Anda di halaman 1dari 26

TUGAS RESUME

STANDAR KOMPETENSI DOKTER INDONESIA


ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

Disusun oleh:
Adjeng Retno Bintari, S.Ked
J510165040

KEPANITERAAN KLINIK ILMU OBSTETRI DAN


GINEKOLOGI RSUD SUKOHARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2016

TUGAS RESUME SKDI


Diajukan untuk memenuhi persyaratan ujian dalam Pendidikan Program
Profesi Dokter Stase Ilmu Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta

Disusun Oleh:
Adjeng Retno Bintari, S.Ked
J510165040

Telah Disetuji dan di sahkan oleh bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Disahkan Sek. Program Pendidikan Profesi FK UMS


dr. Donna Dewi Nirlawati

(..)

Bakterial Vaginosis
A. Definisi
Bakterial vaginosis merupakan keadaan dimana munculnya keputihan
yang tidak normal dan timbulnya sekret vagina yang berbau tidak sedap pada
wanita usia reproduktif (Turovskiy, Noll and Chikindas, 2011). Bakterial
vaginosis merupakan sindrom polimikroba, yang mana laktobasilus
vagina normal khususnya yang menghasilkan hidrogen peroksidase
digantikan oleh berbagai bakteri anaerob dan mikoplasma. Bakteri yang
sering ada pada penyakit ini adalah G. vaginalis, Mobiluncus sp, Bacteroides
sp dan M. hominis yang dapat menyebabkan peningkatan pH dari nilai
kurang 4,5 sampai 7,0 (Livengood, 2009).
B. Etiologi
Penyebab dari bakterial vaginosis belum diketahui dengan pasti, tetapi
jika berdasarkan epidemiologi kumpulan gejala yang timbul pada bacterial
vaginosis berhubungan dengan aktivitas seksual. Penyebab yang
berhubungan dengan bakterial vaginosis ada 4 yaitu : Gardnerella vaginalis,
Mobiluncus Spp, Bacteroides Spp, Mycoplasma hominis (Adam et al., 2008).
C. Epidemiologi
Bakterial vaginosis merupakan infeksi vagina yang paling sering pada
wanita yang aktif melakukan hubungan seksual, penyakit ini dialami pada
15% wanita yang mendatangi klinik ginekologi, 10-25% wanita hamil dan
33-37% wanita yang mendatangi klinik IMS (Hilier, Marrazo, and
Holmes, 2008).
Tiga dari empat (75%) wanita pernah mengalami episode kandidiasis
vulvovaginalis sepanjang hidupnya dan 10-20% wanita merupakan karier
asimtomatik untuk spesies Candida (Parveen, Munir, et al., 2008). Banyak
terjadi pada usia muda 15-30% (Monalisa, Bubakar, et al., 2012).
Menurut Nwadioha (2010), spesies Candida biasa berasal dari endogen dan
ditularkan melalui pasangan seksual.
D. Faktor resiko

Bakterial vaginosis terjadi pada seksual aktif, namun dapat juga terjadi
pada orang yang tidak seksual aktif. Studi kohort longitudinal Membuktikan
bahwa yang mempunyai pasangan seksual baru maupun mempunyai
pasangan seksual banyak dan aktif menunjukkan peningkatan insiden
bakterial vaginosis (Murtiastutik, 2008).
Pada wanita yang frekuensi seksualnya meningkat, menunjukkan
perubahan pH pada vagina selama dan setelah berhubungan seksual yang
menyebabkan perubahan flora normal vagina. Bakteri patogen mendominasi
flora vagina normal dengan menurunkan konsentrasi Lactobacillus yang
menyebabkanpertumbuhan bakteri anaerob (Murtiastutik, 2008).
Pemasangan IUD dapat menyebabkan reaksi inflamasi dan menggangu
fisiologi organ reproduksi. Ketidakseimbangan hormon yang terjadi dengan
pemasangan alat, serta tehnik, cara dan lama pemasangan adalah sangat
berisiko dan dapat menggangu flora normal vagina (Murtiastutik, 2008).
E. Patogenesis
Penelitian telah menunjukkan hubungan antara Gardnerella vaginalis
dengan bakteri lain dalam menyebabkan bakterial vaginosis. Bakterial
vaginosis dikenal sebagai infeksi polymikrobik sinergis. Beberapa bakteri
yang terkait dengan bakterial vaginosis termasuk spesies Lactobacillus,
Prevotella, dan anaerob, termasuk Mobiluncus, Bacteroides,
Peptostreptococcus, Fusobacterium, Veillonella, dan spesies Eubacterium.
Mycoplasma hominis, Ureaplasma urealyticum, dan Streptococcus viridans
juga mungkin memainkan peran dalam penyakit ini. Atopobium vaginae
sekarang dikenal sebagai patogen yang berhubungan dengan bakterial
vaginosis (Jose, 2013).
Pada bakterial vaginosis, flora vagina diubah melalui mekanisme yang
bisa menyebabkan peningkatan pH lokal yang merupakan hasil dari
penurunan hidrogen peroksida memproduksi lactobacilli. Lactobacilli adalah
organisme berbentuk batang besar yang membantu menjaga pH asam dari
vagina yang sehat dan menghambat mikroorganisme anaerob lain melalui
elaborasi hidrogen peroksida. Bakterial vaginosis menyebabkan populasi

lactobacilli berkurang, sementara populasi berbagai anaerob dan G.vaginalis


meningkat (Jose, 2013).
Meskipun bakterial tidak dianggap sebagai penyakit menular seksual,
aktivitas seksual dikaitkan dengan perkembangan infeksi ini. Pengamatan
dalam mendukung ini meliputi: kejadian bakterial vaginosis meningkat
dengan peningkatan jumlah pasangan seksual, pasangan seksual baru dapat
berhubungan dengan bakterial vaginosis, dan pasangan pria wanita yang
mungkin memiliki kolonisasi uretra oleh organisme yang sama, tetapi pada
laki-laki adalah asimtomatik. Bukti yang tidak mendukung peran menular
seksual eksklusif bakterial vaginosis adalah kejadian pada wanita perawan
yaitu dari rektum pada perawan anak laki-laki dan perempuan (Jose, 2013).
F. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis yang umum terdapat pada bakterial vaginosis adalah bau
vagina yang khas berupa bau amis seperti bau ikan, hal ini disebabkan
produksi senyawa amin berupa trimethylamin, putresin dan cadaverin oleh
bakteri anaerob. Senyawa amin ini banyak menguap bila pH lingkungan
meningkat, seperti saat berhubungan seksual dan saat menstruasi. Duh
tampak homogen, encer, bewarna putih keabu-abuan dan menempel pada
dinding vagina atau sering kali tampak pada labia atau fourchette (Maskur,
2007).
G. Penegakan Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan
mikroskopik langsung, bila perlu dilakukan biakan (kultur). Berikut ini
beberapa pemeriksaan untuk mendeteksi bakterial vaginosis:
1. Pemeriksaan Klinis
Pada gambaran klinis, keluhan khas adalah gatal/iritasi vulva dan
duh tubuh vaginal/keputihan Vulva bisa terlihat tenang, tetapi bisa
juga kemerahan, udem dengan fisura, dan dijumpai erosi dan ulserasi.
Kelainan lain yang khas adalah adanya pseudomembran, berupa plak-plak
putih seperti sariawan (thrush), terdiri dari miselia yang kusut (matted
mycelia), leukosit dan sel epitel yang melekat pada dinding vagina.

Pada vagina juga dijumpai kemerahan, sering tertutup pseudomembran


putih keju. Jika pseudomembran diambil akan tampak mukosa yang
erosif. Cairan vagina biasanya mukoid atau cair dengan butir-butir
atau gumpalan keju (cottage cheese). Namun, duh tubuh biasanya
amat sedikit dan cair, vagina dapat tampak normal. Pada pemeriksaan
kolposkopi, terdapat dilatasi atau meningkatnya pembuluh darah pada
dinding vagina atau serviks sebagai tanda peradangan (Monalisa,
Bubakar, dan Amiruddin 2012).
2. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan mikroskopik dapat dipakai sebagi gold standard untuk
membuktikan adanya bentuk ragi dari kandida. Terutama
sensitivitasnya pada penderita simtomatik sama dengan biakan.
Dibawah ini terdapat beberapa metode pemeriksaan laboratorium
yang dapatdilakukan untuk memeriksa ada tidaknya kandida.
a. Pemeriksaan mikroskopik : pulasan dari pseudomembran atau
cairan vaginadijadikan sampel lalu dilakukan pewarnaan Gram
atau KOH 10% kemudian di letakkan di bawah mikroskop
cahaya. Candida albicans akan terlihat dimorfikdengan ragi sel-sel
tunas berbentuk lonjong dan hifa. Serta dalam bentuk yang invasif
kandida tumbuh sebagi filamen, miselia, atau pseudohifa
(Schorge, Schaeffer, et al., 2008).
b. Kultur : sampel dibiakkan pada agar Sabourauds dextrose atau
agar Nutrient. Piring agar diinkubasi pada suhu 37C selama 24-72
jam. Biakan jamur (kultur) dari sekret vagina dilakukan untuk
konfirmasi terhadap hasil pemeriksaan mikroskopik yang negatif
(false negative) yang sering ditemukan pada KVV kronis dan
untuk mengindentifikasi spesies non-Candidaalbicans. Kultur
mempunyai nilai sensitivitas yang tinggi sampai 90%, tetapi hasil
postif kultur saja tidak dapat dijadikan indikasi seseorang
menderita KVV jika tidak ditemukan simtom pada vagina karena
10-15% wanita normal dijumpai kolonisasi pada vaginanya. Hal
ini didukung oleh Schorge (2008), kultur secara rutin tidak

direkomendasikan kecuali pada wanita yang telah terinfeksi


kandida sebelumnya serta gagal dalam pemberian pengobatan
empiris.
H. Tatalaksana
Pengobatan direkomendasikan pada wanita dengan gejala bakterial
vaginosis. Tujuan terapi pada wanita tidak hamil adalah untuk
menghilangkan tanda dan gejalainfeksi vagina dan mengurangi kemungkinan
mendapatkan C. trachomatis, N.gonorrhoea, HIV dan penyakit IMS lainnya
(Sexually Transmitted Disease, 2010).
Pengobatan bakterial vaginois yang direkomendasikan pada Sexual
Transmitted Disease Treatment Guideline 2010 oleh Centre for Disease
Control and Prevention (CDC) berupa metronidazol oral 2x500 mg selama 7
hari atau metronidazol gel 0,75% 1 aplikator penuh (5 gram), intravagina
sekali sehari selama 5 hari atau klindamisin krim 2% 1 aplikator penuh (5
gram) saat mau tidur, selama 7 hari. Selain metronidazol dapat juga diberikan
terapi berupa klindamisin oral dengan dosis 2x300 mg selama 7 hari.
Pengobatan alternatif yang dianjurkan berupa tinidazol oral 1x 2 gram selama
2 hari, klindamisin ovules 100 mg intravagina saat mau tidur selama 3 hari
(Sexually Transmitted Disease, 2010).
Pria pasangan seksual wanita dengan BV tidak perlu diterapi. Beberapa
penelitian memperlihatkan tidak ada efek yang bermakna dari pengobatan
terhadap pria pasangan seksual dalam hal keluhan dan gejala klinis. Pada
masa kehamilan, pengobatan BV yang direkomendasikan pada Sexual
Transmitted Disease Treatment Guidelines 2010 oleh Centre for
DiseaseControl and Prevention (CDC) dapat diberikan metronidazol oral
2x500 mg selama 7 hari, metronidazol 3x250 mg selama 7 hari, dan
klindamisin oral 2x300 mg selama 7 hari. Keuntungan terapi BV pada
wanita hamil adalah dapat menurunkan gejala dan tanda-tanda infeksi pada
vagina dan menurunkan risiko infeksi komplikasi yang berhubungan BV
pada wanita hamil (Sexually Transmitted Disease, 2010).
I. Komplikasi

Bakterial vaginosis paling banyak dihubungkan dengan komplikasi pada


obstetri dan ginekologi yaitu dalam kaitan kesehatan reproduksi.
Bakterial vaginosis merupakan faktor resiko gangguan pada kehamilan,
resiko kelahiran prematur dan berat badan lahir rendah Selain itu VB juga
merupakan faktor resiko mempermudah mendapat penyakit IMS lain, yaitu
gonore, klamidia, trikomoniasis, herpes genital dan HIV (Nelson dan
Macones, 2002).

Abortus Spontan Komplit


A. Pendahuluan
Aborsi di dunia dan di Indonesia khususnya tetap menimbulkan banyak
persepsi dan bermacam interpretasi, tidak saja dari sudut pandang kesehatan,
tetapi juga dari sudut pandang hukum dan agama.Aborsi merupakan masalah
kesehatan masyarakat karena memberi dampak pada kesakitan dan kematian
ibu. Sebagaimana diketahui penyebab kematian ibu yang utama adalah
perdarahan, infeksi dan eklampsia.
Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin
dapat hidup di luar kandungan. WHO IMPAC menetapkan batas usia
kehamilan kurang dari 22 minggu, namun beberapa acuan terbaru
menetapkan batas usia kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin
kurangdari 500 gram. Pada abortus spontan komplit ditandai dengan telah
keluar seluruh hasil konsepsi dari kavum uteri.
Diperkirakan diseluruh dunia setiap tahun terjadi 20 juta kasus aborsi tidak
aman, 70 ribu perempuan meninggal akibat aborsi tidak aman dan 1 dari 8
kematian ibu disebabkan oleh aborsi tidak aman. 95% (19 dari 20 kasus
aborsi tidak aman) dintaranya bahkan terjadi di negara berkembang.
Di Indonesia setiap tahunnya terjadi kurang lebih 2 juta kasus aborsi,
artinya 43 kasus/100 kelahiran hidup (sensus 2000).Angka tersebut
memberikan gambaran bahwa masalah aborsi di Indonesia masih cukup
besar. Suatu hal yang dapat kita tengarai, kematian akibat infeksi aborsi ini

justru banyak terjadi di negara-negara dimana aborsi dilarang keras oleh


undang-undang.
B. Definisi
Abortus adalah pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin berkembang
sepenuhnya dan dapat hidup di luar kandungan dan sebagai ukuran
digunakan kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500
gram.
Dapat dibagi atas dua golongan yaitu menurut terjadinya abortus dan
menurut gambaran klinis. Menurut terjadinya dibedakan atas abortus spontan
yaitu abortus yang terjadi dengan sendirinya tanpa disengaja dan tanpa
menggunakan tindakan apa-apa sedangkan abortus provokatus adalah abortus
yang disengaja, baik dengan memakai obat-obatan maupun dengan alat-alat.
Abortus provokatus dibagikan lagi menjadi abortus medisinalis atau abortus
therapeutica dan abortus kriminalis. Pada abortus medisinalis, abortus yang
terjadi adalah karena tindakan kita sendiri, dengan alasan bila kehamilan
dilanjutkan, dapat membahayakan jiwa ibu (berdasarkan indikasi medis).
Abortus kriminalis adalah abortus yang terjadi oleh karena tindakan-tindakan
yang tidak legal atau tidak berdasarkan indikasi medis dan biasanya
dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh tenaga tradisional. Menurut
gambaran klinis Abortus komplit (complete abortion) artinya seluruh hasil
konsepsi telah keluar (desidua atau fetus), sehingga rongga rahim kosong.
C. Etiologi
Ada beberapa faktor penyebab abortus yaitu :
1.
2.
3.
4.

Faktor Genetik
Faktor Anatomi
Faktor Endokrin
Faktor Infeksi
Di sini adalah beberapa jenis organisme yang bisa berdampak pada
kejadian abortus:
a. Bakteria: listeria monositogenes, klamidia trakomatis, ureaplasma
urealitikum, mikoplasma hominis, bakterial vaginosis.

b. Virus: CMV, HSV, HIV dan parvovirus.


c. Parasit: toksoplasma gondii, plasmodium falsifarum.
d. Spirokaeta: treponema pallidum.
5. Faktor Imunologi
Beberapa penyakit berhubungan erat dengan kejadian abortus.
Antaranya adalah SLE dan Antiphospholipid Antibodies (aPA). Selain
SLE, antiphosfolipid syndrome (APS) dapat ditemukan pada
preemklamsia, IUGR, dan prematuritas. Dari international consensus
workshop pada tahun 1998, klasifikasi APS adalah :
a. Trombosis vaskular (satu atau lebih episode trombosis arteri,
venosa atau kapiler yang dibuktikan dengan gambaran Doppler,
dan histopatologi)
b. Komplikasi kehamilan (3 atau lebih abortus dengan sebab yang
tidak jelas, tanpa kelainan anatomik, genetik atau hurmonal/ satu
atau lebih kematian janin di mana gambaran sonografi normal/ satu
atau lebih persalinan prematur dengan gambaran janin normal dan
berhubungan dengan preeklamsia berat,atau insufisiensi plasenta
yang berat)
c. Kriteria laboratorium (IgG dan atau IgM dengan kadar yang
sedang atau tinggi pada 2 kali atau lebih dengan pemeriksaan jarak
lebih dari 1 atau sama dengan 6 minggu)
d. Antobodi fosfolipid (pemanjangan koagulasi fospholipid, aPTT,
PT, dan CT, kegagalan untuk memperbaikinya dengan
pertambahan dengan plasma platlet normal dan adanya perbaikan
e.

nilai tes dengan pertambahan fosfolipid)


aPA ditemukan 20% pada perempuan yang mengalami abortus dan
lebih dari 33% pada perempuan yang mengalami SLE. Pada
kejadian abotus berulang, ditemukan infark plasenta yang luas

akibat adanya atherosis dan oklusi vaskular.


6. Faktor Trauma
Trauma abdominal yang berat dapat menyebabkan terjadinya
abortus yang yang diakibatkan karena adanya perdarahan, gangguan
sirkulasi maternoplasental, dan infeksi. Namun secara statistik, hanya
sedikit insiden abortus yang disebabkan karena trauma.
7. Faktor Nutrisi dan Lingkungan

8. Faktor Kontrasepsi Berencana


Kontrasepsi oral atau agen spermicidal yang digunakan pada salep
dan jeli kontrasepsi tidak berhubungan dengan risiko abortus. Namun,
jika pada kontrasepsi yang menggunakan IUD, intrauterine device gagal
untuk mencegah kehamilan, risiko aborsi khususnya aborsi septik akan
meningkat dengan signifikan.
D. Patofisiologi
Abortus dimulai dari perdarahan ke dalam decidua basalis yang diikuti
dengan nekrosis jaringan disekitar perdarahan. Jika terjadi lebih awal, maka
ovum akan tertinggal dan mengakibatkan kontraksi uterin yang akan berakir
dengan ekpulsi karena dianggap sebagai benda asing oleh tubuh. Apabila
kandung gestasi dibuka, biasanya ditemukan fetus maserasi yang kecil atau
tidak adanya fetus sama sekali dan hal ini disebut blighted ovum.
Pada abortus yang terjadi lama, beberapa kemungkinan boleh terjadi. Jika
fetus yang tertinggal mengalami maserasi, yang mana tulang kranial kolaps,
abdomen dipenuhi dengan cairan yang mengandung darah, dan degenarasi
organ internal. Kulit akan tertanggal di dalam uterus atau dengan sentuhan
yang sangat minimal. Bisa juga apabila cairan amniotik diserap, fetus akan
dikompress dan mengalami desikasi, yang akan membentuk fetus
compressus. Kadang-kadang, fetus boleh juga menjadi sangat kering dan
dikompres sehingga menyerupai kertas yang disebut fetus papyraceous.
Pada kehamilan di bawah 8 minggu, hasil konsepsi dikeluarkan
seluruhnya, karena vili korialis belum menembus desidua terlalu dalam;
sedangkan pada kehamilan 8-14 minggu, vili korialis telah masuk agak
dalam, sehingga sebagian keluar dan sebagian lagi akan tertinggal.
Perdarahan yang banyak terjadi karena hilangnya kontraksi yang dihasilkan
dari aktivitas kontraksi dan retraksi miometrium.
E. Gambaran Klinis
Gejala abortus komplit berupa perdarahan pervagina sedikit, sakit perut
kram, dan mules-mules. Pengeluaran seluruh hasil konsepsi. Perlu juga untuk

menilai tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, napas, suhu). Pada


pemeriksaan konjungtiva bisa dotemukan adanya anemis. Pada pemeriksaan
dalam untuk ostium uteri telah menutup serta uterus berukuran kecil dari
seharusnya. Pemeriksaan USG tidak perlu dilakukan bila pemeriksaan klinis
sudah memadai. Pemeriksaan kehamilan biasanya masih positif 7-10 hari
setelah abortus.
F. Penatalaksanaan
Pada kasus ini, evakuasi tidak perlu dilakukan lagi. Observasi untuk
melihat adanya perdarahan yang banyak perlu diteruskan dan kondisi ibu
setelah penanganan tetap dibuat. Apabila terdapat anemia sedang, tablet
sulfas ferrosus 600mg/hari selama 2 minggu diberikan, jika anemia berat
diberikan transfusi darah. Seterusnya lanjutkan dengan konseling asuhan
pasca keguguran dan pemantauan lanjut jika perlu.
a. Makan makanan yang bergizi(sayuran ,susu,ikan, daging,telur)
b. Menjaga kebersihan diri, terutama daerah kewanitaan dengan tujuan
mencegah infeksi yang bisa mengganggu proses implantasi janin.
c. Hindari rokok, karena nikotin mempunyai efek vasoaktif sehingga
menghambat sirkulasi uteroplasenta.
d. Tidak perlu dilakukan evakuasi lagi.
e. Observasi keadaan ibu
f. Apabila terdapat sedang berikan tablet sulfas ferosus 600 mg perhari
selama 2 minggu,bila anemia berat berikan transfuse darah
Rencana Follow Up :
a. Lakukan konseling untuk memberikan dukungan emosional
b. Mengajurkan penggunaan kontrasepsi pasca keguguran
Karena Kesuburan dapat kembali kira-kira 14 hari setelah keguguran.
Untuk mencegah kehamilan, AKDR umumnya dapat dipasang secara aman
setelah aborsi spontan atau diinduksi. Kontraindikasi pemasangan AKDR
pasca keguguran antara lain infeksi pelvik, abortus septik, atau komplikasi
serius lain dari abortus. Follow up dilakukan setelah 2 minggu.

G. Komplikasi
1 Perdarahan
2 Syok
3 Infeksi
H.
-

Prognosis
Vitam : Bonam
Fungsionam : Bonam
Sanationam : Bonam

Partus Lama
A. Definisi
Persalinan lama, disebut juga distosia, didefinisikan sebagai persalinan
yang abnormal/sulit. Pada umumnya, perjalanan persalinan normal dengan
Power, Passage and Passanger adekuat akan berlangsung aman spontan
belakang kepala dalam rentang waktu saat primigravida adalah 18 jam dan
multigravida adalah 12-14 jam. Partus lama adalah perjalanan persalinan
yang berlangsung lebih dari 24 jam, tetapi belum menimbulkan komplikasi
maternal atau fetal.
B. Etilogi
Sebab-sebab partus lama dapat dibagi dalam 3 golongan besar :
1. Kelainan tenaga (atau kelainan his) = Power
His yang tidak normal dalam kekuatan atau sifatnya dapat
menyebabkan bahwa rintangan pada jalan lahir yang lazim terdapat pada
setiap persalinan, tidak dapat diatasi, sehingga persalinan mengalami
hambatan atau kemacetan.
2. Kelainan janin = Passenger
Persalinan dapat mengalami gangguan atau kemacetan karena
kelainan dalam letak atau bentuk janin.
3. Kelainan jalan lahir = Passage

Kelainan dalam ukuran atau bentuk jalan lahir bisa menghalangi


kemajuan persalinan atau menyebabkan kemacetan.
C. Faktor Resiko
Kelainan his terutama pada primigravida tua, pada multipara lebih
banyak ditemukan inersia uteri (fundus berkontaksi lebih kuat dan lebih dulu
daripada bagian lainnya). Kelainan janin terutama pada ibu hamil dengan
gula darah tidak terkontrol saat kehamilan, beresiko janin makrosomnia (bayi
besar). Kelainan letak janin pun akan menghalangi kemajuan persalinan,
namun ini akan bisa disingkirkan dengan pemeriksaan palpasi yang benar.
Kelainan jalan lahir biasanya didapatkan pada ibu dengan tinggi badan
<145cm.
D. Patogenesa
1. Distosia karena kelainan tenaga (his)
Distosia karena kelainan tenaga (his) adalah his yang tidak normal,
baik kekuatan maupun sifatnya, sehingga menghambat kelancaran
persalinan. Satu sebab yang penting dalam kelainan his, khususnya
inersia uteri, ialah apabila bagian bawah janin tidak berhubungan rapat
dengan segmen bawah uterus misalnya pada kelainan letak janin atau
disproporsi sefalopelvik. Peregangan rahim yang berlebihan pada
kehamilan ganda maupun hidramnion juga dapat merupakan penyebab
dari inersia uteri yang murni.
Jenis-jenis kelainan his :
a. Inersia uteri
Disini his bersifat biasa dalam arti bahwa fundus berkontraksi
lebih kuat dan lebih dahulu daripada bagian-bagian lain, peranan
fundus tetap menonjol. Kelainannya terletak dalam hal kontraksi
uterus lebih aman, singkat dan jarang daripada biasa.
Inersia uteri dibagi atas 2 keadaan :
1). Inersia uteri primer. Kelemahan his timbul sejak permulaan
persalinan.

2). Inersia uteri skunder. Kelemahan his yang timbul setelah


adanya his yang kuat, teratur dan dalam waktu yang lama.
Inersia uteri menyebabkan persalinan akan berlangsung lama
dengan akibat-akibatnya terhadap ibu dan janin
b. Tetania uteri (hypertonic uterine contaction)
Adalah his yang terlampau kuat dan terlampau sering sehingga
tidak ada relaksasi rahim. His yang terlampau kuat dan terlampau
efisien menyebabkan persalinan selesai dalam waktu singkat.
Partus yang sudah selesai kurang dari 3 jam dnamakan partus
presipitatus: sifat his normal, tonus otot diluar his juga biasa,
kelainannya terletak pada kekuatan his. Akibatnya dapat terjadi
perlukaan luas pada jalan lahir, khususnya serviks uteri, vagina,
dan perineum, pada bayi dapat terjadi perdarahan intrakranial.
c. Incoordinate uterine action
Di sini sifat his berubah-ubah, tonus otot uterus meningkat juga
diluar his, tidak ada koordinasi dan sinkronisasi antara kontraksi
dan bagian-bagiannya. Jadi kontraksi tidak efisien dalam
mengadakan pembukaan apalagi pengeluaran janin.
2. Distosia karena kelainan janin
Abnormalitas pada presentasi, posisi atau perkembangan janin antara lain ;
a. Presentasi bokong
b. Presentasi muka
c. Presentasi dahi
d. Presentasi puncak
e. Letak lintang
f. Presentasi majemuk
g. Makrosomia feetalis
h. Hidrosefalus
i. Perut bayi yang besar penyebab distosia (distensi hebat vesika urinaria,
pembesaran ginjal dan hati)
j. Kembar siam

k. Distosia bahu pada kala II ;


1. Kepala janin telah dilahirkan tetapi bahu tersangkut dan tidak
dapat dilahirkan
2. Kepala janin dapat dilahirkan tetapi tetap berada dekat vulva
3. Dagu tertarik dan menekan perineum
4. Tarikan pada kepala gagal melahirkan bahu yang terperangkap
dibelakang simfisis pubis
3. Kelainan jalan lahir
Distosia akibat kesempitan panggul
a. Kesempitan pintu atas panggul, pintu atas panggul dikatakan sempit
jika ukuran konjugata vera kurang dari 10 cm atau diameter transversa
kurang dari 12 cm.
b. Kesempitan panggul tengah, bila jumlah diameter interspinarum
ditambah diameter sagitalis posterior 13,5 cm (normalnya 10,5 +5 cm
=15,5 cm )
c. Kesempitan pintu bawah panggul, diartikan jika distansia intertuberum
8 cm.
d. Kesempitan panggul umum, mencakup adanya riwayat fraktur tulang
panggul, poliomielitis, kifoskoliosis, wanita yang bertubuh kecil, dan
dismorfik, pelvik kifosis.
Abnormalitas pada jalan lahir yang bukan tulang panggul :
1. Abnormalitas vulva ( atresia vulva, inflamasi vulva, tumor dekat vulva)
2. Abnormalitas vagina (atresia vagina, seeptum longitudinalis vagina,
striktur anuler)
3. Abnormalitas serviks (atresia dan stenosis serviks, Ca serviks)
4. Kelainan letak uterus (antefleksi, retrofleksi, mioma uteri, mioma
serviks)
5. Tumor ovarium (jinak atau ganas)
E. Manifestasi Klinis
Menurut chapman penyebab partus lama adalah :
a. Pada ibu :

1) Gelisah
2) Letih
3) Suhu badan meningkat
4) Berkeringat
5) Nadi cepat
6) Pernafasan cepat
7) Meteorismus
8) Didaerah sering dijumpai bandle ring, oedema vulva, oedema serviks,
cairan ketuban berbau terdapat mekoneum
b. Janin :
1) DJJ cepat, hebat,tidak teratur bahkan negatif
2) Air ketuban terdapat mekoneum kental kehijau-hijauan, cairan berbau
3) Caput succedenium yang besar
4) Moulage kepala yang hebat
5) Kematian janin dalam kandungan
6) Kematian janin intrapartal
F. Diagnosis
Kriteria Diagnostik Kelainan Persalinan Akibat Persalinan Lama atau
Persalinan Macet
Pola Persalinan
Nulipara
Multipara
Persalinan Lama
Pembukaan
<1,2cm/jam <1,5cm/jam
Penurunan
<1,0cm/jam <2,0cm/jam
Persalinan Macet
Tidak ada pembukaan
>2jam
>2jam
Tidak ada Penurunan
>1jam
>1jam
Sumber : The American College of Obstetricians and Gynecologist (1995)
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan partus lama dikarenakan kelainan tenaga/ his :
1. Inersia Uteri
Periksa keadaan serviks, presentasi dan posisi janin, turunya bagian
terbawah janin dan keadaan panggul. Kemudian buat rencana untuk

menentukan sika dan tindakan yang akan dikerjakan, misalnya pada letak
kepala.
a. Berikan oksitosin drips 5-10 satuan dalam 500 cc dekstrosa 5 % dimulai
dengan 12 tetes per menit, dinaikkan setiap 10-15 menit sampai 40-50
tetes per menit. Maksud pemberian oksitosin adalah supaya serviks
b.

dapat membuka.
Pemberian oksistosin tidak usah terus menerus, sebab bila tidak
memperkuat his setelah pemberian lama, hentikan dulu dan ibu

dianjurkan istirahat.
c. Bila inersia disertai dengan disproporsi sefalopelvis maka sebaiknya
dilakukan seksio sesarea.
d. Bila semula his kuat tetapi kemudian terjadi inersia uteri skunder, ibu
lemah dan partus telah berlangsung lebih dari 24 jam pada primi dan
181 jam pada multi, tidak ada gunanya memberikan oksitosin drips;
sebaiknya partus segera diselesaikan sesuai dengan hasil pemeriksaan
dan indikasi obtetrik lainnya (ekstraksi vakum atau forcep, atau seksio
sesarea).
2. Tetania uteri / his terlalu kuat
a. Berikan obat seperti morfin, luminal, dsb, asal janin tidak akan lahir
dalam waktu dekat (4-6 jam) kemudian.
b. Bila ada tanda-tanda obstruksi, persalinan harus segera diselesaikan
dengan seksio sesarea.
c. Pada partus presipitatus tidak banyak yang dapat dilakukan karena janin
lahir tiba-tiba dan cepat.
3. Incoordinate uteri
a. Untuk mengurangi rasa takut, cemas dan tonus otot,m berikan obat-obat
penghilang sakit dan penenang (sedatif dan analgetik) seperti morfifn,
petidin dan valium.
b. Apabila persalinan sudah berlangsung lama dan berlarut-laru, seleaikan
partus menggunakan hasil pemeriksaan dan evaluasi, dengan ekstraksi
vakum, forsep, atau seksio sesarea.

Subinvulosio Uterus

A. Pengertian
Subinvolusi uteri adalah proses kembalinya uterus ke ukuran dan bentuk
seperti sebelum hamil yang tidak sempurna (Adelle Pillitteri, 2002)
Subinvolusi adalah kegagalan uterus untuk mengikuti pola normal involusi,
dan keadaan ini merupakan salah satu dari penyebab umum perdarahan
pascapartum. (Barbara, 2004).
B. Etiologi
1. Terjadi infeksi pada endometrium
2. Terdapat sisa plasenta dan selaputnya dalam uterus sehingga proses
involusi uterus tidak berjalan dengan normal atau terlambat.
3. Terdapat bekuan darah
4. Mioma uteri
C. Manifestasi Klinis
Biasanya tanda dan gejala subinvolusi tidak tampak,sampai kira-kira 4 6
minggu postpartum.
1. Fundus uteri letaknya tetap tinggi didalam abdomen/pelvis dari yang
diperkirakan/penurunan fundus uteri lambat dan tonus uterus lembek.
2. Keluaran kochia seringkali gagal berubah dari bentuk rubra ke bentuk
serosa,lalu kebentuk kochia alba.
3. Lochia bisa tetap dalam bentuk rubra dalam waktu beberapa hari
4.
5.
6.
7.
8.

postpartum/lebih dari 2 minggu postpartum,


Lochia bisa lebih banyak daripada yang diperkirakan.
Leukore dan lochia berbau menyengat, bisa terjadi jika ada infeksi.
Pucat, pusing, dan tekanan darah rendah.
Bisa terjadi perdarahan postpartum dalam jumlah yang banyak (>500 ml).
Nadi lemah, gelisah, letih, ekstrimitas dingin.

D. Patofisiologi
Kekurangan darah pada uterus. Kekurangan darah ini bukan hanya karena
kontraksi dan retraksi yang cukup lama, tetapi disebabkan oleh pengurangan
aliran darah yang pergi keuterus di dalam maa hamil, karena uterus harus
membesar menyesuaikan diri dengan pertumbuhan janin. Untuk memenuhi
kebutuhannya, darah banyak dialirkan keuterus dapat mengadakan hipertropi
dan hiperplasi setelah bayi dilahirkan tidak diperlukan lagi, maka pengaliran
darah berkurang, kembali seperti biasa. Demikian dengan adanya hal-hal

tersebut uterus akan mengalami kekurangan darah sehingga jaringan otot-otot


uterus mengalami atrofi kembali ke ukuran semula.
Subinvolusi uterus menyebabkan kontraksi uterus menurun sehingga
pembuluh darah yang lebar tidak menutup sempurna sehingga pendarahan
terjadi terus menerus.
E. Pemeriksaan penunjang
1. USG.
2. Radiologi.
3. Laboratorium (Hb.golongan darah, eritrosit, leukosit, trombosit,
hematokrit, CT, Blooding time).
F. Terapi
1. Pemberian Antibiotika.
2. Pemberian Uterotonika.
3. Pemberian Tansfusi.
4. Dilakukan kerokan bila disebabkan karena tertinggalnya sisasisa
plasenta.

Craked Nipples
A. Definisi
Cracked Nipple merupakan perlukaan pada puting susu
yang disebabkan karena trauma pada puting susu saat menyusui, kadang kulit
terkelupas atau luka berdarah (sehingga ASI menjadi berwarna pink)
(Ambarwati, 2008).

B. Etiologi
Kesalahan dalam teknik menyusui, bayi tidak menyusui sampai areola
tertutup oleh mulut bayi. Bila bayi hanya menyusui pada putting susu, maka
bayi akan mendapatkan ASI sedikit, karena gusi bayi tidak menekan pada
sinus latiferus, sedangkan pada ibunya akan menjadi nyeri/lecet pada puting
susu. Monoliasis pada mulut bayi yang menular pada puting susu ibu. Akibat

dari pemakaian sabun, alkohol, krim, atau zat iritan lainnya untuk mencuci
putting susu. Bayi dengan tali lidah yang pendek (frenulum lingual),
sehingga menyebabkan bayi sulit menghisap sampai ke kalang payudara dan
isapan hanya pada puting susu saja. Rasa nyeri juga dapat
timbul apabila ibu menghentikan menyusui dengan kurang berhati- hati
(Saleha, 2009).

C. Epidemiologi
Masalah-masalah menyusui yang sering terjadi adalah
puting susu lecet atau nyeri. Sekitar 57% dari ibu-ibu menyusui
dilaporkan pernah menderita lecet pada putingnya dan payudara bengkak.
Payudara bengkak sering terjadi pada hari ketiga dan keempat sesudah ibu
melahirkan, karena terdapat sumbatan pada satu atau lebih duktus laktiferus
dan mastitis serta abses payudara yang merupakan kelanjutan atau komplikasi
dari mastitis yang disebabkan karena meluasnya peradangan payudara.
Sehingga dapat menyebabkan tidak terlaksananya Air Susu Ibu
(ASI) eksklusif (Soetjiningsih, 1997).

D. Patofisiologi
Terjadinya puting lecet di awal menyusui pada umumnya disebabkan
oleh salah satu atau kedua hal berikut: posisi dan pelekatan bayi yang tidak
tepat saat menyusu, atau bayi tidak mengisap dengan baik. Meskipun
demikian, bayi dapat belajar untuk mengisap payudara dengan baik ketika ia
melekat dengan tepat saat menyusu (mereka akan belajar dengan sendirinya).
Jadi, proses mengisap yang bermasalah seringkali disebabkan oleh pelekatan
yang kurang baik. Infeksi jamur yang terjadi di puting (disebabkan oleh
Candida Albicans) dapat pula menyebabkan puting lecet.
Vasospasma yang disebabkan oleh iritasi pada saluran darah di puting
akibat pelekatan yang kurang baik dan/atau infeksi jamur, juga dapat
menyebabkan puting lecet. Rasa sakit yang disebakan oleh pelekatan yang
kurang baik dan proses mengisap yang tidak efektif akan terasa paling sakit
saat bayi melekat ke payudara dan biasanya akan berkurang seiring bayi

menyusu. Namun jika lecetnya cukup parah, rasa sakit dapat berlangsung
terus selama proses menyusu akibat pelekatan kurang baik/mengisap tidak
efektif. Rasa sakit akibat infeksi jamur biasanya akan berlangsung terus
selama proses menyusui dan bahkan setelahnya. Banyak ibu
mendeskripsikan rasa sakit seperti teriris sebagai akibat pelekatan yang
kurang baik atau proses mengisap yang kurang efektif. Rasa sakit akibat
infeksi jamur seringkali digambarkan seperti rasa terbakar. Jika rasa sakit
pada puting terjadi padahal sebelumnya tidak pernah merasakannya, maka
rasa sakit tersebut mungkin disebabkan oleh infeksi Candida, meskipun
infeksi tersebut dapat pula merupakan lanjutan dari penyebab lain sakit pada
puting, sehingga periode tanpa sakit hampir tidak pernah terjadi. Retak pada
puting dapat terjadi karena infeksi jamur. Kondisi dermatologis (kulit) dapat
pula menyebabkan sakit pada puting (Saleha, 2009).

E. Manifestasi Klinis
1. Luka lecet kekuningan.
2. Kulit tampak terkelupas/luka berdarah sampai mengakibatkan rasa sakit
3.
4.
5.
F.

pada saat menyusui.


Tampak lebih merah.
Terlihat retak.
Mengalami pembentukan celah-celah (Varney, 2008).

Pemeriksaan Penunjang

1.
2.

Mammografi
USG payudara (Varney, 2008).

G. Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan
Payudara bisa dilakukan dengan teknik SADARI. SADARI sebaiknya
dilakukan sebulan sekali, kira-kira satu minggu setelah masa menstruasi
karena disaat inilah payudara lebih lunak karena pengaruh hormon.
Wanita usia 20-an awal bisa memulai memeriksa payudara sendiri
(Suherni, 2007).

2.

Diagnosa

a.
b.
c.

Mastitis
Abses payudara
Ca mammae

H. Penanganan
1. Bayi harus disusuikan terlebih dahulu pada puting yang normal yang
lecetnya lebih sedikit. Untuk menghindari tekanan lokal pada puting
maka posisi menyusu harus sering diubah, untuk puting yang sakit
dianjurkan mengurangi frekuensi dan lamanya menyusui. Di samping itu,
kita harus yakin bahwa teknik menyusui yang diguanakan bayi benar,
yaitu harus menyusu sampai ke kalang payudara. Untuk menghindari
payudara yang bengkak, ASI dikeluarkan dengan tangan pompa,

2.

kemudian diberikan dengan sendok, gelas, dan pipet.


Setiap kali selesai menyusui bekas ASI tidak perlu dibersihkan, tetapi
diangin-anginkan sebentar agar melembutkan puting sekaligus sebagai

3.

anti-infeksi.
Jangan menggunakan sabun, alkohol, atau zat iritan lainnya untuk

4.

membersihkan payudara.
Pada puting susu bisa dibubuhkan minyak lanolin atau minyak kelapa

5.

yang telah dimasak terlebih dahulu.


Menyusui lebih sering (8-12 kali dalam 24 jam), sehingga payudara tidak
sampai

6.

terlalu penuh dan bayitidak begitu lapar juga tidak menyusu

terlalu rakus.
Periksakanlah apakah bayi tidak menderita moniliasis yang dapat
menyebabkan lecet pada puting susu ibu. Jika ditemukan gejala
moniliasis dapat diberikan nistatin (Suherni, 2007).

I.

Komplikasi

1.
2.

Mastitis
Abses payudara (Saleha, 2009).

J.

Prognosis
Puting susu lecet/luka harus segera ditangani dengan baik, karena jika
dibiarkan saja akan memudahkan terjadinya infeksi pada payudara (mastitis)
(Heidi Murkoff, 2006).

DAFTAR PUSTAKA
Adam J. S. MD, A. B. D., M.D. 2008 Current Management of Acute
and Future Directions. Epidemiol Rev . 2002; 24 : 102-8. Cutenous
Wounds. Available from
http://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJMra0707253 [Accessed 17
Juni 2016].
Adele. Buku Saku
Bobak,dkk.

Asuhan

Ibu

dan Anak.

2002.

EGC.

Jakarta

Alamsyah, Mohammad : Persalinan Lama ; Ilmu Kebidanan, Edisi Ketiga


Cetakan Keempat, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,
Jakarta, 1999.
Ambarwati, 2008. Asuhan Kebidanan Nifas. Yogyakarta: Mitra Cendikia
(hlm: 46-47).
Brinch, J. 1986. Menyusui bayi dengan baik dan berhasil. Jakarta: PT. Gaya
Favorit Press Ebrahim.
Buku Saku Pelayanan Kesehatan ibu difasilitas kesaehatan dasar dan rujukan,
Kemenkes dan WHO 2013.
Cunningham, Normal Labour and Delivery; Williams Obstetrics, 22th
edition. Appleton & Lange New York, 2007.
F. G Cunningham, KJ. Leveno, SL. Bloom. Abortion in William Obstetrics,
22nd edition. Mc-Graw Hill, 2005.
Johnson, Trevor : Labour Prolonged Caudal Continuous Of Trial A Clinical
Analgesia. British Medical Journal, 2009.

Jose A.S., D. F. (2013). Skin and Soft Tissues Infections and


Associated Murtiastutik D. VB. Dalam : Barakbah J, Lumintang H,
Martodihardjo S, editor. Buku ajar infeksi menular seksual. Surabaya :
Airlangga universitypress, 2008; 73-83.
Livengood CH. Bacterial vaginosis : An Overview for 2009. Review in
Obstetrics and Gynecology. 2009; 2 : 29-37.
Mardh PA dkk, editor. Sexually transmitted disease. Edisi ke-4. New York :
McGraw Hill Inc ; 2008. h. 737-68.
Mari Monalisa, Bubakar A., Amiruddin M.D., 2012. Clinical Aspects Fluor
Albus of Female and Treatment. Available from :
http://journal.unhas.ac.id/index.php/ijdv/article/download/255/229.
Maskur Z, Makalew HL. VB. Dalam : Daili SF, Makes WIB, Zubier F, J,
editor. Infeksi menular seksual. Edisi ke-3, cetakan ke-2. Jakarta : Balai
penerbit FK UI, 2007; 116-21.
McPhee S,. Obsterics and obstretrics disoders,Current medical diagnosis
and treatment, 2009 edition, Mc Graw Hill, 2008.
Nwadioha, Egah, Alao, Iheanacho, 2010. Risk Factors for Vaginal
Candidiasis among Women Attending Primary Health care Centers
of Jos, Nigeria. Available from :
http://www.academicjournals.org/jcmr/PDF/PDF2010/July/Nwadioha
%20et%20al.pdf [Accesed: 17 juni 2016].
Parveen N., Munir, Din I., Majeed R., 2008. Frequency of Vaginal
Candidiasis in Pregnant Women Attending Routine Antenatal Clinic.
Available from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18460243
[Accesed: 17 juni 2016].
Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu kebidanan. 2005. Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Pillitteri,
Saifuddin A. Perdarahan pada kehamilan muda dalam Buku Panduan
Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal,Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta,2006 Hal M9-M17.
Saifuddin, AB ; Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal, edisi pertama 2000, JNPKKR-POGI-Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 2001.
Saleha, 2009. Asuhan Kebidanan Pada Masa Nifas. Jakarta: Salemba
Medika (hlm: 102-105).

Sarwono, P. 2008. Perdarahan pada kehamilan muda dalam Ilmu


Kandungan.
Sastrawinata, Sulaeman, Prof. Obstetri Patologi. Bagian Obstetri dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, Bandung.
1981:11-17.
Standard Pelayanan Medis Ilmu Kebidanan dan Kandungan, RS Efarina
Etaham, 2008, ms 33-35.
Varney, Helen dkk. 2008. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Volume 2. Jakarta:
EGC.

Anda mungkin juga menyukai