Anda di halaman 1dari 21

Clinical Science Session

BAKTERIAL VAGINOSIS

OLEH :

Vera Patriya 0810313257


Mustika Ferbriani Rizona 1010312073
Rizky Dwi Utami 1110313067

PRESEPTOR:

dr. Mutiara Islami, Sp.OG(K)

BAGIAN TELINGA ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUD PARIAMAN
PADANG
2016

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Bakterial Vaginosis (BV) merupakan salah satu masalah kesehatan yang

sering dihadapi oleh wanita yang berada dalam masa reproduksi dimana terjadi

ketidak seimbangan flora normal yang terdapat di vagina. Kondisi tersebut yaitu

pertumbuhan flora bakteri anaerob terutama Bacteroides sp., Mobilicus sp.,

Gardnerellavaginalis, dan Mycoplasma hominis yang lebih banyak sehingga,

menggantikan flora Lactobacilus yang pada hakikatnya merupakan flora normal

vagina. Tanda klinis infeksi BV ditandai dengan adanya produksi sekret vagina

yang banyak, berwarna abu-abu, tipis, homogen, berbau amis dan terdapat

peningkatan pH.1,2

Kejadian BV cukup sering terjadi di negara-negara berkembang termasuk

Indonesia. Beberapa penelitian telah melaporkan adanya risiko prevalensi yang

tinggi, berkisar antara 20-49% diantara wanita yang berkunjung ke klinik penyakit

menular seksual yang biasanya mengeluh adanya discharge vagina. Prevalensi

infeksi BV berkisar antara 21-52% di antara wanita hamil yang berkunjung ke

klinik antenatal, dan berkisar antara 37-51% pada penelitian di populasi.

Angkaangka prevalensi ini ternyata lebih tinggi dibandingkan prevalensi yang

terjadi di negara industri, yaitu sekitar 13% dari para pasien yang berkunjung ke

klinik ginekologi di London dan 15-30% pada penelitian pada wanita hamil di

Amerika Serikat.1 Menurut data dari World Health Organization (WHO) angka

kejadian 2 infeksi BV pada wanita hamil berkisar 14-21% di negara Eropa,

sedangkan di Asia dilaporkan prevalensi infeksi BV pada wanita hamil 13,6% di

Jepang, 15,9% di Thailand dan 32% di Indonesia.2

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Graveyy, dkk. ternyata wanita

dengan infeksi BV mempunyai risiko 3-8 kali lebih tinggi dibandingkan wanita
dengan flora normal untuk mengalami persalinan preterm. Demikian pula

terjadinya ketuban pecah dini lebih sering terjadi pada wanita dengan infeksi

BV(46%) dibandingkan wanita tanpa infeksi BV(4%).3 Infeksi BV menjadi faktor

risiko yang cukup besar terhadap kejadian partus prematurus sehingga infeksi BV

perlu perhatian lebih pada wanita hamil untuk mencegah kejadian tersebut. Dalam

melakukan pencegahan kejadian partus prematurus maka diperlukan pemeriksaan

yang mempunyai spesifisitas dan sensitivitas yang cukup tinggi untuk

menegakkan diagnosis BV.3

1.2. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan dari referat ini adalah sebagai bahan rujukan dalam kasus

vaginosis bakterial.

1.3. Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan referat ini yaitu diharapkan penulis dan pembaca dapat

mengetahui penyebab, gejala klinis, diagnosis, dan tatalaksana awal vaginosis

bakterial sesuai dengan penyebabnya.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Mikrobiologi Bakterial Vaginosis


Bakterial Vaginosis paling sering dijumpai sebagai penyebab infeksi vagina

pada wanita pada masa produktif. Semula disebut sebagai vaginitis nonspesifik,

suatu gambaran keadaan yang merupakan pengecualian dari vaginitis yang sudah

jelas etiologinya. Namun saat ini para ahli menyatakan kuman Gardnerella

vaginalis yang dianggap sebagai penyebab vaginitis nonspesifik. Hal yang khas

pada vaginitis nonspesifik ialah dijumpainya perubahan flora vagina.6

Ada hubungan erat antara vaginitis nonspesifik dengan Garnerella vaginalis.

Garnerella vaginalis lebih sering ditemukan pada pasien-pasien dengan vaginitis

nonspesifik dari pada vaginitis jenis lainnya. Pada vaginitis nonspesifik ditemukan

Gardnerella vaginalis dalam sekret vagina disertai peningkatan kuman

Bacteroides sp. dan Peptococcus sp. Setelah sembuh akan terjadi pengurangan

yang bermakna atau menghilangnya Gardrella vaginalis dan kuman anaerob,

sehingga Criswell dkk, berpendapat Garnerella vaginalis merupakan penyebab

terjadinya vaginitis. Analisis asam lemak dalam cairan vagina dengan gasliquid

chromatography menunjukan bahwa pada wanita dengan dengan vaginitis

nonspesifik perbandingan antara suksinat dan laktat naik menjadi lebih besar atau

sama dengan 0,4 bila dibandingkan dengan 7 wanita normal atau dengan pasien

yang menderita vaginitis oleh karena Candida albicans.7

Dominasi laktobasili tergeser oleh sejumlah kuman anaerob lainnya, antara

lain peptostreptokokus, Bacteroides sp., Gardnerella vaginalis, Mobilus sp., dan

mikoplasma genital. Oleh karena itu istilah vaginosis dianggap lebih tepat dan

dapat diungkapkan keadaan khas tersebut, disamping gambaran peradangan

vagina yang tidak terlihat secara nyata.6


Infeksi BVdinyatakan sebagai infeksi polimikrobial yang disebabkan oleh

penurunan jumlah laktobasilus dikuti oleh peningkatan bakteri anaerob yang

berlebihan. Keadaan abnormal pada ekosistem vagina yang ditandai dengan

perubahan konsentrasi hidrogen peroksida (H2O2) hasil produksi flora normal

Lactobacillus di vagina. Penurunan konsentrasi H2O2 digantikan oleh

peningkatan konsentrasi bakteri anaerob (Mobiluncus, Provetella,

Peptostreptococcus, Bacteroides, dan Eubacterium) dan bakteri fakultatif

(Gardnerella vaginalis, Mycoplasma hominis, Enterococcus dan grup

Streptococcus). Perubahan ini umumnya ditandai dengan produksi sekret vagina

yang banyak, berwarna abu-abu, tipis, homogen, berbau amis dan terdapat

peningkatan pH.2,8-10

Ekosistem vagina normal mengandung mikroorganisme sebanyak 105 -106 /gr

sekresi vagina; flora bakteri yang predominan adalah laktobasili (95%), disamping

itu terdapat pula sejumlah kecil (5%) variasi yang luas dari bakteri aerob maupun

anaerob. Atas alasan ini kultur dari spesimen vagina bukan merupakan prosedur

diagnosis klinis yang berguna. Jumlah bakteri pada ekosistem vagina normal 105

8 hingga 106 /gr sekret, namun pada infeksi BV terdapat peningkatansejumlah

mikroorganisme yang besar yaitu mencapai 109 - 1011/gr sekresi vagina.1

Menegakkan diagnosis infeksi BV harus ada tiga dari empat kriteria sebagai

berikut, yaitu : (1) adanya clue cellspada pemeriksaan mikroskopik sediaan basah,

(2) adanya bau amis setelah penetesan KOH 10% pada cairan vagina, (3) duh

yang homogen, kental, tipis, dan berwarna seperti susu, (4) pH vagina lebih dari

4,5 dengan menggunakan nitrazine paper.3


Secara klinis infeksi BV bukan merupakan suatu proses inflamasi, untuk itu

penegakkan diagnosis infeksi BV tidak dapat didukung hanya satu kriteria

melainkan didukung oleh beberapa kriteria klinis dan uji laboratotium sederhana.

Kriteria diagnosis yang dikenal adalah kriteria Amsel dan metode pewarnaan

Gram, yaitu kriteria Nugent dan kriteria Spiegel. Kriteria Nugent merupakan gold

standarddalam penegakkan diagnosa BV karena memiliki kelebihan pada sisi

objektivitas, nilai sensitivitas, dan spesifitas yang baik.2

2.2. Epidemiologi

Infeksi BV adalah penyebab paling umum dari gejala-gejala yang terjadi pada

vagina wanita, namun sampai saat ini belum jelas bagaimana peran aktivitas

diperkembangan infeksi BV. Prevalensi di Amerika Serikat diperkirakan 21,2 juta

(29,2%) diantara wanita usia 14-49 tahun, didasarkan pada sampel perwakilan

nasional dari wanita yang berpartisipasi dalam NHANES 2001-2004. Sebagian

besar wanita denganinfeksi BV (84%) melaporkan tidak merasakan adanya gejala.

Wanita yang belum melakukan hubungan seks vaginal, oral, atau anal masih bisa

terinfeksi BV (18,8%), demikian pula pada wanita hamil (25%), dan wanita yang

sudah pernah hamil (31,7%). Prevalensi infeksi BV meningkat berdasarkan

jumlah pasangan seksual seumur hidup. Perempuan bukan kulit putih memiliki

prevalensi yang lebih tinggi (Afrika-Amerika 51%, Amerika Meksiko 32%)

daripada wanita kulit putih (23%).11

Dari beberapa penelitian, 13.747 wanita hamil pada 23 hingga 26 minggu

kehamilan menjalani evaluasi untuk infeksi BV dengan menggunakan kriteria

pengecatan gram sekret vagina. Walaupun 16,3% wanita memiliki infeksi BV,
prevalensi terjadinya infeksi BVbervariasi luas dari segi etnis, 6,1% pada wanita

Asia, 8,8% dariwanita Kaukasia, 15,9% Hispanik, dan 22,7% dari wanita

keturunan Afrika-Amerika. Studi-studi lain telah menemukan prevalensi infeksi

BV antenatal dari wanita dengan gejala yang asimtomatik, 5% di Italia, 12%

Helshinki, 21% di London, 14% di Jepang, 16% di Thailand, dan 17% di Jakarta. 9

Aggarawati dalam penelitiannya mendapatkan prevalensi infeksi BV pada ibu

hamil sebesar 43,3% dari 60 wanita hamil yang memenuhi kriteria inklusi.12

2.3. Patofisiologi

Sekelompok kuman harus bekerja secara sinergistik untuk menimbulkan

kejadian vaginosis. Flora campuran kuman anaerob dapat tumbuh secara

berlebihan sebagai akibat adanya peningkatan substrat, peningkatan pH, dan

hilangnya dominasi flora normal laktobasili yang menghambat pertumbuhan

kuman lain. Pada wanita 10 normal dijumpai kolonisasi strain Laktobasili yang

mampu memproduksi H2O2, sedangkan pada penderita vaginosis terjadi

penurunan jumlah populasi laktobasili secara menyeluruh, sementara populasi

yang tersisa tidak mampu menghasilkan H2O2. Diketahui bahwa H2O2 dapat

menghambat pertumbuhan kuman-kuman yang terlibat dalam vaginosis, yaitu

oleh terbentuknya H2O-halida karena pengaruh peroksidase alamiah yang berasal

dari serviks. Dengan meningkatnya pertumbuhan kuman, produksi senyawa amin

oleh kuman anaerob juga bertambah, yaitu berkat adanya dekarboksilase

mikrobial. Senyawa amin yang terdapat pada cairan vagina yaitu putresin,

kadaverin, metilamin, isobutilamin, fenetilamin, histamin, dan tiramin.6,7


Bakteri anaerob dan enzim yang bukan diproduksi oleh Gardnerella dalam

suasana pH vagina yang meningkat akan mudah menguap dan menimbulkan bau

amis, bau serupa juga dapat tercium jika pada sekret vagina yang diteteskan KOH

10%. Senyawa amin aromatik yang berkaitan yang berkaitan dengan timbulnya

bau amis tersebut adalah trimetilamin, suatu senyawa amin abnormal yang

dominan pada BV. Bakteri anaerob akan memproduksi aminopeptida yang akan

memecah protein menjadi asam amino dan selanjutnya menjadi proses

dekarboksilasi yang akan mengubah asam amino dan senyawa lain menjadi amin,

yaitu dekarboksilasi ornitin (metabolit arginin) akan menghasilkan putresin,

dekarboksilasi lisin akan menghasilkan kadaverin dan dekarboksilasi betain

(metabolit kolin) akan menghasilkan trimetilamin.1,6

Poliamin asal bakteri ini bersamaan dengan asam organik yang terdapat dalam

vagina penderita infeksi BV, yaitu asam asetat dan 11 suksinat, bersifat sitotoksik

dan menyebabkan eksfoliasi epitel vagina. Hasil eksfoliasi yang terkumpul

membentuk sekret vagina. Dalam pH yang alkalis Gardnerella vaginalis melekat

erat pada sel epitel vagina yang lepas dan membentuk clue cells. Secara

mikroskopik clue cellsnampak sebagai sel epitel yang sarat dengan kuman, terlihat

granular dengan pinggiran sel yang hampir tidak tampak.1,6,7

2.4. Manifestasi Klinis

Dalam studi cross sectional pasien klinik, BV dengan kriteria Gram-stain

secara bermakna dikaitkan dengan gejala malodor vagina (49% pasien dengan BV

dan 20% tanpa BV) dan vaginal discharge (50% dengan BV dan 37% tanpa BV)
dan dengan keluhan sekret putih kental homogen, (69% dengan BV dan 3% tanpa

BV).9,10

Eschenbach DA, dkk, Dari 293 wanita dengan vaginosis bakteri yang

didiagnosis menggunakan pengecatan gram sederhana, 65% memiliki gejala

peningkatan keputihan dan/atau bau tak sedap pada vagina, sedangkan 74%

memiliki tanda-tanda keputihan karakteristik homogen atau bau seperti amina.

Peningkatan pH vagina merupakan tanda paling spesifik dan bau seperti amina

menjadi tanda yang paling sensitif pada vaginosis bakteri.13

Pratiwi dkk menemukan dari 41 orang wanita hamil yang memeriksakan diri

ke Poliklinik Obstetri dan Ginekologi RSUD Arifin Achmad subjek yang diteliti

didapatkan sebanyak 17 penderita BV dengan persentase 41,5%. Karakteristik

Penderita BV terbanyak berada pada kelompok umur 20-34 (82,4%) dengan umur

kehamilan 28-40 minggu (64,7%). Sebagian besar memiliki tingkat pendidikan

tinggi (64,7%) dan tidak bekerja (70,6%). Ditemukan riwayat graviditas 2-3

(52,9%), 12 paritas 0 (41,2%) dan 1 (41,2%), riwayat prematur (11,8%), riwayat

BBLR (23,5%), riwayat keputihan (64,7%) dan tidak ditemukan adanya riwayat

douching dan riwayat penggunaan IUD.2

2.5. Faktor Risiko

Gonzalez dkk,2004. 968 pasien dengan kehidupan seksual aktif yang tidak

menerima antibiotik selama minimal 15 hari sebelum studi dan yang tidak

menstruasi pada saat mengambil swab, 859 diantaranya memiliki diagnosis

cervico-vaginitis dan 109 tidak memiliki gejala apapun. Kriteria Amsel digunakan

untuk membuat diagnosis vaginosis bakteri. Didapatkan 32,9% prevalensi infeksi


BV dari populasi. Ada hubungan yang signifikan secara statistik dengan faktor-

faktor seperti usia, mulai dari kehidupan seksual yang aktif, jumlah hubungan

seksual per minggu, jumlah pasangan seksual, dan kehamilan.14 Octaviany, dkk

melakukan penelitian pada 492 perempuan yang berusia 15- 50 tahun. Prevalensi

infeksi BV pada penelitian ini adalah 30,7% sesuai dengan skor Nugent. Usia >40

tahun dan pasangan yang tidak disirkumsisi merupakan faktor determinan yang

secara signifikan berpengaruh terhadap kejadian BV.15

Wanita seksual aktif merupakan karier Gardnerella vaginalis lebih tinggi

dibandingkan dengan wanita yang belum pernah berhubungan seks sebelumnya.

Data lain menunjukan pada wanita heterokseksual faktor predisposisi infeksi BV

meliputi frekuensi hubungan seksual yang tinggi, jumlah pasangan seks pria yang

banyak, serta penggunaan UID, kontrasepsi hormonal dan kontrasepsi.9,10,13

2.6. Komplikasi

Infeksi BV yang tidak mendapat penanganan yang baik dapat menyebabkan

komplikasi, antara lain, endometritis, penyakit radang panggul, sepsis

paskaaborsi, infeksi paskabedah, infeksi paskahisterektomi, peningkatan risiko

penularan HIV dan IMS lain. Infeksi BV merupakan faktor risiko potensial untuk

penularan HIV karena pH vagina meningkat dan faktor biokimia lain yang diduga

merusak mekanisme pertahanan host. Penelitian dari seluruh dunia mengenai BV

langsung tertuju kepada sejumlah komplikasi obstetrik yaitu keguguran, lahir

mati, perdarahan, kelahiran prematur, persalinan prematur, ketuban pecah dini,

infeksi cairan ketuban, endometritis paskapersalinan dan kejadian infeksi daerah

operasi (IDO).16
2.7. Diagnosis
2.7.1. Kultur

Usap vagina dikultur baik anaerob maupun aerobik pada permukaan brain

heart infusion plate agar dilengkapi dengan vitamin K (0,5mg/l) dan Haemin

(5mg/l), agar darah dan agar coklat. Sebagai tambahan Bacteroides Bile Esculin

agar,Neomycin Vancomycin Chocolate agar diinokulasi untuk kultur anaerob.

Setiap media diperiksa setelah 48 jam, 96 jam dan 7 hari,hasil kultur yang telah

diisolasi diidentifikasi dengan menggunakan teknik mikrobiologi yang telah

distadarisasi.17

Kultur merupakan metode yang menjadi gold standard untuk diagnosis

sebagian besarpenyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Namun, kultur tidak

bisa menjadi gold standarduntuk diagnosis vaginosis bakteri. Hal ini dikarenakan

14 organismeyang terlibat dalam infeksi BV tidak dapat dipisahkan dengan mudah

dan bakteribakteri yang berperan dalam terjadinya infeksi BV tetap ada dengan

jumlah yang sedikit pada kondisi normal sehingga pada hasil kultur akan selalu

terdiagnosis sebagai infeksi BV.4 Bakteri Gardnerella vaginalis ditemukan

sebanyak 60% pada kultur vagina normal18

2.7.2. Kriteria Spiegel

Metode pemeriksaan Spiegel merupakan penilaian yang berdasar pada jumlah

kuman Lactobacillus, Gardnerella dan flora campuran dalam menegakkan

diagnosis apakah seseorang terdiagnosis BV atau tidak. Kriteria Spiegel bersifat

lebih tegas karena hanya terdapat 2 kriteria aja, yaitu normal dan BV
positif,sehingga lebih memudahkan dalam menentukan perlu atau tidaknya

dilakukan terapi.19

Jika pada pengecatanGram menunjukkan predominasi (3+ sampai 4+)

Lactobacillus, dengan atau tanpamorfotipe Gardnerella, diinterpretasikan normal.

Jika pada pengecatan Grammenunjukkan flora campuran meliputi bakteri Gram

positif, bakteri Gram negatif,atau bakteri Gram variabel dan morfotipe

Lactobacillus menurun atau tidak ada (0-2+), diinterpretasikan infeksi BV.18,19

2.7.3. Kriteria Nugent

Kriteria Nugent atau juga dikenal sebagai skor Nugent merupakan metode

diagnosis infeksi BV dengan pendekatan berdasarkan jumlah bakteri yang ada

sekret vagina. Kriteria Nugent merupakan modifikasi dari metode Spiegel dalam

penghitungan jumlah kuman pada preparat basah sekret vagina. Kriteria Nugent

dinilai dengan adanya gambaran Lactobacillus, Gardnerella vaginalis dan

Mobiluncus spp. (skor dari 0 sampai 4 tergantung pada ada atau tidaknya pada

preparat). Kuman batang Gram negatif/Gram variable kecil (Garnerella vaginalis)

jika lebih dari 30 bakteri per lapangan minyak imersi (oif) diberi skor 4; 6-30

bakteri per oif diberi skor 3; 1-5 bakteri per oif diberi skor 2; kurang dari 1 per oif

diberi skor 1; dan jika tidak ada diberi skor 0.19

Kuman batang Gram-positif besar (Lactobacillus) skor terbalik, jika tidak

ditemukan kuman tersebut pada preparat diberi skor 4; kurang dari 1 per oif diberi

skor 3; 1-5 per oif diberi skor 2; 6-30 per oif diberi skor 1; dan lebih dari 30 per

oif diberi skor 0. Kuman batang Gram berlekuk-variabel (Mobiluncus sp.) , jika

terdapat lima atau lebih bakteri diberi skor 2 , kurang dari 5 diberi skor 1 , dan
jika tidak adanya bakteri diberi skor 0. Semua skor dijumlahkan hingga nantinya

menghasilkan nilai akhir dari 0 sampai 7 atau lebih. Kriteria untuk infeksi BV

adalah nilai 7 atau lebih tinggi; skor 4-6 dianggap sebagai intermediate, dan skor

0-3 dianggap normal.8,20

2.7.4. Kriteria Amsel

Kriteria Amsel dalam penegakan diagnosis BV harus terpenuhi 3 dari 4

kriteria berikut:

a. Adanya peningkatan jumlah cairan vagina yang bersifat homogen.

Keluhan yang sering ditemukan pada wanita dengan BV adalah adanya

gejala cairan vagina yang berlebihan,berwarna putih yang berbau amis dan

menjadi lebih banyak setelah melakukan hubungan seksual. Pada

pemeriksaan spekulum didapatkan cairan vagina yang encer, homogen,

dan melekat pada dinding vagina namun mudah dibersihkan. Pada

beberapa kasus, cairan vagina terlihat berbusa yang mana gejala hampir

mirip dengan infeksi trikomoniasis sehingga kadang sering keliru dalam

menegakan diagnosis.1
b. pH cairan vagina yang lebih dari 4,5 pH vagina ditentukan dengan

pemerikasaan sekret vagina yang diambil dari dinding lateral vagina

menggunakan cotton swab dan dioleskan pada kertas strip pH.(2,5,7).

Pemeriksaan ini cukup sensitif, 90% dari penderita BV mempunyai pH

cairan vagina lebih dari 5; tetapi spesitifitas tidak tinggi karena PH juga

dapat meningkat akibat pencucian vagina, menstruasi atau adanya sperma.

pH yang meningkat akan meningkatkan pertumbuhan flora vagina yang

abnormal.21
c. Whiff test Positif Whiff test diuji dengan cara meneteskan KOH 10% pada

sekret vagina, pemeriksaan dinyatakan positif jika setelah penentesan

tercium bau amis.1,4,20Diduga meningkat pH vagina menyebabkan asam

amino mudah terurai 17 dan menegeluarkan putresin serta kadaverin yang

berbau amis khas. Bau amis ini mudah tercium pada saat melakukan

pemeriksaan spekulum, dan ditambah bila cairan vagina tersebut kita tetesi

KOH 10% . Cara ini juga memberikan hasil yang positif terhadap infeksi

trikomoniasis.1
d. Ditemukan clue cells pada pemeriksaan mikroskopis Menemukan clue

cells di dalam sekret vagina merupakan hal yang sangat esensial pada

kriteria Amsel. Clue cells merupakan sel-sel epitel vagina yang dikelilingi

oleh bakteri Gram variabel coccobasilli sehingga yang pada keadaan

normal sel epitel vagina yang ujung-ujungnya tajam, perbatasanya menjadi

tidak jelas atau berbintik. Clue cells dapat ditemukan dengan pengecatan

gram sekret vagina dengan pemeriksaan laboratorium sederhana dibawah

mikroskop cahaya. Jika ditemukan paling sedikit 20% dari lapangan

pandang.19,21
Gambar 2.1 Gambaran clue cellsdengan pengecatan18

2.7.5. GasLiquid Chromatography(GLC)

GLC merupakan salah satu metode diagnosis infeksi BV secara tidak

langsung, yaitu dengan cara mendeteksi adanya hasil metabolisme mikro

organisme sekret vagina. Pada infeksi BV salah satu gejala yang menjadi

karakteristik yang khas yaitu didapatkan bau amis pada sekret vagina. Bau ini

berhubungan dengan adanya hasil matabolisme bakteri yaitu diamin, putresin dan

kadaverin. Pada infeksi BV juga didapatkan tingginya konsentrasi asam suksinat

yang merupakan hasil metabolisme dari bakteri anaerob.22

Laktobasilus juga merupakan flora dominan pada kondisi normal yang

menghasilkan asam laktat. Spiegel, dkk melaporkan bahwa rasio suksinat dan

laktat yang lebih besar dari 0,4 pada analisis GLC cairan vagina mempunyai

korelasi dengan diagnosis klinik vaginosis bakterial. Namun cara diagnosis ini

tidak dikerjakan secara luas pada pusat pelayanan kesehatan di Indonesia.23


2.8. Tatalaksana
2.8.1. Sistemik

Metronidazol merupakan antibiotik yang paling sering digunakan yang

memberikan keberhasilan penyembuhan lebih dari 90%, dengan dosis 2 x 400 mg

atau 500 mg setiap hari selama 7 hari. Jika pengobatan ini gagal, maka diberikan

ampisilin oral (atau amoksisilin) yang merupakan pilihan kedua dari pengobatan

keberhasilan penyembuhan sekitar 66%). Metronidazol dapat menyebabkan mual

dan urin menjadi gelap.21

Klindamisin 300 mg, 2 x sehari selama 7 hari. Sama efektifnya dengan

metronidazol untuk pengobatan bakterial vaginosis dengan angka kesembuhan

94%. Aman diberikan pada wanita hamil. Sejumlah kecil klindamisin dapat

menembus ASI, oleh karena itu sebaiknya menggunakan pengobatan intravagina

untuk perempuan menyusui.20

Amoksilav (500 mg amoksisilin dan 125 mg asam klavulanat) 3 x sehari

selama 7 hari. Cukup efektif untuk wanita hamil dan intoleransi terhadap

metronidazol.21

Tetrasiklin 250 mg, 4 x sehari selama 5 hari atau Doksisiklin 100 mg, 2 x

sehari selama 5 hari juga dapat digunakan dalam tatalaksana sistemik vaginosis

bakterial.21

2.8.2. Terapi Topikal


Metronidazol gel intravagina (0,75%) 5 gram, 1 x sehari selama 5 hari,

Klindamisin krim (2%) 5 gram, 1 x sehari selama 7 hari, Tetrasiklin intravagina

100 mg, 1 x sehari, Triple sulfonamide cream (Sulfactamid 2,86%, Sulfabenzamid

3,7% dan Sulfatiazol 3,42%), 2 x sehari selama 10 hari, merupakan obat-obatan

topikal yang umum digunakan pada bakterial vaginosis.21

Pengobatan bakterial vaginosis pada masa kehamilan. Terapi secara rutin

pada masa kehamilan tidak dianjurkan karena dapat muncul masalah.

Metronidazol tidak digunakan pada trimester pertama kehamilan karena

mempunyai efek samping terhadap fetus. Salah satu efek samping penggunaan

Metronidazole ialah teratogenik pada trimester pertama. Dosis yang lebih rendah

dianjurkan selama kehamilan untuk mengurangi efek samping (Metronidazol 200-

250 mg, 3 x sehari selama 7 hari untuk wanita hamil).21

Penisilin aman digunakan selama kehamilan, tetapi ampisilin dan amoksisilin

jelas tidak sama efektifnya dengan metronidazol pada wanita tidak hamil dimana

kedua antibiotik tersebut memberi angka kesembuhan yang rendah. 21

Metronidazole dapat melewati sawar placenta dan memasuki sirkulasi ketuban

dengan pesat. Studi reproduksi telah dilakukan pada tikus di dosis sampai lima

kali dosis manusia dan dinyatakan tidak ada bukti perburukan kesuburan atau efek

bahaya ke janin karena Metronidazole.21

Tidak ada efek fetotoxicity selama penelitian pemberian Metronidazole secara

oral untuk tikus yang hamil pada 20 mg / kg / hari, dosis manusia (750 mg / hari)

berdasarkan mg / kg berat badan.30 Pada trimester pertama diberikan krim

klindamisin vaginal karena klindamisin tidak mempunyai efek samping terhadap


fetus. Pada trimester II dan III dapat digunakan metronidazol oral walaupun

mungkin lebih disukai gel metronidazol vaginal atau klindamisin krim.21

Untuk keputihan yang ditularkan melalui hubungan seksual. Terapi juga

diberikan kepada pasangan seksual dan dianjurkan tidak berhubungan selama

masih dalam pengobatan.21 Pengobatan secara oral atau lokal dapat digunakan

untuk pengobatan pada wanita hamil dengan gejala VB yang resiko rendah

terhadap komplikasi obstertri. Wanita tanpa gejala dan wanita tanpa faktor resiko

persalinan preterm tidak perlu menjalani skrening rutin untuk pemngobatan

bacterial vaginosis. Wanita dengan resiko tinggi persalinan preterm dapat

mengikuti skrining rutin dan pengobatan bacterial vaginosis. Jika pengobatan

untuk pencegahan terhadap komplikasi kehamilan dijalani, maka diharuskan

menggunakan metronidazole oral 2 kali sehari selama 7 hari. Topical (pada

vagina) tidak direkomendasikan untuk indikasi ini. Test skrining harus diulangi 1

bulan setelah pengobatan untuk memastikan kesembuhan.21

DAFTAR PUSTAKA
1. Umbara PJA. Hubungan antara Derajat Vaginosis Bakterial Sesuai Kriteria

Nugent dengan Partus Prematurus Iminen. Program Pendidikan Dokter

Spesialis I Obstetri dan Ginecologi. Semarang: Universitas Diponegoro,

2009.
2. Pratiwi EN. Prevalensi dan Karakteristik Wanita Hamil Penderita Bacterial

Vaginosis di Poliklinik Obstetri dan Ginekologi RSUD Arifin Achmad

Pekanbaru 2012.
3. Sylvia Y.Muliawan JES. Diagnosis praktis vaginosis bakterial pada

kehamilan. J Kedokteran Trisakti 2001;20(2):74 - 8.


4. Udayalaxmi GB, Subbannayya Kotigadde, Shalini Shenoy. Comparison of the

Methods of Diagnosis of Bacterial Vaginosis. Journal of Clinical and

Diagnostic Research 2011 June;5(3):498-501.


5. Filho DSC. Bacterial vaginosis: clinical, epidemiologic and microbiological

features. HU Revista, Juiz de Fora, 2010;36(3):223-30.


6. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Binarupa Aksara 1994.
7. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, 1st ed. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia 1987; 311-6.


8. Tamonud Modak PA, Charan Agnes, Raja Ray, Sebanti Goswami, Pramit

Ghosh, Nilay Kanti Das. Diagnosis of bacterial vaginosis in cases of

abnormal vaginal discharge: comparison of clinical and microbiological

criteria. J Infect Dev Ctries 2011;5(5):353-60.


9. Bacterial Vaginosis. In: King K. Holmes M, PhD, ed. Sexually Transmited

Diseases, 3rd ed: McGraw-Hill, 1999.


10. Ningrat FS. Uji Sensitivitas dan Spesitifitas Autobio BV Assay dan kriteria

Amsel Dibandingkan dengan Skor Nugent pada Vaginosis Bakterial Bag/SMF

Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Semarang: Universitas Diponegoro, 2011;

v. PPDS1.
11. Sexually Transmited Diseases (STDs): Bacterial Vaginosis (BV) Statistic. In:

Koumans EH SM, Bruce C, McQuillan G, Kendrick J, Sutton M, Markowitz


LE, ed. 1600 Clifton Rd. Atlanta, GA 30333, USA: Centers for Disease Control

and Prevention (CDC), 2004; v. 2014.


12. Anggarawati D. Studi Prevalensi dan Keberhasilan Terapi Vaginosis Bakterialis

pada Ibu Hamil. Obstetri dan Ginekologi. Semarang: Universitas Diponegoro,

2003.
13. Eschenbach DA, Hillier S, Critchlow C, et al. Diagnosis and clinical

manifestations of bacterial vaginosis. Am J Obstet Gynecol 1988;158(4):819

28.
14. Gonzalez-Pedraza Aviles A, Mota Vazquez R, Ortiz Zaragoza C, Ponce Rosas

RE. [Factors of risk of bacterial vaginosis]. Aten Primaria 2004;34(7):360-5.


15. Octaviany D. Risk Factors for Bacterial Vaginosis among Indonesia Women

Med J Indones 2010;19:130-5.


16. Munjoma MW. Simple Method for The Detection of BActerial Vaginosis in

Pregnant Women. Department of General Practice and Community Medicine.

Oslo, Norwegia: University of Oslo, 2004.


17. Goyal R. Diagnosis of Bacterial Vaginosis in Women in Labour. JK Science

2005;7(1):1-4.
18. Hamilton GMC. Obstetri dan ginekologi Panduan praktis: Egc.
19. Bayu IP. Reliabilitas Interna Pemeriksaan Smear Vagina dengan Kriteria

Spiegel dalam Mendiagnosis Bacterial Vaginosis pada Ibu Hamil. Fakultas

Kedokteran. Semarang: Universitas DIponegoro, 2008.


20. Kantida Chaijareenont MD KSM, Dittakarn Boriboonhirunsarn MD M, PhD,

Orawan Kiriwat MD. Accuracy of Nugents Score and Each Amsels Criteria in

the Diagnosis of Bacterial Vaginosis. J Med Assoc Thai 2004;87(11):12704.


21. The McGraw-Hill Companies I. Current Obstetrics & Gynecology Diagnosis &

Treatment, 8 ed: The McGraw-Hill Companies, Inc, 1994.


22. Sastroasmoro I. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis Edisi Kedua ed.

Jakarta: Sagung Seto, 2002.


23. Dahlan MS. Penelitian Diagnostik: Dasar-Dasar Teoretis dan Aplikasi dengan

Program SPSS dan Stata. Jakarta: Salemba Medika, 2009.


HASIL DISKUSI

1. Bakterial vaginosis bukan merupakan infeksi spesifik, namun sering dikaitkan

dengan Gardnerella vaginalis.


2. Obat yang dianjurkan untuk bakterial vaginosis pada wanita hamil adalah

Metronidazol 200-250 mg, 3 x sehari selama 7 hari.


3. Pengobatan bakterial vaginosis harus dilakukan bersama pasangan seksual,

agar tidak terjadi fenomena pingpong.

Anda mungkin juga menyukai