Anda di halaman 1dari 37

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bakterial Vaginosis


2.1.1. Definisi

Vaginosis bakterial (VB) merupakan sindrom klinis yang disebabkan oleh


bertambah banyaknya organisme komensal dalam vagina (yaitu Gardnerella vaginalis,
Prevotella, Mobiluncus spp.) serta berkurangnya organisme laktobasilus terutama
Lactobacillus yang menghasilkan hidrogen peroksida. Pada vagina yang sehat,
laktobasilus ini mempertahankan suasana asam dan aerob. Penyebab spesifik vaginosis
bakterial ini masih belum diketahui pasti. Begitu banyak terminologi yang dipakai
untuk vaginitis yang disebabkan oleh Gardnerella vaginalis, misalnya Haemophilus
vaginalis vaginitis, Corynebacterium vaginale vaginitis, Gardnerella vaginalis
vaginitis, Gardnerella vaginalis associated vaginalis syndrome, Gardnerella Dukes
diseases, anaerob vaginosis, dan nonspecific vaginosis (Indriatmi westi, 2021).

2.1.2 Etiologi

Kejadian vaginosis bakterial dihubungkan dengan pasangan seksual multipel,


pasangan seksual baru, dan riwayat IMS sebelumnya, namun apakah vaginosis bakterial
dianggap sebagai salah satu IMS masih diperdebatkan. Pernah dilaporkan bahwa
vaginosis bakterial dapat terjadi pada perempuan yang belum pernah melakukan
hubungan seksual genito-genital. Meskipun demikian, perempuan yang terkena
vaginosis bakterial ini lebih berisiko terkena IMS lainnya, termasuk infeksi HIV
(Indriatmi westi, 2021).

2.1.3 Epidemiologi

Vaginosis bakterial paling sering ditemukan pada perempuan usia reprodutif,


aktif seksual, termasuk lesbian, dan banyak ditemukan pada perempuan yang
memeriksakan diri untuk layanan ginekologik. Prevalensi meningkat pada perempuan
yang datang ke klinik IMS. Keadaan ini juga dapat ditemukan pada ibu hamil.
Perempuan yang memakai alat kontrasepsi dalam rahim dan melakukan bilas vagina
lebih banyak ditemukan menderita vaginosis bacterial (Indriatmi westi, 2021).

Prevalensi vaginosis bakterial pada ibu hamil bervariasi luas, Dalam satu
penelitian besar di Amerika Serikat, 13.747 wanita hamil pada usia kehamilan 23-26
minggu menjalani evaluasi untuk vaginosis bakterial dengan kriteria pewarnaan Gram
vagina standar. Sementara 16,3% wanita memiliki vaginosis bakterial, prevalensinya
sangat bervariasi menurut etnis. 6,1% orang Asia, 8,8% wanita kulit putih, 15,9%
wanita Hispanik, dan 22,7% wanita kulit hitam. Studi lain menemukan prevalensi
vaginosis bakterial antenatal sebesar 5% di antara wanita Italia tanpa gejala,18 12% di
Helsinki,19 14% di Denmark,20 21% di London,21 14% di Jepang, 16% di Thailand,22
dan 17% di Indonesia (Holmes king, 2008).

Di sisi lain, vaginosis bacterial didiagnosis hanya pada 18% wanita di Amerika
Serikat yang dirawat di rumah sakit dengan komplikasi AIDS. Wanita yang aktif secara
seksual lebih sering terinfeksi G. vaginalis daripada wanita yang tidak berpengalaman
secara seksual, tetapi tetap saja 10-31% gadis remaja yang tidak berpengalaman secara
seksual memiliki kultur vagina positif untuk G. vaginalis. (Holmes king, 2008).

2.1.4 Patofisiologi

Vaginosis bakterial timbul akibat perubahan ekosistem mikrobiologis vagina,


sehingga bakteri normal dalam vagina (Lactobacillus spp.) sangat berkurang. Secara in
vitro, Lactobacillus vagina akan menghambat G. vaginalis, Mobiluncus dan batang
anaerob Gram-negatif. Beberapa galur Lactobacillus dapat menghasilkan hidrogen
peroksidase (H₂O) yang banyak dijumpai dalam vagina normal dibandingkan dengan
vagina pasien vaginosis bacterial. Zat amin yang dihasilkan oleh mikroorganisme,
mungkin melalui kerja dekarboksilase mikroba, berperan dalam bau amis abnormal
yang timbul bila duh vagina ditetesi dengan larutan kalium-hidroksida (KOH) 10%.
Pemeriksaan ini disebut sebagai tes amin atau whiff test atau sniff test sebagai akibat
penguapan amin aromatik termasuk putresin, kadaverin, dan trimetilamin pada keadaan
pH alkali. Trimetilamin dianggap paling berpesan dalam bau duh vagina yang
dikeluhkan oleh perempuan yang menderita vaginosis bakterial. Cairan vagina pasien
vaginosis bakterial mengandung banyak endotoksin, sialidase, dan glikosidase yang
akan mendegradasi musin sehingga mengurangi viskositasnya, dan menghasilkan duh
tubuh vagina yang homogen dan encer (Indriatmi westi, 2021).

Sejauh ini, tidak ada faktor host yang dapat meningkatkan kerentanan terhadap
vaginosis bakterial. Pengecualian yang mungkin adalah penggunaan IUD, tetapi
mekanisme penggunaan IUD dapat meningkatkan risiko BV tidak dipahami dan jenis
IUD pelepas progestin yang lebih baru belum dievaluasi hubungannya dengan BV.
(Holmes king, 2008). Hubungan antara BV dan peningkatan risiko IMS di masa depan
berasal dari fakta bahwa BV memungkinkan potensi patogen vagina lainnya untuk
mendapatkan akses ke saluran genital bagian atas. BV juga bertanggung jawab atas
keberadaan enzim yang mengurangi kemampuan leukosit inang untuk melawan infeksi
dan peningkatan pelepasan endotoksin yang merangsang produksi sitokin dan
prostaglandin di dalam vagina (Norah, Kairys, 2022).

2.1.5 Gambaran Klinis

Sebanyak 50% perempuan yang menderita vaginosis bakterial tidak


menunjukkan keluhan atau gejala (asimtomatik). Bila ada keluhan, umumnya berupa
duh tubuh vagina abnormal yang berbau amis, yang seringkali terjadi setelah hubungan
seksual tanpa kondom. Jarang terjadi keluhan gatal, disuria atau dispareunia. Umumnya
pasangan seksual atau suami pasien yang mengeluhkan mengenai duh vagina berbau
tersebut. Pada pemeriksaan klinis menunjukkan duh tubuh vagina berwarna abu-abu
homogen, viskositas rendah atau normal, berbau amis, melekat di dinding vagina,
seringkali terlihat di labia dan fourchette, pH sekret vagina berkisar antara 4,5-5,5.
Tidak ditemukan tanda peradangan. Gambaran serviks normal.

2.1.6 Diagnosis

Terdapat berbagai kriteria dalam menegakkan diagnosis vaginosis bacterial.


Umumnya digunakan kriteria Amsel, berdasarkan 3 dari 4 temuan berikut :

a) Duh tubuh vagina berwarna putih keabu-abuan, homogen, melekat di vulva dan
vagina
b) Terdapat clue-cells pada duh vagina (>20% total epitel vagina yang tampak pada
pemeriksaan sediaan basah dengan NaCl fisiologis dan pembesaran 100 kali)
c) Timbul bau amis pada duh vagina yang ditetesi dengan larutan KOH 10% (tes
amin positif)
d) pH duh vagina lebih dari 4,5

Gambaran pewarnaan Gram duh tubuh vagina diklasifikasikan menurut modifikasi


kriteria Spiegel dkk, sebagai berikut :

a) Diagnosis vaginosis bakterial dapat ditegakkan kalau ditemukan campuran jenis


bakteria termasuk morfotipe Gardnerella dan batang positif-Gram atau negatif-
Gram yang lain atau kokus atau keduanya. Terutama dalam jumlah besar, selain
itu dengan mofotipe Lactobacillus dalam jumlah sedikit atau tidak ada di antara
flora vaginal dan tanpa adanya bentuk-bentuk jamur.
b) Normal kalau terutama ditemukan morfotipe Lactobacillus di antara flora
vaginal dengan atau tanpa morfotipe Gardnerella dan tidak ditemukan bentuk
jamur.
c) Indeterminate kalau di antara kriteria tidak normal dan tidak konsisten dengan
vaginosis bakterial.

Kriteria diagnosis lain berdasarkan skor hasil pewarnaan Gram duh vagina disebut
sebagai kriteria Nugent. Kriteria ini lebih rumit dibandingkan dengan kriteria Amsel.
Skala abnormalitas flora vagina terbagi atas :

a) Normal (skor 0-3)


b) Menengah (skor 4-6)
c) Bakterial vaginosis (skor 7-10)

Cara ini berdasarkan pergeseran morfotipe bakteri, dari dominan Lactobacillus


menjadi dominan Gardnerella dan bakteri anaerob. Sensitivitas kriteria ini 89% dan
spesifisitas 83% dalam mendiagnosis vaginosis bacterial (Indriatmi westi, 2021).
Tabel 2. 1 Perbedaan vagina normal dan vaginosis bacterial (Khedkar, 2022)

Gambar 2. 1 Pewarnaan Gram cairan vagina normal, menunjukkan batang gram positif dengan
ujung tumpul yang konsisten dengan laktobasilus (Holmes king, 2008)
Gambar 2. 2 Pewarnaan gram cairan vagina dari wanita dengan vaginosis bakteri menunjukkan
tidak adanya lactobacilli dan sejumlah besar coccobacilli gram negatif atau variabel gram.
Batang variabel gram melengkung konsisten dengan Mobiluncus (Holmes king, 2008)

2.1.7 Terapi

Meskipun hingga 30% kasus vaginosis bakteri dapat sembuh sendiri, penyakit ini
juga dapat ditangani dengan penggunaan antibiotik. Antimikroba berspektrum luas
terhadap sebagian besar bakteri anaerob, biasanya efektif untuk mengatasi vaginosis
bakterial. Metronidazol dan klindamisin merupakan obat utama, serta aman diberikan
kepada perempuan hamil. Tinidazol, merupakan derivat nitroimidazol, dengan aktivitas
antibakteri dan antiprotozoa telah disetujui sebagai obat untuk vaginosis bakterial. Obat
yang diberikan secara intravagina menujukkan efikasi yang sama dengan metronidazol
oral, namun efek samping lebih sedikit.

Pilihan rejimen pengobatan:

a) Metronidazol dengan dosis 2 x 500 mg setiap hari selama 7 hari


b) Metronidazol 2 gram dosis tunggal 3. Klindamisin 2 x 300 mg per oral sehari
selama 7 hari
c) Tinidazol 2 x 500 mg setiap hari selama 5 hari, 5. Ampisilin atau amoksisiin
dengan dosis 4 x 500 mg per oral selama 5 hari (Indriatmi westi, 2021).
d) Klindamisin secara intravaginal sebagai gel (2% dari 5 g) sekali sehari selama
lima hari.
Probiotik didefinisikan sebagai zat mati yang mendorong pertumbuhan
mikrobiota dan memberikan manfaat kesehatan. Wanita yang menggunakan gel
probiotik dengan APP-14 selama 16 hari menunjukkan pemulihan yang lebih baik
menuju flora vagina yang normal. Probiotik mengandung gluko-oligosakarida yang
mendorong pertumbuhan selektif beberapa spesies Lactobacillus yang bermanfaat
(Khedkar, 2022).

Tabel 2. 2 Perbedaan efektivitas beberapa agen antibiotik (Holmes king, 2008)

2.1.8 Komplikasi

Vaginosis bakterial seringkali dikaitkan dengan sekuele di traktus genital bagian


atas. Pada perempuan tidak hamil, vaginosis bakterial dapat meningkatkan risiko infeksi
pasca histerektomi, penyakit radang panggul, risiko lebih mudah terinfeksi
N.gonorrhoeae dan C. trachomatis, memudahkan terinfeksi HIV melalui jalur seksual.

Pada ibu hamil yang menderita vaginosis bakterial, dapat meningkatkan risiko
persalinan prematur, bayi dengan berat badan lahir rendah, infeksi cairan amnion,
korioamnionitis, ataupun penyakit radang panggul pasca abortus. Pada keadaan
seseorang menderita vaginosis bakterial atau ketiadaan Lactobacillus vagina, dapat
meningkatkan risiko tertular HIV sampai 2 kali lipat melalui hubungan heteroseksual
(Indriatmi westi, 2021).
2.2 Gonorea
2.2.1 Definisi

Gonorrhea adalah salah satu infeksi menular seksual (IMS) pada manusia, yang
menyebabkan morbiditas di seluruh dunia, baik di negara yang memiliki sumber daya
yang melimpah maupun negara yang memiliki sumber daya yang terbatas, dan
diagnosis serta pengobatannya membutuhkan biaya yang mahal setiap tahunnya. Seperti
infeksi menular seksual (IMS) lainnya, gonorrhea secara tidak proporsional berdampak
pada populasi orang dewasa muda. Istilah Gonorrhea digunakan pada seluruh infeksi
yang disebabkan oleh kuman Neisseria gonorrhea. Pada umumnya penularan terjadi
melalui hubungan seksual secara genito-genital, oro-genital atau ano-genital. Tetapi,
dapat juga teriadi secara manual melalui alat-alat, pakaian, handuk, termometer, dan
sebagainya. Oleh karena itu secara garis besar dikenal gonore genital dan gonore ekstra
genital (Springer&Salen,2023).

2.2.2 Etiologi

Penyebab Gonorrhea adalah gonokok. Kuman tersebut masuk dalan grup


Neisseria yang terdapat empat spesies, yaitu N.gonorrhoeae, N.meningitidis,
N.catarrhalis, dan N.pharyngis sisca. Gonokok termasuk golongan diplokok berbentuk
biji kopi berukuran lebar 0,8u dan panjang 1,6u, bersifat tahan asam. Pada sediaan lang-
sung dengan pewarnaan Gram bersifat Gram-negatif, terlihat di luar dan di dalam
leukosit, tidak tahan lama di udara bebas, cepat mati dalam keadaan kering, tidak tahan
suhu di atas 39°C, dan tidak tahan desinfektan. Secara morfologik gonokok in terdiri
atas 4 tipe, yaitu tipe 1 dan 2 yang mempunyai pili yang bersifat virulen, serta tipe 3 dan
4 yang tidak mempunyai pili dan bersifat nonvirulen. Fili akan melekat pada mukosa
epitel dan akan menim-bulkan reaksi radang (Daili &Hanny, 2021).
Gambar 2. 3 Neisseria Gonorrhea

Daerah yang paling mudah terinfeksi ialah daerah dengan mukosa epitel kuboid
atau lapis gepeng yang belum berkembang (immatur), yakni pada vagina perempuan
sebelum pubertas. Patogen obligat N. gonorrhoeae hanya menginfeksi manusia dan
paling sering bermanifestasi sebagai uretritis pada pria dan servisitis pada wanita.
Patogen obligat adalah bakteri yang harus memanifestasikan penyakit untuk
memfasilitasi penularan dari satu inang ke inang lainnya. Untuk bertahan hidup, bakteri
ini harus menginfeksi inang dan tidak dapat bertahan hidup di luar inang. Infeksi
urogenital gonore yang tidak terdiagnosis dan/atau tidak diobati dapat naik melalui
saluran urogenital bagian atas dan menyebabkan banyak komplikasi reproduksi yang
parah, paling sering terjadi pada wanita, seperti endometritis, penyakit radang panggul,
infertilitas, dan/atau morbiditas yang mengancam jiwa melalui kehamilan ektopik
(Springer&Salen,2023).

2.2.3 Epidemiologi

N. gonorrhoeae, merupakan masalah kesehatan masyarakat utama, saat ini dan


merupakan penyebab paling umum kedua dari infeksi menular seksual bakteri di
seluruh dunia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa 106 juta
kasus gonore baru didokumentasikan di antara orang dewasa setiap tahun di seluruh
dunia; lebih banyak lagi infeksi yang tidak dilaporkan. Dengan lebih dari 500.000 kasus
yang dicatat setiap tahun di Amerika Serikat, N. gonorrhoeae adalah penyakit menular
seksual yang paling sering dilaporkan kedua di Amerika Serikat.
Infeksi gonore memiliki sedikit prevalensi pada pria yang disebabkan oleh
meningkatnya kemungkinan bahwa pria akan menunjukkan gejala urogenital dan juga
prevalensi meningkat pada pria yang berhubungan seks dengan sesame pria. Selama
dekade terakhir, kejadian IMS gonore telah meningkat karena meningkatnya jumlah
jenis yang kebal terhadap antibiotic (Springer&Salen,2023).

2.2.4 Patogenesis

Pada orang dewasa, selaput lendir hanya dilapisi oleh selaput kolumnar atau sel
epitel berbentuk kubus, tidak berinti yang rentan terhadap infeksi gonokokal. Infeksi
N.gonorrhoeae dimulai dengan perlekatan gonokokus pada sel epitel, diikuti dengan
invasi sel lokal. Gonore memiliki beberapa protein permukaan yang memfasilitasi
adhesi. N.gonorrhoeae menggunakan fili untuk memulai perlekatan pada sel epitel.
Pelengkap seperti rambut, fili, menutupi permukaan bakteri. Kemampuannya untuk
memanjang dan memendek memungkinkan bakteri untuk menempel dari kejauhan dan
bergerak lebih dekat ke sel epitel, mendorong invasi sel. Fili juga memberikan motilitas
dan perlindungan. Protein permukaan lain yang terlibat dalam perlekatan seluler
termasuk Opa, protein terkait opasitas, dan LOS, lipooligosakarida. LOS menempel
pada sel sperma dan kemungkinan besar menyebabkan penularan dari laki-laki ke
pasangan seksual yang tidak terinfeksi.

Invasi epitel serviks melibatkan sel bakteri yang berinteraksi dengan reseptor
komplemen sel inang tipe 3 (CR3). Komunikasi ini dimulai dengan pengikatan fili ke
CR3. Hal ini menyebabkan penataan ulang aktin sel inang secara ekstensif,
menghasilkan proyeksi besar yang disebut kerutan. Kerutan memungkinkan gonokokus
memasuki sel inang dalam vakuola besar yang disebut makropinosit dan kemudian
berkembang biak di dalam sel yang terinfeksi.

Neisseria gonorrhoeae menginduksi infeksi lokal di lokasi anatomi inokulasi,


biasanya uretra, leher rahim, faring, atau anus pada orang dewasa dan konjungtiva mata
atau faring bayi baru lahir, tetapi penyebaran dapat terjadi. Gonokokus diklasifikasikan
sebagai serum-sensitif atau serum-resisten berdasarkan kepekaannya terhadap
pembunuhan dengan aktivasi komplemen; strain yang resisten terhadap serum
berpotensi menyebabkan infeksi diseminata. N. gonorrhoeae telah mengembangkan
beberapa mekanisme untuk memerangi sistem imunitas bawaan dan adaptif dari
pertahanan kekebalan organisme inangnya (Springer&Salen,2023).

2.2.5 Gejala Klinis

Masa inkubasi pada perempuan sulit ditentukan karena pada umumnya


asimtomatik. Gambaran klinis dan komplikasi gonore sangat erat hubungannya dengan
susunan anatomi dan faal genitalia. Oleh karena itu perlu penge-tahuan susunan anatomi
genitalia laki-laki dan perempuan. Berikut ini dicantumkan infeksi pertama dan
komplikasi, baik pada laki-laki maupun pada perempuan. Infekssi timbul akibat
hubungan seksual orogenital, atau anogenital, pada laki-laki dan perempuan dapat
berupa orofaringitis dan proctitis. Serta dapat menular akibat kontal mukosa mata bayi
intrapartum yang mengakibatkan konjungtivitis (Daili &Hanny, 2021).

Pada wanita, N. gonorrhoeae paling sering menginfeksi leher rahim, yang


mengakibatkan servisitis. Ketika pasien wanita dengan infeksi urogenital gonokokal
maka yang mungkin dikeluhkan diantaranya adalah, keputihan, disuria, atau nyeri
panggul. Infeksi gonokokal pada kelenjar Bartholin yang berdekatan dengan introitus
vagina bermanifestasi sebagai pembengkakan jaringan lunak labial, pembentukan abses,
dan nyeri. Jika servisitis tidak terdeteksi dan tidak diobati, infeksi gonokokus yang naik
dapat menyebabkan keterlibatan saluran reproduksi bagian atas, seperti salpingitis dan
penyakit radang panggul. Penyakit radang panggul dapat bermanifestasi dengan nyeri
panggul, infertilitas, dan meningkatkan risiko kehamilan ektopik. Infeksi gonokokus
yang mempersulit kehamilan dapat menyebabkan hasil kehamilan yang buruk seperti
bayi baru lahir dengan berat badan lahir rendah dan penularan ke bayi baru lahir yang
mengakibatkan infeksi orofaring atau konjungtiva (Springer dan Salen,2023).

Gambar 2. 4 Manifestasi Klinis Gonorrhea


Seperti servisitis, infeksi gonokokal pada faring, rektum, dan uretra wanita
sering muncul tanpa gejala atau dengan gejala yang tidak kentara. Jika tidak ditangani,
infeksi gonore pada rektum dapat berlanjut menjadi manifestasi nyeri rektum,
perdarahan, keputihan, dan proktitis. Jarang, N. gonorrhoeae bermanifestasi secara
sistemik seperti demam / septikemia, tenosinovitis, radang sendi, dan vasculitis
(Springer dan Salen,2023).

Infeksi pada Perempuan

Infeksi Pertama Komplikasi


Uretritis Lokal : Parauretritis, Bartholinitis
Servisitis Asendens : Salpingitis, PID (Pelvic
Inflammatory Diseases)

Pada perempuan gambaran klinis dan perjalanan penyakit berbeda dengan laki-
laki, yang disebabkan oleh perbedaan anatomi dan fisiologi alat kelamin. Pada
perempuan, gejala subyektif jarang ditemukan dan hampir tidak pernah didapati
kelainan obyektif. Pada umumnya perempuan datang mencari pengobatan, bila sudah
terjadi komplikasi. Sebagian besar kasus ditemukan pada saat pemeriksaan antenatal
ataù pemeriksaan keluarga berencana. Perlu dingat bahwa perempuan mengalami tiga
masa perkembangan:

a) Masa prapubertas : epitel vagina dalam keadaan belum berkembang (sangat


tipis), sehingga dapat terjadi vaginitis gonore.
b) Masa reproduktif : lapisan selaput lendir vagina menjadi matang, dan teal
dengan banyak glikogen dan basil Döderlein. Basil Döderlein akan
memecahkan glikogen se-hingga suasana menjadi asam dan suasana ini tidak
menguntungkan untuk tumbuhnya kuman gonokok.
c) Masa menopause : selaput lendir vagina menjadi atrofi, kadar glikogen
menurun, dan basil Döderlein juga berkurang, sehingga suasana asam
berkurang dan suasana ini menguntungkan untuk pertumbuhan kuman gonokok,
jadi dapat terjadi vaginitis gonore.
Pada perempuan dewasa, infeksi umumnya mengenai serviks uteri. Duh tubuh
mukopurulen, kadang-kadang disertai darah, serta mengandung banyak gonokok
mengalir ke luar dan menyerang uretra, duktus parauretra, kelenjar Bartholin, rektum,
dan dapat juga menialar ke atas sampai pada daerah indung telur (Daili dan Hanny,
2021).

2.2.6 Pemeriksaan Penunjang

Berikut adalah uraian lima tahapan pemeriksaan penunjang (Daili dan Hanny, 2021) :

a) Sediaan langsung

Pada sediaan langsung dengan pewarnaan Gram ditemukan gonokok Gram-


negatif, intraselular dan ekstraseluler. Bahan duh tubuh pada laki-laki diambil dari
daerah fosa navikularis, sedangkan pada perempuan diambil dari uretra, muara kelenjar
Bartholin, serviks, untuk pasien dengan anamnesis berisiko melakukan kontak seksual
anogenital dan orogenital, maka pengambilan bahan duh dilakukan pada faring dan
rektum. Sensitivitas pemeriksaan langsung ini bervariasi, pada spesimen duh uretra laki-
laki sensitivitas berkisar 90-95%, sedangkan dari spesimen endoserviks sensitivitasnya
hanya berkisar antara 45-65%, dengan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-99%.

b) Kultur

Untuk identifikasi spesies perlu dilakukan pemeriksaan biakan (kultur). Dua


macam media yang dapat digunakan adalah media transport dan media pertumbuhan

Contoh media transpor :

1) Media Stuart
Merupakan media transpor saja, sehingga perlu ditanam kembali pada media
pertumbuhan.
2) Media Transgrow
Media in selektif dan nutritif untuk N.Gonorrhoeae dan N.meningitidis, dapat
bertahan hingga 96 jam dan merupakan gabungan media transpor dan media per-
tumbuhan, sehingga tidak perlu ditanam pada media pertumbuhan lagi. Media in
merupakan modifikasi media Thayer Martin dengan menambahkan trimetoprim
untuk mematikan Proteus spp
Contoh Media pertumbuhan:
1) Mc Leod's chocolate agar
Merupakan media nonselektif. Berisi agar coklat, agar serum. Selain kuman
N.Gonorrhoeae, kuman-kuman yang lain juga dapat tumbuh.
2) Media Thayer Martin
Media ini selektif untuk isolasi N.Gonorrhoeae. Mengandung vankomisin untuk
menekan pertumbuhan kuman Gram-positif, kolestrimetat untuk menekan
pertumbuhan bakteri Gram-negatif, dan nistatin untuk menekan pertumbuhan
jamur
3) Modified Thayer Martin agar
Isinya ditambah dengan trimetoprim untuk mencegah pertumbuhan kuman
Proteus spp.
c) Tes identifikasi presumtif dan konfirmasi (definitif)
1) Tes oksidase

Reagen oksidasi yang mengandung larutan tetrametil-p-fenilendiamin


hidroklorida 1% ditambahkan pada koloni gonokok tersangka. Semua Neisseria
memberi reaksi positif dengan peru-bahan warna koloni yang semula bening berubah
menjadi merah muda sampai merah lembayung.

2) Tes fermentasi

Tes oksidasi positif dilanjutkan dengan tes fermentasi memakai glukosa,


maltosa, dan sukrosa. N. Gonorrhoea hanya meragikan glukosa.

d) Tes beta-laktamase

Pemeriksaan beta-laktamase dengan meng-ur gunakan cefinase TM dis. BBL


961192 yang mengandung chromogenic cephalosporin, akan menyebabkan perubahan
warna dari kuning menjadi merah apabila kuman mengandung enzim beta laktamase.

e) Tes Thomson

Tes Thomson in berguna untuk mengetahui sampai di mana infeksi sudah


berlangsung. Dahulu pemeriksaan ini perlu dilakukan karena pengobatan pada waktu itu
ialah pengobatan setempat. Syarat mutlak untuk melakukan tes ini ialah kandung
kencing harus mengandung air seni paling sedikit 80-100 ml, jika air seni kurang dari
80 ml, maka gelas II sukar dinilai karena bar menguras uretra anterior. Hasil pembacaan
:

Gelas I Gelas II Arti


Jernih Jernih Tidak ada infeksi
Keruh Jernih Infeksi urethritis anterior
Keruh Keruh Panuretritis
Jernih Keruh Tidak mungkin
Tabel hasil Tes Thomson

f) Pemeriksaan Laboratorium

A: Klinik luar rumah sakit/praktek pribadi


B : Klinik RS dengan fasilitas laboratorium terbatas
C : Riset laboratorium lengkap
2.2.7 Terapi

Terapi empiris untuk infeksi gonokokal sering diberikan selama kunjungan


klinis awal berdasarkan faktor riwayat seperti riwayat hubungan seksual dengan orang
yang mengidap IMS atau pemeriksaan klinis yang mencurigakan untuk IMS, seperti
cairan dari kemaluan atau keputihan yang tidak normal. Pengobatan IMS N.
gonorrhoeae di seluruh dunia untuk infeksi urogenital pada pria dan wanita yang paling
sering terdiri dari terapi ganda dengan dosis tunggal intramuskular atau intravena
ceftriaxone 500 mg. Pada pasien dengan berat badan 150 kg atau lebih, 1 g ceftriaxone
harus diberikan. Jika dokter tidak mengesampingkan infeksi klamidia, maka pengobatan
untuk klamidia adalah dengan doksisiklin 100 mg secara oral dua kali sehari selama
tujuh hari kecuali jika pasien sedang hamil (Springer&Salen,2023).

Rejimen antibiotik alternatif lebih disukai untuk pengobatan lini pertama


N.gonorrhoeae yaitu dengan dosis tunggal cefixime oral 400 mg. Efektifitas dan
sensitifitas sampai saat ini paling baik, yaitu 95%. Untuk infeksi gonokokus yang rumit,
termasuk penyakit radang panggul (PID), epididimitis, dan proktitis, terapi ganda
dengan dosis intramuskular atau intravena tunggal 500 mg ceftriaxone dipasangkan
dengan doksisiklin oral 100 mg selama tujuh hari. Levofloksasin dari golongan
kuinolon juga menjadi pilihan, yaitu Levofloksasin 500mg, dan Ofloksasin 400mg,
peroral dosis tunggal, namun dilaporkan sudah resisten pada beberapa daerah tertentu.
Tiamfenikol dengan dosis 3,5 gram dosis tunggal secara oral, angka kesembuhannya
97,7%. Namun tidak dianjurkan pemakaiannya pada kehamilan (Daili &Hanny, 2021).

2.2.8 Prognosis

Morbiditas gonore telah meningkat selama 20 tahun terakhir, akibat


perkembangan resistensi antimikroba

2.2.9 Pencegahan dan Edukasi


Pasien harus menjauhkan diri dari aktivitas seksual setidaknya selama satu
minggu setelah dimulainya terapi antibiotik. Pasien harus diberi tahu tentang perlunya
mengkonfirmasi secara mikrobiologis untuk memastikan kesembuhan N. gonorrhoeae
jika mereka diobati dengan terapi alternatif jika ada komorbiditas yang signifikan,
termasuk HIV, atau jika gejalanya menetap. Tes ulang dapat memberikan kerentanan
antibiotik yang dapat menghindari kegagalan pengobatan lebih lanjut. Pasien yang
terinfeksi gonore juga berisiko tinggi tertular IMS lain, termasuk HIV. Hingga 27%
pasien yang didiagnosis dengan HIV memiliki diagnosis gonore dalam waktu 12 bulan
setelah diagnosis HIV. Pasien harus menjaga kebersihan seksualnya, tidak bergonta
ganti pasangan, dan menggunakan pelindung saat berhubungan seksual
(Springer&Salen,2023).

2.2.10 Komplikasi
Komplikasi dari gonore mengakibatkan morbiditas dan konsekuensi sosial
ekonomi yang besar. Jika infeksi gonore tidak terdeteksi atau diobati dengan tepat,
infeksi ini dapat menyebabkan komplikasi serius dengan komplikasi kesehatan
reproduksi pada wanita, termasuk penyakit radang panggul, nyeri panggul kronis,
infertilitas, aborsi trimester pertama, dan kehamilan ektopik. Jarang, infeksi gonokokus
yang menyebar akan bermanifestasi sebagai radang sendi septik atau endokarditis.
Infeksi gonore dapat menyebabkan sindrom Fitz-Hugh-Curtis, peradangan kapsul hati
dengan perlekatan intra-abdomen, pada wanita, dan infertilitas pria.

Komplikasi yang spesifik pada pria termasuk epididimitis, prostatitis, dan


proktitis. Komplikasi sistemik yang diperantarai oleh kekebalan tubuh setelah infeksi
gonore dapat menyebabkan tiga serangkai radang sendi reaktif, uretritis, dan
konjungtivitis. Infeksi gonore dapat mempersulit persalinan dengan menginfeksi bayi
yang baru lahir melalui kontak mata dengan cairan kelamin selama masa nifas dan dapat
menyebabkan konjungtivitis gonokokus yang dapat berkembang menjadi kebutaan.
Infeksi gonore meningkatkan risiko penularan HIV-AIDS melalui hubungan seksual.

Perkembangan N. gonorrhoeae dengan resistensi antimikroba merupakan


komplikasi yang memiliki implikasi sosial. Secara umum, perkembangan resistensi
antimikroba berhubungan dengan penggunaan antibiotik lokal, regional, dan nasional;
populasi di negara-negara seperti Belanda dengan penggunaan sefalosporin, makrolida,
dan fluoroquinolon yang lebih rendah memiliki insiden resistensi gonokokus yang lebih
rendah dibandingkan negara-negara dengan konsumsi antibiotik yang tinggi
(Springer&Salen,2023).

2.3 Candidiasis Vulvovaginal


2.3.1 Definisi

Vulvovaginitis atau radang vulva dan vagina paling sering terjadi pada wanita
usia reproduksi dan biasanya merupakan infeksi sekunder (Jeanmonod, 2022).
Sebelumnya, infeksi bergejala pada vagina akibat Candida spp disebut sebagai Candida
vaginitis. Namun, karena gejala dan tanda hampir selalu melibatkan vulva,
vulvovaginitis lebih mencerminkan proses penyakit. Istilah kandidiasis vulvovaginal
(VVC) diperkenalkan menjadi lebih inklusif dan mencakup tidak hanya vulvovaginitis
kandida simtomatik, tetapi infeksi kandida vaginal asimtomatik yang lebih jarang
dengan mikroskop dan biakan positif (Holmes king, 2008). VVC biasa nya dikaitkan
dengan ketidakseimbangan antara kolonisasi Candida vaginalis dan lingkungan inang
akibat perubahan fisiologis atau non-fisiologis. Kebanyakan wanita membawa Candida
sebagai flora normal vagina tanpa gejala apapun. Kuman oportunistik ini dapat berubah
dari kolonisasi bebas gejala menjadi infeksi.

2.3.2 Etiologi

Kandidiasis vulvovaginal disebabkan oleh perubahan inflamasi pada epitel


vagina dan vulva sekunder akibat infeksi spesies Candida, paling sering Candida
albicans. Candida adalah bagian dari flora normal pada banyak wanita dan seringkali
tanpa gejala. Oleh karena itu, Kandidiasis vulvovaginal membutuhkan adanya kandida
di vagina/vulva serta gejala iritasi, gatal, disuria, atau peradangan. Kandidiasis
vulvovaginal disebabkan oleh C. albicans pada sekitar 90% kasus. Spesies non-albicans
menyebabkan sisa kandidiasis vulvovaginal – C. glabrata pada sekitar 8% kasus, dan
spesies non-albicans lainnya, seperti C. tropicalis, C. krusei dan C. parapsilosis
menyebabkan sebagian besar sisanya (WHO, 2021).

2.3.3 Epidemiologi

Kandida vulvovaginalis bertanggung jawab atas sepertiga dari semua kasus


vulvovaginitis pada wanita usia reproduksi, dan 70% wanita melaporkan pernah
mengalami vulvovaginitis candida di beberapa titik dalam hidup mereka. Sekitar 8%
wanita menderita candida vulvovaginitis berulang. Patogen penyebab yang paling
umum adalah C. albicans (pada sekitar 90% kasus), dengan sebagian besar kasus
sisanya disebabkan oleh Candida glabrata. Penting untuk diketahui bahwa data
epidemiologi rinci tidak tersedia untuk proses penyakit ini. Karena tersedianya
perawatan yang dijual bebas secara luas, banyak pasien dengan kandida vulvovaginitis
mungkin tidak datang untuk perawatan. Selain itu, diagnosis didasarkan pada evaluasi
klinis dan tambahan, dan oleh karena itu, laporan epidemiologi berdasarkan kultur saja
melebih-lebihkan penyakit, karena 10% wanita tidak menunjukkan gejala dengan kultur
kandida positif (Jeanmonod, 2022).

2.3.4 Patofisiologi
Masuknya Candida kedalam ekosistem vagina salah satunya dapat dimulai dari
adanya bakteri ini pada bagian perineum area perianal, yang kemudian akan masuk
melalui hubungan sexual, kemudian menempel pada epitelium vagina. Selain itu,
lingkungan dan higenitas wanita juga dapat mempengaruhi adanya Candida pada
vagina. Pada ekosistem vagina, awalnya Candida Albicans akan berbentuk bulat telur
(Y), kemudian berubah menjadi organisme dengan hifa berbentuk (H). Umumnya
bentuk Y dari Candida Albicans ini bersifat komensalisme, sedangkan untuk bentuk H
lebih bersifat pathogen. Ketika berada diekosistem vagina, epitel vagina akan
menghambat bentuk Y tersebut agar tidak berubah bentuk menjadi H. Ketika
mekanisme pertahanan tidak dapat menekan perubahan bentuk tersebut, bentuk Y akan
berubah menjadi hifa, hifa (H) ini kemudian akan membentuk biofilm yang kuat,
melekat, dan akan menyerang epitel vagina. Sel-sel epitel akan dilisiskan oleh hifa dan
kemudian bersama sel inflamasi akan membentuk cairan vagina yaitu keputihan sebagai
tanda dan gejalan dari vulvovaginal candidiasis . Adanya serangan pathogen ini
menyebabkan munculnya respon imun pada vagina. Dikeluarkannya sel dendritik (DC),
T-helper, limfosit pengatur dan sitotoksik, B-limfosit dan sel pembunuh alami yang
menghasilkan sitokin pelindung dan kemokin yang berperan dalam melavan invasi dari
patogen ini agar tidak semakin luas. Selain itu sel epitel juga berperan penting dalam
melawan pathogen ini. Sel-sel epitel vagina tidak hanya merupakan penghalang
mekanis dan penangkap dengan bahan permukaan seperti musin dan keratin, namun
juga dapat mendeteksi bahaya yang ditimbulkan oleh patogen dan merespons dengan
aktivasi sel dan sekresi mediator imun yang memicu peradangan dan respons imun.
Kompleks multiprotein intraseluler, yang disebut 'inflamasi', menerjemahkan sinyal
bahaya yang terkait dengan patogen atau produknya ke dalam aktivasi kekebalan.
Rekrutmen sel polimorfonuklear ke vagina, sitokin (terutama IL-1b dan IL-18) produksi
dan aktivasi subset limfosit T-helper 1 dan (dengan beberapa kontroversi) T-helper 17
telah dikaitkan dengan peran dalam anti perlindungan Candida.

2.3.5 Gejala Klinis

Pasien biasanya mengeluh iritasi, gatal, dan terbakar. Gejala sering menonjol
tepat sebelum periode menstruasi pasien. Banyak pasien akan memiliki riwayat gejala
yang sama, dan beberapa akan mencoba pengobatan tanpa resep dengan agen topikal
atau terapi alternatif. Pada pemeriksaan, dokter akan sering menemukan eritema vulva
dan vagina, ekskoriasi, keluarnya cairan putih kental, dan pembengkakan.Tingkat iritasi
biasanya parah pada pasien dengan kandidiasis vulvovaginal akut. Pasien dengan
infeksi Candida glabrata biasanya memiliki gejala yang tidak terlalu parah
(Jeanmonod, 2022). Ciri khas dari candidiasis adalah adanya bercak-bercak keputihan
yang putih seperti keju.

2.3.6 Pemeriksaan Penunjang


a) Whiff Test. Test ini hampir mirip dengan pH test, dimana untuk mengetahui
penyebab infeksi diperlukan swab vagina terlebih dahulu guna mengambil
spesimen cairan vagina, kemudian cairan diletakkan pada kaca preparat dan
diteteskan 10% potassium hydroxide (KOH), kemudian dilakukan penilaian
terhadap baunya, dikatakan positif apabila timbul bau amis atau fishy odor.
b) Mikroskopi dengan saline atau KOH. Mikroskop dapat digunakan untuk
mengetahui mikrobiota yang terkandung dalam cairan vagina guna menegakkan
diagnosis, dilakukan dengan mengambil specimen cairan vagina kemudian
diletakkan dipeparat dan diteteskan saline atau 10% KOH kemudian diamati
pertumbuhan mikrobiota pathogen didalamnya lewat mikroskop. Jika ditemukan
fillamen yang dirangkai oleh ragi serta terdapat miselium dapat menjadi
pertanda adanya infeksi vulvovaginal candiasis.

2.3.7 Terapi

Kandida vulvovaginitis akut diobati dengan agen antijamur. Karena sebagian


besar kasus kandidiasis vulvovaginitis adalah sekunder dari spesies C. albicans, dan
karena C. albicans tidak memiliki resistensi yang signifikan terhadap antijamur azol, ini
adalah agen pilihan untuk penyakit ini. Antijamur dapat dikonsumsi secara oral sebagai
dosis tunggal (flukonazol 150 mg) atau dapat diterapkan secara intravaginal dalam satu
hari atau rejimen 3 hari yang tersedia tanpa resep. Pada pasien dengan penyakit yang
tidak rumit (mereka yang tidak mengalami imunosupresi atau kehamilan yang tidak
mengalami vulvovaginitis kandida berulang) terapi keduanya sama-sama adekuat. Oleh
karena itu, keputusan pengobatan dapat dibuat berdasarkan biaya, preferensi pasien, dan
interaksi obat (Jeanmonod, 2022).
Pasien dengan kandida vulvovaginitis yang rumit, misalnya pasien dengan
imunosupresi, membutuhkan terapi yang lebih lama. Biasanya, terapi meliputi terapi
azol intravaginal selama minimal 1 minggu, atau pengobatan oral dengan flukonazol
150 mg (disesuaikan dengan ginjal untuk CrCl <50 ml/menit) sekali setiap 3 hari untuk
tiga dosis. Pasien dengan kandida vulvovaginitis berulang dapat mengambil manfaat
dari terapi supresif dengan flukonazol oral mingguan selama 6 bulan. Pasien hamil tidak
boleh diberikan antijamur oral. Pada pasien ini, terapi intravaginal selama 7 hari sudah
tepat. Flukonazol dianggap aman pada wanita menyusui (Jeanmonod, 2022).

Gambar 2. 5 Contoh regimen Pengobatan Kandida Vulvovaginalis

2.3.8 Pencegahan

Hal-hal yang perlu dilakukan seorang wanita untuk mencegah penyakit infeksi
pada vagina ini dapat melalui tindakantindakan yang berkaitan dengan kebersihan atau
higenitas vagina. Karena kita ketahui bersama umumnya infeksi terjadi pada vagina
dengan higenitas yang relatif rendah, meskipun demikian tak menutup kemungkinan
ada faktor lain juga yang dapat memicu terjadinya vaginitis. Oleh karena itu penting
sekali bagi wanita untuk menjaga kebersihan vagina dengan cara rutin mebersihkan
vagina setiap mandi dengan arah dari atas kebawah atau tangan tidak sampai mengenai
anus, rutin mengganti pembalut setidaknya 4x sehari ketika menstruasi, menggunakan
pakaian dalam yang tidak terlalu ketat dan usahakan berbahan dasar kapas, sehingga
mudah menyerap keringat. Mengeringkan daerah kewanitaan dengan baik sehabis
mandi atau buang air kecil, sehingga tidak lembab, usahakan agar tetap kering. Tidak
menggunakan pembersih kewanitaan yang terlalu banyak mengandung bahan kimia.
Mencukur bulu kemaluan agar tidak terlalu lebat karena dapat menyebabkan ekosistem
vagina menjadi lembab. Kemudian menggunakan pengaman berupa kondom bila
melakukan hubungan seksual, hindari seks bebas, lakukan hubungan seksual yang
aman. Pencegahan yang dilakukan ini berupaya agar patogen penginfeksi tidak dapat
masuk kemudian tumbuh dan berkembang serta merusak ekosistem vagina.

2.4 Trikomoniasis Vaginalis


2.4.1 Definisi

Trikomoniasis merupakan infeksi saluran urogenital bagian bawah pada


perempuan maupun laki-laki, dapat bersifat akut maupun kronik. Disebabkan oleh
Trichomonas vaginalis dan penularannya melalui kontak seksual (Daili dan Hanny,
2021). Trichomonas vaginalis adalah salah satu penyebab infeksi protozoa yang paling
umum di Amerika Serikat, dan juga merupakan penyebab umum vaginitis bergejala
pada wanita. Trikomoniasis meningkatkan risiko penularan human immunodeficiency
virus (HIV) pada wanita dan pria. Selain itu, infeksi ini juga dikaitkan dengan hasil
yang merugikan selama kehamilan (Daili dan Hanny, 2021).

2.4.2 Etiologi

Penyebab trikomoniasis ialah T. vaginalis yang pertama kali ditemukan ole


DONNE pada tahun 1836. Merupakan protozoa berbentuk filifor-mis/ovoid, berukuran
15-18 mikron, mempunyai 4 flagel, dan bergerak seperti gelombang. Terdapat dua
spesies lainnya yang dapat ditemukan pada manusia, yaitu T. tenax yang hidup di
rongga mulut dan Pentatrichomonas hominis yang hidup dalam kolon, dan pada
umumnya tidak menimbulkan penyakit. Trikomoniasis adalah infeksi yang ditularkan
secara seksual dan didapat melalui kontak seksual langsung. Infeksi ini dapat hidup
selama beberapa jam di lingkungan yang lembab, tetapi hampir semua kasus disebabkan
oleh penularan melalui hubungan seksual. Faktor risiko meliputi (Schumann dan
Plasner, 2022) :

a) Riwayat IMS
b) Multiple seks partner
c) Kontak dengan pasangan yang terinfeksi
d) Penyalahgunaan obat IV
e) Tidak menggunakan jenis kontrasepsi pelindung (kondom)

2.4.3 Patofisiologi

Patogenesis Trichomonas Vaginalis diawali dengan masuknya protozoa ini ke


dalam ekosistem vagina yang kemudian akan menempel pada epitel vagina. Setelah itu
ia akan melilsiskan dan memakan sel inang untuk mendapatkan nutrisi makanan. Masa
tunas rata-rata 4 hari sampai 3 minggu. Trichomonas vaginalis mengeluarkan berbagai
macam zat untuk dapat terus melekat pada epitel vagina. Lipoglikan pada permukaan
Trichomonas vaginalis merupakan penyebab protozoa ini mampu bertahan melekat
sekaligus mampu mematikan sel inang atau epitel vagina. Zat protease yaitu sitokin
protease dan protein palmitoilasi juga dianggap penting dalam perlekatan Trichomonas
vaginalis pada epitel vagina. Protease yang dihasilkan dari protozoa ini sangat membatu
dalam merusak epitel vagina. Sama seperti mekanisme sebelumnya masuknya
trichomonas vaginalis ini kemudian akan merangsang tubuh untuk mengeluarkan respon
imun guna menghilangkan keberadaan trichomonas vaginalis pada ekosistem vagina.

2.4.4 Gambaran Klinis

Wanita sering kali datang dengan keluhan utama yang mirip dengan infeksi
menular seksual lainnya, termasuk keputihan, nyeri saat berhubungan seksual, gejala
infeksi saluran kemih, gatal pada vagina, atau nyeri panggul. Pemeriksaan fisik sering
kali meliputi pemeriksaan panggul untuk wanita dan usap uretra untuk pria. Keputihan
biasa terjadi pada wanita; keputihannya tipis, berbusa, dan berbau tidak normal. Alat
kelamin sering berwarna merah dan bengkak. Leher rahim stroberi terlihat pada sekitar
40% pasien. Palpasi panggul dapat menunjukkan nyeri tekan ringan. Lima puluh persen
perempuan asimtomatik. Yang pertama kali diserang adalah dinding vagina (Schumann
dan Plasner, 2022)

Pada kasus akut terlihat sekret vagina seropurulent sampai mukopurulen


berwarna kekuningan, sampai kuning-kehijauan, berbau tidak sedap, dan berbusa.
Dinding vagina tampak kemerahan dan sembab. Terkadang didapatkan abses kecil pada
dinding vagina dan serviks, yang tampak sebagai granulasi warna merah dan dikenal
“strawberry appearance”, disertai gejala dispareuria, perdarahan pascakoitus, dan
perdarahan intermenstrual. Jika sekretnya banyak yang keluar maka bisa timbul iritasi
pada lipat paha atau di sekitar genitalia eksterna. Pada kasus yang kronis, gejala lebih
ringan dan sekret vagina biasanya tidak berbusa (Schumann dan Plasner, 2022)

2.4.5 Pemeriksaan Penunjang

Tes diagnostik yang paling umum dilakukan adalah mikroskop preparat basah.
Trichomonas adalah organisme motil dengan flagela dan dapat terlihat bergerak dalam
sediaan bila dilihat dengan mikroskop. Tes ini telah terbukti hanya sensitif 40% - 60%
tetapi biasanya merupakan metode pengujian yang paling umum digunakan karena
kemudahan dan biaya rendah. Tes amplifikasi asam nukleat (NAAT) mendapatkan
bantuan saat menguji Trichomonas vaginalis. Mereka telah menjadi standar emas saat
menguji gonore dan klamidia (Schumann dan Plasner, 2022)

Banyak NAAT yang tersedia telah terbukti memiliki sensitivitas dan spesifisitas
lebih dari 90% saat menguji Trichomonas vaginalis. Sebelum NAAT dan opsi
perawatan lainnya dikembangkan, standar emas adalah kultur saat menguji
Trichomonas vaginalis dengan persiapan basah negatif dan pasien bergejala. pH vagina
biasanya lebih dari 4,5 dengan adanya trikomoniasis, tetapi ini bukan temuan spesifik.
Tes bau dilakukan dengan menambahkan tetes kalium hidroksida ke sampel keputihan.
Ini menghasilkan bau amis (Schumann dan Plasner, 2022).

2.4.6 Terapi

Menurut pedoman pengobatan IMS CDC 2015, ada tiga strategi yang
direkomendasikan untuk pengobatan trikomoniasis. Ini termasuk metronidazol dosis
tunggal 2 gram, tinidazol dosis tunggal 2 gram, atau dosis metronidazol 500 mg dua kali
sehari selama tujuh hari. Pada pasien dengan infeksi HIV yang diketahui, rejimen
pengobatan yang direkomendasikan adalah 500 mg metronidazole dua kali sehari
selama tujuh hari.

Jika tidak diobati, trikomoniasis dapat tetap subklinis atau dapat sembuh dengan
imunitas inang. Wanita hamil harus dirawat jika tidak dapat mengakibatkan hasil yang
merugikan. Obat pilihan adalah metronidazole. Wanita harus berhenti menyusui selama
perawatan. CDC juga merekomendasikan melakukan tes penyembuhan untuk semua
wanita yang dirawat karena trikomoniasis dalam waktu tiga bulan pengobatan.
Pengujian amplifikasi asam nukleat (NAAT) dapat diselesaikan segera setelah dua
minggu setelah pengobatan (Schumann dan Plasner, 2022).

2.4.7 Prognosis

Pasien yang diobati dengan metronidazole memiliki tingkat kesembuhan 90% -


95%. Tingkat kesembuhan bahkan lebih tinggi ketika pasangan seksual diobati.
Sayangnya, infeksi berulang sering terjadi pada individu yang aktif secara seksual.
Trikomoniasis sangat terkait dengan adanya IMS lain termasuk HIV, gonore, human
papillomavirus (HPV), herpes, dan klamidia (Schumann dan Plasner, 2022).

2.4.8 Komplikasi

Trikomoniasis menyebabkan morbiditas yang signifikan jika infeksi tidak


diobati selama kehamilan, termasuk persalinan prematur, bayi berat lahir rendah, dan
ketuban pecah dini. Penelitian mengungkapkan bahwa trikomoniasis meningkatkan
risiko HIV dan IMS lainnya. Pada pria, komplikasi mungkin termasuk epididimitis,
prostatitis, dan infertilitas (Schumann dan Plasner, 2022).

2.5 Servisitis
2.5.1 Definisi

Servisitis adalah sindrom klinis yang ditandai dengan peradangan terutama pada
epitel kolumnar endoserviks uterus. Peradangan terlokalisasi terutama di sel epitel
kolumnar kelenjar endoserviks, tetapi juga dapat mempengaruhi epitel skuamosa
ektoserviks. Biasanya disebabkan oleh agen infeksi, umumnya ditularkan secara
seksual.

2.5.2 Epidemiologi

Prevalensi servisitis yang tepat sulit untuk ditentukan karena kurangnya definisi
standar dan variasi menurut populasi. Karena aktivitas seksual adalah faktor risiko
utama penyebab infeksi, hal itu dapat memengaruhi sekitar 30%-40% pasien yang
terlihat di klinik infeksi menular seksual (IMS). Insiden tertinggi terjadi pada wanita
yang aktif secara seksual berusia 15 hingga 24 tahun Hal ini lebih sering terjadi pada
wanita dengan human immunodeficiency virus (HIV), dengan perkiraan 7400 per
100.000 wanita yang didiagnosis dengan HIV. Mycoplasma adalah agen yang sering
terlibat dalam populasi ini. Servisitis klamidia adalah 4 sampai 5 kali lebih umum
daripada servisitis gonokokal. 

2.5.3 Etiologi

Ada banyak agen, baik menular maupun tidak menular, berpotensi terlibat dalam
servisitis.

Patogen yang ditularkan seksual:

a) C. trachomatis dan N. gonorrhoeae. Ini adalah patogen yang biasanya


berhubungan servisitis, meskipun kedua mikroorganisme terdeteksi pada kurang
dari separuh kasus. Sisanya dapat diproduksi oleh patogen lain, oleh agen non-
infeksi dan, kadang-kadang, oleh proses inflamasi sistemik. C. trachomatis
adalah penyebab yang paling sering diidentifikasi pada wanita dengan servisitis.
b) T.vaginalis. Patogen lain yang biasanya menyebabkan IMS juga dapat
menyebabkan servisitis. Diantaranya, T. vaginalis telah dikaitkan dengan
peradangan serviks dan dengan peningkatan risiko penularan HIV. T. vaginalis
dapat menyebabkan inflamasi erosif pada epitel ektoservikal yang dapat
menyebabkan berbagai macam perubahan epitel, dari petekie kecil hingga
perdarahan besar. Faktor sitotoksik yang dihasilkan oleh T. vaginalis , seperti
protease yang mampu menurunkan beberapa faktor endogen yang melindungi
integritas epitel serviks, terutama yang disebut penghambat protease leukosit
sekretori. Mirip dengan apa yang terjadi dengan C. trachomatis , alasan
trikomoniasis hanya menyebabkan tanda-tanda peradangan serviks pada
beberapa wanita.
c) Mycoplasma genitalium. Agen etiologi lain yang mungkin terlibat dalam
servisitis adalah M. genitalium. Mikroorganisme ini pertama kali diidentifikasi
pada tahun 1980 di uretra dua pasien dengan uretritis non-gonokokal. Frekuensi
M. genitalium sebagai patogen penyebab IMS masih belum diketahui, terutama
karena sulitnya deteksi, karena merupakan bakteri yang tidak tumbuh dengan
baik pada media kultur konvensional dan perlu dilakukan pendekatan nukleat.
teknik amplifikasi asam (NAA) untuk diagnosisnya. Namun demikian,
diperkirakan bahwa itu adalah salah satu mikroorganisme yang paling sering
dikaitkan dengan infeksi saluran kelamin. Setelah ditemukannya M. genitalium,
kemampuan bakteri ini untuk menginfeksi saluran kelamin betina terungkap,
menyebabkan respons peradangan, melalui inokulasinya pada kera kecil. Infeksi
akut pada mukosa endoserviks mampu menghancurkan mikrovili dan
menyebabkan peningkatan pembentukan vesikel sekretorik. Selanjutnya, infeksi
sel endoserviks in vitro oleh M. genitalium menyebabkan respon proinflamasi
dengan sekresi beberapa interleukin dan zat lain yang berhubungan dengan
inflamasi. Tingkat sitokin proinflamasi meningkat pada wanita dengan kronis.
Infeksi M. genitalium , yang dapat memberikan gambaran bahwa, mirip dengan
yang terjadi pada C. trachomatis , infeksi yang terus-menerus dan tidak diobati
dapat menyebabkan peradangan kronis, dengan efek berbahaya bagi sistem
reproduksi wanita. Ditemukan bahwa wanita yang terinfeksi oleh M. genitalium
memiliki kemungkinan tiga kali lebih besar mengalami servisitis mukopurulen.
d) Virus herpes simpleks . Infeksi genital oleh virus herpes simpleks (HSV) tipe 1
dan 2 dapat menjadi penyebab servisitis, paling sering pada wanita dengan
gejala klinis yang jelas dari infeksi HSV-2 primer. Biasanya ditandai dengan
adanya perdarahan erosif dan difus, biasanya pada epitel ektoserviks, yang
sering disertai ulserasi. Diperkirakan servisitis terjadi pada sekitar 15-20%
wanita dengan infeksi genital HSV-2 primer dengan gejala yang terbukti secara
klinis. Manifestasi infeksi HSV-2 primer biasanya terlihat pada epitel vulva
dan/atau introitus. Servisitis juga dapat terjadi selama kekambuhan klinis infeksi
HSV-2 genital, tetapi dengan manifestasi yang lebih ringan daripada yang
dihasilkan selama infeksi primer. Ekskresi asimtomatik HSV-2 tampaknya tidak
berhubungan langsung dengan servisitis. HSV-1 juga dapat menyebabkan
servisitis, meskipun manifestasi klinisnya tidak terlalu parah dan umumnya
hanya terjadi selama infeksi genital primer.

Neisseria dan klamidia terutama menginfeksi epitel kolumnar endoserviks,


sedangkan HSV dan trikomonas memengaruhi epitel skuamosa ektoserviks.
Penyebab non-infeksi termasuk iritasi mekanis dan kimiawi. Instrumen bedah
atau benda asing seperti pesarium, kondom, diafragma, tutup serviks, atau tampon dapat
menyebabkan trauma mekanis. Iritasi kimia menyebabkan reaksi alergi dan termasuk
sabun, produk binatu, spermisida, lateks, douche vagina, dan krim kontrasepsi. Penyakit
radang sistemik seperti lichen planus dan sindrom Behcet juga terlibat dalam
servisitis. Keadaan hipoestrogenik yang terlihat dengan menopause alami atau bedah
dapat meniru servisitis. Ini karena atrofi lapisan vagina dan Rahim. Secara klinis tidak
mungkin untuk membedakan peradangan yang disebabkan oleh iritasi mekanik atau
kimia dari yang disebabkan oleh penyebab infeksi.

2.5.4 Patofisiologi

Peradangan terjadi pada serviks akibat kuman pathogen aerob dan anaerob,
peradangan ini terjadi karena luka bekas persalinan yang tidak di rawat serta infeksi
karena hubungan seksual. Proses peradangan melibatkan epitel serviks dan stoma yang
mendasarinya. Inflamasi serviks ini bisa menjadi akut atau kronik. Masuknya infeksi
dapat terjadi melalui perlukaan yang menjadi pintu masuk saluran genetalia, yang
terjadi pada waktu persalinan atau tindakan medis yang menimbulkan perlukaan, atau
terjadi karena hubungan seksual. Selama perkembanganya, epitel silindris penghasil
mucus di endoserviks bertemu dengan epitel gepeng yang melapisi ektoserviks os
eksternal, oleh karena itu keseluruhan serviks yang terpajan dilapisi oleh epitel gepeng.
Epitel silindris tidak tampak dengan mata telanjang atau secara koloposkopis.

Seiring dengan waktu, pada sebagian besar wanita terjadi pertumbuhan ke


bawah, epitel silindris mengalami ektropion, sehingga tautan skuamo kolumnar menjadi
terletak dibawah eksoserviks dan mungkin epitel yang terpajan ini mengalami “Erosi”
meskipun pada kenyataannya hal ini bias terjadi secara normal pada wanita dewasa.
Remodeling ini bisa terus berlanjut dengan regenerasi epitel gepeng dan silindirs
sehingga membentuk zona transformasi. Pertumbuhan berlebihan epitel gepeng sering
menyumbat orifisium kelenjar endoserviks di zona transformasi dan menyebabkan
terbentuknya kista nabothian kecil yang dilapisi epitel silindirs penghasil mucus. Di
zona transformasi mungkin terjadi infiltrasi akibat peradangan banal ringan yang
mungkin terjadi akibat perubahan pH vagina atau adanya mikroflora vagina.

2.5.5 Manifestasi Klinis


Dari sudut pandang klinis, servisitis cenderung diklasifikasikan sebagai akut
atau kronis, dengan yang terakhir bertanggung jawab atas sejumlah besar
kasus. Peradangan serviks seringkali asimtomatik, dan pada wanita yang bergejala
gejalanya seringkali tidak spesifik, dengan yang paling signifikan adalah adanya
peningkatan keputihan dan/atau perdarahan intermenstrual, biasanya berhubungan
dengan hubungan seksual.
Dalam pemeriksaan ginekologi, servisitis biasanya dimanifestasikan oleh adanya
eksudat endoserviks mukopurulen di saluran endoserviks (“servisitis mukopurulen”)
dan/atau perdarahan, yang mudah diinduksi oleh gosokan ringan dengan kapas melalui
os serviks eksternal (“kerapuhan” ). Kedua tanda tersebut dapat hadir atau mungkin
hanya salah satunya, dan kerapuhan adalah hal yang umum, atau bahkan lebih sering
daripada adanya eksudat. . Oleh karena itu, meskipun karya tertua merujuk pada istilah
"servisitis mukopurulen", terminologi ini tidak tepat dan pedoman praktik klinis telah
menggunakan istilah "servisitis" sejak 2006 untuk mencakup semua kasus.

Servisitis kronis, umumnya tanpa gejala, sangat umum pada wanita dewasa
(setidaknya yang dapat dilihat hanya secara mikroskopis) dan kepentingannya terletak
pada fakta bahwa infeksi subklinis dapat meluas ke saluran genital bagian atas,
mengakibatkan komplikasi seperti endometritis, salpingitis, dan PID. Ini juga dapat
menyebabkan efek buruk pada wanita hamil dan bayi baru lahir. Gejala sisa PID
meliputi nyeri panggul perut kronis, infertilitas, dan peningkatan risiko kehamilan
ektopik. 

2.5.6 Pemeriksaan Penunjang

Pewarnaan Gram dari eksudat endoserviks dapat berguna dalam diagnosis


servisitis gonokokal (kehadiran diplokokus Gram-negatif), meskipun memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang rendah dan hasilnya dapat dipengaruhi baik oleh
pengalaman pengamat maupun oleh kemungkinan gangguan pada mikrobiota atau
leukosit vagina itu sendiri dan bukan pada lendir serviks.

Sampel eksudat endoserviks harus dibiakkan dalam media, termasuk media


selektif untuk N. gonorrhoeae (Thayer-Martin atau Martin-Lewis) dan T.
vaginalis . Media umum, seperti agar darah dan agar coklat juga harus digunakan, untuk
pemulihan bakteri yang kurang umum, karena ada beberapa strain N. gonorrhoeae yang
dapat dihambat dalam media selektif. Teknik NAA harus digunakan untuk diagnosis C.
trachomatis karena, karena merupakan bakteri intraseluler, teknik ini memerlukan
kultur sel dan teknik deteksi antigen kurang sensitif. Ada berbagai platform di pasaran
untuk deteksi bersama C. trachomatis dan N. gonorrhoeae dalam sampel yang sama,
dengan menggunakan teknik NAA. Terlepas dari keuntungan yang ditawarkan oleh
teknik NAA, dianjurkan untuk tidak mengabaikan kultur, karena deteksi N.
gonorrhoeae mungkin memiliki konotasi penting, bahkan bersifat yudisial, dan karena
pemulihan strain memungkinkan profil resistensi antibiotiknya untuk dipelajari.

Kultur sel untuk Chlamydia juga harus dilakukan, baik untuk memantau onset
dan evolusi resistensi dari waktu ke waktu dan untuk dapat mempelajari dan
mengkarakterisasi galur dengan tujuan epidemiologis dan penelitian (misalnya galur
yang terkait dengan limfogranuloma venereum dan infeksi langka lainnya. disebabkan
oleh varian atau strain mutan). Sampel vagina menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas
yang sebanding dengan sampel endoserviks ketika teknik NAA digunakan, dan oleh
karena itu dapat menjadi alternatif yang valid untuk diagnosis servisitis pada wanita
yang tidak dapat menjalani pemeriksaan ginekologi lengkap.  Sebaliknya, urin uretra
fraksional adalah sampel yang kurang berguna untuk diagnosis servisitis karena C.
trachomatis dan N. gonorrhoeae karena memberikan sensitivitas yang lebih rendah. 

Tes serologis untuk mendeteksi respons imun tidak berguna dalam diagnosis
infeksi C. trachomatis aktif. Infeksi T. vaginalis dapat didiagnosis dengan pemeriksaan
mikroskopis segar sekret serviks, tetapi sensitivitas teknik ini rendah, artinya untuk
diagnosisnya perlu dilakukan kultur pada media yang sesuai atau menggunakan teknik
NAA. Teknik NAA adalah teknik pilihan untuk diagnosis M. genitalium dan HSV tipe 1
dan 2.

2.5.7 Diagnosis

Diagnosis klinis servisitis secara tradisional dibuat berdasarkan adanya temuan


sugestif dalam pemeriksaan klinis dengan spekulum: serviks yang bengkak dan rapuh
dengan adanya sekresi serviks yang tampak mukopurulen.  Namun , tingkat peradangan
serviks dan tanda serta gejala yang menyertainya dapat sangat bervariasi, dan nilai
prediksi dari tanda serviks yang menunjukkan servisitis juga dapat bervariasi tergantung
pada usia dan faktor risiko lain yang terkait dengan IMS. Pemeriksaan mikroskopis
dengan pengecatan Gram juga dapat dilakukan untuk memastikan adanya peradangan
serviks, dengan mengukur leukosit polimorfonuklear (PMN) dalam sekresi
endoserviks. Hitungan >30PMN/lapangan dianggap signifikan.

2.5.8 Diagnosis banding

Wanita dengan servisitis biasanya memiliki risiko tinggi IMS bersamaan dan
harus dievaluasi untuk mereka. Jika tes infeksi negatif, maka penyebab non-infeksi
diselidiki, termasuk tes untuk dermatitis kontak dan penyakit sistemik seperti lichen
planus. Pada wanita pascamenopause, sindrom genitourinari menopause dapat
menyerupai servisitis. Namun, ini muncul dengan gejala sindrom lainnya, termasuk
vaginitis atrofi.

2.5.9 Tatalaksana

Resolusi gejala tergantung pada etiologi servisitis. Menurut pedoman CDC,


pengobatan empiris direkomendasikan untuk wanita dengan risiko IMS yang lebih
tinggi, termasuk wanita <25 tahun, mereka yang memiliki pasangan seksual baru,
pasangan dengan IMS, atau banyak pasangan seksual bersamaan. Untuk wanita ini,
antimikroba untuk menutupi klamidia dan gonore diberikan. Pengobatan empiris juga
disarankan untuk wanita tanpa patogen yang dapat diidentifikasi pada
pengujian. Pengobatan dapat ditunda sampai tes konfirmasi tersedia untuk wanita
dengan risiko IMS yang lebih rendah. Menurut pedoman yang diterbitkan oleh Institut
national d'excellence en Sante et en services sociaux (INESSS), rejimen empiris adalah
sebagai berikut:

a) 1g azithromycin dosis tunggal oral PLUS baik 800 mg cefixime dalam dosis
tunggal oral atau 250 mg ceftriaxone intramuskular dalam dosis tunggal

b) 100 mg doksisiklin oral dua kali sehari selama 7 hari DITAMBAH baik 800 mg
cefixime dalam dosis tunggal oral atau 250 mg ceftriaxone intramuskular dalam
dosis tunggal

c) Untuk alergi parah terhadap penisilin/sefalosporin: 2g azitromisin oral dalam


dosis tunggal 
Untuk agen infeksius yang teridentifikasi melalui pemeriksaan laboratorium,
pengobatannya adalah sebagai berikut:

a) Klamidia: Dosis oral tunggal 1g azitromisin ATAU 100mg doksisiklin dua kali
sehari selama 7 hari

b) Gonore: 250mg ceftriaxone intramuskular PLUS dosis oral tunggal 1g


azitromisin

c) Mycoplasma: 400mg moksifloksasin setelah kegagalan pengobatan dengan 1g


azitromisin oral

d) Trichomonas: Dosis tunggal 2g metronidazole ATAU tinidazole oral

e) Vaginosis bakterial: Metronidazole 500mg dua kali sehari selama 7 hari ATAU
gel metronidazole intravaginal 0,75% sekali sehari selama 5 hari

f) HSV: Oral 400mg asiklovir tiga kali sehari selama 7 sampai 10 hari

Perawatan pasangan seksual juga dianjurkan, dan aktivitas seksual harus dihentikan
sampai selesainya terapi dan penyelesaian pengobatan. Wanita HIV-positif dengan
servisitis diberikan pengobatan yang sama dengan HIV-negatif. Pengobatan segera pada
wanita ini mengurangi pelepasan virus dan dapat mengurangi risiko penularan HIV.

2.5.10 Prognosis

Prognosis keseluruhan penyebab infeksi servisitis adalah baik. Pemulihan terjadi


dalam satu atau dua minggu dan tes penyembuhan tidak diperlukan. Dalam kasus
kegagalan pengobatan dan infeksi berulang, langkah pertama adalah mengkonfirmasi
pemberantasan organisme penyebab dengan pengujian ulang. Anamnesis menyeluruh
diambil untuk penilaian pajanan ulang (misalnya, pasangan seksual baru atau tidak
diobati) dan untuk penyebab non-infeksi (misalnya, iritasi kimia dan penyakit sistemik).

Istilah servisitis kronis digunakan untuk wanita dengan sekret persisten selama
tiga bulan meskipun infeksi sudah sembuh/tidak ada. Biasanya disebabkan oleh sumber
yang tidak menular, dan tidak ada pendekatan standar untuk kasus ini. Servisitis dengan
etiologi yang tidak diketahui ini dapat merespons antibiotik, perak nitrat, atau prosedur
eksisi bedah elektro loop.

2.5.11 Pencegahan

Seperti semua infeksi menular seksual, pendidikan pasien dan pengobatan


pencegahan adalah kunci untuk mengurangi prevalensi penyakit ini. Strategi ABC
(pantang, setia, penggunaan kondom) pencegahan IMS juga berpotensi menekan
penyebaran penyakit ini. [20]  Sangatlah penting bagi wanita usia subur untuk mencari
pengobatan segera sehingga segudang komplikasi yang timbul dari penyakit saluran
kelamin bagian atas dapat dihindari

2.5.12 Komplikasi

Komplikasi utama servisitis adalah endometritis, PID dan kemungkinan efek


samping pada kehamilan. Tanda-tanda klinis servisitis dan/atau endometritis mungkin
satu-satunya yang ada pada pasien PID. Pada wanita dengan infeksi saluran genital
bagian bawah, risiko berkembangnya PID diperkirakan antara 20 dan 80% tergantung
pada keterlambatan diagnosis, adanya koinfeksi dan faktor lain yang bergantung pada
pejamu. Adanya peradangan serviks dapat berperan dalam penularan HIV,
meningkatkan kerentanan terhadap infeksi oleh virus dan ekskresinya. Mekanisme di
mana servisitis dapat mendukung penularan HIV termasuk peningkatan replikasi virus
dalam konteks infeksi atau peradangan, terutama dengan adanya peningkatan sitokin
proinflamasi, gangguan lendir serviks dan jumlah sel yang terinfeksi HIV yang lebih
banyak dalam sekresi serviks. Ditemukan juga keterlibatan peradangan kronis serviks
dalam patogenesis kanker serviks. Beberapa genotipe human papillomavirus (HPV),
khususnya 16 dan 18, terlibat dalam perkembangan sebagian besar kanker genital. Peran
virus ini dalam servisitis lebih tidak pasti.

Dampak servisitis pada kehamilan dan kemungkinan efek samping pada


neonatus masih menjadi kontroversi. Pada wanita hamil, infeksi C. trachomatis telah
dikaitkan dengan peningkatan risiko kehamilan ektopik, kelahiran prematur, ketuban
pecah dini, aborsi spontan, dan morbiditas masa kanak-kanak. Namun, beberapa
penelitian tidak menemukan perbedaan yang signifikan secara statistik antara risiko
kelahiran prematur atau ketuban pecah dini pada wanita dengan servisitis yang
disebabkan oleh Chlamydiadan gonococcus dan wanita hamil tanpa infeksi, sementara
di tempat lain ada hubungan yang signifikan secara statistik antara infeksi C.
trachomatis dan risiko aborsi spontan pada populasi dengan prevalensi tinggi infeksi
akibat bakteri ini. Dalam kasus M. genitalium , telah ditemukan hubungan yang
signifikan antara infeksi akibat bakteri ini dengan risiko aborsi spontan dan kelahiran
prematur.

2.6 Infeksi Genital Non Spesifik


2.6.1 Definisi

IGNS merupakan Infeksi Menular Seksual berupa peradangan di uretra, rectum,


atau serviks yang disebabkan oleh kuman non spesifik. Yang dimaksud kuman spesifik
adalah kuman yang dengan fasilitas laboratorium biasa/sederhana dapat ditemukan
seketika, misalnya gonokok, Candida albicans, Trichomonas vaginalis dan Gardnerella
vaginalis (Daili&Nilasari, 2021).

2.6.2 Etiologi

Infeksi Genital Non Spesifik 50% penyebabnya adalah Chlamydia trachomatis,


sedangkan sisanya adalah Ureplasma urealyticum dan Mycoplasma hominis,
Trichomonas vaginalis, Herpes simpleks virus, Gardnerella vaginalis, alergi dan bakteri
(Daili&Nilasari, 2021).

2.6.3 Epidemiologi

Uretritis non spesifik banyak ditemukan pada orang dengan keadaan sosial
ekonomi lebih tinggi, usia lebih muda, dengan pola aktivitas seksual yang aktif. Angka
kejadian pada laki-laki lebih banyak dari perempuan (Daili&Nilasari, 2021).

2.6.4 Gejala Klinis

Infeksi lebih sering terjadi di seviks disbandingkan vagina, kelenjar


Bartholin,atau uretra sendiri. Umumnya tidak menunjukkan gejala (asimptomatis),
Sebagian kecil keluhannya adalah keluarganya discharge dari vagina, dysuria ringan,
sering buang air kecil, nyeri pada daerah pelvis dan disparenia. Pada pemeriksaan
serviks didapatkan tanda servisitis berupa mukosa yang hiperemis dan edema, disertai
adanya folikel-folikel kecil yang mudah berdarah, dan discharge serviks yang
mukopurulen (Daili&Nilasari, 2021).

Gambar 2. 6 Manifestasi klinis pada Serviks

2.6.5 Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis secara klinis sukar untuk membedakan infeksi karena gonore


atau non-gonore. Menegakkan diagnosis servisitis atau urethritis karena klamidia
sebagai penyebab, perlu pemeriksaan khusus untuk menemukan adanya C.trachomatis.
Pemeriksaan laboratorium sederhana ialah pewarnaan gram. Pemeriksaan yang
digunakan sejak lama adalah pemeriksaan sediaan sitologi langsung dan biakan dari
inokulum yang diambil dari spesimen urogenital. Pada tahun 1980-an ditemukan
teknologi pemeriksaan terhadap antigen dan asam nukleat C. trachomatis.

Pemeriksaan sitologi langsung ini dengan pewarnaan Giemsa memiliki


sensitivitas tinggi untuk konjungtivitis (95%), sedangkan untuk infeksi genital rendah
(laki-laki 15%, perempuan 41%). Sitologi dengan Papaniculou sensitivitasnya juga
rendah, yaitu 62%. Hingga saat ini pemeriksaan biakan masih dianggap sebagai baku
emas pemeriksaan klamidia. Spesifisitasya mencapai 100%, tetapi sensitivitasnya
bervariasi bergantung pada labora-torium yang digunakan (berkisar antara 75-85%).
Pemeriksaan ini tidak dindikasikan pada kasus asimtomatik dan infeksi subakut.
Prosedur, teknik, dan biaya pemeriksaan biakan ini tinggi serta perlu waktu 3-7 hari.
Sampai saat ini pemeriksaan dengan biakan bahkan PCR belum dapat dilakukan secara
rutin di Indonesia (Daili&Nilasari, 2021).

Untuk teknik deteksi antigen klamidia terdapat beberapa cara, yaitu ;

a) Direct fluorescent antibody (DFA)


Tes tersebut menggunakan antibodi mono-klonal atau poliklonal dengan
mikroskop imuno- fluoresen (I.F.). Tampak badan elementer (BE) atau retikulat
(BR), hasil dinyatakan positif bila ditemukan BE > 10. Waktu pemeriksaan
diperlukan kurang lebih 30 menit, perlu tenaga terlatih dan biaya lebih murah.
Sensitivitasya berkisar antara 80-90% dan spesifisitasnya 98-99%.
b) Enzyme immuno assay/enzyme linked immuno sorbent assay (EIA/ELISA)
Pemeriksaan tersebut mulai dikembangkan pada akhir tahun 1980-an,
menggunakan antibodi monoklonal atau poliklonal dan alat spektrofotometri,
lama tes 3 sampai 4 jam. Metode Elisa Chlamydiazyme sensitivitasnya 92,3%
dan spesifisitanya 99,8% terhadap biakan. Di samping itu dikenal juga metode
ELISA yang membutuhkan waktu 30 menit atau kurang, yang dikenal dengan
istilah rapid test, dan dapat dikerjakan di tempat praktik. Beberapa rapid test
yang dikenal adalah "Clearview", "Genix" "One step CT test strip (AmeriTek)"
dan "QuickStripe" Chlamydia Ag. Sensitivitas pemeriksaan ini lebih rendah
dibandingkan dengan ELISA Chlamydiazyme.
Metode yang terbaru adalah dengan cara mendeteksi asam nukleat C.
trachomatis.
1) Hibridisasi DNA Probe
Dikenal dengan istilah Gen Probe. Metode tersebut mendeteksi DNA CT,
lebih sensitif dibandingkan dengan cara ELISA, karena dapat mendeteksi
DNA dalam jumlah kecil melalui proses hibridisasi. Sensitivitasya tinggi
(85%) dan juga spesifisitasnya (98-99%).
2) Amplifikasi asam nukleat
Termasuk dalam katagori tersebut tes Polimerase Chain Reaction (PCR)
dan Ligase Chain Reaction (LCR). PCR mempunyai sensitifitas 90% dan
spesivisitas 99-100%, sedangkan LCR sensitifitas 94% dan spesifisitas
99-100%. Uretritis yang persisten paska terapi doksisiklin harus
dipikirkan tentang kemungkinan infeksi oleh U.Urealiticum atau
M.Genitalium yang resisten doksisiklin, T.vaginalis dapat juga sebagai
penyebab infeksi uretra pada laki-laki. Dalam hal ini, diindikasikan
pemeriksaan kultur atau NAAT dari bahan duh genital, swab uretra, first
void urine, atau semen.

2.6.6 Tatalaksana
Medikamentosa pilihan utama diantaranya adalah (Daili&Nilasari, 2021) :
g) Doksisiklin : 2x100 mg sehari selama 7 hari, atau
h) Azitromisin : 1 gram dosis tunggal, atau
i) Eritromisin : untuk penderita yang tidak tahan tetrasiklin, ibu hamil, atau
berusia kurang dari 12 tahun, 4x500mg sehari selama 1 minggu atau
4x250mg sehari selama 2 minggu

2.6.7 Pencegahan

Hal paling baik yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan deteksi dini dan
pengobatan dini kasus terinfeksi, dan juga tatalaksana pada pasangan seksualnya.
Menggunakan kondom secara tepat dan konsisten, konseling untuk abstinensi selama
terapi.

2.6.8 Komplikasi

Pada wanta dapat terjadi infertilitas, gangguan pertumbuhan janin, bahkan


keganasan. Infeksi asimtomatik pada pasangan akan menimbulkan reinfeksi, rekurensi
dan infeksi laten.

Anda mungkin juga menyukai