Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN BACTERIAL


VAGINOSIS DI POLI KANDUNGAN RSD. Dr. SOEBANDI JEMBER
Keperawatan Maternitas

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat


untuk Memperoleh Gelar Profesi Ners

Oleh:
SATRIYO BAYU DWI KRISNA
1501031028

PROGRAM STUDI PROFESI KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER
2016

LAPORAN PENDAHULUAN
A. PENGERTIAN
Vaginosis bakterial adalah keadaan abnormal pada ekosistem vagina yang disebabkan bertambahnya pertumbuhan flora vagina bakteri anaerob menggantikan
Lactobacillus yang mempunyai konsentrasi tinggi sebagai flora normal vagina.
Awalnya infeksi pada vagina hanya disebut dengan istilah vaginitis, di
dalamnya termasuk vaginitis akibat Trichomonas vaginalis dan akibat bakteri anaerob
lain berupa Peptococcus dan Bacteroides, sehingga disebut vaginitis nonspesifik.
Setelah Gardner menemukan adanya spesies baru yang akhirnya disebut Gardnerella
vaginalis, istilah vaginitis nonspesifik pun mulai ditinggalkan. Berbagai penelitian
dilakukan dan hasilnya disimpulkan bahwa Gardnerella melakukan simbiosis dengan
berbagai bakteri anaerob sehingga menyebabkan manifestasi klinis vaginitis, di
antaranya termasuk dari golongan Mobiluncus, Bacteroides, Fusobacterium,
Veilonella, dan golongan Eubacterium, misalnya Mycoplasma hominis, Ureaplasma
urealyticum, dan Streptococcus viridans.
Gardnerella vaginalis sendiri juga merupakan bakteri anaerob batang gram
variable yang mengalami hiperpopulasi sehingga menggantikan flora normal vagina
dari yang tadinya bersifat asam menjadi bersifat basa. Perubahan ini terjadi akibat
berkurangnya jumlah Lactobacillus yang menghasilkan hidrogen peroksida.
Lactobacillus sendiri merupakan bakteri anaerob batang besar yang membantu
menjaga keasaman vagina dan menghambat mikroorganisme anaerob lain untuk
tumbuh di vagina.
B. EPIDEMIOLOGI
Penyakit bakterial vaginosis lebih sering ditemukan pada wanita yang
memeriksakan kesehatannya daripada vaginitis jenis lainnya. Frekuensi bergantung
pada tingkatan sosial ekonomi penduduk pernah disebutkan bahwa 50 % wanita aktif
seksual terkena infeksi G. vaginalis, tetapi hanya sedikit yang menyebabkan gejala
sekitar 50 % ditemukan pada pemakai AKDR dan 86 % bersama-sama dengan infeksi
Trichomonas.
Pada wanita hamil, penelitian telah didokumentasikan mempunyai prevalensi
yang hampir sama dengan populasi yang tidak hamil, berkisar antara 6%-32%.31
Kira-kira 10-30% dari wanita hamil akan mendapatkan Vaginosis bacterialis selama
masa kehamilan mereka.
Gardnerella vaginalis dapat diisolasi dari 15 % anak wanita prapubertas yang
masih perawan, sehingga organisme ini tidak mutlak ditularkan lewat kontak seksual.

Meskipun kasus bakterial vaginosis dilaporkan lebih tinggi pada klinik PMS, tetapi
peranan penularan secara seksual tidak jelas.
Bakterial vaginosis yang rekuren dapat meningkat pada wanita yang mulai
aktivitas seksualnya sejak umur muda, lebih sering juga terjadi pada wanita berkulit
hitam yang menggunakan kontrasepsi dan merokok. Bakterial vaginosis yang rekuren
prevalensinya juga tinggi pada pasangan-pasangan lesbi, yang mungkin berkembang
karena wanita tersebut berganti-ganti pasangan seksualnya ataupun yang sering
melakukan penyemprotan pada vagina.
Hampir 90 % laki-laki yang mitra seksual wanitanya terinfeksi Gardnerella
vaginosis, mengandung G.vaginalis dengan biotipe yang sama dalam uretra, tetapi
tidak menyebabkan uretritis.
C. ETIOLOGI
Ekosistem vagina adalah biokomuniti yang dinamik dan kompleks yang terdiri
dari unsur-unsur yang berbeda yang saling mempengaruhi. Salah satu komponen
lengkap dari ekosistem vagina adalah mikroflora vagina endogen, yang terdiri dari
gram positif dan gram negatif aerobik, bakteri fakultatif dan obligat anaerobik. Aksi
sinergetik dan antagonistik antara mikroflora vagina endogen bersama dengan
komponen lain, mengakibatkan tetap stabilnya sistem ekologi yang mengarah pada
kesehatan ekosistem vagina. Asam laktat seperti organic acid lanilla yang dihasilkan
oleh Lactobacillus, memegang peranan yang penting dalam memelihara pH tetap di
bawah 4,5 (antara 3,8 - 4,2), dimana merupakan tempat yang tidak sesuai bagi
pertumbuhan bakteri khususnya mikroorganisme yang patogen bagi vagina.
Kemampuan memproduksi H2O2 adalah mekanisme lain yang menyebabkan
Lactobacillus hidup dominan daripada bakteri obligat anaerob yang kekurangan
enzim katalase. Hidrogen peroksida dominan terdapat pada ekosistem vagina normal
tetapi tidak pada bakterial vaginosis. Mekanisme ketiga pertahanan yang diproduksi
oleh Lactobacillus adalah bakteriosin yang merupakan suatu protein dengan berat
molekul rendah yang menghambat pertumbuhan banyak bakteri khususnya
Gardnerella vaginalis.
G. vaginalis sendiri juga merupakan bakteri anaerob batang variabel gram
yang mengalami hiperpopulasi sehingga menggantikan flora normal vagina dari yang
tadinya bersifat asam menjadi bersifat basa
Pada bakterial vaginosis dapat terjadi simbiosis antara G.vaginalis sebagai
pembentuk asam amino dan kuman anaerob beserta bakteri fakultatif dalam vagina
yang mengubah asam amino menjadi amin sehingga menaikkan pH sekret vagina

sampai suasana yang sesuai bagi pertumbuhan G. vaginalis. Beberapa amin diketahui
menyebabkan iritasi kulit dan menambah pelepasan sel epitel dan menyebabkan
sekret tubuh berbau tidak sedap yang keluar dari vagina.
Basil-basil anaerob yang menyertai bakterial

vaginosis

diantaranya

Bacteroides bivins, B. Capilosus dan B. disiens yang dapat diisolasikan dari infeksi
genitalia.
D. GAMBARAN KLINIS
Gejala yang paling sering pada bakterial vaginosis adalah adanya cairan
vagina yang abnormal (terutama setelah melakukan hubungan seksual) dengan adanya
bau vagina yang khas yaitu bau amis/bau ikan (fishy odor).
Bau tersebut disebabkan oleh adanya amin yang menguap bila cairan vagina
menjadi basa. Cairan seminal yang basa (pH 7,2) menimbulkan terlepasnya amin dari
perlekatannya pada protein dan amin yang menguap menimbulkan bau yang khas.
Walaupun beberapa wanita mempunyai gejala yang khas, namun pada sebagian besar
wanita dapat asimptomatik. Iritasi daerah vagina atau sekitar vagina (gatal, rasa
terbakar), kalau ditemukan lebih ringan daripada yang disebabkan oleh Trichomonas
vaginalis atau C.albicans. Sepertiga penderita mengeluh gatal dan rasa terbakar, dan
seperlima timbul kemerahan dan edema pada vulva. Nyeri abdomen, dispareuria, atau
nyeri waktu kencing jarang terjadi, dan kalau ada karena penyakit lain.
Pada pemeriksaan biasanya menunjukkan sekret vagina yang tipis dan sering
berwarna putih atau abu-abu, viskositas rendah atau normal, homogen, dan jarang
berbusa. Sekret tersebut melekat pada dinding vagina dan terlihat sebagai lapisan tipis
atau kelainan yang difus. Gejala peradangan umum tidak ada. Sebaliknya sekret
vagina normal, lebih tebal dan terdiri atas kumpulan sel epitel vagina yang
memberikan gambaran bergerombol.
Pada penderita dengan bakterial vaginosis tidak ditemukan inflamasi pada
vagina dan vulva. Bakterial vaginosis dapat timbul bersama infeksi traktus genital
bawah seperti trikomoniasis dan servisitis sehingga menimbulkan gejala genital yang
tidak spesifik.
E. PROGNOSIS
Prognosis bakterial vaginosis dapat timbul kembali pada 20-30% wanita
walaupun tidak menunjukkan gejala. Pengobatan ulang dengan antibiotik yang sama
dapat dipakai. Prognosis bakterial vaginosis sangat baik, karena infeksinya dapat
disembuhkan. Dilaporkan terjadi perbaikan spontan pada lebih dari 1/3 kasus. Dengan

pengobatan metronidazol dan klindamisin memberi angka kesembuhan yang tinggi


(84-96%).
F. DIAGNOSIS
Diagnosis bakterial vaginosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan mikroskopis. Anamnesis menggambarkan riwayat sekresi vagina
terus-menerus dengan bau yang tidak sedap. Kadang penderita mengeluh iritasi pada
vagina disertai disuria/dispareunia, atau nyeri abdomen.
Pada pemeriksaan fisik relatif tidak banyak ditemukan apa-apa, kecuali hanya
sedikit inflamasi dapat juga ditemukan sekret vagina yang berwarna putih atau abuabu yang melekat pada dinding vagina. Gardner dan Dukes (1980) menyatakan bahwa
setiap wanita dengan aktivitas ovum normal mengeluarkan cairan vagina berwarna
abu-abu, homogen, berbau dengan pH 5 - 5,5 dan tidak ditemukan T.vaginalis,
kemungkinan besar menderita bakterial vaginosis.
Dengan hanya mendapat satu gejala, tidak dapat menegakkan suatu diagnosis,
oleh sebab itu didapatkan kriteria klinis untuk bakterial vaginosis yang sering disebut
sebagai kriteria Amsel (1983) yang berpendapat bahwa terdapat tiga dari empat
gejala, yaitu :
1. Adanya sekret vagina yang homogen, tipis, putih, melekat pada dinding vagina
dan abnormal
2. pH vagina > 4,5
3. Tes amin yang positif, yangmana sekret vagina yang berbau amis sebelum atau
setelah penambahan KOH 10% (Whiff test).
4. Adanya clue cells pada sediaan basah (sedikitnya 20 dari seluruh epitel).

G. DIAGNOSIS BANDING
Ada beberapa penyakit yang menggambarkan keadaan klinik yang mirip
dengan bakterial vaginosis, antara lain :
1. Trikomoniasis
Trikomoniasis merupakan penyakit menular seksual yang disebabkan
oleh Trichomonas vaginalis. Biasanya penyakit ini tidak bergejala tapi pada
beberapa keadaan trikomoniasis akan menunjukkan gejala. Terdapat dalam
tubuh vagina berwarna kuning kehijauan, berbusa dan berbau. Eritem dan
edem pada vulva, juga vagina dan serviks pada beberapa perempuan. Serta
pruritos, disuria, dan dispareunia.
2. Kandidiasis

Kandidiasis merupakan suatu infeksi yang disebabkan oleh Candida


albicans atau kadang Candida yang lain. Gejala yang awalnya muncul pada
kandidiasis adalah pruritus akut dan keputihan
H. PENATALAKSANAAN
1. Pengobatan
Semua wanita dengan

bakterial

vaginosis

simtomatik

memerlukan

pengobatan, termasuk wanita hamil. Setelah ditemukan hubungan antara bakterial


vaginosis dengan wanita hamil dengan prematuritas atau endometritis pasca
partus, maka penting untuk mencari obat-obat yang efektif yang bisa digunakan
pada masa kehamilan. Ahli medis biasanya menggunakan antibiotik seperti
metronidazol dan klindamisin untuk mengobati bakterial vaginosis.
a. Terapi sistemik
1) Metronidazol merupakan antibiotik yang paling sering digunakan yang
memberikan keberhasilan penyembuhan lebih dari 90%, dengan dosis 2
x 400 mg atau 500 mg setiap hari selama 7 hari. Jika pengobatan ini
gagal, maka diberikan ampisilin oral (atau amoksisilin) yang
merupakan pilihan kedua dari pengobatan keberhasilan penyembuhan
sekitar 66%).4,6,16,20
2) Kurang efektif bila dibandingkan regimen 7 hari
3) Mempunyai aktivitas sedang terhadap G.vaginalis, tetapi sangat aktif
terhadap bakteri anaerob, efektifitasnya berhubungan dengan inhibisi
anaerob.
4) Metronidazol dapat menyebabkan mual dan urin menjadi gelap.
5) Klindamisin 300 mg, 2 x sehari selama 7 hari. Sama efektifnya dengan
metronidazol untuk pengobatan bakterial vaginosis dengan angka
kesembuhan 94%. Aman diberikan pada wanita hamil. Sejumlah kecil
klindamisin dapat menembus ASI, oleh karena itu sebaiknya
menggunakan pengobatan intravagina untuk perempuan menyusui.
6) Amoksilav (500 mg amoksisilin dan 125 mg asam klavulanat) 3 x
sehari selama 7 hari. Cukup efektif untuk wanita hamil dan intoleransi
terhadap metronidazol.
7) Tetrasiklin 250 mg, 4 x sehari selama 5 hari.
8) Doksisiklin 100 mg, 2 x sehari selama 5 hari.
9) Eritromisin 500 mg, 4 x sehari selama 7 hari.
10) Cefaleksia 500 mg, 4 x sehari selama 7 hari.
b. Terapi Topikal
1) Metronidazol gel intravagina (0,75%) 5 gram, 1 x sehari selama 5 hari.
2) Klindamisin krim (2%) 5 gram, 1 x sehari selama 7 hari.
3) Tetrasiklin intravagina 100 mg, 1 x sehari.

4) Triple sulfonamide cream. (Sulfactamid 2,86%, Sulfabenzamid 3,7%


dan Sulfatiazol 3,42%), 2 x sehari selama 10 hari, tapi akhir-akhir ini
dilaporkan angka penyembuhannya hanya 15 45 %.
5) Pengobatan bakterial vaginosis pada masa kehamilan. Terapi secara
rutin pada masa kehamilan tidak dianjurkan karena dapat muncul
masalah. Metronidazol tidak digunakan pada trimester pertama
kehamilan karena mempunyai efek samping terhadap fetus. Salah satu
efek samping penggunaan Metronidazole ialah teratogenik pada
trimester pertama. Dosis yang lebih rendah dianjurkan selama
kehamilan untuk mengurangi efek samping (Metronidazol 200-250 mg,
3 x sehari selama 7 hari untuk wanita hamil). Penisilin aman digunakan
selama kehamilan, tetapi ampisilin dan amoksisilin jelas tidak sama
efektifnya dengan metronidazol pada wanita tidak hamil dimana kedua
antibiotik tersebut memberi angka kesembuhan yang rendah.
Metronidazole dapat melewati sawar placenta dan memasuki sirkulasi
ketuban dengan pesat. Studi reproduksi telah dilakukan pada tikus di
dosis sampai lima kali dosis manusia dan dinyatakan tidak ada bukti
perburukan kesuburan atau efek bahaya ke janin karena Metronidazole.
Tidak ada efek fetotoxicity selama penelitian pemberian Metronidazole
secara oral untuk tikus yang hamil pada 20 mg / kg / hari, dosis
manusia (750 mg / hari) berdasarkan mg / kg berat badan.
6) Pada trimester pertama diberikan krim klindamisin vaginal karena
klindamisin tidak mempunyai efek samping terhadap fetus. Pada
trimester II dan III dapat digunakan metronidazol oral walaupun
mungkin lebih disukai gel metronidazol vaginal atau klindamisin krim.
7) Untuk keputihan yang ditularkan melalui hubungan seksual. Terapi
juga diberikan kepada pasangan seksual dan dianjurkan tidak
berhubungan selama masih dalam pengobatan.
8) Pengobatan secara oral atau lokal dapat digunakan untuk pengobatan
pada wanita hamil dengan gejala VB yang resiko rendah terhadap
komplikasi obstertri. Wanita tanpa gejala dan wanita tanpa faktor resiko
persalinan preterm tidak perlu menjalani skrening rutin untuk
pemngobatan bacterial vaginosis. Wanita dengan resiko tinggi
persalinan preterm dapat mengikuti skrining rutin dan pengobatan
bacterial vaginosis. Jika pengobatan untuk pencegahan terhadap

komplikasi kehamilan dijalani, maka diharuskan menggunakan


metronidazole oral 2 kali sehari selama 7 hari. Topical (pada vagina)
tidak direkomendasikan untuk indikasi ini. Test skrining harus diulangi
1 bulan setelah pengobatan untuk memastikan kesembuhan.
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan preparat basah ; Dilakukan dengan meneteskan satu atau dua tetes
cairan NaCl 0,9% pada sekret vagina diatas objek glass kemudian ditutupi
dengan coverslip. Dan dilakukan pemeriksaan mikroskopik menggunakan
kekuatan tinggi (400 kali) untuk melihat clue cells, yang merupakan sel epitel
vagina yang diselubungi dengan bakteri (terutama Gardnerella vaginalis).
Pemeriksaan preparat basah mempunyai sensitifitas 60% dan spesifitas 98%
untuk mendeteksi bakterial vaginosis. Clue cells adalah penanda bakterial
vaginosis.
2. Whiff test ; Whiff test dinyatakan positif bila bau amis atau bau amin terdeteksi
dengan penambahan satu tetes KOH 10-20% pada sekret vagina. Bau muncul
sebagai akibat pelepasan amin dan asam organik hasil alkalisasi bakteri anaerob.
Whiff test positif menunjukkan bakterial vaginosis.
3. Tes lakmus untuk pH ; Kertas lakmus ditempatkan pada dinding lateral vagina.
Warna kertas dibandingkan dengan warna standar. pH vagina normal 3,8 - 4,2.
Pada 80-90% bakterial vaginosis ditemukan pH > 4,5.5,6,12
4. Pewarnaan gram sekret vagina ; Pewarnaan gram sekret vagina dari bakterial
vaginosis tidak ditemukan Lactobacillus sebaliknya ditemukan pertumbuhan
berlebihan dari Gardnerella vaginalis dan atau Mobilincus Spp dan bakteri
anaerob lainnya.
5. Kultur vagina ; Kultur Gardnerella vaginalis kurang bermanfaat untuk diagnosis
bakterial vaginosis. Kultur vagina positif untuk G. vaginalis pada bakterial
vaginosis tanpa grjala klinis tidak perlu mendapat pengobatan.
J. PENCEGAHAN PENYAKIT
Hal-hal yang perlu dilakukan dalam menjaga kondisi tubuh adalah sbb :
1. Bersihkan organ intim dengan pembersih yang tidak mengganggu kestabilan
pH di sekitar vagina. Salah satunya produk pembersih yang terbuat dari bahan
dasar susu. Produk seperti ini mampu menjaga seimbangan pH sekaligus
meningkatkan pertumbuhan flora normal dan menekan pertumbuhan bakteri
yang tak bersahabat. Sabun antiseptik biasa umumnya bersifat keras dan dapat

flora normal di vagina. Ini tidak menguntungkan bagi kesehatan vagina dalam
jangka panjang.
2. Hindari pemakaian bedak pada organ kewanitaan dengan tujuan agar vagina
harum dan kering sepanjang hari. Bedak memiliki partikel-partikel halus yang
mudah terselip disana-sini dan akhirnya mengundang jamur dan bakteri
bersarang di tempat itu.
3. Selalu keringkan bagian mis v sebelum berpakaian.
4. Gunakan celana dalam yang kering. Seandainya basah atau lembab, usahakan
cepat mengganti dengan yang bersih dan belum dipakai. Tak ada salahnya
Anda membawa cadangan celana dalam tas kecil untuk berjaga-jaga manakala
perlu menggantinya.
5. Gunakan celana dalam yang bahannya menyerap keringat, seperti katun.
Celana dari bahan satin atau bahan sintetik lain membuat suasana disekitar
organ intim panas dan lembab.
6. Pakaian luar juga perlu diperhatikan. Celana jeans tidak dianjurkan karena
pori-porinya sangat rapat. Pilihlah seperti rok atau celana bahan non-jeans
agar sirkulasi udara di sekitar organ intim bergerak leluasa.
7. Ketika haid, sering-seringlah berganti pembalut
8. Gunakan panty liner disaat perlu saja. Jangan terlalu lama. Misalkan saat
bepergian ke luar rumah dan lepaskan sekembalinya kerumah.

DAFTAR PUSTAKA

Ratna DP. Pentingnya menjaga organ kewanitaan. Jakarta: Indeks, 2010. p.1-2;15-26;83-86
Medlineplus. Vaginal discharge (internet). c2009 (cited 2011 feb). Available
from:http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003158.htP
Bobak, lowdermilk.2004. Buku Ajar Keperawatan Maternitas Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai