Anda di halaman 1dari 46

TINJAUAN PUSTAKA

1. INFEKSI ALAT KANDUNGAN

Pada wanita rongga perut langsung berhubungan dengan dunia


luar dengan perantaraan tractus genitalis. Bahwa jarang terjadi infeksi
rongga perut disebabkan karena:
a. Sifat bactericide dari vagina yang mempunyai pH rendah
b. Lendir yang kental dan liat pada kanalis servikalis yang menghalangi
naiknya kuman-kuman

Radang alat kandungan mungkin lebih sering terjadi di negara


tropis karena:
a. Hygiene belum sempurna
b. Perawatan persalinan dan abortus belum memenuhi persyaratan
c. Infeksi veneris belum terkendali

Tetapi dengan adanya antibiotika pada umumnya infeksi alat


kandungan berkurang. Infeksi alat kandungan dapat menurunkan fertilitas,
mempengaruhi keadaan umum dan menggangu kehidupan seks.

PEMBAGIAN
a. Infeksi rendah: dari vulva, vagina, cervix
b. Infeksi tinggi: dari uterus, tuba, ovarium, parametrium, peritoneum.
Golongan ini biasa disebut “pelvic inflammatory disease”.

Batas antara kedua golongan ini ialah ostium uteri internum. Infeksi
rendah tidak seberapa mempengaruhi keadaan umum dan kurang
berbahaya, sebaliknya infeksi tinggi sangat besar pengaruhnya pada
kesehatan karena dapat menimbulkan infertilitas, perlekatan-perlekatan,
malahan kematian dan sukar diobati.
Pada umumnya infeksi tinggi terjadi sekunder dari infeksi rendah
karena penjalaran ke atas. Pada infeksi tinggi, tubalah yang terkena dan
infeksi tuba dapat merambat ke ovarium dan peritoneum pelvis,

9
sedangkan uterus sendiri agak immun terhadap infeksi atau tidak
seberapa dipengaruhi infeksi. Pada infeksi alat kandungan gonococcus
masih merupakan penyebab yang terpenting.

1.1. INFEKSI RENDAH ALAT KANDUNGAN

1.1.1. VULVITIS

Definisi
Radang selaput lendir labia dan sekitarnya.

Gejala
 Perasaan panas dan nyeri terutama waktu kencing
 Leucorrhe yang sering disertai perasaan gatal hingga terjadi irritasi
oleh garukan
 Gangguan coitus
 Introitus dan labia menjadi merah dan bengkak dan sering tertutup
oleh sekret.

Sebab
 Hygiene yang kurang seperti pada wanita yang gemuk dan tua
 Gonococcus
 Candida albicans
 Trichomonas
 Oxyuris
 Pediculi pubis
 Diabetes
 Vulvitis dapat juga terjadi sekunder terhadap leucorrhoe dan fistel
tractus genitalis
Bentuk-bentuk yang terjadi
 Diphteri: hanya terjadi pada anak-anak dan terbentuk pseudomembran
putih
 Pada beberapa macam infeksi kadang-kadang thypus dan lain-lain
 Vulva aphtosa
 Gangren vulva
 Herpes genitalis: menyebabkan nyeri

10
Ulcus pada vulva
 Ulcus tuberculosum
 Ulcus vulva acutum (Lipschutz) pada orang-orang yang sakit keras
dengan demam yang tinggi. Ulcus yang nyeri dengan dasar yang
kuning.
 Ulcus lueticum
 Ulcus molle
 Ulcus varicosum

Penyulit vulvitis
 Bartholinitis:
Biasanya oleh gonococcus tapi dapat juga disebabkan oleh kuman
biasa. Terjadi pembengkakan pada labium majus. Dapat menjadi
abses.
 Condylomata acuminata:
Tumor-tumor bersifat kutil yang runcing. Biasanya akibat flour.

Terapi
Terapi yang paling baik ialah terapi causal. Misalnya pada infeksi
oleh kuman-kuman dapat diberikan salep yang mengandung antibiotika,
antimycotika sering dengan cortison. Trichomonas dapat diobati dengan
derivat imidazol, oxyuriasis dengan piperazin, pediculi dengan DDT.
Pada anak-anak kita selalu harus ingat akan vulvitis gonorrhoica
pada orang dewasa kemungkinan diabetes selalu harus dipertimbangkan.
Secara umum dapat diberikan zitbad.
Bartholini absces harus diinsisi dan diberi antibiotika. Condyloma
acuminata dapat dihilangkan dengan electrokouagulasi.

1.1.2. KOLPITIS (VAGINITIS)

Predisposisi

11
Vagina dilindungi terhadap infeksi oleh pH yang rendah di dalam
vagina yang disebabkan oleh adanya bacil Doderlein. Beberapa keadaan
dapat memudahkan infeksi:
1. Coitus terutama kalau smegma preputium mengandung kuman-
kuman.
2. Tampon dalam vagina misalnya untuk menampung darah haid.
3. Hygiene yang kurang
4. Atrofi epitel vagina pada masa senil di mana epitel vagina kurang
mengandung glycogen dan menjadi tipis.
5. Corpus Allienum: terutama pada anak-anak tetapi juga alat-alat
perangsang sex pada orang dewasa.

Gejala
 Leucorrhea yang kadang-kadang berbau (anyir)
 Perasaan panas atau pedih pada vagina
 Perasaan gatal pada vulva dan vulvitis sekunder

Diagnosa
Diagnosis vaginitis umumnya memerlukan pemeriksaan mikroskopik
cairan vagina.

1.1.3. VAGINOSIS BAKTERIAL (VAGINITIS NONSPESIFIK)

Definisi
Vaginosis bakterial adalah penyebab vaginitis paling biasa.
Umumnya tidak dianggap sebagai penyakit menular seksual. Tidak ada
penyebab infeksi tunggal tetapi lebih merupakan pergeseran komposisi
flora vagina normal dengan peningkatan bakteri anaerobik sampai
sepuluh kali dan kenaikan dalam konsentrasi Gardneralla vaginalis. Dalam
waktu yang bersamaan terjadi penurunan konsentrasi laktobasili.

12
VB dapat meningkatkan terkenanya dan penularan HIV,
meningkatkan risiko PID dan lebih sering dijumpai pada pemakai AKDR
dibanding kontrasepsi lain.

Keluhan dan gejala


Ciri-ciri keputihan VB adalah tipis, homogen, warna putih abu-abu
dan berbau amis. Keputihannya bisa banyak sekali dan pada pemeriksaan
spekulum lengket didinding vagina. Pruritus atau iritasi vulva dan vagina
jarang terjadi.

Diagnosis
 Identifikasi mikroskopik sel-sel clue pada usapan basah.
 pH cairan vagina sama atau lebih dari 4,5
 Uji whiff (+) yang berarti keluar bau seperti anyir pada waktu
ditambahkan KOH 10% sampai 20% pada cairan vagina
 Eritema vagina jarang

Terapi
 Metronidazol 500 mg peroral 2 x sehari selama 7 hari
 Metronidazol per vagina 2 x sehari selama 5 hari
 Krim klindamisin 2% per vagina 1 x sehari selama 7

1.1.4. TRIKOMONAS

Definisi
Infeksi trikomonas adalah infeksi oleh protozoa Trichomonas
vaginalis yang ditularkan secara seksual. Trikomonas mampun bertahan
dan hidup dalam handuk basah atau permukaan lain. Masa inkubasinya
berkisar 4 sampai 28 hari.

Keluhan dan gejala


Keluhan dan gejala bisa sangat bervariasi. Klasik cairan vagina
berbuih, tipis, berbau tidak enak dan banyak. Warnanya bisa abu-abu atau

13
kuning kehijauan. Mungkin ada eritema atau edema vulva dan vagina.
Mungkin serviks juga tampak eritematous dan rapuh.

Diagnosis
 Preparat kaca basah memperlihatkan protozoon fusiformis uniseluler
yang sedikit lebih besar dari sel darah putih. Ia mempunyai flagela dan
dalam spesimen dapat dilihat gerakannya. Biasanya ada banyak sel
radang.
 Cairan vagina mempunyai pH 5,0 sampai 7,0
 Pasien yang terinfeksi tapi tidak ada keluhan mungkin diketahui
terinfeksi dengan ditemukkannya Trikomonas pada usapan Pap smear.

Terapi
 Metronidazol 2 g per oral (dosis tunggal)
 Pasangan seks sebaiknya di obati juga.

1.1.5. KANDIDA

Etiologi
Vaginitis kandida bukan infeksi menular eksual karena Candida
merupakan penghuni vagina normal. Candida albicans menjadi patogen
pada 80% sampai 95% kasus kandidiasis vulvovaginalis dan sisanya
adalah C. Glabrata dan C. Tropicalis.

Faktor risiko
Faktor risiko infeksi meliputi imunosupresi, diabetes melitus,
perubahan hormonal (misal kehamilan), terapi antibiotika spektrum luas
dan obesitas.

14
Keluhan dan gejala
Beratnya keluhan tidak ada hubungannya dengan jumlah
organisme. Keluhan yang menonjol adalah pruritus, seringkali disertai
iritasi vagina, disuria, atau keduanya. Cairan vagina klasik berwarna putih
seperti susu yang menjendal dan tidak berbau. Pemeriksaan spekulum
seringkali memperlihatkan eritema dinding vulva dan vagina kadang-
kadang dengan plak yang menempel.

Diagnosis
Pada preparat KOH cairan vagina menunjukkan hifa dan kuncup
(larutan KOH 10% sampai 20% menyebabkan lisis sel darah merah dan
putih sehingga mempermudah identifikasi jamur). Mungkin diperlukan
untuk melihat banyak lapang pandang agar dapat menemukan patogen.
Preparat KOH negatif tidak mengesampingkan infeksi. Pasien dapat
diterapi berdasarkan gambaran klinis. Dapat dibuat biakan dan hasilnya
bisa diperoleh dalam waktu 24 sampai 72 jam.

Terapi
Topikal imidasol atau triasol seperti mikonazol, klotrimasol,
butokonasol, atau terjonasol. Obat ini dapat diresepkan sebagai krim,
supositoria atau keduanya. Lama pengobatan tergantung obat yang
dipilih. Dosis tunggal flukonasol 150 mg per oral mempunyai tingkat
kemanjuran tinggi.

1.1.6. SERVISITIS

Radang pada serviks uteri ditandai oleh peradangan berat mukosa


dan submukosa serviks. Secara histologik dapat dilihat infiltrasi sel-sel
perdangan akut dan kadang-kadang nekrosis sel-sel epitel. Patogen

15
utama servisitis mukopurulen adalah C. Trakomatis dan Nesseria
gonnorrhoeae, keduanya ditularkan secara seksual. Diagnosis dapat
ditegakkan dengan pengecatan Gram.

1.1.7. KLAMIDIA TRAKHOMATIS

Faktor risiko
Merupakan organisme yang paling sering ditularkan secara
seksual. Faktor risikonya antara lain meliputi umur dibawah 25 tahun dan
aktif secara seksual, status sosial ekonomi rendah, pasangan seksual
banyak dan status tidak kawin.

Etiologi
Mikrobiologi C. Trachomatis adalah organisme intraseluler obligate
yang lebih menyukai menginfeksi sel-sel skuamokolumner pada zona
transisi serviks.

Keluhan dan gejala


Infeksi klamidia tidak menimbulkan keluhan pada 30% sampai 50%
kasus dan dapat menetap selama beberapa tahun. Pasien dengan
servisitis mungkin mengeluh keluar cairan vagina, bercak darah atau
perdarahan pasca senggama. Pada pemeriksaan serviks mungkin tampak
erosi dan rapuh. Mungkin ada cairan mukopurulen berwarna kuning-hijau.
Pengecatan Gram memperlihatkan lebih dari 10 lekosit PMN per lapang
pandang dengan pencelupan minyak.

Diagnosis
Biakan adalah yang paling optimal tetapi cara ini memakan waktu,
memerlukan keterampilan teknis tinggi dan fasilitas memadai.

Terapi

16
Rekomendasi terapi dari Center for Disease Control and Prevention
(CDC)
 Azitromisin 1 g per oral (dosis tunggal) atau
 Doksisiklin 100 mg per oral 2 x sehari selama 7 hari

Terapi alternatif
 Eritromisin basa 500 mg per oral 4 x sehari selama 7 hari
 Eritromisin etilsuksinat 800 mg 4 x sehari selama 7 hari
 Ofloksasin 300 mg per oral 2 x sehari selama 7 hari
 Levofloksasin 500 mg per oral 1 x sehari selama 7 hari

1.1.8. GONOREA

Etiologi
Mikrobiologi N. Gonorrhoeae adalah diplokokus gram negatif yang
menginfeksi epitel kolumner atau pseudostartified. Oleh karena itu, traktus
urogenitalis merupakan tempat infeksi yang biasa. Faktor risiko pada
dasarnya sama dengan untuk servisitis Klamidia.

Keluhan dan Gejala


Seperti infeksi Klamidia biasanya tidak ada keluhan, tetapi mungkin
mereka datang dengan keluhan cairan vagina, disuria atau perdarahan
uterus abnormal.

Diagnosis
Biakan dengan medium selektif merupakan uji terbaik untuk
Gonorea. Lidi kapas steril dimasukkan kedalam kanal endoserviks selama
15 sampai 30 detik kemudian spesimen diusap pada medium. Diagnosis
ditegakkan jika pada pengecatan Gram terlihat diplokoki intraselluler tetapi
sensitivitasnya hanya sekitar 60%.

17
Terapi
Menurut CDC
 Seftriakson 125 mg i.m. (dosis tunggal)
 Sefiksim 400 mg oral (dosis tunggal)
 Siprofloksasin 500 mg per oral (dosis tunggal)
 Ofloksasin 400 mg per oral (dosis tunggal)
 Levofloksasin 250 mg per oral (dosis tunggal)

1.2. INFEKSI TINGGI ALAT KANDUNGAN

Yang termasuk disini adalah:


 Endometritis
 Metritis
 Parametritis
 Salpingitis
 Oophoritis
 Pelveoperitonitis

Radang tinggi biasanya disebabkan karena naiknya infeksi yang tadinya


bersarang pada tractus genitalis bagian bawah. Yang paling sering
terkena adalah tuba yang kemudian merambat ke ovaria atau ke
peritoneum panggul kecil. Uterus sendiri biasanya resisten terhadap
infeksi.

Pembagiannya adalah:
a. Radang akut
Disebabkan oleh:
 Gonorea
 Kuman lain seperti Streptococcus aerob maupun yang anaerob,
staphylococcus
b. Radang kronik

Naiknya infeksi dipermudah oleh:


1. Menstruasi (sering timbul setelah menstruasi)

18
2. Partus atau abortus
3. Operasi ginekologis (kuret)

Berturut-turut maka dapat terjadi:


 Endometritis
 Salpingitis, adnexitis yang dapat menimbulkan infertilitas atau
kehamilan ektopik
 Pelveoperitonitis dengan akibat perlekatan-perlekatan atau abses

1.2.1. ENDOMETRITIS

Definisi
Merupakan suatu infeksi pada endometrium / desidua yang dapat meluas
ke miometrium dan jaringan-jaringan parametrium serta merupakan
penyebab demam paling sering pada postpartum.

Klasifikasi
1. Berdasarkan populasi:
 Obstetric
 Nonobstetric

2. Berdasarkan kondisi patologis:


 Akut
Ditandai dengan adanya neutrofil pada kelenjar-kelenjar
endometrium. Agen penyebab tersering adalah Staphylococcus
aureus dan Streptococcus.
 Kronis
Ditandai dengan adanya sel plasma dan limfosit pada stroma
endometrium. Agen penyebab tersering adalah PID, tuberculosis,
dan chlamydia. Sering disertai ca serviks atau endometrium.

Epidemiologi
Insiden bervariasi tergantung pada proses presalinan dan populasi pasien.
 Pervaginam: 1-3%

19
 Cesar: 13-90% (bergantung pada faktor risiko lainnya dan ada
atau tidaknya antibiotik profilaksis sebelum prosedur)

Etiologi
 PID (pelvic inflamatory disease)
 Perluasan ascending infeksi dari lower genital tract
 Prosedur ginekologis invasif
 Infeksi (chlamydia, tuberculosis, bacterial vaginosis, dan intrauterine
device)
 Organisme penyebab yang umumnya ditemukan Ureaplasma
urealyticum, Peptostreptococcus, Gardnerella vaginalis, Bacteroides
bivius, and group B Streptococcus
 Chlamydia berhubungan dengan late-onset postpartum endometritis
 Enterokokus berhubungan dengan 25% wanita yang menerima
profilaksis Sefalosporin

Faktor risiko
 Wanita dalam usia reproduksi
 cesarean delivery
 long labor with multiple vaginal examinations
 extremes of patient age
 low socioeconomic status
 maternal anemia
 prolonged internal fetal monitoring
 prolonged surgery
 general anesthesia

Manifestasi klinis
 Demam
 Lower abdominal pain
 Foul-smelling lochia (sekret vagina yang berlangsung pada minggu
pertama atau kedua setelah persalinan) in the obstetric population
 Abnormal vaginal bleeding
 Abnormal vaginal discharge
 Dyspareunia (dapat terjadi pada pasien dengan PID)
 Dysuria (dapat terjadi pada pasien dengan PID)
 Malaise

Pemeriksaan fisik

20
 Demam, biasanya terjadi dalam 36 jam postpartum pada obstetric
population
 Lower abdominal pain
 Uterine tenderness
 Adnexal tenderness jika berhubungan dengan salpingitis
 Foul-smelling lochia
 Tachycardia

Pemeriksaan Lab
 CBC: leukositosis
 Blood culture (+) pada 10-30% kasus
 Kulture urin
 Kultur endocerviks (DNA probe) untuk mengidentifikasi gonorrhea dan
Chlamydia
 Kultur spesimen endometrium untuk mengidentifikasi kontaminasi dari
flora normal cervikovaginal

Pemeriksaan penunjang
 Imaging pada pasien yang tidak memberikan respon terhadap terapi
antimikroba dalam 48-72 jam
 CT scanning pada abdomen dan pelvis dapat membantu untuk
mengeklusi broad ligament masses, septic pelvic thrombophlebitis,
ovarian vein thrombosis, and phlegmon.
 USG pada abdomen dan pelvis memberikan gambaran normal pada
pasien endometritis
 Biopsi endometrium, dapat digunakan untuk menilai endometritis
kronik pada nonobstetric population.

21
Patofisiologi

ascending infection
PID (pelvic Prosedur ginekologis
from the lower genital
inflamatory disease) invasif
tract

Infeksi pada
endometrium

Meluas ke
myometrium and
parametrial tissues

Demam
Lower abdominal
pain
Foul-smelling lochia
Abnormal vaginal
bleeding
Abnormal vaginal
discharge
Dysuria
Malaise
Dyspareunia

Differential diagnosis
1. Appendicitis
 Merupakan peradangan pada appendiks
 Nyeri abdomen
 Nyeri periumbilical atau epigastric yang menyebar ke kuadran
kanan bawah abdomen
 Mual, muntah, anoreksia
 Tenderness pada palpasi titik McBurney

22
2. Pelvic Inflammatory Disease
 Merupakan suatu inflamasi uterus, tuba fallopi, dan struktur pelvis
lainnya
 Gejala bervariasi mulai dari nyeri abdomen bawah sampai dysuria
 75% terdapat Abnormal vaginal discharge
 40% terdapat Unanticipated vaginal bleeding
 Demam, mual, muntah
 WBC pada pemeriksaan mikroskopik sekresi vagina
 LED ↑
 CRP ↑

Penatalaksanaan
Antibiotik:
Setelah terdiagnosis dilakukan pemberian antibiotik broad-spectrum, 90%
membaik dalam 48-72 jam. Pada kasus yang tidak terlalu parah dapat
diberikan secara oral. Terapi kombinasi dengan clindamycin dan
aminoglycoside (gentamicin) merupakan terapi standar. Kombinasi
ampicillin, gentamicin, dan metronidazole digunakan pada serious pelvic
infections. Doxycycline digunakan bila penyebab endometritis adalah
Chlamydia. Ampicillin sulbactam dapat digunakan pada monoterapi.
Single-agent therapies diketahui efektif pada 80-90% pasien

Dosis:
 Clindamycin (Cleocin)
Dewasa : 900 mg IV q8h
Anak-anak : 20-40 mg/kg/d IV divided q6-8h
 Gentamicin (Gentacidin, Garamycin)
Dewasa : 1.5 mg/kg IV q8h
Anak-anak : 2-2.5 mg/kg/d IV q8h

 Ampicillin (Omnipen, Marcillin)


Dewasa : 2 g IV q6h
Anak-anak : 50-200 mg/kg/d IV divided qid
 Metronidazole (Flagyl)
Dewasa : 500 mg IV q6h
Anak-anak : 15-30 mg/kg/d IV divided bid/tid
 Ampicillin/sulbactam sodium (Unasyn)
Dewasa : 3 g IV q6h
Anak-anak : 1.5-3 g IV q8h

23
 Doxycycline (Bio-Tab, Doryx, Vibramycin)
Dewasa : 100 mg PO/IV q12h
Anak-anak : <8 years: tidak disarankan
>8 years: 1-2 mg/lb PO/IV q12h
 Ertapenem (Invanz)
Dewasa : 1 g qd for 14 d if given IV and 7 d if given IM; infuse over
30 min if given IV
Anak-anak : tidak disarankan

Prognosis
90% pasien dengan terapi yang tepat menunjukan perbaikan dalam waktu
48-72 jam.

Komplikasi
 Puerperal morbidity, dalam 2-10 hari postpartum temperatur tubuh
mencapai 100,4 °F (38°C) atau lebih terutama bila dalam 24 jam
pertama postpartum.
 Maternal mortality
 70-90% kasus menyebabkan salpingitis
 Peritonitis
 Adnexal infection
 Parametrial phlegmon
 Pelvic abscess
 Pelvic hematoma
 Septic pelvic thrombophlebitis

1.2.2. PELVIC INFLAMMATORY DISEASE

Definisi
Penyakit radang panggul atau pelvic inflammatory disease (PID)
adalah infeksi pada alat genital atas. PID merujuk pada istilah umum
untuk infeksi akut, subakut, rekuren, atau kronik pada tuba fallopi dan
ovarium, seringkali melibatkan jaringan sekitar. Proses penyakitnya dapat
meliputi endometrium, tuba fallopi, ovarium, miometrium, parametria, dan
peritonium panggul. Sebagian besar infeksi yang didapatkan di praktik
klinis adalah bakteri, akan tetapi infeksi virus, fungi, dan parasit.

24
Terminologi PID tidak jelas dan seharusnya diganti dengan istilah yang
lebih spesifik. Hal ini harus meliputi identifikasi organ yang terkena, derajat
infeksi, dan jika memungkinkan, agen kausatif. Spesifitas ini terutama
penting untuk mengetahui peningkatan insidensi venereal disease
(penyakit menular seksual) dan komplikasinya.
PID adalah infeksi paling penting dan merupakan komplikasi infeksi
menular seksual yang paling biasa. Oleh karena infeksi pelvis merupakan
kejadian yang umum dan seringkali mengakibatkan dampak yang serius,
maka infeksi adalah salah satu di antara sekian masalah paling penting
yang dihadapi dalam praktik ginekologi. Berbagai jenis infeksi pelvis, mulai
dari gonococcal salpingo-oophoritis tanpa komplikasi, hingga ke
septicemic shock yang diikuti dengan ruptur abses pelvis, merupakan
masalah yang akan dihadapi oleh dokter umum dan juga spesialis
ginekologi.

Epidemiologi
Secara epidemiologik di Indonesia insidensinya diekstrapolasikan
sebesar lebih dari 850.000 kasus baru setiap tahun. PID merupakan
infeksi serius yang paling biasa pada perempuan umur 16 sampai 25.
Ada kenaikan insidensi PID dalam 2 sampai 3 dekade yang lalu,
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain adat istiadat sosial yang
lebih liberal, insidensi patogen menular seksual seperti C. trachomatis,
dan pemakaian metode kontrasepsi bukan rintangan yang lebih luas
seperti alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR).
Kurang lebih 15% kasus PID terjadi setelah tindakan seperti biopsi
endometrium, kuretase, histeroskopi, dan insersi AKDR. Delapan puluh
lima persen kasus terjadi infeksi spontan pada perempuan usia reproduksi
yang secara seksual aktif.

Patofisiologi dan mikrobiologi

25
Seperti endometritis, PID disebabkan oleh penyebaran infeksi
melalui serviks. Meskipun PID terkait dengan infeksi menular seksual alat
genital bawah tetapi prosesnya polimikrobial.
Salah satu teori patofisiologi adalah bahwa organisme menular
seksual seperti N. gonorrhoeae atau C. trachomatis memulai proses
inflamasi akut yang menyebabkan kerusakan jaringan sehingga
memungkinkan akses oleh organisme lain dari vagina atau serviks ke alat
genital atas.
Aliran darah menstruasi dapat mempermudah infeksi pada alat
genital atas dengan menghilangkan sumbat lendir serviks, menyebabkan
hilangnya lapisan endometrium dan efek protektifnya serta menyediakan
medium biakan yang baik untuk bakteri yaitu darah menstruasi. Biakan
endoserviks yang positif untuk patogen tertentu tidak selalu ada kaitannya
dengan biakan intraabdominal yang positif.
Isolat yang diperoleh langsung dari alat genital atas meliputi
pelbagai macam bakteria, termasuk C. trachomatis, N. gonorrhoeae, dan
banyak bakteria aerobik dan anaerobik lainnya.
Pencegahan lebih ditekankan pada terapi agresif terhadap infeksi
alat genital bawah dan terapi agresif dini terhadap infeksi alat genital atas.
Ini akan mengurangi insidensi akibat buruk jangka panjang. Terapi
pasangan seks dan pendidikan penting untuk mengurangi angka kejadian
kekambuhan infeksi.
Baik penelitian klinis maupun laboratoris telah menunjukan bahwa
pemakaian kontrasepsi mengubah risiko relatif terjadinya PID. Metode
kontrasepsi mekanis memberikan obstruksi mekanis maupun rintangan
kimiawi. Bahan kimia yang dipakai sebagai spermisida bersifat letal baik
untuk bakteria maupu virus.
Ada hubungan antara pemakaian kontrasepsi pil dengan insidensi
PID yang lebih rendah dan perjalanan infeksi yang lebih ringan kalu terjadi
infeksi. Efek protektifnya tidak jelas, tetapi mungkin terkait dengan
perubahan pada konsistensi lendir serviks, menstruasi yang lebih pendek,
atau atropi endometrium.

26
Klasifikasi
Di bawah ini adalah klasifikasi umum dari infeksi pelvis
berdasarkan angka kejadiannya:
1. Pelvic inflammatory disease
a. Salpingitis akut
i. Gonococcal
ii. Non-gonococcal
b. Selulitis pelvis yang berhubungan dengan IUD
c. Tubo-ovarian abscess
d. Abses pelvis
2. Infeksi puerperal
a. Seksio cesarean (umum)
b. Persalinan vaginal (jarang)
3. Post-operasi ginekologi
a. Cuff-cellulitis dan parametritis
b. Vaginal cuff abscess
c. Tubo-ovarian abscess

4. Infeksi yang berkaitan dengan abortus


a. Post-abortal cellulitis
b. Incomplete septic abortion
5. Sekunder dari infeksi lainnya
a. Appendicitis
b. Diverticulitis
c. Tuberculosis

Tiga jalur penyebaran mikroorganisme pada infeksi pelvis


diilustrasikan di gambar 2.1, 2.2, dan 2.3. Penyebaran melalui jalur limfatik
(gambar 2.2), dicirikan oleh postpartum, postabortal, dan infeksi yang
berhubungan dengan IUD, mengakibatkan extraperitoneal parametrial

27
cellulitis. Pada gambar 2.1, diilustrasikan penyebaran mikroorganisme
endometrial-endosalpingeal-peritoneal; penyebaran ini mewakili bentuk
umum dari non-puerperal PID, di mana bakteri patogenik mendapatkan
akses ke dinding tuba fallopi, dengan akibat inflamasi purulen dan pus
keluar ke cavum peritonium melalui ostium tuba. Contoh dari infeksi ini
adalah endometritis, infeksi adneksa, dan peritonitis. Pada kasus yang
jarang, terdapat penyakit tertentu (misalnya tuberkulosis) yang bisa
mendapatkan akses ke dalam struktur pelvis melalui jalur hematogen
(gambar 2.3).

Gambar 2.1. Penyebaran intra-abdominal dari gonorrhea dan bakteri


patogen lainnya.

28
Gambar 2.2. Penyebaran limfatik pada infeksi bakteri.

Gambar 2.3. Penyebaran hematogen pada infeksi bakteri.

FAKTOR RISIKO
 Riwayat PID sebelumnya.

29
 Banyak pasangan seks, didefinisikan sebagai lebih dari dua pasangan
dalam waktu 30 hari, sedangkan pasangan monogami serial tidak
didapatkan risiko yang meningkat.
 Infeksi oleh organisme menular seksual, dan sekitar 15% pasien
dengan gonorea anogenital tanpa komplikasi akan berkembang
menjadi PID pada akhir atau segera sesudah menstruasi.
 Pemakaian AKDR dapat meningkatkan risiko PID tiga sampai lima kali.
Risiko PID terbesar terjadi pada waktu pemasangan AKDR dan dalam
waktu 3 minggu pertama setelah pemasangan.

AKIBAT BURUK
Sekitar 25% pasien PID mengalami akibat buruk jangka panjang.
Infertilitas terjadi sampai 20%. perempuan dengan riwayat PID
mempunyai 6 sampai 10 kali lebih tinggi risiko kehamilan ektopik. Telah
dilaporkan terjadinya nyeri panggul kronik dan dispareunia.
Sindroma Fitz-Hugh-Curtis adalah terjadinya perlengketan fibrosa
perihepatik akibat proses peradangan PID. Ini dapat menyebabkan nyeri
akut dan nyeri tekan kuadran kanan atas.

1.2.3. ACUTE SALPINGITIS-PERITONITIS

Umumnya, pada infeksi pelvis terdapat onset akut, yang seringkali


berhubungan dengan invasi N. gonorrhoeae dan melibatkan uterus, tuba,
dan ovarium, dengan berbagai derajat peritonitis. Pada stadium akut,
terdapat kemerahan dan edema tuba dan ovarium dengan cairan purulen
mengalir dari ostium tuba.

Diagnosis
A. Kriteria diagnosis
Nyeri lower abdominal dan nyeri pelvis, biasanya saat onset atau
selesai mens dan berhubungan dengan vaginal discharge, serta nyeri

30
tekan pada abdominal, uterine, adneksa, dan pergerakan cervix,
ditambah satu atau lebih kriteria berikut ini:
1. Suhu >38,3°C (101°F).
2. Leukosit >10.000/µL atau peningkatan C-reactive protein.
3. Massa inflamasi (pada pemeriksaan fisik atau sonografi).
4. Ditemukan gram-negative intacellular diplococci pada sekresi
cervix.
5. Material purulen (WBC) dari cavum peritoneal (pada pemeriksaan
culdocentesis atau laparoscopy).
6. Peningkatan LED.

B. Gejala dan tanda


Onset perlahan (insidious) atau akut pada nyeri lower abdominal
dan nyeri pelvis, biasanya bilateral dan kadang-kadang unilateral.
Mungkin terdapat sensasi pelvis tertekan, dengan nyeri punggung
menjalar ke bawah, ke salah satu atau kedua kaki. Pada sebagian
besar kasus, gejala muncul segera setelah onset atau selesai mens.
Seringkali keluar cairan purulen dari vagina.
Dapat muncul gejala nausea, dengan atau tanpa muntah, tapi
gejala ini mungkin merupakan indikasi masalah yang lebih serius
(misalnya appendicitis akut). Sakit kepala dan keadaan umum yang
lemah adalah keluhan tersering.
Demam tidak perlu ada dalam diagnosis salpingitis akut,
walaupun tidak adanya demam mengindikasikan penyakit lain,
terutama kehamilan ektopik. Pada sebuah penelitian, gejala demam
hanya terdapat pada 30% perempuan dengan salpingitis akut yang
telah dikonfirmasi melalui laparoskopi.
Nyeri tekan abdominal sering terjadi, biasanya pada kedua
kuadran bawah. Abdomen mungkin dapat terlihat distended, dan suara
bising usus mungkin hipoaktif atau tidak ada. Pemeriksaan pelvis
dapat menunjukkan inflamasi periuretra (Skene) atau kelenjar
Bartholine, dan juga cairan purulen yang keluar dari cervix.

31
Pemeriksaan bimanual secara khusus akan menghasilkan nyeri yang
ekstrim pada pergerakan cervix dan uterus, dan pada palpasi
parametrium.

C. Laboratorium
Biasanya terdapat leukositosis dengan shift to the left; akan tetapi,
WBC mungkin bisa saja normal. Hapusan yang berasan dari material
cervical yang purulen dapat menunjukkan gram-negative diplococci
berbentuk seperti ginjal pada leukosit polimorfonuklear. Organisme ini
mungkin bisa berupa bakteri gonococci, tapi dianjurkan untuk
dilakukan kultur definitif pada media tertentu. Produksi penicilinase
juga harus dikonfirmasi.

D. Radiologi
Pemeriksaan abdomen dengan sinar-X mungkin menunjukkan tanda
ileus, tapi penemuan ini tidak spesifik. Udara mungkin terlihat di bawah
diafragma dengan abses tuba-ovarian atau abses pelvis yang telah
ruptur, dan membutuhkan laparotomi segera ditambah dengan
kombinasi terapi antimikroba.

E. Ultrasound
Berkat penemuan transvaginal sonography, sekarang saluran
reproduksi perempuan dapat divisualisasikan di atas tempat tidur.
Marker untuk PID akut dan kronik dapat dibedakan. Pembentukan
septa (septation) tidak sempurna pada dinding tuba (cogwheel sign)
adalah marker untuk penyakit akut, dan dinding yang tipis (beaded
string) mengindikasikan penyakit kronik. Penebalan ditemukan di
daerah pelvis selama proses inflamasi. Jika diagnosis ultrasound
dibandingkan dengan diagnosis laparoskopi, maka ultrasound memiliki
tingkat keakuratan sebesar 90%. Ultrasonography adalah yang paling
bernilai dalam mengikuti progresi atau regresi abses setelah
didiagnosa. Batas abses mengikuti bentuk dari struktur pelvis di

32
sekitarnya dan hal tersebut tidak memberikan batas yang jelas seperti
pada kista ovarium.

F. Culdocentesis
Culdocentesis (cul-de-sac tap) dapat membantu diagnosis suspek
infeksi pelvis. Kondisi lainnya yang dapat mensimulasi infeksi dapat
ditentukan dengan prosedur yang sederhana ini. Kantong rectouterine
(cavum Douglas) dipungsi dengan jarum spinal panjang untuk
mendapatkan sampel dari isi cavum peritoneum melalui dinding vagina
yang sebelumnya didesinfeksi dengan povidone-iodine atau agen yang
sejenis. Culdocentesis mudah untuk dikerjakan dan dapat dilakukan
dengan atau tanpa anesthesia lokal, baik di RS ataupun di tempat
praktik klinik. Culdocentesis diindikasikan apabila material peritoneum
dibutuhkan untuk diagnosis. Culdocentesis pada umumnya merupakan
produktif dari “reaction fluid” (cloudy peritoneal fluid), di mana apabila
diwarnai, akan menunjukkan leukosit dengan atau tanpa gonococci
atau organisme lainnya. Mungkin, dapat juga dilakukan kultur dan test
sensitivitas organisme aerobic dan anaerobic yang didapatkan dari
sampel culdocentesis. Kontraindikasi culdocentesis meliputi massa
cul-de-sac atau uterus retrofleksi yang menetap. Berikut ini adalah
evaluasi banding dari cairan yang didapatkan melalui culdocentesis:

Penemuan Implikasi diagnosis

Darah  Ruptur kehamilan ektopik


 Hemorrhage yang berasal dari kista korpus luteum
 Menstruasi retrograde
 Ruptur limpa atau liver
 Perdarahan gastrointestinal
 Salpingitis akut
Pus  Ruptur tubo-ovarian abscess
 Ruptur appendix atau viscus
 Ruptur diverticular abscess
 Abses uterus dengan myoma

33
Cloudy  Peritonitis pelvis (seperti yang terlihat pada
salpingitis gonococcal akut)
 Twisted adnexal cyst
 Penyebab lain dari peritonitis: appendicitis,
pancreatitis, cholecystitis, ulkus perforasi,
carcinomatosis, dan echinococcosis.

Diagnosa banding
Salpingitis akut harus dibedakan dengan appendicitis akut, kehamilan
ektopik, ruptur kista korpus luteum dengan hemorrhage, diverticulitis,
infected septic abortion, torsio massa adneksa, degenerasi leiomyoma,
endometriosis, infeksi saluran kencing akut, regional enteritis, dan
ulcerative colitis.

Komplikasi
Komplikasi salpingitis akut meliputi peritonitis pelvis atau generalized
peritonitis, prolonged adynamic ileus, cellulitis pelvis yang parah dengan
thrombophlebitis,formasi abses (pyosalpinx, tubo-ovarian abscess, cul-de-
sac abscess) dengan kerusakan adneksa dan kemudian infertil, serta
adhesi dan obstruksi intestin. Kadang-kadang, dapat terjadi dermatitis,
gomococcal arthritis, atau bakteremia dengan septic shock.

Pencegahan
Sekitar 15% perempuan dengan infeksi gonococcal cervix yang
asymptomatic berkembang menjadi salpingitis akut. Oleh karena itu,
deteksi dan terapi untuk perempuan tersebut beserta pasangan seksual
mereka seharusnya dapat mencegah jumlah substansial dari kasus infeksi
gonococcal pelvis. Diagnosis dini dan eradikasi penyakit yang hanya
menimbulkan sedikit gejala (cervicitis, urethritis) biasanya juga dapat
mencegah salpingitis.

Terapi
Seperti pada sebagian besar infeksi pelvis pada permpuan, agen
etiologi mikroba belum dapat diketahui saat didiagnosa, dan karena

34
berbagai bakteri patogen dapat menyebabkan infeksi pelvis, terapi empiris
diberikan sesegera mungkin saat ditegakkan diagnosa presumtif. Perlu
juga untuk diingat bahwa hasil kultur yang negatif tidak menyingkirkan
penyakit saluran reproduksi atas.
Mayoritas perempuan yang menderita salpingitis-peritonitis akut
memiliki tingkat keparahan ringan sampai sedang dan biasanya
mempunyai respon baik terhadap terapi antibiotik rawat jalan. Sedangkan,
rawat inap biasanya diperlukan untuk perempuan dengan penyakit yang
lebih berat dan juga untuk perempuan yang diagnosis pastinya masih
belum yakin. Anak prepubertas dan perempuan hamil dengan diagnosis
ini harus rawat inap untuk mendapatkan terapi, begitu pula dengan
perempuan yang dicurigai terdapat abses, tidak dapat mentoleransi terapi
oral rawat jalan, dan tidak berespon baik terhadap terapi rawat jalan.
Walaupun belum terbukti secara klinis bahwa terapi rawat inap
berhubungan dengan perbaikan fertilitas di masa mendatang, tapi untuk
mereka yang menginginkan fertilitas di masa mendatang, mungkin akan
mendapatkan keuntungan dari terapi rawat inap hanya jika alasannya
adalah permintaan pasien (compliance). Beberapa penulis percaya bahwa
semua perempuan dengan infeksi ini harus mendapatkan terapi rawat
inap.

A. Terapi rawat jalan


Perempuan dengan salpingitis akut dapat diberikan terapi rawat
jalan apabila suhunya kurang dari 39°C (102,2°F), kelainan pada
lower abdominal adalah minimal, dan pasien dalam keadaan tidak
“toxic” dan dapat minum obat oral. Perempuan tersebut dapat diterapi
dengan antibiotik, pelepasan IUD, analgesik, dan tirah baring (bedrest).
Regimen obat antibiotik yang direkomendasikan oleh CDC meliputi:

 REGIMEN 1
Ofloxacin 400 mg oral tiap 12 jam ATAU levofloxacin 500 mg oral, 1
kali sehari  selama 14 hari

35
DITAMBAH
clindamycin 450 mg oral tiap 6 jam ATAU metronidazole 500 mg
oral tiap 12 jam  selama 14 hari

ATAU

 REGIMEN 2
Ceftriaxone 250 mg IM ATAU golongan cephalosporin lain yang
ekuivalen (misalnya ceftizoxime atau cefotaxime) IM
DITAMBAH probenecid 1 g oral
DIIKUTI DENGAN doxycyclin 100 mg oral tiap 12 jam, dengan
ATAU tanpa metronidazole 500 mg tiap 12 jam  selama 14 hari

ATAU

 REGIMEN 3
Cefoxitin 2 g IM
DITAMBAH probenecid 1 g oral
DIIKUTI DENGAN doxycyclin 100 mg oral tiap 12 jam, dengan
ATAU tanpa metronidazole 500 mg tiap 12 jam  selama 14 hari

Jika dalam 72 jam tidak ada respon yang baik terhadap terapi
rawat jalan, pasien harus segera dikirim ke rumah sakit untuk rawat
inap. Rujuk pasien ke kota atau dinas kesehatan atau klinik PMS untuk
contact surveillance. Semua pasangan seksual dari perempuan yang
menderita infeksi akut ini harus diperiksa ada tidaknya PMS dan
segera diterapi dengan regimen obat yang efektif untuk infeksi
uncomplicated gonococcal dan chlamydia.

36
B. Terapi rawat inap
Terapi rawat inap diperlukan untuk pasien dengan suhu lebih
dari 39°C (102,2°F), nyeri tekan rebound dan guarding pada kuadran
bawah, atau pasien yang tampak “toxic”. Rawat inap untuk pasien
tersebut diperlukan untuk menjalankan terapi dan mengawasi tanda-
tanda komplikasi atau deteriorasi. Pasien yang gagal terapi rawat jalan
harus dievaluasi untuk kecurigaan terhadap tubo-ovarian abscess.
Dalam terapi rawat inap, tindakan berikut ini harus dilaksanakan:
1. Tetap pertahankan bedrest.
2. Batasi makanan oral.
3. Berikan cairan intravena untuk memperbaiki dehidrasi dan asidosis.
4. Gunakan nasogastric suction jika terdapat distensi abdominal atau
ileus.
5. CDC merekomendasikan salah satu dari regimen obat berikut ini:

 REGIMEN 1
Doxycycline 100 mg IV atau oral tiap 12 jam
DITAMBAH
cefoxitin 2 g IV tiap 6 jam ATAU cefotetan 2 g IV tiap 12 jam
Minimal diberikan selama 24 jam setelah pasien menunjukkan
adanya perbaikan klinis
DIIKUTI DENGAN doxycycline 100 mg oral tiap 12 jam selama
14 hari

ATAU

 REGIMEN 2
Clindamycin 900 mg IV tiap 8 jam DITAMBAH gentamycin 2
mg/kgBB IV dan dilanjutkan 1,5 mg/kgBB IV tiap 8 jam (single

37
dose harian gentamycin dapat diganti)  diberikan pada
perempuan dengan fungsi ginjal normal
DIIKUTI DENGAN doxycycline 100 mg oral tiap 12 jam ATAU
clindamycin 450 mg oral tiap 6 jam  selama 14 hari

Insidensi infertilitas setelah episode pertama salpingitis


berkisar 12%. Karena insidensi infertilitas meningkat sejalan
dengan tingkat respon inflamasi, maka terapi broad-spectrum yang
intensif seharusnya mengurangi komplikasi. Jika terdapat
peningkatan kecurigaan terhadap tubo-ovarian abscess, regimen
yang menggunakan metronidazole dan clindamycin harus diberikan
ke pasien rawat inap dan untuk terapi lanjutan rawat jalan agar
meningkatkan cakupan bakteri anaerobic.

6. Eksplorasi laparotomi harus dikerjakan jika terdapat kecurigaan


klinis ruptur abses. Mayoritas spesialis ginekologi berhasil
melakukan linear salpingostomy, seperti yang dapat dilakukan pada
kehamilan ektopik, bila ditemukan pyosalpinx. Percutaneus
drainage dapat menghindari tindakan operasi.
7. Evaluasi terus-menerus oleh satu orang klinisi yang sama dan
berpengalaman merupakan hal yang paling penting untuk
mempertahankan akurasi dan kelanjutan observasi klinis.

Prognosis
Hasil akhir terapi yang sesuai dengan harapan, berhubungan
langsung dengan terapi dini (sesegera mungkin) yang adekuat.
Kemampuan dan kemauan pasien untuk berkerja sama dengan dokter
adalah penting untuk hasil terapi yang baik. Perawatan lanjutan (follow-up
care) dan edukasi perlu untuk mencegah infeksi berulang dan komplikasi.

2. LEUKOREA

38
Definisi
Leukorea (fluor albus/white discharge/keputihan/vaginal
discharge/duh tubuh vagina) adalah pengeluaran cairan dari alat genitalia
yang tidak berupa darah. Cairan ini dalam keadaan normal tidak sampai
keluar, sedangkan cairan yang keluar dari vagina tidak semua merupakan
keadaan yang patologis. Gardner menyatakan bahwa leukorea adalah
keluhan penderita berupa pengeluaran sekresi vulvovagina yang
bervariasi baik dalam jumlah, bau, maupun konsistensinya.
Kebanyakan duh tubuh vagina adalah normal. Akan tetapi, jika duh
tubuh yang keluar tidak seperti biasanya baik warna ataupun
penampakannya, atau keluhannya disertai dengan nyeri, kemugkinan itu
merupakan tanda adanya sesuatu yang salah. Duh tubuh vagina
merupakan kombinasi dari cairan dan sel yang secara berkelanjutan
melewati vagina. Fungsi dari duh tubuh vagina adalah untuk
membersihkan dan melindungi vagina.

Gambar 2.4. Leukorea dan asalnya

Etiologi
Etiologi leukorea sampai sekarang masih sangat bervariasi sehingga
disebut multifaktorial. Beberapa etiologi dari leukorea antara lain:
1. Non infeksi (noninfective)
 Fisiologis
 Polip servikal dan ektopi

39
 Benda asing seperti tampon yang tertinggal (retained tampon)
 Dermatitis vulva
 Lichen planus erosif
 Keganasan traktus genitalia (kanker servik,kanker uterus, kanker
ovarium)
 Fistula
2. Nonsexually transmitted infection
 Vaginosis bakteri, paling sering terjadi pada wanita seksual aktif
yang memiliki riwayat penyakit menular seksual berulang.
 Infeksi kandida, disebabkan oleh pertumbuhan berlebihan dari
candida albicans.

3. Sexually transmitted infection


 Chlamydia trachomatis
 Neisseria gonorrhoeae
 Trichomonas vaginalis

Gambar 2.5. Beberapa mikroorganisme penyebab keputihan


Epidemiologi
Penyebab tersering dari leukorea patologis pada wanita hamil
adalah vaginosis bakterial yang kejadiannya dua kali lebih sering dari
kandidiasis vaginal. 50% kasus vaginosis bakterial adalah asimtomatik
sehingga prevalensi yang sebenarnya masih belum diketahui. Penyebab
infeksi tersering adalah kandidiasis vulvovaginal yang menyerang sekitar
75% wanita selama masa reproduksi mereka.

40
Leukorea atau keputihan merupakan keluhan dari alat kandungan
yang banyak ditemukan di poliklinik KIA, Kebidanan dan Kulit Kelamin.
Frekuensi leukorea di bagian Ginekologi RSCM Jakarta adalah 2,2% dan
di RS Sutomo Surabaya adalah 5,3%.

Klasifikasi
1. Leukorea fisiologis
Leukorea fisiologis adalah cairan yang keluar dari vagina yang
bukan darah dengan sifat yang bermacam-macam baik warna, bau,
maupun jumlahnya. Leukorea fisiologis terdapat pada bayi yang baru lahir
sampai umur kira-kira 10 hari, karena pengaruh estrogen dari plasenta
terhadap uterus dan vagina janin; saat menars, karena pengaruh estrogen
dan biasanya akan hilang dengan sendirinya; rangsangan seksual
sebelum dan pada waktu koitus akibat transudasi dinding vagina; saat
ovulasi, berasal dari sekret kelenjar serviks uteri yang menjadi lebih encer;
saat kehamilan, mood (perasaan hati), stress; saat pemakaian kontrasepsi
hormonal; pembilasan vagina secara rutin.
Vagina merupakan organ berbentuk tabung yang panjangnya
berkisar antara 8-10 cm, berdinding tipis dan elastis yang ditutupi epitel
gepeng berlapis pada permukaan dalamnya. Lapisan epitel vagina tidak
mempunyai kelenjar dan folikel rambut, dinding depan dan dinding
belakang saling bersentuhan. Pada keadaan normal, cairan yang keluar
dari vagina wanita dewasa sebelum menopause terdiri dari epitel vagina,
cairan transudasi dari dinding vagina, sekresi dari endoserviks berupa
mukus, sekresi dari saluran yang lebih atas dalam jumlah yang bervariasi
serta mengandung berbagai mikroorganisme terutama laktobasilus
doderlein.
Basil doderlein mempunyai peranan yang sangat penting dalam
menjaga suasana vagina dengan menekan pertumbuhan mikroorganisme
patologis karena basil doderlein mempunyai kemampuan mengubah

41
glikogen dari epitel vagina yang terlepas menjadi asam laktat, sehingga
vagina tetap dalam keadaan asam dengan pH 3,0-4,5 pada wanita dalam
masa reproduksi. Suasana asam inilah yang mencegah tumbuhnya
mikroorganisme patologis.
Apabila terjadi suatu ketidakseimbangan suasana flora vagina yang
disebabkan oleh beberapa faktor maka terjadi penurunan fungsi basil
doderlein dengan berkurangnya jumlah glikogen karena fungsi proteksi
basil doderlein berkurang maka terjadi aktivitas dari mikroorganisme
patologis yang selama ini ditekan oleh flora normal vagina. Progresivitas
mikroorganisme patologis secara kinis akan memberikan suatu reaksi
inflamasi di daerah vagina. Sistem imun tubuh akan bekerja membantu
fungsi dari basil doderlein sehingga terjadi pengeluaran lekosit PMN maka
terjadilah leukorea.
Sekret vagina secara normal mengandung: sel epitel vagina,
terutama yang paling luar (superfisial) yang terkelupas dan dilepaskan ke
dalam rongga vagina; beberapa sel darah putih (leukosit). Bakteri-bakteri
yang normal terdapat dalam vagina antara lain basil doderlein yang
berbentuk batang-batang gram positif dan merupakan flora vagina yang
terbanyak, beberapa jenis kokus seperti streptokokus, stapilokokus, dan
eschericia coli.
leukorea normal bisa merupakan kombinasi hasil sekresi dari vulva,
vagina, tuba fallopi, uterus, dan serviks. Jumlah, konsistensi, dan warna
dari leukorea berubah-ubah sesuai dengan perubahan hormon di dalam
tubuh kita menurut siklus haid. Tabel di bawah ini menjelaskan leukorea
normal.

42
Tabel 2.1. leukorea berhubungan dengan siklus haid
2. Leukorea patologis
Leukorea patologis disebabkan oleh infeksi bakteri, jamur, parasit,
virus, benda asing, menopause, neoplasma/keganasan pada alat
genitalia, dan erosi. Infeksi oleh bakteri diantaranya gonokokkus, klamidia
trakomatis, gardnerella vaginalis, treponema pallidum. Leukorea patologis
oleh jamur biasanya disebabkan oleh spesies kandida, cairan yang keluar
dari vagina biasanya kental, berwarna putih susu, dan sering disertai rasa
gatal, vagina tampak kemerahan akibat peradangan. Etiologi terbanyak
leukorea karena parasit biasanya disebabkan trikomonas vaginalis. Cara
penularan penyakit ini melalui senggama, walaupun jarang dapat juga
ditularkan melalui perlengkapan mandi, seperti handuk atau bibir kloset.
Cairan yang keluar dari vagina biasanya banyak, berbuih, menyerupai air
sabun dan berbau. Leukorea oleh parasit ini tidak selalu gatal, tetapi
vagina tampak kemerahan dan timbul rasa nyeri bila ditekan atau perih
bila berkemih. Leukorea akibat infeksi virus sering disebabkan oleh
kondiloma akuminata dan herpes simpleks tipe 2. Cairan di vagina sering
berbau, tanpa rasa gatal.

43
Gambar 2.6. Berbagai jenis duh tubuh vagina (vaginal discharge)

Adanya benda asing seperti tertinggalnya kondom atau benda


tertentu yang dipakai pada waktu senggama, adanya cincin pesarium
yang digunakan wanita dengan prolapsus uteri dapat merangsang
pengeluaran cairan vagina yang berlebihan. Jika rangsangan ini
menimbulkan luka akan sangat mungkin terjadi infeksi penyerta dari flora
normal yang berada di dalam vagina sehingga timbul keputihan.
Kanker akan menyebabkan leukorea patologis akibat gangguan
pertumbuhan sel normal yang berlebihan sehingga menyebabkan sel
bertumbuh sangat cepat secara abnormal dan mudah rusak, akibatnya
terjadi pembusukan dan perdarahan akibat pecahnya pembuluh darah
yang bertambah untuk memberikan makanan dan oksigen pada sel
kanker tersebut. Pada keadaan seperti ini akan terjadi pengeluaran cairan
yang banyak disertai bau busuk akibat terjadinya proses pembusukan tadi
dan seringkali disertai oleh adanya darah yang tidak segar.
Leukorea pada menopause tidak semua patologis. Pada saat
menopause sel-sel pada serviks uteri dan vagina mengalami hambatan
dalam pematangan sel akibat tidak adanya hormon pemacu, yaitu
estrogen. Vagina menjadi kering dan lapisan sel menjadi tipis, kadar
glikogen menurun dan basil doderlein berkurang. Keadaan ini

44
memudahkan terjadinya infeksi karena tipisnya lapisan sel epitel sehingga
mudah menimbulkan luka dan akibatnya timbul leukorea.
Pada masa reproduksi wanita, umumnya epitel kolumnar
endoserviks lebih keluar ke arah porsio sehingga tampak bagian merah
mengelilingi ostium uteri internum. Bila daerah merah ini terkelupas akan
memudahkan terjadinya infeksi penyerta dari flora normal di vagina
sehingga timbul leukorea. Menurut Hamperl dan Kaufman (1959)
penyebab erosi ini tidak diketahui, kemungkinan terjadi akibat kenaikan
estrogen.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan dalam serta pemeriksaan laboratorium.

A. Anamnesis
Yang harus diperhatikan dalam anamnesis adalah:
a. Usia. Harus dipikirkan kaitannya dengan pengaruh estrogen. Bayi
wanita atau pada wanita dewasa, leukorea yang terjadi mungkin
karena pengaruh estrogen yang tinggi dan merupakan leukorea yang
fisiologis. Wanita dalam usia reproduksi harus dipikirkan kemungkinan
suatu penyakit hubungan seksual (PHS) dan penyakit infeksi lainnya.
Pada wanita dengan usia yang lebih tua harus dipikirkan kemungkinan
terjadinya keganasan terutama kanker serviks.
b. Metode kontrasepsi yang dipakai. Pada penggunaan kontrasepsi
hormonal dapat meningkatkan sekresi kelenjar serviks. Keadaan ini
dapat diperberat dengan adanya infeksi jamur. Pemakaian IUD juga
dapat menyebabkan infeksi atau iritasi pada serviks yang meragsang
sekresi kelenjar serviks menjadi meningkat.
c. Kontak seksual. Untuk mengantisipasi leukorea akibat PHS seperti
gonorea, kondiloma akuminata, herpes genitalis, dan sebagainya. Hal

45
yang perlu ditanyakan adalah kontak seksual terakhir dan dengan
siapa dilakukan.
d. Perilaku. Pasien yang tinggal di asrama atau bersama dengan teman-
temannya kemungkinan tertular penyakit infeksi yang menyebabkan
terjadinya leukorea cukup besar. Contoh kebiasaan yang kurang baik
adalah tukar menukar peralatan mandi atau handuk.
e. Sifat leukorea. Hal yang harus ditanyakan adalah jumlah, bau, warna,
dan konsistensinya, keruh/jernih, ada/tidaknya darah, frekuensinya dan
telah berapa lama kejadian tersebut berlangsung. Hal ini perlu
ditanyakan secara detail karena dengan mengetahui hal-hal tersebut
dapat diperkirakan kemungkinan etiologinya.
f. Menanyakan kepada pasien kemungkinan hamil atau menstruasi.
Pada kedua keadaan ini leukorea yang terjadi biasanya merupakan hal
yang fisiologis.
g. Masa inkubasi. Bila leukorea timbulnya akut dapat diduga akibat
infeksi atau pengaruh zat kimia ataupun pengaruh rangsangan fisik.

B. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan dalam


Pemeriksaan fisik secara umum harus dilakukan untuk mendeteksi
adanya kemungkinan penyakit kronis, gagal ginjal, infeksi saluran kemih
dan infeksi lainnya yang mungkin berkaitan dengan leukorea.
Pemeriksaan yang kusus harus dilakukan adalah pemeriksaan genitalia
yang meliputi: inspeksi dan palpasi genitalia eksterna; pemeriksaan
spekulum untuk melihat vagina dan serviks; pemeriksaan pelvis bimanual.
Untuk menilai cairan dinding vagina, hindari kontaminasi dengan lendir
serviks.
Pada infeksi karena gonokokkus, kelainan yang dapat ditemui
adalah orifisium uretra eksternum merah, edema dan sekret yang
mukopurulen, labio mayora dapat bengkak, merah, dan nyeri tekan.
Kadang-kadang kelenjar Bartolini ikut meradang dan terasa nyeri waktu
berjalan atau duduk. Pada pemeriksaan melalui spekulum terlihat serviks
merah dengan erosi dan sekret mukopurulen.
Pada trikomonas vaginalis dinding vagina tampak merah dan
sembab. Kadang terbentuk abses kecil pada dinding vagina dan serviks
yang tampak sebagai granulasi berwarna merah dan dikenal sebagai

46
strawberry appearance. Bila sekret banyak dikeluarkan dapat
menimbulkan iritasi pada lipat paha atau sekitar genitalia eksterna.
Infeksi Gardnerella vaginalis memberikan gambaran vulva dan
vagina yang berwarna hiperemis, sekret yang melekat pada dinding
vagina dan terlihat sebagai lapisan tipis atau berkilau. Pada pemeriksaan
serviks dapat ditemukan erosi yang disertai lendir bercampur darah yang
keluar dari ostium uteri internum.
Pada kandidiasis vagina dapat ditemukan peradangan pada vulva
dan vagina, pada dinding vagina sering terdapat membran-membran kecil
berwarna putih, yang jika diangkat meninggalkan bekas yang agak
berdarah.
Pada kanker serviks awal akan terlihat bercak berwarna merah
dengan permukaan yang tidak licin. Gambaran ini dapat berkembang
menjadi granuler, berbenjol-benjol dan ulseratif disertai adanya jaringan
nekrotik. Disamping itu tampak sekret yang kental berwarna coklat dan
berbau busuk. Pada kanker serviks lanjut, serviks menjadi nekrosis,
berbenjol-benjol, ulseratif dan permukaannya bergranuler, memberikan
gambaran seperti bunga kol.
Adanya benda asing dapat dilihat dengan adanya benda yang
mengiritasi seperti IUD, tampon vagina, pesarium, kondom yang tertinggal
dan sebagainya.

C. Pemeriksaan laboratorium
Beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah:
a. Penentuan pH. Penentuan pH dengan indikator pH (3,0-4,5)
b. Penilaian sediaan basah. Penilaian diambil untuk pemeriksaan sediaan
basah dengan KOH 10%, dan pemeriksaan sediaan basah dengan
garam fisiologis. Trikomonas vaginalis akan terlihat jelas dengan
garam fisiologis sebagai parasit berbentuk lonjong dengan flagelanya
dan gerakannya yang cepat. Sedangkan kandida albikans dapat dilihat
jelas dengan KOH 10% tampak sel ragi (blastospora) atau hifa semu.
Vaginitis nonspesifik yang disebabkan gardnerella vaginalis pada
sediaan dapat ditemukan beberapa kelompok basil, lekosit yang tidak
seberapa banyak, dan banyak sel-sel epitel yang sebagian besar

47
permukaannya berbintik-bintik. Sel-sel ini disebut clue cell yang
merupakan ciri khas infeksi gardnerella vaginalis.
c. Pewarnaan gram. Neisseria gonorrhea memberikan gambaran adanya
gonokokkus intra dan ekstraseluler. Gardnerella vaginalis memberikan
gambaran batang-batang berukuran kecil gram negatif yang tidak
dapat dihitung jumlahnya dan banyak sel epitel dengan kokobasil,
tanpa ditemukan laktobasil.
d. Kultur. Dengan kultur akan dapat ditemukan kuman penyebab secara
pasti, tetapi seringkali kuman tidak tumbuh sehingga harus hati-hati
dalam penafsiran.
e. Pemeriksaan serologis. Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk
mendeteksi herpes genitalis dan human papiloma virus dengan
pemeriksaan ELISA.
f. Tes Pap Smear. Pemeriksaan ini ditujukan untuk mendeteksi adanya
keganasan pada serviks

Penatalaksanaan
A. Preventif
Pencegahan dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya:
a. Memakai alat pelindung. Hal ini dilakukan untuk mencegah
kemungkinan tertularnya penyakit karena hubungan seksual, salah
satunya dengan menggunakan kondom. Kondom dinilai cukup efektif
dalam mencegah penularan PHS.
b. Pemakaian obat atau cara profilaksis. Pemakaian antiseptik cair untuk
membersihkan vagina pada hubungan yang dicurigai menularkan
penyakit kelamin relatif tidak ada manfaatnya jika tidak disertai dengan
pengobatan terhadap mikroorganisme penyebab penyakitnya.
Pemakaian obat antibiotik dengan dosis profilaksis atau dosis yang
tidak tepat juga akan merugikan karena selain kuman tidak terbunuh
juga terdapat kemungkinan kebal terhadap obat jenis tersebut.
Pemakain obat mengandung estriol baik krem maupun obat minum
bermanfaat pada pasien menopause dengan gejala yang berat.
c. Pemeriksaan dini. Kanker serviks dapat dicegah secara dini dengan
melakukan pemeriksaan pap smear secara berkala. Dengan
pemeriksaan pap smear dapat diamati adanya perubahan sel-sel

48
normal menjadi kanker yang terjadi secara berangsur-angsur, bukan
secara mendadak.
B. Kuratif
Terapi leukorea harus disesuaikan dengan etiologinya
a. Parasit. Pada infeksi trikomonas vaginalis diberikan metronidazol
3x250 mg peroral selama 10 hari. Karena sering timbul rekurens, maka
dalam terapi harus diperhatikan adanya infeksi kronis yang
menyertainya, pemakaian kondom dan pengobatan pasangannya.
Selain itu dapat juga digunakan sediaan klotrimazol 1x100 mg
intravaginal selama 7 hari.
b. Jamur. Pada infeksi kandida albikans dapat diberikan mikostatin
10.000 unit intravaginal selama 14 hari. Untuk mencegah timbulnya
residif tablet vaginal mikostatin ini dapat diberikan seminggu sebelum
haid selama beberapa bulan. Obat lainnya adalah itrakonazol 2x200
mg peroral dosis sehari.
c. Bakteri.
1. Untuk gonokokkus dapat diberikan: tetrasiklin 4x250 mg
peroral/hari selama 10 hari atau dengan kanamisin dosis 2 gram
IM. Obat lainnya adalah sefalosporin dengan dosis awal 1 gram
selanjutnya 2x500 mg/hari selama 2 hari. Sedangkan pada wanita
hamil dapat diberikan eritromisin 4x250 mg peroral/hari selama 10
hari atau spektinomisin dosis 4 gram IM.
2. Gardnerella vaginalis dapat diberikan clindamycin 2x300 mg
peroral/ hari selama 7 hari. Obat lainnya metronidazole 3x250 mg
peroral/hari selama 7 hari (untuk pasien dan suaminya).
3. Klamidia trakomatis diberikan tetrasiklin 4x500 mg peroral/hari
selama 7-10 hari.
4. Treponema pallidum diberikan Benzatin Penisilin G 2,4 juta unit IM
dosis tunggal atau Doksisiklin 2x200 mg peroral selama 2 minggu.
d. Virus.
1. Virus Herpes tipe 2: dapat diberikan obat anti virus dan simtomatis
untuk mengurangi rasa nyeri dan gatal, serta pemberian obat
topikal larutan neutral red 1% atau larutan proflavin 0,1%.
2. Human papiloma virus: pemberian vaksinasi mungkin cara
pengobatan yang rasional untuk virus ini, tetapi vaksin ini masih
dalam penelitian.

49
3. Kondiloma akuminata dapat diobati dengan menggunakan suntikan
interferon suatu pengatur kekebalan. Dapat diberikan obat topikal
podofilin 25% atau podofilotoksin 0,5% di tempat dimana kutil
berada. Bila kondiloma berukuran besar dilakukan kauterisasi.
e. Vaginitis lainnya.
1. Vaginitis atropika. Pengobatan yang diberikan adalah pemberian
krem estrogen dan obat peroral yaitu stilbestrol 0,5 mg/hari selama
25 hari persiklus atau etinil estradiol 0,01 mg/hari selama 21 hari
persiklus.
2. Vaginitis kronis/rekurens. Perlu diperhatikan semua faktor
predisposisi timbulnya keluhan leukorea serta pengobatan pada
pasangannya. Bila pada kultur ditemukan hasil positif sebaiknya
diberikan pengobatan sebelum menstruasi selama 3 bulan berturut-
turut dengan clotrimazole 1x100 mg intravaginal selama 5 hari atau
ketokonazole 2x200 mg dimulai hari pertama haid.
3. Vaginitis alergika. Pengobatan pada kasus ini adalah dengan
menghindari alergen penyebabnya, misalnya terhadap tissue,
sabun, tampon, pembalut wanita. Pada kasus yang dicurigai
vaginitis alergika tetapi tidak diketahui penyebabnya dapat
diberikan antihistamin.
4. Vaginitis psikosomatis. Untuk mengobati pasien ini perlu
pendekatan psikologis bahwa ia sebenarnya tidak menderita
kelainan yang berarti dan hal tersebut timbul akibat konflik
emosional. Pendekatan yang memandang pasien sebagai manusia
seutuhnya yang tidak terlepas dari lingkungannya harus dipikirkan.

50
Gambar 2.7. Alur diagnosa dan tatalaksana leukorea

51
Gambar 2.8. Alur diagnosa dan tatalaksana vaginal discharge syndrome

Komplikasi

52
 Pada kasus yang tidak diobati, infeksi vagina sederhana dapat
menyebar ke traktus reproduksi bagian atas dan menybabkan penyakit
lain yang lebih serius, dan dalam waktu yang lama dapat terjadi
infertilitas.
 Seperti halnya apabila benda asing bertahan di dalam tubuh dapat
terjadi toxic shock syndrome.
 Polip servikalis umumnya tidak membahayakan walaupun dapat
menyebabkan infertilitas pada waktu berkembang sangat besar.
 Adanya komplikasi yang spesifik berhubungan dengan leukorea pada
kehamilan seperti kelahiran prematur, ruptur membrane yang
prematur, berat badan bayi lahir rendah, dan endometritis paska
kelahiran.

Prognosa
 Vaginosis bakterial mengalami kesembuhan rata-rata 70-80% dengan
regimen pengobatan yang telah dibahas sebelumnya.
 Kandidiasis mengalami kesembuhan rata-rata 80-95%.
 Trikomoniasis mengalami kesembuhan rata-rata 95%.

53
DAFTAR PUSTAKA

1. Anwar M, Baziad A, Prabowo RP, 2011. Ilmu Kandungan, Ed. 3, Cet.


1. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
2. DeCherney AH, Nathan L, 2003. Current Obstetric & Gynecologic
Diagnosis & Treatment, 9th ed. India: McGraw-Hill Companies, Inc.
3.

54

Anda mungkin juga menyukai