Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PRAKTEK FARMAKOTERAPI

INFEKSI, KANKER, DAN GANGGUAN NUTRISI


(DEF4177T)
SEMESTER GANJIL

DISUSUN OLEH

Widi Alya Zhafira


165070500111025

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
TA 2017/2018
URINARY TRACT INFECTION
I. DEFINISI

Infeksi Saluran Kemih (ISK) atau Urinary Track Infections (UTI) adalah
keadaan tumbuh dan berkembang biaknya kuman dalam saluran kemih meliputi
infeksi di parenkim ginjal sampai infeksi di kandung kemih dengan jumlah
bakteriuria yang bermakna. Dari sudut pandang mikrobiologi, ISK terjadi bila
mikroorganisme patogen dideteksi di urin, uretra, vesika urinaria, atau ginjal.

Umumnya, pertumbuhan >105 organisme/ml dari sediaan urin “mid stream” yang
bersih mengindikasikan suatu infeksi. Tetapi, seringkali pada ISK yang
sebenarnya, pada pasien-pasien yang simtomatis, jumlah yang lebih kecil telah
dapat dikatakan sebagai infeksi (102-104 organisme/ml), atau pada sampel yang
berasal dari aspirasi supra pubis atau dari sampel yang diambil dari kateter.
Sebaliknya, pada midstream urin yang terkontaminasi, jumlah koloninya bisa >10 5
/ml. Pada beberapa keadaan pasien dengan persentasi klinis tanpa bekteriuria
bermakna. Piuria bermakna (significant pyuria), bila ditemukan netrofil >10 per
lapangan pandang (Bensman, 2009).
Meskipun uretra distal dari kedua jenis kelamin dapat dikolonisasi oleh
berbagai macam organisme, saluran kemih normal bersifat steril terhadap bakteri.
Jalur yang paling penting bagi organisme adalah jalur ascendens dari uretral ke
vesika urinaria yang kemudian naik ke ureter berlanjut ke pelvis dan parenkim
ginjal. Penyebaran infeksi secara hematogen menuju parenkim ginjal dapat terjadi
tetapi biasanya dihasilkan pada pembentukan abses (Kher, 1992).

ISK Uncomplicated
Disebut juga ISK non-obstruktif :
 Saluran kemih normal
 Fungsi ginjal normal

ISK Complicated

Disebut juga obstruktif :


 Saluran kemih abnormal : Batu, VUR, refluk nefropati, paraplegia
 Kelainan pertahanan tubuh :DM, neutropenia, pengobatan
imunosupresan
 Gangguan fungsi ginjal
II. ETIOLOGI

Escherichia coli (E.coli) merupakan kuman penyebab tersering (60-80%)


pada ISK serangan pertama.Penelitian di dalam negeri antara lain di RSCM
Jakarta juga menunjukkan hasil yang sama. Kuman lain penyebab ISK sering
adalah Proteus mirabilis, Klebsiella pneumonia, Klebsiella oksitoka, Proteus
vulgaris, Pseudomonas aeroginosa, Enterobakter aerogenes, dan Morganella
morganii, Stafilokokus, dan Enterokokus.

Pada ISK kompleks, sering ditemukan kuman yang virulensinya rendah


seperti Pseudomonas, golongan Streptokokus grup B, Stafilokokus aureus atau
epidermidis. Haemofilus influenzae dan parainfluenza dilaporkan sebagai
penyebab ISK pada anak. Kuman ini tidak dapat tumbuh pada media biakan
standar sehingga sering tidak diperhitungkan sebagai penyebab ISK. Bila
penyebabnya Proteus, perlu dicurigai kemungkinan batu struvit
(magnesiumammonium-fosfat) karena kuman Proteus menghasilkan enzim urease
yang memecah ureum menjadi amonium, sehingga pH urin meningkat menjadi 8-
8,5. Pada urin yang alkalis, beberapa elektrolit seperti kalsium, magnesium, dan
fosfat akan mudah mengendap.

III. EPIDEMIOLOGI

Urinary tract infection (UTI) dianggap sebagai infeksi bakteri yang paling
sering terjadi. Rata-rata UTI tercatat memiliki 7 juta kunjungan rumah sakit dan 1
juta kunjungan departeman gawat darurat. Wanita lebih signifikan mendapatkan
UTI daripada pria. 1 dari 3 wanita dapat dipastikan pernah mengalami UTI sekali
seumur hidup. Catheter-associated UTI merupakan infeksi nososkomial yang
paling umum, terhitung ada > 1 juta kasus di rumah sakit. Resiko UTI meningkat
seiring dengan semakin lamanya penggunaan kateter. Pada populasiusia lanjut
noninstitusional, UTI merupakan bentuk infeksi terbanyak kedua, tercatat
sebanyak 25% dari seluruh kasus infeksi (Foxman, 2003).
UTI tergantung banyak faktor seperti usia, gender, prevalensi bakteriuria,
dan faktor predisposisi yang menyebabkan perubahan struktur saluran kemih
termasuk ginjal. Selama periode usia beberapa bulan dan lebih dari 65 tahun
perempuan cenderung menderita UTI dibandingkan laki-laki. UTI berulang pada
laki-laki jarang dilaporkan, kecuali disertai faktor predisposisi (pencetus).
Prevalensi bakteriuria simtomatik ebih sering ditemukan pada perumpuan.
Prevalensi selama periode sekolah 1 % meningkat menjadi 5 % selama periode
aktif secara seksual. Prevalensi asimtomatik meningkat mencapai 30%, baik laki-
laki maupun perempuan bila disertai faktor predisposisi seperti berikut : litiasis,
obstruksi saluran kemih, pentakit ginjal polikistik, nekrosis papilar, diabetes
mellitus pasca trasnplantasi ginjal, nefropati analgesik, penyakit sickle cell,
intercourse, kehamilan dan peserta KB dengan tabel progesterone, serta
kateterisasi (Sukandar, E. 2007).

IV. PATOFISIOLOGI

Mikroorganisme dapat mencapai saluran kencing melalui penyebaran


hematogenesis atau limfatik, namun banyak bukti-bukti klinis dan eksperimental
yang memperlihatkan bahwa naiknya mikroorganisme dari uretra merupakan
penyebab paling umum dari terjadinya infeksi saluran kencing, terutama
organisme fluonarmal yang ada di dalam uretra seperti E. coli dan
Enterobacteriaceae yang lain. Hal ini menjelaskan secara logika mengapa infeksi
saluran kencing lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan dengan laki-laki,
dan terjadinya peningkatan risiko infeksi untuk pemasangan katerisasi kandung
kemih atau instrumentasi yang lain (Grabe et al., 2013).
Infeksi saluran kencing dapat diakibatkan dari rute kenaikan bakteri,
hematogenus atau limfatik. Rute naiknya bakteri merupakan rute yang
paling umum terjadi pada pasien dengan ISK stabil (Davis and Flood, 2011).
Pemasangan kateter tunggal pada kandung kemih pada pasian yang masih
dapat berjalan-jalan mengakibatkan infeksi saluran kencing sebanyak 1-2% kasus.
Kateter indwelling dengan sistem drainase tertutup termasuk valve untuk
mencegah pemburukan aliran dapat menunda onset dari infeksi, namun tidak
dapat mencegah terjadinya infeksi karena bakteri bermigrasi pada ruang antara
uretra dan kateter, dan hal tersebut mengakibatkan perkembangan bakteriuria
dalam sekitar 4 minggu pada kebanyakan pasien. Faktor predisiposisi dari infeksi
saluran kencing lain selain kateter dapat meliputi usia, diabetes melitus adanya
komoirbit dari pasien pediatrik, dan adanya luka pada spinal kord.

Faktor predisiposisi untuk infeksi saluran kencing kompleks (Davis and


Flood, 2011).
Infeksi hematogenus dari saluran kencing terbatas pada beberapa mikroba
yang tidak umum seperti Staphylococcus aureus, Candida sp., Salmonella sp., dan
Mycobacterium tuberculosis, yang menyebabkan infeksi primer pada dimanapun
bagian tubuh. Candida albican dengan mudah dapat menyebabkan infeksi saluran
kemih secara klinis melalui rute hematogenus, namun juga bukan merupakan
penyebab yang sering dari infeksi akibat kenaikan mikroba jika dilakukan
pesangan kateter indweling, atau yang diikuti dengan terapi antibiotik (Grabe et
al., 2013).
Uropatogen yang kebanyakan diisolasi pada ISK komplek dan tidak
kompleks (Davis and Flood, 2011).

Konsep dari virulens bakteri atau patogenisitas dari infeksi saluran kencing
dapat disimpulkan bahwa tidak semua spesies bakteri dapat mengakibatkan
infeksi. Mekanisme alami (obtrusksi atau kateriterisasi kemih) menyatakan bahwa
hanya beberapa bakteri dari strain bakteri yang dapat mengakibatkan infeksi. Hal
ini didukung dengan adanya dokumentasi observasi in-vitro pada bakteri yang
diisolasi dari pasien dengan infeksi saluran kencing kompleks yang sering gagal
untuk menunjukkan faktor-faktor virulens. Konsep virulens juga mengusulkan
bahwa bakteri yang merupakan faktor virulens merupakan spesies yang unik
dengan tipe-tipe pili yang berbeda yang memfasilitasi naiknya bakteri dari tempat
ia berfloranormal, vagina introitus atau daerah periuretra hingga uretra ke dalam
kemih, atau mengakibatkan organisme dapat mencapai ginjal yang mengakibatkan
inflamasi sistemik, namun hal ini jarang terjadi (Grabe et al., 2013).

V. TERAPI NON FARMAKOLOGI


Terapi Non Farmakologi meliputi (Tessy, 2001):
 Hindari stress.
 Jangan terlalu lama menahan keinginan buang air kecil.
 Jika membersihkan kotoran, bersihkan dari arah depan ke belakang, agar
kotoran dari dubur tidak masuk ke dalam saluran kemih. 
  Kurangi makanan yang banyak mengandung gula.
 Minum banyak cairan (dianjurkan untuk minum minimal 8 gelas air putih
sehari).

VI. TERAPI FARMAKOLOGI


 Kotrimoksazol (Trimetropim-Sulfametoksazol)
Trimetropim dan sulfametoksazol menghambat reaksi enzimatik obligat
pada dua tahap yang berurutan pada mikroba sehingga kombinasi kedua
obat memberikan efek sinergi. Kombinasi ini lebih dikenal dengan nama
kotrimoxazol yang sangat berguna untuk pengobatan infeksi saluran kemih.
Trimetoprim pada umumnya 20-100 kali lebih poten daripada
sulfametoksazol sehingga sediaan kombinasi diformulasikan untuk
mendapatkan sulfametoksazol in vivo 20 kali lebih besar daripada
trimetoprim (Departemen Farmakologi dan Terapeutik., 2007).
 Fluoroquinolon
Fluoroquinolon efektif untuk infeksi saluran kemih dengan atau tanpa
penyulit termasuk yang disebabkan oleh kuman-kuman yang multiresisten
dan P. aeruginosa (Departemen Farmakologi dan Terapeutik, 2007).
Fluoroquinolon merupakan agen yang efektif untuk infeksi saluran kemih
walaupun infeksiinfeksi itu disebabkan oleh bakteri yang resisten terhadap
banyak obat seperti pseudomonas (Katzung., 2004).  
Ciprofloxacin, levofloxacin, norfloxacin dan ofloxacin merupakan
kelompok fluoroquinolon lama yang mempunyai daya antibakteri jauh lebih
kuat dibandingkan kelompok quinolon lama. Kelompok fluoroquinolon
lama ini mempunyai daya antibakteri yang sangat kuat terhadap E. coli,
Klebsiella, Enterobacter, Proteus, H. influenzae. Providencia, Serratia,
Salmonella, N. meningitidis, N. gonorrhoeae, B. catarrhalis dan Yersinia
enterocolitica (Departemen Farmakologi dan Terapeutik., 2007).
 Ciprofloxacin
Ciprofloxacin aktif terhadap bakteri Gram positif dan Gram negatif.
Ciprofloxacin terutama aktif terhadap kuman Gram negatif termasuk
Salmonella, Shigella, Campilobakter, Neisseria, dan Pseudomonas.
Penggunaan ciprofloxacin termasuk untuk infeksi saluran napas, saluran
kemih, sistem pencernaan, dan gonore serta septikemia oleh organisme yang
sensitif (BPOM., 2008).
 Ofloxacin
Ofloxacin digunakan untuk infeksi saluran kemih, saluran nafas bagian
bawah, gonoroe, uretritis, dan serfisitis non gonokokkus (BPOM., 2008).
 Levofloxacin
Levofloxacin aktif terhadap organisme Gram positif dan Gram negatif.
Memiliki aktifitas yang lebih besar terhadap Pneumokokkus dibandingkan
ciprofloxacin (BPOM., 2008).
 Norfloxacin
Nofloxacin adalah kelompok fluoroquinolon yang paling tidak efektif
terhadap organisme Gram negatif maupun Gram positif dengan MIC yang
empat kali sampai delapan kali lebih tinggi dibandingkan dengan yang
dimiliki oleh ciprofloxacin yang merupakan prototipe obat tersebut
(Katzung., 2004).
 Sefalosporin
Spektrum kerja sefalosporin luas dan meliputi banyak kuman Gram positif
dan Gram negatif termasuk E. coli, Klebsiella, dan Proteus. Berkhasiat
bakterisid dalam fase pertumbuhan kuman berdasarkan penghambat sintesa
peptidoglikan yang diperlukan kuman untuk ketangguhan dindingnya.
Kepekaannya terhadap beta-laktamase lebih rendah daripada penisilin (Tjay
dan Rahardja.,2007).
Sefalosporin dibagi menjadi 4 generasi berdasarkan aktifitas
antimikrobanya. Sefalosporin aktif terhadap kuman Gram positif maupun
Gram negatif tetapi spektrum antimikroba masing-masing derivat bervariasi.
Sefalosporin generasi ketiga dalam bentuk tunggal atau kombinasi dengan
aminoglikosida merupakan obat pilihan utama untuk infeksi berat oleh
Klebsiella, Enterobacter, Proteus, Provedencia, Serratia dan Haemophillus
spesies (Departemen Farmakologi dan Terapeutik., 2007).
 Aminoglikosida
Aminoglikosida merupakan antibiotik dengan spektrum luas tetapi tidak
boleh digunakan pada setiap jenis infeksi oleh kuman yang sensitif karena
resistensi terhadap aminoglikosida relatif cepat berkembang, toksisitasnya
relatif tinggi, dan tersedianya berbagai antibiotik lain yang cukup efektif dan
toksisitasnya lebih rendah. Gentamisin yang sudah cukup luas digunakan
dibeberapa tempat sudah menunjukkan resistensi yang cukup tinggi.
Penggunaan antibiotik untuk pengobatan infeksi saluran kemih pada pasien
dewasa menurut Guidelines on Urological Infections tahun 2011 dan
Obstetrics, Gynaecology, Paediatrics and Dental Drug Guidelines tahun
2007 dapat dilihat ditabel 1.

Sedangkan pengobatan antibiotik untuk pyelonefritis pada


penggunaan oral dan parenteral dapat dilihat pada tabel 2 dan 3.
Penggunaan antibiotik untuk pengobatan infeksi saluran kemih
pada pasien anak menurut Guidelines on Urological Infections
tahun 2011 dapat dilihat pada tabel 4.
 PEMBAHASAN KASUS

A 75-year-old diabetic man was admitted with fever, urinary frequency,


and dysuria for 3 days. He had a history of voiding difficulty due to benign
prostatic hyperplasia, for which he had been treated intermittently with oral
doxazocin. While awaiting consultation and admission to the urology service, the
patient complained of increased abdominal pain and was increasingly tender in the
left lower quadrant and suprapubic region. Urinalysis showed 2+ proteinuria, 4+
glycosuria, 25–30 white blood cells per high-power field, and 25–30 red blood
cells per high-power field. Abdominal and pelvic computed tomography (X ray)
demonstrating the uroteral stone. A gram of ceftriaxone and 500 mg of
gentamycin were started empirically along with a repeat fluid bolus and placement
of a foley catheter. The urine culture grew out Proteus mirabilis and E.coli and the
patient was continued on IV antibiotics. After seven days treatment, he was
subsequently discharged and given a prescription for levofloxacin 500 mg every
day for fourteen days.

SUBJECTIVE
Finding:
 Pasien merasakan nyeri di perut, bagian suprapubik dan kuadran kiri
bawah. Pasien memiliki riwayat kesulitan pengosongan karena BPH.
 Pasien mengalami gejala-gejala dari UTI, hal ini juga diperkuat dengan riwayat
penyakit pasien yang mengalami BPH sehingga urin bertahan lebih lama di
kandung kemih yang menyebabkan perkembangan bakteri lebih mudah. Namun
untuk menentukan bakteri pathogen dan sumber infeksinya, pasien memerlukan
pemeriksaan lebih lanjut.

ASSESMENT
a. Explain the patient disease
Pasien mengalami UTI yang ditandai gejala berupa dysuria, frekuensi,
demam, sakit perut meningkat dan di kuadran kiri bawah dan daerah
suprapubik. UTI didefinisikan sebagai adanya mikroorganisme pada
saluran kemih yang disebabkan oleh kontaminasi sehingga menyebabkan
infeksi. Hal ini juga disebabkan karena pasien mengalami riwayat penyakit
BPH dan diabetes (IAUI, 2015). UTI adalah komplikasi yg umum terjadi
pada pasien DM dengan mekanisme peningkatan sekeresi sitokin dan
perlekatan bakteri pada sel uroepitelial (Hoepelman et al, 2003).

b. Problem list
- Pasien mengeluh demam dan nyeri pada abdominal serta rasa
perih pada kuadran kiri bawah dan di area suprapubik tetapi belum
mendapatkan terapi untuk mengatasi gejala tersebut
- Pasien diberikan antibiotik empiris kombinasi gentamisin dan
ceftriaxon namun belum ada penegakan kultur bakteri sebelumnya
sehingga sebagai pertimbangan bisa digunakan satu jenis
antibiotik terlebih dahulu, yaitu kotrimoksazol oral (24 mg/kgBB
setiap 12 jam) selama 5 hari atau iv dengan sediaan ampul yang
mengandung sulfamethoxazole 400 mg dan trimethoprim 80 mg
dalam 5 mL dengan pemberian 960 mg 2x sehari.
- Setelah penegakan kultur bakteri, pasien diberikan terapi
levofloxacin dengan dosis 500 mg 2x sehari selama 14 hari
sementara dosisi seharusnya untuk pasien yg mengalami akut
cystitis yaitu 250 mg PO/hari selama 3 hari sehingga perlu
konfirmasi ke dokter terkait dosis dan durasi penggunaan
antibiotik pasien.

c. Therapeutic goal
- Gejala yg dialami pasien mengalami perbaikan seperti demam,
frekuensi urin, dysuria beserta nyeri yang dialami pasien.
- Diabetes yang dialami pasien terkontrol.
- BPH pasien terkontrol dengan tepat.
- Urinalisis pasien tidak ada kendala.
- Respon pasien cepat dan efektif terhadap pengobatan dan
mencegah infeksi berulang.
- Pencegahan terhadap resistensi antibiotik.
RESOLUTION

A. Terapi farmakologi
 Penggunaan antibiotik tunggal, yaitu ceftriaxone (satu gram secara bolus
cairan berulang) selama pasien MRS dan penggunaan terapi antibiotik
lanjutan saat pasien telah keluar dari rumah sakit yaitu levofloxacin.
 Fluoroquinolon menjadi pilihan pertama untuk pasien BPH dengan UTI,
karena memiliki spektrum yang luas dan kemampuan penetrasi ke dalam
jaringan pada saluran urogenital yang baik. Penggunaan levofloxacin pada
pasien ini telah sesuai namun dosis yang disarankan yaitu 250 mg PO/IV
per hari selama 10 hari atau 750 mg/hari selama 5 hari. Penggunaan
fluoroquinolon seharusnya diberikan secara IV terlebih dahulu dan bisa
dilakukan konversi ke oral bila pasien sudah tidak demam selama 48 jam
atau setelah 3-5 hari IV.
 Penggunaan paracetamol sebagai pereda nyeri dan antipiretik yang dialami
pasien dengan dosis 500 mg 3x sehari jika diperlukan.
 Terapi empiris lainnya yang dapat digunakan pada ISK adalah

Tabel Terapi Antimikroba Empiris (IAUI,2015)

 Berdasarkan data yang didapatkan dari RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
dapat dilihat bahwa Tigecycline memiliki sensitivitas paling tinggi sebesar
(100%) dilanjutkan dengan Asmikasin (94%), Piperacillin/ Tazobactam
(90%), Meropenem (88%) dan Fosfomycin (86%) terhadap E. coli.
Sehingga jika pasien masih belum mengalami perbaikan kondisi ISK
selama waktu yang ditentukan setelah mengkonsumsi antibiotik
levofloxacin, dapat diberikan antibiotic dengan sensitifitas yang tinggi
sesuai dengan daerah bakteri tersebut didapatkan (IAUI, 2015).

B. Terapi non-farmakologi
- Minum air putih dalam jumlah yang banyak agar urine yang keluar juga
meningkat (merangsang diuresis)  minimal 8 gelas per hari
- Buang air kecil sesuai kebutuhan (tidak ditahan) karena jika ditahan maka
bladder akan penuh oleh cairan, dimana cairan merupakan media
pertumbuhan bakteri
- Menjaga dengan baik kebersihan saluran kencing agar bakteri tidak mudah
berkembang biak
- Diet rendah garam untuk membantu menurunkan tekanan darah
- Setelah BAB, membersihkan dengan cara dari arah depan ke belakang
- Kurangi makanan yang banyak mengandung gula sebagai kontrol penyakit
DM
- Menghindari stress, pakai heatpack untuk mengurangi nyeri di perut

MONITORING

a. Monitoring of efficacy

 levofloxacin : gejala UTI dapat normal kembali seperti frekuensi berkemih


normal, dysuria (-), tidak ditemukan bakteri di urin, Kultur urin 2 minggu
setelah regimen pengobatan diselesaikan untuk melihat respon terhadap
pengobatan dan kemungkinan relapse.
b. Monitoring of adverse reaction
 Levofloxacin : Antibiotik (Levofloxacin) : mual, muntah, pusing,
mengganggu gula darah (hiper atau hipoglikemia), pembengkakan tendon.
DAFTAR PUSTAKA

BPOM, 2008, Informatorium Obat Nasional Indonesia, Departemen Kesehatan


RI, Jakarta.

Davis, Niall F. and Hugh D. Flood. 2011. The Pathogenesis of Urinary Tract
Infections, Clinical Management of Complicated Urinary Tract Infectiont.
DR. Ahmed Nikibakhsh (Ed.). ISSBN: 978-953-307-393-4.
Departemen Farmakologi dan Terapeutik, 2007, Farmakologi Dan Terapi, Edisi
Kelima, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.

Foxman B. 2003. Epidemiology of urinary tract infections: incidence, morbidity,


and economic costs. Dis Mon 49(2): 53-70.
Grabe, M., T. E. Bjerklund-Johansen, H. Botto, M. Cek, K.G. Naber, R.S.
Pickard, P. Tenke, F. Wagenlehner, and B. Wullt. 2013. Guidelines on
Urogical Infection. European Associatian of Urology 2013.
Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI). 2015. Guideline Penatalaksanaan Infeksi
Saluran Kemih dan Genitalia Pria 2015, edisi ke-2. Ikatan Ahli Urologi
Indonesia, Jakarta.
Katzung, B.G., 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik, Edisi 1, Fakiltas
Kedokteran Universitas Airlangga,. Surabaya.
Sukandar E. 2007. Infeksi Saluran Kemih pada Pasien Dewasa, dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Tjay, T.H., & Rahardja, K., 2007, Obat-obat Penting: Khasiat, Penggunaan, dan
Efek-Efek Sampingnya, Edisi keenam, Cetakan Pertama, 65, Penerbit PT. Elex
Media Komputindo Kelompok Kompas Gramedia, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai