Anda di halaman 1dari 7

LEUKORRHEA

PENDAHULUAN
Leukorrhea, atau juga disebut keputihan, sering dikaitkan dengan servisitis, vaginitis,
dan ektopik mukoid. Leukorrhea adalah salah satu keluhan yang sering ditemukan
dalam praktik klinis sehari-hari.
Penyebab dari leukorrhea secara umum dibagi menjadi 3, yaitu:
 Non-infektif: proses fisiologi, ektopik serviks, benda asing, dermatitis vulva
 Non-infeksi menular seksual: bakterial vaginosis, infeksi candida
 Infeksi menular seksual: klamidiasis, gonorrhea, dan trikomoniasis[1]

Pada anamnesis dapat ditanyakan karakteristik cairan yang keluar, serta keluhan
penyerta seperti nyeri dan gatal. Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan inspeksi
melalui inspekulo untuk melihat adanya kelainan pada genitalia eksterna, vagina, dan
serviks. Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk membedakan organisme
penyebab, misalnya dengan tes whiff dan sediaan apus vagina.
Penatalaksanaan leukorrhea dilakukan berdasarkan etiologinya. Leukorrhea yang
disebabkan karena infeksi, baik infeksi menular seksual maupun bukan infeksi menular
seksual, diberikan regimen antimikrobial yang sesuai. Perawatan dan kebersihan daerah
vagina merupakan aspek penting dalam penatalaksanaan nonmedikamentosa. [2]

PATOFISIOLOGI
Patofisiologi leukorrhea dapat berkaitan dengan kondisi fisiologis, perubahan komposisi
flora normal vagina, dan infeksi.
Kondisi Fisiologis (Leukorrhea Fisiologis)
Leukorrhea fisiologis pada wanita usia produktif ditandai dengan keluarnya discar
vagina sebanyak kurang lebih 1–4 ml dalam 24 jam. Pada umumnya, leukorrhea ini
bening (transparan) atau putih hingga kekuningan, serta tidak berbau. Pada kondisi
tinggi estrogen (contoh: kehamilan, penggunaan KB yang mengandung estrogen, dan
saat terjadi ovulasi), leukorrhea fisiologis dapat keluar lebih banyak. [1,3]
Bakterial Vaginosis
Bakterial vaginosis dulu lebih sering dikenal dengan Gardnerella vaginitis karena
disebabkan oleh kuman Gardnerella vaginalis. Bakterial vaginosis terjadi akibat
disbiosis  pada vagina. Pada kondisi ini, jumlah flora normal Lacobacilli yang
memproduksi hydrogen peroksida berkurang digantikan dengan Gardnerella vaginalis,
Prevotella sp.,  dan Mobiluncus sp  yang meningkatkan pH menjadi basa.[4]
Candidiasis Vaginalis
Candidiasis vaginalis disebabkan oleh jamur Candida albicans (paling sering)
dan Candida glabrata (7–16% kasus). Candidiasis dapat menyerang pada vulva dan
menyebabkan peradangan sehingga dikenal sebagai candidiasis vulvovaginitis.
Candidiasis menyebabkan reaksi peradangan karena menyerang lapisan mukosa pada
vagina. Reaksi peradangan ini didominasi dengan sel polimorfonuklear dan makrofag.
[2,5,6]

Klamidia
Infeksi klamidia pada genitalia wanita disebabkan oleh spesies Chlamydia
trachomatis  yang merupakan bakteri patogen intraselular obligat golongan gram negatif
dan ditularkan melalui hubungan seksual. Klamidia berpotensi menimbulkan komplikasi
antara lain infeksi asendens yang menyebabkan penyakit radang panggul, komplikasi
kehamilan dan peningkatan risiko terjadinya kanker serviks.
[7]
 C.  trachomatis  menyerang sel-sel epitel dan membuat reaksi peradangan. Respon
peradangan ini dapat merusak jaringan dan dapat berujung pada terjadinya jaringan
parut (scarring). Komplikasi pada kehamilan yang dapat timbul adalah ketuban pecah
dini, kelahiran prematur, korioamnionitis, hingga infeksi postpartum dan neonatus. [7,8]
Gonorrhea
Bakteri yang menyebabkan timbulnya leukorrhea adalah Neisseria gonorrhea. N.
gonorrhea  yang merupakan bakteri diplokokus intraselular yang bersifat parasit obligat.
Penyakit ini lebih sering dikenal dengan gonorrhea. N.  gonorrhea  menginvasi traktus
urogenital setelah ditularkan saat hubungan seksual. Faktor virulensi yang dimiliki
oleh N. gonorrhea  adalah pili, protein Opa, protein Por, lipooligosakarida, dan IgA1
protease. Sitokin-sitokin yang dapat menyebabkan inflamasi akan datang ke tempat
infeksi dan membuat terjadinya pengeluaran duh pustular. Gonorrhea yang tidak
diobati pada wanita dapat menimbulkan komplikasi seperti salfingitis, penyakit radang
panggul, dan sepsis. Kondisi ini dapat berujung pada infertilitas dan kehamilan ektopik.
[9,10]

Trikomoniasis
Trikomoniasis disebabkan oleh infeksi protozoa Trichomonas vaginalis yang menyerang
jaringan epitel skuamosa pada genitalia dan merupakan salah satu penyakit infeksi
menular seksual. T. vaginalis  merupakan parasit obligat yang dapat melakukan
fagositosis terhadap bakteri.[11,12]
ETIOLOGI
Etiologi leukorrhea patologis bervariasi, mulai dari bakteri, protozoa, hingga jamur.
Pathogen tersebut antara lain Gardnerella vaginalis, Candida albicans, Candida
glabrata, Chlamydia trachomatis, Neisseria gonorrhea,  dan Trichomonas vaginalis.

Bakterial vaginosis
Bakterial vaginosis disebabkan oleh disbiosis dengan adanya peningkatan jumlah
bakteri Gardnerella vaginalis, Prevotella sp.,  dan Mobiluncus sp  yang meningkatkan pH
menjadi basa. Sampai saat ini masih timbul perdebatan apakah penyakit ini menular
secara seksual atau tidak. Pada dekade terakhir ini ditemukan beberapa bukti bahwa
penyakit ini menular secara seksual. Bakteri yang menyebabkan bakterial vaginosis
ditemukan lebih banyak pada penis pria yang berhubungan dengan wanita dengan
bakterial vaginosis dibandingkan tidak.[4,13]

Candidiasis Vulvovaginitis
Candidiasis vulvovaginitis paling sering disebabkan oleh Candida albicans, namun dapat
juga disebabkan oleh Candida glabrata pada 7 – 16% kasus.[5]

Klamidiasis
Infeksi klamidia pada genitalia wanita disebabkan oleh spesies Chlamydia
trachomatis  yang merupakan bakteri patogen intraselular obligat golongan gram
negatif.[8]

Gonorrhea
Neisseriasis yang menyebabkan keputihan lebih dikenal dengan gonorrhea disebabkan
oleh bakteri diplokokus intraselular Neisseria gonorrhea  yang bersifat parasit obligat.[9]

Trikomoniasis
Trikomoniasis disebabkan oleh Trichomonas vaginalis, protozoa parasit yang memiliki 4
flagela anterior. Pada bagian tengah protozoa, terdapat 1 flagellum yang terbentang
dari anterior ke posterior dan membuat tonjolan atau sering dikenal dengan undulating
membrane. T. vaginalis  ditularkan dalam bentuk trofozoit melalui hubungan seksual.
[11,14]

Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya leukorrhea patologis di antaranya:
 Hubungan seksual dengan lebih dari 1 pasangan dan tidak menggunakan pengaman
mekanis (kondom)
 Higienitas buruk
 Kehamilan
 Diabetes mellitus dan penurunan fungsi imun
 Gangguan keseimbangan flora normal vagina (contoh: pada penggunaan douche
vagina)
 Penggunaan antibiotik sistemik[2,5,15]

EPIDEMIOLOGI

Epidemiologi leukorrhea patologis paling banyak disebabkan oleh bakterial vaginosis.

Global
Bakterial vaginosis adalah kondisi terbanyak yang menyebabkan leukorrhea patologis,
diikuti dengan kandidiasis. Hampir 30% wanita usia produktif (14 – 49 tahun) di
Amerika Serikat pernah mengalami bakterial vaginosis. [16] Kandidiasis vulvovaginitis
memiliki prevalensi global sebesar 3871 per 100.000 wanita dan 50% wanita yang
terkena kandidiasis mengalami infeksi berulang. [17,18]

DIAGNOSIS

Leukorrhea merupakan sebuah gejala atau manifestasi klinis dari sebuah penyakit.
Diagnosis leukorrhea ditegakkan melalui anamnesis mengenai karakteristik cairan
vagina dan gejala penyerta yang timbul, pemeriksaan fisik menggunakan inspekulum,
dan pemeriksaan penunjang berupa swab vagina.

Anamnesis

Anamnesis dilakukan dengan menanyakan karakteristik dari cairan yang keluar dari
vagina, seperti warna, bau, dan kekentalan, serta gejala penyerta yang timbul. Gejala
penyerta antara lain gatal dan nyeri pada daerah vagina, serta ada tidaknya nyeri saat
berhubungan.

Untuk menentukan apakah keputihan bersifat normal atau tidak normal, ditanyakan gejala yang
dialami, siklus menstruasi, dan riwayat hubungan seksual. Selanjutnya, akan dilakukan
pemeriksaan panggul untuk memeriksa kondisi organ reproduksi wanita, seperti vagina, serviks,
dan uterus.
Keputihan yang tidak normal umumnya sudah dapat dideteksi pada pemeriksaan awal. Namun,
dokter dapat menganjurkan pasien untuk menjalani pemeriksaan tambahan agar diagnosis lebih
pasti, seperti:

 Tes pH, untuk memeriksa tingkat keasaman lendir vagina dan mendeteksi tanda infeksi pada
vagina
 Pemeriksaan sampel cairan vagina, untuk mendeteksi keberadaan jamur, bakteri, atau parasit
yang menyebabkan keputihan
 Tes infeksi menular seksual, untuk mendeteksi tanda atau gejala dari infeksi menular seksual,
seperti gonore, chlamydia, dan trikomoniasis
 Pap smear, untuk mendeteksi kelainan pada jaringan leher rahim (serviks)

Penderita leukorrhea biasanya mengeluhkan vaginal discharge yang berbau busuk


disertai rasa gatal pada vagina. Discharge biasanya berupa cairan encer tetapi
terkadang kental dan lengket.

Warna leukorrhea patologis mungkin putih, putih keabu-abuan, kekuningan,


kehijauan, kemerahan, berwarna gelap atau kasar.

Bisa disertai dengan gejala lain seperti jumlah cairan yang berlebihan, gatal, sensasi
terbakar.

Ada beberapa manifestasi klinis lain yang menyertai keluhan keputihan akibat infeksi
pada vagina seperti nyeri otot paha dan tungkai, rasa panas saat buang air kecil,
bau busuk, gatal atau nyeri pada area yang terinfeksi, anoreksia, konstipasi, dan
kelelahan. Sementara itu, servical leukorrhea biasanya disertai dengan nyeri
punggung bawah

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan leukorrhea harus disesuaikan dengan etiologi penyakitnya dan


mencakup tidak hanya medikamentosa, tetapi juga edukasi untuk efektivitas dari
pengobatan dan pencegahan rekurensi.

Pada leukorrhea fisiologis, pasien harus diedukasi dan diyakinkan bahwa cairan yang
keluar merupakan cairan normal, dan pasien tidak perlu melakukan douche vagina.

PROGNOSIS

Prognosis leukorrhea bergantung dari etiologi dan komplikasi yang timbul. Kepatuhan
berobat dan perubahan gaya hidup juga mempengaruhi keberhasilan penyembuhan.
Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul dari leukorrhea tergantung dari penyebab penyakitnya.
Secara umum, komplikasi yang dapat timbul antara lain karena infeksi asendens yang
menyebabkan salfingitis, penyakit radang panggul, komplikasi kehamilan, dan
peningkatan risiko terjadinya kanker serviks. Komplikasi kehamilan yang dapat muncul
antara lain ketuban pecah dini, kelahiran prematur, korioamnionitis, hingga infeksi
postpartum dan neonatus.[7,9,10]

EDUKASI DAN PROMOSI KESEHATAN

Edukasi dan promosi kesehatan untuk leukorrhea melibatkan edukasi mengenai infeksi
menular seksual.

Pada pasien dengan leukorrhea fisiologis, edukasi bahwa hal tersebut adalah normal
dan timbul karena proses fisiologi tubuh. Informasikan kepada pasien bagaimana cara
membedakan leukorrhea fisiologis dan patologis, serta sampaikan bahwa leukorrhea
fisiologis tidak membutuhkan pengobatan.

Edukasi Pasien

Referensi
1. Spence D, Melville C. Vaginal discharge. BMJ, 2007;335(7630):1147-1151.
2. Hainer BL, Gibson MV. Vaginitis: diagnosis and treatment. Am Fam Physician,
2011;83(7):807-815
3. Gomez-lobo V. Assessment of vaginal discharge. BMJ Best Practice. Updated:
Aug 2018. Available from: https://bestpractice.bmj.com/topics/en-gb/510
4. Bagnall P, Rizzolo D. Bacterial vaginosis: a practical review. Journal of American
Academy of Physician Assistants, 2017;30(12):15-21.
5. Dovnik A, Golle A, Novak D, et al. Treatment of vulvovaginal candidiasis: a
review of the literature. Acta Dermatovenerologica, 2015;24:5 – 7.
6. Jeanmonod R, Jeanmonod D. Candidiasis, Vaginal (Vulvovaginal Candidiasis). In:
StatPearls. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2018 Jan-. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459317/
7. Malthora M, Sood S, Mukherjee A, et al. Genital chlamydia trachomatis: an
update. Indian J Med Res, 2013;138(3):303-316
8. Darville T, Hilke TJ. Pathogenesis of genital tract disease due to chlamydia
trachomatis. J of Infectious Dis, 2010;201(S2):S114-S125
9. Hill SA, Masters TL, Wachter J. Gonorrhea – an evolving disease of the new
millennium. Microb cell, 2016;3(9):371-389
10. Walker CK, Sweet RL. Gonorrhea infection in women: prevalence, effects,
screening and management. Int J Womens Health, 2011;3:197-206
11. Kissinger P. Trichomonas vaginalis: a review of epidemiologic, clinical and
treatment issues. BMC Infect Dis, 2015;15:307
12. Mercer F, Johnson PJ. Trichomonas vaginalis: pathogenesis, symbiont
interactions, and host cell immune responses. Trends in parasitology,
2018;34(8):683-693
13. Hay P. Bacterial vaginosis. F1000Res, 2017;6:1761
14. Schwebke JR, Burgess D. Trichomoniasis. Clin Microbiol Rev, 2004;17(4):794-
803
15. Mascarenhas REM, Machado MSC, Costa e Silva BFB, et al. Prevalence and Risk
Factors for Bacterial Vaginosis and Other Vulvovaginitis in a Population of
Sexually Active Adolescents from Salvador, Bahia, Brazil. Infect Dis Obstet
Gyecol, 2012;2012:378640
16. CDC. Bacterial vaginosis (BV) statistics. Updated: Dec, 2015. Available from:
https://www.cdc.gov/std/bv/stats.htm
17. Goncalves B, Ferreira C, Alves CT, et al. Vulvovaginal candidiasis: epidemiology,
microbiology and risk factors. Crit Rev Microbiol, 2016;42(6):905-927
18. Denning DW, Kneale M, Sobel JD, et al. Global burden of recurrent vulvovaginal
candidiasis: a systematic review. Lancet Inf Dis, 2018;18(11). DOI:
10.1016/S1473-3099(18)30103-8
19. CDC. Sexually Transmitted Disease Surveillance 2017. Available from:
https://www.cdc.gov/std/stats17/2017-STD-Surveillance-Report_CDC-clearance-
9.10.18.pdf
20. Patel EU, Gaydos CA, Packman ZR, et al. Prevalence and correlates of
trichomonas vaginalis infection among men and women in the united states. Clin
Infect Dis, 2018;67(2):211-217
21. McElligott, K. A. (2014). Mortality From Sexually Transmitted Diseases in
Reproductive-Aged Women: United States, 1999–2010. American Journal of
Public Health, 104(8), e101–e105. doi:10.2105/ajph.2014.302044

Anda mungkin juga menyukai