Anda di halaman 1dari 6

VAGOSINOSIS BAKTERIAL

No. ICPC-2 : S88 Dermatitis contact/allergic


No. ICD-10 : L24 Irritant contact dermatitis
Tingkat Kompetensi : 4A

PENDAHULUAN

TUJUAN PEMBELAJARAN

TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM

Modul ini bertujuan agar dokter menguasai penyakit Vagosinosis Bakterial serta
penatalaksanaannya secara komprehensif.

TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS

Setelah menyelesaikan modul ini, dokter diharapkan mampu:


1. Menentukan diagnosis penyakit dengan tepat berdasarkan hasil analisis data yang
didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
2. Mengidentifikasi penyebab penyakit, faktor risiko, dan mekanisme terjadinya penyakit
(patogenesis) dalam rangka menerapkan strategi penatalaksanaan yang komprehensif
bagi pasien, keluarga, dan masyarakat.
3. Menerapkan penatalaksanaan penyakit secara farmakologis dan non-farmakologis
dengan mengacu pada prinsip kendali mutu, manfaat, keadaan pasien dan sesuai pilihan
pasien.
4. Menerapkan prinsip dan langkah pencegahan penyakit dengan melibatkan pasien,
keluarga, dan masyarakat untuk mencegah kekambuhan penyakit.

DEFINISI

Vaginosis bakterial (VB) merupakan salah satu infeksi pada vagina yang terjadi karena
adanya perkembangan berlebihan dari flora normal di vagina. Vaginosis bakterial
dikarakteristikkan dengan munculnya sekret putih atau abu dan berbau “fishy odor” dari
vagina. Vaginosis bakterial diasosiasikan dengan peningkatan bakteri seperti Gardnerella
(Haemophilus) dan Mycoplasma serta penurunan spesies Lactobacillus yang signifikan

EPIDEMIOLOGI

Vaginosis bakterial merupakan infeksi pada vagina tersering pada wanita usia reproduksi
dengan prevalensi sekitar 5 - 70%. VB lebih banyak ditemukan pada wanita di Afrika
dibandingkan Asia dan Eropa. VB lebih banyak ditemukan pada wanita yang memiliki
pasangan seksual multipel, tidak menikah, pertama kali berhubungan seksual pada usia muda
dan pada kelompok pekerja seksual komersil.

FAKTOR RISIKO
Beberapa faktor risiko vaginosis bakterial diantaranya :
1. Ras kulit hitam
2. Pasangan seksual multipel atau baru berganti pasangan
3. Pasangan seksual sesama wanita
4. Berhubungan tanpa menggunakan kondom
5. Douching secara rutin
6. Penggunaan antibiotik
7. Merokok
8. Penggunaan AKDR

ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI


Meskipun vaginosis bakterial sampai saat ini belum dianggap sebagai infeksi menular
seksual, peran transmisinya belum sepenuhnya dimengerti. Penyebaran bakteri antar
individu melalui hubungan seksual dan senggama dipercayai dapat merubah
keseimbangan flora normal di vagina sehingga menyebabkan perkembangan VB. Secara
umum, VB diakibatkan karena menurunnya jumlah flora normal vagina yaitu Lactobacilli
yang secara fisiologis menghasilkan hydrogen peroksida dan bertanggung jawab terhadap
kadar pH yang asam di sekitar vagina. Menurunnya Lactobacillus juga disertai dengan
pertumbuhan berlebih dari bakteri patogen yaitu bakteri anaerobic seperti Gardnerella
(Haemophilus), Mycoplasma, Prevotella dan Mobiluncus.
Pergantian Lactobacillus menjadi Gardnerella kemudian meningkatkan pH di
sekitar vagina dan meskipun belum sepenuhnya dipahami, infeksi VB diyakini dimulai dari
pembentukan biofilm oleh Gardnerella yang kemudian menginduksi adanya pertumbuhan
bakteri – bakteri oportunistik di vagina. Hal tersebut meningkatkan risiko terjadinya infeksi
menular seksual lainnya. Selain itu, VB juga berkaitan dengan terbentuknya enzim yang
menurunkan fungsi leukosit dan peningkatan endotoksin yang menstimulasi produksi sitokin
dan prostaglandin pada vagina.

PENEGAKAN DIAGNOSIS

ANAMNESIS

Keluhan utama pasien dengan infeksi VB adalah munculnya keputihan dari vagina yang
berbau amis atau “fishy odor”. Seringkali jumlah dari keputihan ini bertambah setelah
berhubungan seksual atau setelah menstruasi. Keluhan lain diantaranya dysuria, dyspareunia
dan pruritus. Namun, sebagian besar wanita bersifat asimptomatik. Perlu ditelusuri adanya
riwayat infeksi sebelumnya dan faktor risiko yang ada.
Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan adanya sekret berwarna putih atau abu, tipis dan
lengket pada genitalia eksterna atau menempel pada dinding vagina saat dilakukan
pemeriksaan dengan inspekulum. Pada VB, seringkali tidak didapati eritema dan edema pada
genitalia eksterna. Pemeriksaan fisik lain sepeti adanya demam, nyeri goyang dan nyeri
pelvis perlu dilakukan untuk mengesampingkan adanya infeksi pada pelvis maupun infeksi
menular seksual lainnya.

DIAGNOSIS KLINIK

Kriteria diagnostik untuk vaginosis bakterial merujuk pada kriteria Amsel (1983), yaitu :
1. Terdapat sekret berwarna putih homogen
2. Pemeriksaan mikroskopis terhadap preparat salin dari sekret vagina.
a. Preparat salin atau “wet prep” yaitu sampel dari sekret yang diteteskan salin pada kaca
preparat dan diperiksa dibawah mikroskop
b. Ditemukan adanya clue cells setidaknya 20% dari semua sel.
Clue cells merupakan sel epitel yang menempel pada bakteri patogen sehingga
menghasilkan gambar batas sel yang tidak jelas. Clue cells dianggap sebagai indikator
yang paling pasti dari VB.

3. Keluarnya volatile amines yang merupakan hasil dari metabolisme bakteri anaerobik.
Pemeriksaan “whiff test” dilakukan dengan menambahkan KOH 10% pada sampel sekre
vagina. Hasil positif apabila terdapat bau amis yang keluar yang merupakan metabolisme
bakteri anaerobik di vagina.
4. Pemeriksaan pH vagina. Tingkat keasaman di daerah vagina menjadi pH > 4.5. Pada
infeksi Trichomonas vaginalis, dapat pula ditemukan pH yang tinggi. Diagnosis
trikomonisasis disingkirkan apabila tidak ditemukan trikomonas pada pemeriksaan
mikroskopik.
Diagnosis vaginosis bakterial dapat ditegakkan apabila terdapat 3 dari 4 kriteria positif
berdasarkan hasil pemeriksaan. Apabila sekret tidak ditemukan, maka ketiga kriteria
diagnosis lainnya harus ditemukan sehingga vaginosis bakterial dapat ditegakkan.
Selain Kriteria Amsel, dapat dilakukan pula pewarnaan Gram dan skoring dengan
menggunakan Nugent Scoring. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menghitung jumlah
Lactobacillus dan bakteri patogen lainnya seperti Gardnerella, Mobiluncus dan Bacteroides
secara kuantitatif. Jumlah skor 0 – 3 menunjukkan kondisi yang normal, 4-6 dianggap
intermediate dan 7-10 diindikasikan sebagai Vaginosis Bakterial. Namun, metode ini
dianggap kurang praktis karena perlunya peralatan laboratorium dan ekspertise yang ahli
dalam bidangnya.

DIAGNOSIS BANDING

Vaginosis bacterial dapat didiagnosis banding dengan infeksi vagina lain yang juga
mengeluarkan sekret, yaitu kandidiasis dan trikomoniasis. Perbedaan antara ketiganya dapat
dirangkum dalam tabel sebagai berikut.
Selain itu, perlu dipertimbangkan adanya koinfeksi dengan infeksi menular lainnya karena
vaginosis bakterial meningkatkan risiko penularan PMS. Lebih jauh lagi, CDC juga
merekomendasikan pemeriksaan terhadap HIV terutama pada kelompok berisiko karena
vaginosis bakterial juga meningkatkan risiko penularan HIV.

PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF
Terapi perlu diinisiasi untuk mengurangi gejala simptomatik. Beberapa regimen yang
direkomendasikan oleh CDC antara lain :1,3,4
1. Regimen rekomendasi :
a. Metronidazole 2 x 500 mg PO selama 7 hari.
b. Metronidazole gel 0.75% aplikasi 1 x 5 g intravaginal selama 5 hari.
c. Clindamycin krim 2 %, aplikasi 1 x 5 g intravaginal saat malam hari selama 7 hari.
2. Regimen alternatif:
a. Tinidazole 1 x 2 g PO selama 2 hari b. Tinidazole 1 x 1 g PO selama 5 hari
b. Clindamycin 2 x 300 mg PO selama 7 hari
c. Clindamycin ovul 1 x 100 mg secara intravaginal saat malam hari selama 3 hari
Pada wanita hamil, regimen medikamentosa yang diberikan sama seperti wanita yang tidak
hamil. Metronidazole dianggap aman bahkan pada trimester pertama dan tidak menyebabkan
berat badan lahir rendah, kelahiran prematur, maupun kecacatan. Penggunaan tinidazole
pada wanita hamil belum cukup bukti yang kuat sehingga pemakaiannya dihindari pada
wanita hamil.
Tatalaksana non-medikamentosa meliputi edukasi pasien untuk selalu menjaga kebersihan
dan membersihkan daerah genitalia dengan air mengalir dan embasuh daerah genitalia
menggunakan air dengan benar dari depan ke belakang setiap selesai buang air kecil maupun
buang air besar. Selain itu, menyarankan pasien untuk memakai celana dalam dengan bahan
yang halus dan tidak terlalu ketat, serta mengganti celana dalam jika dirasa sudah lembab.
Pasien juga diingatkan supaya rajin mengganti pembalut jika sedang haid dalam rangka
pencegahan bertumbuhnya bakteri di daerah genitalia.

KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS


Vaginosis Bakterial yang tidak ditatalaksana dapat meningkatkan risiko terhadap penyakit
infeksi lainnya seperti vaginitis, endometritis, pelvic indlammatory disease (PID), infeksi
Neisseria gonorrheae atau Chlamydia trachomatis, bahkan kemungkinan infeksi HIV.
Terhadap ibu hamil, studi observasional menunjukkan adanya peningkatan risiko persalinan
preterm, ketuban pecah dini premature dan abortus spontan pada ibu hamil yang didiagnosis
vaginosis bakterial.
Setidaknya pada sebanyak 30% kasus yang memiliki respon terhadap terapi akan mengalami
rekurensi pada 3 bulan pertama dan lebih dari 50% kasus akan mengalami rekurensi pada 12
bulan pertama. Jika pasien memiliki rekurensi multiple, terapi supresif mungkin diperlukan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Hoffman BL, Schorge JO, Halvorson LM, Hamid CA, Corton MM, Schaffer JI, et al.
2. Williams GYNECOLOGY. 4th Edition. United States of America: McGraw-Hill
Education; 2016.
3. Kairys, N. and Garg, M., Bacterial Vaginosis. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing; 2020 Jan
4. DECHERNEY, Alan H. and NATHAN, Lauren (eds.), Current diagnosis & treatment
obstetrics & gynecology. Lange Medical Books/McGraw-Hill Companies, Inc. 2013.
5. Bagnall P, Rizzolo D. Bacterial vaginosis: a practical review. Journal of the American
Academy of PAs. 2017 Dec 1;30(12):15-21.
6. Stead L, Stead SM, Kaufman MS, Suarez L. First Aid for The® Obstetrics and
Gynecology Clerkship. McGraw Hill Professional; 2007.

Anda mungkin juga menyukai