traumatik, asma dan penyakit keganasan
(masing-masing 2 %) (Passat, 2013).

C. Etiologi
Secara garis besar penyebab koma pada anak dapat dibagi atas infeksi atau
inflamasi, kelainan struktur otak, metabolik, nutrisi atau toksik. Penyebab
struktural biasanya melibatkan disfungsi sistem ARAS. Berikut diagnosis
kemungkinan penyebab penurunan kesadaran (Passat, 2013) :
Tabel 2.1. Penyebab Koma pada Anak (Passat, 2013)
Infeksi atau Inflamasi Struktural Metabolik, Nutrisi, Toksin
A. Infeksi A. Trauma A. Hipoksik - iskemik
Meningitis Kontusio Syok
Ensefalitis Perdarahan Intrakranial Gagal jantung atau paru
Riketsia, protozoa Shaken baby syndrome Tenggelam
Infestasi cacing B. Neoplasma Keracunan CO, sianida
Sepsis Tumor intraserebri Strangulasi
B. Inflamasi C. Penyakit vascular B. Kelainan metabolic
Vaskulitis Infark otak Sarkoidosis, hipoglikemia
Demielitis Kelainan kongenital Gangguan cairan + elektrolit
Acute demyelinating Trauma tulang belakang Kelainan endokrin
Encephalomyelitis D. Infeksi fokal Asidosis
Multiple sclerosis Abses Ketoasidosis diabetika
Ensepalopati Serebritis Aminoasidemia
E. Hidrosefalus Organik asidemia
F. Kejang Hiperamonia
Hepatik, uremia
Sindrom Reye dll
Uremia
Hipotermi, hipertermi
C. Nutrisi
Defisiensi piridoksin, as folat
D. Toksin eksogen
Obat-obatan
Logam berat

Selain itu, penyebab koma pada anak secara garis besar dapat disingkat/
dibuat jembatan keledai menjadi kalimat SEMENITE (Armour dan Billmire,
2010) :
4

a. Sirkulasi : gangguan pembuluh darah otak (perdarahan maupun infark).


b. Ensefalitis : akibat infeksi baik oleh bakteri, virus, jamur, dll.
c. Metabolik : akibat gangguan metabolik yang menekan kinerja otak.
(gangguan hepar, uremia, hipoglikemia, koma diabetikum, dsb).
d. Elektrolit : gangguan keseimbangan elektrolit (seperti kalium, natrium).
e. Neoplasma : tumor baik primer ataupun sekunder yang menyebabkan
penekanan intrakranial. Biasanya dengan gejala tekanan intrakranial
meningkat (papiledema, bradikardi, muntah).
f. Intoksikasi : keracunan.
g. Trauma : kecelakaan.
h. Epilepsi.

D. Patofisiologi
Kesadaran seseorang dipengaruhi oleh dua struktur yang sangat berperan
dalam mengatur tingkat kesadaran seseorang, yakni ARAS (Ascending
Reticular Activating System) yang merupakan bagian dari formatio retikularis
dan korteks serebri. Kontrol utama kesadaran terletak pada sistem formatio
retikularis yang memiliki fungsi sebagai berikut (Sherwood, 2010) :
1. Mengontrol derajat kewaspadaan
2. Kemampuan mengarahkan perhatian
3. Memfiltrasi informasi sensoris
4. Mengkoordinasi aktivitas-aktivitas otot
Mekanisme kesadaran dapat dijelaskan sebagai berikut, informasi sensoris
yang berasal dari tubuh ketika mencapai formatio retikularis akan diteruskan ke
korteks serebri melalui serat-serat ascendens yang menyusun sistem ARAS.
Adanya gangguan pada salah satu atau kedua struktur tersebut dapat
menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran (Sherwood, 2010)
Koma dihasilkan oleh dua kelompok besar permasalahan (Passat, 2013) :
1. Permasalahan morfologis, terdiri dari lesi-lesi berbatas tegas di batang
otak bagian atas atau diensefalon bawah (dapat lesi primer atau sekunder
karena kompresi ) dan juga dapat terjadi oleh karena perubahan yang lebih
luas di hemisfer serebri.
2. Kausal-kausal metabolik atau sub-mikroskopik yang menyebabkan
penekanan aktivitas neuron. Pemeriksaan klinis koma dirancang untuk
memisahkan mekanisme berbeda ini dan memberikan gambaran mengenai
kedalaman disfungsi otak.
5

Gambar 2.1. Reticular Activating System


a) Patofisiologi Lesi Struktural sebagai Penyebab Koma
Kavitas kranium dipisahkan menjadi kompartemen-kompartemen
oleh lipatan-lipatan duramater. Kedua hemisfer serebri dipsahkan oleh falx
serebri, dan fosa anterior dan posterior dipisahkan oleh tentorium. Herniasi
merujuk kepada penggeseran jaringan otak ke dalam kompartemen yang
biasanya tidak ditempati. Banyak tanda-tanda terkait koma, dan juga koma
sendiri, dapat disebabkan oleh pergeseran jaringan ini, dan bahkan
beberapa gambaran klinis merupakan karakteristik dari herniasi spesifik.
Secara esensi mereka dapat disebut sebagai tanda lokalisasi palsu, karena
disebabkan oleh kompresi struktur otak jauh dari tempat asal lesi masa
(Passat, 2013).

Gambar 2.2. Lokasi-lokasi umum tempat terjadinya sindrom herniasi


6

Herniasi yang paling sering terjadi berasal dari kompartemen


supratentorial ke kompartemen infratentorial melalui bukaan tentorial,
oleh karena itu disebut sebagai herniasi transtentorial. Herniasi unka
transtentorial merujuk kepada impaksi girus temporalis anterior medial
unkus) ke dalam bukaan tentorial pada posisi anterior dan bersebelahan
dengan otak tengah. (gambar 2A). Jaringan otak yang tergser menekan N.
III pada saat nervus tersebut melintasi ruang subarakhnoid, sehingga
menyebabkan dilatasi pupil ipsilateral. Koma yang mengikuti terjadi
sebagai akibat kompresi otak tengah terhadap sudut tentorial oleh girus
parahipokampal yang tergeser. Pada beberapa kasus pergeseran lateral otak
tengah menyebabkan kompresi pedunkulus serebri berseberangan,
menyebabkan tanda Babinski positif dan hemiparesis kotralateral terhadap
aslinya (tanda Kernohan Woltman). Sebagai tambahan dari menekan
batang otak atas, pergeseran jaringan termasuk herniasi juga dapat
menekan pembuluh darah utama, khususnya arteri serebral anterior dan
posterior pada saat mereka melewati refleksi tentorial, sehingga dapat
menyebabkan infark otak. Distorsi jaringan juga dapat menekan ventrikel
lainnya sehingga menyebabkan hidrosefalus regional (Passat, 2013).
Herniasi transtentorial sentral menyatakan adanya pergerakan ke
bawah simetris dari struktur medial talamus melewati bukaan tentorial
dengan menekan bagian atas dari otak tengah (B). Miosis pupil dan
penurunan kesadaran merupakan tanda pengantarnya. Herniasi temporal
dan sentral secara klasik telah dipertimbangkan sebagai penyebab
kompresi progresif batang otak dari atas dengan proses yang terjadi secara
teratur: pertama, otak tengah kemudian pons dan pada akhirnya medulla.
Hasilnya adalah urutan tanda-tanda neurologis yang berkaitan dengan tiap
level terkena. Bentuk herniasi lainnya adalah herniasi transfasikal
(pergeseran girus cingulus di bawah falx menyebrangi garis tengah (2C)
dan herniasi foraminal (tekanan terhadap tonsil serebelum ke arah bawah
menuju foramen magnum (2D) yag menyebabkan penekanan medulla dan
henti nafas (Passat, 2013).
7

Koma oleh karena kerusakan luas hemisfer serebri terdiri dari


beberapa kelainan yang tidak saling terkait dengan hasil akhir kerusakan
struktur serebral luas, sehingga memberikan gambaran mirip dengan
kelainan korteks metabolik. Efek dari hipoksia iskemia berkepanjangan
adalah salah satu yang paling dikenal dan juga salah satu yang tidak
memungkinkan untuk dilakukan pembedaan antara efek akut hipoperfusi
otak dengan efek lanjutan dari kerusakan neuronal luas. Kerusakan
bihemisferik yang sama dapat ditemukan pada kelainan yang mengoklusi
pembuluh darah kecil di otak seperti malaria serebral, purpura trombotik
trombositopenik dan hiperviskositas. Kejang dan kerusakan bihemisferik
dapat dijadikan indikasi adanya kelainan golongan ini (Passat, 2013).
b) Patofisiolofi Kelainan Metabolik dan Kelainan Otak Multifokal Difus
sebagai Penyebab Koma
Pada beberapa proses penyakit yang mengganggu kesadaran dapat
ditemukan gangguan langsung terhadap aktivitas metabolik sel saraf di
korteks serebri dan nukleus sentral otak. Hipoksia, iskemia global,
hipoglikemia, keadaan hiper dan hipoosmolar, asidosis, alkalosis,
hipokalemia, hiperamonemia, hiperkalsemia, hiperkarbia, intoksikasi obat
dan defisiensi vitamin berat pada anak merupakan beberapa contoh yang
telah dikenal. Secara umum, kehilangan kesadaran pada beberapa keadaan
ini sesuai dengan penurunan metabolisme atau aliran darah serebral.
Sebagai contoh, pada iskemia global penurunan aliran darah otak
(cerebral blood flow/CBF) sampai 25ml/menit/100g jaringan dari keadaan
normal 55ml/menit/100g jaringan otak menyebabkan pelambatan EEG dan
sinkop atau gangguan kesadaran; penurunan CBF sampai di bawah 12-
15ml/menit/100g jaringan otak menyebabkan kesunyian aktivitas
elektroserebral, koma dan pengentian hampir semua fungsi metabolik dan
sinaptik neuron. Kadar yang lebih rendah dapat ditoleransi bila terjadi
dalam laju yang lebih lambat, namun pada dasarnya neuron tidak dapat
bertahan bila aliran darah menurun di bawah 8-10ml/menit/100g jaringan
(Rooper, 2011).
8

Toksin metabolik endogen yang bertanggung jawab terjadinya koma


tidak dapat selalu diindentifikasi. Pada diabetes, badan keton dapat
ditemukan dalam konsentrasi tinggi; pada uremia diduga terjadi akumulasi
toksin-toksin molekular kecil yang dapat didialisis, terutama turunan asam
amino fenolik. Pada koma hepatikum, peningkatan kadar NH3 darah
antara lima sampai enam kali normal berkaitan secara kasar dengan
tingkatan koma. Asidosis laktat dapat mempengaruhi otak dengan
menurunkan pH darat arterial sampai di bawah 7.0. Gangguan kesadaran
yang menyertai insufisiensi pulmonar biasanya terkait dengan hiperkapnia.
Pada hiponatremia (Na+<120 meq/L) oleh sebab apapun dapat
menyebabkan disfungsi neuronal oleh karena pergerakan air ke dalam sel,
sehingga menyebabkan edema neuron dan kehilangan kalium klorida dari
dalam sel. Mekanisme aksi toksin bakterial terhadap koma masih belum
diketahui (Rooper, 2011).
Obat-obatan seperti anestesia umum, opiat, barbiturat, fenitoin,
antidepresan dan diazepin dapat menginduksi koma dengan efek langsung
mereka kepada membran neuron di dalam serebrum dan sistem aktivasi
retikular atau kepada neurotransmiter-neurotransmiter dan reseptor
mereka. Zat lainnya, seperti metanol dan etilen glikol, menyebabkan
asidosis metabolik. Meskipun koma oleh karena penyakit metabolik dan
zat racun biasanya berevolusi melalui stadium mengantuk, kebingungan,
dan stupor (dengan urutan terbalik pada saat pulih dari koma), tiap-tiap
penyakit memberikan gambaran klinis yang khas. Hal ini memberikan
kemungkinan bahwa tiap penyakit mempunyai mekanisme dan lokus
spesifik untuk efek metabolik mereka yang berbeda dari satu penyakit ke
penyakit lainnya (Rooper, 2011).
Pelepasan muatan elektrik neuron secara tiba-tiba dan berlebihan
merupakan karakteristik kejang epileptik serta merupakan mekanisme
penyebab koma pada anak yang sering ditemukan. Biasanya kejang fokal
hanya mempunyai efek kecil terhadap kesadaran sampai kejang tersebut
menyebar dari satu sisi otak ke sisi yang lainnya. Koma kemudian dapat
terjadi, diduga sebagai akibat dari penyebaran lepas muatan kejang ke
9

dalam struktur-struktur neuronal sentral dalam yang kemudian


menyebabkan kelumpuhan fungsi. Pada tipe kejang yang lain, di mana
kesadaran diganggu sejak awal terjadinya kelainan, sumber kejang
diensefalik telah diusulkan (Rooper, 2011).
Kontusio serebri merupakan salah satu mekanisme patofisiologis
penyebab koma yang unik. Pada cedera kepala tumpul atau tertutup telah
ditunjukkan bahwa pada saat terjadinya tumbukan terjadi peningkatan
tekanan intrakranial secara luar biasa besar, diperkirakan berkisar antrara
200-700 lb/inci, yang berlangsung selama beberapa seperseribu detik.
Getaran yang terjadi pada kranium dan ditransmisikan kepada otak selama
bertahun-tahun dianggap sebagai penyebab langsung dari paralisis seketika
yang menggambarkan cedera kepala kontusio. Namun kini diperkirakan
lebih mungkin disebabkan oleh gerakan berputar otak oleh karena
tumbukan kepala, yang menghasilkan gaya rotasi (torque) hemisfer serebri
dengan sumbu batang otak atas (Rooper, 2011).

E. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Peristiwa dan keadaan sebelum awitan, riwayat penyakit, dan
pengobatan terdahulu mungkin bermanfaat untuk menentukan penyebab
pasien mengalami penurunan kesadaran atau tidak sadar. Riwayat penyakit
yang penting antara lain (Pudjiadi, 2011; Haslam, 2000) :
a) Pasien mengalami kecelakaan lalu lintas tertabrak mobil,
kemungkinan akibat trauma kepala.
b) Pasien tiba-tiba mengalami sakit kepala hebat kemudian tidak sadar
dapat disebabkan arteri vena malformasi (AVM) yang tiba-tiba pecah.
c) Anak tiba-tiba tidak sadar karena pecahnya pembuluh darah, anak
jatuh mungkin karena perdarahan intrakranial atau anak tidak sadar
setelah kejang lama.
d) Pasien mengalami panas tinggi, mengigau kemudian kejang dapat
disebabkan ensefalitis.
e) Sakit kepala dengan kekakuan di leher dapat disebabkan meningitis.
f) Pasien satu hari ini riba-tiba muntah-muntah kemudian mulai tidak
sadar dapat disebabkan Sindrom Reye.
10

g) Pasien malas makan kesadaran menurun perlahan mungkin


disebabkan adanya gangguan ensefalopati metabolik.
h) Pasien epilepsi kejang terus menerus lebih dari 30 menit disebut
status konvulsif yang menyebabkan pasien tidak sadar.
i) Pada anak penderita diabetes, koma dapat terjadi akibat hipoglikemia
atau ketoasidosis.
j) Anak dengan penyakit jantung bawaan dapat mengalami abses atau
infark serebri.
k) Riwayat penggunaan obat-obatan pada pasien yang erat kaitannya
dengan intoksikasi obat-obatan.
l) Apakah ada gejala neurologis yang bertahap atau mendadak
m) Adakah demam yang dapat menunjukkan ke arah penyakit infeksi
n) Adakah gejala penyerta lain, seperti kelemahan anggota gerak, nyeri
kepala mendadak, pusing, kejang, penglihatan ganda atau kabur,
muntah, tinja berdarah. Selain itu dapat pula ditanyakan riwayat
penyakit di dalam keluarga.
2. Pemeriksaan Fisik
Penentuan etiologi penyebab penurunan kesadaran pada anak juga
dapat diketahui melalui pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik haruslah
dilakukan secara sistematis dan menyeluruh. Pemeriksaan fisik awal dapat
berupa pemeriksaan tanda-tanda vital, seperti suhu, tekanan darah, nadi
dan laju nafas (Setyabudi et al., 2013).
Adanya peningkatan suhu dapat mengindikasikan adanya infeksi atau
adanya gangguan pengaturan suhu sentral tubuh di hipotalamus. Adanya
demam yang disertai penurunan kesadaran dapat mengindikasikan
terjadinya sepsis, pneumonia, meningitis, ensefalitis, abses atau empiema
intrakranial. Terjadinya penurunan suhu (hipotermia) biasanya
mengindikasikan terjadinya intoksikasi obat-obatan. Takikardia biasanya
terjadi pada pasien dengan syok hipovolemia, demam, pneumonia, asma
ataupun asidosis, sementara itu terjadinya bradikardia mengindikasikan
peningkatan tekanan intrakranial, atau terjadinya hipoksemia dalam jangka
waktu lama. Hipotensi dapat terjadi pada pasien dengan syok, sepsis,
intoksikasi obat-obatan atau adanya gangguan jantung, sementara itu
Tekanan darah tinggi dapat disebabkan peningkatan tekanan intrakranial,
perdarahan di otak atau intoksikasi obat-obatan (Setyabudi et al., 2013).
11

Pemeriksaan fisik lain juga harus diperhatikan ialah kulit pasien,


apakat terdapat sianosis, ikterik atau pucat. Cherry red skin atau kulit yang
berwarna merah seperti buah ceri biasanya ditemukan pada pasien dengan
keracunan karbon monoksia. Sefalhematoma, memar pada kulit kepala,
racoon eye biasanya ditemukan pada pasien dengan trauma kepala. Bau
mulut pasien juga menindikasikan terjadinya sebuah gangguan metabolik,
seperti ketoasidosis atau koma hepatikum. Dari pemeriksaan fisik kulit,
kita dapat menemukan petunjuk yang biasanya mengarah kepada suatu
penyakit, seperti dapat dilihat pada tabel 2.2 (Lazuardi, 2010).
Tabel 2.2. Petunjuk Etiologi Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Fisik Kulit
Inspeksi Bila ditemukan, pikirkan
Ikterik Ensefalopati hepatikum, leptospirosis,
malaria
Ruam Meningococcemia, dengue, ricketsia,
infeksi virus, campak
Pallor Malaria serebri, perdarahan intrakranial,
sindroma hemolisis uremia
Ptechiae Dengue, meningoccocemia, DBD
Hematoma pada kulit kepala Trauma
Dismorfik, neurocutaneus markers Kemungkinan terjadinya kejang
Bau nafas yang tidak normal Ketoasidosis diabetik, koma hepatic
Dalam melakukan pemeriksaan fisik, koma pada anak dapat juga
secara simultan dilakukan pemeriksaan neurologis yang berupa penilaian
status kesadaran, pola nafas, pemeriksaan saraf kranialis, dan pemeriksaan
motorik.
a) Penilaian status kesadaran
Derajat kesadaran dapat dinilai dengan dua cara, yaitu secara
kualitatif dan kuantitatif. Penilaian derajat kesadaran secara kualitatif
terbagi dalam lima tipe, yaitu (Haslam, 2000) :
1) Compos mentis
2) Apatis
3) Letargi/somnolen
4) Sopor
5) Koma
Penilaian derajat kesadaran secara kuantitatif dapat diukur
menggunakan skala koma Glasgow. Pada GCS, terbagi menjadi tiga
aspek, yaitu membuka mata, respon motorik, dan respon verbal
(Sharma et al., 2010).
Tabel 2.3. Skala Koma Glasgow
12

GCS Skor GCS (Modifikasi untuk bayi) Skor


Membuka mata Membuka mata
Spontan 4 Spontan 4
Terhadap suara 3 Terhadap suara 3
Terhadap rangsang nyeri 2 Terhadap rangsang nyeri 2
Tidak ada respon 1 Tidak ada respon 1
Respon Verbal Respon Verbal
Terorientasi 5 Babbles, coos 5
Bicara kacau 4 Menangis, dapat dibujuk 4
Berupa kata-kata 3 Rewel, tidak kooperatif 3
Mengerang 2 Mengerang, rangsang nyeri 2
Tidak ada respon 1 Tidak ada respon 1
Respon Motorik Respon Motorik
Menuruti perintah 6 Gerakan aktif 6
Melokalisasi rangsang nyeri 5 Melokalisasi rangsang nyeri 5
Reaksi menghindar 4 Reaksi menghindar 4
Reaksi fleksi 3 Reaksi fleksi 3
Reaksi ekstensi 2 Reaksi ekstensi 2
Tidak ada respon 1 Tidak ada respon 1

Nilai normal dari penilaian skala koma dan modifikasinya untuk


anak mengikuti nilai normal penilaian skala koma pada dewasa, yakni
dengan total nilai terbaik 15, dan total nilai terburuk 3 (Sharma et al.,
2010). Melalui bentuk aslinya, dibuatlah sebuah skala koma yang baru,
yang ditujukan untuk pediatrik. Terdapat beberapa perubahan kecil
pada skala koma yang ditujukan untuk pediatri, yakni pada respons
verbal (Pudjiadi, 2011).

Gambar 2.3. Skala Koma Glasgow Pediatrik


13

Modifikasi skala koma juga dapat dibedakan dari perubahan


komponen repons membuka mata menjadi respons okuler yang dapat
diperiksa dengan pemeriksaan dolls eye movement, yang dapat dilihat
pada tabel 2.4 (Swaiman, 2013).

Tabel 2.4. Skala Koma pada Anak-anak


Tanda Skor
Respons ocular
Normal (Pursuit) 4
Reaksi pupil normal, gerakan ekstraokular normal 3
Pupil terfiksasi, kelemahan gerakan ekstraokular 2
Pupil terfiksasi, paralisis gerakan ekstraokular 1
Respons verbal
Menangis 3
Bernapas spontan 2
Apneu (tidak bernapas) 1
Respons motoric
Fleksi dan ekstensi 4
Reaksi menghindar terhadap rangsangan nyeri 3
Hipertonus (kaku) 2
Flaccid (lemas) 1
Total nilai terbaik 11

b) Pola nafas
Kontrol pernapasan manusia diatur oleh interaksi antara batang
otak dan korteks serebri, dimana batang otak mengatur keinginan
untuk bernapas (drive), sedangkan korteks serebri mengatur pola
pernapasan. Pusat pengaturan pernapasan pada batang otak terletak di
pons dan medulla oblongata. Gangguan seperti gangguan metabolik
14

dan hipoksia yang sifatnya akut, biasanya masih dapat dikompensasi


dengan perubahan pola pernapasan, sehingga pola pernapasan yang
abnormal dapat mencerminkan gangguan neurologis (Setyabudi et al.,
2013).
Terdapat lima tipe pola pernapasan yang dapat mencerminkan
lokasi kerusakan yang terjadi di otak, yaitu (Avner, 2006; Pudjiadi,
2011) :
1) Pola pernapasan Cheyne-Stokes merupakan pola pernapasan
yang ditandai dengan adanya dua fase, yakni fase hiperpnea dan
apnea yang secara teratur bergantian, dimana kecepatan napas
bertambah secara bertahap hingga mencapai puncaknya,
kemudian berkurang bertahap hingga apnea. Pola pernapasan ini
biasanya terjadi apabila terdapat kerusakan pada lobus frontal
unilateral atau bilateral, gangguan diensefalon berupa penyakit
metabolik atau ancaman terjadinya herniasi, atau penyebab
sekunder akibat adanya gagal jantung atau pernapasan.
2) Pola pernapasan hiperventilasi neurogen sentral merupakan pola
pernapasan hiperpnea dalam dan cepat. Pola pernapasan ini
sering kali dikenal dengan pola pernapasan kusmaul. Pola
pernapasan seperti ini seringkali disebabkan oleh adanya
gangguan metabolik atau adanya lesi pada formasio retikularis,
tepatnya pada daerah midpons atau midbrain.
3) Pola pernapasan apnea merupakan pola pernapasan dimana
terhentinya inspirasi dalam waktu yang lama atau istirahat pada
saat inspirasi penuh. Pola pernapasan apnea yang terjadi pada
pasien dengan penurunan kesadaran mengindikasikan adanya
gangguan (infark) pada pons atau medula. Pola pernapasan ini
biasanya membutuhkan intubasi dan ventilasi mekanik dini, dan
prognosis pasien dengan pola napas apnea biasanya lebih buruk
apabila dibandingkan dengan pola pernapasan hiperventilasi
neurogen sentral.
4) Pola pernapasan ataksik ialah pola pernapasan yang dangkal,
15

cepat, dan tidak teratur. Pola pernapasan seperti ini menunjukkan


adanya gangguan pada medula atau menjelang kematian. Pasien
dengan pola pernapasan seperti ini membutuhkan pertolongan
sesegera mungkin, karena pola pernapasan seperti ini memiliki
prognosis paling buruk dibandingkan pasien dengan pola
pernapasan lainnya.
5) Pola pernapasan cluster merupakan pola pernapasan yang
berbentuk kelompok, yang diselingi oleh masa istirahat yang
tidak teratur. Pola pernapasan ini menunjukkan adanya lesi pada
pons bagian bawah atau bagian atas dari medula oblongata. Pola
pernapasan ini memiliki prognosis yang lebih buruk jika
dibandingkan dengan pola pernapasan apnea.

Gambar 2.4 Gambaran skematis pola pernapasan9


c) Penilaian saraf kranialis
1) Ukuran dan reaktivitas pupil

Gambar 2.5. Letak lesi disertai reaksi kedua pupil


Reaksi konstriksi dan dilatasi pupil diatur oleh sistem saraf
simpatis dan parasimpatis. Sistem saraf simpatis mengatur dilatasi
pupil (midriasis), sementara sistem saraf parasimpatis mengatur
konstriksi pupil (miosis). Serabut saraf simpatis berasal dari
hipotalamus, sedangkan serabut saraf parasimpatis berasal dari
midbrain. Adanya gangguan atau lesi yang terletak di daerah
diensefalon akan menyebabkan konstriksi pupil, tetapi tetap
menimbulkan refleks terhadap cahaya langsung. Apabila terdapat
16

gangguan atau lesi di daerah midbrain akan menyebabkan pupil


terfiksasi di tegah dan menjadi tidak reaktif terhadap rangsangan
cahaya, karena lesi atau gangguan pada midbrain mempengaruhi
jalannya serabut simpatis dan parasimpatis. Apabila lesi atau
gangguannya terletak pada pontin, maka yang akan muncul pada
pupil ialah pin point pupil (Pudjiadi, 2011; Haslam, 2000).
Tabel 2.5. Gangguan refleks pupil pada penurunan kesadaran

Dilatasi pupil
Satu sisi : tumor, ancaman herniasi, pasca kejang, lesi pada N.III
Dua sisi : pasca kejang, hipotermia, hipoksia, kerusakan menetap,
ensefalitis, syok akibat perdarahan
Konstriksi pupil
Menetap : kelainan pons, gangguan metabolik
Reaktif : kelainan medula oblongata, gangguan metabolik
Midsized pupil
Menetap : herniasi sentral

2) Pemeriksaan dolls eye movement (oculocephalic refleks)


Pemeriksaan dolls eye movement berguna untuk
mengetahui gerakan bola mata pada pasien yang jatuh dalam
kondisi yang tidak sadar. Gerakan bola mata dikontrol oleh nervus
kranialis II,III,IV. Normalnya, bola mata seseorang akan menoleh
ke arah yang berlawanan dengan arah gerak kepala (dolls eye
movement positive). Hasil pemeriksaan dolls eye yang negatif pada
pasien, dapat mengindikasikan bahwa kemungkinan besar pasien
menderita gangguan struktural pada batang otak (Swaiman, 2013).
17

Gambar 2.6. Reaksi bola mata pada pemeriksaan dolls eye movement 6
3) Pemeriksaan Kalorik
Pemeriksaan kalorik (refleks okulovestibular) juga berguna
dalam menilai gerakan bola mata pada pasien dengan penurunan
kesaadaran. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara mengalirkan
air hangat atau air dingin ke dalam membaran timpani pasien,
kemudian di evaluasi, kemanakah gerakan bola mata pasien.
Normalnya, apabila membran timpani dialiri oleh air dingin, bola
mata akan bergerak mendekati rangsangan, sementara apabila
membran timpani dialiri air hangat, bola mata akan bergerak
menjauhi arah rangsangan. Hasil pemeriksaan yang tidak sesuai
dengan keadaan normalnya dapat mengindikasikan adanya
kelainan struktural yang terjadi pada batang otak bagian bawah
18

(Setyabudi et al., 2013).


d) Pemeriksaan Motorik
Fungsi motorik dapat memberikan informasi tentang lokalisasi lesi.
Pola hemiparesis disertai refleks otot abnormal, memperlihatkan
lokalisasi lesi kontralateral dari jaras kortikospinalis. Adapun respon
motorik yang ada (Segedin et al., 2011; Kelley, 2014) :
1) Dekortikasi atau posisi fleksi (lengan fleksi dan tertarik ke atas
dada) disebabkan oleh kerusakan traktus spinalis atau di atas red
nucleus (kerusakan hemisfer serebri bilateral dengan fungsi batang
otak yang masih baik.)
2) Deserebrasi atau posisi ekstensi (lengan ekstensi dan rotasi interna)
disebabkan kerusakan dekat traktus vestibulospinalis, atau akibat
keracunan (lesi destruktif otak tengah dan bagian atas pons.3)
3) Opistotonus adalah posisi kepala kebelakang disertai tulang
belakang melengkung, dan tangan disamping akibat kerusakan
berat kedua korteks
Diharapkan dari pemeriksaan fisis-neurologis di atas, kita dapat
menentukan letak lesi atau gangguan SSP. Melakukan pemantauan
tingkat lesi akan memberikan data apakah keadaan pasien makin
membaik atau memburuk, apakah obatobatan yang kita berikan
bekerja dengan baik atau tidak. Perubahan gangguan tingkat lesi dan
maknanya harus selalu disampaikan kepada orangtua pasien (Segedin
et al., 2011; Kelley, 2014).
3. Pemeriksaan Penunjang
Setiap pasien yang datang dengan penurunan kesadaran, harus di cek
kadar gula dalam darahnya dengan menggunakan dextrostick, karena hal
pertama yang harus disingkirkan pada pasien dengan penurunan kesadaran
ialah keadaan hipoglikemia. Sampel darah juga harus diambil dari pasien
guna pemeriksaan yang lain, seperti pemeriksaan darah rutin, kadar
elektrolit, tes fungsi hati, ureum, kreatinin, dan kadar gula darah juga harus
diperiksa kembali di laboratorium guna konfirmasi. Selain sampel darah,
sampel urin pasien juga harus diambil guna pemeriksaan toxikologi.
19

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan apabila memungkinkan ialah CT


Scan dengan atau tanpa kontras yang dapat dilakukan pada pasien dengan
riwayat trauma, pasien dengan tanda-tanda peningkatan TIK. Pemeriksaan
lain yang juga dapat dilakukan ialah Lumbar Puncture yang dapat
dilakukan pada pasien dengan kecurigaan adanya infeksi sususan saraf
pusat. Dapat juga dilakukan pemeriksaan EEG pada pasien dengan riwayat
kejang berulang (Solomon, 2014).

F. Penatalaksanaan
Tujuan utama tatalaksana pasien yang datang dengan penurunan
kesadaran ialah mencegah kerusakan otak lebih lanjut. Ketika pasien
datang dengan kesadaran yang menurun, yang pertama kali harus
dilakukan oleh para tenaga kesehatan ialah menstabilisasi tanda-tanda
vital, penilaian fungsi otak, deteksi dini kemungkinan perburukan, dan
apabila memungkinkan menganalisa penyebab terjadinya penurunan
kesadaran pada pasien (Abend et al., 2011).
Evaluasi dan tatalaksana awal pada pasien dengan penurunan
kesadaran yang paling penting ialah penilaian A (airway), B (Breathing),
dan C (Circulation). Permasalahan pada ketiga aspek tersebut,
membutuhkan penanganan segera seperti pemasangan intubasi endotrakeal
apabila terbukti adanya sumbatan yang menghalangi jalan nafas pasien.
Adekuatnya perfusi dan sirkulasi juga harus segera dinilai. Akses intravena
juga sebaiknya langsung dipasang guna memudahkan tatalaksana awal.
Bahan-bahan pemeriksaan untuk laboratorium, seperti darah dan urin juga
seharusnya segera diambil. Pemasangan folley catheter juga harus segera
dilakukan guna memonitor jumlah urin yang keluar dan sebagai bahan
pemeriksaan untuk dibawa ke laboratorium guna pemeriksaan lebih lanjut
(Abend et al., 2011).
Monitor-tanda-tanda vital pada pasien dengan penurunan kesadaran
haruslah dilakukan secara ketat. Bila memungkinkan, dapat juga dilakukan
pemeriksaan penunjang lainnya seperti CT scan pada pasien dengan
trauma kepala, atau pada pasien dengan tanda-tanda vital yang
menunjukkan ke arah perburukan yang dari segi klinis menunjukkan
20

adanya permasalahan di otak, seperti peningkatan tekanan intrakranial atau


adanya kecurigaan herniasi otak (Haslam, 2000).
Setelah stabilisasi tanda-tanda vital selesai dilakukan, dan pasien
berada dalam kondisi yang stabil, yang dapat dilakukan selanjutnya ialah
menggali riwayat pasien dengan cara anamnesis dengan orang-orang yang
mengetahui riwayat pasien secara rinci. Setelah dilakukan anamnenis,
pemeriksaan fisik yang mencakup pemeriksaan neurologis juga dapat
dilakukan, dan pemeriksaan penunjang juga dapat dilakukan guna
menegakkan diagnosis (Haslam, 2000).
Pendekatan tatalaksana anak yang datang dengan penurunan
kesadaran dapat mengikuti algoritme yang tercantum dalam gambar 2.7
dan 2.8. Tatalaksana awal penurunan kesadaran bertujuan untuk mencegah
terjadinya perburukan pada pasien. Hal pertama kali yang harus dilakukan
pada pasien yang datang dengan penurunan kesadaran ialah stabilisasi A
(airway / jalan napas), B (breathing, laju napas), dan C (circulation /
sirkulasi darah) (Pudjiadi, 2011).
Anak yang datang dengan penurunan kesadaran tanpa sebab yang
jelas, harus segera dilakukan pemeriksaan gula darah atau langsung
diberikan cairan dextrosa 25% sebanyak 1 4 mL/kgBB, setelah itu
dievaluasi responsnya. Respon yang membaik ditandai dengan perbaikan
kesadaraan perlahan-lahan, setelah terjadi perbaikan kesadaran, cairan
dextrosa dapat diturunkan menjadi dextrosa 10%. Pada kesadaran yang
tidak membaik setelah diberikan larutan dextrosa, hipoglikemia dapat
disingkirkan sebagai penyebab penurunan kesadaran, dan penyebab
lainnya harus segera dipikirkan (Pudjiadi, 2011).
CT scan kepala juga harus dilakukan pada setiap anak yang datang
dengan penurunan kesadaran akibat trauma kepala. Monitor adanya tanda-
tanda peningkatan tekanan intrakranial juga harus selalu dilakukan.
Pemberian manitol 20% sebanyak 0,5 1,0 gr/kgBB selama 30 menit
setiap 6 sampai 8 jam dapat diberikan apabila terdapat tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial yang jelas, seperti muntah proyektil,
papil edema, adanya defisit neurologis fokal. Pemberian naloxon sebagai
antidotum juga dapat dipertimbangkan apabila dicurigai adanya overdosis
21

narkotika. Pemberian kortikosteroid seperti dexametason mungkin


bermanfaat apabila terdapat edema perifokal (tumor). Dexametason dapat
diberikan dengan dosis 1-2 mg/kgBB. (Swaiman, 2013).
Kejang dan status epileptikus harus segera diatasi. Tenaga kesehatan
harus segera mengantisipasi adanya kejang. Adanya kejang walaupun tidak
selalu bermanifestasi secara klinis (status epileptikus non-konvulsif
subklinis) harus selalu dipertimbangkan. Ketersediaan EEG dalam fasilitas
kesehatan juga berguna dalam memantau pasien dengan penurunan
kesadaran. Pungsi lumbal dapat dipertimbangkan untuk dilakukan apabila
adanya kecurigaan terjadinya infeksi susunan saraf pusat, sehingga
pemberian antibiotik yang sesuai dapat segera diberikan (Swaiman, 2013).
Gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit juga perlu
dikoreksi sedini mungkin. Tidak menutup kemungkinan kalau penurunan
kesadaran yang terjadi merupakan akibat dari ketidakseimbangan
elektrolit, seperti hipokalsemia, hipernatremia, hiponatremia, atau
hipomagnesemia. Adanya asidosis atau alkalosis juga harus segera
dikoreksi secepat mungkin, agar metabolisme tubuh dapat berlangsung
normal kembali (Setyabudi et al., 2013).
Koreksi suhu tubuh harus selalu dilakukan. Pemberian antipiretik
yang sesuai harus diberikan guna menurunkan demam dan pencegahan
terjadinya asidosis. Pemberian sedatif bagi pasien yang sedang agitasi
dapat dipertimbangkan, karena agitasi dapat meningkatkan tekanan
intrakranial dan menyulitkan bantuan ventilasi mekanik. Namun,
pemberian obat-obatan yang bersifat sedatif harus selalu dimonitor, karena
obat-obatan sedatif dapat menyulitkan para tenaga kesehatan ketika
mengevaluasi status neurologis pasien (Setyabudi et al., 2013).
22

Gambar 2.7. Algoritma penatalaksanaan anak dengan penurunan kesadaran

Gambar 2.8. Algoritma penatalaksanaan anak dengan penurunan kesadaran

G. Prognosis
Prognosis pasien tergantung dari penyebab utama penyakit dibanding dari
dalamnya suatu koma. Koma yang disebabkan karena metabolik dan
intoksikasi obat lebih baik prognosisnya dibanding koma yang disebabkan oleh
kelainan struktur intrakranial. Kemungkinan penyembuhan dari koma yang
dalam selama lebih dari beberapa jam sulit diramalkan. Jika penyebabnya
adalah cedera kepala, bisa terjadi penyembuhan, bahkan jika koma berlangsung
selama beberapa minggu (tetapi tidak lebih dari 3 bulan). Penyembuhan total
setelah mengalami koma selama 1 bulan karena jantung berhenti atau karena
kekurangan oksigen, jarang terjadi (Hadiloizou, 2014).
Kadang setelah mengalami cedera kepala, kekurangan oksigen atau
kerusakan otak yang berat, penderita bisa masuk ke dalam status vegetatif. Pola
tidur dan terjaga relatif normal, penderita bisa bernafas dan menelan secara
23

spontan dan bahkan bisa memberikan reaksi yang mengejutkan terhadap suara
keras. Tetapi penderita kehilangan seluruh kemampuan berfikir dan perilaku
sadarnya, baik untuk sementara waktu maupun selamanya. Sebagian besar
penderita memiliki refleks abnormal yang khas, seperti kekakuan atau sentakan
pada lengan dan tungkainya (Hadiloizou, 2014).
Status locked-in adalah suatu keadaan yang jarang terjadi, dimana penderita
sadar dan mampu berfikir tetapi mengalami kelumpuhan hebat, sehingga hanya
bisa berkomunikasi dengan cara membuka atau menutup matanya. Secara
hukum seseorang dikatakan meninggal jika otaknya telah berhenti berfungsi,
meskipun jantungnya masih berdenyut. Dokter dapat menyatakan kematian
otak dalam waktu 12 jam setelah berusaha memperbaiki semua kelainan medis,
tetapi otak masih tidak memberikan respon, mata tidak bereaksi terhadap
cahaya dan penderita tanpa bantuan respirator penderita tidak bernafas
(Hadiloizou, 2014).

III. KESIMPULAN

1. Koma adalah suatu keadaan kesadaran yang hilang sama sekali, dalam arti
tidak terjaga/ tidak terbangun secara utuh sehingga tidak mampu
memberikan respon yang normal terhadap stimulus.
2. Kematian akibat koma pada anak di negara berkembang 50 kali lebih
tinggi dibanding negara maju. Di Indonesia, koma pada anak merupakan
salah satu penyebab utama kematian, yaitu sebesar 85 %
3. Penyebab koma pada anak dapat dibagi atas infeksi atau inflamasi,
kelainan struktur otak, metabolik, nutrisi atau toksik.
4. Penatalaksanaan koma pada anak yang pertama kali harus dilakukan oleh
para tenaga kesehatan ialah menstabilisasi tanda-tanda vital, penilaian
fungsi otak, deteksi dini kemungkinan perburukan.
24

5. Prognosis koma pada anak tergantung dari penyebab utama penyakit yang
menyebabkan koma.
25

DAFTAR PUSTAKA

Abend, N.S., Kessler, S.K., Helfaer, M.A., Licht, D.J. 2011. Evaluation of the
comatose child. Dalam Nichols, D. Textbook of Pediatric Intensive Care.
Edisi ke 4. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. hal: 846-61.

Anonymus. 2010. Coma and Impaired Consciousness. In Neurologic Disorders.


Diakses pada tanggal 2 November 2016. Available from :
http://www.merck.com/mmpe/sec21/ch310/c h310a.html.

Armour, D.A., dan Billmire, A.D. 2010. Pediatric thermal injury : acute care and
reconstruction update. American Journal of the Medical Sciences. p : 3-5.

Hadiloizou. 2014. Coma and other states of altered awareness in children. Dalam
David, R.B., Bodensteiner, J.R. Clinical pediatric neurology. Edisi ke 3.
New York : DemosMedical. Hal : 495-506.

Haslam, R. 2000. Koma pada Masa Anak. Dalam Behrman, R. E. Ilmu Kesehatan
Anak Nelson. hal. 2089-2092. Edisi 15. Volume 3. Jakarta : EGC.

Kelley, S.D. 2014. Coma. [book auth.] Humpreys RL Stone CK. Current
Diagnosis and Treatment : Emergency Medicine. McGraw-Hill.

Lazuardi. 2010. Koma. Dalam Soetomenggolo, T.S., Ismael, S. Buku Ajar


Neurologi Anak. Cetakan ke-2. Jakarta : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Hal : 92 102.

Passat. 2013. Datang Tidak Sadar, Apa yang Harus Dilakukan?. Dalam
Pusponegoro, H.D., Handyastuti, S. Pediatric Neurology and Neuro
Emergency in Daily Practice. Jakarta : FK UI.

Pudjiadi, H., Antonius, dkk. 2011. Penurunan Kesadaran. Dalam : Pedoman


Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jilid 2. Jakarta : IDAI. h.
205 210.

Posner, J., Saper, C.B., Schiff, N., Plum, F. 2013. Plum and Posner's Diagnosis of
Stupor and Coma. New York : Oxford University Press.

Ropper, A. 2011. Adams and Victor's Principles of Pediatric Neurology. New


York : McGraw-Hill. Vol. 8.

Segedin, L., Aickin, R., Shepherd, M. 2011. Coma (The Unconscious Child) :
Childrens Emergency Dept. Available from :
http://www.adhb.govt.nz/starshipclinicalguidelines/_Documents/Coma.pdf
(Diakses pada tanggal 3 November 2016).
26

Setyabudi, Mangunatmaja, I., Yuliarto, S. 2013. Evaluasi Diagnosis dan Tata


Laksana Penurunan Kesadaran pada Anak. Dalam Latief, A., Budiwardhana,
N. Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat. Jakarta : Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia. h. 19 29.

Sharma, S., Kochar, G.S., Sankhyan, N., Gulati, S. 2010. Approach to the Child
with Coma. Indian Journals of Pediatric. 77 : 1279 1287.

Swaiman, K.F., Ashwal, S., Ferriero, D.M., Schor, N.F. 2013. Pediatric Neurology
Principles and Practice. 5th ed. Vol.1. USA : Elsevier Saunders; p. 1064-
1070.

Solomon, P. 2014. Causes of coma in patients entering general hospital. American


Journal of the Medical Sciences, Vol. 188, p. 805.

Taylor, D.A., dan Ashwal, S. Impairment of consciousness and coma. Dalam


Ashwal, S., Ferriero, D. Pediatric Neurology : Principles & Practice. Edisi
ke 4. Philadelphia : Mosby Elsevie. h.1378-400.

WHO. 2008. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta :
WHO Indonesia.

Sherwood, L. 2010. Human Physiology From Cells to System. 7th ed. Canada :
Brooks/cole Cengage Learning.

Anda mungkin juga menyukai