I. PENDAHULUAN
Koma adalah suatu keadaan kesadaran yang hilang sama sekali, dalam arti
tidak terjaga/ tidak terbangun secara utuh sehingga tidak mampu memberikan
respon yang normal terhadap stimulus (Posner et al., 2013). Koma pada anak
merupakan kejadian gawat darurat yang seringkali dijumpai dalam praktik sehari-
hari, sebagai suatu kegawatan fungsi susunan saraf pusat memerlukan tindakan
yang cepat dan tepat, sebab semakin lama berlangsung makin parah keadaan
susunan saraf pusat sehingga kemungkinan makin kecil terjadinya penyembuhan
sempurna. Kesalahan dalam tatalaksana awal pasien anak yang datang dengan
koma dapat meningkatkan angka mortalitas. (Anonymus, 2010).
Koma pada anak dapat disebabkan beraneka ragam penyebab, intrakranial
ataupun ekstrakranial, yang mengakibatkan kerusakan struktural/ metabolik di
tingkat korteks serebri, batang otak atau keduanya. Penanggulangan koma sangat
tergantung pada patologi dasarnya serta patofisiologi gangguan kesadaran (Taylor
dan Ashwal, 2010).
Menurut (WHO, 2008) sebanyak 10 % dari penderita yang datang ke unit
gawat darurat merupakan penderita koma dan sebanyak 85 % dengan penyebab
medikal dan 15 % dengan penyebab struktural. Sedangkan penyebab terbanyak
koma pada anak di Indonesia pada tahun 2011-2014 adalah infeksi (38%), diikuti
epilepsi dan kelainan kongenital (masing-masing berkisar antara 8-10 %),
kecelakaan dan gangguan metabolik (masing- masing 6 %) dan selebihnya adalah
akibat pendarahan non traumatic dan penyakit keganasan (masing-masing 2 %)
(Passat, 2013). Data dari WHO menunjukkan, kematian akibat koma pada anak di
negara berkembang adalah 50 kali lebih tinggi dibanding negara maju.
Mortalitasnya sangat tinggi karena biasanya baru mendapat penanganan bila
keadaan sudah gawat. Di Indonesia, koma pada anak merupakan salah satu
penyebab utama kematian, yaitu sebesar 85 % (WHO, 2008).
Tingginya angka kejadian kematian akibat koma pada anak ini menjadi
dasar bagi penulis untuk membahas tentang kasus koma pada anak sehingga
tenaga medis diharapkan dapat mengetahui dan segera memberikan pertolongan
atau tindakan pertama saat menemui kasus koma pada anak.
2
A. Definisi
Kesadaran adalah keadaan yang mengacu kepada ketanggapan seseorang
terhadap lingkungan sekitarnya dan dirinya sendiri. Kesadaran memiliki dua
aspek, yaitu aspek wakefulness/ bangun dan awareness/ tanggap. Aspek bangun
diatur oleh sistem saraf otonom vegetatif otak yang bekerja karena adanya
stimulus ascendens dari tegmentum pontin, hipotalamus posterior dan thalamus
yang tergabung dan membentuk sebuah sistem bernama ARAS (Ascending
Reticular Activating System) yang merupakan bagian dari formatio retikularis.
Sementara aspek tanggap diatur oleh neuron-neuron yang berada pada korteks
otak dan proyeksi timbal baliknya dengan inti-inti yang terletak pada sub
korteks. Untuk menjadi tanggap terhadap lingkungan sekitarnya, seseorang
membutuhkan bangun, tetapi bangun dapat terjadi tanpa harus tanggap
(Pudjiadi, 2011). Pada keadaan ini aktifitas kompleks yang sesuai dengan usia
dapat dilakukan tanpa kesulitan dan anak dapat berorientasi baik dengan orang
lain, tempat, waktu, dan situasi (Taylor dan Ashwal, 2010).
Penurunan kesadaran pada anak merupakan kedaruratan yang dapat
mengancam jiwa dan membutuhkan diagnosis dan tata laksana cepat. Definisi
koma sendiri adalah suatu keadaan kesadaran yang hilang sama sekali, dalam
arti tidak terjaga/ tidak terbangun secara utuh sehingga tidak mampu
memberikan respon yang normal terhadap stimulus (Posner et al., 2013).
B. Epidemiologi
Prevalensi dan insidensi dari koma sulit untuk ditentukan secara pasti,
mengingat luas dan beragamnya faktor penyebab dari koma. Laporan rawat
inap nasional Inggris tahun 2010-2013 melaporkan bahwa 0,02 % dari seluruh
konsultasi rumah sakit disebakan oleh gangguan terkait dengan koma dan
penurunan kesadaran, 82% dari kasus tersebut memerlukan rawat inap di
rumah sakit (Solomon, 2014).
Menurut (WHO, 2008) sebanyak 10 % dari penderita yang datang ke unit
gawat darurat merupakan penderita koma dan sebanyak 85 % dengan penyebab
medikal dan 15 % dengan penyebab struktural. Sedangkan penyebab terbanyak
3
koma pada anak di Indonesia pada tahun 2011-2014 adalah infeksi (38%),
diikuti epilepsi dan kelainan kongenital (masing-masing berkisar antara 8-10
%), kecelakaan dan gangguan metabolik (masing- masing 6 %) dan selebihnya
adalah akibat pendarahan non traumatik, asma dan penyakit keganasan
(masing-masing 2 %) (Passat, 2013).
C. Etiologi
Secara garis besar penyebab koma pada anak dapat dibagi atas infeksi atau
inflamasi, kelainan struktur otak, metabolik, nutrisi atau toksik. Penyebab
struktural biasanya melibatkan disfungsi sistem ARAS. Berikut diagnosis
kemungkinan penyebab penurunan kesadaran (Passat, 2013) :
Tabel 2.1. Penyebab Koma pada Anak (Passat, 2013)
Infeksi atau Inflamasi Struktural Metabolik, Nutrisi, Toksin
A. Infeksi A. Trauma A. Hipoksik - iskemik
Meningitis Kontusio Syok
Ensefalitis Perdarahan Intrakranial Gagal jantung atau paru
Riketsia, protozoa Shaken baby syndrome Tenggelam
Infestasi cacing B. Neoplasma Keracunan CO, sianida
Sepsis Tumor intraserebri Strangulasi
B. Inflamasi C. Penyakit vascular B. Kelainan metabolic
Vaskulitis Infark otak Sarkoidosis, hipoglikemia
Demielitis Kelainan kongenital Gangguan cairan + elektrolit
Acute demyelinating Trauma tulang belakang Kelainan endokrin
Encephalomyelitis D. Infeksi fokal Asidosis
Multiple sclerosis Abses Ketoasidosis diabetika
Ensepalopati Serebritis Aminoasidemia
E. Hidrosefalus Organik asidemia
F. Kejang Hiperamonia
Hepatik, uremia
Sindrom Reye dll
Uremia
Hipotermi, hipertermi
C. Nutrisi
Defisiensi piridoksin, as folat
D. Toksin eksogen
Obat-obatan
Logam berat
Selain itu, penyebab koma pada anak secara garis besar dapat disingkat/
dibuat jembatan keledai menjadi kalimat SEMENITE (Armour dan Billmire,
2010) :
4
D. Patofisiologi
Kesadaran seseorang dipengaruhi oleh dua struktur yang sangat berperan
dalam mengatur tingkat kesadaran seseorang, yakni ARAS (Ascending
Reticular Activating System) yang merupakan bagian dari formatio retikularis
dan korteks serebri. Kontrol utama kesadaran terletak pada sistem formatio
retikularis yang memiliki fungsi sebagai berikut (Sherwood, 2010) :
1. Mengontrol derajat kewaspadaan
2. Kemampuan mengarahkan perhatian
3. Memfiltrasi informasi sensoris
4. Mengkoordinasi aktivitas-aktivitas otot
Mekanisme kesadaran dapat dijelaskan sebagai berikut, informasi sensoris
yang berasal dari tubuh ketika mencapai formatio retikularis akan diteruskan ke
korteks serebri melalui serat-serat ascendens yang menyusun sistem ARAS.
Adanya gangguan pada salah satu atau kedua struktur tersebut dapat
menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran (Sherwood, 2010)
Koma dihasilkan oleh dua kelompok besar permasalahan (Passat, 2013) :
1. Permasalahan morfologis, terdiri dari lesi-lesi berbatas tegas di batang
otak bagian atas atau diensefalon bawah (dapat lesi primer atau sekunder
karena kompresi ) dan juga dapat terjadi oleh karena perubahan yang lebih
luas di hemisfer serebri.
2. Kausal-kausal metabolik atau sub-mikroskopik yang menyebabkan
penekanan aktivitas neuron. Pemeriksaan klinis koma dirancang untuk
memisahkan mekanisme berbeda ini dan memberikan gambaran mengenai
kedalaman disfungsi otak.
5
E. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Peristiwa dan keadaan sebelum awitan, riwayat penyakit, dan
pengobatan terdahulu mungkin bermanfaat untuk menentukan penyebab
pasien mengalami penurunan kesadaran atau tidak sadar. Riwayat penyakit
yang penting antara lain (Pudjiadi, 2011; Haslam, 2000) :
a) Pasien mengalami kecelakaan lalu lintas tertabrak mobil,
kemungkinan akibat trauma kepala.
b) Pasien tiba-tiba mengalami sakit kepala hebat kemudian tidak sadar
dapat disebabkan arteri vena malformasi (AVM) yang tiba-tiba pecah.
c) Anak tiba-tiba tidak sadar karena pecahnya pembuluh darah, anak
jatuh mungkin karena perdarahan intrakranial atau anak tidak sadar
setelah kejang lama.
d) Pasien mengalami panas tinggi, mengigau kemudian kejang dapat
disebabkan ensefalitis.
e) Sakit kepala dengan kekakuan di leher dapat disebabkan meningitis.
f) Pasien satu hari ini riba-tiba muntah-muntah kemudian mulai tidak
sadar dapat disebabkan Sindrom Reye.
10
b) Pola nafas
Kontrol pernapasan manusia diatur oleh interaksi antara batang
otak dan korteks serebri, dimana batang otak mengatur keinginan
untuk bernapas (drive), sedangkan korteks serebri mengatur pola
pernapasan. Pusat pengaturan pernapasan pada batang otak terletak di
pons dan medulla oblongata. Gangguan seperti gangguan metabolik
14
Dilatasi pupil
Satu sisi : tumor, ancaman herniasi, pasca kejang, lesi pada N.III
Dua sisi : pasca kejang, hipotermia, hipoksia, kerusakan menetap,
ensefalitis, syok akibat perdarahan
Konstriksi pupil
Menetap : kelainan pons, gangguan metabolik
Reaktif : kelainan medula oblongata, gangguan metabolik
Midsized pupil
Menetap : herniasi sentral
Gambar 2.6. Reaksi bola mata pada pemeriksaan dolls eye movement 6
3) Pemeriksaan Kalorik
Pemeriksaan kalorik (refleks okulovestibular) juga berguna
dalam menilai gerakan bola mata pada pasien dengan penurunan
kesaadaran. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara mengalirkan
air hangat atau air dingin ke dalam membaran timpani pasien,
kemudian di evaluasi, kemanakah gerakan bola mata pasien.
Normalnya, apabila membran timpani dialiri oleh air dingin, bola
mata akan bergerak mendekati rangsangan, sementara apabila
membran timpani dialiri air hangat, bola mata akan bergerak
menjauhi arah rangsangan. Hasil pemeriksaan yang tidak sesuai
dengan keadaan normalnya dapat mengindikasikan adanya
kelainan struktural yang terjadi pada batang otak bagian bawah
18
F. Penatalaksanaan
Tujuan utama tatalaksana pasien yang datang dengan penurunan
kesadaran ialah mencegah kerusakan otak lebih lanjut. Ketika pasien
datang dengan kesadaran yang menurun, yang pertama kali harus
dilakukan oleh para tenaga kesehatan ialah menstabilisasi tanda-tanda
vital, penilaian fungsi otak, deteksi dini kemungkinan perburukan, dan
apabila memungkinkan menganalisa penyebab terjadinya penurunan
kesadaran pada pasien (Abend et al., 2011).
Evaluasi dan tatalaksana awal pada pasien dengan penurunan
kesadaran yang paling penting ialah penilaian A (airway), B (Breathing),
dan C (Circulation). Permasalahan pada ketiga aspek tersebut,
membutuhkan penanganan segera seperti pemasangan intubasi endotrakeal
apabila terbukti adanya sumbatan yang menghalangi jalan nafas pasien.
Adekuatnya perfusi dan sirkulasi juga harus segera dinilai. Akses intravena
juga sebaiknya langsung dipasang guna memudahkan tatalaksana awal.
Bahan-bahan pemeriksaan untuk laboratorium, seperti darah dan urin juga
seharusnya segera diambil. Pemasangan folley catheter juga harus segera
dilakukan guna memonitor jumlah urin yang keluar dan sebagai bahan
pemeriksaan untuk dibawa ke laboratorium guna pemeriksaan lebih lanjut
(Abend et al., 2011).
Monitor-tanda-tanda vital pada pasien dengan penurunan kesadaran
haruslah dilakukan secara ketat. Bila memungkinkan, dapat juga dilakukan
pemeriksaan penunjang lainnya seperti CT scan pada pasien dengan
trauma kepala, atau pada pasien dengan tanda-tanda vital yang
menunjukkan ke arah perburukan yang dari segi klinis menunjukkan
20
G. Prognosis
Prognosis pasien tergantung dari penyebab utama penyakit dibanding dari
dalamnya suatu koma. Koma yang disebabkan karena metabolik dan
intoksikasi obat lebih baik prognosisnya dibanding koma yang disebabkan oleh
kelainan struktur intrakranial. Kemungkinan penyembuhan dari koma yang
dalam selama lebih dari beberapa jam sulit diramalkan. Jika penyebabnya
adalah cedera kepala, bisa terjadi penyembuhan, bahkan jika koma berlangsung
selama beberapa minggu (tetapi tidak lebih dari 3 bulan). Penyembuhan total
setelah mengalami koma selama 1 bulan karena jantung berhenti atau karena
kekurangan oksigen, jarang terjadi (Hadiloizou, 2014).
Kadang setelah mengalami cedera kepala, kekurangan oksigen atau
kerusakan otak yang berat, penderita bisa masuk ke dalam status vegetatif. Pola
tidur dan terjaga relatif normal, penderita bisa bernafas dan menelan secara
23
spontan dan bahkan bisa memberikan reaksi yang mengejutkan terhadap suara
keras. Tetapi penderita kehilangan seluruh kemampuan berfikir dan perilaku
sadarnya, baik untuk sementara waktu maupun selamanya. Sebagian besar
penderita memiliki refleks abnormal yang khas, seperti kekakuan atau sentakan
pada lengan dan tungkainya (Hadiloizou, 2014).
Status locked-in adalah suatu keadaan yang jarang terjadi, dimana penderita
sadar dan mampu berfikir tetapi mengalami kelumpuhan hebat, sehingga hanya
bisa berkomunikasi dengan cara membuka atau menutup matanya. Secara
hukum seseorang dikatakan meninggal jika otaknya telah berhenti berfungsi,
meskipun jantungnya masih berdenyut. Dokter dapat menyatakan kematian
otak dalam waktu 12 jam setelah berusaha memperbaiki semua kelainan medis,
tetapi otak masih tidak memberikan respon, mata tidak bereaksi terhadap
cahaya dan penderita tanpa bantuan respirator penderita tidak bernafas
(Hadiloizou, 2014).
III. KESIMPULAN
1. Koma adalah suatu keadaan kesadaran yang hilang sama sekali, dalam arti
tidak terjaga/ tidak terbangun secara utuh sehingga tidak mampu
memberikan respon yang normal terhadap stimulus.
2. Kematian akibat koma pada anak di negara berkembang 50 kali lebih
tinggi dibanding negara maju. Di Indonesia, koma pada anak merupakan
salah satu penyebab utama kematian, yaitu sebesar 85 %
3. Penyebab koma pada anak dapat dibagi atas infeksi atau inflamasi,
kelainan struktur otak, metabolik, nutrisi atau toksik.
4. Penatalaksanaan koma pada anak yang pertama kali harus dilakukan oleh
para tenaga kesehatan ialah menstabilisasi tanda-tanda vital, penilaian
fungsi otak, deteksi dini kemungkinan perburukan.
24
5. Prognosis koma pada anak tergantung dari penyebab utama penyakit yang
menyebabkan koma.
25
DAFTAR PUSTAKA
Abend, N.S., Kessler, S.K., Helfaer, M.A., Licht, D.J. 2011. Evaluation of the
comatose child. Dalam Nichols, D. Textbook of Pediatric Intensive Care.
Edisi ke 4. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. hal: 846-61.
Armour, D.A., dan Billmire, A.D. 2010. Pediatric thermal injury : acute care and
reconstruction update. American Journal of the Medical Sciences. p : 3-5.
Hadiloizou. 2014. Coma and other states of altered awareness in children. Dalam
David, R.B., Bodensteiner, J.R. Clinical pediatric neurology. Edisi ke 3.
New York : DemosMedical. Hal : 495-506.
Haslam, R. 2000. Koma pada Masa Anak. Dalam Behrman, R. E. Ilmu Kesehatan
Anak Nelson. hal. 2089-2092. Edisi 15. Volume 3. Jakarta : EGC.
Kelley, S.D. 2014. Coma. [book auth.] Humpreys RL Stone CK. Current
Diagnosis and Treatment : Emergency Medicine. McGraw-Hill.
Passat. 2013. Datang Tidak Sadar, Apa yang Harus Dilakukan?. Dalam
Pusponegoro, H.D., Handyastuti, S. Pediatric Neurology and Neuro
Emergency in Daily Practice. Jakarta : FK UI.
Posner, J., Saper, C.B., Schiff, N., Plum, F. 2013. Plum and Posner's Diagnosis of
Stupor and Coma. New York : Oxford University Press.
Segedin, L., Aickin, R., Shepherd, M. 2011. Coma (The Unconscious Child) :
Childrens Emergency Dept. Available from :
http://www.adhb.govt.nz/starshipclinicalguidelines/_Documents/Coma.pdf
(Diakses pada tanggal 3 November 2016).
26
Sharma, S., Kochar, G.S., Sankhyan, N., Gulati, S. 2010. Approach to the Child
with Coma. Indian Journals of Pediatric. 77 : 1279 1287.
Swaiman, K.F., Ashwal, S., Ferriero, D.M., Schor, N.F. 2013. Pediatric Neurology
Principles and Practice. 5th ed. Vol.1. USA : Elsevier Saunders; p. 1064-
1070.
WHO. 2008. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta :
WHO Indonesia.
Sherwood, L. 2010. Human Physiology From Cells to System. 7th ed. Canada :
Brooks/cole Cengage Learning.