Anda di halaman 1dari 19

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Bakterial vaginosis (BV) merupakan sindrom klinis, yang disebabkan oleh
bertambah banyaknya organisme komersial dalam vagina (yaitu Gardanerella
vaginalis, Provotella, Morbiluncus spp.) serta berkurangnya organisme
laktobasilus terutama Lactobasillus yang menghasilkan hydrogen peroksida.
Pada vagina yang sehat, laktobasilus ini mempertahankan suasana asam dan
aerob. Penyebab spesifik BV ini masih belum diketahui pasti (Indritami,
2015).
Kejadian BV dihubungkan dengan pasangan seksual multipel, pasangan
seksual baru, dan riwayat infeksi menular seksual (IMS) sebelumya, namun
apakah BV dianggap sebagai salah satu IMS masih diperdebatkan. Pernah
dilaporkan bahwa BV dapat terjadi pada perempuan yang belum pernah
melakukan hubungan seksual genito-genital. Meskipun demikian, perempuan
yang terkena BV ini lebih beresiko terkena IMS lainnya, termasuk infeksi HIV
(Indritami, 2015).
BV seringkali disebut sebagai vaginal bacteriosis adalah penyakit pada
vagina yang disebabkan oleh bakteri. BV disebabkan oleh gangguan
kesimbangan flora bakteri vagina dan seringkali dikacaukan dengan infeksi
jamur (kandidiasis) atau infeksi trikomonas. Infeksi BVdinyatakan sebagai
infeksi polimikrobial yang disebabkan oleh penurunan jumlah laktobasilus
dikuti oleh peningkatan bakteri anaerob yang berlebihan. Keadaan abnormal
pada ekosistem vagina yang ditandai dengan perubahan konsentrasi hidrogen
peroksida (H2O2) hasil produksi flora normal Lactobacillus di vagina.
Penurunan konsentrasi H2O2 digantikan oleh peningkatan konsentrasi bakteri
anaerob (Mobiluncus, Provetella,Peptostreptococcus, Bacteroides dan
Eubacterium) dan bakteri fakultatif (Gardnerella vaginalis, Mycoplasma
ominis, Enterococcus dan grup ß Streptococcus). Perubahan ini umumnya
ditandai dengan produksi sekret vagina yang banyak, berwarna abu-abu, tipis,
homogen, berbau amis dan terdapat peningkatan pH. BV dapat menimbulkan
2

masalah infeksi traktus genitalis, misalnya infeksi intra amnion yang akan
menyebabkan gangguan atau penyulit selama kehamilan,antara lain kelahiran
prematur, berat bayi lahir rendah (BBLR), infeksi panggul (Pelvic
Inflammatory Dissease/PID) setelah persalinan, bahkan dapat terjadi abortus.
Kejadian BV terjadi tidak hanya pada wanita dewasa, pada remaja putri yang
punya pengalaman sex pra nikah beresiko terinfeksi, kejadiaan ini diperparah
dengan semakin meningkatnya perilaku remaja melakukan hubungan sex di
usia remaja (Karo, 2012).
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Bakterial Vaginosis (BV) adalah suatu sindrom perubahan ekosistem
vagina dimana terjadi pergantian dari laktobasillus yang normalnya
memproduksi Hidrogen Peroksida (H2O2) di vagina dengan bakteri
anaerob (seperti misalnya Prevotella Sp, Mobilincus Species, Gardnerella
vaginalis dan Mycoplasma hominis) yang menyebabkan peningkatan pH
dari nilai kurang 4,5 sampai 7,0. Hal itu biasa timbul dan remisi secara
spontan pada wanita dengan seksual aktif dengan wanita yang bukan
seksual aktif. Jalur yang pasti dari trasmisi seksual pada patogenesis BV
belum jelas (Adam dkk., 2011).
Pengertian lain vaginosis bakterial adalah salah satu keadaan yang
berkaitan dengan adanya keputihan yang tidak normal pada wanita usia
reproduksi. VB merupakan sindrom polimikroba, yang mana laktobasilus
vagina normal, khususnya yang menghasilkan hidrogen peroksidase
digantikan oleh berbagai bakteri anaerob dan mikoplasma. Bakteri yang
sering ada pada VB adalah G. vaginalis, Mobiluncus sp, Bacteroides sp
dan M. hominis. (Murtiastutik, 2008).

2.2. Epidemiologi
Menentukan prevalensi VB sulit karena sepertiga sampai seperempat
wanita yang terinfeksi bersifat asimtomatik. VB merupakan infeksi vagina
yang paling sering terjadi pada wanita yang aktif melakukan hubungan
seksual, penyakit ini dialami pada 15% wanita yang mendatangi klinik
ginekologi, 10 – 25% wanita hamil dan 33 – 37% wanita yang mendatagi
klinik IMS. Prevalensi VB juga bervariasi, dikarenakan kriteria diagnostic
yang berbeda serta perbedaan dalam sample populasi klinik, beberapa
penelitian nasional telah dilakukan di Amerika Serika, prevalensi VB yang
dilaporkan oleh National Health And Nutrition Survey (NHAES) yang
menegakkan VB melalui kriteria Nuggent menemukan dari 12.000 pasien
4

dikumpulkan prevalensi VB sebesar 29,2% dan ditemukan prevalensi 3,13


kali lebih tinggi pada Afro Amerika, Afrika dan Afro Karibia dibandingkan
kulit putih.
Prevalensi BV didapatkan sebesar 32% di antara wanita Asia di India dan
Indonesia.Berdasarkan penelitian Pujiastuti di poli IMS RSUD Dr. Soetomo
Surabaya periode 2007-2011 didapatkan 35 pasien baru BV, yang merupakan
0,71% dari jumlah kunjungan pasien Divisi IMS dan 0,1% dari jumlah
kunjungan pasien baru URJ Penyakit Kulit dan Kelamin. Kelompok usia
terbanyak didapatkan pada kelompok usia 25-44 tahun sebanyak 74.3%.

2.3. Etiologi
Penyebab dari BV masih belum diketahui dengan pasti, tetapi
berdasarkan epidemiologi kumpulan gejala yang timbul pada BV
berhubungan dengan aktivitas seksual. BV merupakan infeksi vagina
tersering pada wanita yang aktif secara seksual. Penyebab BV bukan
organisme tunggal. Pada suatu analisis dari data flora vagina
memperlihatkan ada 4 jenis bakteri vagina yang berhubungan dengan BV
yaitu: Gardnerella vaginalis, Bacteroides Spp, Mobiluncus Spp,
Mycoplasma hominis (Adam dkk., 2011).

a. Gardnerella vaginalis
Selama 30 tahun terakhir observasi Gardner dan Dukes’ bahwa
G.vaginalis sangat erat hubungannya dengan BV. Meskipun demikian
dengan media kultur yang sensitif G.vaginalis dapat diisolasi dalam
konsentrasi yang tinggi pada wanita tanpa tanda-tanda infeksi vagina.
G.vaginalis dapat diisolasi pada sekitar 95% wanita dengan BV dan 40-
50% pada wanita tanpa gejala vaginitis atau pada penyebab vaginitis
lainnya. Sekarang diperkirakan bahwa G.vaginalis berinteraksi melalui
cara tertentu dengan bakteri anaerob dan mycoplasma genital
menyebabkan BV (Adam dkk., 2011)
5

b. Bakteri anaerob
Bacteroides Spp diisolasi sebanyak 76% dan Peptostreptococcus
sebanyak 36% pada wanita dengan BV. Pada wanita normal kedua tipe
anaerob ini lebih jarang ditemukan. Penemuan species anaerob
dihubungkan dengan penurunan laktat dan peningkatan suksinat dan asetat
pada cairan vagina. Setelah terapi dengan metronidazole, Bakteroides dan
Peptostreptococcus tidak ditemukan lagi dan laktat kembali menjadi asam
organik predominan dalam cairan vagina. Spiegel menyimpulkan bahwa,
bakteri anaerob berinteraksi dengan G.vaginalis untuk menimbulkan
vaginosis. Peneliti lain memperkuat adanya hubungan antara bakteri
anaerob dengan BV. Mikroorganisme anaerob lain yaitu Mobiluncus Spp.
merupakan batang anaerob lengkung yang juga ditemukan pada vagina
bersama-sama dengan organisme lain yang dihubungkan dengan BV.
Mobiluncus Spp. tidak pernah ditemukan pada wanita normal, 85% wanita
dengan BV mengandung organisme ini (Adam dkk., 2011).

c. Mycoplasma hominis
Berbagai peneliti menyimpulkan bahwa Mycoplasma hominis juga
harus dipertimbangkan sebagai agen etiologik untuk BV, bersama-sama
dengan G.vaginalis dan bakteri anaerob. Prevalensi tiap
mikroorganisme ini meningkat pada wanita dengan BV. Organisme ini
terdapat dengan konsentrasi 100-1000 kali lebih besar pada wanita
dengan BV mengandung organisme ini (Adam dkk., 2011).

Banyak penelitian telah menunjukkan hubungan Gardnerella


vaginalis dengan bakteri lain dalam menyebabkan BV. BV dikenal
sebagai infeksi polymicrobic sinergis. Beberapa bakteri yang terkait
termasuk spesies Lactobacillus, Prevotella, dan anaerob, termasuk
Mobiluncus, Bacteroides, Peptostreptococcus, Fusobacterium,
Veillonella, dan spesies Eubacterium. Mycoplasma hominis,
Ureaplasma urealyticum, dan Streptococcus viridans juga mungkin
memainkan peran dalam BV. Atopobium vaginae sekarang dikenal
sebagai patogen yang berhubungan dengan BV.
6

Bukti untuk mendukung hubungan sinergis meliputi: (1) Gardner dan


Dukes melakukan penanaman kultur murni G.vaginalis ke dalam vagina
wanita sehat dan gagal untuk menghasilkan gejala BV, (2) inokulasi
cairan vagina dari pasien BV ke dalam vagina wanita sehat
menghasilkan gejala BV, (3) pengobatan untuk BV, antibiotik
antianaerobic (metronidazol), tidak efektif melawan G.vaginalis, dan
(4) produk-produk volatil diuraikan dari tes bau adalah produk anaerob,
bukan dari G.vaginalis.

2.4. Faktor Risiko

Beberapa faktor diketahui merupakan faktor resiko terjadinya VB, yaitu


(Murtiastutik, 2008) :

1. Aktivitas seksual
Dikatakan VB lebih jarang pada wanita paskapubertas tanpa
pengalaman seksual dibandingkan yang mempunyai pengalaman seksual.
Amsel dan kawan- kawan menemukan pada wanita tanpa pengalaman
seksual tidak menderita VB dari 18 orang yang diperiksa, sedangkan pada
wanita yang mempunyai pengalaman seksual didapatkan sebanyak 69
(24%) menderita VB. Studi kohort longitudinal memberikan bukti bahwa
wanita yang memiliki banyak pasangan seksual pria pasangan seksual pria
dalam 12 bulan terakhir berkaitan dengan terjadinya vaginosis bakterial.
VB juga meningkat pada wanita yang melakukan hubungan seksual
dengan wanita (women sex women/ WSW ) dan berkaitan dengan wanita
yang memiliki satu atau lebih pasangan seksual wanita dalam 12 bulan
terakhir Studi pada lesbian memberikan bukti lebih jauh tentang peranan
hubungan seksual dalam penularan VB. Sekitar 101 lesbian yang
mengunjungi klinik ginekologi sebesar 29 % menderita VB begitu juga
pasangan seksualnya. Kemungkinan wanita menderita VB hampir 20 kali,
jika pasangannya juga menderita Patogenesis terjadinya VB pada WSW
ini masih belum jelas. Salah satu penjelasan yang mungkin adalah adanya
persamaan antara bakteri anaerob yang berkaitan dengan gingivitis dan
VB. Kebiasaan seksual melalui anus dikatakan juga memegang peranan
7

dalam terjadinya VB, transfer perineal atau bakteri pada rektum ke


vagina, telah diketahui menjadi konsekuensi pada hubungan seksual
melalui anal. Bakteri yang sering, yaitu Echerria coli dan Streptococcus,
dan hal ini memungkinkan bahwa VB dapat ditimbulkan atau dicetuskan
oleh hubungan seksual yang tidak terlindungi, sehingga terjadi translokasi
bakteri dari rektum ke vagina.

2. Douching
Faktor epidemiologi lain juga penting dalam terjadinya VB. Studi
kohort terbaru dari 182 wanita menunjukkan terjadinya VB tidak hanya
berhubungan dengan pasangan seksual baru, tetapi juga berhubungan
dengan penggunaan douching vagina. Pemakaian douching vagina yang
merupakan produk untuk menjaga hiegene wanita bisa menyebabkan VB.
Kebiasaan douching dikatakan dapat merubah ekologi vagina, penelitian
yang dilakukan oleh Onderdonk dan kawan – kawan menyatakan douches
yang mengandung povidon iodine lebih mepunyai efek penghambatan
terhadap laktobasilus vagina dibandingkan yang mengandung air garam
atau asam asetat.

3. Merokok
Merokok dikatakan berkaitan dengan VB dan penyakit IMS
lainnya, dari penelitian yang dilakukan di Inggris dan Swedia, dikatakan
merokok dapat menekan sistem imun, sehingga memudahkan terjadinya
infeksi serta dapat menekan pertumbuhan laktobasilus yang menghasilkan
hidrogen peroksidase. Mekanisme lain yang menghubungkan antara
merokok dan VB adalah, dikatakan rokok mengandung berbagai zat
kimia, nikotin, kotinin, dan benzopirenediolepoxide, yang mana zat – zat
kimia ini ada pada cairan mukosa servik perokok dan secara langsung
dapat merubah mikroflora vagina atau merusak sel langerhan pada epitel
servik yang menyebabkan terjadinya imunosupresi lokal.
Penelitian yang dilakukan oleh Smart dan kawan – kawan (2003)
menyatakan resiko terjadinya VB sebanding dengan jumlah rokok yang
8

dihisap tiap hari, yang mana jika jumlah rokok yang dihisap makin
banyak (> 20 batang/perhari) maka resiko terkena VB juga makin besar.

4. Pengunaan AKDR
Amsel dkk, dan Holst dkk menemukan VB lebih sering ditemukan
pada wanita yang menggunakan AKDR dibandingkan yang tidak
menggunakannya (18,8 % vs 5,4% dengan p <0,0001 dan 35 % vs 16 %
dengan p <0,03). Pada studi retrospektif yang dilakukan oleh Avonts dan
kawan –kawan melaporkan BV meningkat diantara pengguna AKDR
dibandingkan kontrasepsi oral hal ini mungkin disebabkan oleh bagian
ekor dari AKDR yang ada pada endoservik atau vagina menyebabkan
lingkungan untuk berkembangnya bakteri anaerob dan G.vaginalis , yang
mungkin memegang peranan dalam terjadinya VB pada wanita yang
menggunakan AKDR.

2.5. Patofisiologi

Pada BV, flora vagina diubah melalui mekanisme yang bisa


menyebabkan peningkatan pH lokal. Ini mungkin hasil dari penurunan
hidrogen peroksida memproduksi lactobacilli. Lactobacilli adalah
organisme berbentuk batang besar yang membantu menjaga pH asam dari
vagina yang sehat dan menghambat mikroorganisme anaerob lain melalui
elaborasi hidrogen peroksida. Biasanya, lactobacilli yang ditemukan dalam
konsentrasi tinggi dalam vagina yang sehat. BV menyebabkan populasi
lactobacilli sangat berkurang, sementara populasi berbagai anaerob dan
G.vaginalis meningkat (Sharon, 2008).

G.vaginalis membentuk biofilm pada vagina. Beberapa studi


menunjukkan bahwa biofilm ini mungkin resisten terhadap beberapa
bentuk perawatan medis. Dominan pada G.vaginalis biofilm telah terbukti
bertahan dalam hidrogen peroksida (H2O2), asam laktat, dan antibiotik
tingkat tinggi. Ketika biofilm menjadi sasaran di laboratorium untuk
pembubaran enzimatik, kerentanan terhadap H2O2 dan asam laktat
dipulihkan. Temuan ini dapat menyebabkan pengembangan terapi baru
9

masa depan yang melibatkan degradasi enzimatik biofilm. Tidak ada


produk tersebut saat ini di pasaran (Sharon, 2008).

Dalam studi yang dipublikasikan oleh Fredricks et al, G.vaginalis


dideteksi dengan PCR pada 96% subyek dengan BV dan 70% dari mereka
yang tidak BV. Beberapa jenis bakteri lainnya yang ditemukan oleh PCR
dalam penelitian ini. Studi Fredricks 'menegaskan sifat polimikrobial BV
dan keberadaan G.vaginalis sebagai salah satu agen penyebab.

Meskipun BV tidak dianggap sebagai penyakit menular seksual,


aktivitas seksual telah dikaitkan dengan perkembangan infeksi ini.
Pengamatan dalam mendukung ini meliputi: (1) kejadian BV meningkat
dengan peningkatan jumlah pasangan seksual, (2) pasangan seksual baru
dapat berhubungan dengan BV, dan (3) pasangan pria wanita dengan BV
mungkin memiliki kolonisasi uretra oleh organisme yang sama, tetapi pada
laki-laki adalah asimtomatik. Bukti yang tidak mendukung peran menular
seksual eksklusif BV adalah kejadian BV pada wanita perawan yaitu dari
rektum pada perawan anak laki-laki dan perempuan (Girerd, 2013).

2.6. Diagnosis

Penderita sulit untuk melakukan diagnosis terhadap dirinya karena


beberapa wanita percaya bahwa bau pada sekret vagina merupakan akibat
dari kebersihan yang kurang, dan pada umumnya mereka malu untuk
mengatakan bahwa sekretnya berbau. Dasar diagnosis klinis BV berdasarkan
ada tidaknya tanda-tanda berikut yang di anjurkan oleh Amsel dan kawan-
kawan (Murtiastutik, 2008):

1. Sekret vagina berwarna putih dan homogen.


2. pH cairan vagina >4,5
3. Adanya fishy odor dari cairan vagina yang ditetesi KOH 10% (whiff test)
4. Pada pemeriksaan mikroskop ditemukan adanya Clue cells.
10

Gambar 1: Clue cells

a. Sekret Vagina
Sekret vagina pada BV berwarna putih, melekat pada dinding vagina,
jumlahnya hanya meningkat sedikit sedang dibanding wanita normal.
Riwayat douching , hubungan seksual yang baru dilakukan, menstruasi,
dan semua infeksi dapat mengubah gambaran sekret vagina pada BV
(Murtiastutik, 2008).

b. Cairan Vagina
Pemeriksaan pH vagina memerlukan kertas indikator pH dengan
rentang yang sesuai yaitu antara 4,0 sampai dengan 6,0. Pengambilan
spesimen untuk pemeriksaan pH vagina paling baik dilakukan pada
bahagian lateral atau posterior forniks vagina dan lansung
diperiksa/ditempatkan pada kertas pH. Atau kertas pH dapat ditempatkan
pada kumpulan cairan vagina setelah spekulum dilepas dari vagina. Mukus
serviks harus dihindari karena mempunyai pH yang lebih tinggi
dibandingkan pH vagina (pH 7,0) (Murtiastutik, 2008).

c. Malodor Vagina (Whiff Test)


Malodor pada vagina merupakan gejala yang paling tersering terjadi
pada wanita dengan BV, dan munculnya fishy odor setelah penetesan
KOH 10% membantu deteksi malodor bagi klinis, Tetesan cairan vagina
ditempatkan pada kaca benda dan ditetesi KOH 10%, akan segera
menghasilkan bau amin, Bau ini cepat menghilang. Meskipun tes ini
sangat membantu diagnosis terapi sensitivitasnya juga rendah. Eschenbach
dkk. sebagaimana dapat disimak pada Rahmah dkk., dan Hitler dan
11

Holmes, melaporkan nilai prediksi sebesar 76% dibandingkan pewarnaan


Gram (Murtiastutik, 2008).

d. Pemeriksaan Clue Cells


Clue cells merupakan sel epitel skuamous vagina yang tertutup oleh
banyak bakteri sehingga memberikan gambaran tepi yang tidak rata. Tepi
yang tidak rata ini akibat melekatnya bakteri termasuk Gardnerella dan
Mobiluncus. Lactobacillus juga bisa melekat pada dinding vagina,
konsentrasinya kurang untuk bisa menyerupai clue cells (Murtiastutik,
2008). Terdapat “clue cells” > 20% pada preparat basah atau pewarnaan
Gram pada BV (Majeroni, 1998).
Sampel cairan vagina diambil dengan swab dan ditempatkan di kaca
benda kemudian ditetesi dengan garam fisiologis 1 dan 2 tetes, kemudian
ditutup dengan gelas penutup. Sediaan diperiksa di bawah mikroskop
dengan perbesaran tinggi (400X). Pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas
60% dan spesifisitas 98%. Clue cells merupakan kriteria terbaik untuk
diagnosis BV (Murtiastutik, 2008).

e. Kultur
Kultur Gardnerella vaginalis hanya memberikan sedikit keuntungan
untuk mendiagnosis BV karena merupakan flora normal vagina sehingga
didapatkan juga pada cairan vagina wanita normal meskipun dalam
konsentrasi yang rendah (Murtiastutik, 2008).

f. Pewarnaan Gram
Dunkelberg merupakan orang yang pertama mengusulkan pemeriksaan
hapusan vagina dengan menggunakan pewarnaan gram untuk diagnosis
BV. Spiegel dkk. kemudian mempublikasikan petunjuk klinis. Sistem
skoring pengecatan gram dipakai sebagai metode standar untuk diagnosis
BV berdasarkan tiga morfotipe, yaitu: kuman batang gram positif besar
(Lactobacillus), kuman batang gram negatif kecil atau bervariasi
(Gardnerella dan kuman batang anaerob), dan Mobiluncus.
12

Metode ini berdasarkan pergeseran morfotipe dari Lactobacillus yang


dominan berubah menjadi Gardnerella dan bakteri anaerob termasuk
Mobiluncus. Pemeriksaan gram mempunyai sensitivitas 89% dan
spesifisitas 83% (Murtiastutik, 2008).

a. Deteksi Hasil Metabolik


1. Amin pada cairan vagina: wanita dengan BV terdapat diamin dan
poliamin pada cairan vaginanya.
2. Tes Proline aminopeptidase: G.vaginalis dan Mobiluncus Spp.
Menghasilkan proline aminopeptidase, dimana Lactobacillus tidak
menghasilkan enzim tersebut.
3. Perbandingan suksinat/laktat: batang gram negatif anaerob
menghasilkan suksinat sebagai hasil metabolik. Perbandingan
suksinat terhadap laktat dalam sekret vagina ditunjukkan dengan
analisis kromotografi cairan-gas meningkat pada BV dan digunakan
sebagai tes skrining untuk BV dalam penelitian epidemiologik klinik
(Murtiastutik, 2008).

2.7. Diagnosis Banding

1. Trikomoniasis: pemeriksaan hapusan vagina sering menyerupai


penampakan pemeriksaan BV. Tetapi Mobiluncus dan clue cells tidak
pernah ditemukan pada trikomoniasis. Pemeriksaan mikroskopis
menunjukkan peningkatan sel PMN dan dengan pemeriksaan preparat
basah ditemukan protozoa untuk diagnosis. Whiff test dapat positif pada
trikomoniasis dan pH vagina 5,0 pada trikomoniasis (Murtiastutik, 2008).

2. Kandidiasis: pada pemeriksaan mikroskopis, sekret vagina ditambah


KOH 10% berguna untuk mendetekksi hifa dan spora kandida.
Keluhan yang paling sering pada kandidiasis adalah gatal dan iritasi
vagina. Sekret vagina biasanya putih dan tebal, tanpa bau dan pH
normal (Murtiastutik, 2008).
13

TABEL 2.5 Perbandingan gejala kandidiasis, trikomoniasus dan BV


(Murtiastutik, 2008)

Kandidiasis Trikomoniasis Bakterial


Vaginosis

Gejala Gatal Nyeri Berbau

Tanda Inflamasi Inflamasi Noninflamasi

Warna Putih Kuning/Hijau Abu-abu

Konsistensi Tebal Berbusa Cair

Bau Jamur Amis Amis

pH 4-5 5-6 5-6

Mikroskopis Neutrofil, Neutrofil, Tidak ada neutrofil,


Pseudohifa, Spora Trichomonas clue cells
vaginalis

Kultur Candida albicans, T.vaginalis Bacteroides Spp.,


Candida spp, G.vaginalis,
M.hominis,
Peptostreptococcus
14

2.8. Pengobatan
Perjalanan penyakit BV belum diteliti dengan luas, tapi perbaikan spontan
telah dilaporkan pada lebih sepertiga kasus. Wanita dengan kultur positif
G.vaginalis tidak perlu diterapi secara rutin, kecuali mereka menderita BV
simtomatis. Semua wanita dengan BV simtomatis memerlukan pengobatan,
termasuk wanita hamil. Tujuan pengobatan BV pada wanita yang tidak hamil
untuk menghilangkan tanda dan gejala infeksi vagina, dan mengurangi resiko
terjadi komplikasi infeksi. Pengobatan BV pada wanita hamil adalah untuk
menghilangkan tanda dan gejala infeksi vagina, menurunkan resiko
komplikasi infeksi yang menyertai BV selama kehamilan, dan menurunkan
faktor resiko lainnya.
Peranan laki-laki (pasangan seksual) pada BV tidak jelas. G.vaginalis
ditemukan dalam uretra 80-90% pada laki-laki yang melakukan kontak
dengan wanita BV. Percobaan terapi dapat diberikn pada BV yang berulang,
tetapi laki-laki seharusnya tidak diterapi secara rutin. Gardner pertama kali
menganjurkan pemakaian krim triple sulfa untuk pengobatan vaginitis
Haemophilus vaginalis pada tahun 1955. Tetapi efektivitasnya rendah
sehingga kurang layak untuk pengobatan BV. Lebih dari 15 tahun beberapa
studi tentang pengobatan BV menyimpulkan bahwa hanya antimikroba yang
mempunyai spektrum luas melawan bakteri anaerob yang efektif untuk
pengobatan BV (Murtiastutik, 2008).
a. Terapi Sistemik
1. Metronidazol
Selain untuk pengobatan BV, obat ini juga efektif untuk
pengobatan Trikomoniasis. Metronidazol diberikan 2-3 x 400-500 mg
selama 7 hari. Beberapa studi mengatakan bahwa 10-15% wanita yang
berhasil diterapi dengan metronidazol setelah 1 bulan kemudian
kambuh lagi. Beberapa penulis berpendapat pemberian metronidazol 2
gram dosis tunggal sama efektifnya dengan pemberian metronidazol 3
x 500mg per hari selama 7 hari, tetapi sebagian penulis mengatakan
lebih efektif cara pemberian selama 7 hari dengan mempertimbangkan
15

rekurensinya. Pada wanita hamil diberikan 200-250mg, 3x sehari


selama 7 hari.
Efek samping obat ini meliputi mual, rasa logam pada lidah, sakit
kepala, dan keluhan gastrointestinal. Konsumsi alkohol seharusnya
dihindari selama pengobatan dan 48 jam setelah terapi karena akan
mengurangi absorpsi obat (Murtiastutik, 2008).

2. Klindamisin
Kindamisisn 300mg, 2x sehari selama 7 hari sama efektifnya
dengan metronidazol untuk pengobatan BV dengan angka
kesembuhan 94%. Aman diberikan pada wanita hamil. Sejumlah kecil
klindamisin dapat menembus air susu ibu (ASI), oleh karena itu,
untuk wanita menyusui sebaiknya digunakan pengobatan intravagina
(Murtiastutik, 2008).

3. Augmentin
Augmentin (500 mg amoksilin dan 125 asam klavunat ) 3x sehari
selama 7 hari. Obat ini cukup efektif sebagai cadangan terapi untuk
wanita hamil dan pasien dengan intoleransi terhadap metronidazol
(Murtiastutik, 2008).

4. Obat lain
Ampisilin 500 mg, 4x sehari selama 7 hari. Angka kesembuhan
hanya 30-50%. Ampisilin 500 mg, 3x sehari selama 7 hari. Tetrasiklin
500 mg, 4x sehari selama 5 hari. Doksisiklin 100 mg, 2x sehari
selama 7 hari. Eritromisisn 500 mg, 4x sehari selama 7 hari.
Cefaleksin 500 mg, 4x selama 7 hari (Murtiastutik, 2008).

b. Terapi Sistemik
1. Metronidazol gel intravagina (0,75%) 5 gram, 1x sehari selama 5
hari.
2. Klindamisisn krim (2%) 5 gram, 1x sehari selama 7 hari.
16

3. Tetrasiklin intravagina 100 mg, 1x sehari. Sangat efektif mengobati


BV, tetapi menginduksi kandidiasis vagina dan lesi ulseratif
vagina.
4. Triple sulfonamid krim atau tablet (Sulfacetamid 2,86%,
Sulfabenzamide 3,7% dan Sulfathiazole 3,42%) 1 tablet atau 1
aplikator penuh krim ke dalam vagina 2x sehari selama 10 hari.
Tetapi akhir-akhir ini dilaporkan angka penyembuhan hanya 15-
45% (Murtiastutik, 2008).

2.9. Prognosis

Prognosis BV baik, dilaporkan perbaikan spontan pada lebih sepertiga


kasus. Dengan pengobatan metronidazol dan klindamisin memberi angka
kesembuhan yang tinggi (84%) (Adam, 2004).

2.10. Komplikasi
Angka kejadian BV tinggi dengan wanita dengan penyakit radang
panggul. Meskipun belum ada penelitian menunjukkan bahwa pengobatan
BV mengurangi resiko penyakit radang panggul di kemudian hari.
Komplikasi BV yang lainnya adalah seperti berikut:

1. BV disertai endometritis dan penyakit radang panggul setelah terminasi


kehamilan.
2. BV selama kehamilan disertai dengan komplikasi kehamilan termasuk
kelahiran prematur, ketuban pecah dini dan endometritis post-partum.
3. BV disertai peningkatan resiko infeksi traktus urinarius.
4. Terjadi peningkatan infeksi traktus genitalis atau berhubungan dengan
BV. Konsentrasi tinggi mikroorganisne pada suatu tempat cenderung
meningkatkan frekuensi infeksi di tempat yang berdekatan.
Menurut William B. Grant, 2010, dalam kebanyakan kasus, BV tidak
menyebabkan komplikasi. Tapi ada beberapa resiko serius dari BV
termasuk:
17

1. BV dapat meningkatkan kerentanan perempuan terhadap infeksi HIV


jika dia terkena virus HIV.
2. BV meningkatkan kemungkinan bahwa seorang wanita terinfeksi HIV
dapat menularkan HIV kepada pasangan seks nya.
3. BV dikaitkan dengan peningkatan pengembangan infeksi setelah
prosedur bedah seperti histerektomi atau aborsi.
4. BV saat hamil dapat menempatkan seorang wanita pada peningkatan
risiko untuk beberapa komplikasi kehamilan, seperti kelahiran prematur.
5. BV dapat meningkatkan kerentanan perempuan untuk PMS lain, seperti
herpes simplex virus (HSV), klamidia, dan gonore (Grant, 2010).

2.11. Pencegahan

Tindakan yang bisa dilakukan untuk pencegahan terjadinya BV


misalnya:

1. Menghindari penggunaan vaginal douching maupun produk higiene


wanita lain, misalnya disinfektan pemberi vagina, pengencang dan
pengering vagina.
2. Membersih bagian luar vagina cukup dengan air sabun.
3. Menggunakan kondom selama hubungan seksual
4. Membersihkan dengan benar alat kontrasepsi setelah pemakaian (seperti
diafragma, cervical caps dan spermicide).
18

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
1. Vaginosis bakterialis adalah suatu sindrom perubahan ekosistem vagina
dimana terjadi pergantian dari laktobasillus yang normalnya memproduksi
Hidrogen Peroksida (H2O2) di vagina dengan bakteri anaerob (seperti
misalnya Prevotella Sp, Mobilincus Species, Gardnerella vaginalis dan
Mycoplasma hominis) yang menyebabkan peningkatan pH dari nilai kurang
4,5 sampai 7,0.
2. penyebab faktor risiko vaginosis bakterialis berhubungan dengan aktivitas
seksual, douching, merokok, AKDR.
3. Penegakkan diagnosis vaginosis bakterialis berdasarkan adanya secret vagina
yang berwarna putih dan homogen, pH cairan vagina >4,5, fishy odor, clue
cells.
4. Tatalaksana yang diberikan pada pasien dengan vaginosis bakterialis berupa
metronidazole atau klindamisin.
5. Pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya vaginosis
bakterialis yaitu membersihkan vagina menggunakan air sabun dan
menggunakan kondom saat berhubungan seksual.
19

DAFTAR PUSTAKA

Adam, AM et al. 2011. Vaginosis Baterial, dalam: Daili, S.F., et al. (eds). Infeksi
Menular Seksual. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Aro M, Salma WO, Kamelia E, Patellogi I, Natzir R, Bintang M, Hatta M. Effects


of ethanolic extract of Miana (Coleus scutellariodes [L] Benth) leaf on IgM
profile in Balb/cmice with systemic of vulvovaginal candidiasis.

Indriatmi W. Vaginosis bacterial. Dalam: Menaldi SLSW, Bramono K, Indriatmi


W, editors. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi 7. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokeran Univesitas Indonesia; h. 452-4, 2015.

Koumans EH, Stenberg M, Bruce C, McQuillan G, Kendrick J. The prevalence of


bacterial vaginosis in the United States, 2001-2004: Associations with
symptoms, sexual behaviors, and reproductive health. Sex Transm Dis
2007;34:864–9.

Murtiastutik, D. 2008. Flous Albus dan Penyakit Dengan Gejala Flour Albus.
Dalam: Buku Ajar Infeksi Menular Seksual. Surabaya: Univ. Airlangga.

Pudjiastuti TA, Murtiastutik D. Studi retrospektif: Vaginosis bakterial. BIKKK


2014; 26(2):127-33.

Sharon H, Jeanne M, Holmes KK. Bacterial vaginosis. In: Holmes KK, Sparling
PF, Stamm WE, Piot P, Wasserheit JN,Corey L, et al., editors. Sexually
transmitted disease. 4th ed. New York: McGraw Hill; 2008. p.737-68.

Anda mungkin juga menyukai