Puji syukur selalu kami curahkan kepada Allah SWT karena atas berkat dan
rahmatnya kami dapat menyelesaikan laporan tutorial yang berjudul “Laporan Tutorial
Skenario D Blok 22 Tahun 2020” sebagai tugas kelompok.
Terima kasih juga kami ucapkan kepada tutor yang telah membimbing kami
selama proses tutorial, semua teman kelompok dan semua pihak yang terkait dalam
penyelaesaian laporan tutorial ini.
Kami menyadari bahwa dalam laporan ini terdapat banyak kekurangan, karena
itu kami mengharapkan agar kedepannya laporan tutorial ini dapat menjadi lebih baik
lagi, baik dari segi sistematika, penulisan, dan lain-lain.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang diberikan
kepada semua orang yang telah mendukung kami dan semoga laporan tutorial ini
bermanfaat bagi kita dan perkembangan ilmu pengetahuan untuk membuka wawasan
yang lebih luas lagi. Semoga kita selalu dalam lindungan Allah SWT. Amin.
Tim Penyusun
1
DAFTAR ISI
Daftar Isi........................................................................................................... 2
I. Klarifikasi Istilah..................................................................................... 4
II. Identifikasi Masalah................................................................................. 5
III. Analisis Masalah ..................................................................................... 6
IV. Learning Issues ...................................................................................... 30
V. Sintesis...... ............................................................................................. 30
5.1 Perdarahan Pasca Salin……………………………………………........... 20
5.2 Episiotomi................................................................................................... 54
VI. Kerangka Konsep........................................................................................ 60
VII. Kesimpulan................................................................................................ 61
2
Skenario D Blok 22 Tahun 2020
Ny. Z, 16 tahun, G1P1A0 dirujuk ke rumah sakit karena perdarahan hebat setelah
melahirkan satu jam yang lalu. Pasien melahirkan spontan bayi laki-laki, 4000 gram, dan
lahir langsung menangis. Plasenta lahir spontan dan lengkap. Bidan mengaku telah
memberikan infus dengan drip oksitosin dan melakukan episiotomi serta menjahitnya tetapi
perdarahan terus berlanjut. Bidan mengaku perdarahan pasien berwarna merah segar dan
sebanyak 3 kali ganti kain basah. Pasien tampak gelisah, pucat, lemah, dan berkeringat
dingin. Kemudian, bidan segera membawa pasien ke rumah sakit. Pasien selama ini
memeriksa kehamilannya di bidan setempat, tidak pernah di-USG, dan tidak memiliki
riwayat penyakit tertentu.
Status Generalis:
Tinggi badan = 158 cm, Berat badan = 55 kg
Sensorium = E3M5E3 (Somnolen)
Tekanan darah = 80/50 mmHg
Nadi = 132x/menit, piliformis
Pernafasan = 24x/menit
Suhu = 36oC
Status Obstetri:
Pemeriksaan Luar: Abdomen cembung, lemas, simetri, tinggi fundus uteri dua jari di atas
umbilicus, kontraksi kurang, perdarahan aktif ada.
Inspekulo: Porsio livide, orifisium uteri eksternum terbuka, fluor tidak ada, fluksus ada darah
aktif, erosi ada, laserasi ada, polip tidak ada.
Pemeriksaan Laboratorium:
3
I. Klarifikasi Istilah
4
17. D-dimer Suatu fragmen protein kecil yang ada di dalam darah
setelah gumpalan darah terdegradasi oleh fibrinolisis.
Konsentrasi D-dimer dapat ditentukan dengan tes darah
untuk membantu diagnosis trombosis.
5
polip tidak ada.
4. Pemeriksaan Laboratorium: 2
Hb: 5,5 g/dL; PLT: 118.888/mm3; WBC: 25.100/mm3
Ureum: 38,0 mg/dL; Kreatinin: 0,90 mg/dL
HbsAg: non reaktif; anti HIV: non reaktif; VDRL: non reaktif
PT + INR 14,8 detik; INR 1,11; APTT 28,6 detik; Fibrinogen
393,0 mg/dL; D-dimer 0,40 mcg/mL.
c. Bagaimana hubungan berat badan lahir bayi dengan kejadian perdarahan pasca
salin (PPS)?
Bayi yang memiliki berat lebih dari 4.000 gram dapat meningkatkan resiko
terjadinya robekan jalan lahir. Ditambah, pada kasus ini, merupakan primigravida,
sehingga perineum Ibu kurang lentur untuk mengalami pelebaran.
d. Apa makna dari pasien tampak gelisah, pucat, lemah, dan berkeringat dingin?
6
Indikasi syok hipovolemik derajat sedang.
7
2. Pasien selama ini memeriksa kehamilannya di bidan setempat, tidak pernah di-USG,
dan tidak memiliki riwayat penyakit tertentu.
a. Apa dampak tidak dilakukannya USG pada saat kehamilan?
Pemeriksaan USG dapat membantu untuk melihat adanya gumpalan darah
dan retensi sisa plasenta. USG pada periode antenatal dapat dilakukan untuk
mendeteksi pasien dengan risiko tinggi yang memiliki faktor predisposisi
terjadinya perdarahan postpartum, seperti plasenta previa. Pemeriksaan USG
dapat pula meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas dalam diagnosis plasenta
akreta dan variannya. Jika tidak likakukan skiring USG maka masalah tersebut
tidak dapat terdeteksi dan berisiko pada kondisi ibu pun janin.
b. Apa skrining penyakit yang diperlukan pada saat sebelum dan saat hamil?
1) Tes skrining saat hamil trimester 1
Tes skrining trimester pertama bisa dimulai sejak kehamilan 10
minggu, yang merupakan kombinasi antara ultrasonografi (USG) janin dan tes
darah ibu.
a) USG
Tes ini dilakukan untuk menentukan ukuran dan posisi bayi. Selain
itu juga membantu menentukan adanya risiko janin mengalami cacat lahir,
dengan mengamati struktur tulang dan organ bayi.
USG nuchal translucency (NT) adalah pengukuran peningkatan
atau ketebalan cairan di bagian belakang leher janin pada usia kehamilan
11-14 minggu dengan USG. Bila ada cairan lebih banyak dari biasanya,
berarti ada risiko Down syndrome pada bayi yang lebih tinggi.
b) Tes darah
Selama trimester pertama, dilakukan dua jenis tes serum darah ibu,
yaitu Pregnancy-associated plasma protein (PAPP-A) dan hormon hCG
(Human chorionic gonadotropin). Ini merupakan protein dan hormon yang
diproduksi oleh plasenta pada awal kehamilan. Jika hasilnya tidak normal,
berarti ada peningkatan risiko kelainan kromosom.
Tes darah juga dilakukan untuk mengetahui adanya penyakit
menular pada bayi, atau disebut dengan tes TORCH. Tes ini merupakan
akronim dari lima jenis infeksi menular yaitu toksoplasmosis, penyakit
8
lain (termasuk HIV, sifilis, dan campak), rubella (campak
Jerman), sitomegalovirus, dan herpes simplex.
Selain itu, tes darah juga akan digunakan untuk menentukan
golongan darah dan Rh (rhesus) Anda, yang menentukan hubungan Rh
Anda dengan janin yang sedang tumbuh.
c) Chorionic villus sampling
Chorionic villus sampling adalah tes skrining invasif yang
dilakukan dengan mengambil potongan kecil dari plasenta. Tes ini
biasanya dilakukan antara minggu ke 10 dan 12 kehamilan.
Tes ini biasanya merupakan tes lanjutan dari USG NT dan tes
darah yang tidak normal. Tes ini dilakukan untuk lebih memastikan
adanya kelainan genetik pada janin seperti Down syndrome.
2) Tes skrining saat hamil trimester 2
a) Tes darah
Tes darah saat hamil trimester kedua mencakup beberapa tes darah
yang disebut multiple markers. Tes ini dilakukan untuk mengetahui
adanya risiko cacat lahir atau kelainan genetik pada bayi. Tes ini
sebaiknya dilakukan pada minggu ke 16 sampai 18 kehamilan.
b) Amniocentesis
Selama amniosentesis, cairan ketuban dikeluarkan dari rahim
untuk diuji. Ini berisi sel janin dengan susunan genetik yang sama seperti
bayi, serta berbagai bahan kimia yang diproduksi oleh tubuh bayi. Ada
beberapa jenis amniosentesis.
9
Tes amniosentesis genetik untuk kelainan genetik, misalnya spina
bifida. Tes ini biasanya dilakukan setelah minggu ke 15 kehamilan. Tes
ini dianjurkan jika:
- Skrining tes saat hamil menunjukkan hasil yang tidak normal.
- Memiliki kelainan kromosom selama kehamilan sebelumnya.
- Ibu hamil berusia 35 tahun atau lebih.
- Memiliki riwayat jeluarga dengan kelainan genetik tertentu.
3) Tes skrining saat hamil trimester 3
Skrining Strepococcus Group B
Strepococcus Group B (GBS) adalah kelompok bakteri yang dapat
menyebabkan infeksi serius pada ibu hamil dan bayi yang baru lahir. GBS
pada wanita sehat sering ditemukan di daerah mulut, tenggorokan, saluran
pencernaan, dan vagina.
GBS di vagina umumnya tidak berbahaya bagi wanita terlepas dari
sedang hamil atau tidaknya. Namun, bisa sangat berbahaya bagi bayi yang
baru lahir yang belum memiliki sistem kekebalan tubuh yang kuat. GBS dapat
menyebabkan infeksi serius pada bayi yang terinfeksi saat lahir. Tes ini
dilakukan dengan mengusap vagina dan rektum ibu hamil pada usia kehamilan
ke 35 sampai 37 minggu.
Status Generalis:
Tinggi badan = 158 cm, Berat badan = 55 kg
Sensorium = E3M5E3 (Somnolen)
Tekanan darah = 80/50 mmHg
Nadi = 132x/menit, piliformis
Pernafasan = 24x/menit
Suhu = 36oC
Status Obstetri:
Pemeriksaan Luar: Abdomen cembung, lemas, simetri, tinggi fundus uteri dua jari di
atas umbilicus, kontraksi kurang, perdarahan aktif ada.
Inspekulo: Porsio livide, orifisium uteri eksternum terbuka, fluor tidak ada, fluksus
ada darah aktif, erosi ada, laserasi ada, polip tidak ada.
10
a. Apa interpretasi dari pemeriksaan fisik generalis dan obstetri pada kasus?
11
implantasi plasenta.
4. Pemeriksaan Laboratorium:
Hb: 5,5 g/dL; PLT: 118.888/mm3; WBC: 25.100/mm3
Ureum: 38,0 mg/dL; Kreatinin: 0,90 mg/dL
HbsAg: non reaktif; anti HIV: non reaktif; VDRL: non reaktif
PT + INR 14,8 detik; INR 1,11; APTT 28,6 detik; Fibrinogen 393,0 mg/dL; D-dimer
0,40 mcg/mL.
12
a. Apa interpretasi dari pemeriksaan laboratorium pada kasus?
13
Jumlah sel darah putih yang lebih dari 15.000/mm3 merupakan indikasi
adanya infeksi pada wanita hamil. Peningkatan kadar leukosit pada wanita
hamil sering terjadi karena adanya infeksi selama kehamilan sebagai respon
terhadap agen infeksius. Selain karena infeksi, secara fisologis wanita hamil
mengalami peningkatan leukosit akibat toleransi ibu terhadap antigen jaringan
asing dari janin yang bersifat semialogenik.
Peningkatan leukosit dapat terjadi kerana beberapa hal, diantaranya
kehamilan, infeksi, stress, nekrosis jaringan, aktifitas berat, dan ganggua
sistem hematologi. Peningkatan Leukosit merupakan merupakan hal yang
terjadi secara fisiologis dalam proses kehamilan dan persalinan. Peningkatan
leukosit mengakibatkan proses inflamasi atau peningkatan suhu tubuh oleh
pusat termoregulasi dalam hipotalamus. Masa akhir kehamilan merupakan fase
proinflamsi akibat proses biokimia berbagai hormon dan aktivitas rahim yang
mengakibatkan meningkatkan produksi sitokin yang merupakan merupakan
salah satu mediator inflamasi.
4) Prothrombin Time
Penilaian prothrombin time untuk melihat apakah terdapat gangguan
pada faktor pembekuan darah. Umumnya memanjang pada defisiensi faktor V,
VII, X, II, dan I; pada terapi heparin atau anti koagulasi; pada defisiensi
vitamin K.
5) International Normalized Ratio
INR merupakan salah satu cara memantau efek antikoagulan oral
14
5. Ny. Z, 16 tahun, P1A0, post partum spontan dengan perdarahan pasca salin
(PPS) primer dengan syok hipovolemik derajat sedang dan anemia berat et
causa atonia uteri.
a. Apa diagnosis banding pada kasus ini?
15
Solusio plasenta
2. Eklampsia
16
nafasnya menjadi sesak terengah-engah, berkeringat. Situasi berbahaya adalah
jika denyut nadi dan tekanan darah hanya memperlihatkan sedikit perubahan
untuk beberapa saat karena adanya mekanisme kompensasional vaskuler.
Kemudian fungsi kompensasi ini tidak bisa dipertahankan lagi, denyut nadi
meningkat dengan cepat, tekanan darah tiba-tiba turun dan pasien dalam
keadaan syok.
17
c. Apa diagnosis kerja kasus ini?
Post partum spontan dengan perdarahan pasca salin (PPS) primer dengan
syok hipovolemik derajat sedang dan anemia berat et causa atonia uteri.
18
terlalu cepat, persalinan karena induksi oksitosin, multiparitas,
korioamnionitis, pernah atonia sebelumnya.
- Sisa plasenta : kotiledon atau selaput ketuban tersisa, plasenta susenturia,
plasenta akreta, inkreta, perkreta.
2. Perdarahan karena robekan : episiotomi yang melebar, robekan pasa perineum,
vagina, dan serviks, ruptur uteri.
3. Gangguan koagulasi : jarang terjadi tetapi bisa memperburuk keadaan di atas,
misalnya pada kasus trombofilia, sindrom HELLP, preeklampsia, solusio
plasenta, kematian janin dalam kandungan, dan emboli air ketuban.
4T
19
tahun 2000 hingga 2009 kasus pendarahan post-partum meningkat 27% dan atonia
uteri meningkat 33%.
Berdasarkan data WHO tahun 2012, Perdarahan pasca persalinan
menyebabkan kematian maternal 6% dari seluruh kematian maternal diseluruh
dunia. Di afrika dan asia, angka kematian maternal akibat perdarahan pasca
persalinan menyentuh angka 30% dari kematian maternal yang terjadi. Di
Indonesia, angka kematian ibu akibat perdarahan pasca persalinan menyentuh
angka hingga 45%. Angka ini lebih tinggi dibandingkan angka kematian
perdarahan pasca persalinan yang ada di afrika.
20
i. Apa saja klasifikasi penyakit pada kasus ini?
Perdarahan pasca-salin diklasifikan menjadi:
1. Berdasarkan waktu perdarahan
PPS primer {primary post partum haemorrhage) dan PPS sekunder
(secondary post partum haemorrhage). Perdarahan pasca-salin primer adalah
perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama pasca-salin, sedangkan PPS
sekunder merupakan perdarahan yang terjadi setelah periode 24 jam tersebut.
Pada umumnya, PPS primer/dini lebih berat dan lebih tinggi tingkat morbiditas
dan mortalitasnya dibandingkan PPS sekunder/lanjut [ CITATION Per161 \l 1057 ]
2. Berdasarkan jumlah perdarahan
21
Perdarahan pasca salin minor adalah kehilangan darah sekitar 500-1000
ml dan tanpa adanya tanda klinis syok, sedangkan perdarahan pasca salin
mayor adalah kehilangan darah sekitar >1000 ml yang perdarahannya terus
berlanjut atau terdapat tanda-tanda klinis syok. Perdarahan mayor dapat dibagi
menjadi sedang (1000-2000 ml) atau berat (>2000 ml) [ CITATION Roy16 \l
1057 ] dan [ CITATION Per161 \l 1057 ].
22
Sumber: Tohamy Said, S. A. “Major Obstetric Hemorrhage and Disseminated
Intravascular Coagulation (Content last reviewed: 15th December 2018),” in James,
D., Steer, P., Weiner, C., Gonik, B., and Robson, S. (eds) High-Risk Pregnancy:
Management Options. Cambridge: Cambridge University Press, pp. 1985–2013.
23
pula meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas dalam diagnosis plasenta
akreta dan variannya
c. Angiografi dapat digunakan pada kemungkinan embolisasi dari pembuluh
darah
24
Sumber: (Kemenkes, 2013)
25
• 1 unit whole blood (WB) atau packed red cells (PRC) dapat menaikkan
hemoglobin 1 g/dl atau hematokrit sebesar 3% pada dewasa normal.
• Mulai lakukan transfusi darah, setelah informed consent ditandatangani
untuk persetujuan transfusi
- Tentukan penyebab dari perdarahannya dan lakukan tatalaksana spesifik
sesuai penyebab (Atonia Uteri)
ATONIA UTERI
- Melakukan masase uterus.
- Pastikan plasenta lahir lengkap. ◦
- Berikan 20-40 unitoksitosin dalam 1000 ml larutan NaCl 0,9%/Ringer
Laktat dengan kecepatan 60 tetes/menit dan 10 unit IM. Lanjutkan infus
oksitosin 20 unitdalam 1000 ml larutan NaCl 0,9%/Ringer Laktat dengan
kecepatan 40 tetes/menit hingga perdarahan berhenti.
- Bila tidak tersedia oksitosin atau bila perdarahan tidak berhenti, berikan
ergometrin 0,2 mg IM atau IV (lambat), dapat diikuti pemberian 0,2 mg
IM setelah 15 menit, dan pemberian 0,2 mg IM/IV (lambat) setiap 4 jam
bila diperlukan. JANGAN BERIKAN LEBIH DARI 5 DOSIS (1 mg)
- Siapkan tindakan operatif atau rujuk ke fasilitas yang lebih memadai
sebagai antisipasi bila perdarahan tidak berhenti.
- Lakukan pasang kondom kateter atau kompresi bimanual selagi proses
pemindahan ke fasilitas yang memadai
- DI tempat rujukan, lakukan tindakan operatif bila kontraksi uterus tidak
membaik, dimulai dari yang konservatif.
- Pilihan-pilihan tindakan operatif yang dapat dilakukan antara lain
prosedur jahitan B-lynch, embolisasi arteri uterina, ligasi arteri uterina dan
arteri ovarika atau prosedur histerektomi subtotal.
26
m. Bagaimana edukasi dan pencegahan penyakit pada kasus ini?
1. Saat dirawat
a. Tirah baring
b. Mobilisasi dini boleh dilakukan apabila setelah 6 jam (pervaginam atau
setelah 8 jam (SC).
c. Edukasi laktasi
d. Edukasi perawatan luka (bila ada)
2. Kehamilan selanjutnya
a. Rentang usia kehamilan: 20 – 35 tahun
b. Jarak kehamilan tidak dekat <2 tahun
c. Persiapan fisik:
1) Memperbaiki keadaan umum dan mengatasi setiap penyakit kronis
dan lain-lain sehingga pada saat hamil dan persalinan pasien tersebut
ada dalam keadaan optimal
2) Mengenal faktor predisposisi PPH seperti multiparitas, anak besar,
hamil kembar, hidramnion, bekas seksio, ada riwayat PPH
sebelumnya dan kehamilan risiko tinggi lainnya yang risikonya akan
muncul saat persalinan
27
3) Atur diet. Makan yang cukup dan bergizi, dianjurkan 4 sehat 5
sempurna guna memenuhi kebutuhan angka kecukupan zat gizi untuk
ibu hamil. Konsumsi zat besi yang cukup untuk mecegah anemia
selama gestasi dan saat persalinan serta konsumsi tinggi folat sebelum
kehamilan guna mencegah neural tube deffect.
d. Dukungan/support mental dari keluarga
e. Antenatal care yang baik.
3. Saat Persalinan Selanjutnya
a. Manajemen aktif kala III
b. Persalinan harus selesai dalam waktu 24 jam dan pencegahan partus lama.
c. Kehamilan dengan risiko tinggi sebaiknya persalinan di fasilitas rumah
sakit rujukan.
d. Kehamilan risiko rendah agar melahirkan di tenaga kesehatan terlatih dan
menghindari persalinan dukun.
e. Tenaga medis menguasai langkah-langkah pertolongan pertama
menghadapi PPH dan mengadakan rujukan sebagaimana mestinya.
4. Kontrasepsi
Untuk menjaga jarak kehamilan agar menghindari risiko terjadinya
komplikasi saat persalinan
28
Prognosis tergantung pada penyebab PPH, durasinya, jumlah kehilangan
darah, kondisi komorbiditas, dan bagaimana manajemen tatalaksana yang
dilakukan oleh dokter yang menangani (benar, cepat, dan tepat). Diagnosis dan
pengobatan yang cepat sangat penting untuk mencapai hasil terbaik untuk setiap
pasien.
Mortalitas/Kematian
29
Tingkat Kemampuan 3: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan awal,
dan merujuk
3B. Gawat Darurat
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi
pendahuluan pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau
mencegah keparahan dan/atau kecacatan pada pasien. Lulusan dokter mampu
menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya.
Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
V. Sintesis
V.1. Perdarahan Pasca Salin
A. Definisi
Perdarahan pasca-salin (PPS) secara umum didefinisikan sebagai
kehilangan darah dari saluran genitalia >500 ml setelah melahirkan pervaginam
atau >1000 ml setelah melahirkan secara seksio sesarea. Perdarahan pasca-salin
dapat bersifat minor (500-1000 ml) atau pun mayor (>1000 ml). Perdarahan
mayor dapat dibagi menjadi sedang (1000-2000 ml) atau berat (>2000 ml)
(POGI, 2016).
Postpartum Haemorrhage (PPH) umumnya didefinisikan sebagai
kehilangan darah 500 ml atau lebih dalam 24 jam setelah kelahiran, sementara
PPH parah didefinisikan sebagai kehilangan darah 1000 ml atau lebih dalam
jangka waktu yang sama (WHO,2012).
B. Etiologi
4. Perdarahan dari tempat implantasi plasenta :
- Hipotoni sampai atonia uteri : akibat anestesi, distensi berlebihan
(gemeli, anak besar, hidramnion), partus lama, partus kasep, partus
30
presipitus/ terlalu cepat, persalinan karena induksi oksitosin,
multiparitas, korioamnionitis, pernah atonia sebelumnya.
- Sisa plasenta : kotiledon atau selaput ketuban tersisa, plasenta
susenturia, plasenta akreta, inkreta, perkreta.
5. Perdarahan karena robekan : episiotomi yang melebar, robekan pasa
perineum, vagina, dan serviks, ruptur uteri.
6. Gangguan koagulasi : jarang terjadi tetapi bisa memperburuk keadaan di
atas, misalnya pada kasus trombofilia, sindrom HELLP, preeklampsia,
solusio plasenta, kematian janin dalam kandungan, dan emboli air ketuban.
4T
1. Atonia uterus
Atonia uterus adalah penyebab paling umum dari perdarahan
postpartum. Aliran darah yang cepat setelah melahirkan placenta yang tidak
responsif terhadap pijatan transabdominal harus segera dilakukan tindakan
termasuk kompresi bimanual uterus dan penggunaan obat uterotonik. Pijat
dilakukan dengan menempatkan satu tangan di dalam vagina dan
mendorong badan uterus sementara tangan lainnya menekan fundus dari
atas melalui dinding perut. Oksitosin adalah pengobatan yang paling efektif
untuk perdarahan postpartum, bahkan jika sudah digunakan untuk induksi
persalinan atau augmentasi atau sebagai bagian dari AMTSL.
31
Gambar : Bimanual uterus
Perdarahan oleh karena atonia uteri dapat dicegah dengan :
- Melakukan secara rutin manajemen aktif kala III pada semua wanita
yang bersalin karena hal ini dapat menurunkan insidens perdarahan
pascapersalinan akibat atonia uteri.
- Pemberian misoprostol peroral 2-3 tablet (400-600 pg) segera setelah
bayi lahir.
Faktor predisposisinya adalah sebagai berikut.
a. Regangan rahim berlebihan karena kehamilan gemeli, polihidramnion,
atau anak terlalu besar.
b. Kelelahan karena persalinan lama atau persalinan kasep.
c. Kehamilan grande-multipara.
d. Ibu dengan keadaan umum yang jelek, anemis, atau menderita penyakit
menahun.
e. Mioma uteri yang mengganggu kontraksi rahim.
f. Infeksi intrauterin (korioamnionitis).
g. Ada riwayat pernah atonia uteri sebelumnya.
Diagnosis ditegakkan bila setelah bayi dan plasenta lahir ternyata
perdarahan masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan
fundus uteri masih setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang lembek.
Perlu diperhatikan bahwa pada saat atonia uteri didiagnosis, maka pada saat
itu juga masih ada darah sebanyak 500-1.000cc yang sudah keluar dari
32
pembuluh darah, tetapi masih terperangkap dalam uterus dan harus
diperhitungkan dalam kalkulasi pemberian darah pengganti.
2. Trauma
Laserasi dan hematoma akibat trauma kelahiran dapat menyebabkan
kehilangan darah yang signifikan yang dapat dikurangi dengan hemostasis
dan perbaikan tepat waktu. Episiotomi meningkatkan risiko kehilangan
darah dan robekan sfingter anal.
Episiotomi adalah sayatan bedah yang dilakukan untuk
memperbesar jalan lahir dan memfasilitasi persalinan. Indikasi episiotomi :
a. Mengurangi kemungkinan trauma kepala janin.
b. Mempermudah perbaikan luka robek dan mempercepat penyembuhan
luka.
c. Menjaga otot dan fasia penyokong dasar panggul.
d. Mencegah laserasi sfingter.
e. Mencegah distosia bahu.
33
3. Tissue
Jaringan yang tertahan (mis., plasenta, fragmen plasenta, atau
gumpalan darah) mencegah rahim berkontraksi cukup untuk mencapai
tonus optimal. Tanda-tanda klasik dari pemisahan plasenta termasuk
semburan kecil darah, pemanjangan tali pusat, dan sedikit peningkatan
rahim. Waktu rata-rata dari persalinan ke pelepasan plasenta adalah delapan
hingga sembilan menit. Interval yang lebih lama dikaitkan dengan
peningkatan risiko perdarahan postpartum, dengan tingkat dua kali lipat
setelah 10 menit. Plasenta yang tertahan (yaitu, kegagalan plasenta untuk
melahirkan dalam waktu 30 menit) terjadi pada kurang dari 3% dari
persalinan pervaginam. Plasenta invasif (plasenta akreta, increta, atau
percreta) dapat menyebabkan perdarahan pascapersalinan yang mengancam
jiwa. Insiden meningkat dengan waktu, mencerminkan peningkatan
kelahiran sesar. Selain persalinan sesar sebelumnya, faktor risiko lain untuk
34
plasenta invasif termasuk plasenta previa, usia ibu lanjut, paritas tinggi, dan
plasenta invasif sebelumnya.
4. Trombin
Defek koagulasi dapat menyebabkan perdarahan atau menjadi salah
satu penyebabnya. Defek ini harus dicurigai pada pasien yang belum
menanggapi tindakan biasa untuk mengobati perdarahan postpartum. Defek
koagulasi mungkin bawaan atau didapat. Evaluasi harus mencakup jumlah
trombosit dan pengukuran waktu protrombin, waktu tromboplastin parsial,
tingkat fibrinogen, produk pemecahan fibrin, dan uji kuantitatif d-dimer.
C. Epidemiologi
Menurut penelitian tahun 2008, dikatakan setiap wanita meninggal tiap
menitnya saat melahirkan, dimana 24% disebabkan karena pendarahan berat.
Sekitar 529.000 wanita meninggal saat hamil setiap tahunnya dan hampir
semuanya (99%) terjadi pada negara berkembang. Empat puluh persen kematian
karena pendarahan post-partum terjadi pada 24 jam pertama dan 66% terjadi
saat minggu pertama. Dari data Nationwide Inpatient Sample (NIS) Amerika
serikat pada tahun 2004, didapatkan 25.654 kasus pendarahan post-partum dari
876.641 kehamilan. Tujuh puluh sembilan persen disebabkan karena atonia
uteri. Dari 1995 hingga 2004 terjadi peningkatan kasus pendarahan post-partum
sebanyak 27,5% yang umumnya terjadi karena peningkatan atonia uteri. Di
Kanada, pada tahun 2000 hingga 2009 kasus pendarahan post-partum meningkat
27% dan atonia uteri meningkat 33%.
Berdasarkan data WHO tahun 2012, Perdarahan pasca persalinan
menyebabkan kematian maternal 6% dari seluruh kematian maternal diseluruh
dunia. Di afrika dan asia, angka kematian maternal akibat perdarahan pasca
persalinan menyentuh angka 30% dari kematian maternal yang terjadi. Di
Indonesia, angka kematian ibu akibat perdarahan pasca persalinan menyentuh
angka hingga 45%. Angka ini lebih tinggi dibandingkan angka kematian
perdarahan pasca persalinan yang ada di afrika.
D. Faktor Risiko
35
E. Patofiologi
Selama kehamilan, volume darah maternal meningkat hingga kurang
lebih 50% (dari 4L hingga 6L). Volume plasma meningkat sedemikian lebih
tinggi dari total volume RBC, menyebabkan penurunan konsentrasi hemoglobin
dan hematokrit. Peningkatan dari volume darah bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan perfusi dari unit uretroplasental yang memiliki resistensi rendah dan
menyediakan cadangan untuk kehilangan darah yang terjadi pada saat
persalinan.
Pada aterm, perkiraan aliran darah menuju uterus adalah 500-800
mL/menit, dimana mencakup 10-15% dari cardiac output. Banyak dari aliran
melewati dasar plasenta yang memiliki resistensi rendah. Pembuluh darah uterus
yang menyuplai plasenta melewati untaian serat myometrial. Ketika serat
tersebut berkontraksi saat persalinan, retraksi myometrial terjadi. Retraksi
adalah karakteristik unik dari otot uterus untuk mempertahankan ukuran pendek
pada akhir tiap kontraksi. Pembuluh darah mengalami kompresi dan
dibengkokkan melalui kisi crisscross dan normalnya aliran darah akan cepat
berhenti. Susunan dari bundelan otot sering disebut sebagai “living ligature”
atau “physiologic suture” daripada uterus.
Atoni uterin adalah kegagalan serat myometrial uterin untuk
berkontraksi dan retraksi. Ini merupakan penyebab paling penting dari PPH dan
36
umumnya terjadi langsung setelah persalinan dari bayi, hingga 4 jam setelah
persalinan. Trauma pada traktus genitalia (seperti uterus, serviks, vagina, labia,
klitoris) pada kehamilan dapat menyebabkan perdarahan yang lebih banyak
daripada keadaan tidak hamil karena peningkatan suplai darah pada jaringan-
jaringan tersebut. Trauma yang secara spesifik berkaitan dengan persalinan bayi,
baik pervaginam secara spontan atau dibantu atau caesarean, dapat juga menjadi
substansial dan dapat menyebabkan disrupsi signifikan dari jaringan lunak dan
robeknya pembuluh darah.
F. Diagnosis Banding
37
Atonia Uteri Perdarahan segera setelah anak lahir
Solusio plasenta
5. Eklampsia
38
G. Algoritma Penegakan Diagnosis
Perdarahan paska persalinan > 500 ml setelah bayi lahir atau yang
berpotensi mempengaruhi hemodinamik ibu.
5. Anamnesis
Selain menanyakan hal umum mengenai periode perinatal, tanyakan
tentang episode perdarahan pasca persalinan sebelumnya, riwayat bekas
seksio sesarea, paritas, riwayat fetus ganda dan polihidramnion. Tentukan
jika pasien atau keluarganya memiliki riwayat gangguan koagulasi atau
perdarahan massif dengan prosedur operasi atau menstruasi. Dapatkan
informasi mengenai pengobatan, dengan pengobatan hipertensi (CCB) atau
penyakit jantung (missal digoxin atau warfarin). Informasi ini penting jika
koagulopati dan pasien memerlukan tranfusi. Tentukan jika plasenta sudah
dilahirkan.
6. Pemeriksaan fisik:
Pucat, dapat disertai tanda-tanda syok, tekanan darah rendah, denyut
nadi cepat, kecil, ekstremitas dingin serta tampak darah keluar melalui
vagina terus menerus
7. Pemeriksaan obstetric
Uterus membesar bila ada atonia uteri. Bila kontraksi uterus baik,
perdarahan mungkin karena luka jalan lahir
8. Pemeriksaan ginekologi:
Pemeriksaan ini dilakukan dalam keadaan baik atau telah diperbaiki,
pada pemeriksaan dapat diketahui kontraksi uterus, adanya luka jalan lahir
dan retensi sisa plasenta.
Gambaran klinisnya berupa perdarahan terus menerus dan keadaan
pasien secara berangsur-angsur menjadi buruk. Denyut nadi menjadi cepat
dan lemah, tekanan darah menurun, pasien berubah menjadi pucat dan
dingin, nafasnya menjadi sesak terengah-engah, berkeringat. Situasi
berbahaya adalah jika denyut nadi dan tekanan darah hanya
memperlihatkan sedikit perubahan untuk beberapa saat karena adanya
mekanisme kompensasional vaskuler. Kemudian fungsi kompensasi ini
39
tidak bisa dipertahankan lagi, denyut nadi meningkat dengan cepat, tekanan
darah tiba-tiba turun dan pasien dalam keadaan syok.
H. Klasifikasi
40
periode 24 jam tersebut. Pada umumnya, PPS primer/dini lebih berat dan
lebih tinggi tingkat morbiditas dan mortalitasnya dibandingkan PPS
sekunder/lanjut [ CITATION Per161 \l 1057 ]
4. Berdasarkan jumlah perdarahan
Perdarahan pasca salin minor adalah kehilangan darah sekitar 500-
1000 ml dan tanpa adanya tanda klinis syok, sedangkan perdarahan pasca
salin mayor adalah kehilangan darah sekitar >1000 ml yang perdarahannya
terus berlanjut atau terdapat tanda-tanda klinis syok. Perdarahan mayor
dapat dibagi menjadi sedang (1000-2000 ml) atau berat (>2000 ml)
[ CITATION Roy16 \l 1057 ] dan [ CITATION Per161 \l 1057 ].
I. Manifestasi Klinis
41
Sumber: Tohamy Said, S. A. “Major Obstetric Hemorrhage and Disseminated
Intravascular Coagulation (Content last reviewed: 15th December 2018),” in James,
D., Steer, P., Weiner, C., Gonik, B., and Robson, S. (eds) High-Risk Pregnancy:
Management Options. Cambridge: Cambridge University Press, pp. 1985–2013.
J. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
e. Pemeriksaan darah lengkap: Untuk memeriksa kadar Hb dan
hematokrit dan perhatikan adanya trombositopenia. Harus dilakukan
sejak periode antenatal. Kadar hemoglobin di bawah 10 g/dL
berhubungan dengan hasil kehamilan yang buruk
f. Pemeriksaan golongan darah, crossmacth¸ dan tes antibodi harus
dilakukan sejak periode antenatal guna apabila sewaktu terjadi
perdarahan masif dan memerlukan transfusi darah.
g. Pemeriksaan PT dan aPTT untuk melihat adakah gangguan faktor
koagulasi seperti waktu perdarahan dan waktu pembekuan
h. Kadar fibrinogen diperiksa untuk menilai adanya konsumptif
koagulopati
2. Pemeriksaan radiologi
d. Pemeriksaan USG dapat membantu untuk melihat adanya gumpalan
darah dan retensi sisa plasenta.
e. USG pada periode antenatal dapat dilakukan untuk mendeteksi pasien
dengan resiko tinggi yang memiliki faktor predisposisi terjadinya
42
perdarahan post partum seperti plasenta previa. Pemeriksaan USG
dapat pula meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas dalam diagnosis
plasenta akreta dan variannya
f. Angiografi dapat digunakan pada kemungkinan embolisasi dari
pembuluh darah
K. Tata Laksana
Tabel Prinsip Penatalaksanaan PPH[ CITATION Edw17 \l 1057 ]
43
Penting sekali segera menilai jumlah darah yang keluar seakurat
mungkin dan menentukan derajat perubahan hemodinamik. Lebih baik
overestimate jumlah darah yang hilang dan bersikap proaktif daripada
underestimate dan bersikap menunggu/pasif. Nilai tingkat kesadaran, nadi,
tekanan darah, dan bila fasilitas memungkinkan saturasi oksigen harus
dimonitor.
44
Perdarahan banyak yang terjadi setelah plasenta lahir harus segera
ditangani dengan masase uterus dan pemberian obat-obatan uterotonika.
Bila uterus tetap lembek harus dilakukan kompresi bimanual interna dengan
menggunakan kepalan tangan di dalam untuk menekan forniks anterior
sehingga terdorong ke atas dan telapak tangan di luar melakukan penekanan
pada fundus belakang sehingga uterus terkompresi.
45
Bila perdarahan masif masih tetap terjadi, segera evakuasi pasien ke
ruang operasi. Pastikan pemeriksaan untuk menyingkirkan adanya sisa
plasenta atau selaput ketuban. Bila diduga ada sisa jaringan, segera lakukan
tindakan kuretase. Kompresi bimanual dapat dilakukan selama ibu dibawa
ke ruang operasi.
46
mencoba setiap prosedur bedah konservatif, harus dinilai ulang keadaan
pasien berdasarkan perkiraan jumlah darah yang keluar, perdarahan yang
masih berlangsung, keadaan hemodinamik, dan paritasnya.
47
Algoritma Tatalaksana PPH (American College of Obstetricians and Gynecologists,
2016)
48
Algoritma Tatalaksana PPH [ CITATION Per161 \l 1057 ]
6. Kehamilan selanjutnya
f. Rentang usia kehamilan: 20 – 35 tahun
g. Jarak kehamilan tidak dekat <2 tahun
49
h. Persiapan fisik:
1) Memperbaiki keadaan umum dan mengatasi setiap penyakit kronis
dan lain-lain sehingga pada saat hamil dan persalinan pasien
tersebut ada dalam keadaan optimal
2) Mengenal faktor predisposisi PPH seperti multiparitas, anak besar,
hamil kembar, hidramnion, bekas seksio, ada riwayat PPH
sebelumnya dan kehamilan risiko tinggi lainnya yang risikonya
akan muncul saat persalinan
3) Atur diet. Makan yang cukup dan bergizi, dianjurkan 4 sehat 5
sempurna guna memenuhi kebutuhan angka kecukupan zat gizi
untuk ibu hamil. Konsumsi zat besi yang cukup untuk mecegah
anemia selama gestasi dan saat persalinan serta konsumsi tinggi
folat sebelum kehamilan guna mencegah neural tube deffect.
i. Dukungan/support mental dari keluarga
j. Antenatal care yang baik.
8. Kontrasepsi
M. Komplikasi
50
Sebagian besar pasien dengan PPH dengan cepat diidentifikasi dan
berhasil diobati sebelum komplikasi utama berkembang. Masalah yang paling
umum adalah anemia dan hilangnya cadangan zat besi, yang menyebabkan
kelelahan pada periode postpartum. Dokter dan pasien lebih toleran terhadap
kadar hemoglobin yang rendah, sakit kepala ringan postural, dan kelelahan
karena kekhawatiran saat ini mengenai transfusi darah. Risiko transfusi
dengan produk darah sudah diketahui dan telah dijelaskan sebelumnya.
Tidak mengherankan, banyak komplikasi PPH parah terkait dengan
kehilangan darah masif dan syok hipovolemik. Kerusakan organ multipel
dapat saja terjadi; kerusakan respiratori (adult respiratory distress syndrome)
dan ginjal (nekrosis tubular akut) adalah yang paling umum tetapi jarang terjadi.
Kondisi ini paling baik ditatalaksana oleh spesialis. Gagal ginjal biasanya
terbatas sendiri, dan fungsi ginjal pulih sepenuhnya. Dialisis sementara jarang
diperlukan. Edema paru jarang terjadi pada kelompok yang sebelumnya sehat
ini; Namun, itu dapat berkembang secara akut atau selama fase pemulihan
karena kelebihan cairan atau disfungsi miokard. Respons terhadap terapi standar
biasanya cepat.
Wanita hamil berada pada peningkatan risiko trombosis vena dan
peristiwa emboli. Banyak faktor risiko untuk PPH juga merupakan faktor risiko
untuk trombosis vena dan peristiwa emboli, termasuk persalinan per vaginam
operatif, persalinan sesar, dan operasi pelvis. Stasis vena karena syok dan
imobilitas juga berkontribusi, dan pengasuh harus mempertahankan indeks
kesadaran klinis yang tinggi.
51
Hipopituitarisme setelah PPH berat (sindrom Sheehan) disebabkan oleh
iskemia kritis hipofisis hipertrofi. Kondisi ini harus dipertimbangkan jika
kegagalan laktat terjadi. Kekurangan terisolasi dari tropin hipofisis dan
hiperprolaktinemia juga telah dilaporkan.
Bukti menunjukkan bahwa profilaksis terhadap ulserasi gastrointestinal
berguna pada pasien yang sakit kritis, terutama yang membutuhkan ventilasi.
Agen yang direkomendasikan adalah sucralfate dan histamin 2 blocker.
Keduanya efektif mengurangi risiko borok. Sukralfat dapat dikaitkan dengan
insiden pneumonia yang lebih rendah.
Beberapa komplikasi yang berkaitan dengan intervensi bedah telah
dijelaskan. Komplikasi meliputi sterilitas, perforasi uterus, sinekia uterus
(sindrom Asherman), cedera saluran kemih dan fistula genitourinarius, cedera
usus dan fistula genitointestinal, cedera vaskular, hematoma panggul, dan
sepsis. Pertimbangkan ultrasonografi ginjal setelah pembedahan panggul darurat
yang rumit untuk menyingkirkan obstruksi ureter. Pasien yang menjalani
eksplorasi uterus, instrumentasi, atau laparotomi dalam konteks ini mungkin
mendapat manfaat dari cakupan antibiotik pada saat intervensi. Bukti yang baik
menunjukkan bahwa semua pasien yang melahirkan sesar harus menerima
antibiotik profilaksis.
Shock Hemoragic
Shock terjadi bila ada hipoperfusi pada organ vital. Hipoperfusi bisa
disebabkan oleh kegagalan kerja jantung (shock kardiogenik), infeksi yang
hebat sehingga terjadi redistribusi cairan yang beredar (intravaskular) ke dalam
cairan ekstravaskular (syok septik), hipovolemia karena dehidrasi (shock
hipovolemik) atau karena perdarahan banyak (shock hemoragik). Berikut adalah
derajat syok hemoragik dan estimasi jumlah perdarahan berdasar tanda klinis
yang bisa diamati.
52
kemampuan darah membawa oksigen menyebabkan terjadinya hipoperfusi dan
hipoksia jaringan. Hipoksia jaringan memacu metabolisme anaerob dan
terjadilah asidosis. Asidosis inilah yang memacu terlepasnya berbagai mediator
kimiawi dan memacu respons inflamasi sistemik. Keadaan ini menyebabkan
terlepasnya radikal oksigen yang berakibat kematian sel. Kematian sel
menyebabkan lemahnya sistem barier mukosa sehingga mikroorganisme dan
endotoksin mudah tersebar ke seluruh jaringan dan organ. Keadaan inilah yang
mengakibatkan terjadinya systemic inflammatory response syndrome (SIRS)
dan kegagalan multiorgan yang berakhir dengan kematian.
N. Prognosis
Mortalitas/Kematian
O. SKDI
53
[ CITATION KKI12 \l 1057 ]
V.2. Episiotomi
A. Definisi
Insisi yang di lakukan di perinium (antara fourchet posterior dan anus)
pada akhir kala II persalinan.
B. Indikasi
1. Terjadinya distosia.
2. Terjadinya gawat janin.
54
3. Diperlukannya operative vaginal delivery (seperti menggunakan forceps /
vacuum).
C. Keuntungan Episiotomi
1. Mengurangi kemungkinan trauma kepala janin
2. Mempermudah perbaikan luka robek dan mempercepat penyembuhhan luka
3. Menjaga otot dan fasia penyolong dasar panggul
4. Mencegah laserasi sfingter
5. Mencegah distosia bahu
D. Kerugian Episiotomi
Episiotomy tidak rutin dilakukan pada setiap percalinan karena
meningkatkan risiko laserasi perineum derajat 3 dan 4 pada multipara.
E. Jenis - Jenis
1. Episiotomi median = US dan kanada sering melakukan
- Insisi dengan gunting mulai dari posterior fourchette, untuk
menghindari kelenjar bartholin
- Insisi menurun ke arah bawah melalui badan perineum
- Panjang insisi bervariasi tiap individu, bergantung pada anatomi dan
ukuran perineum
2. Episiotomi median dimodifikasi
- Menambahkan insisi transverse pada kedua sisi, tegak lurus dengan
garis tengah, di atas otot sfingter anal eksternum
- Untuk meningkatkan diameter bukaan vagina sekitar 83%,
memfasilitasi persalinan
3. Episiotomi bentuk J
4. Episiotomi mediolateral = eropi sering melakukannya
- Insisi dengan gunting mulai dari posterior fourchette
55
- Lalu ke lateral kanan/kiri, sudut 45-600, menghindari otot-otot sfingter
Gambar: sudut dan lokasi episiotomy (A) mediolateral kanan dengan sudut
450, (B) mediolateral kanan dengan sudut 600.
5. Episiotomi lateral
6. Episiotomi radikal
7. Episiotomi anterior
56
Yang tersering:
1. Midline: (+) : mudah diperbaiki. (-) : resiko ke anal area besar.
2. Mediolateral : (+):resiko ke anal area lebih kecil. (-) : sulit diperbaiki dan
lebih sakit.
57
F. Komplikasi
1. Perdarahan.
2. Pemanjangan penyembuhan luka.
3. Dispareunia
4. Disfungsi dasar panggul.
5. Vistula saluran kemih.
6. Timbulnya jaringan parut
7. Cedera otot sfingter anal eksternal.
8. Laserasi perinium derajat 3 dan 4 pada multipara.
G. Penjahitan
Prinsip penjahitan
1. Penegakkak diagnosis secara tepat.
2. Penjahitan segera setelah persalinan
3. Pemberian informed consent verbal untuk derajat 1 dan 2, tertulis pada
derajat 3 dan 4.
4. Laserasi perinium dijahit dengan teknik aseptik dan analgesia.
5. Kateter dipasangkan selama 6 jam pasca prosedur untuk mencegah retensi
urin.
Untuk membedakan derajat 1-2 dan 3-4: cek tous dan kekuatan spinchter
ani, apabila terjadi kerusakan: indikasi derajat 3-4.
58
Penjahitan laserasi derajat 1 dan 2
1. penjahitan mukosa vagina.
2. penjahitan otot perineum.
3. penjahitan kulit.
59
VI. Kerangka Konsep
Ny. Z, 16 tahun,
bayi makrosomia Robekan jalan lahir
Abdomen cembung,
Atonia uterus
simetri, tinggi fundus
uteri 2 jari di atas
umbilikus
Kegagalan miometrium
berkontraksi
Blood loss ↑
Syok hipovolemik
Tx: HAEMOSTASIS
Hipotermia Takikardi Oksigenasi, IV line,
oksitosin
VII.Kesimpulan
Ny. Z, 16 tahun, P1A0, post partum spontan dengan perdarahan pasca salin (PPS)
primer dengan syok hipovolemik derajat sedang dan anemia berat et causa atonia uteri.
61
DAFTAR PUSTAKA
Alarm International Program. Tt. Postpartum Hemorrhage. Fourth Edition Of The Alarm
International Program. Diakses dari
https://www.glowm.com/pdf/AIP%20Chap6%20PPH.pdf
Budiastuti, A., & Ronoatmodjo, S. (2016). Hubungan Makrosomia dengan Perdarahan
Postpartum di Indonesia Tahun 2012. Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia, 1(1).
https://doi.org/10.7454/epidkes.v1i1.1314
Edhi MM, Aslam HM, Naqvi Z, Hashmi H. 2013. Postpartum hemorrhage: causes and
management. BMC Research Notes. 6(236): 1-6.
62
Kementerian Kesehatan RI. 2013. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu Di Fasilitas
Kesehatan Dasar dan Rujukan Ed 1. Jakarta : Kemenkes RI.
World Health Organization. 2012. WHO Recommendations for The Prevention and
Treatment of Postpartum Haemorrhage. Geneva. Diakses dari
https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/75411/9789241548502_eng.pdf
Wuryanti A. 2010. Hubungan anemia dalam kehamilan dengan perdarahan postpartum
karena atonia uteri di RSUD Wonogiri. (Skripsi) Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
63