Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PRAKTEK FARMAKOTERAPI

INFEKSI, KANKER, DAN GANGGUAN NUTRISI


(DEA61074)
SEMESTER GANJIL

DISUSUN OLEH KELOMPOK B1


ANGGOTA:
Jefferson Azarya Pieter (NIM. 175070500111002)
Adelia Ayu Pritiyani (NIM. 175070500111004)
Shindy Ariesta Dewiadjie (NIM. 175070500111012)
Ernila Dewi Anggraeni (NIM. 175070500111018)
Isti’aina Mursyada (NIM. 175070500111020)
Abigail Andrea Wibyantri (NIM. 175070500111028)
Era Wiloka (NIM. 175070501111008)
Weliyatul Auli Sasmita (NIM. 175070501111010)
Gita Kurnia Ardiani (NIM. 175070501111020)
Mutia Khairunnisa Sya’bani (NIM. 175070507111004)
Shifa Nida’ul Khofiyya (NIM. 175070507111014)
Nabila Rifdati Fawwazia (NIM. 175070507111016)

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
TA 2020/2021
INFEKSI SALURAN KEMIH

1. DEFINISI

Infeksi Saluran Kemih (ISK) merupakan istilah umum yang menunjukkan


keberadaan mikroorganisme dalam urin. Adanya bakteri dalam urin disebut bakteriuria.
Bakteriuria bermakna adanya pertumbuhan mikroorganisme murni lebih dari 105 colony
forming units (CFU) pada biakan urin (Mangareni dan Octavia, 2019). Bakteriuria
bermakna tanpa adanya manifestasi klinis ISK disebut bakteriuria asimptomatik.
Sedangkan bakteriuria bermakna dengan adanya manifestasi klinis disebut bakteriuria
simptomatik. Infeksi saluran kemih berdasarkan lokasinya dibagi menjadi dua yaitu
infeksi saluran kemih atas dan infeksi saluran kemih bawah. ISK non spesifik adalah
ISK yang gejala klinisnya tidak jelas. Ada sebagian kecil (10-20%) kasus yang sulit
digolongkan ke dalam pielonefritis atau sistitis, baik berdasarkan gejala klinik maupun
pemeriksaan penunjang yang tersedia. ISK simpleks (simple UTI, uncomplicated UTI)
adalah infeksi pada saluran kemih yang normal tanpa kelainan struktural maupun
fungsional saluran kemih yang menyebabkan stasis urin. ISK kompleks (complicated
UTI) adalah ISK yang disertai dengan kelainan anatomik dan atau fungsional saluran
kemih yang menyebabkan stasis ataupun aliran balik (refluks) urin. Kelainan saluran
kemih dapat berupa batu saluran kemih, obstruksi, anomali saluran kemih, kista ginjal,
bulibuli neurogenik, benda asing, dan sebagainya (IDAI, 2011).
2. EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian infeksi saluran kemih dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin.
Pada bayi, prevalensi abakteriuria sekitar 1% dan lebih umum terjadi pada laki-laki.
Pada anak-anak usia 1-6 tahun, infeksi saluran kemih lebih sering terjadi pada
perempuan. Prevalensi abakteriuria pada perempuan dan laki-laki berurut-turut adalah
3-7% dan 1-2%. Biasanya infeksi pada rentang usia ini lebih sulit terdeteksi
dikarenakan usia, tetapi biasanya bersifat simptomatis, infeksi saluran kemih yang
dialami dapat menyebabkan peningkatan risiko kerusakan ginjal. Pada anak-anak usia
6 tahun sampai sebelum pubertas, angka kejadian infeksi saluran kemih sekitar 1%,
dengan 5% perempuan dilaporkan mengalami bakteriuria signifikan, dan persentase
akan meningkat setelah pubertas pada perempuan karena peningkatan aktivitas seksual
(DiPiro et al., 2020).
Pada lansia, angka kejadian infeksi saluran kemih pada wanita dan pria berubah,
dan perbandingan angka kejadian antara wanita dan pria nyaris sama pada usia lebih
dari 65 tahun. Biasanya infeksi yang terjadi bersifat asimptomatis. Prevalensi akan
meningkat pada lansia yang berada di panti jompo dan rumah sakit. Peningkatan
tersebut dapat disebabkan karena faktor-faktor seperti obstruksi dari hipertrofi prostat
pada pria, pengosongan kandung kemih yang buruk karena prolapse pada wanita, dan
penyakit neuromuskuler termasuk stroke serta penggunaan kateter (DiPiro et al., 2020).
Di Indonesia, infeksi saluran kemih merupakan infeksi dengan angka kejadian
paling tinggi yaitu sekitar 39-60%. Di negara berkembang, sekitar 30-80% pasien yang
terjangkit infeksi saluran kemih dirawat di rumah sakit dan mendapat antibiotik. Namun
20-65% dari pasien yang menerima antibiotik tidak mendapatkan antibiotik yang tepat
(Musdalipah, 2018).
3. ETIOLOGI
Mikroorganisme penyebab infeksi saluran kemih biasanya berasal dari flora
normal yang terdapat pada saluran pencernaan pasien. Bakteri penyebab paling umum
adalah Escherichia coli, di mana angka kejadiannya mencapai 80-90% dari infeksi
saluran kemih. Bakteri penyebab lain yang menyebabkan infeksi tak berkomplikasi
adalah Staphylococcus saprophticus, Klebsiella pneumoniae, Proteus spp.,
Pseudomonas aeruginosa, dan Enterococcus spp. Kultur beberapa kali harus dilakukan
untuk mengonfirmasi patogen penyebab (DiPiro et al., 2020).
Mikroorganisme penyebab infeksi komplikasi lebih bervariasi dan umumnya
lebih resisten. Patogen-patogen penyebab infeksi komplikasi di antaranya E. coli,
Proteus spp., K. pneumoniae, Enterobacter spp., P. aeruginosa, staphylococci, dan
enterococci. Enterococci umum ditemukan pada pasien MRS, yang dapat dikaitkan
dengan penggunaan jangka panjang antibiotik sefalosporin generasi ketiga. E. faecalis
dan E. faecium resisten vancomycin juga sering terjadi, terutama pada pasien yang lama
di rumah sakit atau mengalami keganasan, dan enterococci resisten vancomycin
menjadi permasalahan kesehatan karena hanya beberapa antibiotik yang mampu
mengeradikasi. Sebagian besar infeksi saluran kemih disebabkan oleh satu patogen,
namun pada pasien dengan batu ginjal, menggunakan kateter, atau infeksi ginjal kronis
didapati beberapa patogen penginfeksi pada pasien (DiPiro et al., 2020). Faktor risiko
terjadinya infeksi saluran kemih yaitu jenis kelamin, usia, penggunaan kateter,
urolitiasis, diabetes mellitus, dan pasien tirah baring (Setyorini et al., 2019).
4. PATOFISIOLOGI
Pada wanita sehat, kebanyakan uropatogen berasal dari flora rektal dan masuk ke
kandung kemih melalui uretra dengan fase sementara terjadi kolonisasi uretra periuretra
dan distal. Akuisisi vagina uropatogen dari pasangan seksual laki-laki wanita telah
dilaporkan tetapi mungkin jarang menjadi penyebab ISK. Kolonisasi vagina merupakan
prasyarat untuk infeksi kandung kemih; faktor-faktor yang meningkatkan risiko ISK
umumnya melakukannya setidaknya sebagian dengan memfasilitasi kolonisasi vagina.
Faktor-faktor tersebut dibahas di bawah ini. Apakah ISK berikutnya terjadi adalah hasil
dari interaksi dinamis antara inang dan uropatogen. Gejala ISK berkembang ketika
uropatogen di kandung kemih atau ginjal merangsang pelepasan sitokin,
mengakibatkan respons dan gejala inflamasi.
Perbedaan besar dalam prevalensi ISK antara pria dan wanita diperkirakan
disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk: jarak yang lebih jauh antara anus (sumber
uropatogen biasa) dan meatus uretra; lingkungan yang lebih kering di sekitar uretra pria;
uretra pria yang lebih panjang; dan aktivitas antibakteri dari cairan prostat. Faktor risiko
yang terkait dengan ISK pada pria sehat termasuk hubungan seksual dengan pasangan
wanita yang terinfeksi, homoseksualitas dan kurangnya sunat, meskipun seringkali
tidak satu pun dari faktor-faktor ini terdapat pada pria dengan ISK. Strain urropatogenik
yang menginfeksi anak muda yang sehat laki-laki cenderung sangat urovirulen.
Infeksi Saluran Kencing dapat disebabkan oleh Mikroekologi vagina. Adanya
perubahan pada mikroflora vagina dianggap memainkan peran penting dalam
memfasilitasi kolonisasi vagina dengan koliform. Secara khusus, perubahan pada
keberadaan atau konsentrasi lactobacilli, terutama hidro-strain penghasil gen peroksida,
telah dibuktikan memiliki peran utama dalam kolonisasi vagina dengan uropatogen.
Secara umum, faktor-faktor yang mempengaruhi kolonisasi vagina juga mempengaruhi
kolonisasi dan infeksi kandung kemih. Kolonisasi vagina dengan uropatogen,
bagaimanapun, tidak pasti menyebabkan ISK. Masih harus ditentukan mengapa
kolonisasi vagina berkembang menjadi ISK pada beberapa wanita dan tidak pada
wanita lain. Kemungkinan kolonisasi vagina biasanya merupakan faktor penentu yang
diperlukan untuk ISK, tetapi peristiwa lain, seperti hubungan seksual, umumnya harus
terjadi untuk memungkinkan terjadinya infeksi (Hooton,2000).
5. TERAPI NON FARMAKOLOGI
Terapi non – farmakologi yang dapat dilakukan adalah (Pardede, 2018) :
1. Minum air putih dalam jumlah yang cukup ( minimal 8 gelas air putih / hari )
2. Menjaga dengan baik kebersihan di sekitar kemaluan agar bakteri tidak mudah
berkembang biak . Menjaga kebersihan lingkungan juga perlu dilakukan
3. Tidak menahan keinginan buang air kecil
4. Gunakan air yang mengalir untuk membersihkan diri setelah berkemih
5. Memakai celana dalam yang tidak terlalu ketat dan selalu menjaga celana dalam
tetap kering
6. Menjaga kebersihan daerah kelamin , untuk wanita membersihkan kemaluan dari
arah depan ke arah belakang
7. Pencegahan kekambuhan ISK dapat dilakukan pemberian cranberry. Cranberry
mengandung zat proanthocyainidins yang dapat menghambat adhesi P-fimbriae
E.coli uropatogenik ke uroepitel
6. TERAPI FARMAKOLOGI

Manajemen pasien dengan ISK antara lain termasuk evaluasi awal, pemilihan agen
antibiotik dan durasi terapi, serta evaluasi tindak lanjut. Tujuan pengobatan ISK adalah
untuk memberantas bakteri penyebab infeksi, mencegah atau mengobati konsekuensi
sistemik, dan mencegah terulangnya infeksi. Sehingga pemberian antimikroba menjadi
landasan untuk pengobatan ISK. Antimikroba yang dipilih idealnya yang dapat
ditoleransi dengan baik, memberikan kepatuhan pasien (jumlah dosis rendah), memiliki
konsentrasi yang cukup di lokasi infeksi di saluran kemih, dan memiliki bioavailabilitas
oral yang baik. Pemilihan awal agen antimikroba untuk pengobatan ISK terutama
didasarkan pada keparahan dari gejala yang muncul, tempat infeksi, dan klasifikasi ISK
complicated atau uncomplicated (Coyle dan Prince, 2014; Rose dan Matthias, 2013).

Terapi antimikroba empiris dapat dilakukan untuk ISK uncomplicated, sedangkan


pemilihan antibiotik untuk pengobatan pielonefritis akut, ISK complicated, atau ISK
akibat reinfeksi harus dilakukan berdasarkan hasil tes kultur dan kerentanan kuman.
Durasi terapi antibiotik bisa diberikan selama 2 minggu. Reinfeksi ISK yang terjadi
lebih dari 2 minggu setelah infeksi awal harus diperlakukan seperti infeksi baru dan
dikelola dengan pertimbangan terapeutik yang mirip dengan infeksi awal (Abbo dan
Hooton, 2014; George et al., 2016).
Sistitis Akut (ISK bagian bawah)
Antibiotik pilihan yang dapat digunakan untuk sistitis akut uncomplicated antara
lain fosfomisin trometamol 3 g dosis tunggal, pivmecillinam 400 mg dua kali sehari
selama 3 hari, dan nitrofurantoin macrocrystal 100 mg selama 5 hari, dianggap sebagai
obat pilihan pertama di banyak negara. Kotrimoksazol (160/800 mg bid selama 3 hari)
atau trimetoprim (200 mg selama 5 hari) seharusnya dianggap sebagai obat pilihan
pertama hanya jika tingkat resistensi E. coli <20% (Brair et al., 2015).
Antibiotik lini kedua yang direkomendasikan untuk sistitis akut uncomplicated
seperti Fluorokuinolon (Levofloxacin 250 mg atau 500 mg satu kali sehari selama 3 hari
atau Ciprofloxacin 250 mg dua kali sehari selama 3 hari). Namun karena meningkatnya
prevalensi resistensi Fluorokuinolon di beberapa wilayah di dunia dan karena
pentingnya mereka dalam pengobatan berbagai macam infeksi, penggunaan
Fluorokuinolon harus diberikan bila memungkinkan hanya untuk penggunaan lain
selain sistitis. Beta-laktam (Amoksisilin-klavulanat, Cefdinir, Sefaklor dan
Cefpodoxime) selama 7 hari atau lebih juga direkomendasikan sebagai agen lini kedua
dengan beberapa penelitian melaporkan efikasi yang lebih rendah dibandingkan dengan
TMP-SMX dan Fluorokuinolon. Fluorokuinolon tidak dianggap sebagai pilihan
pertama karena ditakutkan peningkatan resistensi yang tinggi serta faktor lain seperti
harga yang lebih mahal dan spektrumnya yang lebih luas, oleh karena itu harus
diberikan untuk pasien dengan tingkat resistensi yang tinggi (lebih dari 10% hingga
20%) terhadap trimetoprim atau pada pasien yang tidak dapat mentolerir trimetoprim-
sulfametoksazol/nitrofurantoin atau pada pasien yang mengalami rekuren ISK (Abbo
dan Hooton, 2014; Brair et al., 2015; George et al., 2016).
Tabel II. 1 Manajemen antimikroba sistitis akut (Abbo dan Hooton 2014; 180)

Antimicrobial Dosing and Efficacy

Duration
First-Line Agents
Nitrofurantoin 100 mg twice ▪ clinical efficacy of 5-7 day
monohydrate/macrocrystal daily x 5 days regimen: 93% (84%-95%)
(with meals) ▪ 3-day regimen appears less
effective vs. longer regimens
▪ minimal in vitro resistence
Trimethoprim- 160/800 mg ▪ clinical efficacy of 3-day
sulfamethoxazole twice-daily x 3 TMP-SMX regimen: 93%
days (90%-100%)
▪ avoid if resistance >20% or

exposure in prior 3-6 months


Fosfomycin trometamol 3 g sachet in a ▪ appears to be less effective
single dose vs. TMP-SMX or
Fluoroquinolones
▪ minimal in vitro resistance,

but most labs do not test


pivmecillinam 400 mg twice ▪ clinical efficacy of 3-7 day
daily x 3-7 days regimen: 73% (55%-82%)
▪ minimal in vitro resistance
▪ unavailable in some
countries
Second-Line Agents
Fluoroquinolones: 250 mg twice ▪ clinical efficacy 90% (85%-
Ciprofloxacin daily x 3 days 98%)
Levofloxacin 250 mg or 500 ▪ high prevalence of in vitro
mg once daily x resistance in some region of
3 days the world
β-lactam (e.g., 3-7 days ▪ clinical efficacy of 3-5 day

amoxicillin-clavulanate, regimens: 89% (79%-98%)

Antimicrobial Dosing and Efficacy

Duration
cefridinir, cefaclor, and ▪ less effective than TMP-SMX
cefpodoxime-proxetil and Fluoroquinolones
▪ prevalence of E. coli

resistance is variable
Pielonefritis akut (ISK bagian atas)
Untuk pengobatan ISK complicated, obat harus mencapai konsentrasi tinggi
dalam urin, jaringan ginjal dan prostat. Oleh karena itu, nitrofurantoin dan fosfomisin
tidak dianjurkan untuk infeksi bagian atas (pielonefritis) atau ISK complicated (Abbo
dan Hooton, 2014).
Pada kasus pielonefritis akut yang ringan, antibiotik golongan Fluorokuinolon
seperti Ciprofloxacin 500-750 mg dua kali sehari atau Levofloxacin 500 mg sekali sehari
selama 7-10 hari dapat direkomendasikan sebagai terapi lini pertama jika tingkat
resistensi E. coli masih <10%. Jika dosis Fluorokuinolon ditingkatkan, perawatan
mungkin bisa dikurangi menjadi 5 hari. Namun, telah ditemukan di beberapa bagian
dunia terjadi peningkatan jumlah E. coli yang resisten terhadap Fluorokuinolon di
masyarakat, sehingga penggunaan Fluorokuinolon secara empiris menjadi dibatasi.
Fluorokuinolon kontraindikasi jika digunakan selama kehamilan (Grabe et al., 2015).
Sefalosporin oral generasi ketiga, seperti cefpodoxime proxetil atau ceftibuten,
bisa menjadi alternatif. Namun, penelitian efektifitasnya yang dibandingkan dengan
Ciprofloxacin hanya menunjukkan kemiripan klinis saja bukan mikrobiologi. Sebagai
hasil dari peningkatan tingkat resistensi E. coli >10%, kotrimoksazol tidak cocok untuk
terapi empiris di sebagian besar wilayah, tetapi dapat digunakan setelah sensitivitasnya
dikonfirmasi melalui uji kerentanan. Co- amoxiclav tidak direkomendasikan sebagai
obat pilihan pertama untuk terapi oral empiris pielonefritis akut, namun disarankan
ketika pengujian kerentanan menunjukkan hasil bakteri gram-positif. Di masyarakat
dengan tingkat resistensi Fluorokuinolon yang tinggi dan E. coli penghasil ESBL
(>10%), terapi empiris awal dengan aminoglikosida atau karbapenem harus
dipertimbangkan sampai

pengujian kerentanan menunjukkan bahwa obat oral juga dapat digunakan (Brair et al.,
2015; Grabe et al., 2015).
Pasien dengan pielonefritis berat yang tidak bisa minum obat oral karena gejala
sistemik seperti mual dan muntah, harus diobati dengan salah satu antibiotik parenteral
seperti Ciprofloxacin 400 mg dua kali sehari atau Levofloxacin 250-500 mg sekali
sehari. Setelah keadaan pasien membaik, dapat dilanjutkan dengan pemberian rute oral
(Grabe et al., 2015).
Tabel II. 2 Manajemen rawat jalan antimikroba pielonefritis akut (Abbo dan Hooton,
2014)

Antimicrobial Dosing and Efficacy

Duration
Fluoroquinolones: 500 mg orally ▪ clinical efficacy of ciprofloxacin 500
Ciprofloxacin twice-daily or 1 g mg orally twice-daily for 7 days: 96%
Levofloxacin extended release Clinical efficacy of levofloxacin 750
orally once-daily mg orally or intravenous once daily
x 7 days for 5 days: 86%; vs. ciprofloxacin 400
750 mg orally mg intravenous or 500 mg orally
twice daily for 10-days: 81% most
once-daily x 5
subjects in both arms received oral
days
therapy
Trimethoprim- 160/800 mg ▪ inferior choice for empirical therapy
sulfamethoxazole orally twice-daily due to high of resistance and
for 14 days corresponding failure rates
▪ highly effective if strain susceptible

▪ E. coli resistance >20% in many


areas of the world, including some
areas of US
▪ 92% clinical efficacy if E. coli

susceptible vs. 35% if not susceptible


Oral β-lactams Duration 10-14 ▪ data limited, but inferior efficacy vs.

days TMP-SMX and Fluoroquinolones


Specific agents ▪ oral β-lactams should be used only
are not listed in when other recommended agents can’t
IDSA guidelines be used
Tabel II. 3 Rekomendasi terapi antibiotik oral empiris pada pielonefritis akut ringan
dan sedang (Grabe et al., 2015)

Oral Therapy in mild and moderate uncomplicated pyelonephritis


Antibiotics Daily dose Duration of therapy
Ciprofloxacin 500-750 mg bid 7-10 days
Levofloxacin 500 mg qd 7-10 days
Levofloxacin 750 mg qd 5 days
Alternatives (clinical but not microbiological equivalent efficacy compared with

Fluoroquinolones):
Cefpodoxime proxetil 200 mg bid 10 days
Ceftibuten 400 mg qd 10 days
Only if the pathogen is known to be susceptible (not for initial empirical

therapy):
Trimethoprim- 160/800 mg bid 14 days

sulphamethoxazole
Co-amoxiclav 0.5/0.125 g tid 14 days

Tabel II. 4 Rekomendasi terapi antimikroba parenteral empiris awal pada


uncomplicated pielonefritis akut (Grabe et al., 2015)

Antibiotics Daily dose

Ciprofloxacin 400 mg bid

Levofloxacin 250-500 mg qd

Levofloxacin 750 mg qd

Alternatives

Antibiotics Daily dose

Cefotaxime 2 g tid
Ceftriaxone 1-2 g qd

Ceftazidime 1-2 g tid

Cefepime 1-2 g bid

Co-amoxiclav 1,5 g tid

Piperacillin/tazobactam 2,5-4,5 g tid

Gentamicin 5 mg/kg qd

Amikacin 15 mg/kg qd

Ertapenem 1 g qd

Imipenem/cilastatin 0,5/0,5 g tid

Meropenem 1 g tid

Doripenem 0,5 g tid


7. KASUS
KASUS INFEKSI SALURAN KEMIH

A. Identitas Pasien

Nama : An. RD
No. RM : 858585
Umur : 5 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Anggrek Timur No.26 - Malang
Tanggal Masuk : 25 Oktober 2020

Anamnesis:
Demam sejak 2 hari SMRS (sebelum masuk RS), suhu naik perlahan, sudah diberi paracetamol demam
turun lalu naik kembali. Pasien mengeluh pusing, mual, muntah. Terdapat batuk pilek, tidak ada sesak
napas. Dua hari SMRS pasien mengeluh nyeri saat BAK, sedikit tetapi frekuensinya sering, berwarna
kuning pekat, tidak ada darah dan berbau tidak seperti biasanya. BAB normal, nafsu makan pasien
menurun.

Riwayat penyakit dahulu: Belum pernah mengalami keluhan yang serupa.

Riwayat penyakit keluarga: Tidak ada di keluarga yang memiliki penyakit yang sama.

Riwayat imunisasi
Imunisasi dasar : BCG (+), Hepatitis B (+), Polio (+), DTP (+), Campak (+)
Kesan : imunisasi dasar lengkap

Pola makan
Pasien biasa makan masakan rumah, dengan komposisi harian nasi, lauk (daging/ayam/ikan/telur),
tidak terlalu suka makan buah dan sayur dengan porsi 1 piring 3-4x/ hari. Pasien suka jajan di wilayah
sekolah.
Kesan : kualitas dan kuantitas makan cukup

Riwayat pertumbuhan dan perkembangan


Sesuai umur, tidak terdapat keterlambatan tumbuh kembang.

Riwayat alergi: tidak ada alergi terhadap obat-obatan atau makanan.

Riwayat psikososial: tinggal bersama orangtua, lingkungan rumah bersih dengan ventilasi dan
pencahayaan yang cukup.

B. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Tanda vital : Nadi 100 x/menit, suhu 38o C, RR 28 x/menit
Antropometri : BB 17 kg, TB 107 cm
Kesan gizi : Gizi baik

TUGAS 1 . Lakukan analisis terkait subyektif & obyektif pasien (Subjektif, Objektif)
2. Faktor apa saja yang mendukung sakitnya anak RD? (Subjektif)
3. Buat rencana regimen terapi (as your suggestion with reasoning) (Plan)
4. Buat rencana terkait monitoring dan evaluasi (Plan)
5. Buat rencana KIE (Plan)

SUBJEKTIF
Nomor 1
Lakukan analisis terkait subyektif pasien
Pusing, mual dan muntah  Pusing dapat disebabkan karena rendahnya asupan
makan karena nafsu makan pasien menurun sehingga
kebutuhan nutrisi sel-sel di otak tidak terpenuhi
 Kondisi mual dan muntah dapat disebabkan karena
asam lambung pasien yang meningkat karena nafsu
makan pasien yang menurun.
 Muntah dapat disebabkan melalui mekanisme
impuls saraf dari perut, saluran usus, dan bagian
tubuh lainnya yang menghasilkan aktivasi refleksif
dan mengirimkan impuls ke pusat medulla yang
mengatur refleks muntah.
Batuk , pilek  Adanya batuk dan pilek mungkin disebabkan karena
kondisi imunitas pasien yang menurun. Rendahnya
asupan makanan juga dapat berkontribusi
menurunnya pada imunitas pasien. Selain itu, pasien
juga dicurigai mengalami infeksi saluran kemih,
sehingga ada potensi bahwa sistem imunitas
menurun.
Demam, Nyeri pada saat  Pasien mengalami demam sejak 2 hari masuk RS
BAK dimana Demam merupakan salah satu manifestasi
klinik dari ISK simtomatik. Dimana ISK simtomatik
sendiri dapat dibagi dalam dua bagian yaitu infeksi
yang menyerang parenkim ginjal, disebut
pielonefritis dengan gejala utama demam, dan
infeksi yang terbatas pada saluran kemih bawah
(sistitis) dengan gejala utama berupa gangguan miksi
seperti disuria, polakisuria, kencing mengedan
(urgency).
Nafus makan berkurang  Hal ini bisa disebabkan karena pasien merasakan
mual dan muntah sehinggan merasa tidak nyaman
untuk makan.
Nomor 2
Faktor apa saja yang mendukung sakitnya anak RD?

Tidak terlalu suka makan Faktor yang paling memengaruhi pola BAB adalah konsumsi
buah dan sayur dengan porsi makanan terutama makanan-makanan yang mengandung
1 piring 3-4x/ hari serat, Kurangnya konsumsi serat dapat mengakibatkan
konstipasi. Jika keadaan ini terus dibiarkan dapat
mengakibatkan gangguan pencernaan lainnya yang lebih
serius seperti impaksi dan juga meningkatkan terjadinya
infeksi saluran kemih pada pasien (Syahny, 2012).
Gender ISK lebih sering terjadi pada anak perempuan, terutama saat
pelatihan toilet dimulai. Anak perempuan lebih rentan karena uretra
mereka lebih pendek dan lebih dekat ke anus. Ini memudahkan
bakteri masuk ke uretra (Storme, 2019).
Usia Menurut Rowe & Juthani (2013) ISK adalah salah satu
infeksi yang paling sering didiagnosis pada anak dan lansia.
Insiden ISK meningkat pada anak menurun pada umur
dewasa dan meningkat lagi pada lansia. >10% wanita yang
> 65 tahun. Keadaan ini dapat terjadi karena sistem imun pada anak
– anak yang masih belum sempurna dan masih dalam tahap
perkembangan sehingga lebih rentan untuk mengalami infeksi. Pada
anak usia muda, juga masih belum terlalu memahami terkait
kebersihan diri dan terkadang masih memerlukan bantuan dari orang
tuanya.
Jajan di wilayah sekolah Kemungkinan tidak bersihnya jajanan yang dijual pada
lingkungan sekolah yang bisa menjadi salah satu pemicu
terdapatnya bakteri yang masuk (Kaminogawa, S., 2004).
OBJEKTIF
Nomor 1
Lakukan analisis terkait objektif pasien
a) Nadi 100x/menit (normal: 60-100x/menit) → normal cenderung tinggi, tanda SIRS. Salah satu
tanda systemic inflammatory response syndrom (SIRS) adalah nadi >90x/menit, di mana hal
ini merupakan keadaan klinis akibat infeksi yang sering dijumpai terjadinya perubahan
hemodinamik akibat pengaruh mikroorganisme terhadap pembuluh darah perifer maupun
jantung. Lipopolisakarida endotoksin yang diproduksi bakteri di dalam darah akan memicu
produksi dan pelepasan mediator seperti TNF-α, IL-1, IL-6, hingga IL-8, di mana jika
diproduksi berlebihan akan berpengaruh pada resistensi dan permeabilitas vaskuler, hingga
terkait fungsi jantung/status inotropik (Romdhoni, 2009).
b) Suhu 38o C (normal: 36-37,5 o C) → demam. Demam merupakan gejala dan tanda klinik yang
sering dan terkadang merupakan satu-satunya gejala ISK pada anak. Suhu ≥38C menjadi tanda
terjadinya febrile UTI/ISK demam, di mana ISK demam sering ditemukan pada bayi atau anak
kecil, serta sekitar 60-65% ISK demam merupakan pielonefritis akut. Pada pasien dengan
febrile UTI/ISK demam, ekspresi Toll-like receptor 4 (TLR4) meningkat kaitannya dengan
adanya inflamasi. Uropatogen yang dikenali TLR4 mengakibatkan sel epitel teraktivasi untuk
merespon terhadap infeksi lokal melalui pelepasan sitokin, chemokin, dan faktor lainnya terkait
komponen respon imun bawaan. Hal ini mempengaruhi neuron termoregulasi pada
hipotalamus sehingga merubah regulasi sentral pada temperature tubuh (Pecil,
2009).
c) Kesadaran  Composmentis, Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran
normal, sadar sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan
sekelilingnya (Nilai GCS nya 15(4-5-6)).
PLAN
Nomor 3
Buat rencana regimen terapi (as your suggestion with reasoning)
Rencana regimen terapi
 Antibiotik parenteral: Sefotaksim IV 150 mg/kgBB/hari dibagi tiap 6 jam, diberikan
selama 2 – 3 hari (IDAI, 2011). Sefotaksim termasuk golongan Sefalosporin generasi
ketiga, dimana merupakan antibiotic spektrum luas yang memiliki aktivitas yang baik
terhadap bakteri gram negative. Selain itu, pasien dapat diberikan Sefotaksim karena pasien
belum melakukan kultur.

(IDAI, 2011).
 Antibiotik oral: Sefiksim 8 mg/kgBB.hari dibagi dalam 2 dosis, diberikan setalah
pemberian antibiotic parenteral selama 7 – 10 hari. Bentuk sediaan yang diberikan yaitu
sirup kering/suspense. Sefiksim per oral dapat direkomendasikan sebagai terapi yang aman
dan efektif pada anak yang menderita ISK dengan demam (IDAI, 2011).

(IDAI, 2011).
 Untuk kondisi demam diberikan Parasetamol 15 mg/kgBB setiap 6 jam, maks 1 gram/hari
 BB : 17kg  15 mg x 17 kg = 255 mg, setiap 6 jam.
(The Royal Children's Hospital Melbourne,2020)
 Untuk kondisi mual dan muntah (anak-anak) diberikan Domperidon 0,2 – 0,4 mg/kgBB
setiap 8 jam jam jika diperlukan  BB : 17kg  0,2 mg x 17 kg = 3,4 mg oral, setiap 8
jam

(Romano et al.,2019)
 Untuk kondisi lemas diberikan Infus NS sebagai resusitasi cairan karena pasien mengalami
mual dan muntah.

Nomor 4
Buat rencana terkait monitoring dan evaluasi
OBAT METO MESO
Sefotaksim Infeksi bakteri (dysuria) dan tanda- Diare, ruam, nyeri pada bagian yang
tanda vital pasien (nadi dan RR) diinjeksi
Sefiksim Infeksi bakteri (dysuria) dan tanda- Diare
tanda vital pasien (nadi dan RR)
Parasetamol Suhu tubuh Hepatotoksik (jika digunakan jangka
panjang atau lebih dari 4 g/hari), ruam
kulit
Domperidon Frekuensi mual dan muntah berkurang Sakit kepala, kesulitan tidur, diare
Infus NS Kondisi lemas pasien Bengkak, eritema, gatal
Nomor 5
Buat rencana KIE
Rencana KIE
 Penggunaan obat antibiotik harus dihabiskan
 Perlu pemeriksaan lebih lanjut yaitu kultur bakteri setelah 1-2 minggu menyelesaikan
terapi yang diberikan untuk mengettahui apakah masih ada bakteri yang tumbuh atau tidak
 Sefiksim yang diberikan berupa sediaan sirup kering, maka harus dilakukan konseling
kepada pasien terkait cara penggunaanya, yaitu: cefixime berbentuk sediaan sirup kering
ditambahkan 10 mL air matang, lalu dikocok kemudian ditambahkan air matang sampai
leher botol atau sekitar 20 ml sehingga didapatkan 30 ml. Sediaan sirup kering/supensi
Sefiksim tidak boleh digunakan setelah 7 hari dilarutkan. Sebelum digunakan perlu
dikocok terlebih dahulu
 Minum air putih 2 liter perhari karena dapat mengencerkan konsentrasi bakteri didalam
kandung kemih meskipun sedikit nyeri namun hal tersebut dapat mendorong bakteri untuk
keluar
 Membersihkan genitalian eksterna setelah buang air dari dalam ke luar, satu arah untuk
menghindari masuknya kembali bakteri
 Jangan menahan kencing
 Pakailah celana dalam dari bahan katun untuk menjaga area tersebut kering
 Hindari memakai celana yang terlalu ketat yang akan membuat panas dan
basah/berkeringat, membuat area tersebut mudah untuk ditumbuhi bakteri
 Minum jus cranberry, Secara tradisional, cranberry telah digunakan untuk pengobatan dan
pencegahan infeksi saluran kemih. Penelitian menunjukkan bahwa mekanisme kerjanya
adalah mencegah terikatnya bakteri ke permukaan membran sel. Cranberry juga telah
ditemukan secara khusus mengambat hemaglutinasi E. coli dengan ekspresi tipe 1 dan p
adhesion
DAFTAR PUSTAKA
Abbo, Lilian M. & Hooton, Thomas M. (2014). “Antimicrobial Stewardship and Urinary Tract
Infections” dalam Johansen & Naber (Ed.) Antibiotics and Urinary Tract Infections.
Switzerland: MDPI.
Brair, Amallia, et al. (2015). Local Audit: How Tightly Should We Police Antibiotic Prescribing
for Urinary Tract Infection and How Should We Modify National Policy?. Post
Reproductive Health 2015, Vol. 21(4) 151– 157.
Coyle, E.A & Prince, R.A. (2014). “Urinary Tract Infections and Prostatitis” dalam DiPiro, J.T. et
al. (Ed.) Pharmacotherapy: a pathophysiologic approach, Ninth Edition. New York:
McGraw-Hill Medical.
DiPiro, Joseph T, Yee GC, Posey LM, Haines ST, Nolin TD, and Ellingrod V. 2020.
Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, 11th Ed. New York: McGraw Hill.
George, Dr. Mathew, et al. (2016). A Prospective Study Comparing Nitrofurantoin vs
Fluoroquinolones in The Therapy of Uncomplicated Urinary Tract Infection. The Pharma
Innovation Journal TPI 2016; 5(6): 47-52
Grabe, M., Bartoletti, R., Johansen, T. B., & et al. (2015). Guidelines on Urological Infections.
European Association of Urology
Hooton, Thomas. (2000). Pathogenesis of urinary tract infections: An update : The Journal of
antimicrobial chemotherapy. 46 Suppl 1. 1-7; discussion 63. 10.1093/jac/46.suppl_1.1
Howell AB, Vorsa N, Der Marderosian A, Foo LY. 1998. Inhibition of the adherence of P-fimbriated
Escherichia coli to uroepithelial-cell surfaces by proanthocyanidin extracts from cranberries. N Engl J
Med. 1998; 339:1085–6.)
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2011. Konsensus Infeksi Saluran Kemih Pada Anak. Jakara
: Unit Kerja Nefrologi.
Kaminogawa S, Nanno M. Modulation of Immune Function by Foods. Evidence-based
Complementary and Alternative Medicine, 2004, 1(3):241- 250.
Mangareni, Y., Octavia Devi. Infeksi Saluran Kemih (ISK) Komplikata di Rumah Sakit Ibnu Sina
Makassar. Jurnal Kedokteran, 2019, 3(2): 130-140.
Musdalipah. Identifikasi Drug Related Problem (DRP) pada Pasien Infeksi Saluran Kemih di
Rumah Sakit Bhayangkara Kendari. Jurnal Kesehatan, 2018, 11(1): 39-50.
Naber KG. 2000. Treatment options for acute uncomplicated cystitis in adults. J Antimicrob
Chemother. 2000;46 (Suppl 1): S23–7.
Pardede , Sudung O. Infeksi pada Ginjal dan Saluran Kemih Anak: Manifestasi Klinis dan
TataLaksana . Sari Pediatri, 2018, 19(6).
Pecile, Paolo, Miorin, Elisabetta, Romanello, Carla, et al. Age-Related Renal Parenchymal Lesions in Children
With First Febrile Urinary Tract Infections. Pediatrics, 2009, 124(1).
Romano C., Dipasquale V., Scarpignato C. 2019. Antiemetic Drug Use in Children: What the Clinician Needs
to Know. Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition, April 2019, 68(4) : 466-471, doi:
10.1097/MPG.0000000000002225
Romdhoni, Achmad C. SIRS/Sepsis dan Syok Septik pada Penderita Tumor Ganas Kepala dan Leher. Jurnal
THT-KL, 2009, 2(1): 48-61.
Rose, Warren E. & Matthias, Kathryn R. 2013. “Urinary Tract Infection” dalam DiPiro, J. et al.
(Ed.) Pharmacotherapy Principles and Practice, Third Edition. New York: McGraw Hill
Professional.
Rowe, T. A., & Juthani-Mehta, M. Urinary tract infection in older adults. Aging Health, 2013,
9(5), 519–528. https://doi.org/10.2217/ahe.13.38
Setyorini, H., Tjempakasari, A., and Mardiana, N. Risk Factors for Urinary Tract Infection in
Hospitalized Patients. Biomolecular and Health Science Journal, 2019, 2(1): 4-8.
Syahny, Irna Fajri. 2012. Konstipasi Kronis Sebagai Faktor risiko Terjadinya Infeksi Saluran
Kemih pada Anak. Electronic Theses and Dissertations (FTD). Yokyakarta: UGM.
Storme, O., Tirán Saucedo, J., Garcia-Mora, A., Dehesa-Dávila, M., & Naber, K. G. (2019). Risk
factors and predisposing conditions for urinary tract infection. Therapeutic advances in
urology, 11, 1756287218814382. https://doi.org/10.1177/1756287218814382
Therapeutic guidelines: Antibiotic, version 14. Melbourne: Therapeutic Guidelines Ltd, 2010.
The Royal Children's Hospital Melbourne. 2020. Acute pain management. Clinical Practice Guidelines,
Tersedia di : https://www.rch.org.au/clinicalguide/guideline_index/Analgesia_and_Sedation/ [Diakses
pada 9 Desember 2020]
Walter, E. J., Hanna-Jumma, S., Carraretto, M., & Forni, L. The pathophysiological basis and
consequences of fever. Critical Care, 2016, 20(1), 1-10.

Anda mungkin juga menyukai