BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Bakterial vaginosis (BV) merupakan sindrom klinis, yang disebabkan oleh
bertambah banyaknya organisme komersial dalam vagina (yaitu Gardanerella
vaginalis, Provotella, Morbiluncus spp.) serta berkurangnya organisme
laktobasilus terutama Lactobasillus yang menghasilkan hydrogen peroksida.
Pada vagina yang sehat, laktobasilus ini mempertahankan suasana asam dan
aerob. Penyebab spesifik BV ini masih belum diketahui pasti (Indritami,
2015).
Kejadian BV dihubungkan dengan pasangan seksual multipel, pasangan
seksual baru, dan riwayat infeksi menular seksual (IMS) sebelumya, namun
apakah BV dianggap sebagai salah satu IMS masih diperdebatkan. Pernah
dilaporkan bahwa BV dapat terjadi pada perempuan yang belum pernah
melakukan hubungan seksual genito-genital. Meskipun demikian, perempuan
yang terkena BV ini lebih beresiko terkena IMS lainnya, termasuk infeksi HIV
(Indritami, 2015).
BV seringkali disebut sebagai vaginal bacteriosis adalah penyakit pada
vagina yang disebabkan oleh bakteri. BV disebabkan oleh gangguan
kesimbangan flora bakteri vagina dan seringkali dikacaukan dengan infeksi
jamur (kandidiasis) atau infeksi trikomonas. Infeksi BVdinyatakan sebagai
infeksi polimikrobial yang disebabkan oleh penurunan jumlah laktobasilus
dikuti oleh peningkatan bakteri anaerob yang berlebihan. Keadaan abnormal
pada ekosistem vagina yang ditandai dengan perubahan konsentrasi hidrogen
peroksida (H2O2) hasil produksi flora normal Lactobacillus di vagina.
Penurunan konsentrasi H2O2 digantikan oleh peningkatan konsentrasi bakteri
anaerob (Mobiluncus, Provetella,Peptostreptococcus, Bacteroides dan
Eubacterium) dan bakteri fakultatif (Gardnerella vaginalis, Mycoplasma
ominis, Enterococcus dan grup ß Streptococcus). Perubahan ini umumnya
ditandai dengan produksi sekret vagina yang banyak, berwarna abu-abu, tipis,
homogen, berbau amis dan terdapat peningkatan pH. BV dapat menimbulkan
2
masalah infeksi traktus genitalis, misalnya infeksi intra amnion yang akan
menyebabkan gangguan atau penyulit selama kehamilan,antara lain kelahiran
prematur, berat bayi lahir rendah (BBLR), infeksi panggul (Pelvic
Inflammatory Dissease/PID) setelah persalinan, bahkan dapat terjadi abortus.
Kejadian BV terjadi tidak hanya pada wanita dewasa, pada remaja putri yang
punya pengalaman sex pra nikah beresiko terinfeksi, kejadiaan ini diperparah
dengan semakin meningkatnya perilaku remaja melakukan hubungan sex di
usia remaja (Karo, 2012).
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Bakterial Vaginosis (BV) adalah suatu sindrom perubahan ekosistem
vagina dimana terjadi pergantian dari laktobasillus yang normalnya
memproduksi Hidrogen Peroksida (H2O2) di vagina dengan bakteri
anaerob (seperti misalnya Prevotella Sp, Mobilincus Species, Gardnerella
vaginalis dan Mycoplasma hominis) yang menyebabkan peningkatan pH
dari nilai kurang 4,5 sampai 7,0. Hal itu biasa timbul dan remisi secara
spontan pada wanita dengan seksual aktif dengan wanita yang bukan
seksual aktif. Jalur yang pasti dari trasmisi seksual pada patogenesis BV
belum jelas (Adam dkk., 2011).
Pengertian lain vaginosis bakterial adalah salah satu keadaan yang
berkaitan dengan adanya keputihan yang tidak normal pada wanita usia
reproduksi. VB merupakan sindrom polimikroba, yang mana laktobasilus
vagina normal, khususnya yang menghasilkan hidrogen peroksidase
digantikan oleh berbagai bakteri anaerob dan mikoplasma. Bakteri yang
sering ada pada VB adalah G. vaginalis, Mobiluncus sp, Bacteroides sp
dan M. hominis. (Murtiastutik, 2008).
2.2. Epidemiologi
Menentukan prevalensi VB sulit karena sepertiga sampai seperempat
wanita yang terinfeksi bersifat asimtomatik. VB merupakan infeksi vagina
yang paling sering terjadi pada wanita yang aktif melakukan hubungan
seksual, penyakit ini dialami pada 15% wanita yang mendatangi klinik
ginekologi, 10 – 25% wanita hamil dan 33 – 37% wanita yang mendatagi
klinik IMS. Prevalensi VB juga bervariasi, dikarenakan kriteria diagnostic
yang berbeda serta perbedaan dalam sample populasi klinik, beberapa
penelitian nasional telah dilakukan di Amerika Serika, prevalensi VB yang
dilaporkan oleh National Health And Nutrition Survey (NHAES) yang
menegakkan VB melalui kriteria Nuggent menemukan dari 12.000 pasien
4
2.3. Etiologi
Penyebab dari BV masih belum diketahui dengan pasti, tetapi
berdasarkan epidemiologi kumpulan gejala yang timbul pada BV
berhubungan dengan aktivitas seksual. BV merupakan infeksi vagina
tersering pada wanita yang aktif secara seksual. Penyebab BV bukan
organisme tunggal. Pada suatu analisis dari data flora vagina
memperlihatkan ada 4 jenis bakteri vagina yang berhubungan dengan BV
yaitu: Gardnerella vaginalis, Bacteroides Spp, Mobiluncus Spp,
Mycoplasma hominis (Adam dkk., 2011).
a. Gardnerella vaginalis
Selama 30 tahun terakhir observasi Gardner dan Dukes’ bahwa
G.vaginalis sangat erat hubungannya dengan BV. Meskipun demikian
dengan media kultur yang sensitif G.vaginalis dapat diisolasi dalam
konsentrasi yang tinggi pada wanita tanpa tanda-tanda infeksi vagina.
G.vaginalis dapat diisolasi pada sekitar 95% wanita dengan BV dan 40-
50% pada wanita tanpa gejala vaginitis atau pada penyebab vaginitis
lainnya. Sekarang diperkirakan bahwa G.vaginalis berinteraksi melalui
cara tertentu dengan bakteri anaerob dan mycoplasma genital
menyebabkan BV (Adam dkk., 2011)
5
b. Bakteri anaerob
Bacteroides Spp diisolasi sebanyak 76% dan Peptostreptococcus
sebanyak 36% pada wanita dengan BV. Pada wanita normal kedua tipe
anaerob ini lebih jarang ditemukan. Penemuan species anaerob
dihubungkan dengan penurunan laktat dan peningkatan suksinat dan asetat
pada cairan vagina. Setelah terapi dengan metronidazole, Bakteroides dan
Peptostreptococcus tidak ditemukan lagi dan laktat kembali menjadi asam
organik predominan dalam cairan vagina. Spiegel menyimpulkan bahwa,
bakteri anaerob berinteraksi dengan G.vaginalis untuk menimbulkan
vaginosis. Peneliti lain memperkuat adanya hubungan antara bakteri
anaerob dengan BV. Mikroorganisme anaerob lain yaitu Mobiluncus Spp.
merupakan batang anaerob lengkung yang juga ditemukan pada vagina
bersama-sama dengan organisme lain yang dihubungkan dengan BV.
Mobiluncus Spp. tidak pernah ditemukan pada wanita normal, 85% wanita
dengan BV mengandung organisme ini (Adam dkk., 2011).
c. Mycoplasma hominis
Berbagai peneliti menyimpulkan bahwa Mycoplasma hominis juga
harus dipertimbangkan sebagai agen etiologik untuk BV, bersama-sama
dengan G.vaginalis dan bakteri anaerob. Prevalensi tiap
mikroorganisme ini meningkat pada wanita dengan BV. Organisme ini
terdapat dengan konsentrasi 100-1000 kali lebih besar pada wanita
dengan BV mengandung organisme ini (Adam dkk., 2011).
1. Aktivitas seksual
Dikatakan VB lebih jarang pada wanita paskapubertas tanpa
pengalaman seksual dibandingkan yang mempunyai pengalaman seksual.
Amsel dan kawan- kawan menemukan pada wanita tanpa pengalaman
seksual tidak menderita VB dari 18 orang yang diperiksa, sedangkan pada
wanita yang mempunyai pengalaman seksual didapatkan sebanyak 69
(24%) menderita VB. Studi kohort longitudinal memberikan bukti bahwa
wanita yang memiliki banyak pasangan seksual pria pasangan seksual pria
dalam 12 bulan terakhir berkaitan dengan terjadinya vaginosis bakterial.
VB juga meningkat pada wanita yang melakukan hubungan seksual
dengan wanita (women sex women/ WSW ) dan berkaitan dengan wanita
yang memiliki satu atau lebih pasangan seksual wanita dalam 12 bulan
terakhir Studi pada lesbian memberikan bukti lebih jauh tentang peranan
hubungan seksual dalam penularan VB. Sekitar 101 lesbian yang
mengunjungi klinik ginekologi sebesar 29 % menderita VB begitu juga
pasangan seksualnya. Kemungkinan wanita menderita VB hampir 20 kali,
jika pasangannya juga menderita Patogenesis terjadinya VB pada WSW
ini masih belum jelas. Salah satu penjelasan yang mungkin adalah adanya
persamaan antara bakteri anaerob yang berkaitan dengan gingivitis dan
VB. Kebiasaan seksual melalui anus dikatakan juga memegang peranan
7
2. Douching
Faktor epidemiologi lain juga penting dalam terjadinya VB. Studi
kohort terbaru dari 182 wanita menunjukkan terjadinya VB tidak hanya
berhubungan dengan pasangan seksual baru, tetapi juga berhubungan
dengan penggunaan douching vagina. Pemakaian douching vagina yang
merupakan produk untuk menjaga hiegene wanita bisa menyebabkan VB.
Kebiasaan douching dikatakan dapat merubah ekologi vagina, penelitian
yang dilakukan oleh Onderdonk dan kawan – kawan menyatakan douches
yang mengandung povidon iodine lebih mepunyai efek penghambatan
terhadap laktobasilus vagina dibandingkan yang mengandung air garam
atau asam asetat.
3. Merokok
Merokok dikatakan berkaitan dengan VB dan penyakit IMS
lainnya, dari penelitian yang dilakukan di Inggris dan Swedia, dikatakan
merokok dapat menekan sistem imun, sehingga memudahkan terjadinya
infeksi serta dapat menekan pertumbuhan laktobasilus yang menghasilkan
hidrogen peroksidase. Mekanisme lain yang menghubungkan antara
merokok dan VB adalah, dikatakan rokok mengandung berbagai zat
kimia, nikotin, kotinin, dan benzopirenediolepoxide, yang mana zat – zat
kimia ini ada pada cairan mukosa servik perokok dan secara langsung
dapat merubah mikroflora vagina atau merusak sel langerhan pada epitel
servik yang menyebabkan terjadinya imunosupresi lokal.
Penelitian yang dilakukan oleh Smart dan kawan – kawan (2003)
menyatakan resiko terjadinya VB sebanding dengan jumlah rokok yang
8
dihisap tiap hari, yang mana jika jumlah rokok yang dihisap makin
banyak (> 20 batang/perhari) maka resiko terkena VB juga makin besar.
4. Pengunaan AKDR
Amsel dkk, dan Holst dkk menemukan VB lebih sering ditemukan
pada wanita yang menggunakan AKDR dibandingkan yang tidak
menggunakannya (18,8 % vs 5,4% dengan p <0,0001 dan 35 % vs 16 %
dengan p <0,03). Pada studi retrospektif yang dilakukan oleh Avonts dan
kawan –kawan melaporkan BV meningkat diantara pengguna AKDR
dibandingkan kontrasepsi oral hal ini mungkin disebabkan oleh bagian
ekor dari AKDR yang ada pada endoservik atau vagina menyebabkan
lingkungan untuk berkembangnya bakteri anaerob dan G.vaginalis , yang
mungkin memegang peranan dalam terjadinya VB pada wanita yang
menggunakan AKDR.
2.5. Patofisiologi
2.6. Diagnosis
a. Sekret Vagina
Sekret vagina pada BV berwarna putih, melekat pada dinding vagina,
jumlahnya hanya meningkat sedikit sedang dibanding wanita normal.
Riwayat douching , hubungan seksual yang baru dilakukan, menstruasi,
dan semua infeksi dapat mengubah gambaran sekret vagina pada BV
(Murtiastutik, 2008).
b. Cairan Vagina
Pemeriksaan pH vagina memerlukan kertas indikator pH dengan
rentang yang sesuai yaitu antara 4,0 sampai dengan 6,0. Pengambilan
spesimen untuk pemeriksaan pH vagina paling baik dilakukan pada
bahagian lateral atau posterior forniks vagina dan lansung
diperiksa/ditempatkan pada kertas pH. Atau kertas pH dapat ditempatkan
pada kumpulan cairan vagina setelah spekulum dilepas dari vagina. Mukus
serviks harus dihindari karena mempunyai pH yang lebih tinggi
dibandingkan pH vagina (pH 7,0) (Murtiastutik, 2008).
e. Kultur
Kultur Gardnerella vaginalis hanya memberikan sedikit keuntungan
untuk mendiagnosis BV karena merupakan flora normal vagina sehingga
didapatkan juga pada cairan vagina wanita normal meskipun dalam
konsentrasi yang rendah (Murtiastutik, 2008).
f. Pewarnaan Gram
Dunkelberg merupakan orang yang pertama mengusulkan pemeriksaan
hapusan vagina dengan menggunakan pewarnaan gram untuk diagnosis
BV. Spiegel dkk. kemudian mempublikasikan petunjuk klinis. Sistem
skoring pengecatan gram dipakai sebagai metode standar untuk diagnosis
BV berdasarkan tiga morfotipe, yaitu: kuman batang gram positif besar
(Lactobacillus), kuman batang gram negatif kecil atau bervariasi
(Gardnerella dan kuman batang anaerob), dan Mobiluncus.
12
2.8. Pengobatan
Perjalanan penyakit BV belum diteliti dengan luas, tapi perbaikan spontan
telah dilaporkan pada lebih sepertiga kasus. Wanita dengan kultur positif
G.vaginalis tidak perlu diterapi secara rutin, kecuali mereka menderita BV
simtomatis. Semua wanita dengan BV simtomatis memerlukan pengobatan,
termasuk wanita hamil. Tujuan pengobatan BV pada wanita yang tidak hamil
untuk menghilangkan tanda dan gejala infeksi vagina, dan mengurangi resiko
terjadi komplikasi infeksi. Pengobatan BV pada wanita hamil adalah untuk
menghilangkan tanda dan gejala infeksi vagina, menurunkan resiko
komplikasi infeksi yang menyertai BV selama kehamilan, dan menurunkan
faktor resiko lainnya.
Peranan laki-laki (pasangan seksual) pada BV tidak jelas. G.vaginalis
ditemukan dalam uretra 80-90% pada laki-laki yang melakukan kontak
dengan wanita BV. Percobaan terapi dapat diberikn pada BV yang berulang,
tetapi laki-laki seharusnya tidak diterapi secara rutin. Gardner pertama kali
menganjurkan pemakaian krim triple sulfa untuk pengobatan vaginitis
Haemophilus vaginalis pada tahun 1955. Tetapi efektivitasnya rendah
sehingga kurang layak untuk pengobatan BV. Lebih dari 15 tahun beberapa
studi tentang pengobatan BV menyimpulkan bahwa hanya antimikroba yang
mempunyai spektrum luas melawan bakteri anaerob yang efektif untuk
pengobatan BV (Murtiastutik, 2008).
a. Terapi Sistemik
1. Metronidazol
Selain untuk pengobatan BV, obat ini juga efektif untuk
pengobatan Trikomoniasis. Metronidazol diberikan 2-3 x 400-500 mg
selama 7 hari. Beberapa studi mengatakan bahwa 10-15% wanita yang
berhasil diterapi dengan metronidazol setelah 1 bulan kemudian
kambuh lagi. Beberapa penulis berpendapat pemberian metronidazol 2
gram dosis tunggal sama efektifnya dengan pemberian metronidazol 3
x 500mg per hari selama 7 hari, tetapi sebagian penulis mengatakan
lebih efektif cara pemberian selama 7 hari dengan mempertimbangkan
15
2. Klindamisin
Kindamisisn 300mg, 2x sehari selama 7 hari sama efektifnya
dengan metronidazol untuk pengobatan BV dengan angka
kesembuhan 94%. Aman diberikan pada wanita hamil. Sejumlah kecil
klindamisin dapat menembus air susu ibu (ASI), oleh karena itu,
untuk wanita menyusui sebaiknya digunakan pengobatan intravagina
(Murtiastutik, 2008).
3. Augmentin
Augmentin (500 mg amoksilin dan 125 asam klavunat ) 3x sehari
selama 7 hari. Obat ini cukup efektif sebagai cadangan terapi untuk
wanita hamil dan pasien dengan intoleransi terhadap metronidazol
(Murtiastutik, 2008).
4. Obat lain
Ampisilin 500 mg, 4x sehari selama 7 hari. Angka kesembuhan
hanya 30-50%. Ampisilin 500 mg, 3x sehari selama 7 hari. Tetrasiklin
500 mg, 4x sehari selama 5 hari. Doksisiklin 100 mg, 2x sehari
selama 7 hari. Eritromisisn 500 mg, 4x sehari selama 7 hari.
Cefaleksin 500 mg, 4x selama 7 hari (Murtiastutik, 2008).
b. Terapi Sistemik
1. Metronidazol gel intravagina (0,75%) 5 gram, 1x sehari selama 5
hari.
2. Klindamisisn krim (2%) 5 gram, 1x sehari selama 7 hari.
16
2.9. Prognosis
2.10. Komplikasi
Angka kejadian BV tinggi dengan wanita dengan penyakit radang
panggul. Meskipun belum ada penelitian menunjukkan bahwa pengobatan
BV mengurangi resiko penyakit radang panggul di kemudian hari.
Komplikasi BV yang lainnya adalah seperti berikut:
2.11. Pencegahan
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1. Vaginosis bakterialis adalah suatu sindrom perubahan ekosistem vagina
dimana terjadi pergantian dari laktobasillus yang normalnya memproduksi
Hidrogen Peroksida (H2O2) di vagina dengan bakteri anaerob (seperti
misalnya Prevotella Sp, Mobilincus Species, Gardnerella vaginalis dan
Mycoplasma hominis) yang menyebabkan peningkatan pH dari nilai kurang
4,5 sampai 7,0.
2. penyebab faktor risiko vaginosis bakterialis berhubungan dengan aktivitas
seksual, douching, merokok, AKDR.
3. Penegakkan diagnosis vaginosis bakterialis berdasarkan adanya secret vagina
yang berwarna putih dan homogen, pH cairan vagina >4,5, fishy odor, clue
cells.
4. Tatalaksana yang diberikan pada pasien dengan vaginosis bakterialis berupa
metronidazole atau klindamisin.
5. Pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya vaginosis
bakterialis yaitu membersihkan vagina menggunakan air sabun dan
menggunakan kondom saat berhubungan seksual.
19
DAFTAR PUSTAKA
Adam, AM et al. 2011. Vaginosis Baterial, dalam: Daili, S.F., et al. (eds). Infeksi
Menular Seksual. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Murtiastutik, D. 2008. Flous Albus dan Penyakit Dengan Gejala Flour Albus.
Dalam: Buku Ajar Infeksi Menular Seksual. Surabaya: Univ. Airlangga.
Sharon H, Jeanne M, Holmes KK. Bacterial vaginosis. In: Holmes KK, Sparling
PF, Stamm WE, Piot P, Wasserheit JN,Corey L, et al., editors. Sexually
transmitted disease. 4th ed. New York: McGraw Hill; 2008. p.737-68.