Anda di halaman 1dari 496

TUGAS RESUME

OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

Pembimbing :
Dr. Moch. Maroef Sp.OG

Oleh :
Era Anggoro Kusuma N NIM 201520401011094
Erdiyan Pranidana Hariyanto NIM 201520401011114
Laksita Anindhita Putri NIM 201520401011123
Vonny Riska Rahmawati NIM 201520401011132
Aulia Nur Cahyani NIM 201520401011140
M Jathy Oktariansyah NIM 201520401011155
Putri Dewi Kretany NIM 201520401011161

SMF ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN


RSU HAJI SURABAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2017
BAKTERIAL VAGNOSIS

1.1 Latar belakang

Bakterial vaginosis (BV) merupakan infeksi pada vagina yang sering

terjadi pada usia produktif. Diperkirakan bahwa sekitar 16% dari wanita hamil di

Amerika Serikat mungkin memiliki BV pada waktu tertentu. Angka kejadian sulit

ditentukan karena tingginya prevalensi infeksi asimptomatik dan keterbatasan

metode skrining. Faktor resiko dari BV termasuk berhubungan seksual pada usia

dini, berganti-ganti pasangan seksual, dan pemakaian pencuci vagina. Beberapa

penelitian menunjukkan peningkatan prevalensi terjadi pada wanita yang

berhubungan dengan sesama jenis. Wanita yang tidak pernah behubungan seksual

jarang sekali terkena. 1

1.2 Definisi

Bakterial vaginosis (BV), sebelumnya dikenal sebagai vaginitis

nonspesifik, disebut bakterial vaginosis karena bakteri adalah agen etiologi infeksi

ini. Bakterial Vaginosis (BV) atau nonspesifik vaginitis, merupakan Banyak

penelitian telah menunjukkan hubungan Gardnerella vaginalis dengan bakteri

lainnya dalam menyebabkan BV, seperti Lactobacillus, Prevotella, dan bakteri

anaerob, termasuk Mobiluncus, Bacteroides, Peptostreptococcus, Fusobacterium,

Veillonella, dan Eubacterium. Mycoplasma hominis, Ureaplasma urealyticum,

viridans Streptococcus, dan Atopobium vaginae juga telah dikaitkan dengan BV. 2

1.3 Epidemiologi

Sebuah studi menunjukkan bahwa bakterial vaginosis mengenai sepertiga

dari wanita dewasa di United States, yang mempresentasikan sekitar 21 juta

wanita. Setiap tahun lebih dari 10 juta wanita berobat karena vaginal discharge.
Peningkatan prevalensi berhubungan dengan merokok, obesitas, kehamilan

sebelumnya, dan riwayat abortus induksi. Gardnerella vaginalis telah dilaporkan

terdapat pada 100% wanita dengan tanda dan gejala BV, dan 70% wanita tanpa

tanda dan gejala BV. Angka kejadian BV pada klinik obstetri dapat mencapai 10-

25 %. 2

Beberapa studi menunjukkan bahwa bakterial vaginosis lebih sering terjadi

pada wanita Afrika-Amerika dibandingkan wanita kulit putih non-Hispanic.

Predominan kolonisasi dan infeksi G vaginalis terjadi pada wanita. Pada pria, G

vaginalis jarang menimbulkan infeksi, akan tetapi uretra pria yang pasangan

seksualnya memiliki gejala BV biasanya akan terjadi kolonisasi strain yang sama.

Infeksi G vaginalis biasanya terjadi pada wanita usia reproduksi. 2

1.4 Etiologi

BV merupakan polymicrobial syndrome yang terjadi ketika ada

ketidaseimbangan flora normal bakkteri pada vagina. Beberapa bakteri yang

memnyebabkan BV adalah G. vaginalis, Mobiluncus sp., M. hominis, bakteri

anaerob gram negatif seperti Prevotella, Porphyromonas, dan Bacteroides, dan

Peptostreptococcus sp. 1

1.5 Patofisiologi

BV adalah penyebab paling umum dari vaginitis dan infeksi paling umum

yang ditemui pada klinik ginekologi. Peningkatan cairan vagina dan bau tak sedap

vagina yang disebabkan oleh perubahan flora vagina merupakan ciri dari BV. Pada

BV, flora vagina menjadi berubah melalui berbagai mekanisme yang masih belum

diketahui pasti, dan menyebabkan peningkatan pH lokal. Hal ini mungkin

disebabkan oleh reduksi hidrogen peroksida yang diproduksi Lactobacilli.


Lactobacilli merupakan organisme yang berbentuk batang, yang membantu

menjaga pH asam dari vagina yang sehat dan menghambat mikroorganisme

anaerob lain melalui elaborasi hidrogen peroksida. Biasanya, lactobacilli

ditemukan dalam konsentrasi tinggi pada vagina yang sehat. Di BV, populasi

lactobacilli sangat sedikit, sementara populasi bakteri lainnya meningkat. 2

Banyak penelitian telah menunjukkan hubungan Gardnerella vaginalis

dengan bakteri lainnya dalam menyebabkan BV. G vaginalis membentuk biofilm

pada vagina, dan beberapa penelitian menunjukkan bahwa biofilm tersebut dapat

menyebabkan resistensi terhadap terapi. Pada penelitian, dominan G vaginalis

biofilm ini telah menunjukkan bertahan dalam hidrogen peroksida (H2 O2), asam

laktat, dan tingkat tinggi antibiotik. 2

Walaupun BV tidak termasuk dalam penyakit menular seksual, aktivitas

seksual telah dikaitkan dengan perkembangan infeksi ini. Beberapa studi yang

mendukung adalah: (1) kejadian BV meningkat dengan peningkatan jumlah

pasangan seksual, (2) pasangan seks baru dapat terkena BV, dan (3) pasangan laki-

laki dari perempuan dengan BV mungkin memiliki kolonisasi uretra oleh

organisme yang sama, tapi asimptomatis pada laki-laki. 2

1.6 Diagnosis

Diagnosis klinis BV bergantung pada anamnesis, pemeriksaan klinis, dan

pemeriksaan penunjang. 2

Anamnesis

Dari anamnesis didapatkan 5-10 % wanita mengeluhkan keputihan yang

berlebih, sekret encer keabu-abuan, berbau amis, dan memberat saat berhubungan
seksual. Perlu ditanyakan juga mengenai faktor presisposisi pada pasien seperti

penggunaan antibiotik baru-baru ini, penggunaan IUD, sabun cuci vagina, dan

aktivitas seksual 2.

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, didapatkan : 1,2

- Sekret keabu-abuan, tipis, dan homogen

- Sekret melekat pada mukosa vagina

- Dapat terlihat adanya gelembung kecil pada sekret

- Labia, introitus, serviks, dan cairan serviks tampak normal.

- Iritasi pada vulva biasanya didapatkan

Pemeriksaan Penunjang

Menurut kriteria Amstel dalam mendiagnosa BV, tiga dari empat kriteria

harus ada, yaitu: 1

a. Vaginal discharge yang tipis, dan homogen

b. Whiff tes positif, yang melibatkan produksi bau amis saat pencampuran

cairan vagina dengan 10% kalium hidroksida

c. pH vagina lebih dari 4.5

d. Didapatkannya Clue cell pada pemeriksaan mikroskopis, yang merupakan

indikator BV.

1.7 Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari bakterial vaginosis antara lain: 2

a. Kandidiasis vagina

b. Servisitis

c. Infeksi klamidia genitourinari


d. Gonore

e. Trikomoniasis

1.8 Penatalaksanaan 1

Manfaat yang diambil dari terapi BV pada wanita yang tidak hamil adalah

untuk: (1) meredakan gejala vagina dan tanda-tanda infeksi dan (2) mengurangi

risiko komplikasi infeksi. Pada wanita hamil, pengobatan BV juga mengurangi

risiko infeksi portpartum, serta risiko persalinan prematur. 1

Gambar 2.1 Terapi BV 1

1.9 Komplikasi 1

BV telah terbukti menjadi faktor risiko untuk persalinan prematur dan

kelahiran prematur pada kehamilan. BV juga dikaitkan sebagai faktor risiko untuk

transmisi HIV. Beberapa data penelitian menunjukkan bahwa BV dikaitkan

dengan resiko tinggi terkena bertentangan neoplasia intraepitel serviks. Beberapa


penelitian telah menghubungkan BV demam postpartum, endometritis postpartum,

dan infeksi postpartum; namun, studi lebih lanjut diperlukan untuk menyelidiki

hubungan lebih lanjut dan gejala sisa. 1

1.10 Prognosis

BV memiliki prognosis yang baik dengan penatalaksanaan yang tepat.

Beberapa infeksi dapat membaik tanpa terapi. Sebagian besar infeksi tidk

menunjukkan gejala dan jarang terjadi kmplikasi. Telah dilaporkan bnyak kejadian

infeksi berulang, dan regimen pengobatan yang lebih lama dapat dibenarkan

dalam kasus tersebut. 1

DAFTAR PUSTAKA

1 Rosen T. 2012. Gonorrhea, Mycoplasma, and Vaginosis (Chapter 205), In:

Fitzpatricks 8th Edition. United States: McGraw-Hill Education, LLC. p 2514-

2526

2 Girerd P.H. 2016. Bacterial Vaginosis. (10/01/2017), available at:

http://emedicine.medscape.com/article/254342-overview#showall
VULVITIS

1. Definisi

Vulvitis adalah peradangan vulva (organ kelamin luar wanita).

Gambar 1. Vulvitis

2. Etiologi

1. Infeksi

a. Bakteri (misalnya klamidia, gonokokus)

b. Jamur (misalnya kandida), terutama pada penderita diabetes, wanita

hamil dan pemakaian antibiotik

c. Protozoa (misalnya Trichomonas vaginalis)

d. Virus (misalnya virus papiloma manusia dan virus herpes).

2. Zat atau benda yang bersifat iritatif

a. Spermisida, pelumas, kondom

b. Sabun cuci dan pelembut pakaian

c. Deodoran
d. Zat di dalam air mandi

e. Pembilas vagina

f. Pakaian dalam yang terlalu ketat, tidak berpori-pori dan tidak

menyerap keringat

g. Tinja

3. Tumor ataupun jaringan abnormal lainnya

4. Terapi penyinaran

5. Obat-obatan

6. Perubahan hormonal.

3. Klasifikasi

a. Infeksi kulit berambut

- Terjadi perubahan warna.

- Membengkak.

- Terasa nyeri.

- Kadang-kadang tampak bernanah.

- Menimbulkan kesukaran bergerak.

b. Infeksi Kelenjar Bartolini

- Terletak dibagian bawah kulit.

- Warna kulit berubah.

- Membengkak.

- Terjadi timbunan nanah didalam kelenjar.

- Penderita sukar berjalan/duduk karena sakit.


4. Faktor Resiko

1. Setiap wanita dari segala usia dapat terserang vulvitis.

2. Wanita yang belum mencapai pubertas atau wanita pasca-menopause

kemungkinan berada pada risiko yang lebih tinggi terserang vulvitis,

yang disebabkan oleh tingkat estrogen yang lebih rendah sehingga

jaringan vulva lebih tipis dan rentan terserang vulvitis.

5. Tanda dan Gejala

Perasaan panas dan nyeri terutama waktu kencing.

Leukorea yang sering disertai perasaan gatal hingga terjadi iritasi oleh

gerakan.

Gangguan koitus.

Introitus dan labia menjadi merah dan bengkak, sering tertutup oleh

secret.

6. Penegakan Diagnosis

1. Anamnesis

Keluhan

Rasa gatal dan perih di kemaluan, serta keluarnya cairan kental dari

kemaluan yang berbau.

Gejala Klinis:

a. Rasa terbakar di daerah kemaluan

b. Gatal

c. Kemerahan dan iritasi

d. Keputihan
2. Pemeriksaan Fisik

Dari inspeksi daerah genital didapati:

a. Kulit vulva yang menebal dan kemerahan, dapat ditemukan juga

lesi di sekita vulva.

b. Adanya cairan kental dan berbau yang keluar dari vagina.

3. Pemeriksaan Penunjang : -

4. Diagnosis Klinis

Ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik

5. Diagnosis Banding

Dermatitis Alergika

6. Komplikasi

a. Infertilitas

b. Infeksi sekunder karena sering digaruk

c. Vulva distrofi

7. Penatalaksanaan

1. Infeksi Bakterial

Diberikan antibiotika candidiasis seperti:

- Nistatin : 100.000 2 kali per hari selama 7 10 hari.

- Mikonazol : 7 gram 1 2 kali per hari selama 3,5 7 hari.

- Klotrimazol : 100 gram tablet atau 7 gram krim 1 2 kali per

hari selama 3,5 7 hari.

- Asam borat : 600 mg 2 kali per hari selama 7 10 hari.


2. Infeksi dengan Trichomonas

- Metronidazol : 2 gram dalam dosis tunggal, juga terapi pasangan

seksual laki-lakinya. (Tahap I).

- Metronidazol : 500 mg 2 kali per hari selama 7 hari, terapi

seksual pasangan laki-lakinya. (Tahap rekurens).

Selain obat-obatan penderita juga sebaiknya memakai pakaian dalam yang

tidak terlalu ketat dan menyerap keringat sehingga sirkulasi udara tetap terjaga

(misalnya terbuat dari katun) serta menjaga kebersihan vulva (sebaiknya gunakan

sebum gliserin).

- Untuk mengurangi nyeri dan gatal-gatal bisa dibantu dengan kompres

dingin pada vulva atau berendam dalam air dingin.

- Untuk mengurangi gatal-gatal yang bukan disebabkan oleh infeksi bisa

dioleskan krim atau salep kortikosteroid dan antihistamin per-oral

(tablet).

- Krim atau tablet acyclovir diberikan untuk mengurangi gejala dan

memperpendek lamanya infeksi herpes.

- Untuk mengurangi nyeri bisa diberikan obat pereda nyeri.


DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda, dkk.2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 6. Jakarta:

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p. 3-4, 7-8.

2. Prawirohardjo, S. 2010. Ilmu Kebidanan . Jakarta : PT. Bina Pustaka

Sarwono Prawirohardjo

3. Manuwaba, Ida Bagus Gde. 2010 . Ilmu kebidanan Penyakit

Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan

Bidan. Jakarta : EGC

4. Rustam, mochtar. 1998. Sinopsis Obstetri Jilid I. Jakarta : EGC


VAGINITIS

Definisi

Vaginitis adalah peradangan pada vagina yang menyebabkan adanya

discharge, gatal, dan nyeri.

Etiologi

1. Infeksi.

2. Infeksi yang paling sering menyebabkan vaginitis adalah infeksi bakteri

yaitu bakteri Gardnerella Vaginalis, infeksi jamur yaitu Candida Albicans,

infeksi protozoa yaitu Trichomonas Vaginalis. Infeksi juga dapat

disebabkan oleh kuman gonokokus dan klamidia trakomatis.

3. Zat atau benda yang bersifat iritatif, misalnya spermisida, pelumas,

kondom, diafragma, sabun cuci dan pelembut pakaian, zat di dalam air

mandi, pembilas vagina, pakaian dalam yang terlalu ketat dan tidak

menyerap keringat.

4. Pengaruh hormonal, penurunan kadar estogen pada wanita post menopause

atau post partum dinilai dapat menyebabkan vaginitis khususnya atrofi

vaginitis.

Gejala Klinis

Gejala yang pling sering ditemukan adalah keluarnya cairan abnormal dari vagina.

Dikatakan abnormal jika jumlahnya sangat banyak, baunya menyengat atau

disertai gatal- gatal dan nyeri. Cairan yang abnormal sering tampak lebih kental

dan warnanya bermacam- macam. Misalnya bisa berwarna seperti keju, kuning
kehijaun atau kemerahan. Gejala yang timbul biasanya berbeda- beda tergantung

penyebab vaginitis.

Penatalaksanaan

Cairan vagina yang keluar akibat vaginitis perlu diobati secara khusus sesuai

dengan penyebabnya.

1. Infeksi jamur dapat diberikan terapi berupa miconazole, clotrimazole,

butoconazole atau terconazole (bisa dalam bentuk krim, tablet vagina atau

suppositoria). Fluconazole atau ketoconazole dalam bentuk tablet.

2. Infeksi bakteri biasanya diberikan metronidazole atau clindamycin (tablet

vagina) atau metronidazole tablet. Jika penyebabnya gonokokus biasanya

diberikan suntikan seftriakson dan tablet doksisiklin. Untuk infeksi

klamidia dapat diberikan Doxycylin atau azitromicin ( tablet ). Untuk

infeksi trikomonas dapat diberikan metronidazole tablet.


DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda, dkk.2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 6. Jakarta:

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p. 3-4, 7-8.

2. Prawirohardjo, S. 2010. Ilmu Kebidanan . Jakarta : PT. Bina Pustaka

Sarwono Prawirohardjo

3. Manuwaba, Ida Bagus Gde. 2010 . Ilmu kebidanan Penyakit

Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan

Bidan. Jakarta : EGC


SALPINGITIS

1. Definisi

Salpingitis adalah infeksi dan peradangan di saluran tuba.

2. Epidemiologi

Salpingitis banyak di temukan pada masyarakat sosial ekonomi rendah.

Namun hal ini dianggap sebagai efek dari riwayat seks sebelumnya, gonta - ganti

pasangan dan kurangnya pengetahuan kesehatan yang baik merupakan faktor

resiko independen untuk salpingitis. Sebagai akibat peningkatan resiko akibat

berganti ganti pasangan, maka prevalensi tertinggi salpingitis adalah remaja (15-

24 tahun).

Kurangnya kesadaran dini dan kurangnya kemauan untuk menggunakan

alat kontrasepsi umumnya juga menjadi faktor meningkatnya salpingitis.

3. Etiologi

Infeksi ini jarang terjadi sebelum siklus menstruasi pertama, setelah

menopause maupun selama kehamilan. Penularan yang utama terjadi melalui

hubungan seksual, tetapi bakteri juga bisa masuk ke dalam tubuh setelah prosedur

kebidanan/kandungan (misalnya pemasangan IUD, persalinan, keguguran, aborsi

dan biopsi endometrium).

Penyebab lainnya yang lebih jarang terjadi adalah:

Aktinomikosis (infeksi bakteri)

Skistosomiasis (infeksi parasit)

Tuberkulosis.

Beberapa bakteri yang paling umum bertanggung jawab untuk salpingitis

meliputi:
Klamidia

Gonococcus (yang menyebabkan gonore)

Mycoplasma

Staphylococcus

Streptococcus.

4. Patofisiologi

Kebanyakan kasus salpingitis terjadi dalam 2 tahap. Pertama melibatkan

akuisisi infeksi vagina atau leher rahim. Yang kedua melibatkan peningkatan

saluran kelamin bagian atas. Meskipun mekanisme yang tepat untuk peningkatan

tidak diketahui, siklus menstruasi mundur dan pembukaan leher rahim selama

menstruasi tapi hal tersebut merupakan faktor yang dapat meningkatkan infeksi.

Proses pembedahan seperti biopsi endometrium, kuret dan hysteroscopies,

merupakan predisposisi wanita untuk infeksi ini. Perubahan dalam lingkungan

mikro cervicovaginal dihasilkan dari terapi antibiotik, ovulasi, menstruasi atau

penyakit menular seksual (PMS) dapat mengganggu keseimbangan flora endogen,

nonpatogenik biasanya menyebabkan organisme untuk berkembang biak sangat

cepat dan akan naik ke saluran bagian atas.

5. Diagnosis

Gambaran klinis

a. Salpingitis akut

Salpingitis akut, saluran tuba menjadi merah dan bengkak, dan mengeluarkan

cairan tambahan sehingga dinding-dinding bagian dalam tabung sering tetap

bersatu. Tabung mungkin juga tetap berpegang pada struktur terdekat seperti usus.

Kadang-kadang, sebuah tabung tuba bisa mengisi dan mengasapi dengan nanah.
Dalam kasus yang jarang terjadi, tabung pecah dan menyebabkan infeksi yang

berbahaya dalam rongga perut (peritonitis).

Gambar 5.1 Salpingitis Akut

b. Salpingitis Kronis

Salpingitis kronis biasanya mengikuti suatu serangan akut. Infeksi ini lebih

ringan, lebih tahan lama dan mungkin tidak menghasilkan banyak terlihat gejala.

Gambar 5.2 Salpingitis Kronik


Dalam kasus ringan, salpingitis mungkin tidak memiliki gejala. Ini berarti saluran

tuba bisa menjadi rusak tanpa wanita bahkan menyadari bahwa ia memiliki

infeksi. Gejala salpingitis dapat mencakup:

Vagina abnormal, seperti warna atau bau yang tidak biasa

Bercak antara periode

Dismenorea (menyakitkan periode)

Sakit saat ovulasi

Tidak nyaman atau sakit saat hubungan seksual

Demam

Sakit perut di kedua sisi

Nyeri punggung bawah

Sering buang air kecil

Mual dan muntah

Gejalanya biasanya muncul setelah periode menstruasi

6. Penatalaksanaan

Tujuan pengelolaan secara efisien salpingitis adalah untuk mengobati

infeksi akut, sehingga menjaga kesuburan dan mencegah kehamilan ektopik, serta

mengurangi risiko jangka panjang inflamasi sequelae.

Wanita dengan PID atau salpingitis dapat berobat jalan maupun di rawat

inap. Menurut Pelvic Inflammatory Disease Evaluation and Clinical Health

(PEACH) trial, 831 wanita dengan gejala PID ringan biasanya menerima pasien

rawat inap dengan pengobatan melalui intravena (IV) : cefoxitin dan doxycycline,

sedangkan untuk pesien rawat jalan diberi intramuskular (IM) cefoxitin dan
pemberian peroral untuk doxycycline.

Jika tidak ada respon terhadap pemberian antibiotik, mungkin perlu

dilakukan pembedahan. Pasangan seksual penderita sebaiknya juga menjalani

pengobatan secara bersamaan dan selama menjalani pengobatan jika melakukan

hubungan seksual, pasangan penderita sebaiknya menggunakan kondom.

7. Komplikasi

Tanpa perawatan, salpingitis dapat menyebabkan berbagai komplikasi, termasuk:

Infeksi lebih lanjut

Infeksi dapat menyebar ke struktur terdekat, seperti indung telur atau

rahim.

Infeksi mitra seks

Wanita pasangan atau mitra dapat kontrak bakteri dan terinfeksi juga.

Tubo-ovarium abses

Sekitar 15 persen wanita dengan mengembangkan salpingitis abses, yang

memerlukan rawat inap.

Kehamilan Ektopik

Tabung tuba yang diblokir mencegah telur yang telah dibuahi memasuki

rahim, sehingga embrio kemudian tumbuh diluar tabung tuba. Resiko

kehamilan ektopik untuk wanita dengan salpingitis atau penyakit radang

panggul (PID) adalah sekitar 1 20 persen.

Infertility

Tabung tuba cacat atau terdapat luka sehingga telur dan sperma tidak dapat

bertemu. Setelah seseorang terkena salpingitis atau PID, seorang wanita


memiliki resiko infertilitas sekitar 15 persen.

8. Prognosis

Prognosis untuk salpingitis sangat bagus jika penyakit ini didiagnosis dan

diobati dini, meskipun sebagian kecil pasien akan menjadi tidak subur

meskipun perawatan dini.

Prognosis buruk pada pasien dengan episode berulang penyakit

DAFTAR PUSTAKA

1. Manuaba. 1998. Ilmu Kebidanan. Penyakit Kandungan Dan Keluarga

Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC.

2. Prawirohardjo. 2005. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.

3. Sastrawinata, sulaiman. 1981. Ginekologi. Bandung: Elstar offset.

4. Robin, Cotran, Humar. 1999. Buku Saku Robbins, Dasar Patologi

Penyakit. Jakarta: EGC.


SERVISITIS

1. Definisi

Servisitis adalah peradangan jaringan serviks. Hampir semua kasus

servisitis disebabkan oleh penyakit menular seksual dan, bisa juga karena cedera

pada jaringan serviks, kontrol jalan lahir yang berkurang seperti diafragma dan

bahkan kanker.

2. Etiologi

Sebagaimana disebutkan di atas servisitis akut disebabkan karena infeksi

seperti herpes gonore dan klamidia. Penyebab servisitis kronis termasuk infeksi

bakteri yang juga sering menyebabkan servisitis akut. Ketika episode akut

servisitis tidak diobati, maka akan berkembang menjadi servisitis kronis. Risiko

servisitis meningkat saat seorang wanita menderita diabetes, vaginitis akut dan

servisitis berulang atau memiliki banyak pasangan seksual. Servisitis disebabkan

oleh kuman-kuman seperti: trikomonas vaginalis, kandida dan mikoplasma atau

mikroorganisme aerob dan anaerob endogen vagina seperti streptococcus,

enterococus, e.coli, dan stapilococus. kuman-kuman ini menyebabkan deskuamasi

pada epitel gepeng dan perubahan inflamasi kronik dalam jaringan serviks yang

mengalami trauma.
Gambar 2.1 Gambaran sitologi servisitis kronis.

Gambar diatas merupakan gambaran servisitis kronis pada mukosa

squamos-kolumnar leher rahim. Terlihat limfosit kecil yang bulat di submukosa

dan terlihat juga adanya perdarahan. Servisitis dapat juga disebabkan oleh robekan

serviks terutama yang menyebabkan ectropion, robekan serviks tersebut dapat

terjadi akibat alat kontrasepsi, tindakan intrauterine seperti dilatasi, dan lain-lain.

Servisitis sering disebabkan oleh infeksi melalui aktivitas seksual.

Penyebab cervicitis sangat bervariasi, paling sering disebabkan oleh:

Infeksi Chlamydia trachomatis

Infeksi trichomonas vaginalis

Trikomoniasis asosiasi dengan Kandidiasis

Gonorrheae Neisseria (Gonore)

Herpes simplex virus

Human papilloma virus (HPV)

Penyebab kurang umum lainnya adalah: mikosis, sifilis , tuberkulosis ,

Mycoplasma.
Beberapa kasus servisitis disebabkan oleh: Penggunaan kondom wanita

(cervical cap dan diafragma), penyangga uterus (Pessarium), alergi spermisida pada

kondom pria, paparan terhadap bahan kimia, infeksi vagina-serviks, trauma

obstetrik-terjadi selama kelahiran (trauma leher rahim), trauma lokal sekunder

untuk kontak seksual, penggunaan buffer internal, intrauterine device (IUD), cacat

ektopik bawaan (epitel kelenjar pada saluran serviks), lokal manuver seperti

kuretase, histeroskopi.

Servisitis sering terjadi dan mengenai hampir 50% wanita dewasa dengan

faktor resiko:

Perilaku seksual bebas resiko tinggi

Riwayat IMS

Memiliki pasangan seksual lebih dari satu

Aktivitas seksual pada usia dini

Pasangan seksual dengan kemungkinan menderita IMS

Servisitis juga dapat disebabkan oleh bakteri (stafilokokus dan

streptokokus) atau akibat pertumbuhan berlebihan bakteri normal flora

vagina (vaginosis bakterial).


Gambar 2.2 Serviks normal dan servisitis.

3. Diagnosis

Servisitis dapat dicurigai setelah dilakukan pemeriksaan klinis dengan melihat

adanya perubahan inflamasi, lesi ulseratif, cacat atau sekret dari leher

rahim. Diagnosis servisitis selanjutnya ditentukan oleh pemeriksaan kolposkopi

dan Pap smear. Pemeriksaan sitologi bakteri berguna untuk mendeteksi etiologi

infeksi serviks.

Gejala klinis servisitis berupa:

a) Flour hebat, biasanya berlangsung lama, warna putih keabu-abuan atau kuning

yang kental atau purulent dan biasanya berbau.

b) Sering menimbulkan erusio (erythroplaki) pada portio yang tampak seperti

daerah merah menyala.

c) Pada pemeriksaan inspekulo kadang-kadang dapat dilihat flour yang purulent

keluar dari kanalis servikalis. Kalau portio normal tidak ada ectropion, maka

harus diingat kemungkinan gonorhoe.


d) Sekunder dapat terjadi kolpitis dan vulvitis.

e) Pada servisitis kroniks kadang dapat dilihat bintik putih dalam daerah selaput

lendir yang merah karena infeksi.

f) Gejala-gejala non spesifik seperti dispareuni (nyeri saat senggama), nyeri

punggung, rasa berat di panggul dan gangguan kemih.

g) Perdarahan uterus abnormal:

Pasca sanggama

Pasca menopause

Diantara haid

Pada pemeriksaan panggul dalam dapat memperlihatkan adanya:

Keputihan

Servik kemerahan

Edema (inflamasi) dinding vagina

4. Klasifikasi

A. Servisitis Akut

Infeksi yang diawali di endoserviks dan ditemukan pada gonorroe, infeksi

postabortum, postpartum, yang disebakan oleh streptococcus, sthapilococus, dan

lain-lain. Dalam hal ini streptococcus merah dan membengkak dan mengeluarkan

cairan mukopurulent, akan tetapi gejala-gejala pada serviks biasanya tidak

seberapa tampak ditengah-tengah gejala lain dari infeksi yang bersangkutan.


Pengobatan diberikan dalam rangka pengobatan infeksi tersebut. Penyakitnya

dapat sembuh tanpa bekas atau dapat menjadi kronika.

B. Servisitis Kronik

Penyakit ini dijumpai pada sebagian wanita yang pernah melahirkan. Luka-luka

kecil atau besar pada servik karena partus atau abortus memudahkan masuknya

kuman-kuman kedalam endoserviks serta kelenjar-kelenjarnya sehingga

menyebabkan infeksi menahun.

5. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan pertama kali yang dilakukan adalah dengan spekulum. Pada pasien-

pasien dengan flour albus dapat dilakukan terlebih dahulu pemeriksaan inspeksi

keputihan dengan mikroskop (dapat terlihat candidiasis, trichomoniasis, atau

bacterial vaginosis), tes gonorrhea atau chlamydia.

Metode pemeriksaan lain yang digunakan untuk menyelidiki penyakit

leher rahim adalah:

Pemeriksaan klinis: ujian vagina, dimana dokter mencatat perubahan

patologis dan mungkin sekresi serviks.

Pemeriksaan bakteriologis dari sekresi serviks, dan uji budidaya dan

kepekaan terhadap antibiotik diperlukan untuk menentukan etiologi infeksi

dengan sediaan apus.

Pap smear: untuk melihat adanya perubahan sitologis (seluler) serviks.

Kolposkopi: metode pemeriksaan leher rahim yang menggunakan sebuah

alat optik yang meningkatkan citra, yang disebut colposcope, selama

kolposkopi tes Lugol juga dilakukan (solusi diterapkan pada mukosa serviks).

Pemeriksaan patologi anatomi: yaitu sepotong mukosa yang diambil untuk


biopsi dengan conization atau kuretase endoserviks (kuretase di dalam kanal

leher rahim).

6. Penatalaksanaan

1. Medika mentosa

Pengobatan medika mentosa bertujuan untuk membasmi infeksi, tergantung

pada agen etiologi dan kepekaan agen etiologi yang ditemukan, dengan

memberikan antibiotik spesifik dan jika perlu diberikan pengobatan dengan

antibiotik atau anti jamur oral. Untuk servisitis yang disebabkan oleh infeksi

bakteri (Chlamydia, Gonorrhoea) diberikan antibiotika. Pada infeksi herpes

dapat diberikan antiviral. Terapi hormonal (dengan estrogen atau

progesterone) dapat diberikan pada pasien menopause.

2. Pembedahan

Pembedahan dilakukan pada hari-hari pertama setelah menstruasi, agar dapat

memberikan waktu penyembuhan untuk bekas luka setelah pembedahan

sampai haid berikutnya sehingga dapat mencegah infeksi. Sebelum melakukan

pembedahan terlebih dahulu dibutuhkan pemeriksaan ginekologi. Prosedur ini

tidak boleh dilakukan pada keadaan peradangan akut serviks, pada keadaan ini

prosedur pembedahan harus ditunda, karena beresiko memperparah

peradangan.

Metode pembedahan yang dilakukan tergantung pada usia, kedalaman dan

keadaan permukaan lesi, munculnya perubahan kolposkopi dan sitologi,


pembedahan dapat dilakukan dengan salah satu prosedur berikut:

Electrocauterization

Cryotherapy adalah metode yang dilakukan dengan

menghancurkan jaringan patologis sampai kedalaman 3-4 mm,

dengan pembekuan, dengan menggunakan karbon dioksida,

nitrogen cair dan freon.

Terapi laser: metode modern dengan menguapkan sel-sel, tanpa

menyebabkan nekrosis jaringan, tidak ada luka dan karena itu tidak

ada sekresi berikutnya seperti dalam kasus electrocauterization

Loop eksisi menggunakan arus eletric, daerah lesi dipotong untuk

dilakukan biopsi.

Conization: sebagian mukosa serviks dipotong. Metode ini

digunakan untuk luka infeksi yang lama, luka berulang dan

displastik.

Pemotongan serviks: operasi pengangkatan leher rahim, dalam

kasus displasia serviks yang terkait dengan hipertrofi.


Gambar 6. Pembedahan dengan metode loop eksisi.

7. Prognosis

Prognosis servisitis biasanya baik, namun penyakit ini dapat kambuh.

Servisitis ringan dengan etiologi jelas biasanya memberi respon baik terhadap

terapi. Semua wanita dengan servisitis perlu pemeriksaan teratur sampai

kondisinya benar-benar sembuh karena servisitis biasanya akan sembuh ketika

masa pengobatan selesai. Pad m ,m/

a kasus yang berat, servisitis dapat berlangsung selama beberapa bulan. Jika

servisitis itu disebabkan oleh penyakit menular seksual, kedua pasangan harus

diobati dengan obat.

8. Komplikasi

Cervicitis dapat berlanjut selama bertahun-tahun, dengan flour albus yang

sedikit atau banyak, biasanya tanpa rasa sakit, demam, gangguan haid atau

terganggunya kehidupan seksual.

DAFTAR PUSTAKA

1. David, Ovedoff. 1995. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Bina Pura

Aksara.

2. Taber, Benzion. 1995. Kapita Selekta Kedaruratan Obstetri dan

Gynekologi. Jakarta: EGC.

3. Manuaba. 1998. Ilmu Kebidanan. Penyakit Kandungan Dan Keluarga


Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC.

4. Prawirohardjo. 2005. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.

5. Sastrawinata, sulaiman. 1981. Ginekologi. Bandung: Elstar offset.

6. Robin, Cotran, Humar. 1999. Buku Saku Robbins, Dasar Patologi

Penyakit. Jakarta: EGC.

7. Biggs WS, Williams RM. Common gynecologic infections. Prim Care.

2009;36:33-51. [PubMed]

8. Diseases characterized by urethritis and cervicitis. Sexually transmitted

diseases treatment guidelines 2006. Update to CDC's sexually transmitted

diseases treatment guidelines. 2006: fluoroquinolones no longer

recommended for treatment of gonococcal infections. Available at

www.guidelines.gov. Accessed January 25, 2010.

9. http://obginround.blogspot.com/2011/05/servisitis.html.

ABSES TUBO OVARIUM

1.1 DEFINISI

Tubo-ovarian abscess (TOA) adalah pembengkakan yang terjadi pada tuba-

ovarium yang ditandai dengan radang bernanah, baik di salah satu tuba-ovarium,

maupun keduanya (Granberg, 2009). TOA Merupakan komplikasi termasuk efek

jangka panjang dari salfingitis akut tetapi biasanya akan muncul dengan infeksi

berulang atau kerusakan kronis dari jaringan adnexa.

1.2 GEJALA KLINIS

Pada semua kasus TOA, termasuk yang disebabkan oleh Pneumococcus,

menunjukkan gejala-gejala berikut: nyeri (88%), demam (35%), massa adneksa


(35%), diare (24%), mual dan muntah (18%), haid tidak teratur (12%).

Pada pemeriksaan touching : nyeri goyang portio, nyeri kiri dan kanan

uterus atau salah satunya, kadang-kadang terdapat penebalan tuba (tuba yang

normal, tidak teraba), seta nyeri pada ovarium karena meradang.

Gejala dapat sangat bervariasi dari asimptomatis sampai terjadinya akut

abdomen sampai syok septik. Karateristik pasien biasanya yang muda serta

paritasnya rendah dengan riwayat infeksi pelvis. Durasi dari gejala pada wanita

biasanya kurang lebih 1 minggu dan onsetnya biasanya terjadi 2 minggu atau lebih

setelah siklus menstruasi.

1.3 ETIOLOGI

TOA biasanya disebabkan oleh bakteri aerob dan anaerob, seperti

Escherichia coli, Hemolytic streptococci and Gonococci, Bacteroides species dan

Peptococcus (Seshadri et al., 2004). Pada beberapa kasus, Hemophilus inuenzae,

Salmonella, actinomyces, dan Staphylococcus aureus juga dilaporkan menjadi

penyebab TOA. Sekitar 92% penyebab TOA adalah Streptococci.

1.4 PATOFISIOLOGI

Adanya penyebaran bakteri dari vagina ke uterus lalu ke tuba dan atau

parametrium, terjadilah salpingitis dengan atau tanpa ooforitis. Keadaan ini bisa

terjadi pada pasca abortus, pasca persalinan atau setelah tindakan genekologi

sebelumnya. Pada permulaan proses penyakit, lumen tuba masih terbuka

mengeluarkan eksudat yang purulent dari febriae dan menyebabkan peritonitis,

ovarium sebagaimana struktur lain dalam pelvis mengalami inflamasi, tempat

ovulasi dapat sebagai tempat masuk infeksi. Abses masih bisa terbatas mengenai

tempat masuk infeksi. Abses masih bisa terbatas mengenai tuba dan ovarium saja,
dapat pula melibatkan struktur pelvis yang lain seperti usus besar,buli-buli atau

adneksa yang lain. Proses peradangan dapat mereda spontan atau sebagai respon

pengobatan, keadaan ini biasanya memberi perubahan anatomi disertai perlekatan

fibrin terhadap organ terdekatnya. Apabila prosesnya menghebat dapat terjadi

pecahnya abses.

1.5 PEMERIKSAAN

a. Pemeriksaan laboratorium: Hasil pemeriksaan yang didapatkan dari

laboratorium kurang bermakna. Hitung jenis sel darah putih bervariasi dari

leukopeni sampai leukositosis. Hasil urinalisis memperlihatkan adanya

pyuria tanpa bakteriuria. Nilai laju endap darah minimal 64 mm/h serta

nilai akut C-reaktif protein minimal 20 mg/L dapat difikirkan ke arah

diagnosa TOA.

b. USG

Dapat membantu untuk mendeteksi perubahan seperti terjadinya

progressi. regresi, ruptur atau pembentukan pus. Ultrasound adalah

modalitas pencitraan pilihan pertama untuk diagnosis dan evaluasi TOA.

USG menawarkan akurasi, siap ketersediaan, biaya rendah dan kurangnya

radiasi pengion. Namun, tetap memerlukan keahlian teknis untuk

mencapai potensi diagnostik yang akurat. Ini dapat dilakukan baik

transvaginal atau transabdominal: pencitraan yang transvaginal

memberikan gambaran lebih detail, dimana transduser berada di dalam

dekat dengan daerah pemeriksaan, sedangkan pencitraan pelvis yang

transabdominal menawarkan keuntungan imaging dalam satu tampilan

organ besar seperti rahim. Habitus tubuh besar dan adanya loop dari usus
di pelvis dapat menimbulkan kesulitan dalam pencitraan dengan US

transabdominal.

c. CT (computed tomography)

Computed tomography telah digunakan, sejak perkembagan dari

US dan MRI, peran terbatas dalam evaluasi radiologi dari PID. Kinerja CT

dengan penggunaan media kontras oral dan intravena meningkatkan

metode dari akurasi diagnostik karena karakterisasi jaringan yang lebih

baik. Sejumlah kecil cairan dalam cul de sac bisa dideteksi oleh CT. Suatu

abses Tubo-ovarium mungkin tergambar sebagai massa peradangan dengan

komponen padat dan kistik, dengan peningkatan semua atau bagian dari

komponen padat.

d. Kuldosentesis

Cairan kuldosentesis pada wanita denagn TOA yang tidak ruptur

memperlihatkan gambaran reaction fluid yang sama seperti di salpingitis

akut. Apabila terjadi ruptur TOA maka akan ditemukan cairan yang

purulen.

1.6 DIAGNOSIS

Penegakan diagnosis berdasarkan gejala-gejala yang telah didapatkan dan

dapat disertai adanya :

- Riwayat infeksi pelvis

- Adanya massa adnexa, biasanya lunak

- Produksi pus dari kuldesintesis pada ruptur

Diagnosa banding :
a. TOA utuh dan belum memberikan keluhan

- Kistoma ovari, tumor ovari

- KET

- Abses peri, apendikuler

- Mioma uteri

- Hidrosalping

b. TOA utuh dengan keluhan

- Perforasi apendik

- Perforasi divertikel/abses divertikel

- Perforasi ulkus peptikum

- Kelainan sistematis yang memberi distres akut abdominal

- Kista ovari terinfeksi atau terpuntir

1.7 KOMPLIKASI

a. TOA yang utuh: pecah sampai sepsis reinfeksi di kemudian hari,

infertilitas

b. TOA yang pecah: syok sepsis, abses intraabdominal, abses subkronik,

abses paru/otak.

1.8 PENATALAKSANAAN

a. Curiga TOA utuh tanpa gejala

- Antibotika dengan masih dipertimbangkan pemakaian golongan :

doksiklin 2x / 100 mg / hari selama 1 minggu atau ampisilin 4 x

500 mg / hari, selama 1 minggu.

- Pengawasan lanjut, bila masa tak mengecil dalam 14 hari atau

mungkin membesar adalah indikasi untuk penanganan lebih lanjut


dengan kemungkinan untuk laparatomi

b. TOA utuh dengan gejala

- Masuk rumah sakit, tirah baring posisi semi fowler, observasi

ketat tanda vital dan produksi urine, perksa lingkar abdmen, jika

perlu pasang infuse P2 - Antibiotika massif (bila mungkin gol beta

lactar) minimal 48-72 jam Gol ampisilin 4 x 1-2 gram selama /

hari, IV 5-7 hari dan gentamisin 5 mg / kg BB / hari, IV/im terbagi

dalam 2x1 hari selama 5-7 hari dan metronida xole 1 gr reksup 2x /

hari atau kloramfinekol 50 mg / kb BB / hari, IV selama 5 hari

metronidazol atau sefaloosporin generasi III 2-3 x /1 gr / sehari dan

metronidazol 2 x1 gr selama 5-7 hari

- Pengawasan ketat mengenai keberhasilan terapi

- Jika perlu dilanjutkan laparatomi, SO unilateral, atau pengangkatan

seluruh organ genetalia interna.

c. TOA yang pecah

TOA yang pecah merupakan kasus darurat: dilakukan laparotomi pasang

drain kultur nanah. Setelah dilakukan laparatomi, diberikan sefalosporin

generasi III dan metronidazol 2 x 1 gr selama 7 hari (1 minggu).

1.9 PROGNOSIS

a. TOA yang utuh

Pada umumnya prognosa baik, apabila dengan pengobatan medidinaslis

tidak ada perbaikan keluhan dan gejalanya maupun pengecilan tumornya

lebih baik dikerjakan laparatomi jangan ditunggu abses menjadi pecah

yang mungkin perlu tindakan lebih luas. Kemampuan fertilitas jelas


menurun kemungkinan reinfeksi harus diperhitungan apabila terapi

pembedahan tak dikerjakan

b. TOA yang pecah

Kemungkinan septisemia besar oleh karenanya perlu penanganan dini dan

tindakan pembedahan untuk menurunkan angka mortalitasnya.


DAFTAR PUSTAKA

1. Manuaba. 1998. Ilmu Kebidanan. Penyakit Kandungan Dan Keluarga

Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC.

2. Prawirohardjo. 2005. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.

3. Sastrawinata, sulaiman. 1981. Ginekologi. Bandung: Elstar offset.


PENYAKIT RADANG PANGGUL

1.1 Definisi

Pelvic inflammatory disease (PID) adalah penyakit infeksi dan inflamasi

pada traktur reproduksi bagian atas, termasuk uterus, tuba fallopi, dan struktur

penunjang pelvis.

1.2 Epidemiologi

PID adalah masalah kesehatan yang cukup sering. Sekitar 1 juta kasus PID

terjadi di Amerika Serikat dalam setahun dan total biaya yang dikeluarkan

melebihi 7 juta dollar per tahun. Lebih dari seperempat kasus PID membutuhkan

rawatan inap. PID menyebabkan 0,29 kematian per 1000 wanita usia 15-44 tahun.4

Diperkirakan 100000 wanita menjadi infertil diakibatkan oleh PID.

1.3 Faktor Resiko

Terdapat beberapa faktor resiko terjadinya PID, namun yang utama adalah

aktivitas seksual. PID yang timbul setelah periode menstruasi pada wanita dengan

aktivitas seksual berjumlah sekitar 85%, sedangkan 15% disebabkan karena luka

pada mukosa misalnya akbiat AKDR atau kuretase.

1.4 Etiologi

PID biasanya disebabkan oleh mikroorganisme penyebab penyakit

menular seksual seperti N. Gonorrhea dan C. Trachomatis. Mikroorganisme

endogen yang ditemukan di vagina juga sering ditemukan pada traktus genitalia

wanita dengan PID. Mikroorganisme tersebut termasuk bakteri anaerob seperti

prevotella dan peptostreptokokus seperti G. vaginalis. Bakteri tersebut bersama

dengan flora vagina menyebar secara asenden dan secara enzimatis merusak barier
mukosa serviks.

1.5 Patofisiologi

PID disebabkan oleh penyebaran mikroorganisme secara asenden ke

traktus genital atas dari vagina dan serviks. Mekanisme pasti yang bertanggung

jawab atas penyebaran tersebut tidak diketahui, namun aktivitas seksual mekanis

dan pembukaan serviks selama menstruasi mungkin berpengaruh.

Banyak kasus PID timbul dengan 2 tahap. Tahap pertama melibatkan

akuisisi dari vagina atau infeksi servikal. Penyakit menular seksual yang

menyebabkannya mungkin asimptomatik. Tahap kedua timbul oleh penyebaran

asenden langsung mikroorganisme dari vagina dan serviks. Mukosa serviks

menyediakan barier fungsional melawan penyebaran ke atas, namun efek dari

barier ini mungkin berkurang akibat pengaruh perubahan hormonal yang timbul

selama ovulasi dan mestruasi. Gangguan suasana servikovaginal dapat timbul

akibat terapi antibiotik dan penyakit menular seksual yang dapat mengganggu

keseimbangan flora endogen, menyebabkan organisme nonpatogen bertumbuh

secara berlebihan dan bergerak ke atas. Pembukaan serviks selama menstruasi

dangan aliran menstrual yang retrograd dapat memfasilitasi pergerakan asenden

dari mikrooragnisme. Hubungan seksual juga dapat menyebabkan infeksi asenden

akibat dari kontraksi uterus mekanis yang ritmik. Bakteri dapat terbawa bersama

sperma menuju uterus dan tuba.

1.6 Jenis-jenis

Salpingitis

Mikroorganisme yang tersering menyebabkan salpingitis adalag N.


Gonorhea dan C. trachomatis. Salpingitis timbul pada remaja yang memiliki

pasangan seksual multiple dan tidak menggunakan kontrasepsi. Gejala meliputi

nyeri perut bawah dan nyeri pelvis yang akut. Nyeri dapat menjalar ke kaki. Dapat

timbul sekresi vagina. Gejala tambahan berupa mual, muntah, dan nyeri kepala.

Abses Tuba Ovarian

Abses ini dapat muncul setelah onset salpingitis, namun lebih sering akibat

infeksi adnexa yang berulang. Pasien dapat asimptomatik atau dalam keadaan

septic shock. Onset ditemukan 2 minggu setelah menstruasi dengan nyeri pelvis

dan abdomen, mual, muntah, demam, dan takikardi. Seluruh abdomen tegang dan

nyeri. Leukosit dapat rendah, normal, atau sangat meningkat.

1.7 Diagnosis

Penegakan diagnosa dimulai dengan anemnese, dimana pasien dapat

mengeluhkan gejala yang bervariasi. Gejala muncul pada saat awal siklus

menstruasi atau pada saat akhir menstruasi. Nyeri abdomen bagian bawah

dijumpai pada 90% kasus dengan kriteria nyeri tumpul, bilateral, dan konstan.

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, biasanya didapati :

1. Nyeri tekan perut bagian bawah

2. Pada pemeriksaan pelvis dijumpai : sekresi cairan mukopurulen, nyeri

pada pergerakan serviks, nyeri tekan uteri, nyeri tekan adnexa yang

bilateral

3. Mungkin ditemukan adanya massa adnexa

Beberapa tanda tambahan adalah :

Suhu oral lebih dari 38C


Pemeriksaan Laboratorium

1. Pada pemeriksaan darah rutin dijumpai jumlah leukosit lebih dari 100.000

pada 50% kasus. Hitung leukosit mungkin normal, meningkat, atau

menurun, dan tidak dapat digunakan untuk menyingkirkan PID.

2. Peningkatan erythrocyte sediment rate digunakan untuk membantu

diagnose namun tetap tidak spesifik.

3. Peningkatan c-reaktif protein, tidak spesifik.

4. Pemeriksaan DNA dan kultur gonorrhea dan chlamidya digunakan untuk

mengkonfirmasi PID.

Pemeriksaan Radiologi

1. Transvaginal ultrasonografi : pemeriksaan ini memperlihatkan adnexa,

uterus, termasuk ovaroium. Pada pemeriksaan ini PID akut Nampak

dengan adanya ketebalan dinding tuba lebih dari 5 mm, adanya septa

inkomplit dalam tuba, cairan mengisi tuba fallopi, dan tanda cogwheel.

Tuba fallopi normal biasanya tidak terlihat pada USG.

2. CT digunakan untuk mendiagnosa banding PID. Penemuan CT pada PID

adalah servisitis, ooforitis, salpingitis, penebalan ligament uterosakral, dan

adanya abses atau kumpulan cairan pelvis. Penemuan CT scan tidak

spesifik pada kasus PID dimana tidak bukati abses.

3. MRI jarang mengindikasikan PID. Namun jika digunakan akan terlihat

penebalan, tuba yang berisi cairan dengan atau tanpa cairan pelvis bebas

atau kompleks tubaovarian.

1.8 Diagnosis Banding


Beberapa diagnosa banding untuk PID adalah :

1. tumor adnexa

2. appendicitis

3. servisitis

4. kista ovarium

5. torsio ovarium

6. aborsi spontan

7. infeksi saluran kemih

8. kehamilan ektopik

9. endometriosis

1.9 Penatalaksanaan

Terapi pasien rawatan inap

Regimen A : berikan cefoxitin 2 gram iv atau cefotetan 2 gr iv per 12 jam

ditambah doxisiklin 100 mg per oral atau iv per 12 jam. Lanjutkan regimen ini

selama 24 jam setelah pasien pasien membaik secara klinis, lalu mulai doxisiklin

100 mg per oral 2 kali sehari selama 14 hari. Jika terdapat abses tubaovarian,

gunakan metronoidazole atau klindamisin untuk menutupi bakteri anaerob.

Regimen B : berikan clindamisin 900 mg iv per 8 jam tambah gentamisin 2 mg/kg

BB dosis awal iv diikuti dengan dosis lanjutan 1,5 mg/kg BB per 8 jam. Terapi iv

dihentikan 24 jam setelah pasien membaik secara klinis, dan terapi per oral 100

mg doxisiklin dilanjutkan hingga 14 hari.

Terapi pasien rawatan jalan

Regimen A : berikan ceftriaxone 250 mg im dosis tunggal tambah doxisiklin 100

mg oral 2 kali sehari selama 14 hari, dengan atau tanpa metronidazole 500 mg 2
kali sehari selama 14 hari.

Regimen B : berikan cefoxitin 2 gr im dosis tunggal dan proibenecid 1 gr per oral

dosis tunggal atau dosis tunggal cephalosporin generasi ketiga tambah dozisiklin

100 mg oral 2 kali sehari selama 14 hari dengan atau tanpa metronidazole 500 mg

oral 2 kali sehari selama 14 hari.

Terapi Pembedahan

Pasien yang tidak mengalami perbaikan klinis setelah 72 jam terapi harus

dievaluasi ulang bila mungkin dengan laparoskopi dan intervensi pembedahan.

Laparotomi digunakan untuk kegawatdaruratan sepeti rupture abses, abses yang

tidak respon terhadap pengobatan, drainase laparoskopi. Penanganan dapat pula

berupa salpingoooforektomi, histerektomi, dan bilateral salpingooforektomi.

Idealnya, pembedahan dilakukan bila infeksi dan inflamasi telah membaik.


DAFTAR PUSTAKA

1. Shepherd, Suzanne M. Pelvic Inflammatory Disease. 2010. Diunduh dari :

http://emedicine.medscape.com/article/256448-print [diperbaharui tanggal

4 Februari 2010]

2. Reyes, Iris. Pelvic Inflammatory Disease. 2010. Diunduh dari :

http://emedicine.medscape.com/article/796092-print [diperbaharui tanggal

10 September 2010]

3. Berek, Jonathan S. 2007. Pelvic Inflammatory Disease dalam Berek &

Novaks Gynekology 14th Edition. California : Lippincott William &

Wilkins.

4. Pernoll, Martin L. 2001. Pelvic Inflammatory Disease dalam Benson &

Pernolls handbook of Obstetric and Gynecology 10th edition. USA :

McGrawhill Companies.

5. Edmonds, Keith D. 2007. The Role of Ultrasound in Gynaecology dalam

Dewhursts Textbook of Obstetric and Gynaecology 7th edition. London :

Blackwell Publishing.

6. Mudgil, Shikha. 2009. Pelvic Inflammatory Disease/Tubo-ovarian

Abscess. Diunduh dari : http://emedicine.medscape.com/article/404537-

print [diperbaharui tanggal 10 Agustus 2009]


KORIOAMNIOSITIS

Definisi

Korioamnionitis adalah infeksi pada korion dan amnion.Korioamnionitis

adalah infeksi jaringan membarana fetalis beserta cairan amnion yang terjadi

sebelum partus sampai 24 jam post partum. Insidensi dari chorioamnionitis adalah

1 5% dari kehamilam term dan sekitar 25% dari partus preterm.

Korioamnionitis merupakan inflamasi pada membrane fetal / selaput

ketuban yang merupakan manifestasi dari infeksi intrauterine (IIU). Seringkali

berhubungan dengan pecahnya selabut ketuban yang lama dan persalinan yang

lama. Hal ini dapat dilihat dengan menjadi keruhnya (seperti awan) selaput

membrane. Selain itu bau busuk dapat tercium, tergantung jenis dan konsentrasi

bakteri. Ketika mono dan leukosit polimononuklear (PMN) menginfiltrasi korion,

dalam penemuan mikroskopik maka hal ini dikatakan korioamnionitis. Sel-sel

tersbut berasal dari ibu. Sebaliknya, jika leukosit ditemukan pada cairan amnion

(amnionitis) atau selaput plasenta (funisitis), sel-sel ini berasal dari fetus.

Epidemologi

Dengan adanya korioamnionitis, morbiditas fetus meningkat secara

substansif. Alexander dan kolega (1998) mempelajari 1367 neonatus dengan berat

lahir sangat rendah yang dilahirkan di Rumah Sakit Parkland. Sejumlah 7 %

dilahirkan oleh wanita dengan korioamnionitis, dan hasil akhir dibandingkan

dengan bayi baru lahir tanpa infeksi secara klinis. Para bayi yang baru lahir

dengan grup terinfeksi mempunyai insidensi yang lebih tinggi menderita sepsis,
respiratory distress syndrome, kejang dengan onset awal, perdaraham

intraventrikular, dan leukomalasia periventrikular.

Para peneliti mengkonklusi bahwa bayi-bayi dengan berat badan sangat

rendah tersebut rentan terhadap perlukaan neurologis karena korioamnionitis.

Pada penelitian lain (Yoon dan kolega, 2000) menemukan bahwa infeksi intra

amnion pada bayi preterm berhubungan dengan meningkatnya resiko cerebral

palsy pada usia 3 tahun. Petroya dan kolega (2001) mempelajari lebih dari 11 juta

kelahiran hidup dari 1995 hingga 1997 yang terdaftar pada National Center for

Health Statistics linked birth-infant death cohort. Selama persalinan, 1,6 % wanita

yang mengalami demam berhubungan secara erat denga infeksi yang

menyebabkan kematian baik bayi term maupu preterm.

Patofisiologi

Jalur bakteri memasuki cairan amnion yang intak masih belum jelas

diketahui. Gyr dan kolega (1994) telah menunjukkan bahwa Escherichia coli dapat

mempenetrasi membrane tang hidup; sehingga, membran bukan barier yang

absolut untuk infeksi ascending. Jalur lain inisiasi bakteri pada persalinan preterm

mungkin tidak membutuhkan cairan amnion. Cox dan rekan kerja (1993)

menemukan bahwa sitokin dan sel-sel mediasi imunitas dapat teraktivasi di dalam

jaringan desidual yang membatasi membrane fetalis. Pada peristiwa ini, produk

bakteri seperti endotoksin menstimulasi monosit desidual untuk memproduksi

sitokin, yang kemudian menstimulasi asam arakidonat dan produksi prostaglandin.

Prostaglandin E2 dan F2 bekerja pada parakrin untuk menstimulasi miometrium

sehingga berkontraksi
Etiologi

Infeksi pada membran dan cairan amnion dapat disebabkan oleh

mikroorganisme yang bervariasi. Bakteri dapat ditemukan melalui amniosintersis

transabdominal sebanyak 20% pada wanita dengan persalinan preterm tanpa

manifestasi klinis infeksi dan dengan membrane fetalis yang intak (Cox dan rekan

kerja, 1996; Watts dan kolega, 1992). Produk viral juga ditemukan (Reddy and

colleagues, 2001). Infeksi tidak terbatas pada cairan amnion. Pada penelitian yang

dilakukan pada 609 wanita dengan sectio caesarea dengan membrane yang intak,

Hauth dan rekan kerja (1998) mengkonfirmasi bahwa organism dari korioamnion

meningkat secara signifikan dalam persalinan spontan preterm. Proses

penyembuhan dari bakter patogen juga berhubungan secara terbalik dengan usia

kehamilan.

Faktor predisposisi

1. Persalinan prematur

2. Persalinan lama

3. Ketuban pecah lama

4. Pemeriksaan dalam yang dilakukan berulang-ulang

5. Adanya bakteri patogen pada traktus genitalia (IMS, BV)

6. Alkohol

7. Rokok
Gambaran Klinis

Ruptur membrane yang memanjang berhubungan dengan morbiditas

infeksi yang meningkat (Ho dan kolega, 2003). Jika korioamnionitis terdiagnosis,

usaha untuk mempengaruhi persalinan, pervaginam yang disarankan, segera

dimulai. Tanda dan gejala yang dapat ditemukan:

Demam, suhu di atas 38C (100.4F) atau lebih tinggi disertai ruptur

membrane menandakan adanya infeksi.


Leukositosis pada ibu tersendiri ridak ditemukan berhubungan secara

signifikan oleh para peneliti.


Takikardia ibu dan takikardia fetus
Uterine tenderness
Vaginal discharge yang berbau.

Diagnosis

1. Anamnesis
Para peneliti menemukan bahwa reaksi inflamasi dapat bersifat tidak

spesifik dan tidak selalu terbukti terjadi infeksi pada ibu. Sebagai contoh,

Yamada dan kolega (2000) menemukan bahwa cairan yang terwarna

mekonium merupaka penarik kimiawi bagi leukosit. Sebaliknya, Benirschke

dan Kaufmann (2000) mempercayai bahwa korioamnionitis secara

mikroskopik selalu disebabkan infeksi. Korioamnionitis sering berhubungan

dengan rupture membran, kelahiran preterm, ataupun keduanya. Sering kali

sulit dibedakan apakah infeksi terlebih dahulu atau ruptur membran terlebih

dahulu yang terjadi. Gambaran khasnya adalah selaput ketuban yang terlihat

seperti susu dan berkabut (akibat adanya lekosit polimorfonuklear dan

eksudat) disertai infiltrasi leukosit perivaskular pada tali pusat clan pembuluh
darah janin (omfalitis). Peradangan vilus fokal merupakan manifestasi lanjut.
2. Pemeriksaan Fisis
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan hapusan Gram atau kultur pada cairan amnion biasanya

tidak dilakukan.
Pemeriksaan amniosentesis biasanya dilakukan pada preterm labour yang

refrakter (supaya dapat diputuskan apabila tokolisis tetap dilanjutkan atau

tidak) dan pada pasien yang PROM (apakah induksi perlu dilakukan).
Indikasi lain dari amniosentesis adalah untuk mencari diagnosis

diferensial dari Infeksi intramnion, prenatal genetic studies,

memprediksi lung maturity

Korioamnionitis adalah diagnosis klinis yang ditegakkan bila ditemukan demam

>380C dengan 2 atau lebih tanda berikut ini:

leukositosis >15.000 sel/mm3

denyut jantung janin >160 kali/menit

frekuensi nadi ibu >100 kali/menit

nyeri tekan fundus saat tidak berkontraksi

cairan amnion berbau

Penatalaksanaan

Rujuk pasien ke rumah sakit.

Beri antibiotika kombinasi: ampisilin 2 g IV tiap 6 jam ditambah gentamisin 5

mg/kgBB IV setiap 24 jam.


Terminasi kehamilan. Nilai serviks untuk menentukan cara persalinan:

o Jika serviks matang: lakukan induksi persalinan dengan oksitosin

o Jika serviks belum matang: matangkan dengan prostaglandin dan infus

oksitosin, atau lakukan seksio sesarea

Jika persalinan dilakukan pervaginam, hentikan antibiotika setelah persalinan.

Jika persalinan dilakukan dengan seksio sesarea, lanjutkan antibiotika dan

tambahkan metronidazol 500 mg IV tiap 8 jam sampai bebas demam selama

48 jam.

Jika terdapat metritis (demam, cairan vagina berbau), berikan antibiotika

Jika bayi mengalami sepsis, lakukan pemeriksaan kultur darah dan

beri antibiotika yang sesuai selama 7-10 hari.

Referensi

1. Duff P. Maternal and perinatal infection. In: Gabbe SG, Niebyl JR, Simpson

JL, eds. Obstetrics: normal and problem pregnancies, 4th ed. Philadelphia, PA:

Churchill Livingston; 2002:1301-3


2. WHO country office for Indonesia. Korioamniositis. 2013. Available at

http://www.edukia.org/web/kbibu/6-4-11-korioamnionitis/
HEPATITIS B PADA KEHAMILAN

Definisi

Hepatitis B merupakan infeksi menular serius pada hati yang

disebabkan oleh virus hepatitis B. Infeksi akut dapat terjadi pada saat tubuh

terinfeksi untuk pertama kalinya. Infeksi akut ini dapat berubah menjadi kronis

setelah beberapa bulan sejak infeksi pertama kali.

Hepatitis B merupakan salah satu penyakit menular yang tergolong

berbahaya di dunia, Penyakit ini disebabkan oleh Virus Hepatitis B (VHB), suatu

anggota famili Hepadnavirus pada sebagian kecil kasus dapat berlanjut menjadi

sirosis hati atau kanker hati yang menyerang hati dan menyebabkan peradangan

hati akut atau menahun. Seperti halnya Hepatitis C, kedua penyakit ini dapat

menjadi kronis dan akhirnya menjadi kanker hati.

Penyebab Hepatitis ternyata tak semata-mata virus. Keracunan obat, dan

paparan berbagai macam zat kimia seperti karbon tetraklorida, chlorpromazine,

chloroform, = arsen, fosfor, dan zat-zat lain yang digunakan sebagai obat dalam

industri modern, bisa menyebabkan Hepatitis. Zat-zat kimia ini mungkin saja

tertelan, terhirup atau diserap melalui kulitpenderita. Menetralkan suatu racun

yang beredar di dalam darah adalah pekerjaan hati. Jika banyak sekali zat kimia

beracun yang masuk ke dalam tubuh, hati bisa saja rusak sehingga tidak dapat lagi

menetralkan racun-racun lain.

Di daerah Timur dan Afrika, beberapa kasus hepatitis B berkembang menjadi

hepatitis menahun, sirosis dan kanker hati. Mula-mula dikenal sebagai serum

hepatitis dan telah menjadi epidemi pada sebagian Asia dan Afrika. Hepatitis B
telah menjadi endemik di Tiongkok dan berbagai Negara Asia.

Faktor Predisposisi

Kontak lesi atau sekret dengan penderita Hepatitis B

Transfusi darah

Belum mendapat vaksinasi Hepatitis B

Mekanisme penularan

a. Kebocoran pada plasenta.

b. Tertelannya cairan amnion yang infeksius.

c. Adanya abrasi kulit selama proses persalinan.

d. Tertelannya darah ibu selama persalinan.

e. Penularan mel selaput lendir.

Proses penularan Hepatitis B yaitu melalui pertukaran cairan tubuh atau

kontak dengan darah dari orang yang terinfeksi Hepatitis B. Penularannya tidak

semudah virus hepatitis A. Virus hepatitis B ditularkan melalui darah atau produk

darah. Hepatitis B dapat menyerang siapa saja, tetapi umumnya bagi mereka yang

berusia produktif akan lebih berisiko terkena penyakit.

Proses penularan penyakit Hepatitis B dibedakan menjadi dua:

Secara vertikal, cara penularan vertikal terjadi dari Ibu yang mengidap virus

Hepatitis B kepada bayi yang dilahirkan yaitu pada saat persalinan atau segera

setelah persalinan.
Secara horizontal, terjadi akibat penggunaan alat suntik yang tercemar, tindik

telinga, tusuk jarum, transfusi darah, penggunaan pisau cukur dan sikat gigi

secara bersama-sama (jika penderita memiliki penyakit mulut (sariawan, gusi

berdarah) atau luka yang mengeluarkan darah) serta hubungan seksual dengan

penderita atau mitra seksual (baik heteroseksual maupun pria homoseksual).

Tanda dan Gejala

Secara khusus tanda dan gejala terserangnya hepatitis B yang akut adalah

demam, sakit perut dan kuning (terutama pada area mata yang putih / sklera).

Penderita hepatitis B kronik cenderung tidak tampak tanda-tanda tersebut,

sehingga penularan kepada orang lain menjadi lebih berisiko.

Pada umumnya, gejala penyakit Hepatitis B ringan. Gejala tersebut berupa

selera makan hilang, rasa tidak enak di perut, mual sampai muntah, demam

ringan, kadang-kadang disertai nyeri sendi dan bengkak pada perut kanan atas.

Setelah satu minggu akan timbul gejala utama seperti bagian putih pada mata

tampak kuning, kulit seluruh tubuh tampak kuning dan air seni berwarna seperti

teh.

Diagnosis:

Adanya infeksi kronik Hepatitis B ditentukan dengan hasil pemeriksaan skrining

HbsAg yang (+)

Penatalaksanaan
a. Tatalaksana Umum

Setiap ibu hamil perlu dilakukan pemeriksaan HbsAg pada trimester

pertama kehamilannya.

b. Tatalaksana Khusus

Bila ibu dengan HbsAg positif maka bayi diberikan suntikan HBIG 0,5

ml IM pada lengan atas segera setelah lahir (dalam 12 jam kelahiran)

dan vaksin hepatitis B dengan dosis 0,5 ml (5 g) IM pada lengan atas

sisi lain pada saat yang sama kemudian pada usia 1 bulan dan 6 bulan.

Bila ibu dengan HbsAg negatif maka bayi hanya diberikan vaksin

hepatitis B 0,5 ml (5 g) pada usia ke-0, 1 bulan, dan 6 bulan.

Tidak ada perbedaan pemberian HBIG dan vaksinasi hepatitis B pada bayi

prematur namun pemberian vaksinasi hepatitis B diberikan dalam empat

kali pemberian yaitu pada bulan ke-0, 1, 6, dan 8 bulan.

Tidak ada larangan pemberian ASI eksklusif pada bayi dengan ibu

HbsAg positif terutama bila bayi telah divaksinasi dan diberi HBIG setelah

lahir.

Pencegahan

Pencegahan infeksi VHB perinatal :

1. Melakukan pemeriksaan secar rutin HBs Ag pada semua ibu hamil.

2. Imunisasi segera setelah bayi lahir.

3. Ibu hamil dengan HBs Ag (+), periksa HBe Ag, bila (+), beri HBIG dan vaksin

setelah lahir.

4. Ibu hamil dengan HBs Ag (+)/(-), HBe Ag (-), lakukan imunisasi aktif.
Pencegahan infeksi VHB pada neonatus saat persalinan

HBIG diberikan selambatnya 24 jam pasca persalinan 0,5 ml (IM), diulang

setiap bulan 0,16 cc/kg sampai 6 bulan, vaksin diberikan selambatnya 7 hari

pasca persalinan (dianjurkan diberikan segera setelah lahir pada sisi berlawanan

untuk mempercepat efektivitasnya), diulang pada bulan 1 dan 6.

INFEKSI TORCH

Pengertian

TORCH adalah sebuah istilah untuk menggambarkan gabungan dari empat

jenis penyakit infeksi yang menyebabkan kelainan bawaan, yaitu Toxoplasma,

Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes. Keempat jenis penyakit infeksi ini sama-

sama berbahaya bagi janin bila infeksi diderita oleh ibu hamil.

Prinsip dari pemeriksaan ini adalah deteksi adanya zat anti (antibodi) yang

spesifik taerhadap kuman penyebab infeksi tersebut sebagai respon tubuh terhadap
adanya benda asing (kuman. Antibodi yang terburuk dapat berupa Imunoglobulin

M (IgM) dan Imunoglobulin G (IgG).

Penyakit TORCH ini dikenal karena menyebabkan kelainan dan berbagai

keluhan yang bisa menyerang siapa saja, mulai anak-anak sampai orang dewasa,

baik pria maupun wanita. Bagi ibu yang terinfeksi saat hamil dapat menyebabkan

kelainan pertumbuhan pada bayinya, yaitu cacat fisik dan mental yang beraneka

ragam.

a. Toxoplasma

Toxoplasmosis penyakit zoonosis yaitu penyakit pada hewan yang

dapat ditularkan ke manusia. Penyakit ini disebabkan oleh sporozoa yang

dikenal dengan nama Toxoplasma gondii. Toxoplasma gondii yaitu suatu

parasit intraselluler yang menginfeksi pada manusia dan hewan.

Tboxoplasma gondii termasuk spesies dari kelas sporozoa (Cocidia),

pertama kali ditemukan pada binatang pengerat Ctenodactylus gundi di

Afrika Utara (Tunisia) oleh Nicolle dan Manceaux tahun 1908. Tahun

1928 Toxoplasma gondii ditemukan pada manusia pertama kali oleh

Castellan

b. Rubella

Penyakit ini disebabkan oleh virus Rubella yang termasuk famili

Togaviridae dan genus Rubivirus, infeksi virus ini terjadi karena adanya

kontak dengan sekret orang yang terinfeksi; pada wanita hamil penularan

ke janin secara intrauterin. Masa inkubasinya rata-rata 16-18 hari. Periode

prodromal dapattanpa gejala (asimtomatis), dapat juga badan terasa

lemah,demam ringan, nyeri kepala, dan iritasi konjungtiva. Penyakit ini


agak berbeda dari toksoplasmosis karena rubela hanya mengancam janin.

Penyakit yang juga disebabkan oleh virus yang menimbulkan

demam ringan dengan ruam yang menyebar dan kadang-kadang mirip

dengan campak. Rubella menjadi penting karena penyakit ini dapat

menimbulkan kecacatan pada janin. Sindroma rubella congenital terjadi

pada 90% bayi yang dilahirkan oleh wanita yang terinfeksi rubella selama

trimester pertama kehamilan, resiko kecacatan ini menurun hinggga kira-

kira 10-20% pada minggu ke 16 dan lebih jarang terjadi bila ibu terkena

infeksi pada usia kehamilan 20 minggu.

c. Cyto Megalo Virus (CMV)

Penyakit ini disebabkan oleh Human cytomegalovirus, subfamili

betaherpesvirus, famili herpesviridae. Penularannya lewat paparan

jaringan, sekresi maupun ekskresi tubuh yangterinfeksi (urine, ludah, air

susu ibu, cairan vagina, dan lainlain). Masa inkubasi penyakit ini antara 3-

8 minggu. Pada kehamilan infeksi pada janin terjadi secara intrauterin.

Pada bayi, infeksi yang didapat saat kelahiran akan menampakkan

gejalanya pada minggu ke tiga hingga ke dua belas; jika didapat pada masa

perinatal akan mengakibatkan gejala yang berat.

Infeksi virus ini dapat ditemukan secara luas di masyarakat;

sebagian besar wanita telah terinfeksi virus ini selama masa anak-anak dan

tidak mengakibatkan gejala yang berarti. Tetapi bila seorang wanita baru

terinfeksi pada masa kehamilan maka infeksi primer ini akan

menyebabkan manifestasi gejala klinik infeksi janin bawaan sebagai

berikut: hepatosplenomegali, ikterus, petekie, meningoensefalitis,


khorioretinitis dan optic atrophy, mikrosefali, letargia, kejang, hepatitis

dan jaundice, infiltrasi pulmonal dengan berbagai tingkatan, dan kalsifikasi

intrakranial. Jika bayi dapat bertahan hidup akan disertai retardasi

psikomotor maupun kehilangan pendengaran..

d. Herpes Simplek

Penyakit ini disebabkan infeksi Herpes simplex virus (HSV); ada 2

tipe HSV yaitu tipe 1 dan 2. Tipe 1 biasanya mempunyai gejala ringan dan

hanya terjadi pada bayi karena adanya kontak dengan lesi genital yang

infektif; sedangkan HSV tipe 2 merupakan herpes genitalis yang menular

lewat hubungan seksual. HSV tipe 1 dan 2 dapat dibedakan secara

imunologi. Masa inkubasi antara 2 hingga 12 hari.

Infeksi herpes superfisial biasanya mudah dikenali misalnya pada

kulit dan membran mukosa juga pada mata.

Penyakit infeksi virus yang ditandai dengan lesi primer terlokalisir,

laten dan adanya kecenderungan untuk kambuh kembali. Ada 2 jenis virus

yaitu virus herpes simpleks (HSV) tipe 1 dan 2 pada umumnya

menimbulkan gejala klinis yang berbeda, tergantung pada jalan masuknya.

Dapat menyerang alat-alat genital atau mukosa mulut.

Cara Penularan

Penularan TORCH pada manusia dapat melalui 2 (dua) cara. Pertama,


secara aktif (didapat) dan yang kedua, secara pasif (bawaan). Penularan secara

aktif disebabkan antara lain sebagai berikut :

a. Makan daging setengah matang yang berasal dari hewan yang terinfeksi

(mengandung sista), misalnya daging sapi, kambing, domba, kerbau, babi,

ayam, kelinci dan lainnya. Kemungkinan terbesar penularan TORCH ke

manusia adalah melalui jalur ini, yaitu melalui masakan sati yang setengah

matang atau masakan lain yang dagingnya diamsak tidak semnpurna, termasuk

otak, hati dan lainnya.

b. Makan makanan yang tercemar oosista dari feses (kotoran) kucing yang

menderita TORCH. Feses kucing yang mengandung oosista akan mencemari

tanah (lingkungan) dan dapat menjadi sumber penularan baik pada manusia

maupun hewan. Tingginya resiko infeksi TORCH melalui tanah yang

tercemar, disebabkan karena oosista bisa bertahan di tanah sampai beberapa

bulan

c. Transfusi darah (trofozoid), transplantasi organ atau cangkok jaringan (trozoid,

sista), kecelakaan di laboratorium yang menyebabkan TORCH masuk ke

dalam tubuh atau tanpa sengaja masuk melalui luka.

d. Hubungan seksual antara pria dan wanita juga bisa menyebabkan menularnya

TORCH. Misalnya seorang pria terkena salah satu penyakit TORCH kemudian

melakukan hubungan seksual dengan seorang wanita (padahal sang wanita

sebelumnya belum terjangkit) maka ada kemungkinan wanita tersebut

nantinya akan terkena penyakit TORCH sebagaimana yang pernah diderita

oleh lawan jenisnya.

e. Ibu hamil yang kebetulan terkena salah satu penyakit TORCH ketika
mengandung maka ada kemungkinan juga anak yang dikandungnya terkena

penyakit TORCH melalui plasenta.

f. Air Susu Ibu (ASI) juga bisa sebagai penyebab menularnya penyakit TORCH.

Hal ini bisa terjadi seandainya sang ibu yang menyusui kebetulan terjangkit

salah satu penyakit TORCH maka ketika menyusui penyakit tersebut bisa

menular kepada sang bayi yang sedang disusuinya.

g. Keringat yang menempel pada baju atau pun yang masih menempel di kulit

juga bisa menjadi penyebab menularnya penyakit TORCH. Hal ini bisa terjadi

apabila seorang yang kebetulan kulitnya menmpel atau pun lewat baju yang

baru saja dipakai si penderita penyakit TORCH.

h. Faktor lain yang dapat mengakibatkan terjadinya penularan pada manusia,

antara lain adalah kebiasaan makan sayuran mentah dan buah - buahan segar

yang dicuci kurang bersih, makan tanpa mencuci tangan terlebih dahulu,

mengkonsumsi makanan dan minuman yang disajikan tanpa ditutup, sehingga

kemungkinan terkontaminasi oosista lebih besar.

i. Air liur juga bisa sebagai penyebab menularnya penyakit TORCH. Cara

penularannya juga hampir sama dengan penularan pada hubungan seksual.

Berdasarkan kenyataan di atas, penyakit TORCH ini sifatnya menular.

Oleh karena itu dalam satu keluarga biasanya kalau salah satu anggota keluarga

terkena penyakit tersebut maka yang lainnya pun juga bisa terkena. Malah ada

beberapa kasus dalam satu keluarga seluruh anggota keluarganya mulai dari kakek

- nenek, kakak - adik, bapak - ibu, anak - anak semuanya terkena penyakit

TORCH.
Gejala klinis

a. Toxoplasma

Gejala yang diderita biasanya dengan mirip gejala influenza, bisa

timbul rasa lelah, malaise, demam disertai hepatomegali, dan umumnya

tidak menimbulkan masalah,

b. Herpes Simpleks

Penderita biasanya mengalami demam, salivasi, mudah terangsang

dan menolak untuk makan,. Dengan dilakukan pemeriksaan menunjukan

adanya ulkus dangkal multiple yang nyeri pada mukusa lidah, gusi, dan

bukal denganvesikel pada bibir dan sekitarnya.

c. Cyto Megalo Virus (CMV)

- Demam,

- Penurunan jumlah sel darah putih (leukopenia)

- Letih

- Lesu

- Kulit berwarna kuning,

- Pembesaran hati dan limpa,

- Kerusakan atau hambatan pembentukan organ tubuh seperti mata,

otak, gangguan mental, dan lain-lain tergantung organ janin mana

yang diserang

- Umumnya janin yang terinfeksi cmv lahir prematur dan berat badan

lahir rendah

d. Rubella
Tanda dan gejala yang muncul biasanya bertahan dalam dua hingga

tiga hari dan mungkin melibatkan:

- Demam ringan 38,9 derajat Celcius atau lebih rendah,

- Sakit kepala

- Hidung tersumbat atau pilek

- Peradangan, mata merah

- Pembesaran, pelunakan kelenjar getah bening di dasar tengkorak,

leher bagian belakang dan di belakang telinga

- Muncul ruam warna merah muda/pink di wajah dan dengan cepat

menyebar ke pundak, lengan, kaki sebelum menghilang di sekuens

yang sama.

- Nyeri pada persendian, khususnya pada perempuan muda.

Diagnosis

Proses diagnosa medis merupakan langkah pertama untuk menangani

suatu penyakit. Tetapi diagnosa berdasarkan pengamatan gejala klinis sering sukar

dilaksanakan, maka dilakukan diagnosa laboratorik dengan memeriksa serum

darah, untuk mengukur titer-titer antibodi IgM atau IgG-nya.

Penderita TORCH kadang tidak menunjukkan gejala klinis yang spesifik,

bahkan bisa jadi sama sekali tidak merasakan sakit. Secara umum keluhan yang

dirasakan adalah mudah pingsan, pusing, vertigo, migran, penglihatan kabur,

pendengaran terganggu, radang tenggorokan, radang sendi, nyeri lambung, lemah

lesu, kesemutan, sulit tidur, epilepsi, dan keluhan lainnya.

Untuk kasus kehamilan: sulit hamil, keguguran, organ tubuh bayi tidak
lengkap, cacat fisik maupun mental, autis, keterlambatan tumbuh kembang anak,

dan ketidaksempurnaan lainnya.

Namun begitu, gejala diatas tentu belum membuktikan adanya penyakit

TORCH sebelum dibuktikan dengan uji laboratorik.

Penatalaksanaan

Adanya infeksi-infeksi ini dapat dideteksi dari pemeriksaan darah.

Biasanya ada 2 petanda yang diperiksa untuk tiap infeksi yaitu Imunoglobulin G

(IgG) dan Imunoglobulin M (IgM). Normalnya keduanya negatif.

Jika IgG positif dan IgMnya negatif,artinya infeksi terjadi dimasa lampau

dan tubuh sudah membentuk antibodi. Pada keadaan ini tidak perlu diobati.

Namun, jika IgG negatif dan Ig M positif, artinya infeksi baru terjadi dan harus

diobati. Selama pengobatan tidak dianjurkan untuk hamil karena ada

kemungkinan infeksi ditularkan ke janin. Kehamilan ditunda sampai 1 bulan

setelah pengobatan selesai (umumnya pengobatan memerlukan waktu 1 bulan).

Jika IgG positif dan IgM juga positif,maka perlu pemeriksaan lanjutan yaitu IgG

Aviditas. Jika hasilnya tinggi,maka tidak perlu pengobatan, namun jika hasilnya

rendah maka perlu pengobatan seperti di atas dan tunda kehamilan. Pada infeksi

Toksoplasma,jika dalam pengobatan terjadi kehamilan, teruskan kehamilan dan

lanjutkan terapi sampai melahirkan.Untuk Rubella dan CMV, jika terjadi

kehamilan saat terapi, pertimbangkan untuk menghentikan kehamilan dengan

konsultasi kondisi kehamilan bersama dokter kandungan anda.

Pengobatan TORCH secara medis diyakini bisa dengan menggunakan

obat-obatan seperti isoprinocin, repomicine, valtrex, spiromicine, spiradan,


acyclovir, azithromisin, klindamisin, alancicovir, dan lainnya. Namun tentu

pengobatannya membutuhkan biaya yang sangat mahal dan waktu yang cukup

lama. Selain itu, terdapat pula cara pengobatan alternatif yang mampu

menyembuhkan penyakit TORCH ini, dengan tingkat kesembuhan mencapai 90

%.

Pengobatan TORCH secara medis pada wanita hamil dengan obat

spiramisin (spiromicine), azithromisin dan klindamisin misalnya bertujuan untuk

menurunkan dampak (resiko) infeksi yang timbul pada janin. Namun sayangnya

obat-obatan tersebut seringkali menimbulkan efek mual, muntah dan nyeri perut.

Sehingga perlu disiasati dengan meminum obat-obatan tersebut sesudah atau pada

waktu makan.

Berkaitan dengan pengobatan TORCH ini (terutama pengobatan TORCH

untuk menunjang kehamilan), menurut medis apabila IgG nya saja yang positif

sementara IgM negative, maka tidak perlu diobati. Sebaliknya apabila IgM nya

positif (IgG bisa positif atau negative), maka pasien baru perlu mendapatkan

pengobatan.

INFEKSI MALARIA

Definisi

Malaria adalah penyakit yang dapat bersifat akut maupun kronik, disebabkan oleh

protozoa genus Plasmodium, ditandai dengan demam, anemia dan splenomegali.

Faktor Predisposisi

Faktor lingkungan (endemis)


Kontak dengan vektor malaria

Tanda dan gejala malaria tanpa komplikasi:

Demam

Menggigil/kedinginan/kaku

Sakit kepala

Nyeri otot/persendian

Kehilangan selera makan

Mual dan muntah

Diare

Mulas seperti his palsu (kontraksi uterus)

Pembesaran limpa

Pembesaran hati

Tanda dan gejala malaria berat:

Penurunan kesadaran dalam berbagai derajat, dengan manifestasi seperti:

kebingungan, mengantuk, sampai penurunan kesadaran yang dalam

Tidak dapat makan dan minum

Pucat di bagian dalam kelopak mata, bagian dalam mulut, lidah

dan telapak tangan

Kelemahan umum (tidak bisa duduk/berdiri)

Demam sangat tinggi >400C


Ikterik

Oliguria

Urin berwarna coklat kehitaman (black water fever)

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan bila ditemukan parasit pada pemeriksaan apus darah

tepi dengan mikroskop atau hasil positif pada pemeriksaan rapid

diagnostic test (RDT).

Pemeriksaan penunjang untuk malaria berat:

o Pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit

o Hitung jumlah leukosit dan trombosit

o Kimia darah lain (gula darah, serum bilirubin, SGOT & SGPT,

alkali fosfatase, albumin/globulin, ureum, kreatinin, natrium dan

kalium, analisis gas darah, laktat)

o Urinalisis

Tatalaksana

Terapi malaria tanpa komplikasi

Malaria falsiparum

Untuk usia kehamilan <3 bulan, berikan kina 32 tablet selama 7 hari atau

3x10mg/kgBB selama 7 hari ditambah dengan Klindamisin 2x300mg atau

2x10mg/kgBB selama 7 hari. Dapat DITAMBAH parasetamol 1 tablet tiap

6 jam bila demam.


Untuk usia kehamilan > 3 bulan, berikan DHP

(dihidroartemisininpiperakuin) 1 x 3 tablet (BB 41-59 kg) / 14 tablet (BB

60 kg) selama 3 hari ATAU artesunat 1 x 4 tablet dan amodiakuin 1 x 4

tablet selama 3 hari. Dapat DITAMBAH parasetamol 1 tablet tiap 6 jam

bila demam.

Malaria vivaks

Untuk usia kehamilan <3 bulan, berikan kina 3 x 2 tablet selama 7

hari atau 3 x 10mg/kgBB selama 7 hari. Dapat DITAMBAH parasetamol

1 tablet tiap 6 jam bila demam.

Untuk usia kehamilan > 3 bulan, berikan DHP 1 x 3 tablet (BB 41-59 kg) /

14 tablet (BB 60 kg) selama 3 hariATAU artesunat 1 x 4 tablet

dan amodiakuin 1 x 4 tablet selama 3 hari. Dapat DITAMBAH

parasetamol 1 tablet tiap 6 jam bila demam.

Anjuran untuk malaria tanpa komplikasi

Minum obat sesudah makan atau perut tidak dalam keadaan kosong.

Apabila memungkinkan awasi pasien secara langsung pada waktu

minum obat.

Anjurkan pasien untuk meneruskan minum tablet zat besi dan asam folat

serta mengkonsumsi makanan yang mengandung zat besi.

Anjurkan pasien untuk menggunakan kelambu setiap malam di rumah atau

di kebun.

Pastikan semua obat yang diberikan dihabiskan, meskipun ibu hamil sudah

merasa mulai membaik.


Catat informasi dalam kartu pelayanan antenatal dan rekam medis.

Informasikan kepada pasien untuk kembali ke Puskesmas, Pustu,

atau Polindes segera jika dia merasa tidak lebih baik setelah

menyelesaikan pengobatan.

Informasikan kepada pasien dan keluarganya untuk kembali ke Puskesmas,

Pustu, atau Polindes segara bila ada 1 atau lebih tanda-tanda bahaya

selama pengobatan, yaitu:

o Tidak dapat makan/minum

o Tidak sadar

o Kejang

o Muntah berulang

o Sangat lemah (tidak dapat duduk atau berdiri)

Tatalaksana malaria berat:

Lakukan stabilisasi dan rujuk ibu segera jika menunjukkan gejala

malaria berat.

Tentukan usia kehamilan ibu dan periksa tanda-tanda vital (suhu, tekanan

darah, pernapasan, nadi).

Segera cari pertolongan tenaga kesehatan lain dan jangan biarkan

ibu sendirian.

Lindungi ibu dari cedera, tetapi jangan secara aktif mengekangnya.

Jika ibu tidak sadarkan diri, periksa jalan napasnya dan posisikan ibu

dalam keadaan miring kiri dengan 2 bantal menyangga


bagian punggungnya.

Periksa adanya kaku kuduk.

Jika ibu kejang, baringkan ibu dalam posisi miring untuk

mengurangi risiko aspirasi apabila ibu muntah dan untuk memastikan

bahwa jalan napas terbuka. Pastikan bahwa kejang tidak disebabkan oleh

eklampsia. Lakukan pemeriksaan berikut untuk menentukan penyebab

kejang.

Bila menemukan ibu hamil dengan gejala malaria berat, maka

lakukan pemeriksaan laboratorium malaria (dengan mikroskop). Bila

terbukti hasilnya positif malaria, yang perlu dilakukan adalah :

o Rujuk ibu ke rumah sakit/fasilitas kesehatan yang lebih lengkap.

o Sebelum merujuk, berikan satu dosis artemeter IM (untuk

ibu hamil trimester II III) atau kina hidroklorida IM (untuk ibu

hamil trimester I).

o Artemeter diberikan dengan dosis 3,2 mg/kgBB secara IM.

Jika tersedia dalam ampul yang berisi 80 mg artemeter, maka untuk

ibu dengan berat badan sekitar 50 kg berikan suntikan IM


sejumlah 2 ampul.

o Kina hidroklorida IM diberikan dengan dosis 10 mg/kgBB.

Apabila rujukan tidak memungkinkan, pengobatan dilanjutkan

dengan pemberian dosis lengkap artemeter IM.

Pengobatan malaria berat di RS:

Untuk kehamilan trimester kedua dan ketiga, berikan:

o Artesunat (AS) diberikan dengan dosis 2,4 mg/kgbb IV sebanyak 3

kali jam ke 0, 12, 24. Selanjutnya diberikan 2,4 mg/kgBB IV setiap

24 jam sampai penderita mampu minum obat.

Pengobatan dilanjutkan dengan regimen dihydroartemisinin-

piperakuin (ACT lainnya) + primakuin, ATAU

o Artemeter diberikan dengan dosis 3,2 mg/kgBB IM,

dilanjutkan pada hari berikutnya 1,6 mg/kgBB IM satu kali sehari

sampai penderita mampu minum obat. Bila penderita sudah dapat

minum obat, pengobatan dilanjutkan dengan regimen

dihydroartemisininpiperakuin ( ACT lainnya) + primakuin.

Untuk kehamilan trimester pertama, berikan:

o Loading dose kina: 20 mg garam/kgBB dilarutkan dalam 500

ml dextrose 5% atau NaCl 0,9% diberikan selama 4 jam

pertama. Selanjutnya selama 4 jam kedua hanya diberikan cairan

dextrose 5% atau NaCl 0,9%. Setelah itu, diberikan kina dengan

dosis rumatan 10 mg/kgBB dalam larutan 500 ml dekstrose 5 %

atau NaCl selama 4 jam. Empat jam selanjutnya, hanya diberikan

cairan dextrose 5% atau NaCl 0,9%. Setelah itu diberikan dosis


rumatan seperti di atas sampai penderita dapat minum kina per oral.

Bila sudah dapat minum obat pemberian kina IV diganti dengan

kina tablet dengan dosis 10 mg/kgBB/kali diberikan tiap 8 jam.

Kina oral diberikan bersama doksisiklin, tetrasiklin pada orang

dewasa atau klindamisin pada ibu hamil. Dosis total kina selama 7

hari dihitung sejak pemberian kina per infus yang pertama

Referensi

1. Ferdiananto, Achmad,dkk.2011.Asuhan Kebidanan Patologis.Jakarta:Salemba

Medika

2. Holmes, Debbie,dkk.2011.Buku Ajar Ilmu Kebidanan.Jakarta:EGC

3. WHO country office for Indonesia. Hepatitis B. 2013. Available at

http://www.edukia.org/web/kbibu/7-5-5-hepatitis-b/

4. WHO country office for Indonesia. Malaria. 2013. Available at

http://www.edukia.org/web/kbibu/7-5-4-malaria/
ABORTUS

1. Pendahuluan

Aborsi di dunia dan di Indonesia khususnya tetap menimbulkan banyak

persepsi dan bermacam interpretasi, tidak saja dari sudut pandang kesehatan,

tetapi juga dari sudut pandang hukum dan agama. Aborsi merupakan masalah

kesehatan masyarakat karena memberi dampak pada kesakitan dan kematian ibu.

Sebagaimana diketahui penyebab kematian ibu yang utama adalah perdarahan,

infeksi dan eklampsia.(9,10)


Diperkirakan diseluruh dunia setiap tahun terjadi 20 juta kasus aborsi tidak

aman, 70 ribu perempuan meninggal akibat aborsi tidak aman dan 1 dari 8

kematian ibu disebabkan oleh aborsi tidak aman. 95% (19 dari 20 kasus aborsi

tidak aman) dintaranya bahkan terjadi di negara berkembang. (9,10)


Di Indonesia setiap tahunnya terjadi kurang lebih 2 juta kasus aborsi,

artinya 43 kasus/100 kelahiran hidup (sensus 2000). Angka tersebut memberikan

gambaran bahwa masalah aborsi di Indonesia masih cukup besar (Wijono 2000).

Suatu hal yang dapat kita tengarai, kematian akibat infeksi aborsi ini justru banyak

terjadi di negara-negara dimana aborsi dilarang keras oleh undang-undang. (9,10)

2. Definisi

Abortus adalah pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin berkembang

sepenuhnya dan dapat hidup di luar kandungan dan sebagai ukuran digunakan

kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.1,3,4,5

Abortus dapat dibagi atas dua golongan yaitu menurut terjadinya abortus dan

menurut gambaran klinis. Menurut terjadinya dibedakan atas abortus spontan

yaitu abortus yang terjadi dengan sendirinya tanpa disengaja dan tanpa
menggunakan tindakan apa-apa sedangkan abortus provokatus adalah abortus

yang disengaja, baik dengan memakai obat-obatan maupun dengan alat-alat.6

Abortus provokatus dibagikan lagi menjadi abortus medisinalis atau abortus

therapeutica dan abortus kriminalis. Pada abortus medisinalis, abortus yang terjadi

adalah karena tindakan kita sendiri, dengan alasan bila kehamilan dilanjutkan,

dapat membahayakan jiwa ibu (berdasarkan indikasi medis). Abortus kriminalis

adalah abortus yang terjadi oleh karena tindakan-tindakan yang tidak legal atau

tidak berdasarkan indikasi medis dan biasanya dilakukan secara sembunyi-

sembunyi oleh tenaga tradisional.6

Menurut gambaran klinis abortus dapat dibedakan kepada:

a) Abortus imminens yaitu abortus tingkat permulaan (threatened abortion)

dimana terjadi perdarahan pervaginam, ostium uteri masih tertutup dan

hasil konsepsi masih baik dalam kandungan.5

b) Abortus insipiens (inevitable abortion) yaitu abortus yang sedang

mengancam dimana serviks telah mendatar dan ostium uteri telah

membuka, akan tetapi hasil konsepsi masih dalam kavum uteri.5

c) Abortus inkomplit (incomplete abortion) yaitu jika hanya sebagian hasil

konsepsi yang dikeluarkan, yang tertinggal adalah desidua atau plasenta.5

d) Abortus komplit (complete abortion) artinya seluruh hasil konsepsi telah

keluar (desidua atau fetus), sehingga rongga rahim kosong.5


e) Missed abortion adalah abortus dimana fetus atau embrio telah meninggal

dalam kandungan sebelum kehamilan 20 minggu, akan tetapi hasil

konsepsi seluruhnya masih tertahan dalam kandungan selama 6 minggu

atau lebih.5

f) Abortus habitualis (recurrent abortion) adalah keadaan terjadinya abortus

tiga kali berturut-turut atau lebih.5

g) Abortus infeksius (infectious abortion) adalah abortus yang disertai infeksi

genital.5

h) Abortus septik (septic abortion) adalah abortus yang disertai infeksi berat

dengan penyebaran kuman ataupun toksinnya kedalam peredaran darah

atau peritonium.5

3. Etiologi

Ada beberapa faktor penyebab terjadinya abortus yaitu :

a. Faktor genetik

Ada banyak sebab genetik yang berhubungan dengan abortus. Sebagian besar

abortus spontan disebabkan oleh kelainan kariotip dari embrio. 3Data ini

berdasarkan pada 50% kejadian abortus pada trimester pertama merupakan

kelainan sitogenetik yang berupa aneuploidi yang bisa disebabkan oleh kejadian

nondisjuction meiosis atau poliploidi dari fertilas abnormal dan separuh dari
abortus kerana kelainan sitogenetik pada trimester pertama berupa trisomi

autosom.3

Triplodi ditemukan pada 16% kejadian abortus di mana terjadi fertilisasi ovum

normal oleh 2 sperma (dispermi).3 Insiden trisomi meningkat dengan

bertambahnya usia. Trisomi (30% dari seluruh trisomi) adalah penyebab terbanyak

abortus spontan diikuti dengan sindroma Turner (20-25%) dan Sindroma Down

atau trisomi 21 yang sepertiganya bisa bertahan sehingga lahir.3 Selain kelainan

sitogenetik, kelainan lain seperti fertilisasi abnormal iaitu dalam bentuk tetraploidi

dan triploid dapat dihubungkan dengan abortus absolut.3

Kelainan dari struktur kromosom juga adalah salah satu penyebab kelainan

sitogenetik yang berakibat aborsi dan kelainan ini sering diturunkan oleh ibu

memandangkan kelainan struktur kromoson pada pria berdampak pada rendahnya

konsentrasi sperma, infertelitas dan faktor lainnya yang bisa mengurangi peluang

kehamilan.3

Selain itu, gen yang abnormal akibat mutasi gen bisa mengganggu proses

impantasi dan mengakibatkan abortus seperti mytotic dystrophy yg berakibat pada

kombinasi gen yang abnormal dan gangguan fungsi uterus. 3 Gangguan genetik

seperti Sindroma Marfan, Sindroma Ehlers-Danlos, hemosistenuri dan

pseusoxantoma elasticum merupakan gangguan jaringan ikat yang bisa berakibat

abortus.3 Kelainan hematologik seperti pada penderita sickle cell anemia,

disfibronogemi, defisiensi faktor XIII mengakibatkan abortus dengan

mengakibatkan mikroinfak pada plasenta.3


b. Faktor anatomi

Defek anatomi diketahui dapat menjadi penyebab komplikasi obstetrik

terutamanya abortus. Pada perempuan dengan riwayat abortus, ditemukan anomali

uterus pada 27% pasien.3 Penyebab terbanyak abortus kerana kelainan anatomik

uterus adalah septum uterus akibat daripada kelainan duktus Mulleri (40-80%),

dan uterus bicornis atau uterus unicornis (10-30%).3 Mioma uteri juga bisa

mengakibatkan abortus berulang dan infertilitas akibat dari gangguan passage dan

kontraktilitas uterus.3 Sindroma Asherman bisa mengakibatkan abortus dengan

mengganggu tempat impalntasi serta pasokan darah pada permukaan

endometrium.3 Kelainan kogenital arteri uterina yang membahayakan aliran darah

endometrium dapat juga berpengaruh.3 Selain itu, kelainan yang didapat misalnya

adhesi intrauterin (synechia), leimioma, dan endometriosis mengakibatkan

komplikasi anomali pada uterus dan dapat mengakibatkan abortus.6

Selain kelainan yang disebut di atas, serviks inkompeten juga telah terbukti dapat

meyebabkan abortus terutama pada kasus abortus spontan. 1 Pada kelainan ini,

dilatasi serviks yang silent dapat terjadi antara minggu gestasi 16-28 minggu. 1

Wanita dengan serviks inkompeten selalu memiliki dilatasi serviks yang signifikan

yaitu 2cm atau lebih dengan memperlihatkan gejala yang minimal. 1 Apabila

dilatasi mencapai 4 cm atau lebih, maka kontraksi uterus yang aktif dan pecahnya

membran amnion akan terjadi dan mengakibatkan ekspulsi konsepsi dalam rahim. 1

faktor-faktor yang mengakibatkan serviks inkompeten adalah kehamilan

berulang, operasi serviks sebelumnya, riwayat cedera serviks, pajanan pada

dietilstilbestrol, dan abnormalitas anatomi pada serviks.1


Sebelum kehamilan atau pada kehamilan trimester pertama, tidak ada

metoda yang bisa digunakan untuk mengetahui bila serviks akan inkompeten

namun, setelah 14-16 minggu, USG baru dapat digunakan untuk menilai anatomi

segmen uterus bahagian bawah dan serviks untuk melihat pendataran dan

pemendekan abnormal serviks yang sesuai dengan inkompeten serviks.1

c. Faktor endokrin

Ovulasi, implantasi dan kehamilan dini sangat bergantung pada koordinasi

sistem pengaturan hormonal martenal yang baik. Perhatian langsung pada sistem

humoral secara keseluruhan, fase luteal, dan gambaran hormon setelah konsepsi

terutamanya kadar progesteron sangat penting dalam mengantisipasi abortus.3

Pada diabetes mellitus, perempuan dengan kadar HbA1c yang tinggi pada

trimester yang pertama akan berisiko untuk mengalami abortus dan malformasi

janin. IDDM dengan kontrol yang tidak adekuat berisiko 2-3 kali lipat untuk

abortus.3

Kadar progesteron yang rendah juga mempengaruhi resptivitas endometrium

terhadap implantasi embrio. Kadar progenteron yang rendah diketahui dapat

mengakibatkan abortus terutamanya pada kehamilan 7 minggu di mana trofoblast

harus menghasilkan cukup steroid untuk menunjang kehamilan. Pengangkatan

korpus luteum pada usia 7 minggu akan berakibat abortus dan jika diberikan

progesteron pada pada pasien ini, maka kehamilan dapat diselamatkan.3

Penelitian pada perempuan yang mengalami abortus berulang, didapatkan 17%

kejadian defek luteal iaitu kurangnya progesteron pada fase luteal. Namum pada
saat ini, masih blum ada metode yang bisa terpercaya untuk mendiagnosa kelainan

ini.3

Faktor humoral terhadap imunitas desidua juga berperan pada kelangsungan

kehamilan. Perubahan endometrium menjadi desidua mengubah semua sel pada

mukosa uterus.3 Perubahan morfologi dan fungsional ini mendukung proses

implantasi, proses migrasi trofoblas, dan mencegah invasi yang berlebihan pada

jaringan ibu.3 Di sini interaksi antara trofoblas ekstravillus dan infiltrasi leukosit

pada mukosa uterus berperan penting di mana sebahagian besar leukosit adalah

large granular cell, dan makrofag dengan sedikit sel T dan sel B.3 Sel NK dijumpai

dalam jumlah yang banyak terutama pada endometrium yang terpapar

progesteron.3 Perannya adalah pada trimester 1 adalah akan terjadi peningkatan sel

NK untuk membunuh sel target dengan sedikit atau tiada ekspresi HLA. 3

Trofoblast ekstravillous tidak bisa dihancurkan oleh sel NK kerana sifatnya yang

cepat menghasilkan HLA1 sehingga terjadinya invasi optimal untuk plasentasi

yang optimal oleh trofoblas extravillous.3 Maka, gangguan pada sistem ini akan

berpengaruh pada kelangsungan kehamilan.

Selain itu, hipotiroidisme, hipoprolaktinemia, dan sindrom polikistik ovarium

dapat merupakan faktor kontribusi pada keguguran dengan menggangu balans

humoral yang penting pada kelangsungan kehamilan.6

d. Faktor infeksi

Ada pelbagai teori untuk menjelaskan keterkaitan infeksi dengan kejadian


abortus. Antaranya adalah adanya metabolik toksik, endotoksin, eksotoksin, dan

sitokin yang berdampak langsung pada janin dan unit fetoplasenta.3 Infeksi janin

yang bisa berakibat kematian janin dan cacat berat sehingga janin sulit untuk

bertahan hidup.3

Infeksi plasenta akan berakibat insufisiensi plasenta dan bisa berlanjut

kematian janin.3 Infeksi kronis endometrium dari penyebaran kuman genetalia

bawah yang bisa mengganggu proses implantasi. Amnionitis oleh kuman gram

positif dan gram negatif juga bisa mengakibatkan abortus.3 Infeki virus pada

kehamilan awal dapat mengakibatkan perubahan genetik dan anatomik embrio

misalnya pada infeksi rubela, parvovirus, CMV, HSV, koksakie virus, dan

varisella zoster.3

Di sini adalah beberapa jenis organisme yang bisa berdampak pada kejadian

abortus

- Bakteria: listeria monositogenes, klamidia trakomatis, ureaplasma

urealitikum, mikoplasma hominis, bakterial vaginosis.3

- Virus: CMV, HSV, HIV dan parvovirus.3

- Parasit: toksoplasma gondii, plasmodium falsifarum.3

- Spirokaeta: treponema pallidum.3

e. Faktor imunologi

Beberapa penyakit berhubungan erat dengan kejadian abortus. Antaranya


adalah SLE dan Antiphospholipid Antibodies (aPA). 3 ApA adalah antibodi spesifik

yang ditemukan pada ibu yang menderita SLE.3 Peluang terjadinya pengakhiran

kehamilan pada trimester 2 dan 3 pada SLE adalah 75%.3 Menurut penelitian,

sebagian besar abortus berhubungan dengan adanya aPA yang merupakan antibodi

yang akan berikatan dengan sisi negatif dari phosfolipid. 3 Selain SLE,

antiphosfolipid syndrome (APS) dapat ditemukan pada preemklamsia, IUGR, dan

prematuritas.3 Dari international consensus workshop pada tahun 1998, klasifikasi

APS adalah:3

- trombosis vaskular (satu atau lebih episode trombosis arteri, venosa atau

kapiler yang dibuktikan dengan gambaran Doppler, dan histopatologi)3

- komplikasi kehamilan (3 atau lebih abortus dengan sebab yang tidak jelas,

tanpa kelainan anatomik, genetik atau hurmonal/ satu atau lebih kematian

janin di mana gambaran sonografi normal/ satu atau lebih persalinan

prematur dengan gambaran janin normal dan berhubungan dengan

preeklamsia berat,atau insufisiensi plasenta yang berat)3

- kriteria laboratorium (IgG dan atau IgM dengan kadar yang sedang atau

tinggi pada 2 kali atau lebih dengan pemeriksaan jarak lebih dari 1 atau

sama dengan 6 minggu)3

- antobodi fosfolipid (pemanjangan koagulasi fospholipid, aPTT, PT, dan

CT, kegagalan untuk memperbaikinya dengan pertambahan dengan plasma

platlet normal dan adanya perbaikan nilai tes dengan pertambahan

fosfolipid)3

aPA ditemukan 20% pada perempuan yang mengalami abortus dan lebih dari

33% pada perempuan yang mengalami SLE. Pada kejadian abotus berulang,
ditemukan infark plasenta yang luas akibat adanya atherosis dan oklusi vaskular.3

f. Faktor trauma

Trauma abdominal yang berat dapat menyebabkan terjadinya abortus yang

yang diakibatkan karena adanya perdarahan, gangguan sirkulasi

maternoplasental, dan infeksi.1 Namun secara statistik, hanya sedikit insiden

abortus yang disebabkan karena trauma .1

g. Faktor nutrisi dan lingkungan

Diperkirakan 1-10% malformasi janin adalah akibat dari paparan obat,

bahan kimia atau radiasi yang umumnya akan berakhir dengan abortus. 6 faktor-

faktor yang terbukti berhubungan dengan peningkatan insiden abortus adalah

merokok, alkohol dan kafein.

Merokok telah dipastikan dapat meningkatkan risiko abortus euploid. 1

Pada wanita yang merokok lebih dari 14 batang per hari, risiko abortus adalah 2

kali lipat dari risiko pada wanita yang tidak merokok. 1 Rokok mengandung ratusan

unsur toksik antara lain nikotin yang mempunyai sifat vasoaktif sehingga

menghambat sirkulasi uteroplasenta.6 Karbon monoksida juga menurukan pasokan

oksigen ibu dan janin dan dapat mamacu neurotoksin. 6 Meminum alkohol pada 8

minggu pertama kehamilan dapat meningkatkan risiko abortus spontan dan

anomali fetus.1 Kadar abortus meningkat 2 kali lipat pada wanita yang

mengkonsumsi alkohol 2 kali seminggu dan 3 kali lipat pada konsumsi tiap-tiap

hari dibandingkan dengan wanita yang tidak minum.1

Mengkonsumsi kafein sekurangnya 5 gelas kopi perhari atau 500mg

caffiene satu hari dapat sedikit menambah risiko abortus dan pada mereka yang

meminum lebih dari ini, risikonya meningkat secara linier dengan tiap jumlah
tambahan gelas kopi.1 Pada penelitian lain, wanita hamil yang mempunyai level

paraxantine (metabolit kafine), risiko abortus spontan adalah 2 kali lipat daripada

kontrol.1

h. Faktor kontrasepsi berencana

Kontrasepsi oral atau agen spermicidal yang digunakan pada salep dan jeli

kontrasepsi tidak berhubungan dengan risiko abortus.1 Namun, jika pada

kontrasepsi yang menggunakan IUD, intrauterine device gagal untuk mencegah

kehamilan, risiko aborsi khususnya aborsi septik akan meningkat dengan

signifikan.1

4. Patogenesis

Abortus dimulai dari perdarahan ke dalam decidua basalis yang diikuti dengan

nekrosis jaringan disekitar perdarahan.1 Jika terjadi lebih awal, maka ovum akan

tertinggal dan mengakibatkan kontraksi uterin yang akan berakir dengan ekpulsi

karena dianggap sebagai benda asing oleh tubuh.1 Apabila kandung gestasi dibuka,

biasanya ditemukan fetus maserasi yang kecil atau tidak adanya fetus sama sekali

dan hal ini disebut blighted ovum.1

Pada abortus yang terjadi lama, beberapa kemungkinan boleh terjadi. Jika

fetus yang tertinggal mengalami maserasi, yang mana tulang kranial kolaps,

abdomen dipenuhi dengan cairan yang mengandung darah, dan degenarasi organ

internal.1 Kulit akan tertanggal di dalam uterus atau dengan sentuhan yang sangat

minimal.1 Bisa juga apabila cairan amniotik diserap, fetus akan dikompress dan
mengalami desikasi, yang akan membentuk fetus compressus. 1 Kadang-kadang,

fetus boleh juga menjadi sangat kering dan dikompres sehingga menyerupai kertas

yang disebut fetus papyraceous.1

Pada kehamilan di bawah 8 minggu, hasil konsepsi dikeluarkan seluruhnya,

karena vili korialis belum menembus desidua terlalu dalam; sedangkan pada

kehamilan 8-14 minggu, vili korialis telah masuk agak dalam, sehingga sebagian

keluar dan sebagian lagi akan tertinggal.6 Perdarahan yang banyak terjadi karena

hilangnya kontraksi yang dihasilkan dari aktivitas kontraksi dan retraksi

miometrium.6

5. Gambaran klinis

Gejala abortus berupa amenorea, sakit perut kram, dan mules-mules.1,2,3,4

Perdarahan pervaginam bisa sedikit atau banyak dilihat dari pads atau tampon

yang telah dipakai, dan biasanya berupa darah beku tanpa atau desertai dengan

keluarnya fetus atau jaringan.6 Ini penting untuk melihat progress abortus. 6 Pada

abortus yang sudah lama terjadi atau pada abortus provokatus sering terjadi infeksi

yang dilihat dari demam, nadi cepat, perdarahan, berbau, uterus membesar dan

lembek, nyeri tekan,dan luekositosis.6 Pada pemeriksaan dalam untuk abortus yang

baru saja terjadi didapati serviks terbuka, kadang-kadang dapat diraba sisa-sisa

jaringan dalam kanalis servikalis atau kavum uteri, serta uterus berukuran kecil

dari seharusnya.6 Pada pemeriksaan USG, ditemukan kantung gestasional yang

tidak utuh lagi dan tiada tanda-tanda kehidupan dari janin.6


6. Diagnosis

Diagnosis abortus ditegakkan berdasarkan :

6.1 Anamnesis

3 gejala utama (postabortion triad) pada abortus adalah nyeri di perut bagian

bawah terutamanya di bagian suprapubik yang bisa menjalar ke punggung,bokong

dan perineum, perdarahan pervaginam dan demam yang tidak tinggi. 7 Gejala ini

terutamanya khas pada abortus dengan hasil konsepsi yang masih tertingal di

dalam rahim.7 Selain itu, ditanyakan adanya amenore pada masa reproduksi

kurang 20 minggu dari HPHT.6 Perdarahan pervaginam dapat tanpa atau disertai

jaringan hasil konsepsi. Bentuk jaringan yang keluar juga ditanya apakah berupa

jaringan yang lengkap seperti janin atau tidak atau seperti anggur. Rasa sakit atau

keram bawah perut biasanya di daerah atas simpisis.6

Riwayat penyakit sekarang seperti IDDM yang tidak terkontrol, tekanan darah

tinggi yang tidak terkontrol, trauma, merokok, mengambil alkohol dan riwayat

infeksi traktus genitalis harus diperhatikan.6 Riwayat kepergian ke tempat endemik

malaria dan pengambilan narkoba malalui jarum suntik dan seks bebas dapat

menambah curiga abortus akibat infeksi.7

6.2 Pemeriksaan Fisis

Bercak darah diperhatikan banyak, sedang atau sedikit.4 Palpasi abdomen

dapat memberikan idea keberadaan hasil konsepsi dalam abdomen dengan

pemeriksaan bimanual. Yang dinilai adalah uterus membesar sesuai usia gestasi,
dan konsistensinya.4 Pada pemeriksaan pelvis, dengan menggunakan spekulum

keadaan serviks dapat dinilai samaada terbuka atau tertutup , ditemukan atau tidak

sisa hasil konsepsi di dalam uterus yang dapat menonjol keluar, atau didapatkan di

liang vagina.4

Pemeriksaan fisik pada kehamilan muda dapat dilihat dari table di bawah ini:4

Perdarahan Serviks Uterus Gejala dan tanda Diagnosis

Bercak sedikit Tertutup Sesuai dengan Kram perut Abortus

hingga sedang usia gestasi bawah, uterus immines

lunak

Tertutup/terbuka Lebih kecil dari Sedikit/tanpa Abortus

usia gestasi nyeri perut komplit

bawah,riwayat

ekspulsi hasil

konsepsi

Sedang Terbuka Sesuai dengan Kram atau nyeri Abortus

sehingga masif usia kehamilan perut bawah, insipien

belum terjadi

ekspulsi hasil

konsepsi

Kram atau nyeri Abortus

perut bawah,
ekspulsi incomplit

sebahagian hasil

konsepsi

Terbuka Lunak dan Mual/muntah, Abortus mola

lebih besar dari kram perut bawah,

usia gestasi sindroma mirip

PEB, tidak ada

janin, keluar

jaringan seperti

anggur

6.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium berupa tes kehamilan, hemoglobin, leukosit, waktu

bekuan, waktu perdarahan, trombosit, dan GDS. Pada pemeriksaan USG

ditemukan kantung gestasi tidak utuh, ada sisa hasil konsepsi dalam uterus.6

7. Diagnosis banding.2

- kehamilan ektopik tertanggu

- perdarahan anovular pada wanita yang tidak hamil

- abortus mola hidatidosa

- polip endoserviks

- karsinoma serviks
8. Penatalaksanaan

8.1 Abortus Imminens.4

Pada abortus imminens, tidak perlu pengobatan khusus atau tirah baring total

dan pasien dilarang dari melakukan aktivitas fisik berlebihan ataupun hubungan

seksual. Jika terjadi perdarahan berhenti, asuhan antenatal diteruskan seperti biasa

dan penilaian lanjutan dilakukan jika perdarahan terjadi lagi. Pada kasus yang

perdarahan terus berlansung, kondisi janin dinilai dan konfirmasi kemungkinan

adanya penyebab lain dilakukan dengan segera. Pada perdarahan berlanjut

khususnya pada uterus yang lebih besar dari yang diharapkan, harus dicurigai

kehamilan ganda atau mola.

8.2 Abortus insipiens.4

Jika usia kehamilan kurang dari 16 minggu, evakuasi uterus dilakukan dengan

aspirasi vakum manual. Jika evakuasi tidak dapat segera dilakukan maka,

Ergometrin 0,2 mg IM atau Misopristol 400mcg per oral dapat diberikan.

Kemudian persediaan untuk pengeluaran hasil konsepsi dari uterus dilakukan

dengan segera.

Jika usia kehamilan lebih dari 16 minggu, ekpulsi spontan hasil konsepsi

ditunggu, kemudian sisa-sisa hasil konsepsi dievakuasi. Jika perlu, infus 20 unit

oxytoxin dalam 500cc cairan IV (garam fisiologik atau larutan Ringer Laktat)

dengan kecepatan 40 tetes per menit diberikan untuk membantu ekspulsi hasil

konsepsi. Setelah penanganan, kondisi ibu tetap dipantau.

8.3 Abortus inkomplit.4

Jika perdarahan tidak beberapa banyak dan kehamilan kurang dari 16

minggu, evakuasi dapat dilakukan secara digital atau dengan cunam ovum untuk
mengeluarkan hasil konsepsi yang keluar melalui serviks. Jika perdarahan

berhenti, Ergometrin 0,2 mg IV atau misoprostol 400mcg per oral diberikan.

Jika perdarahan banyak atau terus berlangsung, dan usia kehamilan kurang

dari 16 minggu, hasil konsepsi dievakuasi dengan aspirasi vakum manual.

Evakuasi vakum tajam hanya digunakan jika tidak tersedia aspirasi vakum manual

(AVM). Jika evakuasi belum dapat dilakukan dengan segera, Ergometrin 0,2mg

IM atau Misoprostol 400mcg per oral dapat diberikan.

Jika kehamilan lebih dari 16 minggu, infus oksitosin 20 unit diberikan

dalam 500ml cairan IV (garam fisiologik atau RL) dengan kecepatan 40 tetes per

menit sampai terjadi ekspulsi hasil konsepsi. Jika perlu Misoprostol 200mcg

pervaginam diberikan setiap 4 jam sampai terjadi ekspulsi hasil konsepsi. Hasil

konsepsi yang tertinggal dalam uterus segera dievakuasi.

8.4 Abortus komplit.4

Pada kasus ini, evakuasi tidak perlu dilakukan lagi. Observasi untuk

melihat adanya perdarahan yang banyak perlu diteruskan dan kondisi ibu setelah

penanganan tetap dibuat. Apabila terdapat anemia sedang, tablet sulfas ferrosus

600mg/hari selama 2 minggu diberikan, jika anemia berat diberikan transfusi

darah. Seterusnya lanjutkan dengan konseling asuhan pascakeguguran dan

pemantauan lanjut jika perlu.

8.5 Abortus septik/infeksius.3

Pengelolaan pasien pada abortus septik harus mempertimbangkan

keseimbangan cairan tubuh dan perlunya pemberian antibiotika yang mencukupi

sesuai dengan hasil kultur dan sensitivitas kuman yang diambil dari darah dan
cairan flour yang keluar pervaginam. Untuk tahap pertama dapat diberikan

Penisillin 4x 1juta unit atau ampicillin 4x 1gram ditambah gentamisin 2x80mg

dan metronidazol 2x1gram. Selanjutnya, antibiotik dilanjutkan dengan hasil

kultur.

Tindakan kuretase dilaksanakan bila tubuh dalam keadaan membaik

minimal 6 jam setelah antibiotika adekuat telah diberikan. Pada saat tindakan,

uterus harus dilindungi dengan uterotonik untuk mengelakkan komplikasi.

Antibiotik harus dilanjutkan sampai 2 hari bebas demam dan bila dalam waktu 2

hari pemberian tidak memberikan respons harus diganti dengan antibiotik yang

lebih sesuai dah kuat. Apabila ditakutkan terjadi tetanus, injeksi ATS harus

diberikan dan irigasi kanalis vagina/uterus dibuat dengan larutan peroksida H2O2.

Histerektomi harus dibuat secepatnya jika indikasi.

8.6 Pemantauan pascaabortus.4

Sebelum ibu diperbolehkan pulang, diberitahu bahwa abortus spontan hal yang

biasa terjadi dan terjadi pada paling sedikit 15% dari seluruh kehamilan yang

diketahui secara klinis. Kemungkinan keberhasilan untuk kehamilan berikutnya

adalah cerah kecuali jika terdapat sepsis atau adanya penyebab abortus yang dapat

mempunyai efek samping pada kehamilan berikut.

Semua pasien abortus disuntik vaksin serap tetanus 0,5 cc IM. Umumnya

setelah tindakan kuretase pasien abortus dapat segera pulang ke rumah. Kecuali

bila ada komplikasi seperti perdarahan banyak yang menyebabkan anemia berat

atau infeksi. Pasien dianjurkan istirahat selama 1 sampai 2 hari. Pasien dianjurkan

kembali ke dokter bila pasien mengalami kram demam yang memburuk atau nyeri
setelah perdarahan baru yang ringan atau gejala yang lebih berat.13 Tujuan

perawatan untuk mengatasi anemia dan infeksi. Sebelum dilakukan kuretase

keluarga terdekat pasien menandatangani surat persetujuan tindakan.

9. Komplikasi

9.1 Perdarahan.6

Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa-sisa hasil

konsepsi dan jika perlu pemberian transfusi darah. Kematian karena perdarahan

dapat terjadi apabila pertolongan tidak diberikan. Perdarahan yang berlebihan

sewaktu atau sesudah abortus bisa disebabkan oleh atoni uterus, laserasi cervikal,

perforasi uterus, kehamilan serviks, dan juga koagulopati.

9.2 Perforasi.6

Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada uterus dalam posisi

hiperretrofleksi. Terjadi robekan pada rahim, misalnya abortus provokatus

kriminalis. Dengan adanya dugaan atau kepastian terjadinya perforasi, laparatomi

harus segera dilakukan untuk menentukan luasnya perlukaan pada uterus dan

apakah ada perlukan alat-alat lain. Pasien biasanya datang dengan syok

hemoragik.

9.3 Syok.6

Syok pada abortus bisa terjadi karena perdarahan (syok hemoragik) dan karena

infeksi berat. Vasovagal syncope yang diakibatkan stimulasi canalis sevikalis

sewaktu dilatasi juga boleh terjadi namum pasien sembuh dengan segera.
9.4 Infeksi.6

Sebenarnya pada genitalia eksterna dan vagina dihuni oleh bakteri yang

merupakan flora normal. Khususnya pada genitalia eksterna yaitu staphylococci,

streptococci, Gram negatif enteric bacilli, Mycoplasma, Treponema (selain T.

paliidum), Leptospira, jamur, Trichomonas vaginalis, sedangkan pada vagina ada

lactobacili,streptococci, staphylococci, Gram negatif enteric bacilli, Clostridium

sp., Bacteroides sp, Listeria dan jamur. Umumnya pada abortus infeksiosa, infeksi

terbatas padsa desidua. Pada abortus septik virulensi bakteri tinggi dan infeksi

menyebar ke perimetrium, tuba, parametrium, dan peritonium.

Organisme-organisme yang paling sering bertanggung jawab terhadap infeksi

paska abortus adalah E.coli, Streptococcus non hemolitikus, Streptococci anaerob,

Staphylococcus aureus, Streptococcus hemolitikus, dan Clostridium perfringens.

Bakteri lain yang kadang dijumpai adalah Neisseria gonorrhoeae, Pneumococcus

dan Clostridium tetani. Streptococcus pyogenes potensial berbahaya oleh karena

dapat membentuk gas.

9.5 Efek anesthesia.7

Pada penggunaan general anestesia, komplikasi atoni uterus bisa terjadi yang

berakibatkan perdarahan. Pada kasus therapeutic abortus, paracervical blok sering

digunakan sebagai metode anestesia. Sering suntikan intravaskular yang tidak

disengaja pada paraservikal blok akan mengakibatkan komplikasi fatal seperti

konvulsi, cardiopulmonary arrest dan kematian.

9.6 Disseminated Intravascular Coagulopathy (DIC).7


Pasien dengan postabortus yang berat terutamanya setelah midtrimester perlu

curiga DIC. Insidens adalah lebih dari 200 kasus per 100,000 aborsi.

10. Prognosis.6

Prognosis keberhasilan kehamilan tergantung dari etiologi aborsi spontan

sebelumnya. Perbaikan endokrin yang abnormal pada wanita dengan abortus yang

rekuren mempunyai prognosis yang baik sekitar >90 %. Pada wanita keguguran

dengan etiologi yang tidak diketahui, kemungkinan keberhasilan kehamilan

sekitar 40-80 %. Sekitar 77 % angka kelahiran hidup setelah pemeriksaan aktivitas

jantung janin pada kehamilan 5 sampai 6 minggu pada wanita dengan 2 atau lebih

aborsi spontan yang tidak jelas.

DAFTAR PUSTAKA

1. F. G Cunningham, KJ. Leveno, SL. Bloom. Abortion in William

Obstetrics, 22nd edition. Mc-Graw Hill, 2005

2. McPhee S, Obsterics and obstretrics disoders,Current medical diagnosis

and treatment, 2009 edition, Mc Graw Hill, 2008

3. Sarwono prawiroharhdjo.Perdarahan pada kehamilan muda dalam Ilmu

Kandungan, edisi 2008

4. Saifuddin A. Perdarahan pada kehamilan muda dalam Buku Panduan

Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal,Yayasan Bina Pustaka


Sarwono Prawirohardjo, Jakarta,2006 Hal M9-M17

5. Standard Pelayanan Medis Ilmu Kebidanan dan Kandungan, RS Efarina

Etaham, 2008, ms 33-35

6. Abortus Incomplete. Available at

http://www.jevuska.com/2007/04/11/abortus-inkomplit , accessed on

OCTOBER 29, 2016

7. Gaufberg F, Abortion Treatened, Available at

http://emedicine.medscape.com/article/795359-overview , accessed on

OCTOBER 29, 2016

8. Gaufberg F, Abortion Septic, Available at

http://emedicine.medscape.com/article/795439-overview , accessed on

OCTOBER 29, 2016

9. Kontroversi Seputar Aborsi, available at http :

//www.kesrepro.info.gendervaw/Mei/ 2003/gendervaw 02. htm, accessed

on OCTOBER 29, 2016

10. Aborsi dan Hak Atas Pelayanan Kesehatan, available at http :

//www.theceli.com/opik/Aborsi.htm, accessed on OCTOBER 29, 2016


BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA

1.11 Latar Belakang

Mual dan muntah mempengaruhi hingga > 50% kehamilan. Kebanyakan

perempuan mampu mempertahankan kebutuhan cairan dan nutrisi dengan diet,


1
dan simptom akan teratasi hingga akhir trimester pertama . Hiperemesis

gravidarum merupakan bentuk yang paling berat dari mual dan muntah dalam

kehamilan 2.

1.12 Definisi

Hiperemesis gravidarum adalah muntah yang terjadi pada awal kehamilan


1
sampai umur kehamilan 20 minggu . Hiperemesis gravidarum dapat

dikarakteristikan sebagau mual dan muntah yang persisten dan berhubungan

dengan penurunan berat badan dan ketosis 2. Kondisi ini dapat menyebabkan

kekurangan cairan, elektrolit dan ketidakseimbangan asam basa, defisiensi nutrisi,

hingga kematian 2.

1.13 Epidemiologi

Beberapa penelitian memperkirakan bahawa mual dan muntah terjadi pada

50-90% kehamilan. Mual muntah pada kehamilan biasanya dimulai dari usia

kehamilan 9-10 minggu, memuncak pada minggu ke 11-13, dan pada sebagian

kasus menurun pada minggu ke 12-14 kehamilan. Pada 1-10% kehamilan, gejala

dapat berlanjut hingga melebihi 20-22 minggu 2.

1.14 Etiologi

96
Penyebab penyakit ini masih belum diketahui pasti, tetapi diperkirakan

erat hubungannya dengan endokrin, biokimiawi dan psikologis 1.

1.15 Patofisiologi

Penyebab hiperemesis gravidarum masih belum diketahui secara pasti.

Hoperemesis gravidarum muncul disebabkan oleh interaksi kompleks dari biologi,

psikologi, dan faktor sosiokultural. Beberapa teori terjadinya hiperemesis

gravidarum, yaitu: 2

a. Perubahan hormonal

Wanita dengan hiperemesis gravidarum sering memiliki kadar hCG yang

menyebabkan hipertiroidisme sementara. Secara fisiologis, hCG dapat

menstimulasi reseptor thyroid stimulating hormone (TSH) pada kelenjar

tiroid. Beberapa wanita dengan hiperemesis gravidarum tampaknya

memiliki hipertiroidisme klinis. TSH secara transien ditekan dan indeks

tiroksin bebas (T4) meningkat (40-73%) tanpa adanya tanda-tanda klinis

hipertiroidisme. Pada hipertiroidisme transien hiperemesis gravidarum,

fungsi tiroid akan kembali normal pada pertengahan trimester kedua tanpa

pengobatan antitiroid. Korelasi positif antara peningkatan kadar hCG dan

kadar T4 telah ditemukan, dan keparahan mual berhubungan dengan

tingkat stimulasi tiroid.

b. Disfungsi gastrointestinal

Gastrointestinal memiliki kontraksi peristaltik yang ritmis, aktivitas

myoelektrik abnormal dapat menyebabkan variasi disritmia gaster, dan hal

ini dikaitkan dengan morning sickness. Mekanisme yang menyebabkan

disritmia gaster meliputi peningkatan kadar esterogen atau progesteron,

97
gangguan tiroid, abnormalitas vagal dan simpatik, dan sekresi vasopresin

dalam menanggapi volume gangguan intravaskular. Banyak faktor-faktor

ini hadir pada awal kehamilan.

c. Gangguan metabolik

Gangguan metabolik mungkin memiliki peran dalam patogenesis

hiperemesis gravidarum. Ergin et al mencatat bahwa perempuan yang

memiliki kekurangan dalam native thiol dan total thiol, berkorelasi dengan

keparahan penyakit. Mereka mencatat bahwa homeostatis serum dinamis

tiol-disulfida bergeser ke sisi oksidatif.

d. Perubahan lipid

Jarnfelt-Samsioe et al menemukan bahwa kadar trigliserida, kolesterol

total dan fosfolipid pada wanita dengan hiperemesis gravidarum

meningkat dibanding dengan yang tidak. Hal ini berhubungan dengan

fungsi hepar yang abnormal pada wanita hamil.

e. Sistem penciuman

Hiperakuitas pada sistem penciuman dapat menjadi faktor yang

berkontribusi terhadap mual dan muntah selama kehamilan. Banyak

dilaporkan bahwa bau dari makanan, terutama daging, sebagai pemicu

mual.

f. Genetik

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa hiperemesis gravidarum dapat

dipengaruhi oleh genetik. Sebuah studi dilakukan pada 544.087 wanita

hamil di Norway, dimana wanita yang lahir dari kehamilan dengan

hiperemesis gravidarum menunjukkan 3% resiko mengalami hiperemesis

98
pada saat kehamilan dan wanita yang lahir tanpa adanya hiperemesis saat

kehamilan memiliki resiko 1,1%.

g. Psikologis

Perubahan fisiologis yang berhubungan dengan kehamilan berinteraksi

dengan nilai-nilai negara dan budaya psikologis setiap wanita. Respon

psikologis dapat memperburuk fisiologi mual dan muntah selama

kehamilan. Dalam kasus yang sangat tidak biasa, kasus hiperemesis

gravidarum dapat mewakili penyakit jiwa, termasuk konversi atau

gangguan somatisasi atau depresi berat

1.16 Klasifikasi

Secara klinis dibedakan menjadi 3 tingkatan, yaitu: 1

Tingkat I

Mual terus-menerus, timbul intoleransi terhadap makanan dan minuman,

berat badan menurun, nyeri epigastrium, muntah pertamakeluar makanan,

lendir dan sedikit cairan empedu. Nadi meningkat sampai 100x/menit dan

tekanan darah sistolik menurun. Mata cekung, lidah kering, dan turgor kulit

berkurang, serta urin sedikit tetapi maish normal

Tingkat II

Gejala lebih berat, segala yang dimakan dan diminum dimuntahkan, haus

hebat, subfebril, nadi cepat > 100-140 x/menit, tekanan darah sistolik < 80

mmHg, apatis, kulit pucat, aseton, bilirubin dalam urin, dan berat badan cepat

menurun

Tingkat III

99
Sangat jarang terjadi. Ditandai dengan gangguan kesadaran (delirium-koma),

muntah berkurang atau berhenti, tetapi dapat terjadi sianosis, gangguan

jantung, bilirubin dan proteiuria dalam urin.

1.17 Diagnosis

1.17.1 Anamnesis 1

Mulai terjadi pada trimester pertama, keluhan yang sering adalah mual,

muntah, dan penurunan berat badan, kadang disertai dengan pekerjaan

sehari-hari terganggu.

1.17.2 Pemeriksaan Fisik 1

Pada pemeriksaan fisik ditemukan:

- Fungsi vital: nadi meningkat 100x/menit, tekanan darah menurun pada

keadaan berat, subfebril dan gangguan kesadaran (apatis-koma)

- Fisik: dehidrasi, kulit pucat, ikterus, sianosis, berat badan menurun,

pada vaginal toucher uterus besar sesuai dengan kehamilan,

konsistensi lunak, pada pemeriksaan inspekulo serviks berwarna biru

(livide)

1.17.3 Pemeriksaan Penunjang 1,2

- Pemeriksaan USG: untuk mengetahui kondisi kehamilan juga untuk

mengetahui kemungkinan adanya kehamilan kembar ataupun

kehamilan molahidatidosa

- Pemeriksaan Laboratorium: kenaikan relatif hemoglobin dan

hematokrit, shift to the left, benda keton, dan proteinuria

1.18 Penatalaksanaan 1

Untuk keluhan hiperemesis yang berat, dianjurkan bedrest

100
Stop makanan per oral 24-48 jam

Infus glukosa 10% atau 5% : RL= 2:1, 40 tetes per menit

Obat

- Vitamin B1, B2, dan B6 masing-masing 50-100 mg/hari/infus

- Vitamin B12 200g/hari/infus, vitamin C 200 mg/hari/infus

- Antiemetik: tidak dijumpai adanya teratogenitas dengan menggunakan

dopamin antagonis (metoklopramid, domperidon), fenotiazin

(klorpromazin, proklorperazin), antihistamin ( prometazin, siklizin).

Prometazin dapat diberikan 2-3 kali 25 mg/hari per oral, atau

proklorperazin 3x3mg/hari per oral

- Antasida: dapat diberikan 3 x 1 tablet/hari per oral

Diet sebaikanya meminta saran dari ahli gizi

- Diet hiperemesis I : diberikan pada hiperemesis tingkat III. Makanna

hanya berupa roti kering dna buah-buahan. Cairan tidak diberikan

bersama makanan tetapi 1-2 jam sesudahnya. Maknana ini hanya

diberikan selama beberapa hari saja karena kurang mengandung zat

gizi.

- Diet hiperemesis II : diberikan bila rasa mual dan muntah berkurang.

Secara bertahap mulai diberikan bahan makanan bergizi tinggi,

minuman tidak diberikan bersama makanan. Makanna ini rendah

dalam semua zat gizi, kecuali vitamin A dan D

- Diet hiperemesis III : diberikan kepada penderita dengan hiperemesis

ringan. Menurut kesanggupan penderita minuman boleh diberikan

101
bersama makanan. Makanan ini cukup dalam semua gizi, kecuali

kalsium.

1.19 Komplikasi 1

Maternal

Akibat defisiensi tiamin (B1) akan menyebabkan terjadinya diplopia, palsi nervus

ke-6, nistagmus, ataksia, dna kejang. Jika tidak segera ditangani, akan terjadi

psikosis Korsakoff (amnesia, menurunnya kemampuan untuk beraktivitas),

ataupun kematian. Oleh karena itu, untuk hiperemesis tingkat III perlu

dipertimbangkan terminasi kehamilan

Fetal

Penurunan berat badan yang kronis akan meningktakan kejadian gangguan

pertumbuhan janin dalam rahim (IUGR)

DAFTAR PUSTAKA

3 Siddik D. 2014. Kelainan Gastrointestinal, dalam: Sarwono Prawirohardjo,

Ilmu Kebidanan Edisi Keempat. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono

Prawirohardjo. h 814-818

4 Ogunyemi D.A. 2017. Hyperemesis Gravidarum. (10/01/2017), available at:

http://emedicine.medscape.com/article/254751-overview#showall

102
PREEKLAMPSIA

A. Definisi

Preeklampsia merupakan suatu gangguan multisistem idiopatik

yangspesifik pada kehamilan dan nifas. Pada keadaan khusus, preeklampsia

jugadidapati pada kelainan perkembangan plasenta (kehamilan mola

komplit).Meskipun patofisiologi preeklampsia kurang dimengerti, jelas bahwa

tanda perkembangan ini tampak pada awal kehamilan. Telah dinyatakan

bahwapathologic hallmark adalah suatu kegagalan total atau parsial dari fase

keduainvasi trofoblas saat kehamilan 16-20 minggu kehamilan, hal ini pada

kehamilannormal bertanggung jawab dalam invasi trofoblas ke lapisan otot arteri

spiralis.Seiring dengan kemajuan kehamilan, kebutuhan metabolik fetoplasenta

makinmeningkat. Bagaimanapun, karena invasi abnormal yang luas dari plasenta,

arterispiralis tidak dapat berdilatasi untuk mengakomodasi kebutuhan yang

makinmeningkat tersebut, hasil dari disfungsi plasenta inilah yang tampak secara

klinissebagai preeklampsia. Meskipun menarik, hipotesis ini tetap perlu

ditinjaukembali.

Preeklampsia merupakan suatu diagnosis klinis. Definisi

klasik preeklampsia meliputi 3 elemen, yaitu onset baru hipertensi (didefinisikan

sebagaisuatu tekanan darah yang menetap 140/90 mmHg pada wanita yang

sebelumnyanormotensif), onset baru proteinuria (didefinisikan sebagai protein

urine > 300mg/24 jam atau +1pada urinalisis bersih tanpa infeksi traktus

urinarius), danonset baru edema yang bermakna. Pada beberapa konsensus

terakhir dilaporkan bahwa edema tidak lagi dimasukkan sebagai kriteria

diagnosis.

103
B. Epidemiologi

Kejadian preeklampsia di Amerika Serikat berkisar antara 2-6% dari

ibuhamil nulipara yang sehat. Di negara berkembang, kejadian preeklampsia

berkisar antara 4-18%. Penyakit preeklampsia ringan terjadi 75% dan

preeklampsia beratterjadi 25%. Dari seluruh kejadian preeklampsia, sekitar 10%

kehamilan umurnyakurang dari 34 minggu. Kejadian preeklampsia meningkat

pada wanita dengan riwayat preeklampsia, kehamilan ganda, hipertensi kronis dan

penyakit ginjal. Pada ibu hamil primigravida terutama dengan usia muda lebih

sering menderita preeklampsia dibandingkan dengan multigravida. Faktor

predisposisi lainnya adalah usia ibu hamil dibawah 25 tahun atau diatas 35 tahun,

mola hidatidosa, polihidramnion dan diabetes.Walaupun belum ada teori yang

pasti berkaitan dengan penyebab terjadinya preeklampsia, tetapi beberapa

penelitian menyimpulkan sejumlah faktor yang mempengaruhi terjadinya

preeklampsia. Faktor risiko tersebut meliputi:

a Usia

Insidens tinggi pada primigravida muda, meningkat pada primigravida tua.

Pada wanita hamil berusia kurang dari 25 tahun insidens > 3 kali lipat.

Pada wanita hamil berusia lebih dari 35 tahun, dapat terjadi hipertensi

yang menetap.

b. Paritas

Angka kejadian tinggi pada primigravida, muda maupun tua, primigravida

tua risiko lebih tinggi untuk preeklampsia berat.

c. Faktor Genetik

Jika ada riwayat preeklampsia/eklampsia pada ibu/nenek penderita, faktor

104
risiko meningkat sampai 25%. Diduga adanya suatu sifat resesif (recessive

trait), yang ditentukan genotip ibu dan janin. Terdapat bukti bahwa

preeklampsia merupakan penyakit yang diturunkan, penyakit ini lebih

sering ditemukan pada anak wanita dari ibu penderita preeklampsia. Atau

mempunyai riwayat preeklampsia/eklampsia dalam keluarga.

d. Diet/gizi

Tidak ada hubungan bermakna antara menu/pola diet tertentu (WHO).

Penelitian lain : kekurangan kalsium berhubungan dengan angka kejadian

yang tinggi. Angka kejadian juga lebih tinggi pada ibu hamil yang

obese/overweight.

e. Tingkah laku/sosioekonomi

Kebiasaan merokok : insidens pada ibu perokok lebih rendah, namun

merokok selama hamil memiliki risiko kematian janin dan pertumbuhan

janin terhambat yang jauh lebih tinggi. Aktifitas fisik selama hamil atau

istirahat baring yang cukup selama hamil mengurangi

kemungkinan/insidens hipertensi dalam kehamilan.

f. Hiperplasentosis

Proteinuria dan hipertensi gravidarum lebih tinggi pada kehamilan kembar,

dizigotik lebih tinggi daripada monozigotik.

g. Mola hidatidosa

Degenerasi trofoblas berlebihan berperan menyebabkan preeklampsia.

Pada kasus mola, hipertensi dan proteinuria terjadi lebih dini/pada usia

kehamilan muda, dan ternyata hasil pemeriksaan patologi ginjal juga

sesuai dengan pada preeklampsia.

105
h. Obesitas

Hubungan antara berat badan wanita hamil dengan resiko terjadinya

preeklampsia jelas ada, dimana terjadi peningkatan insiden dari 4,3% pada

wanita dengan Body Mass Index (BMI) < 20 kg/m2 manjadi 13,3% pada

wanita dengan Body Mass Index (BMI) > 35 kg/m2.

i. Kehamilan multiple

Preeklampsia dan eklampsia 3 kali lebih sering terjadi pada kehamilan

ganda dari 105 kasus kembar dua didapat 28,6% preeklampsia dan satu

kematian ibu karena eklampsia. Dari hasil pada kehamilan tunggal, dan

sebagai faktor penyebabnya ialah dislensia uterus. Dari penelitian Agung

Supriandono dan Sulchan Sofoewan menyebutkan bahwa 8 (4%) kasus

preeklampsia berat mempunyai jumlah janin lebih dari satu, sedangkan

pada kelompok kontrol, 2 (1,2%) kasus mempunyai jumlah janin lebih dari

satu.

C. Etiologi

Apa yang menjadi penyebab terjadinya preeklampsia hingga saat ini

belum diketahui. Terdapat banyak teori yang ingin menjelaskan tentang penyebab

dari penyakit ini tetapi tidak ada yang memberikan jawaban yang memuaskan.

Teori yang dapat diterima harus dapat menjelaskan tentang mengapa preeklampsia

meningkat prevalensinya pada primigravida, hidramnion, kehamilan ganda dan

mola hidatidosa. Selain itu teori tersebut harus dapat menjelaskan penyebab

bertambahnya frekuensi preeklampsia dengan bertambahnya usia kehamilan,

penyebab terjadinya perbaikan keadaan penderita setelah janin mati dalam

kandungan, dan penyebab timbulnya gejala-gejala seperti hipertensi, edema,

106
proteinuria, kejang dan koma. Banyak teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli

yang mencoba menerangkan penyebabnya, oleh karena itu disebut penyakit

teori. Namun belum ada yang memberikan jawaban yang memuaskan. Teori

sekarang yang dipakai sebagai penyebab preeklampsia adalah teori iskemia

plasenta. Teori ini pun belum dapat menerangkan semua hal yang berkaitan

dengan penyakit ini.

Adapun teori-teori tersebut adalah:

1. Peran Prostasiklin dan Tromboksan

Pada preeklampsia dan eklampsia didapatkan kerusakan pada endotel

vaskuler, sehingga sekresi vasodilatator prostasiklin oleh sel-sel endotelial

plasenta berkurang, sedangkan pada kehamilan normal, prostasiklin meningkat.

Sekresi tromboksan oleh trombosit bertambah sehingga timbul vasokonstriksi

generalisata dan sekresi aldosteron menurun. Akibat perubahan ini

menyebabkan pengurangan perfusi plasenta sebanyak 50%, hipertensi dan

penurunan volume plasma.

2. Peran Faktor Imunologis

Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama karena pada

kehamilan pertama terjadi pembentukan blocking antibodies terhadap antigen

plasenta tidak sempurna sehingga timbul respons imun yang tidak

menguntungkan terhadap Histikompatibilitas Plasenta. Pada preeklampsia

terjadi kompleks imun humoral dan aktivasi komplemen. Hal ini dapat diikuti

dengan terjadinya pembentukan proteinuria.

3. Peran Faktor Genetik

Menurut Chesley dan Cooper bahwa Preeklampsia/eklampsia bersifat

107
diturunkan melalui gen resesif tunggal. Beberapa bukti yang menunjukkan

peran faktor genetik pada kejadian Preeklampsia-Eklampsia antara lain:

a) Preeklampsia hanya terjadi pada manusia.

b) Terdapatnya kecendrungan meningkatnya frekuensi PreeklampsiaEklampsia pada

anak-anak dari ibu yang menderita Preeklampsia-Eklampsia.

4. Iskemik dari uterus.

Sperof menyatakan bahwa dasar terjadinya Preeklampsia adalah iskemik

uteroplasentar, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara massa plasenta yang

meningkat dengan aliran perfusi sirkulasi darah plasenta yang berkurang.

Disfungsi plasenta juga ditemukan pada preeklampsia, sehingga terjadi

penurunan kadar 1 -25 (OH)2 dan Human Placental Lagtogen (HPL),

akibatnya terjadi penurunan absorpsi kalsium dari saluran cerna. Untuk

mempertahankan penyediaan kalsium pada janin, terjadi perangsangan kelenjar

paratiroid yang mengekskresi paratiroid hormon (PTH) disertai penurunan

kadar kalsitonin yang mengakibatkan peningkatan absorpsi kalsium tulang

yang dibawa melalui sirkulasi ke dalam intra sel. Peningkatan kadar kalsium

intra sel mengakibatkan peningkatan kontraksi pembuluh darah, sehingga

terjadi peningkatan tekanan darah.

Pada preekslampsia terjadi perubahan arus darah di uterus, koriodesidua

dan plasenta adalah patofisiologi yang terpenting pada preeklampsia, dan

merupakan faktor yang menentukan hasil akhir kehamilan. Perubahan aliran

darah uterus dan plasenta menyebabkan terjadi iskemia uteroplasenter,

menyebabkan ketidakseimbangan antara massa plasenta yang meningkat

dengan aliran perfusi darah sirkulasi yang berkurang. Selain itu hipoperfusi

108
uterus menjadi rangsangan produksi renin di uteroplasenta, yang

mengakibatkan vasokonstriksi vaskular daerah itu. Renin juga meningkatkan

kepekaan vaskular terhadap zat-zat vasokonstriktor lain (angiotensin,

aldosteron) sehingga terjadi tonus pembuluh darah yang lebih tinggi. Oleh

karena gangguan sirkulasi uteroplasenter ini, terjadi penurunan suplai oksigen

dan nutrisi ke janin. Akibatnya terjadi gangguan pertumbuhan janin sampai

hipoksia dan kematian janin.

5. Disfungsi dan aktivasi dari endotelial.

Kerusakan sel endotel vaskuler maternal memiliki peranan penting dalam

pathogenesis terjadinya preeklampsia. Fibronektin dilepaskan oleh sel endotel

yang mengalami kerusakan dan meningkat secara signifikan dalam darah

wanita hamil dengan preeklampsia. Kenaikan kadar fibronektin sudah dimulai

pada trimester pertama kehamilan dan kadar fibronektin akan meningkat sesuai

dengan kemajuan kehamilan.

Jika endotel mengalami gangguan oleh berbagai hal seperti shear stress

hemodinamik, stress oksidatif maupun paparan dengan sitokin inflamasi dan

hiperkolesterolemia, maka fungsi pengatur menjadi abnormal dan disebut

disfungsi endotel. Pada keadaan ini terjadi ketidakseimbangan substansi

vasoaktif sehingga dapat terjadi hipertensi. Disfungsi endotel juga

menyebabkan permeabilitas vaskular meningkat sehingga menyebabkan edema

dan proteinuria. Jika terjadi disfungsi endotel maka pada permukaan endotel

akan diekspresikan molekul adhesi. seperti vascular cell adhesion molecule-1

(VCAM-1) dan intercellular cell adhesion molecule-1 (ICAM-1). Peningkatan

109
kadar soluble VCAM-1 ditemukan dalam supernatant kultur sel endotel yang

diinkubasi dengan serum penderita preeklampsia, tetapi tidak dijumpai

peningkatan molekul adhesi lain seperti ICAM-1 dan E-selektin. Oleh karena

itu diduga VCAM-1 mempunyai peranan pada preeklampsia.

Namun belum diketahui apakah tingginya kadar sVCAM-1 dalam serum

mempunyai hubungan dengan beratnya penyakit. Disfungsi endotel juga

mengakibatkan permukaan non trombogenik berubah menjadi trombogenik,

sehingga bisa terjadi aktivasi koagulasi. Sebagai petanda aktivasi koagulasi

dapat diperiksa D-dimer, kompleks trombin-antitrombin, fragmen protrombin 1

dan 2 atau fibrin monomer.

D. Patofisiologi

Patogenesis terjadinya Preeklamsia dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Penurunan kadar angiotensin II dan peningkatan kepekaan vaskuler

Pada preeklamsia terjadi penurunan kadar angiotensin II yang

menyebabkan pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahan-bahan

vasoaktif (vasopresor), sehingga pemberian vasoaktif dalam jumlah sedikit saja

sudah dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah yang menimbulkan

hipertensi. Pada kehamilan normal kadar angiotensin II cukup tinggi. Pada

preeklamsia terjadi penurunan kadar prostacyclin dengan akibat meningkatnya

thromboksan yang mengakibatkan menurunnya sintesis angiotensin II sehingga

peka terhadap rangsangan bahan vasoaktif dan akhirnya terjadi hipertensi.

2. Hipovolemia Intravaskuler

Pada kehamilan normal terjadi kenaikan volume plasma hingga mencapai

45%, sebaliknya pada preeklamsia terjadi penyusutan volume plasma hingga

110
mencapai 30-40% kehamilan normal. Menurunnya volume plasma

menimbulkan hemokonsentrasi dan peningkatan viskositas darah. Akibatnya

perfusi pada jaringan atau organ penting menjadi menurun (hipoperfusi)

sehingga terjadi gangguan pada pertukaran bahan-bahan metabolik dan

oksigenasi jaringan. Penurunan perfusi ke dalam jaringan utero-plasenta

mengakibatkan oksigenasi janin menurun sehingga sering terjadi pertumbuhan

janin yang terhambat (Intrauterine growth retardation), gawat janin, bahkan

kematian janin intrauterin.

3. Vasokonstriksi pembuluh darah

Pada kehamilan normal tekanan darah dapat diatur tetap meskipun

cardiac output meningkat, karena terjadinya penurunan tahanan perifer. Pada

kehamilan dengan hipertensi terjadi peningkatan kepekaan terhadap

bahanbahan vasokonstriktor sehingga keluarnya bahan- bahan vasoaktif dalam

tubuh dengan cepat menimbulkan vasokonstriksi. Adanya vasokonstriksi

menyeluruh pada sistem pembuluh darah arteriole dan pra kapiler pada

hakekatnya merupakan suatu sistem kompensasi terhadap terjadinya

hipovolemik. Sebab bila tidak terjadi vasokonstriksi, ibu hamil dengan

hipertensi akan berada dalam syok kronik. Perjalanan klinis dan temuan

anatomis memberikan bukti presumtif bahwa preeklampsi disebabkan oleh

sirkulasi suatu zat beracun dalam darah yang menyebabkan trombosis di

banyak pembuluh darah halus, selanjutnya membuat nekrosis berbagai

organ.Gambaran patologis pada fungsi beberapa organ dan sistem, yang

kemungkinan disebabkan oleh vasospasme dan iskemia, telah ditemukan pada

kasus-kasus preeklampsia dan eklampsia berat. Vasospasme bisa merupakan

111
akibat dari kegagalan invasi trofoblas ke dalam lapisan otot polos pembuluh

darah, reaksi imunologi, maupun radikal bebas. Semua ini akan menyebabkan

terjadinya kerusakan/jejas endotel yang kemudian akan mengakibatkan

gangguan keseimbangan antara kadar vasokonstriktor (endotelin, tromboksan,

angiotensin, dan lain-lain) dengan vasodilatator (nitritoksida, prostasiklin, dan

lain-lain). Selain itu, jejas endotel juga menyebabkan gangguan pada sistem

pembekuan darah akibat kebocoran endotelial berupa konstituen darah

termasuk platelet dan fibrinogen.

Vasokontriksi yang meluas akan menyebabkan terjadinya gangguan pada

fungsi normal berbagai macam organ dan sistem. Gangguan ini dibedakan atas

efek terhadap ibu dan janin, namun pada dasarnya keduanya berlangsung

secara simultan. Gangguan ibu secara garis besar didasarkan pada analisis

terhadap perubahan pada sistem kardiovaskular, hematologi, endokrin dan

metabolisme, serta aliran darah regional. Sedangkan gangguan pada janin

terjadi karena penurunan perfusi uteroplasenta.

E. Manifestasi Klinis

Otak

Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan autoregulasi tidak berfungsi.

Pada saat autoregulasi tidak berfungsi sebagaimana mestinya, jembatan penguat

endotel akan terbuka dan dapat menyebabkan plasma dan sel-sel darah merah

keluar ke ruang ekstravaskular. Hal ini akan menimbulkan perdarahan petekie

atau perdarahan intrakranial yang sangat banyak. Pada penyakit yang belum

berlanjut hanya ditemukan edema dan anemia pada korteks serebri.

Diaporkan bahwa resistensi pembuluh darah dalam otak pada pasien

112
hipertensi dalam kehamilan lebih meninggi pada eklampsia. Pada pasien

preeklampsia, aliran darah ke otak dan penggunaan oksigen otak masih dalam

batas normal. Pemakaian oksigen pada otak menurun pada pasien eklampsia.
(2)
Perubahan Kardiovaskuler.

Gangguan fungsi kardiovaskuler yang parah sering terjadi pada

preeklampsia dan eklampsia. Berbagai gangguan tersebut pada dasarnya berkaitan

dengan peningkatan afterload jantung akibat hipertensi, preload jantung yang

secara nyata dipengaruhi oleh berkurangnya secara patologis hipervolemia

kehamilan atau yang secara iatrogenic ditingkatkan oleh larutan onkotik atau

kristaloid intravena, dan aktivasi endotel disertai ekstravasasi ke dalam ruang

ektravaskular terutama paru.(4)

Mata

Pada preeklampsia tampak edema retina, spasmus setempat atau

menyeluruh pada satu atau beberapa arteri, jarang terjadi perdarahan atau eksudat.

Spasmus arteri retina yang nyata dapat menunjukkan adanya preeklampsia yang

berat, tetapi bukan berarti spasmus yang ringan adalah preeklampsia yang ringan.

Pada preeklampsia dapat terjadi ablasio retina yang disebabkan edema intraokuler

dan merupakan indikasi untuk dilakukannya terminasi kehamilan. Ablasio retina

ini biasanya disertai kehilangan penglihatan. Selama periode 14 tahun, ditemukan

15 wanita dengan preeklampsia berat dan eklampsia yang mengalami kebutaan

yang dikemukakan oleh Cunningham.

Skotoma, diplopia dan ambliopia pada penderita preeklampsia merupakan

gejala yang menunjukan akan terjadinya eklampsia. Keadaan ini disebabkan oleh

perubahan aliran darah dalam pusat penglihatan di korteks serebri atau dalam

113
retina.

Paru

Edema paru biasanya terjadi pada pasien preeklampsia berat dan eklampsia

dan merupakan penyebab utama kematian. Edema paru bisa diakibatkan oleh

kardiogenik ataupun non-kardiogenik dan biasa terjadi setelah melahirkan. Pada

beberapa kasus terjadinya edema paru berhubungan dengan adanya peningkatan

cairan yang sangat banyak. Hal ini juga dapat berhubungan dengan penurunan

tekanan onkotik koloid plasma akibat proteinuria, penggunaan kristaloid sebagai

pengganti darah yang hilang, dan penurunan albumin yang dihasilkan oleh hati.

Hati

Pada preeklampsia berat terkadang terdapat perubahan fungsi dan integritas

hepar, termasuk perlambatan ekskresi bromosulfoftalein dan peningkatan kadar

aspartat aminotransferase serum. Sebagian besar peningkatan fosfatase alkali

serum disebabkan oleh fosfatase alkali tahan panas yang berasal dari plasenta.

Pada penelitian yang dilakukan Oosterhof dkk , dengan menggunakan sonografi

Doppler pada 37 wanita preeklampsia, terdapat resistensi arteri hepatika.

Nekrosis hemoragik periporta di bagian perifer lobulus hepar kemungkinan

besar penyebab terjadinya peningkatan enzim hati dalam serum. Perdarahan pada

lesi ini dapat menyebabkan ruptur hepatika, atau dapat meluas di bawah kapsul

hepar dan membentuk hematom subkapsular.

Ginjal

Selama kehamilan normal, aliran darah dan laju filtrasi glomerulus

meningkat cukup besar. Dengan timbulnya preeklampsia, perfusi ginjal dan

filtrasi glomerulus menurun. Lesi karakteristik dari preeklampsia,

114
glomeruloendoteliosis, adalah pembengkakan dari kapiler endotel glomerular

yang menyebabkan penurunan perfusi dan laju filtrasi ginjal. Konsentrasi asam

urat plasma biasanya meningkat, terutama pada wanita dengan penyakit berat.

Pada sebagian besar wanita hamil dengan preeklampsia, penurunan ringan

sampai sedang laju filtrasi glomerulus tampaknya terjadi akibat berkurangnya

volume plasma sehingga kadar kreatinin plasma hampir dua kali lipat

dibandingkan dengan kadar normal selama hamil (sekitar 0,5 ml/dl). Namun pada

beberapa kasus preeklampsia berat, keterlibatan ginjal menonjol dan kreatinin

plasma dapat meningkat beberapa kali lipat dari nilai normal ibu tidak hamil atau

berkisar hingga 2-3 mg/dl. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh perubahan

intrinsik ginjal yang ditimbulkan oleh vasospasme hebat yang dikemukakan oleh

Pritchard (1984) dalam Cunningham (2005).

Kelainan pada ginjal yang penting adalah dalam hubungan proteinuria dan

retensi garam dan air. Taufield (1987) dalam Cunningham (2005) melaporkan

bahwa preeklampsia berkaitan dengan penurunan ekskresi kalsium melalui urin

karena meningkatnya reabsorpsi di tubulus. Pada kehamilan normal, tingkat

reabsorpsi meningkat sesuai dengan peningkatan filtrasi dari glomerulus.

Penurunan filtrasi glomerulus akibat spasmus arteriol ginjal mengakibatkan

filtrasi natrium melalui glomerulus menurun, yang menyebabkan retensi garam

dan juga retensi air.

Untuk mendiagnosis preeklampsia atau eklampsia harus terdapat

proteinuria. Namun, karena proteinuria muncul belakangan, sebagian wanita

mungkin sudah melahirkan sebelum gejala ini dijumpai. Meyer (1994)

menekankan bahwa yang diukur adalah ekskresi urin 24 jam. Mereka

115
mendapatkan bahwa proteinuria +1 atau lebih dengan dipstick memperkirakan

minimal terdapat 300 mg protein per 24 jam pada 92% kasus. Sebaliknya,

proteinuria yang samar (trace) atau negatif memiliki nilai prediktif negatif hanya

34% pada wanita hipertensif. Kadar dipstick urin +3 atau +4 hanya bersifat

prediktif positif untuk preeklampsia berat pada 36% kasus.

Seperti pada glomerulopati lainnya, terjadi peningkatan permeabilitas

terhadap sebagian besar protein dengan berat molekul tinggi. Maka ekskresi

Filtrasi yang menurun hingga 50% dari normal dapat menyebabkan diuresis turun,

bahkan pada keadaan yang berat dapat menyebabkan oligouria ataupun anuria.

Lee (1987) dalam Cunningham (2005) melaporkan tekanan pengisian ventrikel

normal pada tujuh wanita dengan preeklampsia berat yang mengalami oligouria

dan menyimpulkan bahwa hal ini konsisten dengan vasospasme intrarenal.

Protein albumin juga disertai protein-protein lainnya seperti hemoglobin,

globulin dan transferin. Biasanya molekul-molekul besar ini tidak difiltrasi oleh

glomerulus dan kemunculan zat-zat ini dalam urin mengisyaratkan terjadinya

proses glomerulopati. Sebagian protein yang lebih kecil yang biasa difiltrasi

kemudian direabsorpsi juga terdeksi di dalam urin.

Darah

Kebanyakan pasien dengan preeklampsia memiliki pembekuan darah yang

normal. Perubahan tersamar yang mengarah ke koagulasi intravaskular dan

destruksi eritrosit (lebih jarang) sering dijumpai pada preeklampsia menurut

Baker (1999) dalam Cunningham (2005). Trombositopenia merupakan kelainan

yang sangat sering, biasanya jumlahnya kurang dari 150.000/l yang ditemukan

pada 15-20% pasien. Level fibrinogen meningkat sangat aktual pada pasien

116
preeklampsia dibandingkan dengan ibu hamil dengan tekanan darah normal. Level

fibrinogen yang rendah pada pasien preeklampsia biasanya berhubungan dengan

terlepasnya plasenta sebelum waktunya (placental abruption).

Pada 10 % pasien dengan preeklampsia berat dan eklampsia menunjukan

terjadinya HELLP syndrome yang ditandai dengan adanya anemia hemolitik,

peningkatan enzim hati dan jumlah platelet rendah. Sindrom biasanya terjadi tidak

jauh dengan waktu kelahiran (sekitar 31 minggu kehamilan) dan tanpa terjadi

peningkatan tekanan darah. Kebanyakan abnormalitas hematologik kembali ke

normal dalam dua hingga tiga hari setelah kelahiran tetapi trombositopenia bisa

menetap selama seminggu.

Sistem Endokrin dan Metabolism Air dan Elektrolit

Selama kehamilan normal, kadar renin, angiotensin II dan aldosteron

meningkat. Pada preeklampsia menyebabkan kadar berbagai zat ini menurun ke

kisaran normal pada ibu tidak hamil. Pada retensi natrium dan atau hipertensi,

sekresi renin oleh aparatus jukstaglomerulus berkurang sehingga proses

penghasilan aldosteron pun terhambat dan menurunkan kadar aldosteron dalam

darah.

Pada ibu hamil dengan preeklampsia juga meningkat kadar peptida

natriuretik atrium. Hal ini terjadi akibat ekspansi volume dan dapat menyebabkan

meningkatnya curah jantung dan menurunnya resistensi vaskular perifer baik pada

normotensif maupun preeklamptik. Hal ini menjelaskan temuan turunnya

resistensi vaskular perifer setelah ekspansi volume pada pasien preeklampsia.

Pada pasien preeklampsia terjadi hemokonsentrasi yang masih belum

diketahui penyebabnya. Pasien ini mengalami pergeseran cairan dari ruang

117
intravaskuler ke ruang interstisial. Kejadian ini diikuti dengan kenaikan

hematokrit, peningkatan protein serum, edema yang dapat menyebabkan

berkurangnya volume plasma, viskositas darah meningkat dan waktu peredaran

darah tepi meningkat. Hal tersebut mengakibatkan aliran darah ke jaringan

berkurang dan terjadi hipoksia.

Pada pasien preeklampsia, jumlah natrium dan air dalam tubuh lebih banyak

dibandingkan pada ibu hamil normal. Penderita preeklampsia tidak dapat

mengeluarkan air dan garam dengan sempurna. Hal ini disebabkan terjadinya

penurunan filtrasi glomerulus namun penyerapan kembali oleh tubulus ginjal

tidak mengalami perubahan.

Plasenta dan Uterus

Menurunnya aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan fungsi

plasenta. Pada hipertensi yang agak lama, pertumbuhan janin terganggu dan pada

hipertensi yang singkat dapat terjadi gawat janin hingga kematian janin akibat

kurangnya oksigenisasi untuk janin.

Kenaikan tonus dari otot uterus dan kepekaan terhadap perangsangan sering

terjadi pada preeklampsia. Hal ini menyebabkan sering terjadinya partus

prematurus pada pasien preeklampsia. Pada pasien preeklampsia terjadi dua

masalah, yaitu arteri spiralis di miometrium gagal untuk tidak dapat

mempertahankan struktur muskuloelastisitasnya dan atheroma akut berkembang

pada segmen miometrium dari arteri spiralis. Atheroma akut adalah nekrosis

arteriopati pada ujung-ujung plasenta yang mirip dengan lesi pada hipertensi

malignan. Atheroma akut juga dapat menyebabkan penyempitan kaliber dari

lumen vaskular. Lesi ini dapat menjadi pengangkatan lengkap dari pembuluh

118
darah yang bertanggung jawab terhadap terjadinya infark plasenta.

F. Klasifikasi

Preeklampsia terbagi atas dua yaitu Preeklampsia Ringan dan

Preeklampsia Berat berdasarkan Klasifikasi menurut American College of

Obstetricians and Gynecologists, yaitu:

1) Preeklampsia ringan, bila disertai keadaan sebagai berikut:

Tekanan darah 140/90 mmHg, atau kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih, atau

kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih setelah 20 minggu kehamilan dengan

riwayat tekanan darah normal.

Proteinuria kuantitatif 300 mg perliter dalam 24 jam atau kualitatif 1+ atau 2+

pada urine kateter atau midstream.

2) Preeklampsia berat, bila disertai keadaan sebagai berikut:

Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih.

Proteinuria 5 gr atau lebih perliter dalam 24 jam atau kualitatif 3+ atau 4+.

Oligouri, yaitu jumlah urine kurang dari 500 cc per 24 jam/kurang dari 0,5

cc/kgBB/jam.

Adanya gangguan serebral, gangguan penglihatan, dan rasa nyeri di epigastrium.

Terdapat edema paru dan sianosis

Hemolisis mikroangiopatik

Trombositopeni (< 100.000 sel/mm3 atau penurunan trombosit dengan cepat)

Gangguan fungsi hati.

Pertumbuhan janin terhambat.

Sindrom HELLP.

119
G. Diagnosis

Gejala subjektif

Pada preeklampsia didapatkan sakit kepala di daerah frontal, skotoma, diplopia,

penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, mual atau muntahmuntah. Gejala-

gejala ini sering ditemukan pada preeklampsia yang meningkat dan merupakan

petunjuk bahwa eklampsia akan timbul (impending eklampsia). Tekanan darah

pun akan meningkat lebih tinggi, edema dan proteinuria bertambah meningkat.

Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan tekanan sistolik 30 mmHg

dan diastolik 15 mmHg atau tekanan darah meningkat 140/90 mmHg pada

preeklampsia ringan dan 160/110 mmHg pada preeklampsia berat. Selain itu

kita juga akan menemukan takikardia, takipneu, edema paru, perubahan

kesadaran, hipertensi ensefalopati, hiperefleksia, sampai tanda-tanda pendarahan

otak.

Penemuan Laboratorium

Penemuan yang paling penting pada pemeriksaan laboratorium penderita

preeklampsia yaitu ditemukannya protein pada urine. Pada penderita preeklampsia

ringan kadarnya secara kuantitatif yaitu 300 mg perliter dalam 24 jam atau

secara kualitatif +1 sampai +2 pada urine kateter atau midstream. Sementara pada

preeklampsia berat kadanya mencapai 500 mg perliter dalam 24 jam atau secara

kualitatif +3.

Pada pemeriksaan darah, hemoglobin dan hematokrit akan meningkat akibat

hemokonsentrasi. Trombositopenia juga biasanya terjadi. Penurunan produksi

120
benang fibrin dan faktor koagulasi bisa terdeksi. Asam urat biasanya meningkat

diatas 6 mg/dl. Kreatinin serum biasanya normal tetapi bisa meningkat pada

preeklampsia berat. Alkalin fosfatase meningkat hingga 2-3 kali lipat. Laktat

dehidrogenase bisa sedikit meningkat dikarenakan hemolisis. Glukosa darah dan

elektrolit pada pasien preeklampsia biasanya dalam batas normal,

H. Penatalaksanaan

Tujuan utama penanganan preeklampsia adalah mencegah terjadinya

preeklampsia berat atau eklampsia, melahirkan janin hidup dan melahirkan janin

dengan trauma sekecil-kecilnya, mencegah perdarahan intrakranial serta

mencegah gangguan fungsi organ vital.

1.Preeklampsia Ringan

Istirahat di tempat tidur merupakan terapi utama dalam penanganan

preeklampsia ringan. Istirahat dengan berbaring pada sisi tubuh menyebabkan

aliran darah ke plasenta dan aliran darah ke ginjal meningkat, tekanan vena

pada ekstrimitas bawah juga menurun dan reabsorpsi cairan di daerah tersebut

juga bertambah. Selain itu dengan istirahat di tempat tidur mengurangi

kebutuhan volume darah yang beredar dan juga dapat menurunkan tekanan

darah dan kejadian edema. Penambahan aliran darah ke ginjal akan

meningkatkan filtrasi glomeruli dan meningkatkan dieresis. Diuresis dengan

sendirinya meningkatkan ekskresi natrium, menurunkan reaktivitas

kardiovaskuler, sehingga mengurangi vasospasme. Peningkatan curah jantung

akan meningkatkan pula aliran darah rahim, menambah oksigenasi plasenta,

dan memperbaiki kondisi janin dalam rahim.

Pada preeklampsia tidak perlu dilakukan restriksi garam sepanjang fungsi

121
ginjal masih normal. Pada preeklampsia ibu hamil umumnya masih muda,

berarti fungsi ginjal masih bagus, sehingga tidak perlu restriksi garam. Diet

yang mengandung 2 gram natrium atau 4-6 gram NaCl (garam dapur) adalah

cukup. Kehamilan sendiri lebih banyak membuang garam lewat ginjal, tetapi

pertumbuhan janin justru membutuhkan komsumsi lebih banyak garam. Bila

komsumsi garam hendak dibatasi, hendaknya diimbangi dengan komsumsi

cairan yang banyak, berupa susu atau air buah. Diet diberikan cukup protein,

rendah karbohidrat, lemak, garam secukupnya dan roboransia prenatal. Tidak

diberikan obat-obat diuretik antihipertensi, dan sedative. Dilakukan

pemeriksaan laboratorium HB, hematokrit, fungsi hati, urin lengkap dan fungsi

ginjal.Apabila preeklampsia tersebut tidak membaik dengan penanganan

konservatif, maka dalam hal ini pengakhiran kehamilan dilakukan walaupun

janin masih prematur.

Rawat inap

Keadaan dimana ibu hamil dengan preeklampsia ringan perlu dirawat di

rumah sakit ialah a) Bila tidak ada perbaikan : tekanan darah, kadar proteinuria

selama 2 minggu b) adanya satu atau lebih gejala dan tanda-tanda preeklampsia

berat. Selama di rumah sakit dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

laboratorik. Pemeriksaan kesejahteraan janin berupa pemeriksaan USG dan

Doppler khususnya untuk evaluasi pertumbuhan janin dan jumlah cairan

amnion. Pemeriksaan nonstress test dilakukan 2 kali seminggu dan konsultasi

dengan bagian mata, jantung dan lain lain.

Perawatan obstetrik yaitu sikap terhadap kehamilannya

Menurut Williams, kehamilan preterm ialah kehamilan antara 22 minggu

122
sampai 37 minggu. Pada kehamilan preterm (<37 minggu) bila tekanan darah

mencapai normal, selama perawatan, persalinannya ditunggu sampai aterm.

Sementara itu, pada kehamilan aterm (>37 minggu), persalinan ditunggu

sampai terjadi onset persalinan atau dipertimbangkan untuk melakukan induksi

persalinan pada taksiran tanggal persalinan. Persalinan dapat dilakukan secara

spontan, bila perlu memperpendek kala II.

2.Preeklampsia Berat

Pada pasien preeklampsia berat segera harus diberi sedativa yang kuat

untuk mencegah timbulnya kejang. Apabila sesudah 12-24 jam bahaya akut

sudah diatasi, tindakan selanjutnya adalah cara terbaik untuk menghentikan

kehamilan.

Preeklampsia dapat menyebabkan kelahiran awal atau komplikasi pada

neonatus berupa prematuritas. Resiko fetus diakibatkan oleh insufisiensi

plasenta baik akut maupun kronis. Pada kasus berat dapat ditemui fetal distress

baik pada saat kelahiran maupun sesudah kelahiran.

Pengelolaan preeklampsia dan eklampsia mencakup pencegahan kejang,

pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan supportif terhadap

penyulit organ yang terlibat, dan saat yang tepat untuk persalinan. Pemeriksaan

sangat teliti diikuti dengan observasi harian tentang tanda tanda klinik berupa :

nyeri kepala, gangguan visus, nyeri epigastrium dan kenaikan cepat berat

badan. Selain itu perlu dilakukan penimbangan berat badan, pengukuran

proteinuria, pengukuran tekanan darah, pemeriksaan laboratorium, dan

pemeriksaan USG dan NST.

Perawatan preeklampsia berat sama halnya dengan perawatan

123
preeklampsia ringan, dibagi menjadi dua unsur yakni sikap terhadap

penyakitnya, yaitu pemberian obat-obat atau terapi medisinalis dan sikap

terhadap kehamilannya ialah manajemen agresif, kehamilan diakhiri

(terminasi) setiap saat bila keadaan hemodinamika sudah stabil.

Medikamentosa

Penderita preeklampsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk

rawat inap dan dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi (kiri). Perawatan

yang penting pada preeklampsia berat ialah pengelolaan cairan karena

penderita preeklampsia dan eklampsia mempunyai resiko tinggi untuk

terjadinya edema paru dan oligouria. Sebab terjadinya kedua keadaan tersebut

belum jelas, tetapi faktor yang sangat menentukan terjadinya edema paru dan

oligouria ialah hipovolemia, vasospasme, kerusakan sel endotel, penurunan

gradient tekanan onkotik koloid/pulmonary capillary wedge pressure. Oleh

karena itu monitoring input cairan (melalui oral ataupun infuse) dan output

cairan (melalui urin) menjadi sangat penting. Artinya harus dilakukan

pengukuran secara tepat berapa jumlah cairan yang dimasukkan dan

dikeluarkan melalui urin. Bila terjadi tanda tanda edema paru, segera dilakukan

tindakan koreksi. Cairan yang diberikan dapat berupa a) 5% ringer dextrose

atau cairan garam faal jumlah tetesan:<125cc/jam atau b) infuse dekstrose 5%

yang tiap 1 liternya diselingi dengan infuse ringer laktat (60-125 cc/jam) 500

cc.

Di pasang foley kateter untuk mengukur pengeluaran urin. Oligouria

terjadi bila produksi urin < 30 cc/jam dalam 2-3 jam atau < 500 cc/24 jam.

Diberikan antasida untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak

124
kejang, dapat menghindari resiko aspirasi asam lambung yang sangat asam.

Diet yang cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam.

Pemberian obat antikejang

MgSO4

Pemberian magnesium sulfat sebagai antikejang lebih efektif dibanding

fenitoin, berdasar Cochrane review terhadap enam uji klinik yang melibatkan

897 penderita eklampsia.

Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada

rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular.

Transmisi neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian

magnesium sulfat, magnesium akan menggeser kalsium, sehingga aliran

rangsangan tidak terjadi (terjadi kompetitif inhibition antara ion kalsium dan

ion magnesium). Kadar kalsium yang tinggi dalam darah dapat menghambat

kerja magnesium sulfat. Magnesium sulfat sampai saat ini tetap menjadi pilihan

pertama untuk antikejang pada preeklampsia atau eklampsia.

Cara pemberian MgSO4

- Loading dose : initial dose 4 gram MgSO4: intravena, (40 % dalam 10 cc) selama

15 menit

- Maintenance dose : Diberikan infuse 6 gram dalam larutan ringer/6 jam; atau

diberikan 4 atau 5 gram i.m. Selanjutnya maintenance dose diberikan 4 gram im

tiap 4-6 jam

Syarat-syarat pemberian MgSO4

- Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi yaitu kalsium glukonas

10% = 1 gram (10% dalam 10 cc) diberikan iv 3 menit

125
- Refleks patella (+) kuat

- Frekuensi pernafasan > 16x/menit, tidak ada tanda tanda distress nafas

Dosis terapeutik dan toksis MgSO4

- Dosis terapeutik : 4-7 mEq/liter atau 4,8-8,4 mg/dl

- Hilangnya reflex tendon 10 mEq/liter atau 12 mg/dl

- Terhentinya pernafasan 15 mEq/liter atau 18 mg/dl

- Terhentinya jantung >30 mEq/liter atau > 36 mg/dl

Magnesium sulfat dihentikan bila ada tanda tanda intoksikasi atau setelah

24 jam pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir. Pemberian

magnesium sulfat dapat menurunkan resiko kematian ibu dan didapatkan 50 %

dari pemberiannya menimbulkan efek flushes (rasa panas)

Contoh obat-obat lain yang dipakai untuk antikejang yaitu diazepam atau

fenitoin (difenilhidantoin), thiopental sodium dan sodium amobarbital. Fenitoin

sodium mempunyai khasiat stabilisasi membrane neuron, cepat masuk jaringan

otak dan efek antikejang terjadi 3 menit setelah injeksi intravena. Fenitoin

sodium diberikan dalam dosis 15 mg/kg berat badan dengan pemberian

intravena 50 mg/menit. Hasilnya tidak lebih baik dari magnesium sulfat.

Pengalaman pemakaian fenitoin di beberapa senter di dunia masih sedikit.

Diuretikum

Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paruparu,

payah jantung kongestif atau anasarka. Diuretikum yang dipakai ialah

furosemida. Pemberian diuretikum dapat merugikan, yaitu memperberat

hipovolemia, memperburuk perfusi uteroplasenta, meningkatkan

hemokonsentrasi, memnimbulkan dehidrasi pada janin, dan menurunkan berat

126
janin.

Antihipertensi

Masih banyak pendapat dari beberapa negara tentang penentuan batas

(cut off) tekanan darah, untuk pemberian antihipertensi. Misalnya Belfort

mengusulkan cut off yang dipakai adalah 160/110 mmhg dan MAP 126

mmHg.

Di RSU Dr. Soetomo Surabaya batas tekanan darah pemberian

antihipertensi ialah apabila tekanan sistolik 180 mmHg dan/atau tekanan

diastolik 110 mmHg. Tekanan darah diturunkan secara bertahap, yaitu

penurunan awal 25% dari tekanan sistolik dan tekanan darah diturunkan

mencapai < 160/105 atau MAP < 125. Jenis antihipertensi yang diberikan

sangat bervariasi. Obat antihipertensi yang harus dihindari secara mutlak yakni

pemberian diazokside, ketanserin dan nimodipin.

Jenis obat antihipertensi yang diberikan di Amerika adalah hidralazin

(apresoline) injeksi (di Indonesia tidak ada), suatu vasodilator langsung pada

arteriole yang menimbulkan reflex takikardia, peningkatan cardiac output,

sehingga memperbaiki perfusi uteroplasenta. Obat antihipertensi lain adalah

labetalol injeksi, suatu alfa 1 bocker, non selektif beta bloker. Obat-obat

antihipertensi yang tersedia dalam bentuk suntikan di Indonesia ialah clonidin

(catapres). Satu ampul mengandung 0,15 mg/cc. Klonidin 1 ampul dilarutkan

dalam 10 cc larutan garam faal atau larutan air untuk suntikan.

Antihipertensi lini pertama

- Nifedipin. Dosis 10-20 mg/oral, diulangi setelah 30 menit, maksimum 120 mg

dalam 24 jam

127
Antihipertensi lini kedua

- Sodium nitroprussida : 0,25g iv/kg/menit, infuse ditingkatkan 0,25g iv/kg/5

menit.

- Diazokside : 30-60 mg iv/5 menit; atau iv infuse 10 mg/menit/dititrasi.

Kortikosteroid

Pada preeklampsia berat dapat terjadi edema paru akibat kardiogenik

(payah jantung ventrikel kiri akibat peningkatan afterload) atau non

kardiogenik (akibat kerusakan sel endotel pembuluh darah paru). Prognosis

preeclampsia berat menjadi buruk bila edema paru disertai oligouria.

Pemberian glukokortikoid untuk pematangan paru janin tidak merugikan

ibu. Diberikan pada kehamilan 32-34 minggu, 2x 24 jam. Obat ini juga

diberikan pada sindrom HELLP.

Sikap terhadap kehamilannya

Berdasar William obstetrics, ditinjau dari umur kehamilan dan

perkembangan gejala-gejala preeclampsia berat selama perawatan, maka sikap

terhadap kehamilannya dibagi menjadi:

1. Aktif : berarti kehamilan segera diakhiri/diterminasi bersamaan dengan pemberian

medikamentosa.

2. Konservatif (ekspektatif): berarti kehamilan tetap dipertahankan bersamaan

dengan pemberian medikamentosa.

Perawatan konservatif

Indikasi perawatan konservatif ialah bila kehamilan preterm 37 minggu

tanpa disertai tanda tanda impending eklampsia dengan keadaan janin baik.

Diberi pengobatan yang sama dengan pengobatan medikamentosa pada

128
pengelolaan secara aktif. Selama perawatan konservatif, sikap terhadap

kehamilannya ialah hanya observasi dan evaluasi sama seperti perawatan aktif,

kehamilan tidak diakhiri. Magnesium sulfat dihentikan bila ibu sudah mencapai

tanda-tanda preeclampsia ringan, selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam.

Bila setelaah 24 jam tidak ada perbaikan keadaan ini dianggap sebagai

kegagalan pengobatan medikamentosa dan harus diterminasi. Penderita boleh

dipulangkan bila penderita kembali ke gejala-gejala atau tanda tanda

preeklampsia ringan.

Perawatan aktif

Indikasi perawatan aktif bila didapatkan satu atau lebih keadaan di bawah

ini, yaitu:

Ibu

1. Umur kehamilan 37 minggu

2. Adanya tanda-tanda/gejala-gejala impending eklampsia

3. Kegagalan terapi pada perawatan konservatif, yaitu: keadaan klinik dan

laboratorik memburuk

4. Diduga terjadi solusio plasenta

5. Timbul onset persalinan, ketuban pecah atau perdarahan

Janin

1. Adanya tanda-tanda fetal distress

2. Adanya tanda-tanda intra uterine growth restriction

3. NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal

4. Terjadinya oligohidramnion

Laboratorium

129
1.Adanya tanda-tanda sindroma HELLP khususnya menurunnya trombosit

dengan cepat

Referensi

1. Pangemanan Wim T. Komplikasi Akut Pada Preeklampsia. Palembang.

Universitas Sriwijaya. 2002

2. Universitas Sumatra Utara. Hubungan Antara Peeklampsia dengan BBLR.

Sumatera Utara. FK USU. 2009

3. Hartuti Agustina, dkk. Referat Preeklampsia. Purwokerto. Universitas Jendral

Sudirman. 2011

4. Simona Gabriella R. Tugas Obstetri dan Ginekologi, Patofisiologi Preeklampsia.

Maluku. Universitas Pattimura. 2009

5. Dharma Rahajuningsih, Noroyono Wibowo dan Hessyani Raranta.

Disfungsi Endotel pada Preeklampsia. Jakarta. Universitas Indonesia. 2005

6. Anonim. Hipertensi Dalam Kehamilan. (Cited at may, 17 2012)(update on

2005). Available From http://www.scribd.com

7. Universitas Sumatra Utara. Peeklampsia. Sumatera Utara. FK USU. 2007

8. Prawirohardjo Sarwono dkk. Ilmu Kebidanan, Hipertensi Dalam Kehamilan.

Jakarta. PT Bina Pustaka. 2012. Hal : 542-50\

9. Kusumawardhani, dkk. Pre Eklampsia Berat Dengan Syndrom Hellp, Intra

Uterine Fetal Death , Presentasi Bokong, Pada Sekundigravida Hamil Preterm

BelumDalam Persalinan. Universitas Negri Surakarta. 2009

130
EKLAMPSIA

A. Definisi

Dahulu, disebut pre eklampsia jika dijumpai trias tanda klinik yaitu :

tekanan darah 140/90 mmHg, proteinuria dan edema. Tapi sekarang edema tidak

lagi dimasukkan dalam kriteria diagnostik, karena edema juga dijumpai pada

kehamilan normal. Pengukuran tekanan darah harus diulang berselang 4 jam,

tekanan darah diastol 90 mmHg digunakan sebagai pedoman.

Eklampsia adalah pre eklampsia yang mengalami komplikasi kejang tonik

klonik yang bersifat umum. Koma yang fatal tanpa disertai kejang pada penderita

pre eklampsia juga disebut eklampsia. Namun kita harus membatasi definisi

diagnosis tersebut pada wanita yang mengalami kejang dan kematian pada kasus

tanpa kejang yang berhubungan dengan pre eklampsia berat. Mattar dan Sibai

(2000) melaporkan komplikasi komplikasi yang terjadi pada kasus persalinan

dengan eklampsia antara tahun 1978 1998 di sebuah rumah sakit di Memphis,

adalah solutio plasentae (10 %), defisit neurologis (7 %), pneumonia aspirasi

(7 %), edema pulmo (5 %), cardiac arrest (4 %), acute renal failure (4 %) dan

kematian maternal (1 %)

B. Etiologi dan Patogenesis

Etiologi dan patogenesis preeklampsia dan eklampsia sampai saat ini

masih belum sepenuhnya difahami, masih banyak ditemukan kontroversi, itulah

sebabnya penyakit ini sering disebut the disease of theories. Pada saat ini

hipotesis utama yang dapat diterima untuk menerangkan terjadinya preeklampsia

adalah : faktor imunologi, genetik, penyakit pembuluh darah dan keadaan dimana

jumlah trophoblast yang berlebihan dan dapat mengakibatkan ketidakmampuan

131
invasi trofoblast terhadap arteri spiralis pada awal trimester satu dan trimester dua.

Hal ini akan menyebabkan arteri spiralis tidak dapat berdilatasi dengan sempurna

dan mengakibatkan turunnya aliran darah di plasenta. Berikutnya akan terjadi

stress oksidasi, peningkatan radikal bebas, disfungsi endotel, agregasi dan

penumpukan trombosit yang dapat terjadi diberbagai organ.

Eklampsia biasanya terjadi akibat oedema otak yang luas, yang terjadi

akibat peningkatan tekanan darah yang mendadak dan tinggi yang

akan menyebabkan kegagalan autoregulasi aliran darah. Secara teoritis terdapat 2

penyebab terjadinya udem serebri fokal yaitu adanya vasospasme dan dilatasi

yang kuat. Teori vasospasme menganggap bahwa overregulasi serebrovaskuler

akibat naiknya tekanan darah menyebabkan vasospasme yang berlebihan yang

menyebabkan iskemia lokal.Akibat iskemia akan menimbulkan gangguan

metabolisme energi pada membrane sel sehingga akan terjadi kegagalan ATP-

dependent Na/K pump yang akan menyebabkan udem sitotoksik Apabila proses

ini terus berlanjut dapat terjadi rupture membrane sel yang menimbuklan lesi

infark yang bersifat irreversible.Teori force dilatation mengungkapkan bahwa

akibat peningkatan tekanan darah yang ekstrem pada eklamsia menimbulkan

kegagalan vasokonstriksi autoregulasi sehingga terjadi vasodilatasi yang

berlebihan dan peningkatan perfusi darah serebral yang menyebabkan rusaknya

barier otak dengan terbukanya tight junction sel-sel endotel pembuluh darah.

Keadaan ini akan menimbulkan terjadinya udem vasogenik.

Udem vasogenik ini mudah meluas keseluruh sistem saraf pusat yang

dapat menimbulkan kejang pada eklamsia.Perluasan udem serebri yang difus

hanya terjadi pada 6% saja, dan 30%-nya dapat berkembang menjadi herniasi

132
transtentorial.Akibat efek penekanan vaskuler akibat perluasan udem vasogenik

ini dapat memperparah kondisi iskemiknya yang menimbulkan infark dan

perdarahan perikapiler sehingga akan memperburuk prognosis. Kondisi ini akan

sangat mempengaruhi pengelolaan pasien dan harus lebih hati-hati dalam

mengontrol tekanan darah.

C. Faktor Predisposisi

Primigravida, kehamilan ganda, diabetes melitus, hipertensi essensial

kronik, mola hidatidosa, hidrops fetalis, bayi besar, obesitas, riwayat pernah

menderita preeklampsia atau eklamsia, riwayat keluarga pernah menderita

preeklampsia atau eklamsia, lebih sering dijumpai pada penderita preeklampsia

dan eklampsia.

D. Manifestasi Klinis

Seluruh kejang eklampsia didahului dengan pre eklampsia. Eklampsia

digolongkan menjadi kasus antepartum, intrapartum atau postpartum tergantung

saat kejadiannya sebelum persalinan, pada saat persalinan atau sesudah persalinan.

Tanpa memandang waktu dari onset kejang, gerakan kejang biasanya dimulai dari

daerah mulut sebagai bentuk kejang di daerah wajah. Beberapa saat kemudian

seluruh tubuh menjadi kaku karena kontraksi otot yang menyeluruh, fase ini dapat

berlangsung 10 sampai 15 detik. Pada saat yang bersamaan rahang akan terbuka

dan tertutup dengan keras, demikian juga hal ini akan terjadi pada kelopak mata,

otot otot wajah yang lain dan akhirnya seluruh otot mengalami kontraksi dan

relaksasi secara bergantian dalam waktu yang cepat. Keadaan ini kadang kadang

begitu hebatnya sehingga dapat mengakibatkan penderita terlempar dari tempat

tidurnya, bila tidak dijaga. Lidah penderita dapat tergigit oleh karena kejang otot

133
otot rahang. Fase ini dapat berlangsung sampai 1 menit, kemudian secara

berangsur kontraksi otot menjadi semakin lemah dan jarang dan pada akhirnya

penderita tidak bergerak.

Setelah kejang diafragma menjadi kaku dan pernafasan berhenti. Selama

beberapa detik penderita sepertinya meninggal karena henti nafas, namun

kemudian penderita bernafas panjang, dalam dan selanjutnya pernafasan kembali

normal. Apabila tidak ditangani dengan baik, kejang pertama ini akan diikuti

dengan kejang kejang berikutnya yang bervariasi dari kejang yang ringan

sampai kejang yang berkelanjutan yang disebut status epileptikus.

Setelah kejang berhenti penderita mengalami koma selama beberapa saat.

Lamanya koma setelah kejang eklampsia bervariasi. Apabila kejang yang terjadi

jarang, penderita biasanya segera pulih kesadarannya segera setelah kejang.

Namun pada kasus kasus yang berat, keadaan koma berlangsung lama, bahkan

penderita dapat mengalami kematian tanpa sempat pulih kesadarannya. Pada

kasus yang jarang, kejang yang terjadi hanya sekali namun dapat diikuti dengan

koma yang lama bahkan kematian.

Frekuensi pernafasan biasanya meningkat setelah kejang eklampsia dan

dapat mencapai 50 kali/menit. Hal ini dapat menyebabkan hiperkarbia sampai

asidosis laktat, tergantung derajat hipoksianya. Pada kasus yang berat dapat

ditemukan sianosis. Demam tinggi merupakan keadaan yang jarang terjadi,

apabila hal tersebut terjadi maka penyebabnya adalah perdarahan pada susunan

saraf pusat.

E. Penatalaksanaan

Pritchard (1955) memulai standardisasi rejimen terapi eklampsia di

134
Parkland Hospital dan rejimen ini sampai sekarang masih digunakan. Pada tahun

1984 Pritchard dkk melaporkan hasil penelitiannya dengan rejimen terapi

eklampsia pada 245 kasus eklampsia. Prinsip prinsip dasar pengelolaan

eklampsia adalah sebagai berikut :

1. Terapi suportif untuk stabilisasi pada penderita

2. Selalu diingat mengatasi masalah masalah Airway, Breathing, Circulation

3. Kontrol kejang dengan pemberian loading dose MgSO4 intravena,

selanjutnya dapat diikuti dengan pemberian MgSO4 per infus atau MgSO4

intramuskuler secara loading dose didikuti MgSO4 intramuskuler secara

periodik.

4. Pemberian obat antihipertensi secara intermiten intra vena atau oral untuk

menurunkan tekanan darah, saat tekanan darah diastolik dianggap

berbahaya. Batasan yang digunakan para ahli berbeda beda, ada yang

mengatakan 100 mmHg, 105 mmHg dan beberapa ahli mengatakan 110

mmHg.

5. Koreksi hipoksemia dan asidosis

6. Hindari penggunaan diuretik dan batasi pemberian cairan intra vena

kecuali pada kasus kehilangan cairan yang berat seperti muntah ataupun

diare yang berlebihan. Hindari penggunaan cairan hiperosmotik.

7. Terminasi kehamilan

Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI telah membuat pedoman pengelolaan

eklampsia yang terdapat dalam Pedoman Pengelolaan Hipertensi Dalam

Kehamilan di Indonesia, berikut ini kami kutipkan pedoman tersebut.

Pengobatan Medisinal

135
1. MgSO4 :

Initial dose :

- Loading dose : 4 gr MgSO4 20% IV (4-5 menit)

Bila kejang berulang diberikan MgSO4 20 % 2 gr IV, diberikan

sekurang - kurangnya 20 menit setelah pemberian terakhir. Bila setelah

diberikan dosis tambahan masih tetap kejang dapat diberikan Sodium

Amobarbital 3-5 mg/ kg BB IV perlahan-lahan.

- Maintenace dose : MgSO4 1 g / jam intra vena

2. Antihipertensi diberikan jika tekanan darah diastolik> 110 mmHg. Dapat

diberikan nifedipin sublingual 10 mg. Setelah 1 jam, jika tekanan darah

masih tinggi dapat diberikan nifedipin ulangan 5-10 mg sublingual atau oral

dengan interval 1 jam, 2 jam atau 3 jam sesuai kebutuhan. Penurunan

tekanan darah tidak boleh terlalu agresif. Tekanan darah diastolik jangan

kurang dari 90 mmHg, penurunan tekanan darah maksimal 30%.

Penggunaan nifedipine sangat dianjurkan karena harganya murah, mudah

didapat dan mudah pengaturan dosisnya dengan efektifitas yang cukup baik.

3. Infus Ringer Asetat atau Ringer Laktat. Jumlah cairan dalam 24 jam sekitar

2000 ml, berpedoman kepada diuresis, insensible water loss dan CVP .

4. Perawatan pada serangan kejang :

Dirawat di kamar isolasi yang cukup tenang.

Masukkan sudip lidah ( tong spatel ) kedalam mulut penderita.

Kepala direndahkan , lendir diisap dari daerah orofarynx.

Fiksasi badan pada tempat tidur harus aman namun cukup

longgar guna menghindari fraktur.

136
Pemberian oksigen.

Dipasang kateter menetap ( foley kateter ).

5. Perawatan pada penderita koma : Monitoring kesadaran dan dalamnya koma

memakai Glasgow Pittsburg Coma Scale .

Perlu diperhatikan pencegahan dekubitus dan makanan penderita.

Pada koma yang lama ( > 24 jam ), makanan melalui hidung ( NGT

= Naso Gastric Tube : Neus Sonde Voeding ).

6. Diuretikum tidak diberikan kecuali jika ada :

- Edema paru

- Gagal jantung kongestif

- Edema anasarka

7. Kardiotonikum ( cedilanid ) jika ada indikasi.

8. Tidak ada respon terhadap penanganan konservatif pertimbangkan seksio

sesarea.

Catatan:

Syarat pemberian Magnesium Sulfat:

Harus tersedia antidotum Magnesium Sulfat yaitu Kalsium

Glukonas 10%, diberikan iv secara perlahan, apabila terdapat tanda tanda

intoksikasi MgSO4.

Refleks patella (+)

Frekuensi pernafasan > 16 kali / menit.

Produksi urin > 100 cc dalam 4 jam sebelumnya ( 0,5 cc/ kg BB/

jam ). Pemberian Magnesium Sulfat sampai 20 gr tidak perlu mempertimbangkan

diurese

137
Pengobatan Obstetrik :

1. Semua kehamilan dengan eklamsia harus diakhiri tanpa memandang umur

kehamilan dan keadaan janin.

2. Terminasi kehamilan

Sikap dasar : bila sudah stabilisasi ( pemulihan ) hemodinamika dan

metabolisme ibu, yaitu 4-8 jam setelah salah satu atau lebih keadaan dibawah ini :

Setelah pemberian obat anti kejang terakhir.

Setelah kejang terakhir.

Setelah pemberian obat-obat anti hipertensi terakhir.

Penderita mulai sadar ( responsif dan orientasi ).

3. Bila anak hidup dapat dipertimbangkan bedah Cesar.

Perawatan Pasca Persalinan

Bila persalinan terjadi pervaginam, monitoring tanda-tanda vital dilakukan

sebagaimana lazimnya.Pemeriksaan laboratorium dikerjakan setelah 1 x 24 jam

persalinan.Biasanya perbaikan segera terjadi setelah 24 - 48 jam pasca persalinan.

F. Komplikasi

Proteinuria hampir selalu didapatkan, produksi urin berkurang, bahkan

kadang kadang sampai anuria dan pada umumnya terdapat hemoglobinuria.

Setelah persalinan urin output akan meningkat dan ini merupakan tanda awal

perbaikan kondisi penderita. Proteinuria dan edema menghilang dalam waktu

beberapa hari sampai 2 minggu setelah persalinan. Apabila keadaan hipertensi

menetap setelah persalinan maka hal ini merupakan akibat penyakit vaskuler

kronis.

Edema pulmo dapat terjadi setelah kejang eklampsia. Hal ini dapat terjadi

138
karena pneumonia aspirasi dari isi lambung yang masuk ke dalam saluran nafas

yang disebabkan penderita muntah saat kejang. Selain itu dapat pula karena

penderita mengalami dekompensasio kordis, sebagai akibat hipertensi berat dan

pemberian cairan yang berlebihan.

Pada beberapa kasus eklampsia, kematian mendadak dapat terjadi

bersamaan atau beberapa saat setelah kejang sebagai akibat perdarahan otak yang

masiv. Apabila perdarahan otak tersebut tidak fatal maka penderita dapat

mengalami hemiplegia. Perdarahan otak lebih sering didapatkan pada wanita usia

lebih tua dengan riwayat hipertensi kronis. Pada kasus yang jarang perdarahan

otak dapat disebabkan pecahnya aneurisma Berry atau arterio venous

malformation.

Pada kira kira10 % kasus, kejang eklampsia dapat diikuti dengan

kebutaan dengan variasi tingkatannya. Kebutaan jarang terjadi pada pre

eklampsia. Penyebab kebutaan ini adalah terlepasnya perlekatan retina atau

terjadinya iskemia atau edema pada lobus oksipitalis. Prognosis penderita untuk

dapat melihat kembali adalah baik dan biasanya pengelihatan akan pulih dalam

waktu 1 minggu.

Pada kira- kira 5 % kasus kejang eklampsia terjadi penurunan kesadaran

yang berat bahkan koma yang menetap setelah kejang. Hal ini sebagai akibat

edema serebri yang luas. Sedangkan kematian pada kasus eklampsia dapat pula

terjadi akibat herniasi uncus trans tentorial.

Pada kasus yang jarang kejang eklampsia dapat diikuti dengan psikosis,

penderita berubah menjadi agresif. Hal ini biasanya berlangsung beberapa hari

sampai sampai 2 minggu namun prognosis penderita untuk kembali normal baik

139
asalkan tidak terdapat kelainan psikosis sebelumnya. Pemberian obat obat

antipsikosis dengan dosis yang tepat dan diturunkan secara bertahap terbukti

efektif dalam mengatasi masalah ini.

G. Prognosis

Eklampsia selalu menjadi masalah yang serius, bahkan merupakan salah

satu keadaan paling berbahaya dalam kehamilan. Statistik menunjukkan di

Amerika Serikat kematian akibat eklampsia mempunyai kecenderungan menurun

dalam 40 tahun terakhir, dengan persentase 10 % - 15 %. Antara tahun 1991

1997 kira kira 6% dari seluruh kematian ibu di Amerika Serikat adalah akibat

eklampsia, jumlahnya mencapai 207 kematian. Kenyataan ini mengindikasikan

bahwa eklampsia dan pre eklamsia berat harus selalu dianggap sebagai keadaan

yang mengancam jiwa ibu hamil.

Referensi

1. Cuningham FG, Mac Donald PC, Gant NF, et al. Hypertensive Disorders

in Pregnancy. In : William Obstetrics. 22th ed. Conecticut : Appleton and

Lange, 2007 : 443 452.

2. Dekker GA, Sibai BM. Ethiology and Pathogenesis of Preeclampsia :

Current Concept. AmJ Obstet Gynecol 1998 ; 179 : 1359 75.

3. Lockwood CJ dan Paidas MJ. Preeclampsia and Hypertensive Disorders In

Wayne R. Cohen

4. Complications of Pregnancy. 5th ed. Philadelphia : Lippicott Williams dan

Wilkins, 2006 : 207 -26.

5. Sibai BM. Hypertension in pregnancy. In : Obstetrics normal and problem

140
pregnancies. 5th edition, Churchill Livingstone USA, 2007 : 573-96.

6. Report of the National High Blood Pressure Education Program Working

Group on High Blood Pressure in Pregnancy. AmJ. Obstet Gynecol, 2008 ;

183 : S1 S22.

7. Angsar MD dkk. Pedoman Pengelolaan Hipertensi Dalam Kehamilan Di

Indonesia. Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI

141
JANIN TUMBUH LAMBAT

1. Definisi

IUGR (intrauterine growth retardation), yaitu gangguan

pertumbuhan pada janin dan bayi baru lahir yang meliputi semua parameter

(lingkar kepala, berat badan, panjang badan). Bayi yang beratnya dibawah 10

persentil untuk usia gestasionalnya. Bayi-bayi antara persentil 10 dan 90

diklasifikasikan sebagai kelompok dengan berat sesuai usia gestasional.

2. Faktor Resiko

Ada beberapa penyebab dari terjadinya IUGR. Beberapa bayi lahir

kecil karena adanya faktor genetik, tetapi kebanyakan bayi dengan IUGR

desebabkan oleh beberapa hal:

Tingginya tekanan darah ibu (Eklampsi, Preeklampsi)

Diabetes

Penyakit ginjal pada ibu

Infeksi

142
Malnutrisi atau gangguan pola makan

Anemia

Rokok,obat,alkohol

Kelainan plasenta dan tali pusat

Multiple gestation

Malformasi janin.

3. Klasifikasi.

Retardasi pertumbuhan janin dibagi menjadi 2 tipe klinis: tipe I atau

tipe simetris dan tipe II atau tipe asimetris. Kedua tipe ini kemungkinan

terjadi akibat perbedaan saat mula timbul dan lama kejadian yang

menyebabkan pertumbuhan tersebut mengalami retardasi. Winick (1971)

mengemukakan tiga fase pertumbuhan seluler dalam plasenta dan janin. Fase

pertama terdiri dari peningkatan jumlah sel (hiperplasi), fase kedua adalah

peningkatan jumlah dan ukuran sel (hiperplasia dan hipertrofi) dan fase ketiga

hipertofi lebih lanjut.

Tipe I (simetris)

Retardasi pertumbhan yag simetris, kemungkinan terjadi akibat

cedera toksik yang sangat dini, yaitu pada saat pertumbuhan janin terutama

berasal dari hipoplasia. Karakteristik dari tipe simetris ini adanya

pertumbuhan kepala, badan dan ekstremitas yang tidak adekuat, dan biasanya

terjadi pada 25% kasus IUGR. Paling sering disebabkan kelainan struktur dan

kromosom atau infeksi kongenital dini seperti Rubella.

Tipe II (Asimetris)

143
Retardasi pertumbuhan yang asimetris, atau tipe II,paling sering

terjadi akibat efek yang merugikan pada fase hipertrofi seluler yaitu fase yang

terdapat kemudian dalam kehamilan. Jadi, mayoritas janin dengan retardasi

pertumbuhan yang asimetris akan mempunyai jumlah sel yang sesuai tetapi

berukuran lebih kecil dari normalnya. Cedera janin pada saat ini diperkirakan

akan menimbulkan kerusakan yang sama beratnya seperti gangguan yang

terjadi dini pada kehamilan, dan keadaan ini benar-benar terlihat secara klinis.

Penyebab retardasi pertumbuhan yang asimetris tidak dapat

dijelaskan hanya dengan penguragan ukuran sel; keadaan ini kemungkinan

pula merupakan penyebab dari penyelamatan sel-sel tertentu, misalnya sel-sel

pada sistem saraf pusat. Proses patologis yang paling sering mengakibatkan

retardasi pertumbuhan asimetris adalah penyakit maternal yang bersifat

ekstrinsikbagi janin. Penyakit-penyakit ini dapat mengubah ukuran janin

dengan mengurangi airan darah uteroplasenta sebagaimana pada penyakit

hipertensi, atau dengan membatasi pengangkutan oksigen serta nutrien

sebagaimana mungkin terjadi pada pemyakit sel sabit, atau dengan

berkurangnya ukuran plasenta pada keadaan infark. Kombinasi semua

kejadian tersebu dapat terlihat pada janin kembar ketika suplai darah dan

ukuran plasenta kedua-duanya berkurang setelah kehamilan mencapai stadium

lanjut akibat penggunaan bersama.

Semua perubahan dalam aliran darah uteroplasenta danpengangkutan

oksigen serta nutrien berlangsung dalam suatu periode yang panjang, yang

memungkinkan janin untuk beradaptasi dengan mengarahkan kembali aliran

darahnya ke dalam otak untuk mengurangi aliran darah ke organ-organ

144
visceral seperti hati serta ginjal. Mekanisme kompensatorik ini dapat

menghasilkan pertumbuhan kepala yang normal atau penyelamatan otak;

tetapi, hati dan organ-organ viseral lainnya termasuk intestinum, suplai

darahnya berkurang sehingga tedapat hati dan lingkaran abdomen yang lebih

kecil akibat bekurangnya simpanan glikogen dalam hati. Berkurangnya

alirandarah intestinal juga dapat menjadi faktor yang turut menyebabkan

terjadinya enterokolitis nekrotikan.

Tipe intermediate (Kombinasi simetrik dan asimetrik)

Tipe retardasi pertumbuhan kombinasi sering merupakan akibat dari

kombinasi efek maternal dan fetal di samping saat mula timbul dan lama

cedera.

a. Obat-obatan teratogenik

145
Contoh: tembakau, narkotika yang akan menurunkan masukan makanan

ibu dan jumlah sel janin, alcohol, antikonvulsan

b. Malnutrisi berat

4. Gejala klinik

Gejala klinik yang spesifik tidak ada. Biasanya IUGR diketahui

setelah diadakan pemeriksaan. Pada IUGR simetris terdapat pertumbuhan

kepala dan tubuh yang tidak cukup, rasio lingkar kepala dan lingkar perut

mungkin normal tapi laju pertumbuhan mutlak menurun.

Pada IUGR asimetris biasanya terjadi di akhir kehamilan. Otak akan

terhindar, sehingga ukuran kepala lebih besar daripada ukuran perut. Baik

IUGR simetris maupun asimetris mengakibatkan janin kecil untuk masa

kehamilan, biasanya plasenta kecil dan jumlah cairan amnion berkurang.

5. Diagnosa

Salah satu dari pemeriksaan yang paling efektif dalam mendiagnosis

IUGR adalah evaluasi sonografik pada parameter janin.

Penilaian sonografik yang lebih menyeluruh harus dilakukan bila:

a. tinggi fundus uteri berkurang lebih dari 2 cm dibanding umur gestasi yang

sudah ditegakkan dengan baik

b. ibu menghadapi keadaan yang beresiko tinggi seperti hipertensi kronis,

penyakit ginjal kronis, diabetes, preeklamsia/eklamsia, infeksi, kebiasaan

merokok atau minum minuman beralkohol, dan adanya kelainan

autoimmune.

Dan penilaian sonografik dilakukan terutama melalui serangkaian

penetapan enam parameter berikut :

146
a. diameter biparietal janin (DBP)

b. lingkar kepala

c. lingkar perut

d. rasio kepala terhadap tubuh

e. panjang femur

f. perhitungan berat janin

Pemeriksaan Klinis

1. Berat badan/tinggi badan ibu

2. Tekanan darah

3. Denyut nadi

4. Pemeriksaan sistemik

5. IPPA

6. Pengukuran tinggi fundus uteri dibanding estimasi umur janin

Pemeriksaan Laboratorium

1. Pemeriksaan gula darah bila ada indikasi diabetes mellitus

2. Screening penyakit infeksi waspada infeksi TORCH, Syphilis

3. Pengukuran kadar enzim transaminase waspada Hepatitis B dan

Pemeriksaan Penunjang

1. USG, untuk mengetahui:

- Perbandingan perkembangan kepala dengan abdomen

- Perbandingan biparietal

147
2. Doppler untuk DJJ

6. Diagnosis banding

Janin kecil pada ibu yang ukuran tubuhnya kecil pula. Wanita yang

tubuhnya kecil secara khas akan memiliki bayi yang berukuran kecil pula. Jika

wanita itu memulai kehamilannya dengan berat badan kurang dari 100 pound.

Resiko melahirkan bayi yang kecil menurut usia gestasionalnya akan meningkat

paling tidak dengan sebanyak dua kali lipat (Eastman dan Jackson,1986;Simpson

dkk.,1975). Pada wanita yang kecil dengan ukuran panggul yang kecil, kelahiran

bayi yang kecil dengan berat lahir yang secara genetic dibawah berat lahir rata-

rata untuk masyarakat umum, tidak selalu merupakan kejadian yang tidak

dikehendaki.

Penatalaksanaan

Tatalaksana tergantung dari berat ringannya dari keterbelakangan

pertumbuhan dalam rahim(IUGR) dan seberapa cepat masalah ini dimulai pada

kehamilan. Pada umumnya, semakin cepat dan semakin berat dari

keterbelakangan pertumbuhan dalam rahim (IUGR) itu terjadi, maka resiko yang

dihadapi akan semakin besar pada janinnya. Monitoring yang teliti terhadap janin

dengan IUGR dan test yang terus menerus akan sangat dibutuhkan.

Di bawah ini ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui adanya

masalah yang potensial pada IUGR :

Fetal movement counting

o Melihat gerakan dan tendangan dari fetus. Perubahan jumlah atau

frekuensi dapat berarti bahwa fetus sedang berada dalam tekanan.

Nonstress testing (NST) / Uji nonstress

148
o Melihat detik jantung dari fetus yang meningkat saat fetus

melakukan gerakan, yang merupakan gambaran dari kesehatan atau

kesejahteraan dari fetus.

Biophysical profile / Profil biofisik

o Test yang merupakan kombinasi dari The nonstress test dan

Ultrasound, untuk mengevaluasi kesejahteraan atau kesehatan dari

fetus.

Ultrasound

o Sebuah tekhnik diagnostic imaging dimana menggunakan

gelombang suara frekuensi tinggi dan computer untuk membuat

gambaran tentang pembuluh darah, jaringan, dan organ. Ultrasound

digunakan untuk melihat organ dalam sesuai fungsinya, dan untuk

menilai aliran darah melalui berbagai pembuluh darah. Ultrasound

juga digunakan untuk mengikuti dari pertumbuhan fetus.


o Serial ultrasound juga penting dilakukan untuk melihat

progresivitas dan berat atau ringannya dari IUGR.

Doppler flow studies

o Salah satu type dari ultrasound yang menggunakan gelombang

suara untuk menilai rasio sistolik terhadap diastolic arteri

umbilicalis.

Ocytocin Challenge Test (OCT) / Uji tantangan oxytocin

- Pada IUGR yang ringan, pengujian setiap minggu diindikasikan.

- Pada IUGR yang sedang, pengujian dua kali setiap minggu diindikasikan.

149
Kalau NST reaktif atau OCT negative dan volume cairan amnion

memadai, kehamilan harus dibiarkan berlanjut, karena tidak ada data untuk

menyokong kelahiran dini dari bayi ini dengan tidak adanya bukti gawat

janin. Rangkaian penilaian ultrasonic untuk pertumbuhan janin harus

dilakukan tiga kali seminggu.

Kalau NST menjadi nonreaktif disertai dengan OCT yang positif dan

terdapat paru-paru janin yang matang, penghentian kehamilan diperlukan.

7. Pengobatan

Sebelum Kehamilan :

Yang paling penting adalah memperkirakan resiko yang dapat terjadi

sebelum wanita menjadi hamil.

Perbaikan nutrisi dan berhenti merokok adalah dua pendekatan yang

pasti memperbaiki pertumbuhan janin pada wanita yang terlalu kurus atau

yang merokok atau keduanya.

Aspirin dosis rendah (81 mg/hr) pada kehamilan dini dapat

mengurangi kemungkinan berulangnya IUGR pada wanita yang antibody

fosfolipidnya berhubungan dengan kelahiran dari bayi penderita IUGR

sebelumnya.

Antepartum :

Karena tidak memungkinkan untuk meniadakan IUGR, maka ada beberapa

terapi yang dapat membantu untuk memperlambat progresivitas atau

meminimalkan efeknya.

Terapi spesifik untuk IUGR didasarkan pada :

1. Kehamilan, kesehatan secara keseluruhan, dan riwayat pengobatan

150
2. Tingkat dari penyakit

3. Toleransi terhadap pengobatan yang spesifik, prosedur atau terapi

4. Perjalanan penyakit

Yang termasuk dalam terapinya :

1. Nutrisi

Dengan meningkatkan nutrisi dari si ibu, maka akan meningkatkan

berat badan lahir dan pertumbuhan fetus

2. Merokok

Karena merokok mempengaruhi berat lahir pada setengah kehamilan,

maka penghentian merokok dapat mempunyai suatu dampak positif

3. Bed rest

Istirahat di rumah sakit atau di rumah pada posisi lateral kiri dapat

membantu memperbaiki sirkulasi dari fetus dengan meningkatkan

aliran darah rahim dan mempunyai potensi untuk memperbaiki

nutrisi janin yang menghadapi resiko

4. Persalinan

Jika IUGR membahayakan atau mengancam kesehatan dari fetus,

maka mempercepat kelahiran akan dibutuhkan

8. Prevensi

IUGR tetap dapat terjadi walaupun si ibu sedang dalam kondisi

kesehatan yang baik. Bagaimanapun, beberapa factor dapat meningkatkan

resiko dari IUGR, seperti merokok dan nutrisi maternal yang buruk. Dengan

menghindari gaya hidup yang buruk(membahayakan untuk kesehatan),

mengkonsumsi makanan yang sehat, dan mendapatkan pelayanan prenatal

151
dapat membantu menurunkan resiko dari IUGR. Deteksi dini juga dapat

membantu terapi dan hasilnya.

9. Prognosis

Pada IUGR tipeI (simetris) pertumbuhan bayi lambat sesudah kelahiran

Pada IUGR tipe II (asimetris) akan mengejar ketertinggalan pertumbuhan

sesudah kelahiran

Untuk perkembangan kognitif dan neurology akan berjalan lebih baik

daripada perkembangan somatik

Resiko berulangnya IUGR meningkat pada wanita dengan lingkungan

sosioekonomi yang rendah.

152
DAFTAR PUSTAKA

1. Rustam, mochtar. 1998. Sinopsis obstetric; obstetric fisiologi, obstetric

patologi edisi ke 2. Jakarta: EGC.

2. Wikojosastro, Hanifa. 2005. Ilmu Kandungan Edisi ke2 Cetakan ke4.

Jakarta: YBB-SP

3. Cunningham, Gary. 1995. Obstetri Williams edisi ke 18. Jakarta: EGC

4. Anonymous,2007.http://www.medicastore.com/med/detail_pyk.php?

id=&iddtl=398&idktg=19&idobat=&UID=20080222191500125.164.203.

26

153
ANEMIA DEFISIENSI BESI PADA IBU HAMIL

1.1 DEFINISI

Kondisi ibu dengan kadar Hb di bawah 11 gr% pada trimester I dan III atau kadar

Hb <10,5 gr% pada trimester II.

1.2 EPIDEMIOLOGI

Prevalensi ibu hamil yang menderita anemia defisiensi besi sekitar 35-75% serta

semakin meningkat seiring dengan bertambah usia kehamilan. Menurut WHO

40% kematian ibu di Negara berkembang berkaitan dengan anemia pada

kehamilan dan kebanyakan anemia pada kehamilan disebabkan oleh defisiensi

besi dan perdarahan akut.

1.3 ETIOLOGI

- Hipervolemia, menyebabkan terjadinya pengenceran darah

- Pertambahan darah tidak sebanding dengan pertambahan plasma

- Kurangnya zat besi dalam makanan

- Kebutuhan zat besi meningkat

- Gangguan pencernaan dan absorbs.

1.4 PATOFISIOLOGI

Pada kehamilan kebutuhan oksigen lebih tinggi sehingga memicu

peningkatan produksi eritropoietin. Akibatnya volume plasma bertambah dan sel

darah merah meningkat. Namun peningkatan volume plasma terjadi dalam

proporsi yang lebih besar jika dibandingkan dengan peningkatan eritrosit sehingga

terjadi penurunan konsentrasi hemoglobin akibat hemodilusi.

154
Kehilangan zat besi pada kehamilan terjadi akbiat pengalihan besi

maternal ke janin untuk eritopoiesis, kehilangan darah pada saat persalinan dan

laktasi yang jumlah keseluruhannya dapat mencapai 900 mg atau setara dengan 2

liter darah. Oleh karena sebagian besar perempuan mengawali kehamilan dengan

cadangan besi yang rendah, maka kebutuhan tambahan ini berakibat pada anemia

defisiensi besi.

1.5 GEJALA KLINIS

Gejala umum anemia : badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang,

telinga berdenging, nafsu makan menurun, malaise, konsentrasi hilang, keluhan

mual muntah lebih hebat

Pemeriksaan fisik : konjungtiva anemis, lidah luka, jaringan di bawah kuku

tampak pucat, pembesaran kelenjar limpa

Gejala khas : koilonychias, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, disfagia, atrofi

mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia dan pica.

1.6 TATALAKSANA

Lakukan pemeriksaan hapusan darah tepi terlebih dahulu

Bila pemeriksaan hapusan darah tepi tidak tersedia, maka berikan suplementasi

tablet besi dan asam folat (60 mg besi elemental dan 250 g asam folat) diberikan

3x sehari. Bila dalam 90 hari muncul perbaikan, lanjutkan pemberian tablet

sampai 42 hari pasca salin. Apabila setelah 90 hari pemberian tablet besi dan asam

folat kadar Hb tidak meningkat, rujuk pasien.

Bila hasil hapusan darah tepi menunjukkan mikrositik hipokrom : cek kadar

ferritin. Kadar ferritin < 15ng/ml berikan terapi dosis setara 180 mg besi

elemental per hari. Apabila kadar ferritin normal lakukan pemeriksaan SI dan

155
TBC.

DAFTAR PUSTAKA

1. Almatsler, soenita. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka :

jakarta

2. Fatimah, Hadju et al. 2011. Pola konsumsi dan kadar hemoglobin pada ibu

hamildi kabupaten maros Sulawesi selatan. Makalah kesehatan vol. 15 (1):31-36 :

Jakarta

3. Kemenkes RI. 2013. Buku Saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan

dasar dan rujukan. Kementerian kesehatan RI : Jakarta

4. Ojofeitimi EO, Ogunjuyigbe PO, Sanusi, et al. 2008. Poor Dietary Intake of

Energy and Retinol among pregnant women : implications for pregnancy outcome

in southwest Nigeria. Pak. J. Nutr : Nigeria

5. Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. PT Bina pustaka sarwono

prawirohardjo : Jakarta.

6. Regina Tatiana Purba. 2007. Perbandingan efektivitas Terapi besi intravena

dan oral pada anemia defisiensi besi dalam kehamilan. Maj kedktr Indon. Volum :

57 nomor : 4, april 2007. Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia Rumah sakit dr. cipto mangunkusumo : Jakarta

156
157
PERSALINAN PRETERM

Definisi

Diagnosis PPI dibuat jika pasien dengan usia kehamilan kurang dari 37

minggu mengalami kontraksi yang teratur, setidaknya sekali setiap 10 menit, yang

dapat berhubungan dengan dilatasi dan/atau penipisan dari serviks. Pendapat lain

mengatakan PPI adalah persalinan yang berlangsung pada usia kehamilan 20-37

minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir (ACOG 1995). Namun, batas

bawah usia kehamilan yang digunakan untuk membedakan PPI dengan abortus

spontan bervariasi menurut lokasi. Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI di

Semarang tahun 2005 menetapkan bahwa PPI adalah persalinan yang terjadi pada

usia kehamilan 22-37 minggu.

Menurut Wibowo (1997) yang mengutip pendapat Herron,dkk., persalinan

prematur adalah kontraksi uterus yang teratur setelah kehamilan 20 minggu dan

sebelum 37 minggu , dengan interval kontraksi 5 hingga 8 menit atau kurang dan

disertai dengan satu atau lebih tanda berikut:

(1) perubahan serviks yang progresif

(2) dilatasi serviks 2 sentimeter atau lebih

(3) penipisan serviks 80 persen atau lebih.

Firmansyah (2006) mengatakan partus prematur adalah kelahiran bayi pada

saat masa kehamilan kurang dari 259 hari dihitung dari hari terakhir haid ibu.

Menurut Mochtar (1998) partus prematurus yaitu persalinan pada kehamilan 28

sampai 37 minggu, berat badan lahir 1000 sampai 2500 gram.

Partus prematurus adalah persalinan pada umur kehamilan kurang dari 37

158
minggu atau berat badan lahir antara 500 sampai 2499 gram (Sastrawinata,

2003).Menurut Manuaba (1998) partus prematurus adalah persalinan yang terjadi

di bawah umur kehamilan 37 minggu dengan perkiraan berat janin kurang dari

2.500 gram. Menurut WHO, bayi prematur adalah bayi lahir hidup sebelum usia

kehamilan minggu ke 37 (dihitung dari pertama haid terakhir).

Dari beberapa pengertian partus prematurus diatas dapat disimpulkan bahwa

partus prematurus iminen adalah adanya suatu ancaman pada kehamilan dimana

akan timbul persalinan pada umur kehamilan yang belum aterm (28 sampai 37

minggu) atau berat badan lahir kurang dari 2500 gram.

Epidemiologi

Pemicu obstetri yang mengarah pada PPI antara lain: (1) persalinan atas

indikasi ibu ataupun janin, baik dengan pemberian induksi ataupun seksio sesarea;

(2) PPI spontan dengan selaput amnion utuh; dan (3) PPI dengan ketuban pecah

dini, terlepas apakah akhirnya dilahirkan pervaginam atau melalui seksio sesarea.

Sekitar 30-35% dari PPI berdasarkan indikasi, 40-45% PPI terjadi secara spontan

dengan selaput amnion utuh, dan 25-30% PPI yang didahului ketuban pecah dini.

Konstribusi penyebab PPI berbeda berdasarkan kelompok etnis. PPI pada wanita

kulit putih lebih umum merupakan PPI spontan dengan selaput amnion utuh,

sedangkan pada wanita kulit hitam lebih umum didahului ketuban pecah dini

sebelumnya. PPI juga bisa dibagi menurut usia kehamilan: sekitar 5% PPI terjadi

pada usia kehamilan kurang dari 28 minggu (extreme prematurity), sekitar 15%

terjadi pada usia kehamilan 28-31 minggu (severe prematurity), sekitar 20% pada

usia kehamilan 32-33 minggu (moderate prematurity), dan 60-70% pada usia

kehamilan 34-36 minggu (near term). Dari tahun ke tahun, terjadi peningkatan

159
angka kejadian PPI, yang sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya jumlah

kelahiran preterm atas indikasi.

Etiologi

Saat ini, telah diketahui bahwa penyebab PPI multifaktorial dan sesuai

dengan usia kehamilan. Diantaranya ialah:

1. Perdarahan desidua (misalnya abrupsi),

2. Distensi berlebih uterus (misalnya, pada kehamilan multipel atau

polihidramnion),

3. Inkompetensi serviks (misalnya, trauma dan cone biopsy),

4. Distorsi uterus (misalnya, kelainan duktus Mullerian atau fibroid uterus),

5. Radang leher rahim (misalnya, akibat vaginosis bakterialis atau

trikomonas),

6. Demam/inflamasi maternal (misalnya akibat infeksi asenden dari traktus

genitourinaria atau infeksi sistemik),

7. Perubahan hormonal, yaitu aktivasi aksis kelenjar hipotalamus-hipofisis-

adrenal, baik pada ibu maupun janin (misalnya, karena stres pada ibu atau

janin), dan

8. Insufisiensi uteroplasenta (misalnya, hipertensi, diabetes tipe I,

penyalahgunaan obat, merokok, atau konsumsi alkohol).

Tabel 2.1 Etiologi dan alur PPI yang diakui secara umum

160
Faktor Risiko

Meskipun patofisiologi PPI kurang dapat dipahami, namun terdapat banyak

faktor risiko yang diketahui berperan pada PPI, dan pengetahuan terhadap adanya

faktor risiko ini penting dalam menilai kemungkinan terjadinya PPI. Namun

sayangnya upaya untuk menilai faktor risiko tersebut tidaklah mudah, karena

lebih dari setengah dari PPI terjadi pada wanita yang tidak memiliki faktor risiko

yang jelas.

Berikut beberapa faktor risiko terjadinya PPI:

Faktor risiko mayor

1. Kehamilan multipel

2. Polihidramnion

3. Anomali uterus

4. Dilatasi serviks > 2 cm pada kehamilan 32 minggu

5. Riwayat abortus 2 kali atau lebih pada trimester kedua

6. Riwayat PPI sebelumnya

7. Riwayat menjalani prosedur operasi pada serviks (cone biopsy, loop

electrosurgical excision procedure)

8. Penggunaan cocaine atau amphetamine

9. Serviks mendatar/memendek kurang dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu

10. Operasi besar pada abdomen setelah trimester pertama.

Faktor risiko minor

1. Perdarahan pervaginam setelah kehamilan 12 minggu

2. Riwayat pielonefritis

3. Merokok lebih dari 10 batang perhari

161
4. Riwayat abortus satu kali pada trimester kedua

5. Riwayat abortus > 2 kali pada trimester pertama.

Pasien tergolong risiko tinggi bila dijumpai satu atau lebih faktor risiko mayor;

atau dua atau lebih faktor risiko minor; atau keduanya.

Sedangkan menurut Manuaba (1998), faktor predisposisi partus prematurus

adalah sebagai berikut:

a. Faktor ibu

Gizi saat hamil kurang, umur kurang dari 20 tahun atau diatas 35 tahun, jarak

hamil dan bersalin terlalu dekat, penyakit menahun ibu seperti; hipertensi,

jantung, ganguan pembuluh darah (perokok), faktor pekerjaan yang terlalu

berat.

b. Faktor kehamilan

Hamil dengan hidramnion, hamil ganda, perdarahan antepartum, komplikasi

hamil seperti pre eklampsi dan eklampsi, ketuban pecah dini.

c. Faktor janin

Cacat bawaan, infeksi dalam rahim

Disamping faktor risiko di atas, faktor risiko lain yang perlu diperhatikan

adalah tingkat sosio-biologi (seperti usia ibu, jumlah anak, obesitas, status

sosioekonomi yang rendah, ras, stres lingkungan) dan komplikasi kehamilan

lainnya (seperti infeksi maternal, preeklamsia-eklamsia, plasenta previa,

kehamilan yang diperoleh melalui bantuan medikasi, terlambat atau tidak

melakukan asuhan antenatal). Merupakan langkah penting dalam pencegahan PPI

adalah bagaimana mengidentifikasi faktor risiko dan kemudian memberikan

asuhan prenatal serta penyuluhan agar ibu dapat mengurangi risiko tambahan.

162
Patogenesis

Penyebab PPI multifaktorial dan dapat saling berinteraksi satu sama lain.

Berikut beberapa alur yang umum terjadi pada PPI:

Aktivasi aksis hypothalamicpituitaryadrenal (HPA) janin atau ibu: stres

Stres yang didefinisikan sebagai tantangan baik psikologis atau fisik, yang

mengancam atau yang dianggap mengancam homeostasis pasien, akan

mengakibatkan akitivasi prematur hypothalamicpituitaryadrenal (HPA) janin

atau ibu. Stres semakin diakui sebagai faktor risiko penting untuk PPI. Beberapa

penelitian telah menemukan 50% hingga 100% kenaikan angka kelahiran preterm

berhubungan dengan stres pada ibu, dan biasanya merupakan gabungan dari

berbagai peristiwa kehidupan, kecemasan, atau depresi. Neuroendokrin, kekebalan

tubuh, dan proses perilaku (seperti depresi) telah dikaitkan dengan PPI terkait

stres. Namun, proses yang paling penting, yang menghubungkan stres dan

163
kelahiran preterm ialah neuroendokrin, yang menyebabkan aktivasi prematur aksis

HPA. Proses ini dimediasi oleh corticotrophin-releasing hormone (CRH) plasenta.

Penelitian in vitro pada sel plasenta manusia menunjukan CRH dilepaskan dari

kultur sel plasenta manusia dalam dosis yang sesuai responnya terhadap semua

efektor biologi utama stres, termasuk kortisol, katekolamin, oksitosin, angiotensin

II, dan interleukin-1 (IL-1). Dalam penelitian in vivo juga ditemukan hubungan

yang signifikan antara stres psikososial ibu dan kadar CRH, ACTH, dan kortisol

plasma ibu. Beberapa penelitian menghubungkan kadar awal CRH plasma ibu

dengan waktu persalinan. Hobel dkk. melakukan penilaian kadar CRH serial

selama kehamilan dan menemukan bahwa dibandingkan dengan wanita yang

melahirkan aterm, wanita yang melahirkan preterm memiliki kadar CRH yang

meningkat secara signifikan, dengan mempercepat peningkatan kadar CRH

selama kehamilan. Selain itu, mereka menemukan bahwa tingkat stres psikososial

ibu pada pertengahan kehamilan secara

164
Gambar 2.2 Alur yang umum terjadi pada PPI

signifikan dapat memprediksi besarnya peningkatan CRH ibu di antara

pertengahan kehamilan dan setelahnya.

Data ini menunjukan bahwa hubungan antara stres psikologis ibu dan

prematuritas dimediasi oleh peningkatan prematur dari ekspresi CRH plasenta.

Pada persalinan term, aktivasi CRH plasenta sebagian besar didorong oleh aksis

HPA janin dalam suatu feedback positif pada pematangan janin. Pada PPI, aksis

HPA ibu dapat mendorong ekspresi CRH plasenta. Stres pada ibu, tanpa adanya

penyebab PPI lainnya, seperti infeksi akan menyebabkan peningkatan efektor

biologi dari stres termasuk kortisol dan epinefrin, yang mengaktifkan ekspresi

165
CRH plasenta. CRH plasenta, pada gilirannya, dapat menstimulasi janin untuk

mensekresi kortisol dan dehydroepiandrosteronesynthase(DHEA-S) (melalui

aktivasi aksis HPA janin) dan menstimulasi plasenta untuk mensintesis estriol dan

prostaglandin, sehingga mempercepat PPI.

Stres dapat berkonstribusi pada peningkatan angka kejadian PPI di antara

orang Afrika-Amerika di Amerika serikat. Asfiksia dapat mewakili hasil akhir

yang umum pada berbagai alur yang meliputi stres, perdarahan, preeklampsia, dan

infeksi. Asfiksia memainkan peranan penting dalam PPI, bayi lahir mati, dan

perkembangan neonatal yang merugikan. Asfiksia kronik yang berhubungan

dengan insufisiensi sirkulasi uteroplasenta dapat terjadi pada infeksi plasenta

seperti malaria, atau penyakit ibu (seperti diabetes, preeklamsia, hipertensi

kronik), dan ditandai oleh aktivasi aksis HPA janin dan berikutnya kelahiran

preterm.

Mekanisme Persalinan Prematur Akibat Infeksi

Data dari penelitian pada hewan, in vitro dan manusia seluruhnya

memberikan gambaran yang konsisten bagaimana infeksi bakteri menyebabkan

persalinan prematur spontan (gambar 3). Invasi bakteri pada rongga koriodesidua,

menyebabkan pelepasan endotoksin dan eksotoksin, mengaktivasi desidua dan

membran janin untuk menghasilkan sejumlah sitokin, termasuk including tumor

necrosis factor, interleukin-1, interleukin-1, interleukin-6, interleukin-8, dan

granulocyte colony-stimulating factor. Selanjutnya, cytokines, endotoxins, dan

exotoxins merangsang sistesis dan pelepasan prostaglandin dan juga mengawali

chemotaxis, infiltrasi, dan aktivasi neutrofil. Prostaglandin merangsang kontraksi

166
uterus sedangkan metalloprotease menyerang membran korioamnion yang

menyebabkan pecah ketuban. Metalloprotease juga meremodeling kolagen dalam

serviks dan melembutkannya.

Terdapat jalur lain yang memiliki peranan yang hampir sama. Sebagai

contoh, prostaglandin dehydrogenase dalam jaringan korionik menginaktivasi

prostaglandin yang dihasilkan dalam amnion yang mencegahnya mencapai

miometrium dan menyebabkan kontraksi. Infeksi korionik yang menurunkan

aktivitas dehidrogenase ini menyebabkan peningkatan kuantitas prostaglandin

untuk mencapai miometrium.

Jalur lain dimana infeksi menyebabkan persalinan prematur melibatkan

janin itu sendiri. Pada janin dengan infeksi, peningkatan produksi corticotropin-

releasing hormone menyebabkan meningkatnya sekresi kortikotropin janin, yang

kemudian meningkatkan produksi kortisol adrenal fetus. Sekresi kortisol yang

tinggi menyebabkan meningkatnya produksi prostaglandin. Contoh lain yaitu

ketika fetus itu sendiri terinfeksi, produksi sitokin fetus meningkat dan waktu

untuk persalinan jelas berkurang. Namun, kontribusi relatif kompartemen

maternal dan fetal terhadap respon peradangan keseluruhan tidak diketahui.

167
Gambar 2.5 Alur kolonisasi bakteri koriodesidua yang menyebabkan persalinan

prematur

Perdarahan desidua (Decidual hemorrhage/thrombosis)

Perdarahan desidua dapat menyebabkan PPI. Lesi vaskular dari plasenta

biasanya dihubungkan dengan PPI dan ketuban pecah dini. Lesi plasenta

dilaporkan 34% dari wanita dengan PPI, 35% dari wanita dengan ketuban pecah

dini, dan 12% kelahiran term tanpa komplikasi. Lesi ini dapat dikarakteristikan

sebagai kegagalan dari transformasi fisiologi dari arteri spiralis, atherosis, dan

trombosis arteri ibu atau janin. Diperkirakan mekanisme yang menghubungkan

lesi vaskular dengan PPI ialah iskemi uteroplasenta. Meskipun patofisiologinya

belum jelas, namum trombin diperkirakan memainkan peran utama.

Terlepas dari peran penting dalam koagulasi, trombin merupakan protease

multifungsi yang memunculkan aktivitas kontraksi dari vaskular, intestinal, dan

168
otot halus miometrium. Trombin menstimulasi peningkatan kontraksi otot polos

longitudinal miometrium, secara in vitro. Baru-baru ini, observasi in vitro

mengenai trombin dan kontraksi miometrium yang diperkuat oleh penelitian in

vivo menunjukan bahwa kontraksi miometrium secara signifikan menurun dengan

pemberian heparin yang diketahui merupakan inhibitor trombin. Penelitian in

vitro dan in vivo memberikan penjelasan kemungkinan mekanik mengenai

peningkatan aktivitas uterus secara klinis yang diamati pada abrupsi plasenta serta

PPI yang mengikuti perdarahan pada trimester pertama dan kedua.

Mungkin juga terdapat hubungan antara trombin dan ketuban pecah dini.

Matrix metaloproteinase (MMPs) memecah matriks ekstraseluler dari membran

janin dan choriodesidua, serta terlibat terhadap KPD, seperti dibahas di bawah ini.

Secara in vitro, trombin meningkatkan ekspresi protein MMP-1, MMP-3, dan

MMP-9 pada sel-sel desidua dan membran janin yang dikumpulkan dari

kehamilan term tanpa komplikasi. Trombin juga menimbulkan peningkatan IL-8

desidua, sebuah sitokin yang bertanggung jawab terhadap recruitment neutrofil.

Abrupsi plasenta terbuka, sebuah contoh ekstrim dari perdarahan desidua, ditandai

infiltrasi neutrofil pada desidua, sumber yang kaya protease dan MMPs. Ini

mungkin melengkapi mekanisme ketuban pecah dini (KPD) pada perdarahan

desidua.

Distensi uterus yang berlebihan (uterine overdistension)

Distensi uterus yang berlebihan memainkan peranan kunci dalam memulai

PPI yang berhubungan dengan kehamilan multipel, polihidramnion, dan

makrosomia. Kehamilan multipel, sering disebabkan oleh reproduksi yang dibantu

oleh tekhnologi (assisted reproduction technologies (ART)), termasuk induksi

169
ovulasi dan fertilisasi in vitro, dan merupakan satu dari penyebab yang paling

penting dari PPI di negara-negara maju. Di Amerika Serikat misalnya, ART

merupakan 1% dari semua kelahiran hidup, tetapi 17% dari semua kehamilan

multipel; 53% neonatus hasil dari ART pada tahun 2003 merupakan anak kembar.

Mekanisme dari distensi uterus yang berlebihan hingga menyebabkan PPI masih

belum jelas. Namun diketahui, peregangan rahim akan menginduksi ekspresi

protein gap junction, seperti connexin-43 (CX-43) dan CX-26, serta menginduksi

protein lainnya yang berhubungan dengan kontraksi, seperti reseptor oksitosin.

Pada penelitian in vitro, regangan miometrium juga meningkatkan prostaglandin

H synthase 2 (PGHS-2) dan prostaglandin E (PGE). Regangan otot pada segmen

menunjukan peningkatan produksi IL-8 dan kolagen, yang pada gilirannya akan

memfasilitasi pematangan serviks. Namun, penelitian eksperimental pada hewan

mengenai uterine overdistension hingga saat ini belum ada, dan penelitian pada

manusia sepenuhnya hanya berdasarkan observasi.

Insufisiensi serviks

Insufisiensi serviks secara tradisi dihubungkan dengan pregnancy losses

pada trimester kedua, tetapi baru-baru ini bukti menunjukan bahwa gangguan

pada serviks berhubungan dengan outcomes kehamilan yang merugikan dengan

variasi yang cukup luas, termasuk PPI. Insufisiensi serviks secara tradisi telah

diidentifikasi di antara wanita dengan riwayat pregnancy losses berulang pada

trimester kedua, tanpa adanya kontraksi uterus. Terdapat lima penyebab yang

diakui atau dapat diterima, yaitu: (1) kelainan bawaan; (2) in-utero

diethylstilbestrol exposure; (3) hilangnya jaringan dari serviks akibat prosedur

operasi seperti Loop Electrosurgical Excision Procedure (LEEP) atau conization;

170
(4) kerusakan yang bersifat traumatis; dan (5) infeksi.

Secara tradisi, wanita dengan riwayat insufisiensi serviks akan disarankan

cervical cerclage pada awal kehamilan. Namun, kemungkinan besar, kebanyakan

kasus insufisiensi serviks merupakan rangkaian remodeling jaringan dan

pemendekan serviks prematur dari proses patofisiologi lainnya yang mana

cerclage mungkin tidak selalu tepat dan lebih baik diprediksi oleh panjang serviks

yang ditentukan menggunakan ultrasonografi transvaginal. Panjang serviks yang

diukur dengan menggunakan ultrasonografi transvaginal berbanding terbalik

dengan risiko PPI. Selanjutnya, terdapat hubungan antara panjang serviks dari

kehamilan sebelumnya yang mengakibatkan PPI dengan panjang serviks pada

kehamilan berikutnya, tetapi tidak ada hubungannya antara riwayat obstetri dari

insufisiens serviks dan panjang serviks pada kehamilan berikutnya.

Data ini menunjukan bahwa insufisiensi serviks jarang terjadi, dan

pemendekan serviks lebih sering terjadi sebagai konsekuensi dari remodeling

serviks prematur, hasil dari proses patologis. Infeksi dan inflamasi mungkin

memainkan peranan penting dalam pemendekan dan dilatasi serviks prematur.

Lima puluh persen dari pasien dievaluasi dengan amniosintesis sehubungan

dengan dilatasi serviks asimptomatik pada trimester kedua, dan 9% dari pasien

memiliki panjang serviks < 25 mm tetapi tanpa dilatasi serviks terbukti

mengalami infeksi intraamnion. Data ini menunjukan suatu peranan penting

infeksi intraamnion yang menyebar secara ascending.

Selain berhubungan dengan beberapa hal di atas, risiko PPI juga meningkat

pada perokok. Mekanisme meningkatnya risiko PPI pada wanita yang merokok

sampai saat ini belum jelas. Terdapat lebih dari 3000 bahan kimia dalam batang

171
rokok, yang masing-masing efek biologisnya sebagian besar tidak diketahui.

Namun, baik nikotin dan karbon monoksida merupakan vasokonstriktor yang kuat

dan dihubungkan dengan kerusakan plasenta serta menurunnya aliran darah

uteroplasenta. Kedua jalur tersebut mengarah pada terhambatnya pertumbuhan

janin dan PPI.

Lingkungan intrauterine yang buruk, seperti saat terganggunya aliran darah

uteroplasenta atau kondisi hipoksemia janin akan mengaktivasi aksis

hypothalamicpituitaryadrenal (HPA) janin, yang ditunjukkan dengan

peningkatan corticotrophin-releasing hormone (CRH) oleh hipotalamus, yang

kemudian memacu sekresi adrenocorticotrophic hormone (ACTH) oleh hipofisis

anterior. ACTH pada gilirannya akan menyebabkan peningkatan sekresi kortisol

dari korteks adrenal. Kortisol kemudian meningkatkan ekspresi PGHS-2

(prostaglandin H synthase), dan menghambat aktivasi PGDH (15-OH

prostaglandin dehydrogenase).

Selain itu, merokok juga dihubungkan dengan respon inflammasi sistemik

yang juga dianggap dapat meningkatkan risiko PPI, melalui peningkatan produksi

sitokin.

1. Identifikasi Wanita yang Berisiko Mengalami PPI

Cara utama untuk mengurangi risiko PPI dapat dilakukan sejak awal,

sebelum tanda-tanda persalinan muncul. Dimulai dengan pengenalan pasien yang

berisiko, untuk diberi penjelasan dan dilakukan penilaian klinik terhadap PPI serta

pengenalan kontraksi sedini mungkin, sehingga tindakan pencegahan dapat segera

dilakukan. Pemeriksaan serviks tidak lazim dilakukan pada kunjungan antenatal,

padahal sebenarnya pemeriksaan tersebut mempunyai manfaat yang cukup besar

172
dalam meramalkan terjadinya PPI. Bila dijumpai seviks pendek (< 1 cm) disertai

dengan pembukaan yang merupakan tanda serviks matang/inkompetensi serviks,

maka pasien tersebut mempunyai risiko terjadinya PPI 3-4 kali.

Berikut beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi

wanita yang berisiko mengalami PPI:

Skoring risiko

Metode skoring risiko ini dirancang oleh Papiernik dan dimodifikasi oleh

Creasly dkk. Pada metode ini, diberikan skor 1 sampai 10 untuk berbagai macam

faktor risiko, antara lain sosioekonomi, riwayat obstetri, kebiasaan hidup, serta

penyulit kehamilan yang dihadapi saat ini. Wanita dengan skor 10 atau lebih

dianggap berisiko tinggi mengalami PPI. Meskipun Creasy dkk. serta Covington

dkk. melaporkan bahwa dengan metode skoring yang disertai program

pencegahan dengan penyuluhan, akan memberikan hasil yang baik. Pada

prakteknya, penerapan metode ini belum terbukti berguna. Dan karena metode ini

sangat bergantung dengan riwayat obstetri sebelumnya, maka metode ini tidak

sesuai untuk nulipara. Oleh karena itu, metode ini tidak menawarkan keuntungan

lebih dari penilaian klinis lainnya, dan tidak dapat direkomendasikan.

Uji kontraksi uterus ambulatorik atau Home uterine activity monitoring

Metode ini didasarkan pada prinsip tokodinamometer, yang dicobakan pada

wanita yang berisiko mengalami PPI. Metode ini melibatkan pencatatan

telematika dari kontraksi rahim, dengan menggunakan alat sensor kontraksi yang

diikatkan disekitar abdomen, dan dihubungkan dengan sebuah perekam elektronik

kecil yang dipasang dipinggang, kemudian hasil aktivitas uterus akan dihantarkan

ke beberapa monitor senter. Dari hasil pemantauan tersebut, para praktisi

173
kesehatan akan memberikan saran serta dukungan setiap harinya terhadap pasien

tersebut melalui telepon.

Penelitian-penelitian terkini terus memperlihatkan bahwa pemantauan

aktivitas uterus di rumah tersebut tidak efektif dalam mencegah PPI, baik pada

wanita yang berisiko rendah atau wanita yang berisiko tinggi. Bahkan penggunaan

metode ini akan meningkatkan kunjungan diluar jadwal asuhan prenatal yang

dianjurkan serta menyebabkan peningkatan yang signifikan terhadap terapi obat

tokolisis profilaktik pada wanita hamil. Selain itu metode ini membutuhkan biaya

yang cukup besar dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, metode ini tidak

direkomendasikan pada praktek klinis rutin.

Estriol saliva

Beberapa peneliti telah melaporkan adanya kaitan antara peningkatan

konsentrasi estriol saliva ibu dengan kelahiran preterm. Hal ini dapat dijelaskan

melalui penelitian mengenai fisiologi proses persalinan, yang menunjukan

peranan aksis hipotalamo-pitutari-adrenal (HPA) janin sehingga menyebabkan

peningkatan produksi estriol dari plasenta pada saat dimulainya persalinan.

Diperkirakan pada kehamilan manusia, aktivasi prematur dari aksis HPA pada PPI

akan meningkatkan kadar estriol pada serum dan saliva ibu, dan ini dapat menjadi

perediktor dimulainya PPI. Telah dilaporkan bahwa peningkatan estriol akan

dimulai sejak 3 minggu sebelum dimulainya persalinan pada wanita yang

mengalami PPI atau aterm. Tingkat estriol saliva ibu menggambarkan tingkat

estriol dalam serum ibu, dan estriol saliva digunakan untuk menilai risiko PPI

dengan atau tanpa gejala.

Dua penelitian prospektif menunjukan bahwa estriol saliva lebih efektif

174
dalam memprediksi PPI dibandingkan metode skoring risiko. Namun, tes ini

mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang sangat buruk, dan memiliki tingkat

positif palsu yang sangat tinggi, yang dapat meningkatkan biaya perawatan

kehamilan karena intervensi yang tidak perlu. Tingkat estriol saliva dapat diukur

secara akurat dengan menggunakan radioimmunoassay. Heine dkk. menunjukan

bahwa tingkat estriol saliva positif satu ( 2,1 ng/ml) dapat memprediksikan suatu

peningkatan risiko PPI 3-4 kali lipat pada wanita dengan resiko rendah maupun

tinggi. Jika dua kali secara berturut-turut hasil tes positif, ini menunjukan

peningkatan akurasi prediksi yang signifikan, tetapi masih memiliki sedikit

penurunan sensitivitas. Tes estriol saliva menunjukan beberapa keunggulan yaitu

merupakan tindakan yang tidak invasif, sampel saliva yang mudah didapatkan,

dan dapat memberikan hasil positif beberapa minggu sebelum dimulainya

persalinan.1 Namun, adanya variasi diurnal dari tingkat estriol saliva ibu, serta

pemberian betametason untuk produksi surfaktan yang dapat menekan tingkat

estriol saliva ibu, dapat mempersulit interpretasi hasil. Masih dibutuhkan

penelitian lebih lanjut mengenai intervensi dan pengobatan yang potensial pada

wanita dengan peningkatan kadar estriol saliva yang tinggi, sebelum

penggunaannya direkomendasikan secara luas pada populasi obtetrik.

Skrining bacterial vaginosis (BV)

Vaginosis bakterialis telah lama dikaitkan dengan PPI spontan, ketuban

pecah dini, infeksi korion dan amnion, serta infeksi cairan amnion. Platz-

Christense dkk. (1993) telah memberikan beberapa bukti bahwa vaginosis

bakterialis dapat mencetuskan PPI dengan suatu mekanisme yang serupa dengan

jalur jaringan sitokin yang diusulkan untuk bakteri cairan amnion. Banyak

175
penelitian klinis secara konsisten menemukan bahwa wanita dengan vaginosis

bakterialis pada kehamilannya, memiliki risiko mengalami PPI yang meningkat 2

kali lipat.1Diagnosis vaginosis bakterialis ditegakan jika memenuhi 3 dari 4

kriteria berikut ini:

1. pH vagina > 4,5

2. adanya clue cells (sel epitel vagina yang terlapis tebal oleh basil) pada

pewarnaan gram

3. adanya duh vagina homogen

4. bau amin bila sekresi vagina dicampur dengan kalium hidroksida.

Bukti terkini tidak mendukung skrining dan terapi pada semua wanita hamil

yang ditujukan untuk vaginosis bakterialis. Untuk wanita risiko tinggi dengan

riwayat PPI sebelumnya, skrining dan terapi vaginosis bakterialis dapat mencegah

PPI pada sebagian dari wanita. Namun, meta-analisis terbaru menunjukan banyak

perbedaan diantara 6 penelitian mengenai hal ini, sehingga membatasi penarikan

kesimpulan yang pasti. Telah banyak hasil yang tidak meyakinkan dan tidak

memberikan manfaat dari skrining vaginosis bakterialis yang bertujuan untuk

memprediksi PPI, terutama pada kelompok risiko rendah.

Skrining fibronektin janin atau fetal fibronectin (fFN)

Fibronektin adalah suatu glikoprotein yang diproduksi dalam 20 bentuk

molekul yang berbeda oleh berbagai jenis sel, termasuk hepatosit, sel ganas,

fibroblast, sel endotel, dan amnion janin. Glikoprotein ini terdapat dalam

konsentrasi tinggi di darah ibu dan di cairan amnion, serta dianggap memainkan

peranan pada adhesi antarsel dalam kaitannya terhadap implantasi serta dalam

mempertahankan adhesi plasenta ke desidua. Fibronektin janin diukur dengan

176
menggunakan enzyme linked immunosorbent assay. Normalnya, fibronektin janin

terdeteksi pada sekret serviks sampai usia kehamilan 16-20 minggu. Pada

kehamilan 24 minggu atau lebih, kadar fibronektin janin 50 ng/ml atau lebih

dianggap sebagai hasil positif dan mengindikasikan risiko PPI.

Lockwood dkk. (1991) yang melaporkan bahwa penemuan fibronektin janin

pada sekret servikovagina sebelum selaput amnion pecah dapat menjadi suatu

pertanda adanya ancaman PPI.Berdasarkan teori, peningkatan kadar fibronektin

janin pada vagina, serviks dan cairan amnion memberikan indikasi adanya

gangguan pada hubungan antara korion dan desidua.

Fibronektin janin dapat dideteksi di dalam sekret servikovagina pada

kehamilan normal aterm dengan selaput amnion utuh, dan tampaknya

memperlihatkan remodeling stroma serviks sebelum persalinan. Cox dkk. (1996)

menemukan bahwa dilatasi serviks lebih bermakna untuk mendeteksi fibronektin

daripada untuk meramalkan kelahiran preterm. Namun demikan, banyak

penelitian telah menunjukan adanya peningkatan risiko PPI, jika fFN positif pada

sekret serviks setelah usia kehamilan 24 minggu, dan sebaliknya terdapat

penurunan risiko jika didapatkan fFN negatif.

Spesifisitas dari tes fibronektin janin untuk memprediksi PPI dalam 1 dan 2

minggu kemudian ialah 89%, sedangkan untuk memprediksi PPI dalam 3 minggu

kemudian ialah 92%. Sensitivitas dari tes ini, dalam memprediksi dimulainya PPI

dalam 1 minggu dan 3 minggu kemudian, masing-masing ialah 71% dan 59%.

Perlu diketahui, faktor-faktor lain seperti manipulasi serviks dan infeksi

peripartum dapat merangsang pelepasan fibronektin janin. Serupa dengan hal

tersebut, Jackson dkk. (1996) memperlihatkan bahwa sel amnion manusia in vitro

177
menghasilkan fibronektin janin bila dirangsang oleh produk-produk radang yang

dicurigai mengawali PPI akibat infeksi.

Pengukuran panjang serviks

Serviks memerankan peranan ganda pada kehamilan. Serviks

mempertahankan isi uterus terhadap pengaruh gravitasi dan tekanan intrauterine

sampai persalinan, dan serviks akan berdilatasi untuk memungkinkan bagian dari

isi uterus untuk melintasinya selama proses persalinan. Kompetensi serviks

tergantung pada kesatuan antara anatomi dan komposisi biokimia dari serviks.

Salah satu indikator dini dari inkompetensi serviks atau dimulainya persalinan

ialah terjadinya pemendekan dari serviks. Perhatian terhadap penilaian panjang

serviks menggunakan ultrasonografi sebagai prediktor PPI muncul setelah Iams

dkk. (1996) menentukan distribusi normal dari panjang serviks setelah umur

kehamilan 22 minggu. Hal ini kemudian diterima secara luas, bahwa panjang

serviks kurang dari 25 mm pada usia kehamilan 24-28 minggu dapat

meningkatkan risiko PPI. Suatu penelitian prospektif yang melibatkan 2.915

wanita yang dievaluasi menggunakan ultrasonografi pada serviks secara serial

menunjukan suatu risiko relatif terhadap PPI ialah 9.57, 13.88, dan 24,94 untuk

panjang seviks masing-masing < 26 mm, < 22 mm, < 13 mm, pada usia kehamilan

28 minggu. Hasil dari beberapa penelitian yang menggunakan penilaian panjang

serviks sebagai prediktor PPI tidak selalu dapat dipercaya.terdapat variasi yang

luas pada nilai prediksinya. Sebuah tinjauan terhadap 35 penelitian yang

melibatkan penilaian panjang serviks menunjukan variasi yang sangat luas dalam

sensitivitas (68-100%) dan spesifisitas (44-79%). Oleh karena itu hingga saat ini

tidak ada bukti kuat yang mendukung penggunaan penilaian panjang serviks

178
dengan menggunakan USG pada usia kehamilan 24-28 minggu dalam

memprediksi PPI sebagai pemeriksaan rutin. Namun, dapat dilakukan pada

kehamilan dengan risiko tinggi atau dalam kombinasi dengan test fFN.

Kombinasi penilaian fFN dengan ultrasonografi serviks

Penilaian panjang serviks yang disertai dengan estimasi fFN sekret

vaginoserviks pada wanita yang berisiko tinggi mengalami PPI mungkin

bermanfaat. Suatu penelitian yang menilai risiko terulangnya PPI spontan pada

wanita yang memiliki riwayat PPI sebelumnya melaporkan, risiko sebesar 65%

jika panjang serviks kurang dari 25 mm dan fFN positif. Namun, jika fFN negatif,

risiko PPI hanya sebesar 25%. Seperti yang ditunjukkan pada tabel di bawah,

risiko terulangnya PPI pada wanita dengan panjang serviks > 35 mm dan fFN

negatif, hanya sebesar 7%. Oleh karena itu, kombinasi penilaian panjang serviks

dengan menggunakan USG, dan estimasi fFN dapat membantu memprediksi

terulangnya PPI pada wanita risiko tinggi.

Tabel 2.2 Kombinasi penilaian panjang serviks dan fibronektin janin dalam

memprediksi risiko terulangnya PPI

Risiko terulangnya PPI


Panjang serviks
fFN positif fFN negative
< 25 mm 65% 25%
25-35 mm 45% 14%
> 35 mm 25% 7%

Diagnosis

Sering terjadi kesulitan dalam menentukan diagnosis ancaman PPI.

Diferensiasi dini antara persalinan sebenarnya dan persalinan palsu sulit dilakukan

sebelum adanya pendataran dan dilatasi serviks. Kontraksi uterus sendiri dapat

179
menyesatkan karena ada kontraksi Braxtons Hicks. Kontraksi ini digambarkan

sebagai kontraksi yang tidak teratur, tidak ritmik, dan tidak begitu sakit atau tidak

sakit sama sekali, namun dapat menimbulkan keraguan yang amat besar dalam

penegakan diagnosis PPI. Tidak jarang, wanita yang melahirkan sebelum aterm

mempunyai aktivitas uterus yang mirip dengan kontraksi Braxtons Hicks, yang

mengarahkan ke diagnosis yang salah, yaitu persalinan palsu.

Beberapa kriteria dapat dipakai sebagai diagnosis ancaman PPI, yaitu:

1. Usia kehamilan antara 20 dan 37 minggu atau antara 140 dan 259 hari,

2. Kontraksi uterus (his) teratur, yaitu kontraksi yang berulang sedikitnya

setiap 7-8 menit sekali, atau 2-3 kali dalam waktu 10 menit,

3. Merasakan gejala seperti rasa kaku di perut menyerupai kaku menstruasi,

rasa tekanan intrapelvik dan nyeri pada punggung bawah (low back pain),

4. Mengeluarkan lendir pervaginam, mungkin bercampur darah,

5. Pemeriksaan dalam menunjukkan bahwa serviks telah mendatar 50-80%,

atau telah terjadi pembukaan sedikitnya 2 cm,

6. Selaput amnion seringkali telah pecah,

7. Presentasi janin rendah, sampai mencapai spina isiadika.

Kriteria lain yang diusulkan oleh American Academy of Pediatrics dan The

American Collage of Obstetricians and Gynecologists (1997) untuk mendiagnosis

PPI ialah sebagai berikut:

1. Kontraksi yang terjadi dengan frekuensi empat kali dalam 20 menit atau

delapan kali dalam 60 menit plus perubahan progresif pada serviks,

2. Dilatasi serviks lebih dari 1 cm,

3. Pendataran serviks sebesar 80% atau lebih.

180
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk mendukung ketepatan diagnosis

PPI :
1. Pemeriksaan Laboratorium: darah rutin, kimia darah, golongan ABO,

faktor rhesus, urinalisis, bakteriologi vagina, amniosentesis, gas dan PH

darah janin.
2. USG untuk mengetahui usia gestasi, jumlah janin, besar janin, aktivitas

biofisik, cacat kongenital, letak dan maturasi plasenta,volume cairan tuba

dan kelainan uterus

Penatalaksanaan

Hal pertama yang dipikirkan pada penatalaksanaan PPI ialah, apakah ini

memang PPI. Selanjutnya mencari penyebabnya dan menilai kesejahteraan janin

yang dapat dilakukan secara klinis, laboratoris, ataupun ultrasonografi, meliputi

pertumbuhan/berat janin, jumlah dan keadaan cairan amnion, persentasi dan

keadaan janin/kelainan kongenital.

Bila proses PPI masih tetap berlangsung atau mengancam, meski telah

dilakukan segala upaya pencegahan, maka perlu dipertimbangkan:

1. Seberapa besar kemampuan klinik (dokter spesialis kebidanan, dokter

spesialis kesehatan anak, peralatan) untuk menjaga kehidupan bayi preterm,

atau berapa persen yang akan hidup menurut berat dan usia gestasi tertentu.

2. Bagaimana persalinan sebaiknya berakhir, pervaginam atau bedah sesaria.

3. Komplikasi apa yang akan timbul, misalnya perdarahan otak atau sindroma

gawat nafas.

4. Bagaimana pendapat pasien dan keluarga mengenai konsekuensi perawatan

bayi preterm dan kemungkinan hidup atau cacat.

5. Seberapa besar dana yang diperlukan untuk merawat bayi preterm, dengan

181
rencana perawatan intensif neonatus.

Ibu hamil yang mempunyai risiko mengalami PPI dan/atau menunjukan

tanda-tanda PPI perlu dilakukan intervensi untuk meningkatkan neonatal

outcomes.

Manajemen PPI tergantung pada beberapa faktor, diantaranya:

1. Keadaan selaput ketuban. Pada umumnya persalinan tidak akan dihambat

bilamana selaput ketuban sudah pecah.

2. Pembukaan serviks. Persalinan akan sulit dicegah bila pembukaan mencapai

4 cm.

3. Umur kehamilan. Makin muda umur kehamilan, upaya mencegah persalinan

makin perlu dilakukan. Persalinan dapat dipertimbangkan berlangsung bila

TBJ > 2000 gram, atau kehamilan > 34 minggu.

a. Usia kehamilan 34 minggu; dapat melahirkan di tingkat dasar/primer,

mengingat prognosis relative baik.

b. Usia kehamilan < 34 minggu; harus dirujuk ke rumah sakit dengan

fasilitas perawatan neonatus yang memadai.

4. Penyebab/komplikasi PPI.

5. Kemampuan neonatal intensive care facilities.

Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada PPI, terutama untuk mencegah

morbiditas dan mortalitas neonatus preterm ialah:

1. Menghambat proses persalian preterm dengan pemberian tokolisis,

2. Akselerasi pematangan fungsi paru janin dengan kortikosteroid,

3. Bila perlu dilakukan pencegahan terhadap infeksi dengan menggunakan

antibiotik.

182
Tokolisis

Meski beberapa macam obat telah dipakai untuk menghambat persalinan,

tidak ada yang benar-benar efektif. Namun, pemberian tokolisis masih perlu

dipertimbangkan bila dijumpai kontraksi uterus yang regular disertai perubahan

serviks pada kehamilan preterm.

Alasan pemberian tokolisis pada persalianan preterm ialah:

1. Mencegah mortalitas dan morbiditas pada bayi prematur

2. Memberi kesempatan bagi terapi kortikosteroid untuk menstimulir surfaktan

paru janin

3. Memberi kesempatan transfer intrauterine pada fasilitas yang lebih lengkap

4. Optimalisasi personil.

Beberapa macam obat yang digunakan sebagai tokolisis, antara lain:

1. Kalsium antagonis: nifedipin 10 mg/oral diulang 2-3 kali/jam, dilanjutkan

tiap 8 jam sampai kontraksi hilang, maksimum 40 mg/6 jam. Umumnya

hanya diperlukan 20 mg. Obat dapat diberikan lagi jika timbul kontaksi

berulang.Dan dosis perawatan 3x10 mg.

2. Obat -mimetik: seperti terbutalin, ritrodin, isoksuprin, dan salbutamol

dapat digunakan, tetapi nifedipin mempunyai efek samping yang lebih kecil.

Salbutamol, dengan dosis per infus: 20-50 g/menit, sedangkan per oral: 4

mg, 2-4 kali/hari (maintenance) atau terbutalin, dengan dosis per infus: 10-

15 g/menit, subkutan: 250 g setiap 6 jam sedangkan dosis per oral: 5-7.5

mg setiap 8 jam (maintenance). Efek samping dari golongan obat ini ialah:

hiperglikemia, hipokalemia, hipotensi, takikardia, iskemi miokardial, edema

paru.

183
3. Sulfas magnesikus: dosis perinteral sulfas magnesikus ialah 4-6 gr/iv, secara

bolus selama 20-30 menit, dan infus 2-4gr/jam (maintenance). Namun obat

ini jarang digunakan karena efek samping yang dapat ditimbulkannya pada

ibu ataupun janin.7 Beberapa efek sampingnya ialah edema paru, letargi,

nyeri dada, dan depresi pernafasan (pada ibu dan bayi).

4. Penghambat produksi prostaglandin: indometasin, sulindac, nimesulide

dapat menghambat produksi prostaglandin dengan menghambat

cyclooxygenases (COXs) yang dibutuhkan untuk produksi prostaglandin.

Indometasin merupakan penghambat COX yang cukup kuat, namun

menimbulkan risiko kardiovaskular pada janin. Sulindac memiliki efek

samping yang lebih kecil daripada indometasin. Sedangkan nimesulide saat

ini hanya tersedia dalam konteks percobaan klinis.

5. Antagonis oksitosin salah satu contohnya adalah atosiban dapat menjadi

obat tokolitik di masa depan. Obat ini merupakan alternatif menarik

terhadap obat-obat tokolitik saat ini karena spesifisitasnya yang tinggi dan

kurangnya efek samping terhadap ibu, janin atau neonatus. Atosiban adalah

obat sintetik baru pada golongan obat ini dan telah mendapat izin

penggunaannya sebagai tokolitik di Eropa. Atosiban menghasilkan efek

tokolitik dengan melekat secara kompetitif dan memblok reseptor oksitosin.

Dosis awal 6,75mg bolus dalam satu menit, diikuti 18mg/jam selama 3 jam

per infus, kemudian 6mg/jam selama 45 jam.

Untuk menghambat proses PPI, selain tokolisis, pasien juga perlu

membatasi aktivitas atau tirah baring serta menghindari aktivitas seksual.

Kontraindikasi relatif penggunaan tokolisis ialah ketika lingkungan

184
intrauterine terbukti tidak baik, seperti:

i. Oligohidramnion

ii. Korioamnionitis berat pada ketuban pecah dini

iii. Preeklamsia berat

iv. Hasil nonstrees test tidak reaktif

v. Hasil contraction stress test positif

vi. Perdarahan pervaginam dengan abrupsi plasenta, kecuali keadaan

pasien stabil dan kesejahteraan janin baik

vii. Kematian janin atau anomali janin yang mematikan

viii. Terjadinya efek samping yang serius selama penggunaan beta-

mimetik.

Akselerasi pematangan fungsi paru

Pemberian terapi kortikosteroid dimaksudkan untuk pematangan surfaktan

paru janin, menurunkan risiko respiratory distress syndrome(RDS), mencegah

perdarahan intraventrikular, necrotising enterocolitis, dan duktus arteriosus, yang

akhirnya menurunkan kematian neonatus. Kortikosteroid perlu diberikan bilamana

usia kehamilan kurang dari 35 minggu.

Obat yang diberikan ialah deksametason atau betametason. Pemberian

steroid ini tidak diulang karena risiko pertumbuhan janin terhambat. Pemberian

siklus tunggal kortikosteroid ialah:

1. Betametason 2 x 12 mg i.m. dengan jarak pemberian 24 jam.

2. Deksametason 4 x 6 mg i.m. dengan jarak pemberian 12 jam.

Selain yang disebutkan di atas, juga dapat diberikan Thyrotropin releasing

hormone 400 ug iv, yang akan meningkatkan kadar tri-iodothyronine yang

185
kemudian dapat meningkatkan produksi surfaktan. Ataupun pemberian suplemen

inositol, karena inositol merupakan komponen membran fosfolipid yang berperan

dalam pembentukan surfaktan.

Antibiotika

Mercer dan Arheart (1995) menunjukkan, bahwa pemberian antibiotika

yang tepat dapat menurunkan angka kejadian korioamnionitis dan sepsis

neonatorum.9 Antibiotika hanya diberikan bilamana kehamilan mengandung risiko

terjadinya infeksi, seperti pada kasus KPD. Obat diberikan per oral, yang

dianjurkan ialah eritromisin 3 x 500 mg selama 3 hari. Obat pilihan lainnya ialah

ampisilin 3 x 500 mg selama 3 hari, atau dapat menggunakan antibiotika lain

seperti klindamisin. Tidak dianjurkan pemberian ko-amoksiklaf karena risiko

necrotising enterocolitis.7

Peneliti lain memberikan antibiotika kombinasi untuk kuman aerob maupun

anaerob. Yang terbaik bila sesuai dengan kultur dan tes sensitivitas kuman.

Setelah itu dilakukan deteksi dan penanganan terhadap faktor risiko PPI, bila tidak

ada kontra indikasi, diberi tokolisis.

186
Cara Persalinan

Masih sering muncul kontroversi dalam cara persalinan kurang bulan

seperti: apakah sebaiknya persalinan berlangsung pervaginam atau seksio sesarea

terutama pada berat janin yang sangat rendah dan preterm sungsang, pemakaian

forseps untuk melindungi kepala janin, dan apakah ada manfaatnya dilakukan

episiotomi profilaksis yang luas untuk mengurangi trauma kepala. Bila janin

presentasi kepala maka diperbolehkan partus pervaginam dengan episiotomi lebar

dan perlindungan forseps terutama pada bayi < 35 minggu.

Seksio sesarea tidak memberikan prognosis yang lebih baik bagi bayi,

bahkan merugikan ibu. Oleh karena itu prematuritas janganlah dipakai sebagai

indikasi untuk melakukan seksio sesarea. Seksio sesarea hanya dilakukan atas

indikasi obstetrik.

Indikasi seksio sesarea:

1. Janin sungsang

2. Taksiran berat badan janin kurang dari 1500 gram (masih kontroversial)

3. Gawat janin

4. Infeksi intrapartum dengan takikardi janin, gerakan janin melemah,

oligohidramnion, dan cairan amnion berbau.

5. Bila syarat pervaginam tidak terpenuhi

6. Kontraindikasi partus pervaginam lain (letak lintang, plasenta previa, dan

sebagainya).

187
Komplikasi

Pada ibu, setelah PPI, infeksi endometrium lebih sering terjadi sehingga

mengakibatkan sepsis dan lambatnya penyembuhan luka episiotomi. Sedangkan

bagi bayi, PPI menyebabkan 70% kematian prenatal atau neonatal, serta

menyebabkan morbiditas jangka pendek maupun jangka panjang. Morbiditas

jangka pendek diantaranya ialah respiratory distress syndrome (RDS), perdarahan

intra/periventrikular, necrotising enterocolitis (NEC), displasia bronko-pulmoner,

sepsis, dan paten duktus arteriosus. Adapun morbiditas jangka panjang yang

meliputi retardasi mental, gangguan perkembangan, serebral palsi, seizure

disorder, kebutaan, hilangnya pendengaran, juga dapat terjadi disfungsi

neurobehavioral dan prestasi sekolah yang kurang baik.

188
DAFTAR PUSTAKA

Cunningham M.D, et all. 2005. Preterm Birth. In: Williams Obstetrics. 23 nd

ed.McGraw- Hill.

Goepfert A.R. 2001. Preterm Delivery. In: Obstetrics and Gynecology

Principle for Practise. McGraw-Hill.

Hariadi, R. 2004. Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Surabaya : Himpunan

Kedokteran Fetomaternal Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi

Indonesia.

Iams J.D. 2004. Preterm Labor and Delivery. In: Maternal-Fetal Medicine. 5 th

ed.Saunders.

Jafferson Rompas. 2004.http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/145-

11Persalinanpreterm.pdf/145.30

Joseph HK, dkk. 2010. Catatan Kuliah Ginekologi dan Obstetri (obsgyn).

Yogyakarta : Nuha Medika.

Manuaba, IBG. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta : EGC.

Medlinux. 2007.http://medlinux.blogspot.com/2007/11/ruptur membran -

pre- persalinan.html

Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka

Cipta.

Oxorn Harry, dkk. 2010. Ilmu Kebidanan Patologi dan Fisiologi Persalinan

(Human Labor and Birth). Yogyakarta : YEM.

Varney, H. 2007. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Edisi 4 Volume 2. Jakarta :

EGC.

189
Wiknjosastro, H. 2007. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina

Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Wiknjosastro, H. 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka, Sarwono

Prawirohardjo.

190
BAYI POST MATUR

1.20 Latar Belakang

Kehamilan umumnya berlangsung 40 minggu atau 280 hari diitung dari

hari pertama haid terakhir (HPHT). Kehamilan aterm ialah usia kehamilan antara

38-42 minggu dan ini merupakan periode terjadinya persalinan normal. Namun,

sekitar 3,4-14 % atau rata-rata 10% kehamilan berlangsung sampai 42 minggu

atau lebih. Kehamilan posterm terutama berpengaruh terhadap janin, meskipun hal

ini masih diperdebatkan. 1

1.21 Definisi

Kehamilan posterm disebut juga kehamilan serotinus, kehamilan lewat

waktu, kehamilan lewat bulan, prolonged pregnancy, extended pregnancy,

postdate atau poacamaturitas, adalah kehamilan yang berlangsung sampai 42

minggu (294 hari) atau lebih dihitung dari hari pertama haid terakhir (HPHT). 1

1.22 Epidemiologi

Martin et all, 2007 menyebutkan bahwa insiden kehamilan postterm adalah

sekitar 7% dari seluruh kehamilan. Variasi prevalensi tergantung dari karakteristik

populasi. Karakteristik populasi yang mempengaruhi prevalensi adalah presentasi

primigravida pada populasi, presentasi obesitas, kehamilan postterm sebelumnya,

serta kecenderungan genetik. 2

1.23 Etiologi

Sampai saat ini sebab terjadinya kehamilan postterm belum jelas.

Beberapa kemungkinan penyebab adalah pengaruh progesteron, kurangnya

oksitosin, herediter. 1

Pengaruh progesteron

191
Penurunan progesteron dalam kehamilan merupakan perubahan endokrin

yang penting dalam memacu proses biomolekular pada persalinan dan

meningkatkan sensitivitas uterus terhadap oksitosin. Beberapa studi

menduga bahwa terjadinya kehamilan postterm adalah karena masih

berlangsungnya pengaruh progesteron.

Teori Oksitosin

Oksitosin secara fisiologis memegang peranan penting dalam

menimbulkan persalinan dan pelepasan oksitosin dari neurohipofisis ibu

hamil yang kurang pada usia kehamilan lanjut diduga sebagai salah satu

faktor penyebab kehamilan postterm.

Teori Kostisol/ ACTH janin

Kortisol janin akan mempengaruhi plasenta sehingga produksi progesteron

berkurang dan memperbesar sekresi esterogen, selanjutnya berpengaruh

terhadap meningkatnya produksi prostaglandin. Pada kelainan janin seperti

anensefalus, hipoplasia adrenal janin, dan tidak adanya kelenjar hipofisis

pada janin akan menyebabkan kortisol janin tidak diproduksi dengan baik

sehingga kehamilan dapat berlangsung lewat bulan.

Herediter

Beberapa studi menyatakan bahwa seorang ibu yang mengalami

kehamilan postterm mempunyai kecenderungan untuk melahirkan lewat

bulan pada kehamilan berikutnya. Mogren (1999) seperti dikutip

Cunningham, menyatakan bahwa bilamana seorangg inbu mengalami

kehamilan postterm saat melahirkan anak perempuan, maka besar

kemungkinan anak perempuannya akan mengalami kehamilan postterm.

192
1.24 Patofisiologi

Patogenesis kehamilan postterm masih belum diketahui pasti. McLean et

all, 1995 menyatakan bahwa terdapat hubungan antara peptide corticotrophin

releasing hormone (CRH) yang diproduksi plasenta dengan usia kehamilan.

Sintesis CRH oleh plasenta meningkat secara eksponensial selama kehamilan dan

puncaknya pada saat persalinan. Ellis et al dan Torricelli et al menyatakan bahwa

pada wanita yang melahirkan prematur, kenaikan eksponensial lebih cepat

daripada yang melahirkan cukup bulan, sedangkan pada wanita yang melahirkan

postterm laju kenaikan lebih lambat. Data ini menunjukkan bahwa persalinan

postterm terjadi karena perubahan dalam mekanisme biologis yang mengatur usia

kehamilan.2

CRH dapat langsung merangsang produksi adrenal janin dari DHEAS,

prekursor untuk sintesis estriol plasenta. Konsentrasi CRH plasma maternal

berhubungan dengan konsentrasi estriol. Peningkatan estriol akibat meningkatnya

CRH pada akhir gestasi lebih cepat dibandingkan tingkat estradiol yang mengarah

ke peningkatan estriol rasio estradiol untuk menghasilkan suatu lingkungan

estrogenik dalam minggu-minggu terakhir kehamilan. Bersamaan dengan

peningkatan konsentrasi progesteron plasma ibu yang terjadi di masa gestasi, akan

menurun saat akhir kehamilan. Hal ini karena inhibisi CRH pada sintesis

progesteron plasenta. Jadi efek progesteron (menyebabkan relaksasi) kehamilan

menurun sebagai tindakan estriol (menyebabkan kontraksi) yang meningkat saat

terjadinya persalinan. Akan tetapi hal ini masih belum diketahu di kehamilan

postterm. 2

193
1.25 Diagnosis

Dalam menentukan diagnosis kehamilan postterm di samping dari riwayat

haid, sebaiknya dilihat pula hasil pemeriksaan antenatal.

Riwayat Haid 1

Diagnosis kehamilan postterm tidak sulit untuk ditegakkan bilamana HPHT

diketahui dengan pasti. Untuk riwayat haid diperlukan beberapa kriteria:

- Penderita harus yakin betul dengan HPHTnya

- Siklus 28 hari dan teratur

- Tidak minum pil antihamil setidaknya 3 bulan terakhir.

Selanjutnya, diagnosis ditentukan dengan menghitung menurut rumus Naegele.

Berdasarkan riwayat haid, seorang penderita yang ditetapkan sebagai kehamilan

postterm kemungkinan adalah sebagai berikut:

- Terjadi kesalahan dalam menentukan tanggal HPHT atau akibat menstruasi

abnormal

- tanggal haid terakhir diketahui jelas, tetapi terjadi keterlambatan ovulasi

- tisak ada kesalahan menentukan haid terakhir dan kehamilan memang

berlangsung lewat bulan.

Riwayat Pemeriksaan Antenatal 1

Tes kehamilan. Jika pasien melakukan pemeriksaan tes imunologik

sesudah terlambat 2 minggu, maka dapat diperkirakan kehamilan memang

telah berlangsung 6 minggu.

Gerak janin. Gerak janin (quickening) umumnya dirasakan ibu padausia

kehamilan 18-20 minggu. Pada primi gravida dirasakan sekitar usia

kehamilan 18 minggu, sedangkan pada multigravida pada 16 minggu.

194
Petunjuk umum untuk menentukan persalinan adalah quickening ditambah

22 minggu pada primi gravida, atau ditambah 24 minggu pada

multigravida.

Denyut Jantung Janin (DJJ). Dengan stetoskop Laennec, DJJ mulai bisa

didengarkan pada usia kehamilan 18-20 minggu, sedangkan dengan

Doppler dapat terdengar pada usia kehamilan 10-12 minggu

Kehamilan postterm dapat dinyatakan jika didapatkan 3 atau lebih dari 4 kriteria

hasil pemeriksaan sebagai berikut:

- Telah lewat 36 minggu sejak tes kehamilan positif

- Telah lewat 32 minggu sejak DJJ pertama terdengar dengan doppler

- Telah lewat 24 minggu sejak dirasakannya gerak janin pertama kali

- Telah lewat 22 minggu sejak terdengarnya DJJ pertama kali dengan

stetoskop Laennec.

Pemeriksaan Ultrasonografi (USG) 1

Pada trimester pertama, pemeriksaan panjang kepala memberikan

ketetapan kurang lebih 4 hari dari taksiran persalinan. Pada usia kehamilan 16-26

minggu, ukuran biparietal dan panjang femur memberikan ketepatan sekitar 7 hari

dari taksiran persalinan. Pemeriksaan sesaat setelah trimester III dapat digunakan

untuk menentukan berat janin, keadaan air ketuban, ataupun keadaan plasenta

yang sering berkaitan dengan kehamilan postterm, tetapi sulit untuk memastikan

usia kehamilan.

Pemeriksaan Radiologi 1

Usia kehamilan ditentukan dengan melihat pusat penulangan. Gambaran

epifisis femur bagian diatal paling dini dapat dilihat pada kehamilan 32 minggu,

195
epifisis tibia proksimal terlihat setelah usia kehamilan 36 minggu, dan epifisis

kuboid pada kehamilan 40 minggu. Cara ini sekarang jarang dipakai karena

pengaruh radiologik yang kurang baik terhadap janin.

Pemeriksaan Laboratorium 1

Kadar lesitin/ spingomielin

Bila kadar lesitin/ spingomielin dalam cairan amnion kadarnya sama,

maka usia kehamilan sekitar 22-28 minggu, lesitin 1,2 kali kadar

spingomielin: 28-32 minggu, pada kehamilan denap bulan rasio menjadi

2:1. Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan apakah janin cukup

umur untuk dilahirkan.

Aktivitas tromboplastin cairan amnion (ATCA)

Pada usia kehamilan 41-42 minggu ATCA berkisar antara 45-65 detik,

pada umur kehamilan > 42 minggu didapatkan ATCA < 45 detik. Bila

didapatkan antara 42-46 detik menunjukkan kehamilan tepat waktu.

Sitologi cairan amnion

Pengecatan nile lue sulphate dapat melihat sel lemak pada amnion. Bila

jumlah sel melebihi 10% maka kehamilan diperkirakan 36 minggu, dan

apabila 50% atau lebih maka usia kehamilan 38 minggu atau lebih.

1.26 Permasalahan Kehamilan postterm

Pengaruh kehamilan postterm antara lain:

A. Perubahan pada plasenta 1

Perubahan yang terjadi pada plasenta sebagai berikut:

196
o Penimbunan kalsium. Pada kehamilan postterm terjadi penimbunan

kalsium pada plasenra, dan hal ini dapat menyebabkan gawat janin

bahkan kematian janin intrauterin dapat meningkat 2-4 kali lipat

o Selaput vaskulosinsisial menjadi tambah tebal dan jumlahnya

berkurang. Keadaan ini dapat menurunkan mekanisme transpor

plasenta

o Terjadi proses degenerasi jaringan plasenta seperti edema, timbunan

firinoid, fibrosis, trombosis intervili, dan infark vili

o Perubahan biokimia. Adanya insufisiensi plasenta menyebabkan

protein plasenta dan kadar DNA di bawah normal, sedangkan

konsentrasi RNA meningkkat. Pengangkutan bahan dengan berat

molekul tinggi biasanya mengalami gangguan sehingga dapat

mengakibatkan gangguan pertumbuhan janin intrauterin.

B. Pengaruh pada janin 1

Beberapa pengaruh kehamilan postterm terhadap janin:

o Berat janin

Bila terjadi peruahan anatomi yang besar pada plasenta, maka terjadi

penurunan berat janin. Zwerdling menyatakan bahwa rata-rata berat

janin > 3600 gram sebesar 44,5% pada kehamilan postterm,

sedangkan pada kehamilan genap bulan sebesar 30,6%. Resiko

persalinan bayi dengan berat > 4000 gram pada kehamilan postterm

meningkat 2-4 kali lebih besar dari kehamilan biasa.

o Sindroma postmaturitas

197
Dapat dikenali pada neonatus dengan ditemukannya beberapa tanda

seperti gangguan pertumbuhan, dehidrasi, kulit kering, keriput

seperti kertas (hilangnya lemak subkutan), kuku tangan dan kaki

panjang, tunlang tengkorak lebih keras, hilangnya verniks kaseosa

dan lanugo, maserasi kulit terutama daerah lipat paha dan genital

luar, warna cokelat kehijauan atau kekuningan pada kulit dan tali

pusat, dan rambut kepala banyak atau tebal. Tanda postmaturitas ini

dapat dibagi menjadi 3 stadium, yaitu:

Stadium I: kulit menunjukkan kehilangan verniks kaseosa

dan maserasi berupa kulit kering, rapuh, dan mudah

mengelupas

Stadium II: gejala pada stadium I disertasi pewarnaan

mekonium (kehijauan) pada kulit

Stadium III: gejala pada stadium II disertai dengan

pewarnaan kekuningan pada kuku, kulit dan tali pusat.

o Gawat janin atau kematian perinatal

Gawat janin menunjukkan peningkatan setelah kehamilan 42 minggu

atau lebih, umumnya disebabkan oleh:

Makosomia yang dapat menyebabkan distosia pada

perslinan, fraktur klavikula, palsi Erb-Duchene, sampai

kematian bayi

Insufisiensi plasenta yang berakibat:

Pertumbuhan janin terhambat

198
Oligohidramnion: terjadi kompresi tali pusat, keluar

mekonium yang kental, perubahan abnormal

jantung janin

Keluarnya mekonium yang berakibat aspirasi

mekonium pada janin

Cacat bawaan: terutama akibat hipopplasia adrenal dan

anensefalus.

C. Pengaruh pada ibu 1

o Morbiditas/ mortalitas ibu dapat meningkat sebagai akibat dari

makrosomia janin dan tulang tengkorak menjadi lebih keras yang

menyebabkan terjadinya distosia persalinan, partus lama,

meningktanya tindakan obstertik dan persalinan traumatus/

perdarahan postpartum akibat bayi besar.

o Aspek emosi ibu dan keluarga menjadi cemas bilamana kehamilan

terus berlangsung melewati taksiran persalinan.

1.27 Penatalaksanaan 1

A. Pengelolaan Kehamilan Postterm

Pengelolaan aktif yaitu dengan melakukan persalinan anjuran pada usia

kehamilan 41 atau 42 minggu. Sebelum mengambil langkah, beberapa hal

yang perlu diperhatikan:

o Memastikan apakah kehamilan telah berlangsung lewat bulan.

o Identifikasi kondisi janin

o Periksa kematangan serviks dengan skor Bishop

Pengelolaan kehamilan:

199
o Jika serviks telah matang (dengan nilai Bishop >5) dilakukan

induksi persalinan dan dilakukan pengawasan intrapartum.

o Jika serviks belum matang, perlu dinilai keadaan janin lebih lanjut

apabila kehamilan tidak diakhiri:

Fetal Non Stress test (NST) dan penilaian volume kantong

amnion. Bila keduanya normal, kehamilan ini dapat

dibiarkan berlanjjut dan penilaian janin dilanjutkan

seminggu 2 kali

Bila ditemukan oligohidramion (<2 cm pada kantong yang

vertikal atau indeks cairan amnion > 5) atau dijumpai

deselerasi variabel pada NST, maka dilakukan induksi

persalinan

Bila volume cairan amnion normal dan NST tidak reaktif,

tes pada kontraksi (CST) harus dilakukan. Bila CST positif,

terjadi deselerasi lambat berulang, variabilitas abnormal

(5/20 menit) menunjukkan penurunan fungsi plasenta janin.

Jika CST negatif, kehamilan dapat dibiarkan berlangsung

dan penilaian janin dilakukan lagi 3 hari kemudian

Keadaan seerviks harus dinilai ulang setiap kunjungan

o Kehamilan > 42 minggu diupayakan diakhiri

B. Pengelolaan selama persalinan

o Pemantauan yang baik terhadap ibu (aktivitas uterus) dan

kesejahteraan janin.

200
o Hindari penggunaaan obat penenang atau analgetik selama

persalinan

o Awasi jalannya persalinan

o Persiapkan oksigen dan bedah sesar bila sewaktu-waktu terjadi

kegawayan janin

o Cegah terjadinya aspirasi mekonium dan segera mengusap wajah

neonatus dan dilanjutkan dengan resusitasi sesuai dengan prosedur

pada janin dengan cairan ketuban bercampur mekonium

o Segera setelah lahir, bayi harus segera diperiksa terhadap

kemungkinan hipoglikemi, hipovolemi, hipotermi, dan polisitemi

o Pengawasan ketat terhadap neonatus denga tanda-tanda

prematuritas

o Hati-hati kemungkinan terjadi distosia bahu.

1.28 Komplikasi

Komplikasi pada bayi baru lahir meliputi suhu yang tidak stabil,

hipoglikemi, polisitemi, dan kelanian neurologik. Komplikasi pada ibu adalah

distosia persalinan, partus lama, meningktanya tindakan obstertik dan persalinan

traumatus/ perdarahan postpartum akibat bayi besar. 1

1.29 Prognosis

Persalinan adalah saat paling berbahaya bagi janin postterm sehingga

setiap persalinan kehamillan postterm harus dilakukan pengamatan ketat dan

sebaiknya dilaksanakan di rumah sakit dengan pelayanan operatif dan perawatan

neonatal yang memadai. Kematian janin akibat kehamilan postterm terjadi pada

30% sebelum persalinan, 55% dalam persalinan, dan 15% setelah persalinan

201
DAFTAR PUSTAKA

5 Mochtar A.B dan Herman K. 2014. Kehamilan Postterm, dalam: Sarwono

Prawirohardjo, Ilmu Kebidanan Edisi Keempat. Jakarta: PT. Bina Pustaka

Sarwono Prawirohardjo. h 685-695

6 Galal M, et al. 2012. Postterm pregnancy. (11/01/2017), available at:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3991404/

202
KETUBAN PECAH DINI (KPD)

A. Definisi

Ketuban pecah dini (KPD) didefinisikan sebagai pecahnya ketuban

sebelum waktunya melahirkan. Hal ini dapat terjadi pada akhir kehamilan maupun

jauh sebelum waktunya melahirkan. KPD preterm adalah KPD sebelum usia

kehamilan 37 minggu. KPD yang memanjang adalah KPD yang terjadi lebih dari

12 jam sebelum waktunya melahirkan.

Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda

persalinan dan setelah ditunggu satu jam belum memulainya tanda persalinan.

Dalam keadaan normal 8 10% perempuan hamil aterm akan mengalami ketuban

pecah dini. Ketuban pecah dini premature terjadi pada 1% kehamilan.

B. Etiologi

Ketuban pecah dini disebabkan oleh karena berkurangnya kekuatan

membran atau meningkatnya tekanan intrauterin. Berkurangnya kekuatan

membran disebabkan oleh adanya infeksi yang dapat berasal dari vagina dan

serviks. Selain itu ketuban pecah dini merupakan masalah kontroversi obstetri.

Penyebab lainnya adalah sebagai berikut:

1. Inkompetensi serviks (leher rahim)

Inkompetensia serviks adalah istilah untuk menyebut kelainan pada otot-otot

leher atau leher rahim (serviks) yang terlalu lunak dan lemah, sehingga

sedikit membuka ditengah-tengah kehamilan karena tidak mampu menahan

desakan janin yang semakin besar.

203
2. Peninggian tekanan intra uterin

Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihan dapat

menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini. Misalnya:

a. Trauma
Hubungan seksual, pemeriksaan dalam, dan amniosintesis.
b. Gemelli

Kehamilan kembar adalah suatu kehamilan dua janin atau lebih. Pada

kehamilan gemelli terjadi distensi uterus yang berlebihan, sehingga

menimbulkan adanya ketegangan rahim secara berlebihan. Hal ini terjadi

karena jumlahnya berlebih, isi rahim yang lebih besar dan kantung

(selaput ketuban ) relative kecil sedangkan dibagian bawah tidak ada yang

menahan sehingga mengakibatkan selaput ketuban tipis dan mudah pecah.


c. Makrosomia

Makrosomia adalah berat badan neonatus >4000 gram kehamilan dengan

makrosomia menimbulkan distensi uterus yang meningkat atau over

distensi dan menyebabkan tekanan pada intra uterin bertambah sehingga

menekan selaput ketuban, manyebabkan selaput ketuban menjadi

teregang, tipis, dan kekuatan membrane menjadi berkurang, menimbulkan

selaput ketuban mudah pecah.


d. Hidramnion

Hidramnion atau polihidramnion adalah jumlah cairan amnion >2000mL.

Uterus dapat mengandung cairan dalam jumlah yang sangat banyak.

Hidramnion kronis adalah peningaktan jumlah cairan amnion terjadi

secara berangsur-angsur. Hidramnion akut, volume tersebut meningkat

tiba-tiba dan uterus akan mengalami distensi nyata dalam waktu beberapa

hari saja.
3. Kelainan letak janin dan rahim: letak sungsang dan letak lintang.

204
4. Kemungkinan kesempitan panggul: bagian terendah belum masuk PAP

(sepalopelvic disproporsi).
5. Korioamnionitis

Korioamnionitis adalah infeksi selaput ketuban. Biasanya disebabkan oleh

penyebaran organisme vagina ke atas. Dua faktor predisposisi terpenting

adalah pecahnya selaput ketuban > 24 jam dan persalinan lama.


6. Penyakit Infeksi

Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh sejumlah

mikroorganisme yang meyebabkan infeksi selaput ketuban. Infeksi yang

terjadi menyebabkan terjadinya proses biomekanik pada selaput ketuban

dalam bentuk proteolitik sehingga memudahkan ketuban pecah.

7. Faktor keturunan (ion Cu serum rendah, vitamin C rendah, kelainan genetik.

8. Riwayat ketuban pecah dini sebelumya.

9. Kelainan atau kerusakan selaput ketuban.

10. Serviks (leher rahim) yang pendek (<25mm) pada usia kehamilan 23

minggu.

C. Manifestasi Klinis

Tanda yang terjadi adalah keluarnya cairan ketuban merembes melalui vagina.

Aroma air ketuban berbau amis dan tidak seperti bau amoniak, mungkin cairan

tersebut masih merembes atau menetes, dengan ciri pucat dan bergaris warna

darah. Cairan ini tidak akan berhenti atau kering karena terus diproduksi sampai

kelahiran. Tetapi bila Anda duduk atau berdiri, kepala janin yang sudah terletak di

bawah biasanya mengganjal atau menyumbat kebocoran untuk sementara.

Demam, bercak vagina yang banyak, nyeri perut, denyut jantung janin bertambah

205
cepat merupakan tanda-tanda infeksi yang terjadi.

D. Diagnosis

Pastikan selaput ketuban pecah.

Tanyakan waktu terjadi pecah ketuban.

Cairan ketuban yang khas jika keluar cairan ketuban sedikit-sedikit, tampung

cairan yang keluar dan nilai 1 jam kemudian.

Jika tidak ada dapat dicoba dengan menggerakan sedikit bagian terbawah

janin atau meminta pasien batuk atau mengedan.

Penentuan cairan ketuban dapat dilakukan dengan tes lakmus (nitrazintes),

jika lakmus merah berubah menjadi biru menunjukan adanya cairan ketuban

(alkalis). pH normal dari vagina adalah 4-4,7 sedangkan pH cairan ketuban

adalah 7,1-7,3. Tes tersebut dapat memiliki hasil positif yang salah apabila

terdapat keterlibatan trikomonas, darah, semen, lendir leher rahim, dan air

seni.

Tes Pakis, dengan meneteskan cairan ketuban pada gelas objek dan dibiarkan

kering. Pemeriksaan mikroskopik menunjukan kristal cairan amniom dan

gambaran daun pakis.

Tentuka usia kehamilan, bila perlu dengan pemeriksaan USG.

Tentukan ada tidaknya infeksi.

Tanda-tanda infeksi adalah bila suhu ibu lebih dari 38 C serta cairan ketuban

keruh dan berbau.

Leukosit darah lebih dari 15.000/mm3.

206
Janin yang mengalami takikardi, mungkin mengalami infeksi intrauterin.

Tentukan tanda-tanda persalinan.

Tentukan adanya kontraksi yang teratur

Periksa dalam dilakukan bila akan dilakukan penanganan aktif ( terminasi

kehamilan )

E. Pemeriksaan Penunjang
a. Ultrasonografi

Ultrasonografi dapat mengindentifikasikan kehamilan ganda, anormaly

janin atau melokalisasi kantong cairan amnion pada amniosintesis.


b. Amniosintesis

Cairan amnion dapat dikirim ke laboratorium untuk evaluasi kematangan

paru janin.
c. Pemantauanjanin

Membantu dalam mengevaluasi janin


d. Protein C-reaktif
Peningkatan protein C-reaktif serum menunjukkan peringatan

korioamnionitis

F. Terapi

1. Konservatif

Rawat di rumah sakit

Jika ada perdarahan pervaginam dengan nyeri perut, pikirkan solusio

plasenta

Jika ada tanda-tanda infeksi (demam dan cairan vagina berbau),

berikanantibiotika sama halnya jika terjadi amnionitosis

Jika tidak ada infeksi dan kehamilan < 37 minggu:

207
o Berikan antibiotika untuk mengurangi morbiditas ibu dan janin

Ampisilin 4x 500 mg selama 7 hari ditambah eritromisin 250 mg per

oral 3x perhari selama 7 hari.

Jika usia kehamilan 32 - 37 minggu, belum inpartu, tidak ada infeksi, beri

dexametason, dosisnya IM 5 mg setiap 6 jam sebanyak 4 x, observasi

tanda-tanda infeksi dan kesejahteraan janin.

Jika usia kehamilan sudah 32 - 37 minggu dan sudah inpartu, tidak ada

infeksi maka berikan tokolitik dexametason, dan induksi setelah 24 jam.

2. Aktif

Kehamilan lebih dari 37 minggu, induksi dengan oksitosin

Bila gagal Seksio Caesaria dapat pula diberikan misoprostol 25 mikrogram

50 mikrogram intravaginal tiap 6 jam max 4 x.

Bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotika dosis tinggi dan persalinan

diakhiri.

Indikasi melakukan induksi pada ketuban pecah dini adalah sebagai

berikut :

1. Pertimbangan waktu dan berat janin dalam rahim. Pertimbangan waktu

apakah 6, 12, atau 24 jam. Berat janin sebaiknya lebih dari 2000 gram.

2. Terdapat tanda infeksi intra uteri. Suhu meningkat lebih dari 38c,

dengan pengukuran per rektal. Terdapat tanda infeksi melalui hasil

pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan kultur air ketuban

Terapi lanjutan

1. Evaluasi suhu dan denyut nadi setiap 2 jam. Kenaikan suhu sering kali

208
didahului kondisi ibu yang menggigil.

2. Lakukan pemantauan DJJ. Pemeriksaan DJJ setiap jam sebelum persalinan

adalah tindakan yang adekuat sepanjang DJJ dalam batas normal.

Pemantauan DJJ ketat dengan alat pemantau janin elektronik secara

kontinu dilakukan selama induksi oksitosin untuk melihat tanda gawat

janin akibat kompresi tali pusat atau induksi. Takikardia dapat

mengindikasikan infeksi uteri.

3. Hindari pemeriksaan dalam yang tidak perlu.

4. Ketika melakukan pemeriksaan dalam yang benar-benar diperlukan,

perhatikan juga hal-hal berikut:

Apakah dinding vagina teraba lebih hangat dari biasa

Bau cairan di sarung tangan

Warna cairan di sarung tangan

G. Komplikasi
Infeksi maternal dan neonatal
Persalinan premature
Hipoksia karena kompresi tali pusat
Deformitas janin
Meningkatnya insiden seksio sesarea, atau gagal persalinan normal

(komplikasi yang timbul bergantung pada usia kehamilan)

H. Prognosis
Prognosis umumnya bonam pada ibu, namun dubia ad bonam pada janin

Referensi

1. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B Rachimhadhi, T. Wiknjosastro Gulardi H.

Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi keempat cetakan ketiga. PT

209
Bina Pustaka Sarwono Prawirohrdjo. Jakarta: 2010
2. Kementrian RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas

Kesehatan Dasar dan Rujukan. Kementrian Kesehatan RI. Jakarta: 2013


3. Kementrian RI dan IDI. Buku Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Pelayan

Primer, Standar Pelayanan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama, Edisi 1.

Jakarta: 2013.

210
DISTOSIA

1.1 DEFINISI

Distosia adalah partus yang tidak normal yang disebabkan kekuatan daya

pendorong, kelainan jalan lahir dan/atau kelainan pada janin.

Faktor - faktor yg mempengaruhi persalinan :

1. Power: Kekuatan daya pendorong yakni kekuatan his dan daya mengejan.

2. Passage: Jalan lahir.

3. Passenger: Keadaan janin.

Bila ditemukan satu/ lebih dalam persalinan dapat mengakibatkan :

1. Kemacetan Partus

2. Partus lama

3. Partus kasep

4. Ruptur uteri

Distosia akibat kelainan tenaga pendorong

Dapat disebabkan kelainan tenaga mengejan ( kala II ) maupun kelainan

his ( kala I / II ).

Kekuatan mengejan ditentukan ada / tidaknya refleks mengejan, otot

diafragma-abdomen, sistem kardio-resprasi, keadaan umum ibu dan

kesadaran.

Kelainan kekuatan mengejan meliputi: Daya mengejan yang lemah, terlalu

kuat atau tidak ada.

Penanganan: Pimpinan persalinan yang baik, kristeler dan Extraksi.

211
HIS

Kontraksi uterus yg mempunyai sifat :

Terasa sakit, tidak dipengaruhi kehendak, berirama, hilang timbul, peristaltik

dan makin kuat dan sering.

His yang Efektif :

1. Fundal dominant

2. Relaksasinya cukup.

3. Frekwensi 2-4 menit sekali( 10 menit/3 kali).

4. Intensitas cukup ( 50-60 mmHg ).

5. Lama kontraksi 40-60 detik.

Kelainan his dapat berupa :

1. His Hipotonik ( inertia uteri ): Dapat primer maupun sekunder.

2. His Hipertonik.

Koordinasi baik: Partus presipitatus.

Tanpa koordinasi baik: Constriction ring, tetania uteri, kontraksi uterus

setempat.

1.2 DIAGNOSIS

1. His Hipotonik :

Ibu tidak begitu nyeri, umumnya terjadi pada fase aktif.

Pendataranm / pembukaan tidak sesuai kurve friedman.

212
Terapi: Suportif, amniotomi, dan uterotonika.

2. His Hipertonik :

Terasa lebih nyeri, sering terjadi pada fase laten.

Terapi: Sedatif.

Distosia akibat kelainan jalan lahir

Kelainan/ kesempitan panggul :

Berkurangnya 1 /> ukuran panggul sebesar 1 cm / lebih dari normal.

Pembagian kelainan/ kesempitan panggul :

1. Berdasarkan caldwell moloy.

Panggul ginecoid, anthropoid, android dan platypelloid.

2. Tempat penyempitan.

Pintu atas panggul.

Pintu tengah panggul.

Pintu bawah panggul.

3. Kemampuan panggul.

Berdasar kemampuan panggul dilewati kepala atau badan.

Cara pemeriksaan: Penurunan kepala, Osborn test, muller test,

kemajuan persalinan ( pantogram ).

Kriteria diagnosa :

a. Kesempitan pintu atas panggul.

Conj. Vera < 10,0 cm atau diameter transversa < 12 cm.

213
b. Kesempitan pintu tengah panggul.

Diameter Interspinarum + sagitalis posterior pelvis < 13,5 cm (N 10,5 +

5).

Spina Ischiadika menonjol, dinding samping pelvis berkonvergen.

c. Kesempitan pintu bawah panggul.

Distansia tuberum < 8 cm.

Adaptasi janin terhadap mekanisme sempit panggul :

1. Terjadi Moulage.

2. Kepala menambah fleksinya.

3. Terjadi defleksi.

4. Terjadi Asynclitysmus.

Diagnosa kelainan / kesempitan panggul :

1. Adanya riwayat persalinan yang jelek.

2. Kepala masih tinggi atau perut menggantung.

3. Kelainan sikap atau cara berjalan.

4. Pengukuran panggul ( UPL/ UPD ).

5. Pelvimetri radiologik.

6. Pem.Imbang fetopelvik.

7. Perjalanan persalinan.

1.3 Penanganan :

1. Sectio sesaria.

2. Keadaan border line dapat dilakukan :

214
a. Trial of labour. yaitu evaluasi terus menerus kemajuan persalinan ( kurve

friedman ).

b. Test of labour, pembukaan lengkap ketuban pecah/dipecah, selama 1 jam

setelah his adekuat : kepala dapat melewati PAP.

Kelainan jalan lahir lunak :

1. Kelainan Pada serviks.

2. Kelainan Pada vagina.

3. Kelainan Pada vulva.

Kelainan sekitar jalan lahir :

1. Rectum / VU yang penuh.

2. Batu buli-buli.

3. Tumor gennitalia.

4. Tumor tulang panggul.

Distosia akibat kelainan janin.

Meliputi : Kelainan letak janin, mekanisme Persalinan, kelainan Bawaan,

janin besar dan kehamilan ganda.

Distosia akibat kelainan letak.

Kelainan letak yg sering dijumpai :

1. Letak sungsang.

2. Letak lintang.

3. Letak defleksi.

215
4. Presentasi rangkap.

5. Tali pusat menumbung.

1.4 KOMPLIKASI

- Infeksi intrapartum

- Ruptura uteri

- Pembentukan fistula

- Cedera otot-otot dasar panggul

- Kaput suksedaneum

- Molase kepala janin

- Kematian ibu dan anak

1.5 PROGNOSIS

Peningkatan kematian perinatal, partus lama, trauma akibat tindakan pertolongan.

216
1. Wibowo B, Soejoenoes A. Hiperemesis Gravidarum. Dalam: Wiknjosastro

H. Ilmu Kebidanan. Edisi ketiga. Cetakan ketujuh. Jakarta: Yayasan Bina

Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2005. hal 275-279

2. Cunningham F. Gary, Kenneth J. Leveno, Steven L. Bloom, Catherine Y.

Spong, Jodi S. Dashe, Barbara L. Hoffman, Brian M. Casey, Jeanne S.

Sheffield. Williams Obstetric 24 ed. McGraw-Hill. 2014. 2014


3. Kementrian RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di

Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Kementrian Kesehatan RI.

Jakarta: 2013
4. Kementrian RI dan IDI. Buku Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter

Pelayan Primer, Standar Pelayanan di Fasilitas Kesehatan Tingkat

Pertama, Edisi 1. Jakarta: 2013.

217
PARTUS LAMA

A. Definisi

Partus lama adalah persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam pada

primigravida dan lebih dari 18 jam pada multigravida. Persalinan (partus) lama

ditandai dengan fase laten lebih dari 8 jam, persalinan telah berlangsung 12 jam

atau lebih tanpa kelahiran bayi, dan dilatasi serviks di kanan garis waspada pada

partograf.

Partus lama disebut juga distosia, di definisikan sebagai persalinan abnormal/

sulit.

B. Etiologi

Menurut Sarwono (2010) sebab-sebab persalinan lama dapat digolongkan

menjadi 3 yaitu:

1. Kelainan Tenaga (Kelainan His)

His yang tidak normal dalam kekuatan atau sifatnya menyebabkan

kerintangan pada jalan lahir yang lazim terdapat pada setiap persalinan,

tidak dapat diatasi sehingga persalinan mengalami hambatan atau

kemacetan. Jenis-jenis kelainan his yaitu:

a. Inersia Uteri

Disini his bersifat biasa dalam arti bahwa fundus berkontraksi

lebih kuat dan lebih dahulu pada bagian lainnya. Selama

ketuban masih utuh umumnya tidak berbahaya bagi ibu

218
maupun janin kecuali jika persalinan berlangsung terlalu lama.

b. Incoordinate Uterine Action

Disini sifat his berubah, tonus otot uterus meningkat, juga di

luar his dan kontraksinya berlansung seperti biasa karena tidak

ada sinkronisasi antara kontraksi. Tidak adanya koordinasi

antara bagian atas, tengah dan bagian bawah menyebabkan his

tidak efisien dalam mengadakan pembukaan. Tonus otot yang

menaik menyebabkan nyeri yang lebih keras dan lama bagi ibu

dan dapat pula menyebabkan hipoksia janin.

2. Kelainan Janin

Persalinan dapat mengalami gangguan atau kemacetan karena

kelainan dalam letak atau bentuk janin (Janin besar atau ada kelainan

konginetal janin)

3. Kelainan Jalan Lahir

Kelainan dalam bentuk atau ukuran jalan lahir bisa menghalangi

kemajuan persalinan atau menyebabkan kemacetan.

C. Tanda dan Gejala

Gejala klinik partus lama terjadi pada ibu dan juga pada janin.

1. Pada ibu

Gelisah, letih, suhu badan meningkat, berkeringat, nadi cepat,

pernapasan cepat dan meteorismus. Di daerah lokal sering dijumpai: Ring

v/d Bandle, oedema serviks, cairan ketuban berbau, terdapat mekonium.

2. Pada janin :

219
a. Denyut jantung janin cepat atau hebat atau tidak teratur bahkan

negarif, airketuban terdapat mekonium, kental kehijau-hijauan,

berbau.

b. Kaput succedaneum yang besar

c. Moulage kepala yang hebat

d. Kematian Janin Dalam Kandungan (KJDK)

e. Kematian Janin Intra Parental (KJIP)

Menurut Manuaba (2010), gejala utama yang perlu diperhatikan pada

partus lama antara lain :

1. Dehidrasi

2. Tanda infeksi : temperatur tinggi, nadi dan pernapasan, abdomen

meteorismus

3. Pemeriksaan abdomen : meteorismus, lingkaran bandle tinggi, nyeri segmen

bawah rahim

4. Pemeriksaan lokal vulva vagina : edema vulva, cairan ketuban berbau, cairan

ketuban bercampur mekonium

5. Pemeriksaan dalam : edema servikalis, bagian terendah sulit di dorong ke

atas,

terdapat kaput pada bagian terendah

6. Keadaan janin dalam rahim : asfiksia sampai terjadi kematian

7. Akhir dari persalinan lama : ruptura uteri imminens sampai ruptura uteri,

kematian karena perdarahan atau infeksi.

220
D. Klasikasi Persalinan Lama

1. Fase laten memanjang

Yaitu fase laten yang melampaui 20 jam pada primi gravida atau 14 jam

pada multipara

2. Fase aktif memanjang

Yaitu fase aktif yang berlangsung lebih dari 12 jam pada primi gravida dan

lebih dari 6 jam pada multigravida. Dan laju dilatasi serviks kurang dari

1,5 cm per jam 3.

3. Kala 2 lama

Yaitu kala II yang berlangsung lebih dari 2 jam pada prmigravida dan 1

jam pada multipara.

E. Dampak Persalinan Lama

1. Bahaya bagi ibu

Beratnya cedera meningkat dengan semakin lamanya proses persalinan,

resiko tersebut naik dengan cepat setelah waktu 24 jam. Terdapat kenaikan

pada insidensi atonia uteri, laserasi, perdarahan, infeksi, kelelahan ibu dan

shock. Angka kelahiran dengan tindakan yang tinggi semakin

memperburuk bahaya bagi ibu.

2. Bahaya bagi janin

Semakin lama persalinan, semakin tinggi morbiditas serta mortalitas janin

dan semakin sering terjadi keadaan berikut ini :

a. Asfiksia akibat partus lama itu sendiri

b. Trauma cerebri yang disebabkan oleh penekanan pada kepala

221
janin

c. Cedera akibat tindakan ekstraksi dan rotasi dengan forceps

yang

sulit

d. Pecahnya ketuban lama sebelum kelahiran. Keadaan ini

mengakibatkan terinfeksinya cairan ketuban dan selanjutnya

dapat membawa infeksi paru-paru serta infeksi sistemik pada

janin.

F. Diagnosis

Faktor-faktor penyebab persalinan lama :

1. His tidak efisien / adekuat

2. Faktor janin

3. Faktor jalan lahir

Diagnosis persalinan lama :

Tanda dan gejala Diagnosis


Serviks tidak membuka. Belum in partu.

Tidak didapatkan his / his tidak teratur.


Pembukaan serviks tidak melewati 4 cm Fase laten memanjang.

sesudah 8 jam in partu dengan his yang

teratur.
Pembukaan serviks melewati kanan garis Fase aktif memanjang.

waspada partograf.

a. Frekuensi his berkurang dari 3 his per 10


a. Inersia uteri.

menit dan lamanya kurang dari 40 detik.

b. Pembukaan serviks dan turunnya bagian


b. Disproporsi sefalopelvik.

222
janin yang dipresentasi tidak maju dengan

kaput, terdapat moulase yang hebat,

oedema serviks, tanda ruptura uteri


c. Malpresentasi atau malposisi.

imminens, gawat janin.

c. Kelainan presentasi (selain vertex

dengan oksiput anterior).


Pembukaan serviks lengkap, ibu ingin Kala II lama.

mengedan, tetapi tak ada kemajuan

penurunan.

G. Penatalaksanaan

1. Penanganan Umum

a. Perawatan pendahuluan :

Penatalaksanaan penderita dengan partus kasep (lama) adalah

sebagai berikut :

1) Nilai dengan segera keadaan umum ibu hamil dan janin (termasuk

tanda

vital dan tingkat dehidrasinya).

2) Kaji nilai partograf, tentukan apakah pasien berada dalam

persalinan;Nilai frekuensi dan lamanya his.

3) Suntikan cortone acetate 100-200 mg intramuscular.

4) Penisilin prokain : 1 juta IU intramuscular.

5) Streptomisin : 1 gr intramuscular.

6) Infuse cairan : Larutan garam fisiologis (NaCl), Larutan glucose 5-

10

223
% pada janin pertama : 1 liter per jam.

7) Istirahat 1 jam untuk observasi, kecuali bila keadaan mengharuskan

untuk segera bertindak.

b. Pertolongan :

Dapat dilakukan partus spontan, ekstraksi vakum, ekstraksi forsep, manual

aid pada letak sungsang, embriotomi bila janin meninggal, secsio cesaria,

dan lain-lain.

2. Penanganan khusus

a. Fase laten memanjang (prolonged latent phase)

Diagnosis fase laten memanjang di buat secara retrospektif. Jika his

berhenti, pasien disebut belum in partu atau persalinan palsu. Jika his

makin teratur dan pembukaan makin bertambah lebih dari 4 cm, masuk

dalam fase laten.

Jika fase laten lebih dari 8 jam dan tidak ada tanda-tanda kemajuan,

lakukan penilaian ulang terhadap serviks :

1) Jika tidak ada perubahan pada pendataran atau pembukaan serviks dan

tidak ada gawat janin, mungkin pasien belum in partu.

2) Jika ada kemajuan dalam pendataran dan pembukaan serviks, lakukan

amniotomi dan induksi persalinan dengan oksitosin atau prostaglandin.

224
a) Lakukan penilaian ulang setiap 4 jam.

b) Jika pasien tidak masuk fase aktif setelah dilakuakan pemberian

oksitosin selama 8 jam, lakukan seksio sesarea.

3) Jika didapatkan tanda-tanda infeksi (demam,cairan vagina berbau) :

a) Lakukan akselerasi persalinan dengan oksitosin.

b) Berikan antibiotic kombinasi sampai persalinan.

- Ampisilin 2 g I.V. setiap 6 jam

- Ditambah gentamisin 5mg / kg BB IV setiap 24 jam.

- Jika terjadi persalinan pervaginan stop antibiotic pascapersalinan.

- Jika dilakukan seksio sesarea, lanjutkan antibiotika

ditambah metrinodazol 500 mg IV setiap 8 jam sampai ibu bebas

demam selama 48 jam.

b. Fase aktif memanjang

1) Jika tidak ada tanda-tanda disproporsi sefalopelvik atau obstruksi dan

ketuban masih utuh, pecahkan ketuban

2) Nilai his :

a) Jika his tidak adekuat (kurang dari 3 his dalam 10 menit dan

lamanya kurang dari 40 detik) pertimbangkan adanya insertia uteri.

b) Jika his adekuat (3 kali dalam 10 menit dan lamanya lebih dari 40

detik), pertimbangkan adanya disproporsi, obstruksi, malposisi atau

malpenetrasi.

c) Lakukan penanganan umum yang akan memperbaiki his dan

mempercepat kemajuan persalinan.

225
c. Kala Dua Lama

1) memimpin ibu meneran jika ada dorongan untuk meneran spontan

2) Jika tidak ada mal posisi /malpresentasi berikan drip oxytocin

3) Jika tidak ada kemajuan penurunan kepala:

a) Jika letak kepala lebih dari 1/5 di atas simfisis pubis atau bagian

tulang kepala dari stasion (0) lakukan ekstraksi vakum

b) Jika kepala antara 1/5 - 3/5 di atas simfisis pubis lakukan ekstraksi

vakum

c) Jika kepala lebih dari 3/5 di atas simfisis pubis lakukan SC

DAFTAR PUSTAKA

Prawirohardjo, S. 2010. Ilmu Kebidanan . Jakarta : PT. Bina Pustaka

Sarwono Prawirohardjo

Manuwaba, Ida Bagus Gde. 2010 . Ilmu kebidanan Penyakit Kandungan

dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC

Rustam, mochtar. 1998. Sinopsis Obstetri Jilid I. Jakarta : EGC

226
PROLAPS TALI PUSAT

1. Definisi

Prolaps Tali Pusat adalah keadaan darurat yang mana keadaan tali pusat

dipindahkan diantara bagian yang disiapkan untuk janin dan tulang pelvis ibu.

Prolaps tali pusat adalah tali pusat berada di samping atau melewati bagian

terendah janin dalam jalan lahir sebelum ketuban pecah.

Talipusat dapat berada dalam vagina ( occult prolapse ) atau berada diluar

vagina (di perineum) seperti terlihat pada gambar dibawah :

Prolapsus talipusat melalui dilatasi servik yang masih belum lengkap

Prolaps umbilical cord dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Tali pusat terkemuka, bila tali pusat berada dibawah bagian terendah janin

dan ketuban masih intak.

Tali pusat menumbung, bila tali pusat keluar melalui ketuban yang sudah

pecah, ke serviks, dan turun ke vagina.

Tali pusat menumbung (prolapsus funikuli) secara langsung tidak

mempengaruhi keadaan ibu, sebaliknya sangat membahayakan janin

karena tali pusat dapat tertekan antara bagian depan janin dan dinding

227
panggul yang akhirnya menimbulkan asfiksia pada janin. Bahaya terbesar

pada presentasi kepala, karena setiap saat tali pusat dapat terjepit antara

bagian terendah janin dengan jalan lahir dapat mengakibatkan gangguan

oksigenasi janin. Pada tali pusat terdepan atau tali pusat terkemuka,

sebelum terdepan ketuban pecah, ancaman terhadap janin tidak seberapa

besar, tetapi setelah ketuban pecah, bahaya kematian janin sangat besar.

Occult prolapsed ( tali pusat tersembunyi ) adalah keadaan dimana tali

pusat terletak di samping kepala atau di dekat pelvis tapi tidak dalam

jangkauan jari pada pemeriksaan vagina

Tali pusat lebih mungkin mengalami prolapsus jika ada sesuatu yang

mencegah bagian presentasi janin di segmen bawah uterus atau

penurunannya ke dalam panggul ibu.

Presentasi tali pusat dan tali pusat tersembunyi jarang terdiagnosis,

sehingga memerlukan pemeriksaan yang teliti. Pemeriksaan ini harus

dilakukan pada semua kasus persalinan, seperti pada persalinan preterm

atau jika terdapat malpresentasi atau malposisi janin.

Gambar 1. Tali pusat terkemuka

228
Gambar 2. Tali pusat menumbung (Prolapsus funikuli)

Gambar 3. Occult Prolapse ( tali pusat tersembunyi )

229
Gambar 4. Letak tali pusat normal

Gambar 5. Prolapsus tali pusat

2. Insiden

Insiden teerjadinya prolapse tali pusat adalah 1 : 3000 kelahiran, tali pusat

menumbung kira-kira 1 : 2000 kelahiran, tetapi insiden dari tali pusat tersembunyi

50% tidak diketahui. Myles melaporkan hasil penelitiannya dalam kepustakaan

dunia bahwa angka kejadian prolapse tali pusat berkisar antara 0,3% - 0,6%

230
persalinan. Keadaan prolapse tali pusat lebih mungkin terjadi pada malpresentasi

atau malposisi janin, antara lain : presentasi kepala (0,5%), letak sungsang

(5%),presentasi kaki (15%), dan letak lintang (20%). Prolapse ttali pusat juga

sering terjadi jika tali pusat panjang dan jika plasenta letak rendah. Mortalitas

terjadinya tali pusat menumbung pada janin sekitar 11-17%. Penjepitan dan

tekanan tali pusat oleh bagian terendah janin terutama kepala menyebabkan

gangguan fungsi sirkulasi uteroplasenta yang membuat janin kekurangan oksigen

(hipoksia) dan menimbulkan kematian.

Prognosis janin bergantung pada beberapa faktor berikut :

Angka kematian untuk bayi premature dengan prolapse tali pusat hamper 4

kali lebih tinggi dari pada bayi aterm

Bila gawat janin dibuktikan oleh detak jantung yang abnormal, adanya

cairan amnion yang terwarnai oleh meconium, atau tali pusat pulasasinay

lemah, maka prognosis janin lemah

Jarak antara terjadinya prolapse dan persalinan merupakan factor yang

paling kritis untuk janin hidup

Angka kematian janin pada prolapse tali pusat yang letaknya sungsang

atau lintang sama tingginya dengan presentasi kepala. Hal ini

menghapuskan perkiraan bahwa pada kedua letak janin yang abnormal

tekanan pada tali pusatnya tidak kuat.

3. Etiologi

Setiap factor yang mengganggu adaptasi bagian terendah janin dengan

pintu atas panggul akan memberi kecenderungan (predisposisi) terjadinya

prolapse tali pusat. Beberapa predisposisi tersebut, sebagai berikut :

231
1 Presentasi atau letak janin yang tidak normal seperti letak lintang terutama

pada

a punggung janin di fundus

b letak sungsang

c presentasi muka atau dahi, dan presentasi ganda.

Keadaan-keadaan tersebut biasanya dapat membuat jalan lahir tidak terisi

penuh, sehingga memudahkan timbulnya prolapse tali pusat.

2 Keadaan dimana presentasi janin masih tinggi atau belum masuk PAP,

seperti pada multiparitas, prematuritas dan panggul sempit.

3 Polihidramnion, dimana air ketuban lebih banyak dari normal sehingga

sewaktu ketuban pecah, air ketuban keluar sering disertai prolapse tali

pusat.

4 Kehamilan ganda, prolaps tali pusat sering terjadi saat melahirkan bayi

yang kedua

5 Ada kelainan pada tali pusat seperti tali pusat yang panjang atau insersi tali

pusat di tepi plasenta bagian yang terendah.

6 Kondisi obstetri dimana pintu atas panggul tidak sepenuhnya ditempati

dengan bagian terendah janin (presentasi) akan memudahkan terjadinya

prolapsus tali.

7 Prematuritas, Seringnya kedudukan abnormal pada persalinan prematur,

yang salah satunya disebabkan karena bayi yang kecil.

232
4. manifestasi klinis

Tali pusat kelihatan menonjol keluar dari vagina.

Tali pusat dapat dirasakan/ diraba dengan tangan didalam bagian yang

lebih sempit dari vagina.

Keadaan jalan lahir yang berbahaya mungkin terjadi sebagai mana tali

pusat ditekan antara bagian presentase dan tulang panggul.

Bradikardia janin ( DJJ <100x/menit)

Hipoksia Janin

5. pemeriksaan penunjang

Jika tali pusat dapat diraba pada pemeriksaan vagina, harus dicari

pulsasinya dan bunyi jantung janin diperiksa untuk menentukan apakah masih

rentang normal atau menunjukkan takikardia atau bradikardia. Bunyi jantung

normalnya 120-140x per menit.

Gambar 7. Prolapsus tali pusat pada pemeriksaan ultrasonografi

233
Diagnosis prolapsus tali pusat ditegakkan jika pada pemeriksaan dalam teraba

tali pusat yang berdenyut pada pemeriksaan vagina atau jika tali pusat tampak

keluar dari vagina, namun adakalanya hal ini tidak teraba pada pemeriksaan dalam

yang disebut occult prolapse / tali pusat tersembunyi. Selain itu prolapsus tali

pusat harus dicurigai bila bunyi jantung janin menjadi tidak teratur disertai dengan

periodik bradikardi atau takikardi dengan durasi bervariasi. Diagnosis pasti juga

dapat ditegakkan melalui pemeriksaan ultrasonografi (USG) obstetri.

Dua masalah utama yang terjadi pada tali pusat dan keduanya akan

menyebabkan terhentinya aliran darah pada tali pusat dan kematian janin.

1 Talipusat terjepit antara bagian terndah janin dengan panggul ibu

2 Spasme pembuluh darah talipusat akibat suhu dingin diluar tubuh ibu

Pemeriksaan cardiotocography selalu memperlihatkan gambaran gawat janin

dalam bentuk deselerasi lambat yang sangat dalam atau deselerasi berkepanjangan

tunggal seperti terlihat pada gambar dibawah:

Gambaran CTG seperti ini merupakan indikasi untuk melakukan vaginal touche

untuk melihat kemungkinan adanya prolapsus talipusat

Pada beberapa keadaan diagnosa sangat mudah ditegakkan yaitu dengan

234
terlihatnya tali pusat di luar vagina, namun dugaan diagnosa yang mendorong

perlunya dilakukan pemeriksaan VT adalah adanya gambaran CTG yang sangat

mencurigakan diatas.

Sangat dianjurkan untuk memeriksa kemungkinan adanya prolapsus tali pusat

pasca melakukan tindakan amniotomi

6. Penatalaksanaan

Prolapsus tali pusat merupakan suatu keadaan darurat yang membutuhkan

intervensi segera untuk memastikan oksigenasi ke fetus.

a Jika pembukaan belum lengkap.

Tindakan yang dapat dilakukan:

Reposisi Tali Pusat.

Bila tali pusat masih berdenyut namun pembukaan belum lengkap,

dapat dilakukan reposisi tali pusat. Masukkan gumpalan kain kasa tebal

ke dalam jalan lahir, lilitkan dengan hati-hati ke tali pusat kemudian

dorong seluruhnya perlahan-lahan ke kavum uteri di atas bagian

terendah janin.Tindakan ini lebih mudah bila ibu dalam posisis

trendelenberg.

Seksio Cesarea

Jaga agar tali pusat tidak mengalami tekanan dan terjepit oleh bagian

terendah janin.Untuk hal ini pasien dalam posisi

trendelenberg.masukkan satu tangan ke dalam vagina untuk mencegah

turunnya bagian terendah di dalam rongga panggul.

Jika reposisi berhasil,tekan fundus uteri agar bagian terdepan / terbawah

235
janin turun.Kalau perlu berikan oksitoksin drips dan tunggu partus

spontan. Jika reposisi tidak berhasil dorong bagian terdepan ke atas agar

tali pusat tidak tertekan dan letakkan ibu dalam posisi terndelenberg

atau posisi sims dengan bantal diletakkan dibawah perut atau pinggul

ibu dan segera untuk dilakukan seksio cesarea dengan tangan tetap

dipertahankan dalam vagina sampai bayi lahir.

b Jika pembukaan sudah lengkap

Jika pembukaan sudah lengkap,maka persalinan harus segera diselesaikan

sesuai dengan presentasi janin.

Presentasi kepala: pimpin mengedan dan ekstraksi vakum.Bila

janin mati,biarkan terjadi partus spontan

Presentasi bokong / kaki : reposisi tali pusat dan usahakan

persalinan pervagina dengan segera.. Jika reposisi gagal,lakukan dengan

ekstraksi bokong atau dengan seksio cesarea.

Letak melintang : pertahankan posisi trendelenberg,dorong bahu

janin ke atas dan lakukan seksio cesarea.

236
7. komplikasi

1 Pada Ibu

Dapat menyebabkan infeksi intra partum, pecahnya ketuban menyebabkan

bakteri di dalam cairan amnion menembus amnion dan menginvasi desidua

serta pembuluh korion sehingga terjadi bakterimia dan sepsis pada ibu dan

janin. Sedangkan pemeriksaan serviks dengan jari tangan akan memasukkan

bakteri vagina kedalam uterus. Pemeriksaan ini harus dibatasi selama

persalinan, terutama apabila dicurigai terjadi distosia. Infeksi merupakan

bahaya yang serius yang mengancam ibu dan janinnya pada partus lama.

2 Pada janin

a Gawat janin
Distres janin sehingga bisa mengakibatkan bayi mati.
Gawat janin adalah keadaan atau reaksi ketika janin tidak

237
memperoleh oksigen
yang cukup, terjadi hipoksia.
Gawat janin dapat diketahui dari tanda-tanda berikut:
1 Frekuensi bunyi jantung janin kurang dari 120 x / menit atau

lebih dari 160 x / menit.


2 Berkurangnya gerakan janin (janin normal bergerak lebih dari

10 x / hari).
3 Adanya air ketuban bercampur mekonium, warna kehijauan

(jika bayi lahir dengan letak kepala).


b. Cerebral palsy adalah gangguan yang mempengaruhi otot, gerakan, dan

ketrampilan motorik (kemampuan untuk bergerak dalam cara yang

terkoordinasi dan terarah) akibat dari rusaknya otak karena trauma lahir

atau patologi intrauterin (Chuningham dkk, 2005).

Daftar Pustaka

1. Sarwono, 2012. lmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka

Prawirohardjo.

2. Wikajosastro, H., 2011. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka

Sarwono Prawirohardjo.

3. Rustam, mochtar. 1998. Sinopsis obstetric; obstetric fisiologi, obstetric

238
patologi edisi ke 2. Jakarta: EGC.

4. Cunningham, Gary. 2009. Obstetri Williams edisi ke 23. Jakarta: EGC

239
HIPOKSIA JANIN

Definisi

Asfiksia pada bayi baru lahir (BBL) menurut IDAI (Ikatatan Dokter Anak

Indonesia) adalah kegagalan nafas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau

beberapa saat setelah lahir.

Menurut AAP asfiksia adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh

kurangnya O2 pada udara respirasi, yang ditandai dengan:

a. Asidosis (pH<7,0) padadarah arteri umbilikalis

b. Nilai APGAR setelah menitke-5 tetep 0-3

c. Menifestasi neurologis (kejang, hipotoni, koma atau hipoksikiskemia

ensefalopati)

d. Gangguan multiorgan sistem.

Keadaan ini disertai dengan hipoksia, hiperkapnia dan berakhir dengan

asidosis. Hipoksia yang terdapat pada penderita asfiksia merupakan faktor

terpenting yang dapat menghambat adaptasi bayi baru lahir (BBL) terhadap

kehidupan uterin.

Asfiksia berarti hipoksia yang progresif, penimbunan CO2 dan asidosis.

Bila proses ini berlangsung terlalu jauh dapat mengakibatkan kerusakan otak atau

kematian. Asfiksia juga dapat mempengaruhi fungsi organ vital lainnya.Pada

bayi yang mengalami kekurangan oksigen akan terjadi pernapasan yang cepat

dalam periode yang singkat.Apabila asfiksia berlanjut, gerakan pernafasan akan

berhenti, denyut jantung juga mulai menurun, sedangkan tonus neuromuscular

240
berkurang secara berangsur angsur dan bayi memasuki periode apnea yang

dikenal sebagai apne primer. Perlu diketahui bahwa kondisi pernafasan megap-

megap dan tonus otot yang turun juga dapat terjadi akibat obat-obat yang

diberikan kepada ibunya. Biasanya pemberian perangsangan dan oksigen selama

periode apnea primer dapat merangsang terjadinya pernafasan spontan. Apabila

asfiksia berlanjut, bayi akan menunjukkan pernafasan megap megap yang

dalam, denyut jantung terus menurun, tekanan darah bayi juga mulai menurun

dan bayi akan terlihat lemas (flaccid). Pernafasan makin lama makin lemah

sampai bayi memasuki periode apnea yang disebut apnea sekunder.

Patofisiologi

Gangguan suplai darah ter oksigenasi melalui vena umbilical dapat terjadi

pada saat antepartum, intrapartum, dan pascapartum saat tali pusat dipotong.

Hal ini diikuti oleh serangkaian kejadian yang dapat diperkirakan ketika

asfiksia bertambah berat.

1. Awalnya hanya ada sedikit nafas. Sedikit nafas ini dimaksudkan untuk

mengembangkan paru, tetapi bila paru mengembang saat kepala dijalan

lahir atau bila paru tidak mengembang karena suatu hal, aktivitas singkat ini

akan diikuti oleh henti nafas komplit yang disebut apnea primer.

2. Setelah waktu singkat lama asfiksia tidak dikaji dalam situasi klinis karena

dilakukan tindakan resusitasi yang sesuaiusaha bernafas otomatis dimulai.

Halini hanya akan membantu dalam waktu singkat, kemudian jika paru tidak

mengembang, secara bertahap terjadi penurunan kekuatan dan frekuensi

pernafasan. Selanjutnya bayiakan memasuki periode apnea terminal.

Kecuali jika dilakukan resusitasi yang tepat, pemulihan dari keadaan

241
terminal ini tidak akan terjadi.

3. Frekuensi jantung menurun selama apnea primer dan akhirnya turun di

bawah 100 kali/menit. Frekuensi jantung mungkin sedikit meningkat

saat bayi bernafas terengah-engah tetapi bersama dengan menurun dan

hentinya nafas terengah engah bayi, frekuensi jantung terus berkurang.

Keadaan asam - basa semakin memburuk, metabolisme selular gagal,

jantung pun berhenti. Keadaan ini akan terjadi dalam waktu cukup lama.

4. Selama apnea primer, tekanan darah meningkat bersama dengan pelepasan

ketokolamin dan zat kimia stress lainnya. Walupun demikian, tekanan darah

yang terkait erat dengan frekuensi jantung, mengalami penurunan tajam

selama apnea terminal.

5. Terjadi penurunan pH yang hampir linier sejak awitan asfiksia. Apnea

primer dan apnea terminal mungkin tidak selalu dapat dibedakan. Pada

umumnya bradikardi berat dan kondisi syok memburuk apnea terminal.

Etiologi

Faktor-faktor yang dapat menimbulkan gawat janin (asfiksia) antara lain :

a. Faktor ibu

1) Preeklampsia dan eklampsia

2) Pendarahan abnormal (plasenta previa atau solusio plasenta)

3) Partus lama atau partus macet

4) Demam selama persalinan Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV)

5) Kehamilan Lewat Waktu (sesudah 42 minggu kehamilan)

b. Faktor Tali Pusat

242
1) Lilitan tali pusat

2) Talipusat pendek

3) Simpul talipusat

4) Prolapsus talipusat.

c. Faktor bayi

1) Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan)

2)Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ekstraksi

vakum, ekstraksi forsep)

3)Kelainan bawaan(kongenital)

4)Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan).

Manifestasi klinik

Asfiksia biasanya merupakan akibat hipoksia janin yang menimbulkan tanda-

tanda klinis pada janin atau bayi berikut ini :

a. DJJ lebih dari 100x/menit atau kurangdari 100x/menit tidak teratur

b. Mekonium dalam air ketuban pada janin letak kepala

c. Tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak, otot, dan organ

lain

d. Depresi pernafasan karenaotak kekurangan oksigen

e. Bradikardi (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan oksigen pada

otot-otot jantung atau sel-sel otak

f. Tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen pada otot jantung,

kehilangan darah atau kekurangan aliran darah yang kembali ke plasenta

sebelum dan selama proses persalinan

g. Takipneu (pernafasan cepat) karena kegagalan absorbsi cairan paru-paru

243
atau nafas tidak teratur/megap-megap

h. Sianosis (warna kebiruan) karena kekurangan oksigen didalam darah

i. Penurunan terhadap spinkters

j. Pucat

Tabel 1. Skor Apgar

Skor 0 1 2
Frekuensi jantung Tidak ada <100x/menit >100x/menit
Usaha pernafasan Tidak ada Tidak teratur, lambat Teratur,

Tonus otot Lemah Beberapa tungkai Semua tungkai

Iritabilitas reflex Tidak ada Menyeringai Batuk/menangis


Warna kulit Pucat Biru Merah muda

Nilai Apgar pada umumnya dilaksanakan pada 1 menit dan 5

menit sesudah bayi lahir. Akan tetapi, penilaian bayi harus dimulai

segera sesudah bayi lahir. Apabila bayi memerlukan intervensi

berdasarkan penilaian pernafasan, denyut jantung atau warna bayi, maka

penilaian ini harus dilakukan segera. Intervensi yang harus dilakukan

jangan sampai terlambat karena menunggu hasil penilaian Apgar 1 menit.

Kelambatan tindakan akan membahayakan terutama pada bayi yang

mengalami depresi berat.

Diagnosis

Untuk dapat menegakkan gawat janin dapat ditetapkan dengan melakukan

pemeriksaan sebagai berikut :

1. Denyut jantung janin.

Frekeunsi denyut jantung janin normal antara 120160 kali per menit.

244
Peningkatan kecepatan denyut jantung umum nya tidak banyak artinya, akan

tetapi apabila frekeunsi turun sampai dibawah 100 per menit diluar his, dan

lebih lebih jika tidak teratur, hal itu merupakan tanda bahaya.

2. Mekonium di dalam air ketuban.

Mekonium pada presentasi - sunsang tidak ada artinya, akan tetapi pada

presentasi kepala mungkin menunjukkan gangguan oksigenisasi dan harus

menimbulkan kewaspadaan. Adanya mekonium dalam air ketuban pada

presentasi-kepala dapat merupakan indikasi untuk mengakhiri persalinan bil

ahal itu dapat dilakukan dengan mudah.

3. Pemeriksaan pH darah janin.

Dengan menggunakan amnioskop yang dimasukan lewat servik dibuat

sayatan kecil pada kulit kepala janin, dan diambil contoh darah janin. Darah

ini diperiksa pH-nya. Adanya asidosis menyebabkan turunnya pH. Apa bila

pH itu turun sampai di bawah 7,2 hal itu dianggap sebagai tanda bahaya oleh

beberapa penulis.

Penatalaksanaan

Bayi baru lahir dalam apnu primer dapat memulai pola pernapasan biasa,

walaupun mungkin tidak teratur dan mungkin tidak efektif, tanpa intervensi

khusus. Bayi baru lahir dalam apnu sekunder tidak akan bernapas sendiri.

Pernapasan buatan atau tindakan ventilasi dengan tekanan positif (VTP) dan

oksigen diperlukan untuk membantu bayi memulai pernapasan pada bayi baru

lahir dengan apnu sekunder.

Langkah-langkah resusitasi neonatus

Pada pemeriksaan atau penilaian awal dilakukan dengan menjawab 3 pertanyaan:

245
Apakah bayi cukup bulan

Apakah bayi bernapas atau menangis?

Apakah tonus otot bayi baik atau kuat

Bila semua jawaban ya maka bayi dapat langsung dimasukkan dalam prosedur

perawatan rutin dan tidak dipisahkan dari ibunya. Bayi dikeringkan, diletakkan

di dada ibunya dan diselimuti dengan kain linen kering untuk menjaga suhu. Bila

terdapat jawaban tidak dari salah satu pertanyaan diatas maka bayi

memerlukan satu atau beberapa tindakan resusitasi berikut ini secara berurutan:

1. Langkah awal dalam stabilisasi

(a) Memberikan kehangatan

Bayi diletakkan dibawah alat pemancar panas (radiant

warmer) dalam keadaan telanjang agar panas dapat

mencapai tubuh bayi dan memudahkan eksplorasi seluruh

tubuh.

(b)Memposisikan bayi dengan sedikit menengadahkan

Kepalanya Bayi diletakkan telentang dengan leher sedikit

tengadah dalam posisi menghidu agar posisi farings, larings

dantrakea dalam satu garis lurus yang akan mempermudah

masuknya udara.

(c) Membersihkan jalan napas sesuai keperluan

Aspirasi mekoneum saat proses persalinan dapat

menyebabkan pneumonia aspirasi.

Cara yang tepat untuk membersihkan jalan napas adalah

bergantung pada keaktifan bayi dan ada/tidak nya

246
mekonium. Bila terdapat mekoneum dalam cairan amnion

dan bayi tidak bugar (bayi mengalami depresi pernapasan,

tonus otot kurang dan frekuensi jantung kurang dari 100x/

menit) segera dilakukan penghisapan trakea sebelum timbul

pernapasan untuk mencegah sindrom aspirasi mekonium.

(d)Mengeringkan bayi ,merangsang pernapasan dan meletakkan

pada posisi yang benar. Meletakkan pada posisi yang benar,

menghisap sekret, dan mengeringkanakan memberi

rangsang yang cukup pada bayi untuk memulai pernapasan.

2. Ventilasi Tekanan Positif (VTP)

Pastikan bayi diletakkan dalam posisi yang benar.

Agar VTP efektif, kecepatan memompa (kecepatan

ventilasi) dan tekanan ventilasi harus sesuai.

Kecepatan ventilasi sebaiknya 40-60 kali/menit.

Tekanan ventilasi yang dibutuhkan sebagai berikut. Nafas

pertama setelah lahir, membutuhkan : 30-40 cmH2O.

Setelah nafas pertama, membutuhkan : 15-20cmH2O.

Bayi dengan kondisi atau penyakit paru paru yang

berakibat turunnya compliance, membutuhkan : 20-40

cmH2O. Tekananventilasi hanya dapat diatur apabila

digunakan balonyang mempunyai pengukuran tekanan.

Observasi gerak dada bayi : adanya gerakan dada bayi

turun naik merupakan bukti bahwa sungkup terpasang

dengan baik dan paru-paru mengembang. Bayi seperti

247
menarik nafas dangkal. Apabila dada bergerak

maksimum, bayi seperti menarik nafas panjang,

menunjukkan paru-paru terlalu mengembang, yang

berarti tekanan diberikan terlalu tinggi. Hal ini dapat

menyebabkan pneumothoraks.

Observasi gerak perut bayi: gerak perut tidak dapat

dipakai sebagai pedoman ventilasi yang efektif. Gerak

paru mungkin disebabkan masuk nya udara kedalam

lambung.

Penilaian suara nafas bilateral: suara nafas didengar

dengan menggunakan stetoskop. Adanya suara nafas di

kedua paru-paru merupakan indikasi bahwa bayi

mendapat ventilasiyang benar.

Observasi pengembangan dada bayi: apabila dada

terlalu berkembang, kurangi tekanan dengan mengurangi

meremas balon. Apabila dengan tahapan diatas dada bayi

masih tetap kurang berkembang sebaiknya dilakukan

intubasi endotrakea dan ventilasi pipa-balon.

3. Kompresi dada

Teknik kompresi dada 2 cara:

a.Teknik ibu jari (lebih dipilih)

o Kedua ibu jari menekan sternum, ibu jari

tangan melingkari dadadan menopang punggung

o Lebih baik dalam megontrol kedalaman dan

248
tekanan konsisten

o Lebih unggul dalam menaikan puncak sistolik dan

tekanan perfusi coroner

b.Teknik dua jari

o Ujung jari tengah dan telunjuk/ jari manis dari 1

tangan menekan sternum, tangan lain nya

menopang punggung

oTidak tergantung

oLebih mudah untuk pemberian obat

c.Kedalaman dan tekanan

o Kedalaman 1/3 diameter antero posterior

o Lama penekanan lebih pendek dari lama pelepasan

curah jantung maksimum

d.Koordinasi VTP dan kompresi dada

1 siklus :3 kompresi + 1 ventilasi (3:1) dalam 2 detik

Frekuensi: 90 kompresi +30 ventilasi dalam 1 menit

(berarti 120 kegiatan per menit)

Untuk memastikan frekuensi kompresi dada dan

ventilasi yang tepat, pelaku kompresi mengucapkan

satuduatiga-pompa- .

4. Intubasi Endotrakeal

Cara:

a. Langkah 1: Persiapan memasukkan laringoskopi

Stabilkan kepala bayi dalam posisi sedikit tengadah

249
Berikan O2 aliran bebas selama prosedur

b. Langkah 2: Memasukkan laringoskopi

Daun laringoskopi di sebelah kanan lidah

Geser lidah kesebelah kiri mulut

Masukkan daun sampai batas pangkal lidah

c. Langkah 3: Angkat daunlaringoskop

Angkat sedikit daun laringoskop

Angkat seluruh daun, jangan hanyabujungnya

Lihat daerah farings

Jangan mengungkit daun

d. Langkah 4: Melihat tanda anatomis

Cari tanda pitasuara,seperti garis vertical pada

keduasisi glottis (huruf Vterbalik)

Tekan krikoid agarglotis terlihat

Bila perlu, hisap lender untuk membantu visualisasi

e. Langkah 5: Memasukkanpipa

Masukkan pipa dari sebelah kanan mulut bayi dengan

lengkung pipa pada arah horizontal

Jika pita suarat ertutup, tunggu sampai terbuka

Memasukkan pipa sampai garis pedoman pita suara

bera dadi batas pitasuara

Batas waktu tindakan 20 detik

(Jika 20 detik pita suara belum terbuka, hentikan dan

berikan VTP)

250
f. Langkah 6: mencabut laringoskop

Pegang pipa dengan kuat sambil menahan kearah

langit langit mulut bayi,cabut laringoskop dengan

hati-hati.

Bila memakai stilet, tahan pipa saat mencabut stilet.

5. Obat-obatan dan cairan:

a. Epinefrin

Larutan =1 : 10.000

Cara= IV (pertimbangkan melalui ET bila jalur IV

sedang disiapkan)

Dosis : 0,1 0,3 mL/kgBBIV

Persiapan=larutan 1:10.000 dalam semprit 1 ml

(semprit lebih besar diperlukan untuk pemberian

melalui pipa ET. Dosis melalui pipa ET 0,3-1,0

mL/kg)

Kecepatan = secepat mungkin

Jangan memberikan dosis lebih tinggi secara IV.

b. Bikarbonat Natrium4,2%

c. Dekstron 10%

d.Nalokson

251
DAFTAR PUSTAKA

11. F. G Cunningham, KJ. Leveno, SL. Bloom. Abortion in William

Obstetrics, 22nd edition. Mc-Graw Hill, 2005

12. McPhee S, Obsterics and obstretrics disoders,Current medical diagnosis

and treatment, 2009 edition, Mc Graw Hill, 2008

13. Sarwono prawiroharhdjo.Perdarahan pada kehamilan muda dalam Ilmu

Kandungan, edisi 2008

14. Saifuddin A. Perdarahan pada kehamilan muda dalam Buku Panduan

Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal,Yayasan Bina Pustaka

Sarwono Prawirohardjo, Jakarta,2006 Hal M9-M17

15. Standard Pelayanan Medis Ilmu Kebidanan dan Kandungan, RS Efarina

Etaham, 2008, ms 33-35

252
RUPTUR UTERI

1.30 Latar Belakang

Tanda dan gejala inisial ruptur uterin tidak nonspesifik, yang membuat

sulitnya diagnosis ditegakkan dan terkadang memperlambat penatalaksanaan

definitif yang diberikan. Dari awal diagnosis hingga proses persalinan, umumnya

hanya 10-37 menit yang tersedia sebelum terjadi morbiditas janin. Morbiditas

janin terjadi sebagai akibat dari perdarahan, anoksia janin, atau keduanya. Tanda-

tanda dan gejala ruptur uterus tidak konsisten, dan waktu yang singkat untuk

melakukan tindakan terapeutik menjadikan ruptur uteri banyak ditakuti bagi para

praktisi medis. 1

1.31 Definisi

Ruptur uteri adalah peristiwa langka dan membahayakan ibu dan janin

hingga mengancam jiwa 1. Yang dimaksud ruptur uteri komplit adalah keadaan

robekan pada rahim dimana telah terjadi hubungan langsung antara rongga

amnion dan rongga peritoneum, sedangkan pada ruptur uteri inkomplit hubungan

kedua rongga tersebut masih dibatasi oleh peritoneum viserale 2.

1.32 Epidemiologi 1,2

Ruptur uteri merupakan komplikasi yang jarang dan sering menyebabkan

tingginya insiden morbiditas janin dan ibu. Dari tahun 1976-2012, 25 publikasi

menggambarkan kejadian ruptur uterus, dan melaporkan 2.084 kasus di antara

2.951.297 wanita hamil, menghasilkan tingkat ruptur uteri keseluruhan dari 1 di

1.146 kehamilan (0,07%). 1

Ruptur uteri di negara berkembang masih jauh lebih tinggi jika

dibandingkan dengan di negara maju. Angka kejadian ruptur uteri di negara maju

253
dilaporkan juga semakin menurun. Salah satu penelitian dinegara maju

melaporkan kejadian ruptur uteri dari 1 dalam 1.280 persalinan pada tahun 1931-

1950 menjadi 1 dalam 2.250 persalinan pada tahun 1973-1983, dan pada tahun

1996 menjadi 1 dalam 15.000 persalinan. Dalam masa yang hampir bersamaan

angka tersebut di Indonesia dilaporkan berkisar 1 dalam 294 persalinan sampai 1

dalam 93 persalinan 2.

1.33 Etiologi

Ruptur uteri bisa disebabkan oleh anomali yang telah ada sebelumnya, karena

trauma, atau sebagai komplikasi persalinan pada rahim yang masih utuh. Pasien

yang memiliki resiko tinggi antara lain persalinan yang mengalami distosia,

grandemultipara, penggunaan oksitosin atau prostaglandin untuk mempercepat

peralinan, pasien yang dulunya pernah melahirkan dengan operasi sesar, dan lain

sebagainya. 2

1.34 Klasifikasi

Klasifikasi ruptur uteri menurut sebabnya, yaitu: 2

- Kerusakan atau anomali uterus yang telah ada sebelum hamil

o Pembedahan pada miometrium: seksio sesarea atau histerotomi,

histerorafia, miomektomi yang sampai menembus seluruh

ketebalan otot uterus, reseksi, metroplasti.

o Trauma uterus koinsidental; instrumentasi sendok kuret atau sonde

pada penanganan abortus, trauma tumpul atau tajam.

- Kerusakan atau anomali uterus yang terjadi dalam kehamilan

o Sebelum kelahiran: his spontan yang kuat dan terus-menerus,

pemakaian oksitosisn atau prostaglandin untuk merangsang

254
persalian, pembesaran rahim yang berlebihan misalnya hidramnion

dan gemeli.

o Intrapartum: versi-ekstraksi, ekstraksi cunam yang sukar, ekstraksi

bokong, anomali nanin yang menyebabkan distensi, tekanan kuat

pada uterus dalam persalinan, kesulitan dlama melakukan manual

plasenta.

o Cacat lahir yang didapat: plasenta inkreta atau perkreta, neoplasia

trofoblas gestasional, adenomiosis, retroversio uterus gravidus

inkarserata.

1.35 Patofisiologi 2

Pada saat his, korpus uteri berkontraksi dan mengalami retraksi. Dengan

demikian, dinding korpus uteri atau segmen atas rahim menjadi lebih tebal dan

volume korpus uteri menjadi lebih kecil, akibatnya tubuh janin yang menempati

korpus uteri terdorong ke bawah ke dalam segmen bawah rahim. Segmen bawah

rahim menjadi lebih lebar dan karenanya dinding menjadi lebih lebih tipis karena

tertarik ke atas oleh kontraksi segmen atas rahim yang kuat, berulaang dan sering

sehingga lingkaran retraksi yang membatasi kedua segmen semakin bertambah

tinggi. Apabila bagian terbawah janin terdorong turun tanpa halangan, maka

bagian terbawah janin terdorong masuk ke dalam jalan lahir melalui pintu atas

panggul ke dalam vagina melalui pembukaan. Jika bagian terbawah janin tidak

dapat terdorong ke bawah, maka volume korpus yang mengecil pada waktu his

harus diimlbangi dengan perluasan segmen bawah rahim ke atas. Dengan

demikian, lingkaran retraksi fisiologik semakin meninggi ke arah pusat melewati

255
batas fisiologik menjadi patologik. Lingkaran patologik ini disebut lingkaran

Bandl.2

Jika his berlangsung terus-menerus, tetapi bagian terbawah tubuh janin

tidak kunjung turun ke jalan lahir, lingkaran retraksi makin lama semakin

meninggi (lingkaran Bandl berpindah mendekati pusat) dan segmen bawah rahi,

semakin tertarik ke atas, dan dindingnya menjadi sangat tipis. Ini menandakan

telah terjadi ruptur uteri iminens dan rahim terancam robek. Segmen bawah rahim

akan robek spontan pada tempat yang tertipis ketika his berikut datang dan

terjadilah perdarahan yang banyak tergantung dari luas robekannya. Umumnya

robekan terjadi pada dinding depan segmen bawah rahim, tetapi bisa juga meluas

ke korpus atau ke serviks atau terus ke vagina dan bahkan kadang bisa mencederai

kandung kemih. 2

1.36 Diagnosis

Tanda dan gejala ruptur uteri bergantung pada waktu, lokasi, dan tingkat

defek uterus. Tanda dan gejala klasik pada ruptur uteri adalah: (1) fetal distres, (2)

berkurangnya tekanan bawah uterus, (3) hilangnya kontraksi uterus, (4) nyeri

perut, (5) resesi dari bagian presentasi janin, (6) perdarahan, dan (7) shock. 1

Ruptur uteri iminens mudah dikenal pada lingakarn Bandl yang semakin

tinggi dan segmen bawah rahim yang tipis dan keadaan ibu yang gelisah, takut

karena nyeri badomen atau his kuat yang berkelanjutan disertai tanda-tanda gawat

janin. Pada ruptur uteri komplit, jari-jari tangan pemeriksa dapat melakukan

beberapa hal sebagai berikut: (1) jari-jari tangan dalam bisa meraba permukaan

rahim dan dinding perut yang licin, (2) dapat meraba pinggir robekan, biasanya

terdapat pada bagian depan segmen bawah rahim, (3) dapat memegang usus halus

256
atau omentum melalui robekan, (4) dinding perut ibu dapat ditekan menonjol ke

atas oleh ujung jari tangan dalam sehingga ujung jari tangan luar dapat meraba

ujung jari tangan dalam. 2

1.37 Penatalaksanaan

Pasien resiko tinggi harus segera dirujuk agar persalinan berlangsung

dalam rumah sakit yang mempunyai fasilitas yang cukup dan diawasi oleh tenaga

medis ahli. Bila terjadi ruptur uteri, tindakan terpilih hanyalah histerektomi dan

resusitasi serta antibiotik yang sesuai. 2

Aspek paling penting dalam penatalaksanaan ruptur uteri adalah

penegakan diagnosis secara cepat dan tepat serta meminimalkan progresivitas

gejala hingga terapi pembedahan dapat dilakukan. Setelah bayi sudah dilahirkan,

tipe pembedahan bergantung kepada: (1) Jenis ruptur uterus, (2) Tingkat ruptur

uterus, (3) Tingkat perdarahan, (4) Kondisi Umum ibu, (5) Keinginan Ibu untuk

melahirkan masa depan. Histerektomi harus dipertimbangkan jika perdarahn uteri

profus, atau jika terdapat lebih dari 1 lokasi ruptur. 1

1.38 Komplikasi

Syok hipovolemi karena perdarahan yang hebat dan sepsis akibat infeksi

adalah komplikasi yang fatal pada ruptur uteri. Syok hipovolemi terjadi bila

pasien tidak segera mendapatkan infus cairan kristaloid yang banyak untuk

selanjutnya dalam waktu yang cepat digantikan dengan tranfusi darah segar.

Infeksi berat umumnya terjadi pada pasien kiriman dimana ruptur uteri terjadi

sebelum tiba di rumah sakit dan telah mengalami berbagai manipulasi termasuk

pemeriksaan dalam berulang. Jika dalam keadaan demikian pasien tidak segera

mendapatkan antibiotik, akan terjadi peritonitis yang luas dan sepsis pascabedah. 2

257
1.39 Prognosis

Prognosis bergantung apakah ruptur uteri terjadi pada uterus yang masih

utuh atau pada bekas seksio sesarea. Bila terjadi pada bekas seksio sesarea

perdarahan yang terjadi minimal sehingga tidak sampai menimbulkan kematian

maternal dan perinatal. 2

DAFTAR PUSTAKA

7 Nahum G.G. 2016. Uterine Rupture in Pregnancy. (11/01/2017), available at:

http://reference.medscape.com/article/275854-overview#showall

8 Chalik T.M.A. 2014. Perdarahan pada Kehamilan Lanjut dan Persalinan,

dalam: Sarwono Prawirohardjo, Ilmu Kebidanan Edisi Keempat. Jakarta: PT.

Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. h 514-521

258
RUPTUR PERINEUM

A. Definisi

Ruptur perineum adalah suatu kondisi robeknya perineum yang

terjadi pada persalinan pervaginam. Diperkirakan lebih dari 85% wanita

yang melahirkan pervaginam mengalami ruptur perineum spontan, yang

60% - 70% di antaranya membutuhkan penjahitan. Angka morbiditas

meningkat seiring dengan peningkatan derajat ruptur.

B. Hasil Anamnesis (Subjective)

Gejala Klinis

Perdarahan pervaginam

Etiologi dan Faktor Risiko

Ruptur perineum umumnya terjadi pada persalinan, dimana:

1. Kepala janin terlalu cepat lahir

2. Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya

3. Sebelumnya pada perineum terdapat banyak jaringan parut

4. Pada persalinan dengan distosia bahu

5. Partus pervaginam dengan tindakan

Pada literatur lain dikatakan faktor risiko ruptur perineum antara

lain: Faktor risiko ruptur perineum


Known risk factors Suggested risk factors
Nulipara Peningkatan usia
Makrosomia Etnis
Persalinan dengan instrumen Status nutrisi
terutama forsep
Malpresentasi Analgesia epidural
Malposisi seperti oksiput posterior

259
Distosia bahu
Riptur perineum sebelumnya
Lingkar kepala yang lebih besar

C. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya:

1. Robekan pada perineum,

2. Perdarahan yang bersifat arterial atau yang bersifat merembes,

3. Pemeriksaan colok dubur, untuk menilai derajat robekan perineum

Pemeriksaan Penunjang: -

D. Penegakan Diagnostik(Assessment)

Diagnosis Klinis

Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Klasifikasi Ruptur Perineum dibagi menjadi 4 derajat:

a. Derajat I

Robekan terjadi hanya pada selaput lendir vagina dengan atau tanpa

mengenai kulit perineum.

b. Derajat II

Robekan mengenai selaput lendir vagina dan otot perinea transversalis,

tetapi tidak melibatkan kerusakan otot sfingter ani.

c. Derajat III

Robekan mengenai perineum sampai dengan otot sfingter ani dengan

pembagian sebagai berikut:

260
III. a. Robekan < 50% sfingter ani eksterna

III. b. Robekan > 50% sfingter ani ekterna

III. c. Robekan juga meliputi sfingter ani interna

d. Derajat IV

Robekan mengenai perineum sampai dengan otot sfingter ani dan mukosa

rektum

1 Alur Penegakkan Diagnosis

Berikut beberapa prosedurpenegakkan diagnosis rupture perineum :

a Harus melakukan inform consent untuk pemeriksaan vagina dan rektal,

karena akan menimbulkan ketidaknyamanan pada pasien.

b Cedera perineum harus dapat dilihat dengan jelas dan pasien dalam

posisi litotomi.

c Pencahayaan harus baik.

261
d Jika pemeriksaan menjadi terbatas karena nyeri, maka analgesik yang

lebih adekuat perlu diberikan.

e Saat melakukan inspeksi, labia harus terbuka dan pemeriksaan vagina

dilakukan untuk memastikan seluruh robekan vagina. Bila robekan

dalam dan banyak, maka pemeriksaan dan penanganan yang paling

baik dalam posisi litotomi. Ujung dari laserasi vagina harus selalu

diidentifikasi.

f Pemeriksaan rektal harus dilakukan untuk menyingkirkan cedera

sampai ke mukosa rektum dan sfingter ani. Tiap pasien harus

dilakukan pemeriksaan rektal sebelum dilakukan tindakan penjahitan

untuk menghindari robekan terisolasi yang terlewatkan seperti robekan

buttonhole pada mukosa rektum.

g Inspeksi yang baik harus dikonfirmasi dengan palpasi. Dengan

memasukkan jari telunjuk ke anus dan dan ibu jari ke vagina, sfingter

ani dapat diraba dengan pill-rolling movement. Jika ada keraguan ibu,

diperintahkan untuk mengkontraksikan sfingter ani dan jika sfingter

ani mengalami cedera akan terasa adanya gap di bagian anterior. Bila

kulit perineum utuh, maka tidak akan terasa kedutan pada kulit

perianal anterior.

262
Gambar Pemeriksaan Vagina.

a Perawatan luka perineum

Meskipun belum banyak referensi yang memberikan informasi

tentang perawatan perineum setelah perbaikan robekan karena persalinan,

dibawah ini adalah perawatan perineum yang dapat dilakuan ibu antara

lain:

1 Sitz bath dapat dilakukan untuk mengurangi nyeri

2 Analgesia yang adekuat seperti ibuprofen dengan resep dokter

3 Jika ibu akan merasa nyeri yang berlebihan, sebaiknya diperiksa

secepatnya karena nyeri adalah gejala yang umum dari infeksi

4 Diet rendah serat

5 Terapi laxansia diperlukan terutama bagi robekan derajat III dan IV

263
6 Antibiotik diperlukan untuk mengurangi infeksi luka jahitan, gunakan

metronidazole dan antibotik dengan spectrum yang luas

7 Anjurkan tindakan SC untuk persalinan selanjutnya, jika persalinan

pervaginam dapat menyebabkan inkontinensia anal.

E. Penatalaksanaan Komrehensif (Plan)

Penanganan Ruptur Perineum

Penanganan ruptur perineum diantaranya dapat dilakukan dengan

cara melakukan penjahitan luka lapis demi lapis, dan memperhatikan

jangan sampai terjadi ruang kosong terbuka kearah vagina yang biasanya

dapat dimasuki bekuan-bekuan darah yang akan menyebabkan tidak

baiknya penyembuhan luka. Selain itu dapat dilakukan dengan cara

memberikan antibiotik yang cukup (Moctar, 2005). Prinsip yang harus

diperhatikan dalam menangani ruptur perineum adalah :

a Bila seorang ibu bersalin mengalami perdarahan setelah anak lahir,

segera memeriksa perdarahan tersebut berasal dari retensio plasenta

atau plasenta lahir tidak lengkap.

b Bila plasenta telah lahir lengkap dan kontraksi uterus baik, dapat

dipastikan bahwa perdarahan tersebut berasal dari perlukaan pada jalan

lahir, selanjutnya dilakukan penjahitan. Prinsip melakukan jahitan pada

robekan perineum :

264
1 Reparasi mula-mula dari titik pangkal robekan sebelah

dalam/proksimal ke arah luar/distal. Jahitan dilakukan lapis demi

lapis, dari lapis dalam kemudian lapis luar.

2 Robekan perineum tingkat I : tidak perlu dijahit jika tidak ada

perdarahan dan aposisi luka baik, namun jika terjadi perdarahan

segera dijahit dengan menggunakan benang catgut secara jelujur

atau dengan cara angka delapan.

3 Robekan perineum tingkat II : untuk laserasi derajat I atau II jika

ditemukan robekan tidak rata atau bergerigi harus diratakan terlebih

dahulu sebelum dilakukan penjahitan. Pertama otot dijahit dengan

catgut kemudian selaput lendir. Vagina dijahit dengan catgut secara

terputus-putus atau jelujur. Penjahitan mukosa vagina dimulai dari

puncak robekan. Kulit perineum dijahit dengan benang catgut

secara jelujur.

4 Robekan perineum tingkat III : penjahitan yang pertama pada

dinding depan rektum yang robek, kemudian fasia perirektal dan

fasia septum rektovaginal dijahit dengan catgut kromik sehingga

bertemu kembali.

5 Robekan perineum tingkat IV : ujung-ujung otot sfingter ani yang

terpisah karena robekan diklem dengan klem pean lurus, kemudian

dijahit antara 2-3 jahitan catgut kromik sehingga bertemu kembali.

Selanjutnya robekan dijahit lapis demi lapis seperti menjahit

robekan perineum tingkat I

265
Penatalaksanaan farmakologis:

Dosis tunggal sefalosporin golongan II atau III dapat diberikan intravena

sebelum perbaikan dilakukan (untuk ruptur perineum yang berat).

Manajemen Ruptur Perineum:

Ruptur perineum harus segera diperbaiki untuk meminimalisir risiko

perdarahan, edema, dan infeksi. Manajemen ruptur perineum untuk

masing-masing derajatnya, antara lain sebagai berikut:

a. Derajat I

Bila hanya ada luka lecet, tidak diperlukan penjahitan. Tidak usah

menjahit ruptur derajat I yang tidak mengalami perdarahan dan mendekat

dengan baik.

Penjahitan robekan perineum derajat I dapat dilakukan hanya dengan

memakai catgut yang dijahitkan secara jelujur (continuous suture) atau

dengan cara angka delapan (figure of eight).

b. Derajat II

Ratakan terlebih dahulu pinggiran robekan yang bergerigi, dengan cara

mengklem masing-masing sisi kanan dan kirinya lalu dilakukan

pengguntingan untuk meratakannya.

Setelah pinggiran robekan rata, baru dilakukan penjahitan luka robekan.

Teknik penjahitan

Teknik penjahitan robekan perineum disesuaikan dengan derajat

laserasinya. Bagi bidan tentunya harus menyesuaikan dengan wewenang

bidan yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

266
Nomor 1464 Tahun 2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan,

pada pasal 10 ayat 3 butir (b) yaitu hanya luka jalan lahir derajat I dan II.

Prinsip penjahitan luka perineum dilakukan setelah memeriksan

keadaan robekan secara keseluruhan. Jika robekan terjadi pada derajat III

dan IV, segera siapkan tindakan rujukan, sebelumnya dilakukan tindakan

penghentian perdarahan pada robekan tingkat jika terjadi. Untuk

mendiagnosa berapa derajat robekan dan melakukan penjahitan

memerlukan pencahayaan yang cukup.

Penggunaan benang jika dibandingkan antara catgut atau chromic,

menggunakan benang polyglactil (vicryl) akan lebih mudah menyerap dan

mengurangi nyeri perineum setelah penjahitan.

b Perbaikan robekan perineum derajat I dan II

Robekan derajat pertama biasanya tidak memerlukan jahitan,

tetapi harus dilihat juga apakah meluas dan terus berdarah. Penggunaan

anestesi diperlukan agar dapat mengurangi nyeri agar ibu bisa tenang

sehingga operator dapat memperbaiki kerusakan secara maksimal.

Berikut ini adalah tahapan penjahitan robekan perineum derajat I dan II:

1 Ibu ditempatkan dalam posisi litotomi, area bedah dibersihkan.

2 Jika daerah apex luka sangat jauh dan tidak terlihat, maka jahitan

pertama ditempatkan pada daerah yang paling distal sejauh yang bisa

dilihat kemudian diikat dan ditarik agar dapat membawa luka

tersebut hingga terlihat dan dapat menempatkan jahitan kembali 1

267
cm diatas apex. Pastikan aposisi anatomis khususnya pada sisa

hymen.

3 Jahitan harus termasuk fascia rektovaginal yang menyediakan

sokongan pada bagian posterior vagina. Jahitan dilakukan sepanjang

vagina secara jelujur, sampai ke cincin hymen, dan berakhir pada

mukos vagina dan fascia rektovaginal, dapat dilihat gambar berikut.

Gambar Mukosa vagina dan fascia rektovaginal (Leeman et al,

2003).

4 Otot pada badan perineum diidentifikasi, dapat dilihat pada gambar

berikut ini.

268
Gambar Penjahitan Laserasi Perineum derajat II (Leeman et al, 2003).

5 Otot perineum transversal disambung dengan jahitan terputus

menggunakan benang vicryl 3-0 sebanyak 2 kali, demikian juga

dengan otot bulbokavernosus dijahit dengan cara yang sama.

Gunakan jarum yang besar untuk mendapatkan hasil jahitan yan

baik. Ujung otot bulbokavernosus ditarik kearah posterior kemudian

kearah superior, dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar Penjahitan otot bulbokavernosus dengan cara terputus (Leeman et al,

2003).

269
6 Jika robekan memisahkan fascia retrovaginal dari badan perineum,

sambungkan fascia dengan dua jahitan vertikal secara terputus

dengan benang vicryl, dapat dilihat pada gambar berkut ini.

Gambar Penjahitan septum rektovaginal pada badan perineum (Leeman et al,

2003).

7 Daerah subkutan dijahit dengan kedalaman 1 cm dengan jarak antara

1 cm untuk menutupi luka kutaneus. Jahitan kulit yang rapih

ditentukan oleh aposisi subkutis yang ditempatkan dengan baik.

8 Gunakan benang vicryl 4-0 untuk menjahit kulit. Mulailah penjahitan

pada bagian posterior dari apex kulit dengan jarak 3 mm dari tepi

kulit.

c. Derajat III dan IV

Dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang memiliki dokter spesialis

obstetric dan ginekologi.

Konseling dan Edukasi

270
Memberikan informasi kepada pasien, dan suami, mengenai, cara menjaga

kebersihan daerah vagina dan sekitarnya setelah dilakukannya penjahitan

di daerah perineum, yaitu antara lain:

a. Menjaga perineumnya selalu bersih dan kering.

b. Hindari penggunaan obat-obatan tradisional pada perineumnya.

c. Cuci perineumnya dengan sabun dan air bersih yang mengalir 3 sampai

4 kali perhari.

d. Kembali dalam seminggu untuk memeriksa penyembuhan lukanya. Ibu

harus kembali lebih awal jika ia mengalami demam atau mengeluarkan

cairan yang berbau busuk dari daerah lukanya atau jika daerah tersebut

menjadi lebih nyeri.

Sarana-Prasarana

1. Lampu

2. Kassa steril

3. Sarung tangan steril

4. Hecting set

5. Benang jahit: catgut

6. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan darah rutin, golongan

darah.

F. Prognosis

Prognosis umumnya bonam

271
Referensi

1. Cunningham F. Gary, Kenneth J. Leveno, Steven L. Bloom, Catherine Y.

Spong, Jodi S. Dashe, Barbara L. Hoffman, Brian M. Casey, Jeanne S.

Sheffield. Williams Obstetric 24 ed. McGraw-Hill. 2014. 2014

2. Kementrian RI dan IDI. Buku Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Pelayan

Primer, Standar Pelayanan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama, Edisi 1.

Jakarta: 2013.

3. Manuaba, I.G. B., 2003. Pengantar Kuliah Obseteri. EGC. Jakarta.

4. Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta.

Jakarta.

272
INVERSIO UTERI

1.1 DEFINISI

Inversio uteri ialah suatu keadaan di mana bagian atas uterus (fundus uteri)

memasuki kavum uteri sehingga sehingga fundus uteri sebelah dalam menonjol ke

dalam kavum uteri, bahkan ke dalam vagina atau keluar vagina dengan dinding

endometriumnya sebelah luar. Kondisi tersebut dapat terjadi pada persalinan

normal, persalinan abnormal, dan uterus non gravidarum akibat mioma uteri sub

mukosa.

1.2 ETIOPATOLOGI

Mekanisme terjadinya inversio uteri belum dipahami seluruhnya.

Beberapa ahli menganggap kondisi tersebut berkaitan dengan abnormalitas

miometrium. Menurut Hendrix dan Chauhan (2000) inversio uteri berkaitan

dengan implantasi plasenta di fundus uteri. Beberapa penelitian terdahulu

menyebutkan inversio uteri merupakan akibat tarikan tali pusat yang berlebihan

dan perasat Crede. Menurut Poma (1996) penarikan tali pusat, penekanan fundus

uteri, dan kesalahan manajeman kala III merupakan penyebab inversio uteri.

Druzin dan Platt (1981) melaporkan sekitar 50% dari kasus-kasus inversio uteri

tampaknya terjadi secara spontan, terutama pada primipara muda, bahkan

dilaporkan kejadian inversio uteri pada persalinan secara bedah sesar.

273
Inversio uteri dapat terjadi di luar persalinan. Mioma uteri submukosum

yang sedang dilahirkan secara perlahan-lahan menarik tempat insersinya pada

dinding uterus ke bawah kavum uteri, dan menyebabkan inversio uteri menahun.

1.3 KLASIFIKASI

Inversio dapat terjadi pada masa nifas atau di luar masa nifas. Di luar

masa nifas biasanya parsial atau inkomplit dan sering dihubungkan dengan

adanya tumor uterus. Sedang inversio yang terjadi pada masa nifas dapat

terjadi akut atau kronik dan jarang terjadi dan sering berulang. Pada umumnya

inversio uteri dibagi berdasarkan etiologi, waktu kejadian, dan derajat

kelainannya.

Berdasarkan etiologinya, inversio uteri dibagi menjadi:

1 1. Inversio non obstetrik, biasanya disebabkan oleh mioma uteri sub

mukosa atau neoplasma lain

2 2. Inversio uteri obstetrik, terjadi setelah persalinan

Berdasarkan waktu kejadiannya, inversio uteri dibagi menjadi:

1 1. Inversio akut, terjadi segera setelah persalinan

2 2. Inversio sub akut, terjadi setelah timbul cincin kontraksi cervix

3 3. Inversio kronis, terjadi setelah lebih dari 4 minggu pasca persalinan.

Berdasarkan derajat kelainannya, inversio uteri dibagi menjadi:

274
1. Inversio lokal: fundus uteri menonjol sedikit ke dalam kavum uteri .

2. Inversio parsial: tonjolan fundus uteri terbatas hanya pada cavum uteri

3. Inversio inkomplit: penonjolan sampai mencapai kanalis servikalis

4. Inversio komplit: tonjolan telah mencapai ostium uteri externum

5. Inversio total: tonjolan telah mencapai vagina atau keluar vagina.

Klasifikasi inversio uteri perlu diketahui, karena hal tersebut berkaitan dengan

penatalaksanaannya. Pada beberapa kasus, dapat terjadi komplikasi yang berat,

sehingga diperlukan tindakan pembedahan untuk mengembalikan posisi uterus

atau untuk mengangkat seluruh uterus.

1.4 GEJALA KLINIS

Pada inversio uteri akut yang terjadi pada akhir persalinan menimbulkan

gejala-gejala yang meghawatirkan seperti syok, nyeri keras, dan perdarahan. Rasa

nyeri disebabkan oleh karena tarikan pada peritonium dari ligamentum

infundibulopelvikum dan ligamentum rotundum dextra dan sinistra, yang

mengikuti fundus uteri ke dalam terowongan inversio. Kadang-kadang terdapat

pada inversio uteri bahwa plasenta seluruhnya atau untuk sebagian belum lepas

dari dinding uterus. Jika plasenta belum lepas sama sekali, tidak timbul

perdarahan, akan tatapi bila lepas baru sebagian akan terjadi perdarahan.

Peristiwa inversio uteri dapat menyebabkan meninggalnya penderita. Akan

tetapi, kadang-kadang gejala-gejalanya tidak seberapa berat. Timbulnya

perdarahan dan syok ringan diduga disebabkan oleh atonia uteri postpartum. Jika

penderita dapat mengatasi keadaan, inversio menjadi menahun. Pada yang kronik

ini akan timbul gejala berupa metroragia, nyeri pinggang, anemia, dan banyak

275
keputihan.

1.5 DIAGNOSIS

Diagnosis inversio uteri harus dipikirkan oleh setiap penolong persalinan, jika

terjadi syok atau perdarahan post partum. Penderita dapat menunjukkan gejala

klinis yang ringan sampai berat, dengan demikian perlu dilakukan eksplorasi

vagina dan cavum uteri dengan seksama, untuk memastikan diagnosis tersebut

Diagnosis inversio uteri akut biasanya tidak sulit. Gejala-gejalanya syok, nyeri

keras dan perdarahan, tidak terabanya fundus uteri dibawah umbilikus, dan

adanya tumor lembek di vagina yang keluar dari serviks uteri yang sedikit terbuka

memastikan diagnostik. Pada inversio uteri menahun terlihat serta teraba pada

pemeriksaan ginekologik sebuah tumor kenyal kemudian cincin dalam vagina

yang dengan tangkainya masuk ke dalam dengan melewati lingkaran, yaitu ostium

uteri externum yang sedikit terbuka, sedang diatas serviks uteri tidak teraba

adanya korpus uteri.

Secara umum, diagnosis inversio uteri dapat ditegakkan berdasarkan gejala

dan tanda sebagai berikut: penderita gelisah dan syok, adanya perdarahan post

partum, pada palpasi abdomen terdapat adanya cekungan di fundus uteri, pada

pemeriksaan bimanual teraba massa lunak di fundus uteri (inversio uteri

inkomplit), teraba massa uterus dalam vagina atau tampak sebagian uterus keluar

dari vagina (inversio uteri komplit dan totalis).

1.6 DIFFERENTIAL DIAGNOSIS

Perlu dipikirkan sebagai diagnosis differensial yaitu polip mioma

276
submukosum, yang dilahirkan ke vagina (miomgeburt). Telah disebutkan bahwa

mioma uteri submukosum dapat menyebabkan inversio uteri, dalam hal ini diatas

mioma uteri yang terletak dalam vagina masih terdapat uterus dalam inversio.

Pada polip mioma uteri submukosum tanpa inversio dapat diraba sebuah tumor

dalam vagina, yang dengan tangkainya melewati ostium externum, dan dapat

diraba pula korpus uteri diatas serviks. Selanjutnya, pemeriksaan dengan sonde

uterus yang dimasukkan terus sampai ujung kavum uteri, sedangkan pada inversio

uteri sonde mengalami jalan buntu

Pemeriksaan dengan ultrasonografi akan membantu, apakah inversio atau

mioma yang sedang dilahirkan, pada inversio tidak terlihat uterus di atas mioma.

Kalau perlu dan masih ragu-ragu, dapat dilakukan biopsi, sehingga apakah pada

gambaran histologi ditemukan endometrium atau miometrium. Pada inversio

terlihat endometrium sedangkan pada mioma uteri tampak jaringan otot.

1.7 PENANGANAN

Sebagai tindakan pencegahan, dalam memimpin persalinan harus selalu

waspada akan kemungkinan timbulnya inversio uteri. Janganlah memijat-mijat

uterus yang tidak berkontraksi dan lembek, dan jangan mengadakan tarikan

terhadap tali pusat, sebelum yakin bahwa plasenta sudah lepas.

Keterlambatan penanganan kasus inversio uteri dapat menimbulkan kematian

akibat perdarahan, syok neurogenik, dan sepsis. Dengan demikian identifikasi

awal untuk menentukan ada tidaknya inversio uteri sangat menentukan langkah

terapi selanjutnya..

Tahap selanjutnya setelah identifikasi dan perbaikan keadaan umum penderita

277
adalah melakukan reposisi uterus. Pada kasus inversio uteri akut reposisi

dilakukan dengan cara mendorong bagian uterus yang keluar dengan kepalan

tangan, apabila kondisi uterus cukup relaksasi dan tidak terbentuk cincin kontraksi

cervix. Metode lain yang dapat dilakukan adalah manuver Johnson, yang dapat

diterapkan pada kasus inversio uteri yang telah terbentuk cincin cervix. Satu

tangan penolong berada dalam cavum uteri, mencekam bagian uterus yang

mengalami inversi sedemikian rupa sehingga jari-jari tangan berada pada puncak

lipatan sedangkan bagian yang terinversi berada dalam telapak tangan. Kelima jari

tangan dengan serentak digerakkan untuk melonggarkan cincin cervix dan secara

bersamaan bagian uterus yang terinversi didorong ke kranial dengan telapak

tangan. Pada keadaan ini diperlukan tokolitik dan anestesi untuk membantu

relaksasi cincin cervix dan mengurangi nyeri pada penderitra. Setelah reposisi

berhasil, dilakukan kompresi bimanual interna dan pemberian uterotonika, untuk

mencegah terjadinya inversio kembali.

Penggunaan metode hidrostatik dapat diterapkan untuk mereposisi inversio

uteri parsialis. Dengan satu tangan, penolong menempatkan sebuah mangkuk

dalam vagina, menutupi seluruh cervix uteri. Asisten membantu menjaga agar

tidak ada cairan yang keluar dari vagina. Cairan NaCl fisiologis dialirkan melalui

mangkok tersebut ke dalam vagina. Cara ini menyebabkan timbulkan tekanan

hidrostatik yang akan mendorong fundus kembali ke tempat semula. Keuntungan

metode hidrostatik ini adalah mengurangi risiko terjadinya refleks vaso-vagal

yang sering terjadi akibat reposisi uterus secara manual.

Pada kasus inversio subakut dan kronis reposisi uterus tidak lagi mudah

dikerjakan. Reposisi dapat dilakukan jika keadaan umum penderita telah

278
membaik. Langkah pertama yang harus dilakukan pada kasus ini adalah

memperbaiki keadaan umum penderita dan mengatasi syok yang terjadi dengan

penggantian cairan yang hilang, dilakukan pemasangan tampon padat vagina,

pemberian antibiotika, dan perawatan untuk memulihkan kondisi fisik penderita.

Selanjutnya dilakukan laparotomi untuk reposisi inversion uteri, dengan

pendekatan abdominovaginal. Beberapa metode yang dapat dilakukan adalah:

1. Metode Spinelli: dilakukan kolpotomi anterior dan insisi cervix

2. Metode Kustner: dilakukan kolpotomi posterior dan insisi cervix

3. Metode Huntington: dinding uterus yang terinversi dijepit dengan

forsep Allis dengan jarak sekitar 2 cm dari tepi cekungan. Forsep

berikutnya diletakkan 2 cm di bawah forsep pertama, sambil uterus ditarik

sedikit demi sedikit ke arah kranial. Asisten membantu dengan dorongan

dari arah vagina.

4. Metode Haultain: pada keadaan tertentu, cincin kontriksi cervix

sulit mengalami relaksasi, sehingga bagian uterus yang terinversi tidak

dapat direposisi dengan mudah. Haultain melakukan insisi pada bagian

posterior segmen bawah rahim yang mengalami kontriksi. Reposisi

selanjutnya dikerjakan seperti pada metode Huntington.

279
DAFTAR PUSTAKA

1. Shah, Evrard. 2001. Puerpural Uterine Inversion, Obstetry Gynecology: Williams

Obstetrics. Edisi 21 . Hal: 643.

2. Mahindria. 2004. Inversio Uteri: Jurnal. Yogyakarta Bagian/SMF Obsterti dan

Ginekologi Fakultas Kedokteran/RS Dr. Sardjito Jogjakarta

3. Junizaf. 1999. Inversion Uteri: Kelainan dalam Letak Alat-alat Genital dalam Ilmu

Kandungan, Jakarta, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo FKUI, Edisi kedua.

Hal: 442-447

4. Platt, Druzin, 2001. Acute puerpural inversion of the uterus, Am J Obstet Gynecol:

Williams Obstetrics, Edisi 21 Hal: 643.

5. Hendrix, Chauhan, 2000. Postpartum hemorrhage: surgical management, Obg

management. http://www.obgmanagement.com, diakses tanggal 12 april 2008


PERDARAHAN POST PARTUM

A. Definisi Perdarahan Post Partum

Perdarahan post partum (PPP) adalah perdarahan yang masif yang berasal dari tempat

implantasi plasenta, robekan pada jalan lahir, dan jaringan sekitarnya dan merupakan salah

satu penyebab kematian ibu disamping perdarahan karena hamil ektopik dan abortus.

Definisi perdarahan post partum adalah perdarahan pasca persalinan yang melebihi

500 ml setelah bayi lahir atau yang berpotensi mengganggu hemodinamik ibu.

Berdasarkan saat terjadinya, PPP dapat dibagi menjadi PPP primer dan PPP sekunder.

PPP primer adalah perdarahan post partum yang terjadi dalam 24 jam pertama setelah

persalinan dan biasanya disebabkan oleh atonia uteri, robekan jalan lahir, dan sisa sebagian

plasenta. Sementara PPP sekunder adalah perdarahan pervaginam yang lebih banyak dari

normal antara 24 jam hingga 12 minggu setelah persalinan, biasanya disebabkan oleh sisa

plasenta.

Kematian ibu 45% terjadi pada 24 jam pertama setelah bayi lahir, 68-73% dalam satu

minggu setelah bayi lahir, dan 82-88% dalam dua minggu setelah bayi lahir.

B. Klasifikasi Perdarahan Post Partum

Perdarahan pasca persalinan atau perdarahan post partum diklasifikasikan menjadi 2,

yaitu :

1. Perdarahan Pasca Persalinan Dini (Early Postpartum Haemorrhageatau

perdarahan post partum primer atau perdarahan pasca persalinansegera).

Perdarahan pasca persalinan primer terjadi dalam 24 jampertama. Penyebab

utama perdarahan pasca persalinan primer adalahatonia uteri, retensio plasenta,


sisa plasenta, robekan jalan lahir daninversio uteri. Terbanyak dalam 2 jam

pertama.

2. Perdarahan masa nifas (Late Postpartum Haemorrhage atau perdarahan post

partum sekunder atau perdarahan pasca persalinan lambat). Perdarahan

pascapersalinan sekunder terjadi setelah 24 jam pertama. Perdarahan pasca

persalinan sekunder sering diakibatkan oleh infeksi, penyusutan rahim yang tidak

baik, atau sisa plasenta yang tertinggal.

C. Faktor yang Mempengaruhi

Faktor faktor yang mempengaruhi perdarahan postpartum

a. Usia ibu

Wanita yang melahirkan anak pada usia dibawah 20 tahun atau lebih dari 35 tahun

merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan pascapersalinan yang dapat

mengakibatkan kematian maternal. Hal ini dikarenakan pada usia dibawah 20

tahun fungsi reproduksi seorang wanita belum berkembang dengan sempurna,

sedangkan pada usia diatas 35 tahun fungsi reproduksi seorang wanita sudah

mengalami penurunan dibandingkan fungsi reproduksi normal sehingga

kemungkinan untuk terjadinya komplikasi pascapersalinan terutama perdarahan

akan lebih besar. Perdarahan pascapersalinan yang mengakibatkan kematian

maternal pada wanita hamil yang melahirkan pada usia dibawah 20 tahun 2- 5

kali lebih tinggi daripada perdarahan pascapersalinan yang terjadi pada usia 20-29

tahun. Perdarahan pascapersalinan meningkat kembali setelah usia 30-35tahun.

b. Jumlah gravida

Ibu- ibu yang dengan kehamilan lebih dari 1 kali atau yang termasuk multigravida

mempunyai risiko lebih tinggi terhadap terjadinya perdarahan pascapersalinan

dibandingkan dengan ibu -ibu yang termasuk golongan primigravida (hamil


pertama kali). Hal ini dikarenakan pada multigravida, fungsi reproduksi

mengalami penurunan sehingga kemungkinan terjadinya perdarahan

pascapersalinan menjadi lebih besar.

c. Paritas

Paritas 2 - 3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut perdarahan

pascapersalinan yang dapat mengakibatkan kematian maternal. Paritas satu dan

paritas tinggi (lebih dari tiga) mempunyai angka kejadian perdarahan

pascapersalinan lebih tinggi. Pada paritas yang rendah (paritas satu),

ketidaksiapan ibu dalam menghadapi persalinan yang pertama merupakan faktor

penyebab ketidakmampuan ibu hamil dalam menangani komplikasi yang terjadi

selama kehamilan, persalinan dan nifas.

d. Antenatal Care

Tujuan umum antenatal care adalah menyiapkan seoptimal mungkin fisik dan

mental ibu serta anak selama dalam kehamilan, persalinan dan nifas sehingga

angka morbiditas dan mortalitas ibu serta anak dapat diturunkan.Pemeriksaan

antenatal yang baik dan tersedianya fasilitas rujukan bagi kasus risiko tinggi

terutama perdarahan yang selalu mungkin terjadi setelah persalinan yang

mengakibatkan kematian maternal dapat diturunkan. Hal ini disebabkan karena

dengan adanya antenatal care tanda- tanda dini perdarahan yang berlebihan dapat

dideteksi dan ditanggulangi dengan cepat.

e. kadar Haemoglobin

Anemia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan penurunan nilai hemoglobin

dibawah nilai normal. Dikatakan anemia jika kadar hemoglobin kurang dari 8 gr

%. Perdarahan pascapersalinan mengakibatkan hilangnya darah sebanyak 500 ml

atau lebih, dan jika hal ini terus dibiarkan tanpa adanya penanganan yang tepat
dan akurat akan mengakibatkan turunnya kadar hemoglobin dibawah nilai normal.

D. Tanda dan Gejala

Seorang wanita post partum yang sehat dapat kehilangan darah sebanyak 10% dari

volume total tanpa mengalami gejala-gejala klinik, gejala-gejala baru tampak pada kehilangan

darah sebanyak 20%. Gejala klinik berupa:

- Perdarahan

- Lemah

- Limbung

- Berkeringat dingin

- Menggigil

Faktor Risiko

Perdarahan post partum merupakan komplikasi dari 5-8% kasus persalinan

pervaginam dan 6% dari kasus SC

Faktor Risiko prenatal:

Perdarahan sebelum persalinan,

Solusio plasenta,

Plasenta previa,

Kehamilan ganda,

Preeklampsia,
Khorioamnionitis,

Hidramnion,

IUFD,

Anemia (Hb< 5,8),

Multiparitas,

Mioma dalam kehamilan,

Gangguan faktor pembekuan dan

Riwayat perdarahan sebelumnya serta obesitas.

Faktor Risiko saat persalinan pervaginam:

Kala tiga yang memanjang,

Episiotomi,

Distosia,

Laserasi jaringan lunak,

Induksi atau augmentasi persalinan dengan oksitosin,

Persalinan dengan bantuan alat (forseps atau vakum),

Sisa plasenta, dan bayi besar (>4000 gram).

Faktor Risiko perdarahan setelah SC :

Insisi uterus klasik,

Amnionitis,

Preeklampsia,
Persalinan abnormal,

Anestesia umum,

Partus preterm dan postterm.

Kausalnya dibedakan atas:

Perdarahan dari tempat implantasi plasenta

a. Hipotoni sampai atonia uteri

Akibat anestesi

Distensi berlebihan (gemeli,anak besar,hidramnion)

Partus lama,partus kasep

Partus presipitatus/partus terlalu cepat

Persalinan karena induksi oksitosin

Multiparitas

Riwayat atonia sebelumnya

b. Sisa plasenta

Kotiledon atau selaput ketuban tersisa

Plasenta susenturiata

Plasenta akreata, inkreata, perkreata.

Perdarahan karena robekan

Episiotomi yang melebar

Robekan pada perinium, vagina dan serviks


Ruptura uteri

Gangguan koagulasi

Trombofilia

Sindrom HELLP

Preeklampsi

Solutio plasenta

Kematian janin dalam kandungan

Emboli air ketuban

E. Diagnosis

Perdarahan yang langsung terjadi setelah anak lahir tetapi plasenta belum lahir

biasanya disebabkan oleh robekan jalan lahir. Perdarahan setelah plasenta lahir, biasanya

disebabkan oleh atonia uteri. Atonia uteri dapat diketahui dengan palpasi uterus. Fundus uteri

tinggi di atas pusat, uterus lembek, kontraksi uterus tidak baik.Sisa plasenta yang tertinggal

dalam kavum uteri dapat diketahui dengan memeriksa plasenta yang lahir apakah lengkap

atau tidak kemudian eksplorasi kavum uteri terhadap sisa plasenta, sisa selaput ketuban, atau

plasenta suksenturiata (anak plasenta). Eksplorasi kavum uteri dapat juga berguna untuk

mengetahui apakan ada robekan rahim.Laserasi (robekan) serviks dan vagina dapat diketahui

dengan inspekulo.

Penilaian jumlah pendarahan pasca persalinan dapat dilihat dengan mengkaji dan

mencatat jumlah, tipe dan sisi perdarahan dengan menimbang dan menghitung pembalut

untuk memperkirakan kehilangan darah. Pembalut yang basah keseluruhannya mengandung

sekitar 100 ml darah. Satu gram peningkatan berat pembalut sama dengan kurang lebih 1 ml

kehilangan darah.Pemeriksaan fisik meliputi:


a. Nilai tanda-tanda syok: pucat, akral dingin, nadi cepat, tekanan darah rendah.

b. Nilai tanda-tanda vital: nadi > 100x/menit, pernafasan hiperpnea, tekanan darah

sistolik < 90 mmHg, suhu.

c. Pemeriksaan obstetrik:

- Perhatikan kontraksi, letak, dan konsistensi uterus

- Lakukan pemeriksaan dalam untuk menilaia danya: perdarahan, keutuhan

plasenta, tali pusat, dan robekan didaerah vagina.

Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan darah rutin: terutama untuk menilai kadar Hb < 8 gr%.

b. Pemeriksaan golongan darah.

c. Pemeriksaan waktu perdarahan dan waktu pembekuan darah (untuk menyingkirkan

penyebab gangguan pembekuan darah).

Perdarahan post partum bukanlah suatu diagnosis akan tetapi suatu kejadian yang

harus dicari kausalnya:

- PPP karena atonia uteri

- PPP karena robekan jalan lahir

- PPP karena sisa plasenta

- Gangguan pembekuan darah.

Diagnosis perdarahan postpartum dapat digolongkan berdasarkan tabel berikut ini:

No Gejala dan tanda Penyebab yang harus

dipikirkan
1. - Perdarahan segera setelah anak lahir Atonia Uteri

- Uterus tidak berkontraksi dan lembek


2. - Perdarahan segera Robekan Jalan Lahir

- Darah segar yang mengalir segera setelah

bayi lahir

3 - Plasenta belum lahir setelah 30 menit Retensio Plasenta

4. - Plasenta atau sebagian selaput (mengandung Sisa Plasenta

pembuluh darah) tidak lengkap

- Perdarahan dapat muncul 6-10 hari post

partum disertai subinvolusi uterus

5. - Perdarahan segera (Perdarahan intra Ruptura Uteri

abdominal dan dari atau pervaginam)

- Nyeri perut yang hebat

- Kontraksi yang hilang

6. - Fundus Uteri tidak teraba pada palpasi Inversio uteri

abdomen

- Lumen vagina terisi massa

- Nyeri ringan atau berat


7. - Perdarahan tidak berhenti, encer, tidak Gangguan pembekuan darah

terlihat gumpalan sederhana

- Kegagalan terbentuknya gumpalan pada uji

pembentukan darah sederhana


- Terdapat faktor predisposisi : solusio

placenta, kematian janin dalam uterus,

eklampsia, emboli air ketuban

F.Komplikasi

Disamping menyebabkan kematian, perdarahan pascapersalinan memperbesar

kemungkinan infeksi puerperal karena daya tahan penderita berkurang. Perdarahan banyak

kelak bisa menyebabkan sindrom Sheehan sebagai akibat nekrosis pada hipofisisis pars

anterior sehingga terjadi insufisiensi pada bagian tersebut. Gejalanya adalah asthenia,

hipotensi, anemia, turunnya berat badan sampai menimbulkan kakeksia, penurunan fungsi

seksual dengan atrofi alat alat genital, kehilangan rambut pubis dan ketiak, penurunan

metabolisme dengan hipotensi, amenore dan kehilangan fungsi laktasi.

G. Penatalaksanaan

Tatalaksana Awal

Nilai sirkulasi, jalan napas, dan pernapasan pasien.

Bila menemukan tanda-tanda syok, lakukan penatalaksanaan syok.


Berikan oksigen.

Pasang infus intravena dengan kanul berukuran besar (16 atau 18) dan mulai pemberian

cairan kristaloid (NaCl 0,9% atau Ringer Laktat atau Ringer Asetat) sesuai dengan

kondisi ibu.

Jumlah Cairan Infus Pengganti Berdasarkan Perkiraan Volume Kehilangan Darah

Penilaian Klinis Volume Perkiraan Jumlah


Tekana Frekuensi Perfu Perdara Kehilangan Darah Cairan Infus
n Darah Nadi si han (% (ml) (volume darah Kristaloid
Sistolik Akral dari maternal Pengganti (2-
(mmHg) volume 100ml/kgBB) 3 x Jumlah

total Kehilangan

darah) Darah)
120 80x/menit Hanga <10% <600 ml (asumsi -
t berat

badan 60 kg)
100 100x/menit Pucat 15% 900 ml 2000-3000 ml
<90 >120x/menit Dingi 30% 1800 ml 3500-5500 ml

n
<60-70 >140x/ menit Basah 50% 3000 ml 6000-9000 ml

sampai tak

teraba

Lakukan pengawasan tekanan darah, nadi, dan pernapasan ibu.

Periksa kondisi abdomen: kontraksi uterus, nyeri tekan, parut luka, dan tinggi fundus

uteri.

Periksa jalan lahir dan area perineum untuk melihat perdarahan dan laserasi (jika ada,

misal: robekan serviks atau robekan vagina).

Periksa kelengkapan plasenta dan selaput ketuban.

Pasang kateter Folley untuk memantau volume urin dibandingkan dengan jumlah cairan

yang masuk. (CATATAN: produksi urin normal 0.5-1 ml/kgBB/jam atau sekitar 30

ml/jam)

Jika kadar Hb< 8 g/dl rujuk ke layanan sekunder (dokter spesialis obsgin)

Jika fasilitas tersedia, ambil sampel darah dan lakukan pemeriksaan: kadar hemoglobin

(pemeriksaan hematologi rutin) dan penggolongan ABO.

Tentukan penyebab dari perdarahannya (lihat tabel penyebab di atas) dan lakukan

tatalaksana spesifik sesuai penyebab


1.Atonia Uteri

Atonia Uteri adalah keadaan lemahnya tonus/kontraksi Rahim yang menyebabkan uterus

tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi lasenta setelah bayi dan

plasenta lahir.

Perdarahan oleh karena atonia uteri dapat dicegah dengan:

1. Melakukan secara rutin manajemen aktif kala III pada semua wanita yang bersalin karena

hal ini dapat menurunkan insidens perdarahan pascapersalinan akibat atonia uteri.

2. Pemberian misoprostol peroral 2-3 tablet (400-600 ug) segera setelah bayi lahir

Faktor predisposisinya adalah sebagai berikut:

Regangan Rahim berlebihan karena kehamilan gemili, polihidramnion, atau anak

teralalu besar.

Kelelahan karena persalinan lama atau persalinan kasep

Kehamilan grande-multipara

Ibu dengan keadaan umum yang jelek, anemis, atau menderita penyakit menahun.

Mioma uteri yang mengganggu kontraksi rahim.

Infeksi intrauterine (korioamnionitis)

Ada riwayat pernah atonia uteri sebelumnya.

Penatalaksanaan

Banyaknya darah yang hilang akan mempengaruhi keadaan pasien. Pasien bisa masih

dalam keadaan sadar, sedikit anemis, sampai syok berat hipovolemik. Tindakan pertama yang

harus dilakukan bergantung pada keadaan kliniknya.

Lakukan pemijatan uterus.


Pastikan plasenta lahir lengkap.

Berikan 20-40 unit oksitosin dalam 1000 ml larutan NaCl 0,9%/ Ringer Laktat dengan

kecepatan 60 tetes/menit dan 10 unit IM.

Lanjutkan infus oksitosin 20 unit dalam 1000 ml larutanNaCl 0,9%/Ringer Laktat dengan

kecepatan 40 tetes/menit hingga perdarahan berhenti.

Catatan :

Jangan berikan lebih dari 3 liter larutan intravena yang mengandung oksitosin.

Jangan berikan ergometrin kepada ibu dengan hipertensi berat/tidak terkontrol, penderita sakit

jantung dan penyakit pembuluh darah tepi.

Bila tidak tersedia oksitosin atau bila perdarahan tidak berhenti, berikanergometrin 0,2

mg IM atau IV (lambat), dapat diikuti pemberian 0,2 mg IM setelah 15 menit,

danpemberian 0,2 mg IM/IV (lambat) setiap 4 jam bila diperlukan. JANGAN BERIKAN

LEBIH DARI 5 DOSIS (1 mg)

Jika perdarahan berlanjut, berikan 1 g asam traneksamat IV (bolus selama 1 menit, dapat

diulang setelah 30 menit).

Lakukan pasang kondom kateter atau kompresi bimanual internal selama 5 menit.

Siapkan rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder sebagai antisipasi bila

perdarahan tidak berhenti.


2. Robekan Jalan Lahir

Pada umumnya robekan jalan lahir pada persalinan dengan trauma. Pertolongan

persalinan yang semakin manipulative dan traumatik akan memudahkan robekan jalan

lahir dan karena itu dihindarkan memimpin persalinan pada saat pembukaan serviks

belum lengkap. Robekan jalan lahir biasanya karena episiotomy, robekan spontan

perineum, trauma forceps atau vakum ekstraksi, atau karena versi ekstraksi.

Robekan yang terjadi bisa ringan (lecet, laserasi), luka episiotomy, robekan

perineum spontan derajat ringan samai rupture perinei totalis (sfingter ani terputus),

robekan pada dinding vagina, forniks uteri, serviks, daerah sekitar klitoris dan uretra dan

bahkan, yang terberat rupture uteri. Oleh karena itu, pada setiap persalinan hendaknya

dilakukan inspeksi yang teliti untuk mencari kemungkinan adanya robekan ini.

Perdarahan yang terjadi saat kontraksi uterus baik, biasanya karena ada robekan atau sisa

plasenta. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara melakukan inspeksi pada vulva,

vagina, dan serviks dengan menggunakan speculum untuk mencari sumber perdarahan

dengan ciri warna darah yang merah segar dan pulsasif sesuai dengan denyut nadi.

Perdarahan karena rupture uteri dapat diduga pada persalinan macet atau kasep, atau
uterus dangan lokus minoris resistensia dan adanya atonia uteri dan tanda cairan bebas

intraabdominal. Semua sumber perdarahan yang terbuka harus di klem, diikat dan luka

ditutup dengan jahitan cat-gut lapis demi lapis sampai perdarahan berhenti.

Teknik penjahitan memerlukan asisten, anestasi local, penerangan lampu yang

cukup serta speculum dan memperhatikan kedalam luka. Bila penderita kesakitan dan

tidak kooperatif, perlu mengundang sejawat anestesi untuk ketenangan dan keaamanan

saat melakukan hemostasis.

Penatalaksanaan

Ruptura Perineum dan Robekan Dinding Vagina

Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi sumber perdarahan.

Lakukan irigasi pada tempat luka dan bersihkan dengan antiseptik.

Hentikan sumber perdarahan dengan klem kemudian ikat dengan benang yang

dapat diserap.

Lakukan penjahitan

Bila perdarahan masih berlanjut, berikan 1 g asam traneksamat IV (bolus selama

1 menit, dapat diulang setelah 30 menit).

Robekan Serviks

Paling sering terjadi pada bagian lateral bawah kiri dan kanan dari Porsio

Siapkan rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder


3. Retensio Plasenta

Bila plasenta tetap tertinggal dalam uterus setengah jam setelah anak lahir disebut

sebagai retensio plasenta. Plasenta yang sukar dilepaskan dengan pertolongan aktif kala

tiga bisa disebabkan oleh adhesi yang kuat antara plasenta dan uterus. Disebut sebagai

plasenta akreta bila implantasi menembus desidua basalais dan Nitabuch layer,

disebutkan sebagai plasenta inkreta bila palsenta sampai menembus miometrum dan

disebut plasenta perkreta vili korialis sampai menembus perimetrium.Faktor predisposisi

terjadinya plasenta akreta adalah plasenta previa, bekas seksio sesarea, pernah kuret

berulang, dan multiparitas.

Proses kala III didahului dengan tahap pelepasan/seperasi plasenta akan ditandai

dengan perdarahan pervaginam (cara pelepasan Duncan) atau plasenta sudah sebagian

lepas tetapi tidak keluar pervaginam (cara pelepasan Schultze), sampai akhirnya tahap

ekspulsi, plasenta lahir. Pada retensio plasenta, sepanjang plasenta belum terlepas, maka

tidak akan menimbulkan perdarahan. Sebagian plasenta yang sudah lepas dapat

menimbulkan perdarahan yang cukup banyak (perdarahan kala III) dan harus diantisipasi

dengan segera melakukan placenta manual, meskipun kala uri belum lewat setengah jam.

Penatalaksanaan

Berikan 20 - 40 unit oksitosindalam 1000 ml larutan NaCl 0,9% atau Ringer

Laktat dengan kecepatan 60 tetes/menit dan 10 unit IM. Lanjutkan infus oksitosin

20 unit dalam 1000 ml larutan NaCl 0,9% atau Ringer Laktat dengan kecepatan

40 tetes/menit hingga perdarahan berhenti.


Lakukan tarikan tali pusat terkendali.

Bila tarikan tali pusat terkendali tidak berhasil, lakukan plasenta manual secara

hati-hati.

Berikan antibiotika profilaksis dosis tunggal (ampisilin 2 g IV DAN metronidazol

500 mg IV).

Segera atasi atau rujuk ke fasilitas yang lebih lengkap bila terjadi komplikasi

perdarahan hebat atau infeksi.

4. Sisa Plasenta

Bila sebagian kecil dari plasenta masih tertinggal dalam uterus disebut rest

placenta dan dapat menimbulkan PPP primer atau (lebih sering) sekunder. Sisa plasenta

bisa diduga bila kala uri berlangsung tidak lancar, atau setelah melakukan plasenta

manual atau menemukan adanya kotiledon yang tidak lengkap pada saat melakukan

pemeriksaan plasenta dan masih ada perdarahan dari ostium uteri eksternum pada saat

kontraksi rahim sudah baik dan robekan jalan lahir sudah terjahit. Untuk itu, harus

dilakukan eksplorasi ke dalam rahim dengan cara manual/digitalis atau kuret dan

pemberiian uterotonika. Anemia yang di timbulkan setelah perdarahan dapat diberi

tranfusi darah sesuai dengan keperluannya.

Penatalaksanaan

Berikan 20 - 40 unit oksitosin dalam 1000 ml larutan NaCl 0,9% atau Ringer

Laktat dengan kecepatan 60 tetes/menit dan 10 unit IM. Lanjutkan infus oksitosin

20 unit dalam 1000 ml larutan NaCl 0,9% atau Ringer Laktat dengan kecepatan

40 tetes/menit hingga perdarahan berhenti.


Lakukan eksplorasi digital (bila serviks terbuka) dan keluarkan bekuan darah dan

jaringan. Bila serviks hanya dapat dilalui oleh instrumen, lakukan evakuasi sisa

plasenta dengan aspirasi vakum manual atau dilatasi dan kuretase .

Berikan antibiotika profilaksis dosis tunggal (ampisillin 2 g IV dan metronidazole

500 mg).

Jika perdarahan berlanjut, tata laksana seperti kasus atonia uteri.

5. Inversio uteri

Kegawatdaruratan pada kala III yang dapat menimbulkan perdaraan adalah

terjadinya inversi uterus. Inversio uteri adalah keadaan di mana lapisan dalam uterus

(endometrium) turun dan keluar lewat ostium uteri eksternum, yang dapat bersifat

inkomplit sampai komplit.

Faktor-faktor yang memungkinkan fal itu terjadi adalah adanya atonia uteri,

serviks yang masih terbuka lebar, dan adanya kekuatan yang menarik fundus ke bawah

(misalnya karena plasenta akreta, inkreta, dan perkreta, yang tali pusatnya di tarik keras

dari bawah) atau ada tekanan pada fundus uteri dari atas (manuver Crede) atau tekanan

intraabdominal yang keras dan tiba-tiba (misalnya batuk keras dan bersin).

CATATAN: Melakukan traksi umbilicus pada pertolongan aktif kala III dengan uterus yang

masih atonia memungkinkan terjadinya inversion uteri.

Inversio uteri ditandai dengan tanda-tanda:

Syok karena kesakitan

Perdarahan banyak bergumpal

Di vulva tampak endometrium terbalik dengan atau tanpa plasenta yang masih melekat.

Bila baru terjadi, maka prognosis cukup baik akan tetapi bila kejadiannya cukup lama,
maka jepitan serviks yang mengecil akan membuat uterus mengalami iskemia, nekrosis,

dan infeksi.

Penatalaksanaan

Memanggil bantuan anestesi dan memasang infus untuk cairan /darah pengganti

dan pemberian obat.

Beberapa senter memberikan tokolitik/MgSO4 untuk melemaskan uterus yang

terbalik sebelum dilakukan reposisi manual, yaitu mendorong endometrium ke

atas masuk ke dalam vagina dan terus melewati serviks sampai tangan masuk ke

dalam uterus pada posisi normalnya. Hal itu dapat dilakukan sewaktu plasenta

sudah terlepas atau tidak.

Didalam uterus plasenta dilepaskan secara manual dan bila berhasil dikeluarkan

dari rahim dan sambil memberikan uterotonika lewat infus atau i.m. tangan tetap

dipertahankan agar konfigurasi uterus kembali normal dan tangan operator baru

dilepaskan.

Pemberian antibiotika dan transfuse darah sesuai keperluannya.

Intervensi bedah dilakukan bila karena jepitan serviks yang keras menyebabkan

manuver di atas tidak bisa dikerjakan, maka dilakukan laparotomy untuk reposisi

dan kalau terpaksa dilakukan histerektomi bila uterus sudah mengalami infeksi

dan nekrosis.

Siapkan rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder

6. Gangguan Pembekuan Darah

Kausal PPP karena gangguan pembekuan darah baru dicurigai bila penybab yang

lain dapat disingkirkan apalagi disertai ada riwayat pernah mengalami hal yang sama

pada persalinan sebelumnya. Akan ada tendensi mudah terjadi perdarahan setiap
dilakukan penjahitan dan perdarahan akan merembes atau timbul hepatoma pada bekas

jahitan, suntikan, perdarahan dari gusi, rongga hidung, dan lain-lain.

Pada pemeriksaan penunjang ditemukan hasil pemeriksaan faal hemostasis yang

abnormal. Waktu perdarahan dan waktu pembekuan memanjang, trombositopenia, terjadi

hipofibrinogenemia, dan terdeteksi adanya FDP (fibrin degradation product) serta

perpanjangan tes protombin dan PTT (partial thromboplastin time).

Predesposisi untuk terjadinya hal ini adalah solusio plasenta, kematian janin dalam

kandungan, eklamsia, emboli cairan ketuban, dan sepsis. Terapi yang dilakukan adalah

dengan tranfusi darah dan produknya seperti plasma beku segar, trombosit, fibrinogen,

dan heparinisasi atau pemberian EACA (epsilon amino caproic acid).

Pencegahan

Klasifikasi kehamilan resiko rendah dan resiko tinggi akan memudahkan

penyelenggara pelayanan kesehatan untuk menata strategi pelayanan ibu hamil saat

perawatan antenatal dan melahirkan dengan mengatur petugas kesehatan mana yang

sesuai dan jenjang rumah sakit

Pada banyak kasus kehilangan darah yang akut, koagulopati dapat dicegah jika

volume darah dipulihkan segera.

Tangani kemungkinan penyebab (solusio plasenta, eklampsia).

Siapkan rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder

Konseling dan Edukasi

Memberikan informasi kepada pasien, suami, dan keluarga akan pentingnya

pemeriksaan selama kehamilan (antenatal care atau ANC) untuk mempersiapkan

proses persalinan. Kunjungan pelayanan antenatal bagi ibu hamil paling sedikit 4

kali kunjungan dengan distribusi sekali pada trimester I, sekali trimester II, dan
dua kali pada trimester III.

Kriteria Rujukan

Jika kadar Hb < 8 g/dl rujuk ke layanan sekunder (dokter spesialis obstetri dan

ginekologi)

Sarana Prasarana

1. Inspekulo

2. USG

3. Sarung tangan steril

4. Hecting set

5. Benang catgut

6. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan darah rutin, dan golongan darah.

Prognosis

Prognosis umumnya dubia ad bonam, tergantung dari jumlah perdarahan dan kecepatan

penatalaksanaan.

7. Ruptura Perineum tingkat 1-2

Ruptur perineum adalah suatu kondisi robeknya perineum yang terjadi pada persalinan

pervaginam. Diperkirakan lebih dari 85% wanita yang melahirkan pervaginam mengalami ruptur

perineum spontan, yang 60% - 70% di antaranya membutuhkan penjahitan . Angka morbiditas

meningkat seiring dengan peningkatan derajat ruptur.

Gejala Klinis

Perdarahan pervaginam

Etiologi dan Faktor Risiko


Ruptur perineum umumnya terjadi pada persalinan, dimana:

1. Kepala janin terlalu cepat lahir

2. Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya

3. Sebelumnya pada perineum terdapat banyak jaringan parut

4. Pada persalinan dengan distosia bahu

5. Partus pervaginam dengan tindakan

Pada literatur lain dikatakan faktor risiko ruptur perineum antara lain :

Faktor risiko ruptur perineum


Known risk factors Suggested risk factors
Nulipara Peningkatan usia
Makrosomia Etnis
Persalinan dengan instrumen terutama Status nutrisi

forsep
Malpresentasi Analgesia epidural
Malposisi seperti oksiput posterior
Distosia bahu
Ruptur perineum sebelumnya
Lingkar kepala yang lebih besar

Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya:

1. Robekan pada perineum,

2. Perdarahan yang bersifat arterial atau yang bersifat merembes,

3. Pemeriksaan colok dubur, untuk menilai derajat robekan perineum


Pemeriksaan Penunjang: -

Diagnosis Klinis

Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Klasifikasi Ruptur Perineum dibagi menjadi 4 derajat:

a. Derajat I

Robekan terjadi hanya pada selaput lendir vagina dengan atau tanpa mengenai kulit perineum .

b. Derajat II

Robekan mengenai selaput lender vagina dan otot perinea transversalis, tetapi tidak melibatkan

kerusakan otot sfingter ani.

c. Derajat III

Robekan mengenai perineum sampai dengan otot sfingter ani dengan pembagian sebagai berikut:
III. a. Robekan < 50% sfingter ani eksterna

III. b. Robekan > 50% sfingter ani ekterna

III. c. Robekan juga meliputi sfingter ani interna

d. Derajat IV

Robekan mengenai perineum sampai dengan otot sfingter ani dan mukosa rektum

Penatalaksanaan

Menghindari atau mengurangi dengan menjaga jangan sampai dasar panggul didahului oleh

kepala janin dengan cepat.

Kepala janin yang akan lahir jangan ditahan terlampau kuat dan lama, karena akan

menyebabkan asfiksia dan perdarahan dalam tengkorak janin, dan melemahkan otot-otot dan

fasia pada dasar panggul karena diregangkan terlalu lama.

Penatalaksanaan farmakologis:

Dosis tunggal sefalosporin golongan II atau III dapat diberikan intravena sebelum perbaikan

dilakukan (untuk ruptur perineum yang berat).


Manajemen Ruptur Perineum:

Ruptur perineum harus segera diperbaiki untuk meminimalisir risiko perdarahan, edema, dan

infeksi. Manajemen ruptur perineum untuk masing-masing derajatnya, antara lain sebagai

berikut :

a. Derajat I

Bila hanya ada luka lecet, tidak diperlukan penjahitan. Tidak usah menjahit ruptur derajat I

yang tidak mengalami perdarahan dan mendekat dengan baik.

Penjahitan robekan perineum derajat I dapat dilakukan hanya dengan memakai catgut yang

dijahitkan secara jelujur (continuous suture) atau dengan cara angka delapan (figure of eight).

b. Derajat II

Ratakan terlebih dahulu pinggiran robekan yang bergerigi, dengan cara mengklem masing-

masing sisi kanan dan kirinya lalu dilakukan pengguntingan untuk meratakannya.

Setelah pinggiran robekan rata, baru dilakukan penjahitan luka robekan.

c. Derajat III dan IV

Dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang memiliki dokter spesialis obstetric dan ginekologi.

Konseling dan Edukasi

Memberikan informasi kepada pasien, dan suami, mengenai, cara menjaga kebersihan daerah

vagina dan sekitarnya setelah dilakukannya penjahitan di daerah perineum, yaitu antara lain:

a. Menjaga perineumnya selalu bersih dan kering.

b. Hindari penggunaan obat-obatan tradisional pada perineumnya.

c. Cuci perineumnya dengan sabun dan air bersih yang mengalir 3 sampai 4 kali perhari.

d. Kembali dalam seminggu untuk memeriksa penyembuhan lukanya. Ibu harus kembali lebih

awal jika ia mengalami demam atau mengeluarkan cairan yang berbau busuk dari daerah
lukanya atau jika daerah tersebut menjadi lebih nyeri.

Kriteria Rujukan: -

Sarana-Prasarana

1. Lampu

2. Kassa steril

3. Sarung tangan steril

4. Hecting set

5. Benang jahit : catgut

6. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan darah rutin, golongan darah.

Prognosis

Prognosis umumnya bonnam

DAFTAR PUSTAKA

1. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B. Rachimhadhi, T. Wiknjosastro Gulardi H. Ilmu

Kebidanan Sarwono Prawirohardjo.Edisi keempat cetakan ketiga. PT Bina Pustaka

Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. 2010.

2. Kementerian Kesehatan RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas

Kesehatan Dasar dan Rujukan. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta. 2013


3. Kementrian RI dan IDI. Buku Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Pelayan Primer,

Standar Pelayanan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama, Edisi 1. Jakarta: 2013


ENDOMETRIOSIS

Definisi

Endometriosis adalah satu keadaan dimana jaringan endometrium yang masih berfungsi

terdapat diluar cavum uteri dan diluar miometrium. Jaringan endometrium ini terdiri atas

kelenjar-kelenjar dan stroma.

Etiologi

Sampai saat ini belum ada penyebab pasti dari endometriosis. Ada beberapa teori yang

menerangkan terjadinya endometriosis, antara lain:

1. Teori Implantasi dan Regurgitasi Sampson

Teori ini mengemukakan bahwa regurgitasi darah dan partikel endometrium melalui tuba

pada saat haid dapat berimplantasi dan tumbuh di mana saja. Teori ini disokong oleh adanya

regurgitasi darah haid melalui tuba, percobaan kemampuan endometrium untuk tumbuh, dan

seringnya endometriosis didapat pada wanita dengan bendungan darah haid pada kelainan

alat genital. Teori ini tidak dapat menerangkan kejadian endometriosis diluar pelvik,

misalnya endometriosis di paru, umbilikus, pleura, dan tempat lain. teori ini pernah dibantah

oleh Rosenfeld dan Lecher dengan alasan mereka pernah menemukan adnaya endometriosis

pada para penderita yang mengidap sindroma Rokitansky-Kuster-Hauster. Greenbalt dan

Dipahioglu (1976) pernah pula mencatat adanya berbagai perubahan yang menyerupai

desidua pada serosa apendiks wanita hamil, dan pada permukaan ovarium setelah pemberian

gonadtropin.

2. Teori Metaplasia Meyer

Teori ini mengemukakan bahwa timbulnya endometriosis sebagai akibat perubahan

abnormal sel yang berasal dari epitel, coelom pada tingkat embrional. Hal ini meliputi
priteoneum, pelvik, epitel germinal ovarium dan seluruh sistem mulleri (tuba, uterus, dan

bagian proksimal vagina), yang oleh suatu sebab, seperti radang atau pengaruh hormon akan

bermetaplasi dengan akibat epitel coelom berubah menjadi endometrium.

Teori ini dapat menerangkan kejadian endometriosis yang dekat, termasuk endometriosis

diseptum rekto-vaginal dan bagian-bagiannya, tetapi tidak mampu menerangkan kejadian

endometriosis di umbilikalis dan ditempat lain yang jauh letaknya.

3. Teori Genitoblas de Snoo

Teori ini mengemukakan bahwa sel genitoblas mempunyai potensi untuk berubah

menjadi jaringan lain diantaranya menjadi endometrium.

4. Teori Penyebaran Secara Limfogen (Halban)

Teori ini menerangkan bahwa pertumbuhan metastastik yang berasal dari endometrium

dapat menuju ke suatu tempat melalui sistem limfe. Hal ini dapat menerangkan adanya

endometriosis di tempat yang letaknya jauh dari pelvik. Novak menyangkal adanya teori ini,

karena belum ada publikasi klinik mengenai adanya endometriosis di kelenjar limfe panggul,

meskipun secara kebetulan pernah ditemukan adanya adenokantoma di kelenjar limfe.

5. Teori Penyebaran Secara Hematogen.

Teori ini menerangkan adanya endometriosis di berbagai tempat yang terletak jauh dan

sukar diterangkan oleh teori yang lain.

6. Teori Iatrogenik

Teori ini mengemukakan bahwa endometriosis dapat terjadi akibat tindakan dokter

seperti operasi, kuretasi, atau pada pemeriksaan bimanual terutama pada saat haid. Sewaktu

tindakan kuretase endometriosis dapat masuk ke vena-vena sehingga terjadi emboli yang

dapat mencapai paru-paru, dan apabila ada kelainan sirkulasi emboli tersebut akan dapat

mencapai daerah lain dan tumbuh menjadi endometriosis.

Patofisiologi

Endometriosis dipengaruhi oleh faktor genetik. Wanita yang memiliki ibu atau saudara
perempuan yang menderita endometriosis memiliki resiko lebih besar terkena penyakit ini juga.

Hal ini disebabkan adanya gen abnormal yang diturunkan dalam tubuh wanita tersebut.

Gangguan menstruasi seperti hipermenorea dan menoragia dapat mempengaruhi sistem

hormonal tubuh. Tubuh akan memberikan respon berupa gangguan sekresi estrogen dan

progesteron yang menyebabkan gangguan pertumbuhan sel endometrium. Sama halnya dengan

pertumbuhan sel endometrium biasa, sel-sel endometriosis ini akan tumbuh seiring dengan

peningkatan kadar estrogen dan progesteron dalam tubuh. Faktor penyebab lain berupa toksik

dari sampah-sampah perkotaan menyebabkan mikoroorganisme masuk ke dalam tubuh.

Mikroorganisme tersebut akan menghasilkan makrofag yang menyebabkan resepon imun

menurun yang menyebabkan faktor pertumbuhan sel-sel abnormal meningkat seiring dengan

peningkatan perkembangbiakan sel abnormal.

Jaringan endometirum yang tumbuh di luar uterus, terdiri dari fragmen endometrial.

Fragmen endometrial tersebut dilemparkan dari infundibulum tuba falopii menuju ke ovarium

yang akan menjadi tempat tumbuhnya. Oleh karena itu, ovarium merupakan bagian pertama

dalam rongga pelvis yang dikenai endometriosis. Sel endometrial ini dapat memasuki peredaran

darah dan limpa, sehingga sel endomatrial ini memiliki kesempatan untuk mengikuti aliran

regional tubuh dan menuju ke bagian tubuh lainnya. Dimanapun lokasi terdapatnya, endometrial

ekstrauterin ini dapat dipengaruhi siklus endokrin normal. Karena dipengaruhi oleh siklus

endokrin, maka pada saat estrogen dan progesteron meningkat, jaringan endometrial ini juga

mengalami perkembangbiakan. Pada saat terjadi perubahan kadar estrogen dan progesteron lebih

rendah atau berkurang, jaringan endometrial ini akan menjadi nekrosis dan terjadi perdarahan di

daerah pelvis. Perdarahan di daerah pelvis ini disebabkan karena iritasi peritonium dan

menyebabkan nyeri saat menstruasi (dysmenorea). Setelah perdarahan, penggumpalan darah di

pelvis akan menyebabkan adhesi/perlekatan di dinding dan permukaan pelvis. Hal ini

menyebabkan nyeri, tidak hanya di pelvis tapi juga nyeri pada daerah permukaan yang terkait,

nyeri saat latihan, defekasi, BAK dan saat melakukan hubungan seks. Adhesi juga dapat terjadi
di sekitar uterus dan tuba fallopii. Adhesi di uterus menyebabkan uterus mengalami retroversi,

sedangkan adhesi di tuba fallopii menyebabkan gerakan spontan ujung-ujung fimbriae untuk

membawa ovum ke uterus menjadi terhambat. Hal-hal inilah yang menyebabkan terjadinya

infertil pada endometriosis.

Teori Histogenesis

Teori histogenesis dari endometriosis yang paling banyak penganutnya adalah teori

Sampson. Menurut teori ini, endometriosis terjadi karena darah haid mengalir kembali

(regurgitasi melalui tuba ke dalam rongga pelvis. Sudah dibuktikan bahwa dalam darah haid

didapati sel-sel endometrium yang masih hidup. Sel-sel endometrium yang masih hidup ini

kemudian dapat mengadakan implantasi di pelvis.

Teori lain mengenai histogenesis endometriosis dilontarkan oleh Robert Meyer. Pada

teori dikemukakan bahwa endometriosis terjadi karena rangsangan pada sel-sel epitel yang

berasal dari coelom yang dapat mempertahankan hidupnya di dalam pelvis. Rangsangan ini

akan menyebabkan metaplasi dari sel-sel epitel itu, sehingga terbentuk jaringan endometrium.

Teori dari Robert Meyer ini semakin banyak penantangnya. Disamping itu masih terbuka

kemungkinan timbulnya endometriosis dengan jalan penyebaran melalui jalan darah atau limfe,

dan dengan implantasi langsung dari endometrium pada saat operasi.

Gambaran mikroskopik dari endometriosis sangat variabel. Lokasi yang sering terdapat

ialah pada ovarium, dan biasanya didapati pada kedua ovarium. Pada ovarium tampak kista-kista

biru kecil sampai kista besar (kadang-kadang sebesar tinju) berisi darah tua menyerupai coklat

(kista coklat atau endometrioma).

Pada pemeriksaan mikroskopi ditemukan ciri-ciri khas bagi endometriosis, yakni

kelenjar-kelenjar dan stroma endometrium, dan perdarahan bekas dan baru berupa eritrosit,

pigmen hemosiderin, dan sel-sel makrofag berisi hemosiderin. Disekitarnya tampak sel-sel

radang dan jaringan ikut sebagai reaksi dari jaringan normal disekelilingnya (jaringan
endometrium). Jaringan endometriosis seperti juga jaringan endometrium didalam uterus, dapat

dipengaruhi oleh hormon progensteron dan estrogen. Akan tetapi besarnya pengaruh tidak selalu

sama, dan tergantung dari beberapa faktor, antara lain dari komposisi endometriosis yang

bersangkutan (apakah jaringan kelenjar atau stroma yang lebih banyak), dari reaksi jaringan

normal disekitarnya, dan sebagainya. Sebagai akibat dari pengaruh hormon-hormon tersebut,

sebagian besar sarang-sarang endometriosis berdarah secara periodik. Dan perdarahan yang

periodik ini menyebabkan reaksi jaringan sekelilingnya berupa radang dan perlekatan.

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis dari endometriosis sangat bervariasi, penderita dengan kelainan yang

luas mungkin tanpa gejala, sedangkan lesi yang minimal mungkin juga menimbulkan keluhan

yang berat, sehingga besarnya lesi tidak ada hubungannya dengan berat ringannya gejala, yang

penting adalah letak kelainan dan kepekaan untuk dipengaruhi oleh hormon. Manifestasi klinis

yang sering ditemukan pada endometriosis antara lain sebagai berikut:

1. Nyeri perut bagian bawah dan di daerah panggul progresif.

2. Disminorea (nyeri hebat di perut bagian bawah saat haid yang menganggu aktifitas).

3. Dispareunea (nyeri ketika melakukan hubungan seksual), disebabkan karena adanya

endometriosis di kavum douglas.

4. Nyeri ketika buang air besar atau kecil (disuria), khususnya pada saat menstruasi.

Disebabkan karena adanya endometriosis pada dinding rektosigmoid.

5. Poli dan hipermenorea (siklus lebih pendek dari normal < 21 hari, darah lebih banyak atau

lama dari normal lebih dari 7 hari).

6. Infertilitas (kemandulan), apabila mobilitas tuba terganggu karena fibriosis dan karena

perlekatan jaringan disekitarnya.

7. Menstruasi yang tidak teratur (misalnya spoting sebelum menstruasi).

8. Haid yang banyak (menorragia). (Irwan, 2008)

Dismenore pada endometriosis dirasakan oleh pasien beberapa hari sebelum haid tiba,
bertambah intensitasnya atau menetap selama haid dan kadang-kadang terus menerus selama

beberapa hari diluar haid. Sebab dari dismenorea ini tidak diketahui sebabnya, tetapi mungkin

ada hubungannya dengan vaskularisari dan perdarahan dalam sarang endometriosis pada waktu

sebelum dan semasa haid. Ada yang menyatakan disminorea ini disebabkan oleh adanya darah

atau deskuamasi jaringan endometrium dirongga pelvis. Kemungkinan lain disebabkan hormon

prostaglandin yang dibentuk berlebihan oleh jaringan endometriosis. Keluhan dismenore dapat

terjadi pada 25-80% pasien yang mengidap endometriosis.

Endometriosis bisa juga bersifat asimptomatik. Kecurigaan dapat bertambah bila timbul

dismenore padahal biasanya selama beberapa tahun menstruasi tidak disertai nyeri. Bisa terjadi

gejala lokal akibat keterlibatan rektum, ureter, atau kandung kemih. Derajat nyeri tidak

berhubungan dengan tingkat keparahan dari endometriosis. Mekanisme yang mungkin adalah

inflamasi peritoneum lokal, infiltrasi dalam dengan kerusakan jaringan, perlekatan, penebalan,

dan pengumpulan darah menstruasi pada jaringan endometrium, yang menyebabkan nyeri pada

peregangan dalam menggerakkan fisiologis jaringan.

Hubungan antara endometriosis dengan infertilitas tetap merupakan suatu kontroversial.

Berdasarkan penelitian retrospektif dan cross sectional, didapatkan subfertilitas jika

endometriosis yang terjadi cukup parah. Resiko aborsi spontan meningkat sebesar 40%

dibandingkan orang normal (15 25%).

Menurut Kistner terdapat hubungan yang jelas antara endometriosis dan infertilitias.

Dimana kejadian infertilitas yang disebabkan oleh endometriosis berkisar antara 30-40 %.

Penyebab terjadinya infertilitas pada endometriosis masih belum diketahui secara jelas. Menurut

Kistner ada hubungan antara endometriosis dan motilitas tuba serta ovarium. Apabila hubungan

ini tidak adekuat akibat fibrosis dan jaringan parut karena sekuele maka endometriosis

merupakan penyebab infertilitas.

Endometriosis dapat menyebabkan infertilitas melalui beberapa mekanisme, yaitu:

1. Produksi prostaglandin sehingga mempengaruhi motilitas tuba atau folikulogenesis dan


fungsi korpus luteum. Pada pasien dengan endometriosis didapatkan peningkatan cairan

peritonium dan peningkatan konsentrasi tromboxan B2 dan 6-keto-prostaglandin, N-keto-

13, 14-dihydroprostaglandin.

2. Melalui makrofag peritonium, ditemukan peningkatan aktifitas makrofag yang akan

memfagosist sperma. Disamping itu makrofag memproduksi interleukin-1 yang bersifat

toksik terhadap embrio tikus. Selain itu makrofag menyebabkan reaksi radang.

3. Endometriosis sebagai salahsatu faktor yang menyebabkan kelainan petumbuhan foliker,

disfungsi ovarium dan kegagalan perkembangan embrio Luteinized unruptured follicle

syndrome adalah keadaan dimana oosit tidak dapat dilepaskan pada saat folikel pecah

yang menyebabkan infertilitas.

Selain hal tersebut diatas endometriosis dapat menyebabkan perlekatan genetalia interna

sehingga menyebabkan okulasi tuba.

Soules dkk, menemukan 17 % pasien endometriosis dengan siklus haid yang tidak

berovulasi. Riva, Moeloek, dan Jacob menemukan beberapa perubahan struktur organ genetalia

interna, yaitu antara lain :

1. Di ovarium terjadi degenerasi dan kelemahan folikek untuk membentuk ovum matang.

Perlekatan mengakibatkan ovum terjebak didalam jala-jala perlekatan.

2. Dituba terjadi pendekatan fimbriae atau perisalping, distorsi, aklusi sebagian atau seluruh

lumen tuba dengan akibat transfortasi ovum terhambat.

3. Terejadi perubahan cairan interaperitoneal yang akan menghalagi perjalanan ovum

menuju tuba. Ovum akan terjerat didalam daerah lembab atau perdarahan dan akan

berdegenerasi sebelum dibuahi.

4. Pada uterus akan terjadi retroposisis karena obliterasi cul-desac, prolaps atau

perlekatan ovarium, dan serviks akan lebih kedepan sehingga inseminasi terhambat.

Diagnosis

Diagnosis endometriosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


dipastikan dengan pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan fisik, akan ditemukan nodul pada

ligamen uterus. Selain itu, nodul juga ditemukan pada uterosacral. Pada pemeriksaan panggul

akan teraba adanya benjolan lunak yang seringkali ditemukan di dinding belakang vagina atau di

daerah ovarium. Rasa nyeri dialami pasien saat pemeriksaan berlangsung.

Pemeriksaan penunjang lain dibutuhkan untuk memastikan diagnosa endometriosis,

seperti USG, barium enema, CT scan atau MRI abdomen. Pada beberapa kasus endometriosis,

pasien mendapatkan hasil negatif dari pemeriksaan penunjang sehingga dibutuhkan pemeriksaan

yang lebih akurat. Pemeriksaan yang lebih akurat tersebut yaitu laparoskopi, biopsi serta

pemeriksaan tumor marker CA-125.

Laparoskopi merupakan suatu pemeriksaan dengan menggunakan alat teleskop yang

dimasukkan ke dalam rongga perut dan rongga panggul melalui suatu pembedahan kecil di

daerah umbilikus. Laparoskopi sangat berguna untuk membedakan endometriosis dari kelainan-

kelainan di pelvis. Laparoskopi turut membenarkan rawatan pembedahan bagi endometriosis.

Kuldoskopi kurang bermanfaat terutama jika kavum douglas ikut serta dalam

endometriosis. Pada endometriosis yang ditemukan pada lokasi seperti forniks vaginae posterior,

perineum, perlu laparotomi.

Biopsi endometrium dapat memberi kepastian mengenai diagnosis. Pemeriksaan

laboratorium pada endometriosis tidak memberi tanda yang khas, hanya apabila ada darah dalam

tinja atau air kencing pada waktu haid dapat menjadi petunjuk tentang adanya endometriosis

pada rektosigmoid atau kandung kencing.

Sigmoidoskopi dan sistokospi dapat memperlihatkan tempat perdarahan pada waktu haid.

Pembuatan foto rontgen dengan memasukkan barium dalam kolon dapat memberi gambaran

filling defect. (Irwan, 2008).


Untuk menentukan berat ringannya endometriosis digunakan klasifikasi berdasarkan

stagging atau tingkatan dari American Fertility Society (AFS), antara lain:

Stage 1: Lesi besrsifat superficial, ada perlengketan di permukaan saja

Stage 2: Adanya pelengketan sampai di daerah cul-de-sac

Stage 3: Sama seperti stage 2, namun disertai endometrioma yang kecil pada ovarium

dan ada perlengketan juga yang lebih banyak.

Stage 4: Sama seperti stage 3, namun disertai endometrioma yang besar dan perlengketan

yang sangat luas.

Penentuan klasifikasi endometriosis merupakan syarat mutlak untuk membandingkan

berbagai hasil dalam pengobatan kelainan ini. Tanpa adanya sistem klasifikasi yang baik,

efektifitas pengobatan sulit ditentukan. Sayangnya, meskipun telah berbagai ragam klasifikasi

diajukan, namun belum ada yang dapat digunakan secara universal.

Penatalaksanaan

Harus disadari bahwa endometriosis bersifat progresif dan berulang, sehingga

pengankatan rahim (histerektomi) dan kedua saluran telur menjadi pilihan yang paling mungkin

untuk menghilangkan endemetriosisnya. Namun tindakan ini tidak mungkin dilakukan pada

mereka yang masih ingin mempunyai keturunan atau belum menikah. Sehingga pilihan tepat

yang dapat dilakukan yaitu menggunakan obat-obatan, antara lain:

Nonsteroidal antiinflammatory drugs (NSAID/obat antiinflamasi nonsteroid). NSAID

tidak hanya mengurangi nyeri, namun dapat mengurangi perdarahan yang terjadi. Pada

kasus yang berat, diperkenankan penggunaan morfin.

Progesterone atau progestin

Progesterone dapat melawan aktifitas estrogen dan mencegah terjadinya penebalan

pada endometrium. Progestin merupakan zat kimia turunan progesterone.

Menghindari segala bentuk bahan yang bersifat estrogenik.


Kontrasepsi oral

Terapi kontrasepsi oral dapat mengurangi nyeri yang berhubungan dengan endometriosis.

Kontrasepsi oral akan menekan LH dan FSH untuk mencegah terjadinya ovulasi

sehingga endometrium tidak menebal. Kontrasepsi oral (Pil KB) dapat menekan keluhan

nyeri hingga 75% pada penderita endometriosis.

o Pil KB ini dapat diminum secara kontinyu atau sesuai siklus menstruasi dan dapat

dihentikan setelah 6 sampai 12 siklus.

o Efek samping yang mungkin muncul adalah nyeri kepala, mual dan hipertensi.

o Pil ini diminum sesuai dengan aturan, dengan tidak meminum pil placebonya.

Danazole (steroid) yang bekerja dengan menciptakan suasana androgenik, dapat menekan

pertumbuhan endometriosis. Namun ada efek samping yang muncul seperti hirsutisme

(pertumbuhan rambut berlebih pada wanita dengan distribusi seperti laki-laki), acne, dll.

Lupron (GnRH agonis) bekerja dengan meningkatkan kadar GnRH di darah, seingga

kadar LH dan FSH turun, namun efek samping yang mungkin muncul adalah munculnya

osteoporosis. Dapat digunakan hanya 6 bulan saja. Dosis yang diberikan 11,25 mg untuk

3 bulan, kemudian dilanjutkan sebukan sekali selama 6 bulan 3,75 mg.

Aromatase inhibitor merupakan pengobatan yang memblok peroduksi dari estrogen.

Pembedahan

Pengobatan dengan pembedahan dibagi menjadi 3 kelompok

Pembedahan konservatif, dilakukan jika organ reproduksi masih diperlukan, tindakan ini

dilakukan dengan jalan mengeksisi, mengangkat jaringan endometriosisnya saja, dan

menjaga organ panggul tetap dalam keadaan baik.

Semi konservatif , jika fungsi ovarium masih dibutuhkan.

Pembedahan radikal, jika rahim indung telur dan ovarium diangkat total, ini dilakukan

pada pasien yang mengalami nyeri hebat dan sudah resisten dengan medikamentosa
(obat-obatan), serta sudah tidak menginginkan keturunan lagi. Tetapi tindakan radikal ini

juga tidak menjamin pasien akan terbebas dari masalah nyeri. (Adamson, 2010).

Prognosis

Faktor yang menentukan kesembuhan penyakit ini sangat bergantung dari pasien. Hal ini

dikarenakan belum ada penanganan yang benar-benar dapat membebaskan pasien endometriosis

dari nyeri yang hebat. Perlu diingat, penanganan dengan melakukan operasi awal laparoskopi

sangat diperlukan untuk menentukan tingkat keparahan endometriosis sehingga dapat dijadikan

acuan dalam pemberian terapi. Adanya keinginan pasien untuk terbebas dari nyeri dan

keinginannya memiliki keturunan memerlukan pertimbangan bagi dokter dalam memilih terapi

pada pasien.

Angka kekambuhan endometriosis ini sangat besar yaitu 5-20%, bahkan mencapai 40%,

kecuali dilakukan histerektomi pada pasien atau pasien sudah memasuki masa menopause.

Endometriosis ini jarang menjadi ganas dan tidak ada hubungannya dengan kanker endometrial.

(Mulyana, 2009).
DAFTAR PUSTAKA

1. Badziad Ali., 2003. Endometriosis; Endokrinologi Ginekologi, edisi kedua, Media

Aesculapius, FK UI, Jakarta.

2. Conrad MS and Shiel WC, 2010.

Endometriosishttp://www.medicinenet.com/endometriosis/article.htm.

3. Irwan HD,2008. Endometriosis. http://medicastore.com/artikel/272/index.html

4. Mansjoer A, dkk 2001, Endometriosis; Kapita Selekta Kedokteran, edisi ketiga, hal: 381-

382, Media Aesculapius, FK UI, Jakarta.

5. Moeloek FA, dkk, 2002. Standart Pelayanan Medik Obstetri & Ginekologi Indonesia.

Jakarta

6. Mulyana B, 2009. Endometriosis.http://www.pdfqueen.com/pdf/ju/jurnal-endometriosis/

7. Rockville P and Bethesda, 2010. Endometriosis.

http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/healthtopics.html., MD. 2007

8. Samsulhadi, 2004. Evaluasi Standar Pengobatan Endometriosis; Seksi Fertilitas dan

endokrinologi Reproduksi, UNAIR, Surabaya.

9. Scott, RJ, dkk. 2002. Buku Saku Obstetri dan Gynekologi. Widya Medika: Jakarta

10. Wikjosastro, 1999. Batasan Endometriosis. http://ginecoweb-endometriosis-html


SUBINVOLUSIO UTERI

Definisi

Subinvolusi adalah kegagalan rahim untuk kembali ke keadaan tidak hamil. Penyebab

paling umum adalah infeksi plasenta.

Subinvolusi uteri adalah proses kembalinya uterus ke ukuran dan bentuk seperti sebelum

hamil yang tidak

Subinvolusi adalah kegagalan uterus untuk mengikuti pola normal involusi, dan keadaan

ini merupakan salah satu dari penyebab umum perdarahan pascapartum.

Istilah ini menunjukkan keadaan terhentinyaatau retardasi dalam proses involusi. Ini

diikuti oleh memanjangnya pengeluaran lokia dan perdarahn uterus yang ireguler atau

berlebihan, yang terkadang sangat banyak jumlahnya. Pada pemeriksaan bimanual, uterus

menjadi lebih besar dan lebih lunak daripada seharusnya. Baik retensi sisa plasenta maupun

infeksi pelvis dapat menyebabkan subinvolusi. Ergonovine atau methylergonovine (methergine),

0,2 mg setiap 3 sampai 4 jam selama 48 jam, direkomendasikan oleh beberapa kalangan untuk

subinvolusi, namun mamfaatnya masih dipertanyakan. Disisi lain metritis bacterial berespons

terhadap terapi antibiotic oral. Wager dkk (1980) melaporkan bahwa hamper sepertiga kasus

infeksi uterus pascapartum lanjut disebabkan oleh Chlamydia trachomatis. Jadi, terapi

azithromycin atau doxycycline merupakan terapi empiris yang sesuai

Faktor predisposisi

i. Status gizi ibu nifas buruk ( kurang gizi)

ii. Ibu tidak menyusui bayinya

iii. Kurang mobilisasi


iv. Usia

v. Parietas

vi. Terdapat bekuan darah yang tidak keluar

vii. Terdapat sisa plasenta dan selaputnya dalam uterus sehingga proses involusi uterus tidak

berjalan dengan normal atau terlambat

viii. Terjadi infeksi pada endometrium

ix. Inflamasi

x. Mioma uteri

Patofisiologi Subinvolusio Uterus

Kekurangan darah pada uterus. Kekurangan darah bukan hanya karena kontraksi dan

retraksi yang cukup lama, tetapi disebabkan oleh pengurangan aliran darah yang pergi ke uterus

di dalam perut ibu hamil, karena uterus harus membesar menyesuaikan diri dengan pertumbuhan

janin. Untuk memenuhi kebutuhannya, darah banyak dialirkan ke uterus dapat mengadakan

hipertropi dan hiperplasi setelah bayi dilahirkan tidak diperlukan lagi, maka pengaliran darah

berkurang , kembali seperti biasa. Demikian dengan adanya hal-hal tersebut uterus akan

mengalami kekurangan darah sehingga jaringan otot otot uterus mengalami atrofi kembali ke

ukuran semula.

Subinvolusi uterus menyebabkan kontraksi uterus menurun sehingga pembuluh darah

yang lebar tidak menutup sempurna, sehingga perdarahan terjadi terus menerus, menyebabkan

permasalahan lainnya baik itu infeksi maupun inflamasi pada bagian rahim terkhususnya

endromatrium. Sehingga proses involusi yang mestinya terjadi setelah nifas terganggu karena

akibat dari permasalahan di atas.

Manifestasi klinis

Biasanya tanda dan gejala subinvolusi tidak tampak, sampai kira-kira 4-6 minggu pasca nifas.
1. Fundus uteri letaknya tetap tinggi di dalam abdomen atau pelvis dari yang diperkirakan atau

penurunan fundus uteri lambat dan tonus uterus lembek.

2. Keluaran kochia seringkali gagal berubah dari bentuk rubra ke bentuk serosa, lalu kebentuk

kochia alba.

3. Lochia bisa tetap dalam bentuk rubra dalam waktu beberapa hari postpartum atau lebih dari

2 minggu pasca nifas

4. Lochia bisa lebih banyak daripada yang diperkirakan

5. Leukore dan lochia berbau menyengat, bisa terjadi jika ada infeksi

6. Pucat,pusing, dan tekanan darah rendah

7. Bisa terjadi perdarahan postpartum dalam jumlah yang banyak (>500 ml)

8. Nadi lemah, gelisah, letih, ektrimitas dingin

Diagnosis

a. Anamnesa

1. Identitas pasien

Data diri klien meliputi nama, umur, pekerjaan, pendidikan, alamat, medical record, dll.

2. Riwayat kesehatan

1) Riwayat kesehatan sekarang

Keluhan yang dirasakan ibu saat ini : pengeluaran lochia yang tetap berwarna merah

( dalam bentuk rubra dalam beberapa hari postpartum atau lebih dari 2 minggu postpartum

adanya leukore an lochia berbau menyengat )

2) Riwayat kesehatan dahulu


Riwayat penyakit jantung, hipertensi, penyakit ginjal kronik hemofilia, mioma uteri,

riwayat preeklamsia, trauma jalan lahir kegagalan kompresi pembuluh darah, tempat

implantasi plasenta retensi sisa plasenta.

3) Riwayat penyakit keluarga

Adanya riwayat keluarga yang pernah/sedang menderita hiertensi, penyakpit jantung

dan preeklamsia, penyakit keturunan hemofilia dan penyakit menular.

4) Riwayat obstetric

Riwayat menstruasi meliputi : menarche, lama siklusnya, banyaknya, baunya, keluhan

waktu haid.
Riwayat perkawinan meliputi : usia kawin, kawin yang keberapa, usia mulai hamil.

5) Riwayat hamil, persalinan dan nifas yang lalu

Riwayat hamil meliputi: waktu hamil muda, hamil tua, apakah ada abortus

Riwayat persalinan meliputi: Tuanya kehamilan, cara persalinan, penolong, tempat bersalin,

adakah kesulitan dalam persalinan, anak lahir hidup / mati, BB & panjang anak waktu lahir.

Riwayat nifas meliputi : keadaan lochia, apakah ada perdarahan, ASI cukup/tidak,kondisi

ibu saat nifas, tinggi fundus uteri dan kontraksi.

Riwayat kehamilan sekarang

o Hamil muda: keluhan selama hamil muda

o Hamil tua: keluhan selama hamil tua, peningkatan BB, suhu nadi, pernafasan, peningkatan

tekanan darah, keadaan gizi akibat mual atau keluhan lain.

o Riwayat ANC meliuti: dimana tempat pelayanan. berapa kali perawatan serta

pengobatannya yang di dapat.


Riwayat persalinan sekarang meliputi : tuanya kehamilan, cara persalinan, penolong tempat

bersalin, apakah ada penyulit dalam persalinan (missal: retensio plasenta, perdarahan yang

berlebihan setelah persalinan ,dll), anak lahir hidup/mati, BB dan panjang anak waktu lahir.

b. Pemeriksaan umum

Keadaan ibu

Tanda tanda vital meliputi: suhu, nadi, tekanan darah, pernapasan

Kulit dingin, berkeringat, pucat, kering, hangat, kemerahan

Kandung kemih : distensi, produksi urin menurun / berkurang

c. Pemeriksaaan khusus

Uterus meliputi: fundus uteri dan posisinya serta konsistensinya

Lochia meliputi: warna, banyaknya dan baunya

Perineum diobservasi untuk melihat apakah ada tanda infeksi dan luka jahitan

Vulva dilihat apakah ada edema atau tidak

Payudara dilihat kondisi aerola, konsistensi dan kolostrum

d. Pemeriksaan penunjang

USG

Radiologi

Laboratorium (Hb.golongan darah,eritrosit, leukosit, trombosit, hematokrit, CT, Blooding

time)
Pemeriksaan patologi jaringan endometrium

Penatalaksanaan

Pemberian antibiotik

Pemberian uterotonika

a. Oksitosin

b. Metilergonovin maleat

Pemberian tansfusi

Dilakukan kerokan bila disebabkan karena tertinggalnya sisa-sisa plasenta

Komplikasi

Subinvolusi uterus menyebabkan kontraksi uterus menurun sehingga pembuluh darah

yang lebar tidak menutup sempurna, sehingga perdarahan terjadi terus menerus. Perdarahan

postpartum (PPH) merupakan perdarahan vagina yang lebih dari 24 jam setelah melahirkan.

Penyebab utama adalah subinvolusi uterus. Yakni kondisi dimana uterus tidak dapat berkontraksi
dan kembali kebentuk awal. Ketika miometrium kehilangan kemampuan untuk berkontraksi,

pembuluh rahim mungkin berdarah secara luas dan menyajikan situasi yang mengancam jiwa

mengharuskan histerektomi.

Prognosis

Prognosis baik apabila tindakan segera dilakukan serta perdarahan akibat subinvolusi

uteri segera dihentikan.


DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham, F. Gary . 2012. Obstetri Williams volume 1 edisi 23. Jakarta : EGC

2. Manuaba, Ida bagus gede. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta : EGC

3. Mansjoer,Arif dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius

4. Mescher, L. Anthony. 2011. Histologi Dasar Junqueira Teks dan Atlas edisi 12. Jakarta :

EGC

5. Mochtar,Rustam. 1998.Sinopsis Obstetri. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

6. Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu kebidanan.2005. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Pillitteri,


KISTA BARTOLINI

Definisi

Kista adalah kantung yang berisi cairan atau bahan semisolid yang terbentuk di bawah

kulit atau di suatu tempat di dalam tubuh. Kista kelenjar Bartholin terjadi ketika kelenjar ini

menjadi tersumbat. Kelenjar Bartolini bisa tersumbat karena berbagai alasan, seperti infeksi,

peradangan atau iritasi jangka panjang. Apabila saluran kelenjar ini mengalami infeksi maka

saluran kelenjar ini akan melekat satu sama lain dan menyebabkan timbulnya sumbatan. Cairan

yang dihasilkan oleh kelenjar ini kemudian terakumulasi, menyebabkan kelenjar membengkak

dan membentuk suatu kista. Suatu abses terjadi bila kista menjadi terinfeksi.

Kista adalah tumor iinak di organ reproduksi perempuan yang paling sering ditemui.

Bentuknya kistik, berisi cairan kental, dan ada pula yang berbentuk anggur. Kista juga ada yang

berisi udara, cairan, nanah, ataupun bahan-bahan lainnya. Kista termasuk tumor jinak yang

terbungkus selaput semacam jaringan. Kumpulan sel-sel tumor itu terpisah dengan jaringan

normal di sekitarnya dan tidak dapat menyebar ke bagian tubuh lain. Itulah sebabnya tumor jinak

relatif mudah diangkat dengan jalan pembedahan, dan tidak membahayakan kesehatan

penderitanya.

Kista adalah kantung yang berisi cairan atau bahan semisolid yang terbentuk di bawah

kulit atau di suatu tempat di dalam tubuh. Kista kelenjar Bartholin terjadi ketika kelenjar ini

menjadi tersumbat. Kelenjar Bartolini bisa tersumbat karena berbagai alasan, seperti infeksi,

peradangan atau iritasi jangka panjang. Apabila saluran kelenjar ini mengalami infeksi maka

saluran kelenjar ini akan melekat satu sama lain dan menyebabkan timbulnya sumbatan. Cairan

yang dihasilkan oleh kelenjar ini kemudian terakumulasi, menyebabkan kelenjar membengkak

dan membentuk suatu kista. Suatu abses terjadi bila kista menjadi terinfeksi

Epidemiologi

Dua persen wanita mengalami kista Bartolini atau abses kelenjar pada suatu saat dalam

kehidupannya. Abses umumnya hampir terjadi tiga kali lebih banyak daripada kista. Salah satu
penelitian kasus kontrol menemukan bahwa wanita berkulit putih dan hitam yang lebih

cenderung untuk mengalami kista bartolini atau abses bartolini daripada wanita hispanik, dan

bahwa perempuan dengan paritas yang tinggi memiliki risiko terendah. Kista Bartolini, yang

paling umum terjadi pada labia majora. Involusi bertahap dari kelenjar Bartolini dapat terjadi

pada saat seorang wanita mencapai usia 30 tahun. Hal ini mungkin menjelaskan lebih seringnya

terjadi kista Bartolini dan abses selama usia reproduksi. Biopsi eksisional mungkin diperlukan

lebih dini karena massa pada wanita pascamenopause dapat berkembang menjadi kanker.

Beberapa penelitian telah menyarankan bahwa eksisi pembedahan tidak diperlukan

karena rendahnya risiko kanker kelenjar Bartholin (0,114 kanker per 100.000 wanita-

tahun).Namun, jika diagnosis kanker tertunda, prognosis dapat menjadi lebih buruk. Sekitar 1

dalam 50 wanita akan mengalami kista Bartolini atau abses di dalam hidup mereka. Jadi, hal ini

adalah masalah yang perlu dicermati.Kebanyakan kasus terjadi pada wanita usia antara 20

sampai 30 tahun. Namun, tidak menutup kemungkinan dapat terjadi pada wanita yang lebih tua

atau lebih muda.

Etiologi

Kista Bartolini berkembang ketika saluran keluar dari kelenjar Bartolini tersumbat.

Cairan yang dihasilkan oleh kelenjar kemudian terakumulasi, menyebabkan kelenjar

membengkak dan membentuk suatu kista. Suatu abses terjadi bila kista menjadi terinfeksi. Abses

Bartolini dapat disebabkan oleh sejumlah bakteri. Ini termasuk organisme yang menyebabkan

penyakit menular seksual seperti Klamidia dan Gonore serta bakteri yang biasanya ditemukan di

saluran pencernaan, seperti Escherichia coli. Umumnya abses ini melibatkan lebih dari satu jenis

organisme. Obstruksi distal saluran Bartolini bisa mengakibatkan retensi cairan, dengan

dihasilkannya dilatasi dari duktus dan pembentukan kista. Kista dapat terinfeksi, dan abses dapat

berkembang dalam kelenjar. Kista Bartolini tidak selalu harus terjadi sebelum abses kelenjar.

Kelenjar Bartolini adalah abses polimikrobial. Meskipun Neisseria gonorrhoeae adalah


mikroorganisme aerobik yang dominan mengisolasi, bakteri anaerob adalah patogen yang paling

umum. Chlamydia trachomatis juga mungkin menjadi organisme kausatif. Namun, kista saluran

Bartolini dan abses kelenjar tidak lagi dianggap sebagai bagian eksklusif dari infeksi menular

seksual. Selain itu operasi vulvovaginal adalah penyebab umum kista dan abses tersebut.

Gejala

Banyak kista Bartolini tidak menyebabkan gejala apapun. Biasanya ditemukan ketika

seorang wanita datang kedokter untuk pemeriksaan umum tanpa keluhan apapun, tanpa rasa

sakit vagina. Namun, jika kista tumbuh lebih besar dari diameter 1 inci, dapat menyebabkan

ketidaknyamanan ketika duduk, atau selama hubungan seksual. Jika kista menjadi terinfeksi,

berisi nanah, dan menjadi bengkak, hal ini sangat menyakitkan, sehingga sulit bagi seorang

wanita untuk duduk, berjalan atau melakukan hubungan intim. Kista Bartolini menyebabkan

pembengkakan labia di satu sisi, dekat pintu masuk ke vagina. Sebuah kista biasanya tidak

sangat menyakitkan, dan rasa sakit yang signifikan menunjukkan bahwa abses telah

berkembang. Namun, kista yang besar mungkin akan menyakitkan sesuai dengan

ukurannya.Karena letaknya di vagina bagian luar,kista akan terjepit terutama saat duduk dan

berdiri menimbulkan rasa nyeri yang terkadang disertai dengan demam. Pasien berjalan

mengegang ibarat menjepit bisul diselangkangan.

Kista ductus bartholin tidak selalu menimbulkan keluhan, akan tetapi kadang-kadang
dirasakan sebagai benda berat dan atau menimbulkan kesulitan saat coitus.

Kista ductus bartholin harus dibedakan dengan massa di valvular lainnya. Kelenjar

bartholin biasanya akan mengecil pada masa menopause, oleh karena itu jika terjadi pembesaran

di daerah valvular pada wanita postmenopause harus dievaluasi sebagai suatu keganasan,

khususnya jika massa berbentuk irregular, nodular, dan berindurasi.

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan dari kista duktus bartholin tergantung dari gejala pada pasien. Kista

yang asimptomatik mungkin tidak memerlukan pengobatan, tetapi symptomatic kista duktus

bartholin dan abses bartholin memerlukan drainage. Kecuali kalau terjadi rupture spontan, abses

jarang sembuh dengan sendirinya.

Insisi dan drainage

Tindakan ini dilakukan bila terjadi symptomatic Bartholin's gland abscesses .

Sering terjadi rekurensi

Cara:

Disinfeksi abses dengan betadine

Dilakukan anastesi lokal( khlor etil)

Insisi abses dengan skapel pada titik maksimum fluktuasi

Dilakukan penjahitan
Insisi abses

Definitive drainage

menggunakan Word

catheter .

Word catheter biasanya

digunakan ada penyembuhan kista duktus bartholin dan abses bartholin. Panjang tangkai catheter

1 inch dan mempunyai diameter seperti foley catheter no 10. Balon Catheter hanya bias

menampung 3 ml normal saline.

Cara:

Disinfeksi dinding abses sampai labia dengan menggunakan betadine.

Dilakukan lokal anastesi dengan menggunakan lidokain 1 %

Fiksasi abses dengan menggunakan forsep kecil sebelum dilakukan tindakan insisi.

Insisi diatas abses dengan menggunakan mass no 11

Insisi dilakukan vertikal di dalam introitus eksternal terletak bagian luar ring himen. Jika

insisi terlalu lebar, word catheter akan kembali keluar.

Selipkan word kateter ke dalam lubang insisi

Pompa balon word kateter dengan injeksi normal salin sebanyak 2-3 cc

Ujung Word kateter diletakkan pada vagina.


Proses epithelisasi pada tindakan bedah terjadi setelah 4-6 minggu, word catheter

akan dilepas setelah 4-6 mgg,meskipun epithelisasa bias terbentuk pada 3-4 minggu. Bedrest

selama 2-3 hari mempercepat penyembuhan. Meskipun dapat menimbulkan terjadinya selulitis,

antibiotic tidak diperlukan. Antibiotik diberikan bila terjadi selulitis (jarang).

Marsupialisasi

Banyak literatur

menyebutkan

tindakan

marsupialisasi

hanya

digunakan pada

kista

bartholin.Namun sekarang digunakan juga untuk abses kelenjar bartholin karena memberi hasil

yang sama efektifnya. Marsupialisasi adalah suatu tehnik membuat muara saluran kelenjar

bartholin yang baru sebagai alternatif lain dari pemasangan word kateter. Komplikasi berupa

dispareuni, hematoma, infeksi

Cara:

Disinfeksi dinding kista sampai labia dengan menggunakan betadine.

Dilakukan lokal anastesi dengan menggunakan lidokain 1 %.

Dibuat insisi vertikal pada kulit labium sedalam 0,5cm (insisi sampai diantara jaringan

kulit dan kista/ abses) pada sebelah lateral dan sejajar dengan dasar selaput himen.

Dilakukan insisi pada kista dan dinding kista dijepit dengan klem pada 4 sisi, sehingga

rongga kista terbuka dan kemudian dinding kista diirigasi dengan cairan salin.

Dinding kista dijahit dengan kulit labium dengan atraumatik catgut. Jika memungkinkan

muara baru dibuat sebesar mungkin(masuk 2 jari tangan), dan dalam waktu 1 minggu
muara baru akan mengecil separuhnya, dan dalam waktu 4 minggu muara baru akan

mempunyai ukuran sama dengan muara saluran kelenjar bartholin sesungguhnya.

Penggunaan antibiotik

Antibiotik sesuai dengan bakteri penyebab yang diketahui secara pasti dari hasil

pengecatan gram maupun kultur pus dari abses kelenjar bartholin

Infeksi Neisseria gonorrhoe:

Ciprofloxacin 500 mg single dose

Ofloxacin 400 mg single dose

Cefixime 400 mg oral ( aman untuk anak dan bumil)

Cefritriaxon 200 mg i.m ( aman untuk anak dan bumil)

Infeksi Chlamidia trachomatis:u

Tetrasiklin 4 X500 mg/ hari selama 7 hari, po

Doxycyclin 2 X100 mg/ hari selama 7 hari, po

Infeksi Escherichia coli:

Ciprofoxacin 500 mg oral single dose

Ofloxacin 400 mg oral single dose

Cefixime 400 mg single dose

Infeksi Staphylococcus dan Streptococcus :


Penisilin G Prokain injeksi 1,6-1,2 juta IU im, 1-2 x hari

Ampisilin 250-500 mg/ dosis 4x/hari, po.

Amoksisillin 250-500 mg/dosi, 3x/hari po.

ABSES BARTOLIINI

Definisi

Abses kelenjar bartholin adalah terbentuknya pus pada kelenjar bartholin yang ditandai

adanya pembesaran (edem) kelenjar bartholin.

Patologi

Kuman masuk melalui muara saluran kelenjar kelenjar bartholin, menyerang saluran

kelenjar bartholin sehingga terjadi keradangan dan edem saluran kelenjar bartholin. Obstruksi

pada distal ductus bartholin dapat menyebebkan retensi dari sekresi kelenjar bartholin, dengan

adanya obstruksi terjadi dilatasi dari ductus bartholin dan berkembang menjadi kista ductus

bartholin. Kista ductus bartholin menyebabkan terjadinya infeksi primer bakteri patogen

(urethra,servik, fecal) terbentuk abses kelenjar bartholin.

Obstruksi duktus kelenjar bartholin juga bisa disebabkan oleh trauma,

persalinan,episiotomi, post infeksi yang menyebabkan penumpukan sekresi kelenjar bartholin,

sehingga terbentuk kista bartholin infeksi primer bakteri patogen menjadi abses kelenjar

bartholin. Kista ductus bartholin tidak harus terjadi sebagai awal timbulnya abses kelenjar

bartholin.

Infeksi pada kelenjar bartolini sering kali timbul karena bakteri N. gonorrhoeae.

Tetapi bisa juga disebabkan oleh infeksi bakteri lain (table 1).
Isolates from Bartholin's Gland Abscesses

Aerobic organisms Anaerobic organism

Neisseria gonorrhoeae Bacteroides fragilis

Staphylococcus aureus Clostridium perfringens

Streptococcus faecalis Peptostreptococcus species

Escherichia coli Fusobacterium species

Pseudomonas aeruginos

Chlamydia trachomatis

Tanda dan Gejala

Kista ductus bartholin tidak selalu menimbulkan keluhan, akan tetapi kadang-kadang

dirasakan sebagai benda berat dan atau menimbulkan kesulitan saat coitus.

Kista ductus bartholin dan abses kelenjar harus dibedakan dengan massa di valvular

lainnya. Kelenjar bartholin biasanya akan mengacil pada masa menopause, oleh karena itu jika

terjadi pembesaran di daerah valvular pada wanita postmenopause harus dievaluasi sebagai suatu

keganasan, khususnya jika massa berbentuk irregular, nodular, dan berindurasi.

Gambar 2. Abses

kelenjar

Bartholin

Symptom

Nyeri vulva terutama waktu berjalan, duduk.

Bengkak (unilateral)

Dyspareunia

Demam

Sign
Nodul kemerahan pada sepertiga bawah labia mayus

Terdapat fluktuasi dan teraba lunak

Nyeri tekan lebih ringan

Keluar pus pada muara saluran kelenjar bartholin

Bila abses pecah tampak pus keluar melalui vestibula atau permukaan labia mayus.

Diagnosa

Anamnesa (symptoms)

bengkak bibir kelamin setelah coitus

nyeri terutama waktu berjalan, duduk,

Demam

Nyeri berkurang disertai keluar cairan nanah

Pemeriksaan fisik (sign)

Pemeriksaan penunjang

Pengecatan gram (sekret muara duktus kelenjar bartholin, hapusan dinding

urethra,vagina,cervix, pus hasil pungsi/aspirasi/insisi)

Kultur dan tes sensivitas antibiotik

Histopatologi/biopsi (menopause).

Penatalaksanaan

Sama seperti Kista bartolini

DAFTAR PUSTAKA

Blumstein, A Howard. 2005. Bartholin Gland

Diseases.http://www.emedicine.com/emerg/topic54.

Omole,FolashadeM.D. 2003. Management of Bartholin's Duct Cyst and Gland Abscess.

http://www. Aafp.org/afp/20030701/135.html.

Hill Ashley, M.D. 1998. Office Management of Bartholin Gland Cyst and Abscess.
http://www.fpnotebook.com/GYN 199.htm

Wiknjosastro, Hanifa. 1999. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono

Prawirohardjo.
ABSES FOLIKEL RAMBUT

Definisi

Abses atau furunkel adalah peradangan pada folikel rambut dan jaringan

yang disekitarnya, yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Apabila furunkelnya lebih dari

satu maka disebut furunkolosis. Suatu furunkel, biasanya dikenal sebagai suatu bisul atau boil,

ditandai suatu massa material bernanah timbul dari folikel rambut dan meluas pada jaringan

subkutan.8

Epidemiologi

Penyakit ini sangat erat hubungannya dengan keadaan sosial-ekonomi.

Penyakit ini memiliki insidensi yang rendah. Belum terdapat data spesifik yang

menunjukkan prevalensi furunkel. Furunkel umumnya terjadi pada anak-anak,

remaja sampai dewasa muda frekuensi terjadinya antara pria dan wanita. Furunkel dapat terjadi

di seluruh bagian tubuh, insiden terbesar penyakit ini pada wajah, leher, ketiak, pantat atau paha.

Setiap orang memiliki potensi terkena penyakit ini, namun beberapa orang dengan penyakit

diabetes, sistem imun yang lemah, jerawat atau problem kulit lainnya memiliki resiko lebih

tinggi.1

Etiologi

Abses sebagian besar disebabkan oleh Staphylococcus aureus (Pendland, 2005).

Furunkulosis dapat disebabkan oleh berbagai faktor antaralain akibat iritasi, kebersihan yang

kurang, dan daya tahan tubuh yang kurang.Infeksi dimulai dengan adanya peradangan pada

folikel rambut di kulit (folikulitis), kemudian menyebar kejaringan sekitarnya. Penularannya

dapat melalui kontak atau auto inokulasi dari lesi penderita. Furunkulosis dapatmenjadi kelainan

sistemik karena faktor predisposisi antara lain, alcohol, malnutrisi, diskrasia darah, iatrogenic

atau keadaan imunosupresi termasukAIDS dan diabetes mellitus.1

Patogenesis

Kulit memiliki flora normal, salah satunya S.aureus yang merupakan floranormal pada
permukaan kulit dan kadang-kadang pada tenggorokan dansaluran hidung. Kejadian terbesar

penyakit ini pada wajah, leher, ketiak, pantatatau paha. Bakteri tersebut masuk melalui luka,

goresan, robekan dan iritasipada kulit. Selanjutnya, bakteri tersebut berkolonisasi di jaringan

kulit. Responprimer host terhadap infeksi S.aureus adalah pengerahan sel PMN ke tempatmasuk

kuman tersebut untuk melawan infeksi yang terjadi. Sel PMN ini ditarikke tempat infeksi oleh

komponen bakteri seperti formylated peptides ataupeptidoglikan dan sitokin TNF (tumor

necrosis factor) dan interleukin (IL) 1 dan6 yang dikeluarkan oleh sel endotel dan makrofag yang

teraktivasi. Hal tersebutmenimbulkan inflamasi dan pada akhirnya membentuk pus yang terdiri

dari seldarah putih, bakteri dan sel kulit yang mati.2

Didapatkan keluhan utama dan keluhan tambahan pada perjalanan daripenyakit furunkel.

Lesi mula-mula berupa infiltrat kecil, dalam waktu singkatmembesar kemudian membentuk

nodula eritematosa berbentuk kerucut.Kemudian pada tempat rambut keluar tampak bintik-bintik

putih sebagai matabisul. Nodus tadi akan melunak (supurasi) menjadi abses yang akan

memecahmelalui lokus minoris resistensi yaitu di muara folikel, sehingga rambut menjadirontok

atau terlepas. Jaringan nekrotik keluar sebagai pus dan terbentuk fistel.Karena adanya mikrolesi

baik karena garukan atau gesekan baju, maka kumanmasuk ke dalam kulit. Beberapa faktor

eksogen yang mempengaruhi timbulnyafurunkel yaitu, musim panas (karena produksi keringat

berlebih), kebersihandan hygiene yang kurang, lingkungan yang kurang bersih. Sedangkan

faktorendogen yang mempengaruhi timbulnya furunkel yaitu, diabetes, obesitas,hiperhidrosis,

anemia, dan stres emosional.1

Manifestasi klinis

Bakteri masuk ke dalam folikel rambut sehingga tampak sebagai noduskemerahan dan

sangat nyeri. Pada bagian tengah lesi terdapat bintikkekuningan yang merupakan jaringan

nekrotik, dan disebut mata bisul (core).Apabila higinis penderita jelek atau menderita diebetes

militus, furunkel menjadisering kambuh. Predileksi penyakit ini biasanya pada daerah yang

berambutmisalnya pada wajah, punggung, kepala, ketiak, bokong dan ekstrimitas, danterutama
pada daerah yang banyak bergesekan. Mula-mula nodul kecil yangmengalami keradangan pada

folikel rambut, kemudian menjadi pustule danmengalami nekrosis dan menyembuh setelah pus

keluar dengan meninggalkansikatriks. Awal juga dapat berupa macula eritematosa lentikular

setempat,kemudian menjadi nodula lentikular setempat, kemudian menjadi nodulalentikuler-

numular berbentukkerucut. Nyeri terjadi terutama pada furunkel yang akut, besar, dan lokasinya

dihidung dan lubang telinga luar. Bisa timbul gejala kostitusional yang sedang,seperti panas

badan, malaise, mual (Cohen, 2006). Furunkel dapat timbul dibanyak tempat dan dapat sering

kambuh. Predileksi dari furunkel yaitu padamuka, leher, lengan, pergelangan tangan, jari-jari

tangan, pantat, dan daerah

Anogenital.9

Diagnosa

Diagnosa dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang.

a. Anamnesa

Penderita datang dengan keluhan terdapat nodul yang nyeri. Ukurannodul tersebut

meningkat dalam beberapa hari. Beberapa pasien mengeluhdemam dan malaise.

b. Pemeriksaan Fisik

Terdapat nodul berwarna merah, hangat dan berisi pus. Supurasiterjadi setelah kira-kira

5-7 hari dan pus dikeluarkan melalui salurankeluar tunggal (single follicular orifices). Furunkel

yang pecah dan keringkemudian membentuk lubang yang kuning keabuan ireguler pada

bagiantengah dan sembuh perlahan dengan granulasi.4

c. Pemeriksaan Penunjang

Furunkel biasanya menunjukkan leukositosis. Pemeriksaan histologisdari furunkel

menunjukkan proses inflamasi dengan PMN yang banyak didermis dan lemak subkutan.

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkangambaran klinis yang dikonfirmasi dengan pewarnaan

gram dan kultur bakteri.Pewarnaan gram S.aureus akan menunjukkan sekelompok kokus
berwarnaungu (gram positif) bergerombol seperti anggur, dan tidak bergerak. Kulturpada

medium agar MSA (Manitot Salt Agar) selektif untuk S.aureus. Bakteri inidapat

memfermentasikan manitol sehingga terjadi perubahan medium agar dariwarna merah menjadi

kuning. Kultur S. aureus pada agar darah menghasilkankoloni bakteri yang lebar (6-8 mm),

permukaan halus, sedikit cembung, danwarna kuning keemasan. Uji sensitivitas antibiotik

diperlukan untukpenggunaan antibiotik secara tepat.4

Diagnosa Banding

a. Kista Epidermal

Diagnosa banding yang paling utama dari furunkeladalah kista epidermal yang

mengalami inflamasi. Kista epidermal yangmengalami inflamasi dapat dengan tiba-tiba menjadi

merah, nyeri tekan danukurannya bertambah dalam satu atau beberapa hari sehingga dapat

menjadidiagnosa banding furunkel. Diagnosa banding ini dapat disingkirkanberdasarkan

terdapatnya riwayat kista sebelumnya pada tempat yang sama,terdapatnya orificium kista yang

terlihat jelas dan penekanan lesi tersebut akanmengeluarkan masa seperti keju yang berbau tidak

sedap sedangkan padafurunkel mengeluarkan material purulen.7

b. Hidradenitis Suppurativa

Hidradenitis suppurativa (apokrinitis) seringmembuat salah diagnosis furunkel. Berbeda

dengan furunkel, penyakit iniditandai oleh abses steril dan sering berulang. Selain itu, daerah

predileksinyaberbeda dengan furunkel yaitu pada aksila, lipat paha, pantat atau

dibawahpayudara. Adanya jaringan parut yang lama, adanya saluran sinus serta kulturbakteri

yang negatif memastikan diagnosis penyakit ini dan jugamembedakannya dengan furunkel.7

c. Sporotrikosis

Merupakan kelainan jamur sistemik, timbul benjolanbenjolanyang berjejer sesuai dengan

aliran limfe, pada perabaan terasa kenyaldan terdapat nyeri tekan.1

d. Blastomikosis
Didapatkan benjolan multipel dengan beberapa pustula,daerah sekitarnya melunak.1

e. Skrofuloderma

Biasanya berbentuk lonjong, livid, dan ditemukanjembatan-jembatan kulit (skin

bridges).2

Penatalaksanaan

Pada furunkel di bibir atas pipi dan karbunkel pada orang tua sebaiknyadirawat inapkan.

Pengobatan topikal, bila lesi masih basah atau kotordikompres dengan solusio sodium chloride

0,9%. Bila lesi telah bersih, diberisalep natrium fusidat atau framycetine sulfat kassa steril

(Ganong, 2005).Furunkel yang besar (multiple) umumnya diterapi denganpenicillinaseresistant

penicillin (dicloxacillin 250 mg per oral tiap 6 jam selama7-10 hari). Jika pasien alergi penisilin

maka alternatif lain adalah clindamycin(150-300 mg per oral tiap 6 jam). Tindakan insisi

diindikasikan untuk lesi yangbesar dan fluctuant yang tidak drain spontaneously.8

Antibiotiksistemik mempercepat resolusi penyembuhan dan wajib diberikan

padaseseorang yang beresiko mengalami bakteremia. Antibiotik diberikan selamatujuh sampai

sepuluh hari. Lebih baiknya, antibiotik diberikan sesuai denganhasil kultur bakteri terhadap

sensitivitas antibiotik.8

Antimicrobial Agent Dosing (PO Unless Indicated), UsuallyFor 7 to 14 Days

Natural penicillins

- Penicillin V 250500 mg tid/qid for 10 days

- Penicillin G 600,0001.2 million U IM qd for 7 days

- Benzathine penicillin G 600,000 U IM in children 6 years, 1.2 million units if 7 years, if

compliance is a problem

Penicillinase-resistant
Penicillins

- Cloxacillin 250500 mg (adults) qid for 10 days

- Dicloxacillin (drug of choice) 250500 mg (adults) qid for 10 days

- Nafcillin 1.02.0 g IV q4h

- Oxacillin 1.02.0 g IV q4h

Aminopenicillins

- Amoxicillin 500 mg tid or 875 mg q12h

- Amoxicillin plus clavulanic acid (Betha-lactamase inhibitor) 875/125 mg bid; 20 mg/kg

per day tid for 10 days

- Ampicillin 250500 mg qid for 710 days

Cephalosporins

- Cephalexin (drug of choice) 250-500 mg (adults) qid for 10 days; 40 50 mg/kg per day

(children) for 10 days

- Cephradine 250500 mg (adults) qid for 10 days; 4050 mg/kg per day (children) for 10

days

- Cefaclor 250500 mg q8h

- Cefprozil 250500 mg q12h

- Cefuroxime axetil 125500 mg q12h

- Cefixime 200400 mg q1224h

Erythromycin group

- Erythromycin ethylsuccinate 250500 mg (adults) qid for 10 days; 40mg/kg per day

(children) qid for 10 days

- Clarithromycin 500 mg bid for 10 days

- Azithromycin Azithromycin: 500 mg on day 1, then 250mg qd days 25

Clindamycin

150-300 mg (adults) qid for 10 days; 15mg/kg per day (children) qid for 10 days
Tetracylines

- Minocycline 100 mg bid for 10 days

- Doxycycline 100 mg bid

- Tetracycline 250500 mg qid

Miscellaneous agents

- Trimethoprim-sulfamethoxazole 160 mg TMP + 800 mg SMX bid

- Metronidazole 500 mg qid

- Ciprofloxacin 500 mg bid for 7 days

Bila infeksi berasal dari methicillin resistent Streptococcus aureus(MRSA) dapat

diberikan vankomisin sebesar 1 gram tiap 12 jam. Pilihan lainadalah tetrasiklin, namun obat ini

berbahaya untuk anak-anak. Terapi pilihanuntuk golongan penicilinase-resistant penicillin adalah

dicloxacilin Padapenderita yang alergi terhadap penisilin dapat dipilih golongan eritromisin.

Padaorang yang alergi terhadap -lactam antibiotic dapat diberikan vancomisin.6

Tindakan insisi dapat dilakukan apabila telah terjadi supurasi. Higienekulit harus

ditingkatkan. Jika masih berupa infiltrat, pengobatan topikal dapat

diberikan kompres salep iktiol 5% atau salep antibotik. Adanya penyakit yang

mendasari seperti diabetes mellitus, harus dilakukan pengobatan yang tepat

dan adekuat untuk mencegah terjadinya rekurensi. Terapi antimikrobial harus

dilanjutkan sampai semua bukti inflamasiberkurang. Lesi yang didrainase harus ditutupi untuk

mencegah autoinokulasi.Pasien dengan furunkel yang berulang memerlukan evaluasi dan

penanganan lebih komplek.6

Prognosis

Prognosis baik sepanjang faktor penyebab dapat dihilangkan, danprognosis menjadi

kurang baik apabila terjadi rekurensi. Umumnya pasienmengalami resolusi, setelah mendapatkan

terapi yang tepat dan adekuat. Beberapa pasien mengalami komplikasi bakteremia dan
bermetastasis keorgan lain. Beberapa pasien mengalami rekurensi, terutama pada

penderitadengan penurunan kekebalan tubuh.4

DAFTAR PUSTAKA

1. Abdullah, B. 2009. Furunkulosis. In: Dermatologi Pengetahuan Dasar danKasus di

Rumah Sakit. SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSUHaji.Surabaya. hal 113-115.

2. Arnold, H., L. 2000. Andrews Deseases of the Skin 8th. ed., Piladelphia : WBSaunders

Co., : 270 1.

3. Cohen, P., R. 2006. Bacterial Infection. In: Harry L.A et al, editor . AndrewsDisease of

The Skin: Clinical Dermatology. 10th edition. Philadelphia:W.B. Saunders Company. pp

253-254

4. Djuanda, A. and Pioderma. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima.Jakarta:

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. hal 60.

5. Ganong, W., F. 2005. Review of Medical Physiology, 22th ed. California:McGraw Hill

Companies.

6. Hurmitz, S. 2001. Clinical Pediatric Dermatology. Philadelphia : WB SaundersCo., 219.

7. Murtiastutik, D. 2010. Atlas Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-2. Surabaya:Dep/SMF

Kulit dan Kelamin FK UNAIR/RSUD dr.Soetomo. Hal 30-32.

8. Pendland, S., L. 2005. Skin and Soft Tissue Infections, in : Joseph Dipiro T.,Robert L.

Talbert, Gary C. Yee, Gary R. Matzke, Barbara G. Wells and L.Michael Posey (Eds),
Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach,7th Ed. USA: The Mc Graw Hill

Company, Inc.

9. Ray, J. 2003. Bacterial Infection. In: ABC of Dermatology. Fourth Edition.London: BMJ

Publishing Group Ltd. 2003. pp 90.


CORPUS ALIENUM VAGINA

1.1 DEFINISI

Corpus Alineum Vagina adalah terdapatnya benda asing yang tertinggal di dalam vagina akibat

memasukkan benda asing ke dalam vagina, biasanya oleh penderita psikopatia seksualis, anak-

anak, dan kasus perkosaan. Benda asing ini bisa tetap tinggal di dalam vagina karena lupa atau

karena penderita sendiri tidak ingin mengeluarkannya.

1.2 DIAGNOSIS

Anamnesis:

o Keluhan pasien (leukorea, nyeri, perasaan tidak nyaman)

o Riwayat memasukkan benda asing ke dalam vagina

Diagnosis ditegakkan dengan menemukan corpus alineum di dalam vagina pada

pemeriksaan ginekologis

o Pengaruh corpus alineum dalam vagina tergantung dari bentuk dan jenis benda

tersebut

o Benda-benda yang terbuat dari kain cepat menimbulkan infeksi disertai leukorea

berbau

o Pesarium yang dipasang untuk pasien dengan prolapsus uteri dapat menimbulkan

iritasi dan perlukaan apabila tidak dikeluarkan dan dibersihkan secara berkala

o Benda-benda yang tidak steril (biasanya untuk abortus provokatus kriminalis

dengan tenaga tidak terdidik) dapat mengakibatkan perdarahan, tetanus, atau

sepsis

1.3 PENANGANAN

Mengambil benda asing


Melakukan pemulihan bentuk anatomik vagina dengan cara menghindari berhubungan

seksual hingga iritasi sudah sembuh

1.4 PENCEGAHAN

Tidak memasukkan benda asing ke dalam vagina.

DAFTAR PUSTAKA

1 Sarwono. 2014. Korpus Alineum Vagina. Dalam Ilmu Kandungan. Yayasan Bina Pustaka

sarwono, Jakarta
KISTA GARTNER

A. Definisi

Kista gartner adalah tumor kistik vagina yang bersifat jinak, berasal dari sisa duktus

Gartner atau the embryonic mesonephros maupun sistem duktus wolffian. Kista gartner

berdinding tipis dan transulen yang terdiri dari epitel gepeng berlapis atau epitel kolumnar atau

dapat kedua-duanya. Tumor ini biasanya terdapat pada dinding vagina dan jarang terjadi pada

daerah labia minora, klitoris atau himen.

B. Patofisiologi

Kista gartner berkembang di daerah duktus gartner, biasanya di dinding vagina. Duktus

ini aktif saat perkembangan janin namun biasanya menghilang setelah lahir. Pada beberapa

kasus, sebagian duktus ini terisi cairan yang berkembang menjadi kista.

C. Manifestasi Klinis

Secara klinis kista gartner biasanya asimptomatik dengan ukuran diameter tidak lebih

dari 2 cm, tetapi pernah dilaporkan adanya giant gartner duct cyst pada dinding vagina yang

berukuran 16 x 15 x 8 cm dengan gejala klinis berupa disparenia.

D. Diagnosa

Diagnosa didasarkan pada hasil pemeriksaan fisik dan histopatologi. Tanda karakteristik

kista ini terletak pada vulva bagian lateral dan biasanya soliter serta berdinding tipis yang

mengandung cairan jernih, secara mikroskopis didapatkan epitel kuboid.

- Pemeriksaan Penunjang

Pelvis : dirasakan adanya tonjolan atau masa di dinding vagina

Biopsi : untuk menyingkirkan kemungkinan kanker vagina, terutama jika teraba

keras

Radiologi : untuk melihat organ lain yang terserang

E. Penanganan

Pemeriksaan rutin berupa pengawasan rutin terhadap pembesaran kista


Eksisi dilakukan jika gejala sangat mengganggu

F. Komplikasi

Biasanya tidak ada. Eksisi dapat menimbulkan komplikasi jika letak kista berhubungan

dengan struktur organ lain.

Referensi

1. Baksono, A., 2011. Kista, Tumor Jinak di Organ Reproduksi Perempuan. [Online]

Available at: http://www.kesehatanreproduksi.com[Accessed 25 Oct 2016].

2. Padjajaran, U., 2003. Obstetri Patologi. Jakarta: EGC.

3. Sarwono, 2012. lmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Prawirohardjo.

4. Wikajosastro, H., 2011. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono

Prawirohardjo.
KISTA NABOTIAN

A.Definisi

Kista nabotian adalah kista penuh lendir pada permukaan serviks uterus (leher rahim).

Kista ini tidak berbahaya, namun jika jumlahnya banyak dan disertai seringnya keputihan

kondisiini dapat menyebabkan kematian sperma sebelum mencapai rongga rahim

B. Patofisiologi

Kanal serviks dilapisi oleh sel glandular yang biasanya mengeluarkan lendir. Kelenjar

endoserviks ini dapat menjadi tertutup oleh epitel skuamosa dalam proses yang disebut

metaplasia.

C. Manifestasi Klinis

Tidak terlihat gejala kecuali jika ukurannya membesar.

D. Diagnosa

Diagnosa didasarkan pada hasil pemeriksaan rutin. Tanda karakteristik kista ini terletak

pada dinding rahim dan biasanya berisi lendir yang berasal dari serviks, lendir ini dapat

berwarna pucat seperti kekuningan hingga kecokelatan.

Pemeriksaan Penunjang

Kolposkopi : untuk melihat lebih jelas permukaan leher rahim

Biopsi : untuk dilakukan pemeriksaan patologi anatomi (PA)

E. Penanganan

Elektrokauter : menggunakan probe yang dipanaskan untuk menghancurkan kista

Cryotherapy : menggunakan nitrogen cair untuk membekukan dan menghilangkan kista.

F. Komplikasi

Biasanya tidak ada.


Daftar Pustaka

5. Baksono, A., 2011. Kista, Tumor Jinak di Organ Reproduksi Perempuan. [Online]

Available at: http://www.kesehatanreproduksi.com [Accessed 25 Oct 2016].

6. Padjajaran, U., 2003. Obstetri Patologi. Jakarta: EGC.

7. Sarwono, 2012. lmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Prawirohardjo.

8. Wikajosastro, H., 2011. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono

Prawirohardjo.
POLIP SERVIKS

Definisi

Polip serviks adalah tumor jinak yang tumbuh menonjo dan bertangkai dari selaput lendir

dibagian tubuh manusia, seperti hidung, telinga, usus dan selaput lendir lainnya yang terdapat di

dalam leher rahim, dalam kata lain adalah tumor jinak yang ditemukan pada permukaan leher

rahim.

Epidemiologi

Perempuan usia 40 50 tahun karena usia tersebut terjadinya pemicu prosuksi hormone.

Wanita hamil memiliki resiko yang lebih tinggi karena perubahan peningkatan hormon.

Patofisiologi

Penyebab timbulnya polip serviks belum diketahui dengan pasti. Namun sering

dihubungkan dengan radang yang kronis, respon terhadap hormon estrogen dan pelebaran

pembuluh darah serviks. Penampilan polip serviks menggambarkan respon epitel endoservik

terhadap proses peradangan. Polip servik dapat menimbulkan perdarahan pervaginam,

perdarahan kontak, pasca coitus merupakan gejala yang tersering dijumpai. Polip servik yang

terjadi sebagai akibat stroma local yang menutupi daerah antara kedua celah pada kanalis servik.

Epitellium silinder yang menutupi polip dapat mengalami ulserasi. Polip serviks pada dasarnya

adalah suatu reaksi radang, penyebabnya sebagian besar belum diketahui.

karena pada dasarnya adalah reaksi radang, maka ada kemungkinan :

1. Radang sembuh sehingga polip mengecil atau kemudian hilang dengan sendirinya

2. Polip menetap ukurannya

3. Polip membesar.

Gambaran Klinis

1. Abnormal pendarahan vagina yang terjadi antara periode menstruasi, setelah menopause, setelah
hubungan seksual, dan setelah douching.

2. Polip serviks bisa meradang tetapi jarang menjadi terinfeksi periode normal berat atau menoragia

keluarnya lendir putih atau kuning, sering disebut keputihan.

3. Terjadinya perdarahan diluar haid yang warnanya lebih terang dari darah haid.

Diagnosis

Pemeriksaan Penunjang

-Makroskopis

Dapat tunggal atau multipel dengan ukuran beberapa centimeter, warna kemerah

merahan dan rapuh. Kadang kadang tangkainya jadi panjang sampai menonjol dari introitus.

Kalau asalnya dari portio konsistensinya lebih keras dan pucat dengan tangkai yang tebal.

- Histologi

Berasal dari mukosa yang dilapisi oleh 1 lapis epitel yang terdiri dari sel sel silindris

yang tinggi, yang khas berasal dari endocervix, dengan kelenjar cervix dan stroma dari jaringan

ikat yang halus disertai oedem dan infiltrasi sel bulat. Sering pula disertai ulserasi pada ujungnya

yang menyebabkan terjadinya perdarahan. Banyak polip servic yang menunjukkan metaplasia

yang luas, disertai infeksi, menyerupai permulaan dari carcinum, Ca epidermoid kadang

kadang berasal dari polip.

- Radiologi

1. USG transvaginal. Sebuah perangkat yang ramping berbentuk tongkat di tempatkan di vagina

yang akan menggambarkan rahim penderita.

2. Histeroskopi. Sebuah alat kecil yang disertai dengan kamera bercahaya dimasukkan melalui

vagina dan serviks masuk kedalam rahim. Histeroskopi memungkinkan dokter melihat secara

langsung bagian dalam rahim sekaligus mengangkat polip

3. Kuretase. Tujuan dari kuret adalah mengangkat polip rahim dengan cara mengikis dinding

bagian dalam rahim. Hal ini bertujuan juga untuk mengumpulkan specimen (contoh jaringan)

untuk pengujian laboratorium. Dokter juga dapat melakukan kuretase dengan bantuan dari
hysteroscope, yang memungkinkan dokter untuk melihat bagian dalam rahim sebelum dan

setelah prosedur.

Penatalaksanaan

Dapat dihapus menggunakan cincin forsep Mereka juga dapat dihapus dengan

mengikatkan tali bedah sekitar polip dan pemotongan itu off. Dasar sisa polip maka dapat

dihilangkan dengan menggunakan laser atau dengan cauterisation. Jika polip yang terinfeksi,

sebuah antibiotik bisa diberikan.

Komplikasi

Polip serviks dapat menyebabkan kanker serviks, hiperplasia endometrium, karsinoma

endometrium.

Prognosis

Polip serviks akan tetap jinak 99% dan 1% akan di beberapa titik menunjukkan

neoplastik berubah. polip serviks tidak akan tumbuh kembali.


Daftar Pustaka

1. Bobak, 2005. Buku ajar Keperawatan Maternitas, Jakarta: EGC


2. Manuaba, Ida Bagus Gde. 2003. Penuntun Kepanitraan Klinik Obstetric dan Ginekologi.

Jakarta: EGC.
3. Sarwono. 2012. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohadjo.
4. Sulaiman Sastrawinata, Djamhoer Martaadisoebrata, Firman F. Wirakusumah. 2004. Ilmu

Kesehatan Reproduksi : Obstetri Patologi. Ed 2. Jakarta. EGC.


PROLAPS UTERI

1.40 Latar Belakang

Prolaps organ pelvis (POP) dan inkotenensia uri merupakan kondisi yang paling umum

terjadi pada wanita masa kini 1. POP adalah penurunan abnormal atau herniasi dari organ pelvis

dari tempat normalnya 1. Prolaps uteri merupakan kondisi yang umum terjadi pada wanita tua.

Akan tetapi, prolaps uteri selama kehamilan jarang terjadi, dengan insiden 1 per 10.000-15.000

persalinan. Hal ini dapat menyebabkan kelahiran prematur, aborsi spontan, fetal demise,

komplikasi urinari maternal, sepsis dan kematian maternal 2. Hanya beberapa kasus prolaps uteri

yang di laporkan dan tidak ada data dari penanganan yang efisien 2.

1.41 Definisi

Prolaps uteri adalah turunnya uterus dari posisi normal dalam pelvis kedalam introitus vagina

yang diakibatkan oleh kegagalan atau kelemahan dari ligamentum dan jaringan penyokong

(fasia) 3. Prolaps uteri merupakan salah satu jenis prolaps organ panggul (POP), dan merupakan

kedua paling umum setelah cystourethrocele (prolaps kandung kemih dan uretra). Jenis lain dari

prolaps organ panggul yang enterokel (prolaps dari usus kecil), rektokel (prolaps rektum atau

usus besar) 3.

Gambar 1.1 Prolaps Uteri 3

1.42 Epidemiologi

POP terjadi pada hampir setengah dari seluruh wanita. Walaupun hampir setengah dari

wanita yang pernah melahirkan ditemukan memiliki POP melalui pemeriksaan fisik, namun

hanya 5-20% yang simtomatik. Prevalensi POP meningkat sekitar 40% tiap penambahan 1
dekade usia seorang wanita. Derajat POP yang berat ditemukan pada wanita dengan usia yang

lebih tua yaitu, 28%-32,3% derajat 1, 35%-65,5% derajat 2, dan 2-6% derajat 3. Saat ini,

sebanyak 11-19% wanita di negara maju menjalani operasi POP, dan usia rata-rata wanita yang

menjalani operasi POP adalah 60 tahun. Di Amerika Serikat sebanyak 200.000 operasi POP

dilakukan per tahun dengan angka rekurensi yang membutuhkan operasi ulang mencapai 30%. 4

1.43 Etiologi

Etiologi POP bersifat multi-faktorial. Faktor risiko yang telah diteliti antara lain adalah

kehamilan, persalinan per vaginam, menopause, defisiensi estrogen, peningkatan tekanan intra

abdomen jangka waktu panjang (konstipasi, mengangkat barang-barang berat, penyakit paru

obstruktif kronik, mengedan), ras, indeks massa tubuh (IMT), faktor genetik, faktor anatomi,

biokimiawi dan metabolisme jaringan penunjang, dan riwayat pembedahan (histerektomi dan

kolposuspensi Burch). 4

Kehamilan dan Persalinan Pervaginam 3

Kehamilan diyakini menjadi penyebab utama POP. Kehamilan diyakini menjadi penyebab utama

prolaps organ panggul. Hal ini dapat terjadi segera setelah kehamilan atau 30 tahun kemudian.

Banyak faktor seperti berat bayi, trauma fisik saat persalinan, dan kontraksi saat persalinan dapat

menarik otot dan ligamen panggul. Beberapa otot dan ligamen yang rusak tidak akan kembali

sepenuhnya.

Menopause 3

Proses penuaan dapat melemahkan otot-otot pelvis dan penurunan esterogen pada menopause

juga menyebabkan otot mengalami penurunan elastisitas.

Obesitas 3

Wanita dengan berat badan berlebih akan meningkatkan resiko dari prolaps.
Peningkatan Tekanan Intra Abdomen 3

Batuk kronis, asma atau bronkitis, atau mengejan berlebih karena konstipasi akan meningkatkan

resiko terjadinya prolaps karena hal ini dapat melemahkan struktur penyokong pelvis.

Mengangkat beban yang terlalu berat juga dapat menarik dan menyebabkan kerusakan pada otot-

otot pelvis, dan wanita yang memiliki pekerjaan sehari-hari mengangkat barang memiliki resiko

tinggi terjadinya prolaps.

Genetik 3

Wanita dengan defisiensi kolagen denetik (sindrom marfan atau Ehlers-Danlos syndrome)

memiliki resiko tinggi terjadinya prolaps, meskipun mereka tidak memiliki faktor resiko lain.

Riwayat Pembedahan 3

Riwayat operasi pelvis dapat menyebabkan kerusakan syaraf dan jaringan pada area pelvis

sehingga meningk atkan resiko terjadinya prolaps.

Ras 3

Perempuan keturunan Eropa Utara memiliki insiden yang lebih tinggi terjadi prolaps uterus

daripada wanita keturunan Asia dan Afrika.

1.44 Patofisiologi

Normalnya, uterus digantung oleh otot dan ligamen pada pelvis. Prolaps uteri terjadi pada

saat otot-otot dasar panggul dan ligamen meregang, menjadi rusak dan lemah, sehingga mereka

tidak lagi dapat mendukung organ panggul, sehingga uterus jatuh ke dalam vagina. 3

1.45 Klasifikasi

Untuk mengklasifikasikan POP telah dikembangkan beberapa sistem, yaitu sistem Baden-

Walker dan Pelvic Organ Prolapse Quantification (POP-Q). 4


Gambar 1.2 Klasifikasi Prolaps uteri 4

Gambar 1.3 Gambaran Sistem Klasifikasi Prolaps uteri 4

1.46 Diagnosis
1.46.1 Anamnesis

Gejala yang ditimbulkan oleh POP terdiri atas gejala vagina, berkemih, buang air besar

(BAB), dan seksual. 4

Gambar 1.4 Gejala POP 4

Kasus prolaps uteri ringan biasanya tidak menimbulkan gejala. Pasien biasanya mengeluh

satu atau lebih dari keluhan berikut: 3

Rasa berat atau tertekan pada bagian pelvis

Merasa seperti duduk di atas bola atau seperti ada yang keluar dari vagina

Nyeri pada pinggul, perut, atau punggung belakang

Nyeri saat berhubungan

Penonjolan jaringan dari vagina

Infeksi saluran kemih berulang

Cairan yang tidak biasa atau berlebihan dari vagina

Sulit saat berkemih, termasuk inkontinensia uri, atau urgensi atau frekuensi.
Gejala dirasakan memberat jika berdiri atau berjalan terlalu lama.

1.46.2 Pemeriksaan Fisik

Pasien dalam posisi terlentang pada meja ginekologi dengan posisi litotomi.

Pemeriksaan ginekologi umum untuk menilai kondisi patologis lain

Inspeksi vulva dan vagina, untuk menilai:

Erosi atau ulserasi pada epitel vagina.

Ulkus yang dicurigai sebagai kanker harus dibiopsi segera, ulkus yang bukan kanker

diobservasi dan dibiopsi bila tidak ada reaksi pada terapi.

Perlu diperiksa ada tidaknya prolaps uteri dan penting untuk mengetahui derajat prolaps

uteri dengan inspeksi terlebih dahulu sebelum dimasukkan inspekulum.


Manuver Valsava.

Derajat maksimum penurunan organ panggul dapat dilihat dengan melakukan

pemeriksaan fisik sambil meminta pasien melakukan manuver Valsava.

Setiap kompartemen termasuk uretra proksimal, dinding anterior vagina, serviks, apeks,

cul-de-sac, dinding posterior vagina, dan perineum perlu dievaluasi secara sistematis dan

terpisah.

Apabila tidak terlihat, minta untuk mengedan pada posisi berdiri di atas meja periksa.

Tes valsava dan cough stress testing (uji stres) untuk menentukan risiko inkontinensia

tipe stres pasca operasi prolaps.

Pemeriksaan vagina dengan jari untuk mengetahui kontraksi dan kekuatan otot levator ani

Pemeriksaan rektovagina : untuk memastikan adanya rektokel yang menyertai prolaps uteri.

1.46.3 Pemeriksaan Penunjang 1

Pemeriksaan laboratorium 3

Untuk mengidentifikasi komplikasi prolaps uteri seperti infeksi, obstruksi saluran kemih,

perdarahan, strangulasi. Pemeriksaan laboratorium tidak diperlukan pada kasus tanpa

komplikasi. Ketika curiga adanya komplikasi, periksa CBC (complete blood count), pemeriksaan

metabolik dasar, urinalisis, tes kehamilan, dan kultur serviks untuk menyingkirkan diagnosis

banding. Pap Smear atau biopsi dapat di indikasikan pada kasus yang dicurigai keganasan.
Pemeriksaan radiologis 3

Pemeriksaan USG pelvis dapat membantu untuk membedakan prolaps dari keadaan

patologi lainnya ketika anamnesis dan pemeriksaan fisik mengarah pada diagnosis banding yang

lain. MRI digunakan untuk mengetahui derajat prolaps, tetapi tidak di indikasikan sebagai

pemeriksaan darurat.

1.47 Penatalaksanaan

A. Konservatif 4

Walaupun pesarium merupakan penatalaksanaan non-bedah yang spesifik, rehabilitasi

otot dasar panggul dan symtom-directed therapy perlu dilakukan. Pesarium dapat dipasang

pada hampir seluruh wanita dengan prolaps tanpa melihat stadium ataupun lokasi dari

prolaps. Pesarium yang biasa digunakan pada prolaps adalah pesarium ring (dengan dan

tanpa penyokong), Gellhorn, donat, dan pesarium cube

Gambar 1.5 Langkah Pemasangan Pesarium 4

Symtom-directed therapy dengan observasi prolaps (watchful waiting) dapat

direkomendasikan pada wanita dengan prolaps derajat rendah (derajat 1 dan derajat 2,

khususnya untuk penurunan yang masih di atas himen) dan gejala non-spesifik. Yang
dilakukan sebagi berikut:

- Penurunan berat badan dan olah raga

- Terapi perilaku:

BAB terjadwal untuk pasien yang mengalami gangguan defekasi, seperti BAB tidak

lampias atau mengedan dapat dilakukan

BAK terjadwal untuk pasien dengan keluhan inkontinensia urin

- Modifikasi diet

o Peningkatan kadar serat pada makanan atau pemberian suplemen serat sesuai

kebutuhan untuk pasien dengan gangguan defekasi.

Rehabilitasi Otot Dasar Panggul

- Pada sebuah telaah sistematik disebutkan bahwa latihan dasar panggul memberikan efek

relatif terhadap kualitas hidup pada wanita yang memiliki prolaps, tetapi tidak ada bukti

yang kuat untuk mendukung pelaksanaan otot dasar panggul pada tatalaksana konservatif

POP.

- Sehingga disimpulkan, latihan dasar panggul tidak mengobati dan mencegah POP, namun

direkomendasikan sebagai terapi tambahan pada wanita yang memiliki prolaps dan gejala

terkait (inkontinensia urin dan fekal), bersamaan dengan symtomdirected therapy.


B. Pembedahan 4

Berdasarkan sebuah telaah sistematis dan meta analisis terbaru mengenai

penatalaksanaan POP disebutkan bahwa pembedahan pada wanita yang memiliki prolaps

dapat meningkatkan kualitas hidup wanita

1.48 Komplikasi

Komplikasi prolaps uteri antara lain: 3

- Luka: pada kasus prolaps uteri berat, dinding vagina dapat terekspos, dan hal ini dapat

menyebabkan infeksi.

- Inkarserasi: jika pasien merupakan wanita muda dan hamil, sangat penting untuk

memindahkan uterus sebelum semakin besar dan terperangkap pada pelvis bagian bawah

atau vagina. Jika hal ini terjadi, edema dapat memnyebabkan inkarserasi dan dapat

mengurangi suplai darah ke uterus

- Prolaps organ pelvis lain: jika terjadi prolaps uteri, sangat mungkin terjadi prolaps organ

pelvis lainnya seperti vesika urinari dan rektum.

DAFTAR PUSTAKA

9 Lazarou G. 2016. Uterine Prolapse. (13/01/2017), available at:

http://emedicine.medscape.com/article/264231-overview

10 Kim Jeong Ok, et al. 2016. Uterine Prolapse in Primigravida Woman. Obstetric and

Gynecology Science, 59(3):241-244. (13/01/2017), available at:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4871943/pdf/ogs-59-241.pdf

11 Barsoom R.S. 2015. Uterine Prolapse in Emergency Medicine. (14/01/2017), available at:

http://emedicine.medscape.com/article/797295-overview#showall

12 Junizaf dan Budi I.S (eds). 2013. Panduan Penatalaksanaan Prolaps Organ Panggul.

Perkumpulan Obstetri & Ginekologi Indonesia, Himpunan Uroginekologi Indonesia.

(14/01/2017), available at: http://hugi-online.com/upload/file/Konsensus%20POP%20-

%20edit.pdf
TORSI DAN RUPTUR KISTA

1.49 Latar Belakang 1

Jumlah diagnosa kista ovarium meningkat dengan implementasi luas dari pemeriksaan fisik

secara teratur dan teknologi ultrasonografi 1. Penemuan dari suatu kista ovarium menyebabkan

kecemasan pada wanita karena ketakutan keganasan, tetapi sebagian besar kista ovarium bersifat

jinak 1. Kista ini terjadi paling sering pada usia produktif 2. Ketidakseimbangan hormonal,

infeksi pada pelvis, penyakit ovarium, penggunaan obat induksi ovulasi dan banyak faktor dapat

menyebabkan pembentukan kista 2.

1.50 Definisi

Kista ovarium adalah sebuah kantung yang berisi cairan atau material semiliquid yang timbul

pada ovarium. 1

1.51 Epidemiologi

Kista ovarium dapat terjadi pada semua usia, tetapi lebih sering ditemukan pada wanita usia

reproduktif dibandingkan wanita menopause. Kista ovarium ditemukan pada pemeriksaan

transvaginal sonogram hampir pada semua wanita usia produktif dan hanya 18% ditemukan pada

wanita postmenopause. Menurut penelitian, angka kejadian pada usia 30-54 tahun sangat tinggi

pada wanita berkulit putih. 1


1.52 Tipe Kista

Gambar 1.1 Tipe kista 2

1.53 Kegawatan Kista Ovarium

1.53.1 Torsi Kista Ovarium

1.53.1.1 Definisi

Torsi kista ovarium juga disebut sebagai rotasi aksial. Torsi adnexa merupakan kegawatan bedah

ginekologi kelima tersering, dengan prevalensi sekitar 3 %. 2

1.53.1.2 Patofisiologi

Faktor pencetus terjadinya torsi kista adalah gerakan berpilin mendadak dari batang kista.

Sekalinya terjadi, proses torsi akan menyebabkan tertekannya pembuluh darah. Ketika vena

tertekan, akan terjadi hambatan. Obstruksi limfatik akan menyebabkan edema. Hal ini diikuti

dengan perdarahan intersisial. Hal ini akan menyebabkan nyeri yang hebat pada perut. 2

1.53.1.3 Diagnosis

Anamnesis

Biasanya pasien tidak menyadari bahwa terdapat kista. Pasien akan mengeluhkan nyeri

perut hebat. Sebelumnya terdapat riwayat nyeri perut yang intermitten. Gejala busa diikuti

dengan mual, muntah dan tanda bladder & bowel irritability, atau perdarahan vagina. 2

Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan takikardi, tetapi tanda-tanda vital lain biasanya dalam

batas normal. Pada saat pemeriksaan abdomen didapatkan distensi pada palpasi. Dapat terasa

massa pada pelvis. Pada pemeriksaan pelvis, didapatkan massa adnexa yang teraba lunak. Untuk

memastikan kista ovarium, harus dilakukan palpasi bagian pole bawah melalui fornix. 2

Pemeriksaan Penunjang 2

- Laboratorium: leukosiyosis biasanya ditemukan pada pasiren dengan torsi kista

- Tes kehamilan: untuk menyingkirkan diagnosis banding kehamilan ektopik

- USG: terlihat adanya nassa kistik pada adnexa dan terdapat torsi pada bagian batangnya.

- Colour Doppler: untuk melihat adanya penurunan aliran darah menuju ovarium

1.53.1.4 Diagnosis Banding 2

- Kehamilan ektopik

- Acute Pelvis Inflamatory Disease

- Ruptur kista ovarium

1.53.1.5 Penatalaksanaan

Ketika diagnosis ditegakkan, pasien membutuhkan pembedahan segera untuk

mempertahankan fungsi ovarium. Pada beberapa tahun yang lalu, laparoskopi merupakan satu-

satunya penanganan pada kasus ini, akan tetapi dengan perkembangan endoskopi, laparoskopi

hanya sebagai alat untuk tumor ovarium. 2

1.53.2 Ruptur kista Ovarium

1.53.2.1 Definisi

Ruptur kista akan terjadi jika dinding kista rusak oleh degenerasi iskemik sebelumnya

atau jika terdapat keganasan. 2

1.53.2.2 Patofisiologi

Ruptur spontan kista akan menyebabkan cairan pseudomusin masuk ke rongga

peritoneal. Pada kebanyakan kasus, tidak didapatkan efek samping yang serius, akan tetapi

walaupun jarang terjadi, koagulasi material pseudomusin menyebabkan adhesi pada omentum
dan usus sehingga menyebabkan psudomyxoma peritonei. Faktor eksternal seperti trauma,

pemeriksaan pelvis, koitus atau persalinan juga dapat menyebabkan ruptur kista. 2

1.53.2.3 Diagnosis

Anamnesis

Pasien biasanya mengeluh nyeri perut akut, disertai dengan keluhan seperti perdarahan vagina,

mual dan/ atau muntah, lemah, sinkop. 3

Pemeriksaan Fisik

Karena kehilangan darah minimal, jarang didapatkan hippovolemi dan tanda-tanda vital lain

biasanya dalam batas normal. Iritasi peritoneum karena bocornya cairan kista dapat

menyebabkan tanda-tanda seperti nyeri tekan perut, distensi abdomen, dan hipoperistaltik. 2,3

Pemeriksaan Penunjang 3

- Laboratorium: leukositosis

- Tes kehamilan: untuk menyingkirkan dugaan kehamilan ektopik

- USG: adanya cairan bebas di rongga peritoneum

- Culdocentesis: dilakukan jika USG tidak dapat dilakukan

1.53.2.4 Diagnosis Banding 3

- Kehamilan ektopik

- Ruptur kista ovarium

1.53.2.5 Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan adalah membersihkan rongga peritoneal dari cairan kista diikuti

dengan pengangkatan kista. Pada pasien yang terdiagnosis dini, dianjurkan untuk laparoskopi.

Pada kasus yang terlambat datang, dimana terdapat resiko adhesi pada usus, disarankan

laparotomi. Setelah pengangkatan isi kista, dilanjutkan dengan pencucian rongga peritoneum

hingga bersih. 2

1.53.2.6 Prognosis

Prognosis pseudomyxoma peritonei buruk, walaupun kista sudah diambil. 2


DAFTAR PUSTAKA

13 Grabosch S.M. 2016. Ovarian Cysts. (16/01/2017), available at:

http://emedicine.medscape.com/article/255865-overview#showall

14 Mishra J. 2013. Accident to Ovarian Cysts. Journal of Universal College Of Medical Science,

Vol 1, No.02. (16/01/2017), available at:

http://www.nepjol.info/index.php/JUCMS/article/download/8412/6822.

15 Webb N. 2017. Ovarian Cysts Rupture. (17/01/2017), available at:

http://emedicine.medscape.com/article/253620-overview#showall
MASTITIS

Definisi

Mastitis adalah inflamasi atau infeksi payudara. Mastitis adalah radang pada payudara

yang terjadi biasanya pada masa nifas atau sampai 3 minggu setelah persalinan dan penyebabnya

adalah sumbatan saluran susu serta pengeluaran ASI yang kurang sempurna.

Klasifikasi

Mastitis lazim dibagi dalam (1) mastitis gravidarum, dan (2) mastitis peurperalis, karena

memang penyakit ini boleh dikatakan hampir selalu timbul pada waktu hamil dan laktasi.

Berdasarkan tempatnya dapat dibedakan:

1. Mastitis yang menyebabkan abses di bawah areola mammae.

2. Mastitis di tengah tengah mamma yang menyebabkan abses di tempat itu.

3. Mastitis pada jaringan di bawah dorsal dari kelenjar kelenjar yang menyebabkan abses

antara mamma dan otot otot di bawahnya.

Klasifikasi mastitis menurut penyebab dan kondisinya dibagi menjadi 3, yaitu:

1. Mastitis periductal

Mastitis periductal biasanya muncul pada wanita diusia menjelang menopause, penyebab

utamanya tidak jelas diketahui. Keadaan ini dikenal juga dengan sebutan mammary duct

ecstasia, yang berarti peleburan saluran karena adanya penyumbatan pada saluran di payudara

2. Mastitis puerperinalis/lactational

Mastitis puerperinalis banyak dialami oleh wanita hamil atau menyusui. Penyebab utama

Mastitis puerperinalis yaitu kuman yang menginfeksi payudara ibu, yang ditransmisi ke putting

ibu melalui kontak langsung.

3. Matitis supurativa/abses

Patofisiologi
Pada umumnya yang dianggap porte dentre dari kuman penyebab ialah puting susu yang

luka atau lecet, dan kuman per kontinuitatum menjalar ke duktulus-duktulus dan sinus. Sebagian

besar yang ditemukan pada pembiakan pus ialah Staphylococcus aureus.

Penyebab utama mastitis adalah statis ASI dan infeksi. Statis ASI biasanya merupakan

penyebab primer yang dapat disertai atau menyebabkan infeksi. Statis ASI terjadi jika ASI tidak

dikeluarkan dengan efisien dari payudara. Hal ini terjadi jika payudara terbendung segera setelah

melahirkan, atau setiap saat jika bayi tidak mengisap ASI, kenyutan bayi yang buruk pada

payudara, pengisapan yang tidak efektif, pembatasan frekuensi/durasi menyusui, sumbatan pada

saluran ASI, suplai ASI yang sangat berlebihan dan menyusui untuk kembar dua/lebih.

Organisme yang paling sering ditemukan pada mastitis dan abses payudara adalah organisme

koagulase-positif Staphylococcus aureus dan Staphylococcus albus. Escherichia coli dan

Streptococcus kadang-kadang juga ditemukan.

Terjadinya mastitis diawali dengan peningkatan tekanan di dalam duktus (saluran ASI)

akibat stasis ASI. Bila ASI tidak segera dikeluarkan maka terjadi tegangan alveoli yang

berlebihan dan mengakibatkan sel epitel yang memproduksi ASI menjadi datar dan tertekan,

sehingga permeabilitas jaringan ikat meningkat. Beberapa komponen (terutama protein

kekebalan tubuh dan natrium) dari plasma masuk ke dalam ASI dan selanjutnya ke jaringan

sekitar sel sehingga memicu respons imun. Stasis ASI, adanya respons inflamasi, dan kerusakan

jaringan memudahkan terjadinya infeksi.

Terdapat beberapa cara masuknya kuman yaitu melalui duktus laktiferus ke lobus sekresi,

melalui puting yang retak ke kelenjar limfe sekitar duktus (periduktal) atau melalui penyebaran

hematogen pembuluh darah). Kadang-kadang ditemukan pula mastitis tuberkulosis yang

menyebabkan bayi dapat menderita tuberkulosa tonsil. Pada daerah endemis tuberkulosa

kejadian mastitis tuberkulosis mencapai 1%.

Faktor resiko

Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko mastitis, yaitu :


(1) Umur

(2) Wanita berumur 21-35 tahun lebih sering menderita mastitis dari pada wanita di

bawah usia 21 tahun atau di atas 35 tahun.

(3) Paritas

(4) Mastitis lebih banyak diderita oleh primipara.

(5) Serangan sebelumnya

(6) Serangan mastitis pertama cenderung berulang, hal ini merupakan akibat teknik

menyusui yang buruk yang tidak diperbaiki.

(7) Melahirkan

(8) Komplikasi melahirkan dapat meningkatkan risiko mastitis.

(9) Gizi

(10) Asupan garam dan lemak tinggi serta anemia menjadi faktor predisposisi

terjadinya mastitis. Antioksidan dari vitamin E, vitamin A dan selenium dapat

mengurangi resiko mastitis.

(11) Faktor kekebalan dalam ASI

(12) Faktor kekebalan dalam ASI dapat memberikan mekanisme pertahanan dalam

payudara.

(13) Stres dan kelelahan

(14) Wanita yang merasa nyeri dan demam sering merasa lelah dan ingin istirahat,

tetapi tidak jelas apakah kelelahan dapat menyebabkan keadaan ini atau tidak.

(15) Pekerjaan di luar rumah

(16) Ini diakibatkan oleh statis ASI karena interval antar menyusui yang panjang dan
kekurangan waktu dalam pengeluaran ASI yang adekuat

(17) Trauma

(18) Trauma pada payudara karena dapat merusak jaringan kelenjar dan saluran susu

dan hal ini dapat menyebabkan mastitis.

Penegakan Diagnosis

a Anamnesis

1 Mastitis akut. Pada peradangan dalam taraf permulaan penderita hanya merasa nyeri

setempat pada salah satu lobus payudara yang diperberat jika bayi menyusu.

2 Mastitis lanjut. Hampir selalu orang datang sudah dalam tingkat abses. Dari tingkat radang

ke abses berlangsung sangat cepat karena oleh radang duktulus-duktulus menjadi

edematous,air susu terbendung, dan air susu yang terbendung itu segera bercampur dengan

nanah. Gejala nyeri dapat diikuti gejala lain seperti flu, demam, nyeri otot, sakit kepala,

keputihan.

b Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan anda-tanda vital ibu dengan mastitis biasanya mengalami peningkatan

suhu badan hingga lebih dari 38oC. Keadaan payudara pada ibu dengan mastitis biasanya

berwarna kemerahan, bengkak, nyeri tekan, lecet pada putting susu, dan terdapat nanah jika

terjadi abses. Pada abses, nyeri bertambah hebat di payudara, kulit diatas abses mengkilat dan

bayi dengan sendirinya tidak mau minum pada payudara yang sakit, seolah-olah dia tahu bahwa

susu disebelah itu bercampur dengan nanah. Tanda dan gejala lain mastitis meliputi:

- Peningkatan suhu yang cepat dari 39,5 - 40

- Peningkatan kecepatan nadi

- Menggigil

- Malaise umum, sakit kepala

- Nyeri hebat, bengkak, inflamasi, area payudara keras


- Kemerahan dengan batas jelas

- Biasanya hanya satu payudara

- Terjadi antara 3-4 minggu pasca persalinan

- Peningkatan kadar natrium dalam ASI yang membuat bayi menolak menyusu karena ASI

terasa asin

- Timbul garis-garis merah ke arah ketiak

Mastitis yang tidak ditangani memiliki hampir 10 % resiko terbentuknya abses. Tanda

dan gejala abses meliputi :

- Discharge putting susu purulenta

- Demam remiten (suhu naik turun) disertai menggigil.

- Pembengkakan payudara dan sangat nyeri; massa besar dan keras dengan area kulit berwarna

berfluktuasi kemerahan dan kebiruan mengindikasikan lokasi abses berisi pus.

c Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan lain untuk menunjang diagnosis tidak selalu

diperlukan. World Health Organization (WHO) menganjurkan pemeriksaan kultur dan uji

sensitivitas pada beberapa keadaan yaitu bila:

pengobatan dengan antibiotik tidak memperlihatkan respons yang baik dalam 2 hari

terjadi mastitis berulang

mastitis terjadi di rumah sakit

penderita alergi terhadap antibiotik atau pada kasus yang berat.

Bahan kultur diambil dari ASI pancar tengah hasil dari perahan tangan yang langsung

ditampung menggunakan penampung urin steril. Puting harus dibersihkan terlebih dulu dan bibir

penampung diusahakan tidak menyentuh puting untuk mengurangi kontaminasi dari kuman yang

terdapat di kulit yang dapat memberikan hasil positif palsu dari kultur. Pada ibu dengan abses

payudara dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui ada tidaknya bakteri

Stapylococcus aureus pada pus.


Penatalaksanaan

Tujuan dari penatalaksanaan mastitis adalah pencegahan terhadap infeksi dan komplikasi

lanjut. Penatalaksanaan berupa non medikamentosa berupa tindakan suportif dan medikamentosa

pemberian antibiotik dan pemberian analgesik.

a Non medikamentosa

Jika diduga mastitis, intervensi dini adalah berupa tindakan suportif yang dapat

mencegah perburukan. Intervensi meliputi beberapa tindakan hygienitas dan kenyamanan :

1 Bra yang cukup menyangga tetapi tidak ketat

2 Perhatian yang cermat saat mencuci tangan dan perawatan payudara

3 Kompres hangat pada area yang terkena

4 Masase area saat menyusui untuk memfasilitasi aliran air susu, Jangan lakukan pemijatan

jika dikhawatirkan justru membuat kuman tersebar ke seluruh bagian payudara dan

menambah risiko infeksi

5 Peningkatan asupan gizi dan cairan

6 Edukasi ibu

7 Bayi sebaiknya terus menyusu, dan jika menyusui tidak memungkinkan karena nyeri

payudara atau penolakan bayi pada payudara yang terinfeksi, pemompaan teratur harus terus

dilakukan. Pengosongan payudara dengan sering akan mencegah statis air susu. Tetap

berikan ASI kepada bayi, terutama gunakan payudara yang sakit sesering mungkin dan

selama mungkin sehingga sumbatan tersebut lama-kelamaan akan menghilang. Bayi masih

boleh menyusu kecuali bila terjadi abses. Kalau demikian keadaannya, untuk mengurangi

bengkak, ASI harus tetap dipompa keluar. Bayi sebaiknya tetap menyusu pada payudara

yang tak terinfeksi.

b. Medikamentosa
1 Antibiotik

Terapi antibiotik diberikan jika antara 12-24 jam tidak terdapat perbaikan, terapi antibiotik

meliputi :

- Penicillin resistan-penisilinase atau sefalosporin.

- Eritromisin mungkin digunakan jika wanita alergi terhadap penicillin.

- Terapi awal yang paling umum adalah dikloksasilin 500 mg peroral 4 kali sehari untuk 10-

14 hari. Amoxicillin-clavulanate 500 mg atau 875 mg untuk 10-14 hari atau Clindamycin

300 mg untuk 10-14 hari atau Trimethoprim-sulfamethoxazole dosis tunggal untuk 10-14

hari. Pada setiap kasus, penting untuk dilakukan tindak lanjut dalam 72 jam untuk

mengevaluasi kemajuan. Jika infeksi tidak hilang maka kultur air susu harus dilakukan.

2 Analgesik

Rasa nyeri merupakan faktor penghambat produksi hormon oksitosin yang berguna dalam

proses pengeluaran ASI. Analgesik diberikan untuk mengurangi rasa nyeri pada mastitis.

Analgesik yang dianjurkan adalah obat anti inflamasi seperti ibuprofen. Ibuprofen lebih

efektif dalam menurunkan gejala yang berhubungan dengan peradangan dibandingkan

parasetamol atau asetaminofen. Ibuprofen sampai dosis 1,6 gram per hari tidak terdeteksi

pada ASI sehingga direkomendasikan untuk ibu menyusui yang mengalami mastitis.

Penanganan abses

Dalam keadaan abses mamae perlu dilakukan insisi agar nanahnya dapat dikeluarkan

untuk mempercepat kesembuhan. Sesudah itu dipasang pipa ke tengah abses, agar nanah bisa

keluar terus. Untuk mencegah kerusakan pada duktus laktiferus sayatan dibuat sejajar dengan

jalannya duktus-duktus itu. Pengalaman menunjukkan bahwa drainase ini sesudah 72 jam

bertukar sifat menjadi kebocoran air susu yang tidak sedikit melalui luka insisi. Dianjurkan

memakai perban elastic yang ketat pada payudara, untuk menghentikan laktasi.

Pada persiapan insisi, kulit di atas abses akan dibersihkan oleh swabbing lembut dengan

larutan antiseptik. Pada tahap rehabilitasi, sebagian besar sakit di sekitar abses akan lenyap
sesudah pembedahan. Penyembuhan biasanya sangat cepat. Setelah tabung diambil keluar,

antibiotik dapat dilanjutkan untuk beberapa hari. Menerapkan panas dan menjaga wilayah yang

terkena dampak ditinggikan dapat membantu meringankan peradangan.

Pemantauan

Respon klinik terhadap penatalaksanaan di atas dibagi atas respon klinik cepat dan respon

klinik dramatis. Jika gejalanya tidak berkurang dalam beberapa hari dengan terapi yang adekuat

termasuk antibiotik, harus dipertimbangkan diagnosis banding. Pemeriksaan lebih lanjut

mungkin diperlukan untuk mengidentifikasi kuman-kuman yang resisten, adanya abses atau

massa padat yang mendasari terjadinya mastitis seperti karsinoma duktal atau limfoma non

Hodgkin. Berulangnya kejadian mastitis lebih dari dua kali pada tempat yang sama juga menjadi

alasan dilakukan pemeriksaan ultrasonografi (USG) untuk menyingkirkan kemungkinan adanya

massa tumor, kista atau galaktokel.

Gambar 1.3 Inflamasi pada Kanker

Komplikasi

1 Penghentian menyusui dini

Mastitis dapat menimbulkan berbagai gejala akut yang membuat seorang ibu
memutuskan untuk berhenti menyusui. Penghentian menyusui secara mendadak dapat

meningkatkan risiko terjadinya abses. Selain itu ibu juga khawatir jika obat yang mereka

konsumsi tidak aman untuk bayi mereka. Oleh karena itu penatalaksanaan yang efektif,

informasi yang jelas dan dukungan tenaga kesehatan dan keluarga sangat diperlukan.

2 Abses

Abses merupakan komplikasi mastitis yang biasanya terjadi karena pengobatan terlambat

atau tidak adekuat. Bila terdapat daerah payudara teraba keras, merah dan tegang walaupun

ibu telah diterapi, maka kita harus pikirkan kemungkinan terjadinya abses. Kurang lebih 3%

dari kejadian mastitis berlanjut menjadi abses. Pemeriksaan USG payudara diperlukan untuk

mengidentifikasi adanya cairan yang terkumpul. Cairan ini dapat dikeluarkan dengan

aspirasi jarum halus yang berfungsi sebagai diagnostik sekaligus terapi, bahkan mungkin

diperlukan aspirasi jarum secara serial. Pada abses yang sangat besar terkadang diperlukan

tindakan bedah. Selama tindakan ini dilakukan ibu harus mendapat antibiotik. ASI dari

sekitar tempat abses juga perlu dikultur agar antibiotik yang diberikan sesuai dengan jenis

kumannya.

Gambar 1.4 Abses Payudara

3 Mastitis berulang/kronis
Mastitis berulang biasanya disebabkan karena pengobatan terlambat atau tidak adekuat. Ibu

harus benar-benar beristirahat, banyak minum, makanan dengan gizi berimbang, serta

mengatasi stress. Pada kasus mastitis berulang karena infeksi bakteri diberikan antibiotik

dosis rendah (eritromisin 500 mg sekali sehari) selama masa menyusui.

4 Infeksi jamur

Komplikasi sekunder pada mastitis berulang adalah infeksi oleh jamur seperti candida

albicans. Keadaan ini sering ditemukan setelah ibu mendapat terapi antibiotik. Infeksi jamur

biasanya didiagnosis berdasarkan nyeri berupa rasa terbakar yang menjalar di sepanjang

saluran ASI. Di antara waktu menyusu permukaan payudara terasa gatal. Puting mungkin

tidak nampak kelainan. Ibu dan bayi perlu diobati. Pengobatan terbaik adalah nistatin krim

yang juga mengandung kortison dan dioleskan ke puting dan areola setiap selesai bayi

menyusu dan bayi juga harus diberi nistatin oral pada saat yang sama.

Gambar 1.6 Payudara yang Terinfeksi Candida


DAFTAR PUSTAKA

1. Alasiry, E. (2012). Buku Indonesia Menyusui. Terdapat pada: www.idai.or.id. diakses tanggal

4 November 2013.

2. Cuningham, F.G. (2013). Obstetri William. Jakarta : EGC.

3. Depkes RI.. (2008). Panduan Pelayanan Antenatal. Jakarta : Depkes RI.

4. Dixon M., dkk. 2005. Kelainan Payudara, Cetakan I. Dian Rakyat : Jakarta

http://www.fadlie.web.id/?p=2355.DiUnduh,25agustus201618:20PM.html

http://www.detikhealth.com

5. Inch & Xylander.(2012). Mastitis. Jakarta : Widya Medika.

6. Krisnadi R. Sosie. Obstetri Patologi. 2005. EGC. Jakarta

7. Mansjoer, Arif. Kapita Selekta Jilid I. 2001. Media Aesculapius. Pelayanan Antenatal.

Jakarta : Penyebab dan Penatalaksanaan.

8. Prawiroharjo, Sarwono. 2008. Ilmu Kandungan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka.

9. Price, A. Sylvia. Patofisiologi Jilid I. 2006. EGC. Jakarta

10. Saifuddin, Abdul Bari, dkk. 2009. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal

Dan Neonatal. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo

11. WHO, 2003. Mastitis Penyebab dan Penatalaksanaannya. Jakarta: Perpustakaan Nasional
CRACKED NIPPLE

1.54 Latar belakang

Menyusui selalu menjadi standar kriteria untuk pemberian nutrisi pada bayi. Sebelum

munculnya susu formula, menyusui merupakan satu-satunya cara untuk memberi nutrisi pada

bayi. Pada abad ke-21, meskipun sudah mulai muncul cucu formula, ASI tetap merupakan nutrisi

terbaik bagi bayi dan juga berfungsi untuk perkembangan sistem imun pada bayi. 1

1.55 Definisi

Cracked Nipple atau lecet pada puting susu merupakan salah satu problem pada ibu

menyusui. 2

1.56 Epidemiologi

Trauma pada puting memiliki angka kejadian yang tinggi, terutama pada

30 hari postpartum. Karena hal ini merupakan kondisi yang menyakitkan, biasanya hal ini

menyebabkan gangguan pemberian ASI eksklusif. Di New York, 35% wanita berhenti menyusui

setelah 1 minggu setelah persalinan karena lecet pada puting, dan 30 % wanita berhenti setelah 1

dan 4 minggu postpartum. Hal yang sama terjadi di Brazil, 25% wanita beresiko tinggi

mengalami gangguan dalam pemberian ASI eksklusif pada bulan pertama laktasi ketika terdapat

lecet pada puting. 2

1.57 Etiologi

Beberapa faktor resiko lecet pada puting adalah kesalahan dalam posisi dan teknik

menyusui, pembengkakan payudara, primipara, puting semi meninjol, penggunaan pompa

payudara dan lain-lain. Pengetahuan tentang daktor yang melibatkan terbentuknya kondisi

seperti ini sangat penting untuk membantu pencegahan dan penatalaksanaan. 2

1.58 Penatalaksanaan

Pada keadaan puting susu yang lecet, maka dapat dilakukan cara-cara seperti: 3

- Periksa apakah perlekatan ibu-bayi salah

- Periksa apakah terdapat infeksi kandida berupa kulit yang merah, berkilat dan terasa sakit
- Ibu terus memberikan ASI apabila luka tidak begitu sakit. Jika sangat sakit, susu dapat

diperah

- Olesi puting susu dengan ASI dan dibiarkan kering

- Jangan mencuci daerah puting dan aerola dengan sabun

Teknik Menyusui Yang Benar 1

Sebelum membahas mengenai posisi dan teknik menyusui, perlu di pahami mengenai

pentingnya inisiasi menyusui. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kemungkinan seorang

wanita terus menyusui setelah bulan pertama adalah terkait dengan inisiasi menyusui dini setelah

melahirkan. Ibu dan bayi harus diizinkan untuk menyusui dalam lingkungan yang santai dan

mendukung. Pengunjung yang terus menerus datang dapat mengganggu pengalaman menyusui

dini. Bantuan dan dukungan sang ayah sangat terkait dengan keberhasilan menyusui. Dalam

sebuah penelitian dari 224 ibu yang diwawancarai mengenai pengalaman menyusui, ayah

merupakan faktor kunci dalam inisiasi menyusui.


Gambar 1.1 Posisi Menyusui 4
Gambar 1.2 Cara Menyusui 4
DAFTAR PUSTAKA

16 Wagner C.L. 2015. Counseling The Breastfeeding Mother. (12/01/2017), available at:

http://emedicine.medscape.com/article/979458-overview#showall

17 Santos K.J., et al. 2016. Prevalence and Factors Associated with Cracked Nipples in the First

Month Postpartum, BMC Pregnancy and Childbirth 16:209. (12/01/2017), available at:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/

PMC4975913/pdf/12884_2016_Article_999.pdf

18 Mochtar A.B dan Herman K. 2014. Kehamilan Postterm, dalam: Sarwono Prawirohardjo,

Ilmu Kebidanan Edisi Keempat. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. h 685-695

19 Lactation Education Resources. Sore Nipples. Information for Breatfeeding Family.

(13/07/2017), available at:

https://www.lactationtraining.com/images/PDFs/handouts/Sore_Nipples.pdf
BAYI POST MATUR

1.59 Latar Belakang

Kehamilan umumnya berlangsung 40 minggu atau 280 hari diitung dari hari pertama haid

terakhir (HPHT). Kehamilan aterm ialah usia kehamilan antara 38-42 minggu dan ini merupakan

periode terjadinya persalinan normal. Namun, sekitar 3,4-14 % atau rata-rata 10% kehamilan

berlangsung sampai 42 minggu atau lebih. Kehamilan posterm terutama berpengaruh terhadap

janin, meskipun hal ini masih diperdebatkan. 1

1.60 Definisi

Kehamilan posterm disebut juga kehamilan serotinus, kehamilan lewat waktu, kehamilan

lewat bulan, prolonged pregnancy, extended pregnancy, postdate atau poacamaturitas, adalah

kehamilan yang berlangsung sampai 42 minggu (294 hari) atau lebih dihitung dari hari pertama

haid terakhir (HPHT). 1

1.61 Epidemiologi

Martin et all, 2007 menyebutkan bahwa insiden kehamilan postterm adalah sekitar 7% dari

seluruh kehamilan. Variasi prevalensi tergantung dari karakteristik populasi. Karakteristik

populasi yang mempengaruhi prevalensi adalah presentasi primigravida pada populasi,

presentasi obesitas, kehamilan postterm sebelumnya, serta kecenderungan genetik. 2

1.62 Etiologi

Sampai saat ini sebab terjadinya kehamilan postterm belum jelas. Beberapa kemungkinan

penyebab adalah pengaruh progesteron, kurangnya oksitosin, herediter. 1

Pengaruh progesteron

Penurunan progesteron dalam kehamilan merupakan perubahan endokrin yang penting

dalam memacu proses biomolekular pada persalinan dan meningkatkan sensitivitas

uterus terhadap oksitosin. Beberapa studi menduga bahwa terjadinya kehamilan postterm

adalah karena masih berlangsungnya pengaruh progesteron.

Teori Oksitosin
Oksitosin secara fisiologis memegang peranan penting dalam menimbulkan persalinan

dan pelepasan oksitosin dari neurohipofisis ibu hamil yang kurang pada usia kehamilan

lanjut diduga sebagai salah satu faktor penyebab kehamilan postterm.

Teori Kostisol/ ACTH janin

Kortisol janin akan mempengaruhi plasenta sehingga produksi progesteron berkurang

dan memperbesar sekresi esterogen, selanjutnya berpengaruh terhadap meningkatnya

produksi prostaglandin. Pada kelainan janin seperti anensefalus, hipoplasia adrenal janin,

dan tidak adanya kelenjar hipofisis pada janin akan menyebabkan kortisol janin tidak

diproduksi dengan baik sehingga kehamilan dapat berlangsung lewat bulan.

Herediter

Beberapa studi menyatakan bahwa seorang ibu yang mengalami kehamilan postterm

mempunyai kecenderungan untuk melahirkan lewat bulan pada kehamilan berikutnya.

Mogren (1999) seperti dikutip Cunningham, menyatakan bahwa bilamana seorangg inbu

mengalami kehamilan postterm saat melahirkan anak perempuan, maka besar

kemungkinan anak perempuannya akan mengalami kehamilan postterm.

1.63 Patofisiologi

Patogenesis kehamilan postterm masih belum diketahui pasti. McLean et all, 1995

menyatakan bahwa terdapat hubungan antara peptide corticotrophin releasing hormone (CRH)

yang diproduksi plasenta dengan usia kehamilan. Sintesis CRH oleh plasenta meningkat secara

eksponensial selama kehamilan dan puncaknya pada saat persalinan. Ellis et al dan Torricelli et

al menyatakan bahwa pada wanita yang melahirkan prematur, kenaikan eksponensial lebih cepat

daripada yang melahirkan cukup bulan, sedangkan pada wanita yang melahirkan postterm laju

kenaikan lebih lambat. Data ini menunjukkan bahwa persalinan postterm terjadi karena

perubahan dalam mekanisme biologis yang mengatur usia kehamilan.2

CRH dapat langsung merangsang produksi adrenal janin dari DHEAS, prekursor untuk

sintesis estriol plasenta. Konsentrasi CRH plasma maternal berhubungan dengan konsentrasi
estriol. Peningkatan estriol akibat meningkatnya CRH pada akhir gestasi lebih cepat

dibandingkan tingkat estradiol yang mengarah ke peningkatan estriol rasio estradiol untuk

menghasilkan suatu lingkungan estrogenik dalam minggu-minggu terakhir kehamilan.

Bersamaan dengan peningkatan konsentrasi progesteron plasma ibu yang terjadi di masa gestasi,

akan menurun saat akhir kehamilan. Hal ini karena inhibisi CRH pada sintesis progesteron

plasenta. Jadi efek progesteron (menyebabkan relaksasi) kehamilan menurun sebagai tindakan

estriol (menyebabkan kontraksi) yang meningkat saat terjadinya persalinan. Akan tetapi hal ini

masih belum diketahu di kehamilan postterm. 2

1.64 Diagnosis

Dalam menentukan diagnosis kehamilan postterm di samping dari riwayat haid,

sebaiknya dilihat pula hasil pemeriksaan antenatal.

Riwayat Haid 1

Diagnosis kehamilan postterm tidak sulit untuk ditegakkan bilamana HPHT diketahui dengan

pasti. Untuk riwayat haid diperlukan beberapa kriteria:

- Penderita harus yakin betul dengan HPHTnya

- Siklus 28 hari dan teratur

- Tidak minum pil antihamil setidaknya 3 bulan terakhir.

Selanjutnya, diagnosis ditentukan dengan menghitung menurut rumus Naegele. Berdasarkan

riwayat haid, seorang penderita yang ditetapkan sebagai kehamilan postterm kemungkinan

adalah sebagai berikut:

- Terjadi kesalahan dalam menentukan tanggal HPHT atau akibat menstruasi abnormal

- tanggal haid terakhir diketahui jelas, tetapi terjadi keterlambatan ovulasi

- tisak ada kesalahan menentukan haid terakhir dan kehamilan memang berlangsung lewat

bulan.

Riwayat Pemeriksaan Antenatal 1


Tes kehamilan. Jika pasien melakukan pemeriksaan tes imunologik sesudah terlambat 2

minggu, maka dapat diperkirakan kehamilan memang telah berlangsung 6 minggu.

Gerak janin. Gerak janin (quickening) umumnya dirasakan ibu padausia kehamilan 18-

20 minggu. Pada primi gravida dirasakan sekitar usia kehamilan 18 minggu, sedangkan

pada multigravida pada 16 minggu. Petunjuk umum untuk menentukan persalinan adalah

quickening ditambah 22 minggu pada primi gravida, atau ditambah 24 minggu pada

multigravida.

Denyut Jantung Janin (DJJ). Dengan stetoskop Laennec, DJJ mulai bisa didengarkan

pada usia kehamilan 18-20 minggu, sedangkan dengan Doppler dapat terdengar pada usia

kehamilan 10-12 minggu

Kehamilan postterm dapat dinyatakan jika didapatkan 3 atau lebih dari 4 kriteria hasil

pemeriksaan sebagai berikut:

- Telah lewat 36 minggu sejak tes kehamilan positif

- Telah lewat 32 minggu sejak DJJ pertama terdengar dengan doppler

- Telah lewat 24 minggu sejak dirasakannya gerak janin pertama kali

- Telah lewat 22 minggu sejak terdengarnya DJJ pertama kali dengan stetoskop Laennec.

Pemeriksaan Ultrasonografi (USG) 1

Pada trimester pertama, pemeriksaan panjang kepala memberikan ketetapan kurang lebih

4 hari dari taksiran persalinan. Pada usia kehamilan 16-26 minggu, ukuran biparietal dan panjang

femur memberikan ketepatan sekitar 7 hari dari taksiran persalinan. Pemeriksaan sesaat setelah

trimester III dapat digunakan untuk menentukan berat janin, keadaan air ketuban, ataupun

keadaan plasenta yang sering berkaitan dengan kehamilan postterm, tetapi sulit untuk

memastikan usia kehamilan.

Pemeriksaan Radiologi 1

Usia kehamilan ditentukan dengan melihat pusat penulangan. Gambaran epifisis femur

bagian diatal paling dini dapat dilihat pada kehamilan 32 minggu, epifisis tibia proksimal terlihat
setelah usia kehamilan 36 minggu, dan epifisis kuboid pada kehamilan 40 minggu. Cara ini

sekarang jarang dipakai karena pengaruh radiologik yang kurang baik terhadap janin.

Pemeriksaan Laboratorium 1

Kadar lesitin/ spingomielin

Bila kadar lesitin/ spingomielin dalam cairan amnion kadarnya sama, maka usia

kehamilan sekitar 22-28 minggu, lesitin 1,2 kali kadar spingomielin: 28-32 minggu, pada

kehamilan denap bulan rasio menjadi 2:1. Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan

apakah janin cukup umur untuk dilahirkan.

Aktivitas tromboplastin cairan amnion (ATCA)

Pada usia kehamilan 41-42 minggu ATCA berkisar antara 45-65 detik, pada umur

kehamilan > 42 minggu didapatkan ATCA < 45 detik. Bila didapatkan antara 42-46 detik

menunjukkan kehamilan tepat waktu.

Sitologi cairan amnion

Pengecatan nile lue sulphate dapat melihat sel lemak pada amnion. Bila jumlah sel

melebihi 10% maka kehamilan diperkirakan 36 minggu, dan apabila 50% atau lebih

maka usia kehamilan 38 minggu atau lebih.

1.65 Permasalahan Kehamilan postterm

Pengaruh kehamilan postterm antara lain:

D. Perubahan pada plasenta 1

Perubahan yang terjadi pada plasenta sebagai berikut:

o Penimbunan kalsium. Pada kehamilan postterm terjadi penimbunan kalsium pada

plasenra, dan hal ini dapat menyebabkan gawat janin bahkan kematian janin

intrauterin dapat meningkat 2-4 kali lipat

o Selaput vaskulosinsisial menjadi tambah tebal dan jumlahnya berkurang. Keadaan ini

dapat menurunkan mekanisme transpor plasenta


o Terjadi proses degenerasi jaringan plasenta seperti edema, timbunan firinoid,

fibrosis, trombosis intervili, dan infark vili

o Perubahan biokimia. Adanya insufisiensi plasenta menyebabkan protein plasenta dan

kadar DNA di bawah normal, sedangkan konsentrasi RNA meningkkat.

Pengangkutan bahan dengan berat molekul tinggi biasanya mengalami gangguan

sehingga dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan janin intrauterin.

E. Pengaruh pada janin 1

Beberapa pengaruh kehamilan postterm terhadap janin:

o Berat janin

Bila terjadi peruahan anatomi yang besar pada plasenta, maka terjadi penurunan

berat janin. Zwerdling menyatakan bahwa rata-rata berat janin > 3600 gram sebesar

44,5% pada kehamilan postterm, sedangkan pada kehamilan genap bulan sebesar

30,6%. Resiko persalinan bayi dengan berat > 4000 gram pada kehamilan postterm

meningkat 2-4 kali lebih besar dari kehamilan biasa.

o Sindroma postmaturitas

Dapat dikenali pada neonatus dengan ditemukannya beberapa tanda seperti

gangguan pertumbuhan, dehidrasi, kulit kering, keriput seperti kertas (hilangnya

lemak subkutan), kuku tangan dan kaki panjang, tunlang tengkorak lebih keras,

hilangnya verniks kaseosa dan lanugo, maserasi kulit terutama daerah lipat paha

dan genital luar, warna cokelat kehijauan atau kekuningan pada kulit dan tali pusat,

dan rambut kepala banyak atau tebal. Tanda postmaturitas ini dapat dibagi menjadi

3 stadium, yaitu:

Stadium I: kulit menunjukkan kehilangan verniks kaseosa dan maserasi

berupa kulit kering, rapuh, dan mudah mengelupas

Stadium II: gejala pada stadium I disertasi pewarnaan mekonium

(kehijauan) pada kulit


Stadium III: gejala pada stadium II disertai dengan pewarnaan kekuningan

pada kuku, kulit dan tali pusat.

o Gawat janin atau kematian perinatal

Gawat janin menunjukkan peningkatan setelah kehamilan 42 minggu atau lebih,

umumnya disebabkan oleh:

Makosomia yang dapat menyebabkan distosia pada perslinan, fraktur

klavikula, palsi Erb-Duchene, sampai kematian bayi

Insufisiensi plasenta yang berakibat:

Pertumbuhan janin terhambat

Oligohidramnion: terjadi kompresi tali pusat, keluar mekonium

yang kental, perubahan abnormal jantung janin

Keluarnya mekonium yang berakibat aspirasi mekonium pada

janin

Cacat bawaan: terutama akibat hipopplasia adrenal dan anensefalus.

F. Pengaruh pada ibu 1

o Morbiditas/ mortalitas ibu dapat meningkat sebagai akibat dari makrosomia janin

dan tulang tengkorak menjadi lebih keras yang menyebabkan terjadinya distosia

persalinan, partus lama, meningktanya tindakan obstertik dan persalinan

traumatus/ perdarahan postpartum akibat bayi besar.

o Aspek emosi ibu dan keluarga menjadi cemas bilamana kehamilan terus

berlangsung melewati taksiran persalinan.

1.66 Penatalaksanaan 1

C. Pengelolaan Kehamilan Postterm

Pengelolaan aktif yaitu dengan melakukan persalinan anjuran pada usia kehamilan 41

atau 42 minggu. Sebelum mengambil langkah, beberapa hal yang perlu diperhatikan:
o Memastikan apakah kehamilan telah berlangsung lewat bulan.

o Identifikasi kondisi janin

o Periksa kematangan serviks dengan skor Bishop

Pengelolaan kehamilan:

o Jika serviks telah matang (dengan nilai Bishop >5) dilakukan induksi persalinan

dan dilakukan pengawasan intrapartum.

o Jika serviks belum matang, perlu dinilai keadaan janin lebih lanjut apabila

kehamilan tidak diakhiri:

Fetal Non Stress test (NST) dan penilaian volume kantong amnion. Bila

keduanya normal, kehamilan ini dapat dibiarkan berlanjjut dan penilaian

janin dilanjutkan seminggu 2 kali

Bila ditemukan oligohidramion (<2 cm pada kantong yang vertikal atau

indeks cairan amnion > 5) atau dijumpai deselerasi variabel pada NST,

maka dilakukan induksi persalinan

Bila volume cairan amnion normal dan NST tidak reaktif, tes pada

kontraksi (CST) harus dilakukan. Bila CST positif, terjadi deselerasi

lambat berulang, variabilitas abnormal (5/20 menit) menunjukkan

penurunan fungsi plasenta janin. Jika CST negatif, kehamilan dapat

dibiarkan berlangsung dan penilaian janin dilakukan lagi 3 hari kemudian

Keadaan seerviks harus dinilai ulang setiap kunjungan

o Kehamilan > 42 minggu diupayakan diakhiri

D. Pengelolaan selama persalinan

o Pemantauan yang baik terhadap ibu (aktivitas uterus) dan kesejahteraan janin.

o Hindari penggunaaan obat penenang atau analgetik selama persalinan

o Awasi jalannya persalinan


o Persiapkan oksigen dan bedah sesar bila sewaktu-waktu terjadi kegawayan janin

o Cegah terjadinya aspirasi mekonium dan segera mengusap wajah neonatus dan

dilanjutkan dengan resusitasi sesuai dengan prosedur pada janin dengan cairan

ketuban bercampur mekonium

o Segera setelah lahir, bayi harus segera diperiksa terhadap kemungkinan

hipoglikemi, hipovolemi, hipotermi, dan polisitemi

o Pengawasan ketat terhadap neonatus denga tanda-tanda prematuritas

o Hati-hati kemungkinan terjadi distosia bahu.

1.67 Komplikasi

Komplikasi pada bayi baru lahir meliputi suhu yang tidak stabil, hipoglikemi, polisitemi,

dan kelanian neurologik. Komplikasi pada ibu adalah distosia persalinan, partus lama,

meningktanya tindakan obstertik dan persalinan traumatus/ perdarahan postpartum akibat bayi

besar. 1

1.68 Prognosis

Persalinan adalah saat paling berbahaya bagi janin postterm sehingga setiap persalinan

kehamillan postterm harus dilakukan pengamatan ketat dan sebaiknya dilaksanakan di rumah

sakit dengan pelayanan operatif dan perawatan neonatal yang memadai. Kematian janin akibat

kehamilan postterm terjadi pada 30% sebelum persalinan, 55% dalam persalinan, dan 15%

setelah persalinan

DAFTAR PUSTAKA

20 Mochtar A.B dan Herman K. 2014. Kehamilan Postterm, dalam: Sarwono Prawirohardjo,

Ilmu Kebidanan Edisi Keempat. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. h 685-695

21 Galal M, et al. 2012. Postterm pregnancy. (11/01/2017), available at:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3991404/
INVERTED NIPPLE

Masalah Kesehatan

Terdapat beberapa bentuk puting susu. Pada beberapa kasus seorang ibu merasa

putingnya datar atau terlalu pendek akan menemui kesulitan dalam menyusui bayi. Hal ini bisa

berdampak bayi tidak bisa menerima ASI dengan baik dan cukup.

Pada beberapa kasus, putting dapat muncul kembali bila di stimulasi, namun pada kasus-

kasus lainnya, retraksi ini menetap.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan

1. Kesulitan ibu untuk menyusui bayi

2. Puting susu tertarik

3. Bayi sulit untuk menyusui

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik

Adanya puting susu yang datar atau tenggelam dan bayi sulit menyusui pada ibu.

Pemeriksaan Penunjang

Tidak diperlukan pemeriksaan penunjang dalam penegakan diagnosis

Penegakan Diagnostik (Assessment)

Diagnosis Klinis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan tidak memerlukan

pemeriksaan penunjang.

Diagnosis klinis ini terbagi dalam :

1. Grade 1

a. Puting tampak datar atau masuk ke dalam

b. Puting dapat dikeluarkan dengan mudah dengan tekanan jari pada atau sekitar areola.

c. Terkadang dapat keluar sendiri tanpa manipulasi


d. Saluran ASI tidak bermasalah, dan dapat menyusui dengan biasa.

2. Grade 2

a. Dapat dikeluarkan dengan menekan areola, namun kembali masuk saat tekanan dilepas

b. Terdapat kesulitan menyusui.

c. Terdapat fibrosis derajat sedang.

d. Saluran ASI dapat mengalami retraksi namun pembedahan tidak diperlukan.

e. Pada pemeriksaan histologi ditemukan stromata yang kaya kolagen dan otot polos.

3. Grade 3

a. Puting sulit untuk dikeluarkan pada pemeriksaan fisik dan membutuhkan pembedahan untuk

dikeluarkan.

b. Saluran ASI terkonstriksi dan tidak memungkinkan untuk menyusui

c. Dapat terjadi infeksi, ruam, atau masalah kebersihan

d. Secara histologis ditemukan atrofi unit lobuler duktus terminal dan fibrosis yang parah

Komplikasi

Risiko yang sering muncul adalah ibu menjadi demam dan pembengkakan pada payudara.

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan Non-Medikamentosa

Untuk puting datar/tenggelam (inverted nipple) dapat diatasi setelah bayi lahir, yaitu dengan

proses Inisiasi Menyusu Dini (IMD) sebagai langkah awal dan harus terus menyusui agar puting

selalu tertarik. Ada dua cara yang dapat digunakan untuk mengatasi puting datar/terbenam, yaitu:

1. Penarikan puting secara manual/dengan tangan. Puting ditarik-tarik dengan lembut beberapa

kali hingga menonjol.

2. Menggunakan spuit ukuran 10-20 ml, bergantung pada besar puting. Ujung spuit yang

terdapat jarum dipotong dan penarik spuit (spuit puller) dipindahkan ke sisi bekas potongan.

Ujung yang tumpul di letakkan di atas puting, kemudian lakukan penarikan beberapa kali hingga
puting keluar. Lakukan sehari tiga kali; pagi, siang, dan malam masing-masing 10 kali

3. Jika kedua upaya di atas tidak memberikan hasil, ibu dapat memberikan air susunya dengan

cara memerah atau menggunakan pompa payudara.

4. Jika putting masuk sangat dalam, suatu usaha harus dilakukan untuk mengeluarkan putting

dengan jari pada beberapa bulan sebelum melahirkan.

Konseling dan Edukasi

1. Menarik-narik puting sejak hamil (nipple conditioning exercises) ataupun penggunaan breast

shield dan breast shell. Tehnik ini akan membantu ibu saat masa telah memasuki masa menyusui.

2. Membangkitkan rasa percaya diri ibu dan membantu ibu melanjutkan untuk menyusui bayi.

Posisikan bayi agar mulutnya melekat dengan baik sehingga rasa nyeri akan segera berkurang.

Tidak perlu mengistirahatkan payudara, tetapi tetaplah menyusu on demand

Prognosis

1. Ad vitam : Bonam

2. Ad functionam : Bonam

3. Ad sanationam : Bonam

Referensi

1. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B. Rachimhadhi, T. Wiknjosastro Gulardi H. Ilmu Kebidanan

Sarwono Prawirohardjo.Edisi keempat cetakan ketiga. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono

Prawirohardjo. 2010. 379

2. Kementerian Kesehatan RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas

Kesehatan Dasar dan Rujukan.Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2013.

3. Program Manajemen Laktasi, 2004. Buku Bacaan Manajemen Laktasi. Jakarta.

4. http://idai.or.id/public-articles/klinik/asi/manajemen-laktasi.html. 2014
TOKSOPLASMOSIS

1. Definisi

Toksoplasmosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii.

Toksoplasmosis kongenital adalah infeksi pada bayi baru lahir yang berasal dari ibu yang

terinfeksi. Bayi tersebut biasanya asimptomatik, namun manifestasi selanjutnya bisa

menjadi korioretinitis, strabismus, epilepsy dan retardasi psikomotor.1,2,3

2. Etiologi

Toxoplasma gondii adalah parasit intraseluler pada momocyte dan sel-sel endothelial

pada berbagai organ tubuh. Toxoplasma ini biasanya berbentuk bulat atau oval, jarang

ditemukan dalam darah perifer, tetapi sering ditemukan dalam jumlah besar pada organ-

organ tubuh seperti pada jaringan hati, limpa, sumsum tulang, paru-paru, otak, ginjal, urat

daging, jantung dan urat daging licin lainnya. Perkembangbiakan toxoplasma terjadi

dengan membelah diri menjadi 2, 4 dan seterusnya, belum ada bukti yang jelas mengenai

perkembangbiakan dengan jalan schizogoni.4

Gambar 1. Struktur Toxoplasma Gondii

Toxoplasma gondii merupakan protozoa obligat intraseluler, terdapat dalam tiga bentuk

yaitu takizoit (bentuk proliferatif), kista (berisi bradizoit) dan ookista (berisi sporozoit).

Bentuk Ookista

Ookista berbentuk lonjong, berukuran 11-14 x 9-11 mikron. Ookista mempunyai

dinding, berisi satu sporoblas yang membelah menjadi dua sporoblas.Pada perkembangan
selanjutnya ke dua sporoblas membentuk dinding

dan menjadi sporokista. Masing-masing

sporokista tersebut berisi 4 sporozoit yang

berukuran 8 x2 mikron dan sebuah benda residu.4

Bentuk takizoit

Menyerupai bulan sabit dengan ujung

yang runcing dan ujung lain agak

membulat. Ukuran panjang 4-8 mikron,

lebar 2-4 mikron dan mempunyai selaput

sel, satu inti yang terletak di tengah bulan

sabit dan beberapa organel lain seperti

mitokondria dan badan golgi. Tidak mempunyai kinetoplas dan sentrosom serta tidak

berpigmen. Bentuk ini terdapat di dalam tubuh hospesperantara seperti burung dan

mamalia termasuk manusia dan kucing sebagal hospes definitif. Takizoit ditemuKan pada

infeksi akut dalam berbagai jaringan tubuh.Takizoit dapat memasuki tiap sel yang berinti.
4

Bentuk Kista (Bradizoit)

Kista dibentuk di dalam sel hospes bila takizoit yang

membelah telah membentuk dinding. Ukuran kista

berbeda-beda, ada yang berukuran kecil hanya berisi

beberapa bradizoit dan ada yang berukuran 200

mikron berisi kira-kira 3000 bradizoit. Kista dalam tubuh

hospes dapat ditemukan seumur hidup terutama di otak, otot


jantung, dan otot lurik. Di otak bentuk kista lonjong atau bulat, tetapi di dalam otot

bentuk kista mengikuti bentuk sel otot. Kista ini merupakan stadium istirahat dari

Toxoplasma gondii. Pada infeksi kronis kista dapat ditemukan dalam jaringan organ

tubuh dan terutama di otak. 4

Pada preparat dapat dilihat dibawah mikroskop, bentuk oval agak panjangdengan

kedua ujung lancip, hampir menyerupai bentuk merozoit dari coccidium. Jika

ditemukandiantara sel-sel jaringan tubuh, berbentuk bulat dengan ukuran 4 - 7 mikron. Inti

selnyaterletak dibagian ujung yang berbentuk bulat. Pada preparat segar, sporozoa ini

bergerak, tetapipeneliti-peneliti belum ada yang berhasil memperlihatkan

flagellanya.Toxoplasma baik dalam sel monocyte, dalam sel-sel sistem reticulo endoteleal,

sel alattubuh viceral maupun dalam sel-sel syaraf membelah dengan cara membelah diri 2,4

danseterusnya. Setelah sel yang ditempatinya penuh lalu pecah parasit-parasit menyebar

melaluiperedaran darah dan hinggap di sel-sel baru dan demikian seterusnya. 4,5

Toxoplasma gondii mudah mati karena suhu panas, kekeringan dan pembekuan.

Cepat mati karena pembekuan darah induk semangnya dan bila induk semangnya mati jasad

inipun ikutmati. Toxoplasma membentuk pseudocyste dalam jaringan tubuh atau jaringan-

jaringan tubuhhewan yang diserangnya secara khronis. Bentuk pseudocyste ini lebih tahan

dan dapat bertindaksebagai penyebar toxoplasmosis. 4

3. Patofisiologi

Tahap utama daur hidup parasit adalah pada kucing (hospes definitif). Dalam sel epitel

usus kecil kucing berlangsung daur aseksual (skizogoni) dan daur seksual (gametogoni,

sporogoni) yang menghasilkan ookista yang dikeluarkan melalui tinja. Bila ookiosta

tertelan oleh hospes perantara maka pada berbagai jaringan akan terjadi pembelahan cepat

menjadi takizoit bereplikasi pada seluruh sel kecuali di eritrosit bradizoit (masa

infeksi laten) stadium istirahat (kista jaringan). 5,6


Pada manusia takizoit ditemukan pada infeksi akut dan dapat memasuki tiap sel yang

berinti. Takizoit pada manusia adalah parasit obligat intraseluler. Takizoit berkembang biak

dalam sel secara endodiogeni. Bila sel pennuh dengan takzoit maka sel menjadi pecah dan

takizoit memasuki sel sekitarnya atau di fagositosis oleh makrofag. Kista jaringan dibentuk

didalam sel hospes bila takizoit yang membelah telah membentuk dinding. Kista jaringan

ini bisa bertahan seumur hidup terutama di otak, otot jantung, dan otot lurik. 5
Merozoit masuk ke dalam sel epitel dan membentuk makrogametosit dan

mikrogametosit yang menjadi makrogamet dan mikrogamet (gametogoni). Setelah terjadi

pembuahan terbentuk ookista, yang akan dikeluarkan bersama tinja kucing. Di luar tubuh

kucing, ookista tersebut akan berkembang membentuk dua sporokista yang masing-masing

berisi empat sporozoit (sporogoni). Sporozoit menjadi menular 24 jam atau lebih setelah

kucing gudang ookista melalui feses.6


Selama infeksi primer, kucing dapat mengeluarkan jutaan ookista sehari selama 1-3

minggu. Bila ookista tertelan oleh mamalia seperti domba, babi, sapi dan tikus serta ayam

atau burung, maka di dalam tubuh hospes perantara akan terjadi daur aseksual yang

menghasilkan takizoit. Takizoit akan membelah, kecepatan membelah takizoit ini

berkurang secara berangsur kemudian terbentuk kista yang mengandung bradizoit.

Penularan takizoit pada janin dapat terjadi melalui plasenta ibu setelah infeksi primer.6
Bradizoit dalam kista biasanya ditemukan pada infeksi menahun (infeksi laten). Bila

kucing sebagai hospes definitif makan hospes perantara yang terinfeksi maka berbagai

stadium seksual di dalam sel epitel usus muda akan terbentuk lagi.6
Ketika T gondii yang tertelan, bradyzoites dilepaskan dari kista atau sporozoit

dilepaskan dari ookista, dan organisme memasuki sel pencernaan. Takizoit berkembang

biak, sel pecah, dan menginfeksi sel yang bersebelahan. Mereka diangkut melalui limfatik

dan disebarluaskan secara hematologi ke seluruh jaringan. Kemampuan T gondii untuk

secara aktif menembus sel inang menghasilkan pembentukan vakuola parasitophorous

yang berasal dari membran plasma. Vakuola ini dibentuk terutama oleh invaginasi

membran plasma sel inang. Selama invasi, sel inang pada dasarnya pasif dan tidak ada
perubahan yang terdeteksi.6
Bila kista jaringan yang mengandung bradizoit atau ookista yang mengandung sporozoit

terlelan oleh hospes, parasit akan bebas dari kista didalam eritrosit, parasit transformasi,

peningkatan invasif takizoit parasit menyebar ke jar. Limfatik, otot lurik, miokardium,

retina, plasenta, dan SSP terjadi infeksi replikasi invasi sel sekitar kematian

sel dan nekrosis fokal + inflamasi akut. Akibatnya takizoit menetap dan penghancuran

progresif berlangsung dan terjadi kegagalan organ. 5,6


Toxoplasma gondii dapat menular ke manusia melalui beberapa rute, yaitu:

Pada toksoplasmosis kongenital transmisi terjadi in utero melalui plasenta, bila ibu

mengalami infeksi primer saat hamil.

Toxoplasmosis akuisita, infeksi terjadi bila makan daging mentah atau kurang matang

(sate), kalau daging tersebut mengandung kista atau trofozoid Toxoplasma gondii.

Infeksi di laboratorium binatang percobaan yang mengandung Toxoplasma gondii,

melalui jarum suntik dan alat laboratorium lain yang terkontaminasi. Wanita hamil

tidak dianjurkan bekerja di lingkungan yang mengandung Toxoplasma gondii hidup.

Tidak mencuci tangan setelah berkebun, membersihkan tempat kucing buang air besar,

atau apa saja yang bersentuhan dengan feces kucing

Toksoplasma menginfeksi hospes melalui mukosa saluran cerna, hal ini akan

merangsang sistem imun untuk membentuk IgA spesifik. T.gondii dengan cepat akan

merangsang IgM dan IgG. Immunoglobulin ini dapat membunuh takizoit ekstraseluler. IgG

dapat terdeteksi sejak dua sampai tiga minggu setelah infeksi, mencapai puncak pada enam

sampai delapan minggu dan kemudian menurun perlahan sampai batas tertentu dan

bertahan seumur hidup. IgM dapat terdeteksi 1 minggu setelah infeksi akut dan menetap

selama beberapa minggu atau bulan, bahkan antibody ini dapat masih terdeteksi sampai

lebih dari satu tahun. IgA terdeteksi segera setelah IgM, dan bertahan selama 6-7 bulan. 6
4. Manifestasi Klinis

Faktor resiko terjadinya toxoplasmosis:

Imunodefisiensi (misalnya AIDS), pasien dengan imunosupresi misalnya pada pasien

post transplantasi organ atau dengan penyakit keganasan.

Kontak dengan kucing

Riwayat memakan daging mentah atau setengah matang

Pada 80% - 90% penderita toksoplasmosis tidak menunjukkan gejala sama sekali

(asimptomatik). Pada beberapa penderita biasanya didapatkan adanya perbesaran kelenjar

getah bening di bagian leher (cervical lymphadenopathy). Beberapa penderita juga dapat

mengalami sakit kepala, demam (biasanya di bawah 40 oC), lemah, dan lesu. Sebagian

kecil penderita mungkin mengalami nyeri otot (mialgia), nyeri tenggorokan, nyeri pada

bagian perut, dan kemerahan pada kulit. Gejala-gejala tersebut dapat menghilang dalam

waktu beberapa minggu, kecuali perbesaran kelenjar getah bening di bagian leher yang

dapat bertahan selama beberapa bulan. Infeksi pada kehamilan dapat menyebabkan

abortus atau janin hidup dengan kelainan tertentu. Virulensi infeksi lebih besar pada

kehamilan dini, pada awal kehamilan infeksi lebih jarang terjadi. 6,7

Bayi yang dikandung oleh ibu yang menderita toksoplasmosis mempunyai risiko yang

tinggi untuk menderita toksoplasmosis kongenital. Secara keseluruhan, kurang dari

bayi yang mengalami toksoplasmosis kongenital menampakkan gejala klinis pada saat

lahir. Sebagian besar baru akan memperlihatkan gejala kemudian hari. Gejala yang

nampak adalah berat lahir rendah, hidrosepalus, hepatosplenomegali, ikterus dan anemia.

Gejala defisit neurologis seperti kejang-kejang, kalsifikasi intrakranial, retardasi mental

dan hidrosefalus atau mikrosefalus. Pada kedua kelompok biasanya terjadi korioretinitis.
6

5. Diagnosis
Diagnosis toksoplasmosis dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu :

a. Gejala klinis

Diagnosis dari gejala klinis kadang kala agak sulit, dikarenakan sebagian besar

penderita tidak menunjukkan gejala apapun (asimptomatik). 6

b. Pemeriksaan darah atau jaringan tubuh penderita(histopatologi)

Diagnosis dapat ditegakkan jika ditemukan parasit di dalam jaringan atau cairan tubuh

penderita. Hal ini dilakukan dengan cara menemukan secara langsung parasit yang

diambil dari cairan serebrospinal, atau hasil biopsi jaringan tubuh yang lainya. Namun

diagnosis berdasarkan penemuan parasit secara langsung jarang dilakukan karena

kesulitan dalam hal pengambilan spesimen yang akan diteliti.6

c. Pemeriksaan serologis

Pemeriksaan serologis dilakukan dengan dasar bahwa antigen toksoplasma akan

membentuk antibodi yang spesifik pada serum darah penderita. Titer di atas 1/512,

sangat mungkin menunjukkan infeksi akut.Penelitian menunjukkan peningkatan

kejadian mikrosefali, ketulian dan retardasi mental padawanita dengan titer 1/256 atau

lebih.Pemeriksaan IgG/IgM paling baik pada wanita hamil pada umur 10-12 minggu

kehamilan atau uterus seukuran telur angsa atau 2 -3 jari di atas simpisis. Kalau

hasilnya negatif akan diulang pada usia kehamilan 22-24 minggu. Bila ternyata

hasilnya positif segera langsung diobati atau dilakukan abortus terapetik jika pasien

menghendaki.6

Pemeriksaan serologi yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis yaitu

Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay(ELISA). Metode ELISA(Enzym Linked

Immunosorbent Assay) dengan nama TOXOLISA yang bertujuan untuk mendeteksi

antibody IgM dan IgG terhadap Toxoplasma gondii pada serum manusia.6
Gambar Pemeriksaan serologis6

d. PCR(Polymerase Chain Reaction)

Teknik PRC memungkinkan diagnosis prenatal diperoleh dalamsehari dengan

melakukan pemeriksaan terhadap cairan ketuban. Juga dapat dikerjakan

untukmendeteksi infeksi pada kehamilan kurang dari 20 minggu.Teknik PCR ini dapat

mendeteksi toksoplasma yang berasal dari darah, cairan serebrospinal, dan cairan

amnion.6

e. Diagnosis Pranatal

Diagnosis Pranatal dipandang lebih efektif untuk menghindari atau menekan risiko

toksoplasmosis kongenital karena upaya prevensi primer pada ibu hamil berupa nasihat

menghindari makanan atau minuman yang kurang dimasak kurang berhasil. Oleh

karena itu, upaya diagnostik pranatal disebut sebagai pervalensi sekunder. Diagnosis

pranatal umumnya dilakukan pada usia kehamilan 14 27 minggu (trimester II).

Aktivitas diagnosis pranatal meliputi sebagai berikut :

Pemeriksaan dengan teknik PCR guna mendeteksi DNA Toksoplasma gondii pada

darah janin atau cairan ketuban yaitu dengan cara kordosentesis (pengambilan

sampel darah janin melalui tali pusat) ataupun amniosentesis (aspirasi cairan
ketuban ).

Pembiakan darah janin ataupun cairan ketuban dalam kultur sel fibroblast, ataupun

diinokulasi ke dalam ruang peritoneum tikus diikuti isolasi parasit, ditunjukkan

untuk mendeteksi adanya parasit.

Pemeriksaan dengan teknik ELISA pada darah janin guna mendeteksi antibodi IgM

janin spesifik (anti-toksoplasma).

Diagnosa pasti infeksi terhadap janin adalah dengan menemukan IgM dalam darah

talipusat. Hasil biakan plasenta pada pasien dengan infeksi toksoplasma menunjukkan

angka positif sebesar 90%. Penyakit ini jarang terdiagnosa semasa kehamilan oleh

karena sebagian besar bersifat subklinis.6

Diagnosa ditegakkan bila IgM positif dan titer IgG yang meningkat 4 kali lipat pada

pemeriksaan ulang selang waktu 2 3 minggu.Titer IgM akan tetap tinggi sampai 3 4

bulan.6

Prinsip dari pemeriksaan ini adalah deteksi adanya zat anti (antibodi) yang spesifik

taerhadap kuman penyebab infeksi tersebut sebagai respon tubuh terhadap adanya

benda asing (kuman. Antibodi yang terburuk dapat berupa Imunoglobulin M (IgM) dan

Imunoglobulin G (IgG).

Pemeriksaan tambahan berupa penetapan enzim liver, platelet, leukosit (monosit dan

eosinofil) dan limfosit khususnya rasio CD4 dan CD8.Diagnosis toksoplasma

kongenital ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan yang menunjukkan danya IgM

janin spesifik (anti-toksoplasma) dari darah janin. Ditemukan parasit pada kultur

ataupun inokulasi tikus dan DNA dari Toksoplasmosis gondii dengan PCR darah janin

ataupun cairan ketuban.6

Didahului oleh skrining serologik maternal atau ibu hamil, hasilnya harus memenuhi

kriteria tertentu sebelum dilanjutkan ke prosedur diagnostik pranatal. Jika satu dari

empat syarat di bawah ini terpenuhi akan dilakukan kordosintesis atau amnosintesis.6
Antibodi IgM (+)

Serokonversi dengan interval waktu 2 3 minggu, perubahan dari seronegatif

menjadi seropositif IgM dan IgG.

Titer IgG yang tinggi > 1/1024 (ELISA)

Aviditas IgG < 200

Ultrasonografi serial setiap 3 minggu dilakukan untuk menentukan adanya kelainan,

misalnya: asites, pembesaran rongga otak (ventrikulomegali) (V/H), pemesaran hati

(hepatomegali), perkapuran (kalsifikasi) otak. Bila pada janin terdapat kelainan maka

perlu dipertimbangkan untuk peng-akhiran (terminasi) kehamilan.Bila mungkin,

dilakukan pengambilan darah janin pada kehamilan 20-32 minggu untuk pembiakan

parasit (inokulasi) pada mencit. Bila inokulasi memberikan hasil positif maka perlu

dipertimbangkan untuk pengakhiran kehamilan.6

Setelah bayi lahir perlu dilakukan pemeriksaan lengkap terhadap bayi, antara lain:

pengambilan darah talipusat ketika bayi baru saja lahir untuk pemeriksaan serologis

antibodi janin atau isolasi T. gondii, pemeriksaan titik-cahaya mata (funduskopi), dan

USG atau foto rontgen tengkorak.

Diagnosis toksoplasma bawaan pada bayi lebih sukar ditetapkan karena gejala klinis

dari infeksi toksoplasma bawaan sangat beraneka ragam dan seringkali subklinis (tidak

terlihat) pada neonatus. Oleh karena itu perlu dilakukan juga pemeriksaan serologis

pada neonatus, terutama bilamana diketahui ibunya terinfeksi selama kehamilan.

Antibodi IgG dapat menembus plasenta, sedangkan antibodi IgM tidak dapat menembus

plasenta. Dengan demikian, apabila pada darah bayi ditemukan antibodi IgG mungkin

hanya merupakan pindahan (transfer) IgG ibu, dan lambat-laun akan habis. Pada usia 2-

3 bulan, bayi sudah dapat membentuk antibodi IgG sendiri, bilamana bayi terinfeksi

toksoplasma bawaan maka konsentrasi IgGnya akan mulai meningkat lagi setelah IgG

yang diperoleh dari ibunya habis. Tetapi jika ditemukan antibodi IgM, maka ini
menunjukkan infeksi nyata pada bayi (toksoplasmosis bawaan).6

6. Pencegahan

Perlu diadakan tindakan tindakan pencegahan selain pengobatan yang telah ada :

A. Deteksi dini

1. Skrining pada wanita hamil, yaitu memeriksa titer zat anti Toxoplasma yang mulai

hamil, dan diulang 2-3 minggu kemudian pada wanita yang seronegatif.

Sebaiknya dilakukan pada wanita sebelum hamil.

2. Dianjurkan agar calon suami-isteri menjalani pemeriksaan serodiagnosis sebelum

pernikahan.

3. Setiap wanita infertil primer/sekunder dengan gejala infeksi-infeksi subklinis,

sebaiknya dilakukan serodiagnosis terhadap Toxoplasmosis, kuman TORCH

(Toxoplasma, Rubella, Cytomegalo virus dan Herpes simplex virus).7

4. Melakukan diagnosis prenatal, seperti memeriksa darah fetus langsung terhadap

kontaminasi darah ibu, mengisolasi parasit dengan mengokulasi darah fetus pada

tikus (mice); ataupun pemeriksaan serologic dari IgM (Immunosorbent assay) dan

IgG (dye test), ultrasound examination, dan lain-lain.

5. Memeriksa titer zat anti Toxoplasma IgG pada anak beberapa kali dalam tahun

pertama dan memeriksa IgM pads neonatus. Biasanya IgG yang diperiksa karena

lebih mudah dan murah, sedangkan IgM hanya dilihat pada bulan-bulan pertama

saja dan lebih mahal dan sukar ditemukan (hanya 25%).

6. Setiap bayi dengan gejala meningoensefalitis yang disertai gejala sepsis,

hepatomegali, ikterus dan sebagainya, harus diperiksa titer antibodi Toxoplasma.

7. Tiap anak atau orang dewasa dengan immunodefisiensi oleh obat imunodepresi,

kortikosteroid jangka panjang ataupun penyakit AIDS, harus diperiksa terhadap


Toxoplasma untuk mendeteksi timbulnya reaktivasi infeksi kronik. 7

B. Pencegahan (terutama pada wanita hamil)

1. Memelihara kebersihan lingkungan, kucing binatang peliharaan dan lakukan

vaksinasi yang teratur

2. Wanita hamil jangan berdekatan dengan kucing

3. Mencuci dengan baik semua makanan yang tidak dimasak

4. Memasak daging sampai cukup matang (70C)

5. Mencuci tangan sebelum makan dan setelah memegang daging mentah pada

waktu memasak

6. Memakai sarung tangan jika berkebun

7. Mencegah kontaminasi lalat dan lipas pada makanan 7

7. Tatalaksana

1. Kehamilan dengan infeksi akut

Spiramicin

Suatu antibiotika macrolide dengan spektrum antibakterial; konsentrasi tertentu

yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan ataupun membunuh organisme

belum diketahui. Di jaringan obat ini ditemukan kadar atau konsentrasi yang tinggi

terutama pada plasenta tanpa melewatinya serta aktif membunuh takizoit sehingga

menekan transplasental. Kelebihan spiramicin efek sampingnya lebih rendah dan

lebih ringan untuk wanita hamil, janin dan neonatus karena tidak mempunyai efek

teratogenik. Kadar puncak dalam plasma tercapai setelah 1,5 3 jam dan waktu

paruh 8 jam. Kadar yang tinggi dalam jaringan lebih lama bertahan daripada kadar

dalam darah. Pada jaringan plasenta konsentrasi sampai 5 kali lebih besar dari

serum ibu. Spiramycin tidak menembus plasenta dengan baik sehingga

amniosentesis dan pemeriksaan PCR untuk melihat adanya toksoplasma gondii


harus dikerjakan sekurangnya 4 minggu pasca infeksi maternal akut pada trimester

ke II . Bila hasil pemeriksaan PCR negatif, Spiramycin dapat diteruskan sampai

akhir kehamilan. Bila hasil pemeriksaan PCR positif maka dugaan sudah adanya

infeksi pada janin harus diterapi dengan obat lain.Spiramisin pada orang dewasa

diberikan 2 4 g/hari peroral dibagi dalam 4 dosis untuk 3 minggu, diulangi setelah

2 minggu sampai kehamilan aterm.8

Piremitamin

Merupakan fenilprimidin obat malaria, terbukti sebagai pengobatan radikal pada

hewan eksperimental yang dikenakan infeksi toksoplasmosis. Piremitamin bersifat

lipofilik dengan segera diserap disaluran cerna dan mempunyai waktu paruh 4 5

hari. Regimen piremitamin pada dewaswa dimulai dengan dosis loading sebanyak 2

x 100 mg pada hari pertama, dosis berikutnya adalah 20-50mg/hari selama 2-4

minggu pada penderita yang mendapatkan immunodepressant termasuk wanita

hamil trimester ke-2 dan ke-3.

Efek sampingnya selain antagonis asam folat adalah suprsi sumsum tulang yang

sifatnya tergantung dosis, oleh karena itu pemeriksaan darah tepi dan hitung

trombosit perlu dikerjakan 2 kali seminggu. Kejadian supresi sumsum tulang

dikurangi dengan pemberian asam folinat. Dosis asam folinat 5-10 mg diberikan

perhari bersama piremitamin. Efek samping lainnya yaitu gangguan saluran cerna,

sakit kepala dan rasa tidak enak di mulut.

Piremitamin dan sulfadiazin bekerja sinergik menghasilkan khasiat 8 kali lebih

besar terhadap toksoplasma. Kombinasi pyrimethamine and sulfadiazine, (folic acid

antagonists dengan efek sinergi) digunakan untuk menurunkan derajat infeksi

kongenital dan meningkatkan proporsi neonatus tanpa gejala.Kedua obat ini bekerja

memblokir jalur metabolisme asam folat dan asam para aminobenzoat parasit

karena menghambat enzim dihidrofolat reduktase dengan akibat terganggunya


pertumbuhan stadium takizoit parasit. Kombinasi kedua obat ini mengakibatkan

efek toksisitas tinggi. Sulfadiazin menimbulkan reaksi hematuria dan

hpersensitivitas.

Piremitamin menyebabkan depresi sumsum tulang dengan akibat penurunan

platelet, leukopenia, dan anemia yang menyebabkan tendensi perdarahan.

Dilaporkan pula piremitemin bersifat teratogenik, pemakaian obat ini dimulai

trimester II setelah umur kehamilan 14 minggu guna menghindari efek teratogenik

pada janin. Kombinasi piremitamin dosis 1 mg/kg/hari secara oral untuk 3 4 hari,

Sulfadiazin 50 100 mg/kg/hari/oral dibagi 2 dosis serta asam folinik 2 x 5 mg

injeksi intramuskular tiap minggu selama pemakaian piremitamin.8

Asam Folinat untuk mencegah kerusakan pada janin

2. Bagi bayi baru lahir

Pada bayi baru lahir dengan infeksi Toxoplasma, dapat diberikan kemoterapi anti-

Toxoplasma kombinasi yang terdiri dari pyrimethamine 1mg/kgBB per hari selama 2

bulan dilanjutkan dengan 1 mg/kgBB tiap 2 hari selama 10 bulan, sulfadiazine 50

mg/kgBB per hari, serta asam folat 5-10 mg 3 kali seminggu untuk mencegah efek

samping dari pyrimethamine.

Selain pemberian obat-obatan, follow up yang teratur juga diperlukan untuk mendeteksi

manifestasi penyakit lebih awal, melakukan terapi tambahan atau modifikasi terapi bila

diperlukan, dan menentukan prognosa. Hitung darah lengkap 1-2 kali per minggu untuk

pemberian dosis pyrimethamine harian dan 1-2 kali per bulan untuk pemberian dosis

pyrimethamin tiap 2 hari dilakukan untuk memonitor efek toksik dari obat.Diperlukan

pula pemeriksaan pediatrik yang lengkap, meliputi pemeriksaan oftalmologi setiap 3

bulan sampai usia 18 bulan kemudian setiap tahun sekali, serta pemeriksaan neurologis

tiap 3-6 bulan sampai usia 1 tahun.8

3. Penderita Imunodefisiensi
Kondisi penderita akan cepat memburuk menjadi fatal bila tidak diobati. Pengobatan

sama dengan toksoplasmosis kongenital menggunakan piremitamin, sulfadiazin dan

asam folinik dalam jangka panjang.8

8. Komplikasi

Trias klasik toksoplasma berupa :

1. Hidrosepalus

Ruangan CSS mulai terbentuk pada minggu kelima masa embrio, terdiri dari

sistem ventrikel, sisterna magna pada dasar otak dan ruang subarakhnoid yang

meliputi seluruh susunan saraf. CSS yang dibentuk dalam sistem ventrikel oleh

pleksus khoroidalis kembali ke dalam peredaran darah melalui kapiler dalam

piamater dan arakhnoid yang meliputi seluruh susunan saraf pusat (SSP). Cairan

likuor serebrospinalis ini terdapat dalam suatu sistem yang terdiri dari dua bagian

yang berhubungan satu sama lainnya : (1) Sistem internal terdiri dari dua ventrikel

lateralis, foramen-foramen interventrikularis (Monroe), ventrikel ke-3, akuaduktus

Sylvii dan ventrikel ke-4. (2) Sistem eksternal terdiri dari ruang-ruang subaraknoid,

terutama bagian-bagian yang melebar disebut sisterna. Hubungan antara sistem

internal dan eksternal ialah melalui kedua apertura lateralis ventrikel ke-4 (foramen

Luschka) dan foramen medialis ventrikel ke-4 (foramen Magendie). 9

Pada orang dewasa normal jumlah CSS 90-150 ml, anak umur 8-10 tahun 100-

140 ml, bayi 40-60 ml, neonatus 20-30 ml dan pada prematur kecil 10-20 ml. Cairan

yang tertimbun dalam ventrikel biasanya antara 500-1500 ml, akan tetapi kadang-

kadang dapat mencapai 5 liter. 9


Aliran CSS yang normal ialah dari ventrikel lateralis melalui foramen monroe ke

ventrikel III, dari tempat ini melalui saluran yang sempit akuaduktus Sylvii ke

ventrikel IV dan melalui foramen Luschka dan Magendie ke dalam ruang

subarakhnoid melalui sisterna magna. Penutupan sisterna basalis menyebabkan

gangguan kecepatan resorbsi CSS oleh sistem kapiler. 9

Dalam keadaan normal tekanan likuor berkisar antara 50-200 mm, praktis sama

dengan 50-200 mmH2O. Ruang tengkorak bersama dura yang tidak elastis

merupakan suatu kotak tertutup yang berisikan jaringan otak dan medula spinalis

sehingga volume otak total (kraniospinal) ditambah dengan volume darah dan likuor

merupakan angka tetap (Hukum Monroe Kellie). Bila terdapat peningkatan volume

likuor akan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Keadaan ini terdapat

pada perubahan volume likuor, pelebaran dura, perubahan volume pembuluh darah

terutama volume vena, perubahan jaringan otak (bagian putih otak berkurang pada

hidrosefalus obstruktif). Pada umumnya volume otak serta tekanan likuor berubah

oleh berbagai pengaruh sehingga volume darah selalu akan menyesuaikan diri. 9

Hidrosefalus secara teoritis hal ini terjadi sebagai akibat dari tiga mekanisme yaitu :

- Produksi likuor yang berlebihan

- Peningkatan resistensi aliran likuor

- Peningkatan tekanan sinus venosa

Sebagai konsekuensi dari tiga mekanisme di atas adalah peningkatan tekanan

intrakranial sebagai upaya mempertahankan keseimbangan sekresi dan absorbsi.

Mekanisme terjadinya dilatasi ventrikel masih belum dapat dipahami secara


terperinci, namun hal ini bukanlah hal yang sederhana sebagaimana akumulasi akibat

dari ketidakseimbangan antara produksi dan absorbsi. Mekanisme terjadinya dilatasi

ventrikel cukup rumit dan berlangsung berbeda-beda tiap saat selama perkembangan

hidrosefalus. 9

Dilatasi ini terjadi sebagai akibat dari :

1. Kompresi sistem serebrovaskuler

2. Redistribusi dari likuor serebrospinalis atau cairan ekstraseluler atau keduanya

di dalam system susunan saraf pusat

3. Perubahan mekanis dari otak (peningkatan elastisitas otak, gangguan

viskoelastisitas otak, kelainan turgor otak)

4. Efek tekanan denyut likuor serebrospinalis (masih diperdebatkan)

5. Hilangnya jaringan otak

6. Pembesaran volume tengkorak (pada penderita muda) akibat adanya regangan

abnormal pada sutura kranial.

Produksi likuor yang berlebihan hampir semua disebabkan oleh karena tumor

pleksus khoroid (papiloma atau karsinoma). Adanya produksi yang berlebihan akan

menyebabkan tekanan intrakranial meningkat dalam mempertahankan keseimbangan

antara sekresi dan resorbsi likuor, sehingga akhirnya ventrikel akan membesar.

Adapula beberapa laporan mengenai produksi likuor yang berlebihan tanpa adanya

tumor pada pleksus khoroid, di samping juga akibat hipervitaminosis A.Gangguan

aliran likuor merupakan awal dari kebanyakan kasus hidrosefalus. Peningkatan

resistensi yang disebabkan oleh gangguan aliran akan meningkatkan tekanan likuor

secara proporsional dalam upaya mempertahankan resorbsi yang seimbang. 9

Peningkatan tekanan sinus vena mempunyai dua konsekuensi, yaitu peningkatan

tekanan vena kortikal sehingga menyebabkan volume vaskuler intrakranial

bertambah dan peningkatan tekanan intrakranial sampai batas yang dibutuhkan untuk
mempertahankan aliran likuor terhadap tekanan sinus vena yang relatif tinggi.

Konsekuensi klinis dari hipertensi vena ini tergantung dari komplians tengkorak.

Bila sutura kranial sudah menutup, dilatasi ventrikel akan diimbangi dengan

peningkatan volume vaskuler; dalam hal ini peningkatan tekanan vena akan

diterjemahkan dalam bentuk klinis dari pseudotumor serebri. Sebaliknya, bila

tengkorak masih dapat mengadaptasi, kepala akan membesar dan volume cairan akan

bertambah. 9

Gelombang ultrasound tidak dapat menembus tulang skull tetapi masih digunakan

dalam pencitraan otak neonatal dimana dilakukan melalui fontanela anterior yang

masih terbuka. Oleh karena itu penggunaannya terbatas antara kelompok usia 6 bulan

sampai 2 tahun Ketika hydrochepalus didiagnosis dalam kehidupan intrauterin,

Anomali SSP/ ekstrakranial harus dicari seperti meningomyelocele, cacat spina

bifida. Sering hydrochepalus dapat didiagnosis pada usia kehamilan 15 minggu.

Dalam rahim, batas untuk atrium ventrikel yaitu 10mm dianggap signifikan untuk

dicurigai hydrochepalus. 9

Gambar 3. Terlihat pembesaran ventrikel pada kelainan hidocepalus


2. Kalsifikasi intrakranial

Gambar 4. Klasifikasi intrakranial9

3. Korioretinitis

Chorioretinitis (CR) adalah suatu proses peradangan yang melibatkan traktus

uvealis bagian posterior, yaitu koroid.Istilah chorioretinitis sering di sama artikan

dengan uveitis posterior. Pada uveitis posterior, retina juga hampir selalu terinfeksi

secara sekunder. Ini dikenal dengan chorioretinitis.

Chorioretinitis dapat terjadi akibat infeksi bakteri ataupun reaksi radang lainnya.

Proses inflamasi ini akan menyebabkan perubahan kondisi di strukur uvea itu sendiri.

Bila peradangan chorioretinitis terjadi di bagian perifer, maka tidak akan

mengganggu pada tajam penglihatan. Tajam penglihatan pada keadaan ini hanya

terjadi pada akibat penyerbukan sel radang ke dalam badan kaca atau media

penglihatan. Makin tebal kekeruhan, akan mengakibatkan bertambah beratnya

penurunan ketajaman penglihatan. Radang infeksi ini biasanya disebabkan infeksu

yang meluas, seperti tuberculosis dan infeksi fokal lainnya. 9

Bila peradangan mengenai daerah macula lutea, maka penglihatan akan cepat

menurun tanpa terlihat tanda kelainan dari luar. Biasanya radang sentral ini
disebabkan karena infeksi congenital akibat toxoplasmosis. Akibat terbentuknya

jaringan fibroblast, akan terbentuk jaringan organisasi yang merusak seluruh susunan

jaringan koroid dan retina. Jaingan fibrosis ini akan berwarna pucat putih. Warna

putih ini juga terjadi akibat sclera terlihat melalui koroid yang menipis. Biasanya

bersama-sama dengan keadaan ini terjadi pergeseran pigmen koroid. 9

Pada pemeriksaan funduskopi koroid akan terlihat daerah yang meradang

berwarna kuning akibat tertimbunnya sel radang. Gambaran pembuluh darah

diatasnya atau retina semakin jelas terlihat pada dasar fundus yang lebih pucat ini.

Bila sel badan koroid masuk ke dalam retina, maka retina akan lebih pucat.

Pembuluh darah retina akan terbungkus sel radang yang akan mengakibatkan warna

pembuluh darah ini tidak cerah lagi. 9

Gambar 5. Korioretinitis

Trias tersebut jarang terlihat. Sekitar 75% kasus yang terinfeksi tidak memperlihatkan

gejala saat persalinan.Jika penyakit berlanjut maka dapat menimbulkan komplikasi

berupa radang paru (pneumonia), radang pada jaringan otot jantung (miokarditis), radang

pada selaput luar jantung (perikarditis), dan selain itu dapat juga terjadi gangguan pada

saat kehamilan dan persalinan berupa abortus, lahir mati, atau lahir cacat. 9

Macam-macam penyakit cacat akibat infeksi toxoplasmosis antara lain :

1. Hidrochepalus : kepala besar akibat penyumbatan saluran cairan otak

2. Retinokoroiditis : radang pada lapisan koroid dan retina mata

3. Kalsifikasi intrakranial : pengapuran jaringan otak


4. Jika disertai kelainan psikomotorik dikenal dengan sebutan tetrade sabin 9

9. Prognosis

Bayi yang terinfeksi toxoplasma sejak lahir apabila tidak dirawat akan memiliki

prognosa yang buruk. Pada beberapa kasus yang tidak mendapatkan perawatan, didapatkan

perkembangan menjadi korioretinitis, kalsifikasi serebral, serangan kejang, dan retardasi

psikomotor.Kini, manfaat dari diagnosa dini pada periode antenatal, terapi antenatal, dan

terapi setelah bayi lahir terbukti dalam menurunkan frekuensi dari sekuele neurologis

mayor.10

DAFTAR PUSTAKA

1. American College of Obstetricians and Gynecologists. Perinatal viral and parasitic

infections. Technical Bulltein no 177.Washington DC. ACOG 2013

2. Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaan-RSHS

Bandung. Pedoman Diagnosis dan Terapi Obstetri dan Ginekologi RS Hasan Sadikin

Bandung. Bandung. 2005

3. Chandra G. Toxoplasma Gondii : Aspek Biologi, Epidemiologi, Diagnosis dan

Penatalaksanaannya. Medika. , No 1; 297-304.2001

4. Cunningham FG. MacDonald PC. Gant NF et al. Williams Obstetric 20th ed. London.

Appleton & Lange, 2007.

5. Friedman EA, Acker DB, Sachs BP. Seri Skema Diagnosis dan Penatalaksanaan Obstetri

(terjemahan). Edisi kedua. Jakarta ; Binarupa Aksara, 2008


6. Gandahusada S, Sutanto I. Kumpulan Makalah Simposium Toxoplasmosis. Jakarta : FK UI,

2010.

7. Hadijanto B. Toksoplasmosis dalam Kehamilan. Simposium Kemajuan Obstetri III.

Semarang : POGI Cab. Semarang, 2001.

8. Nies BM, Lien JM, Grossman JH III. TORCH Virus-induced Fetal Disease, in. Reece EA,

Hobbins JC, Mahoney MJ. Medicine of the Fetus and Mother. Philadelpia : JB Lippincott

Co, 349-52. 2010

9. Couvreur J, Desmonts G, Thulliez P. Prophylaxis of congenital toxoplasmosis. Effects of

spiramycin on placental infection. J Antimicrob Chemother. 2008

10. Cunningham, F. Gary, Norman F. Gant, Kenneth J. Leveni, Larry C. Gilstrap, et al. 2001.

William Obstetrics (21st ed). Terjemahan oleh Hartono. A., dkk. jakarta:EGC.2006.
LEPTOSPIROSIS

1. Definisi

Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh mikroorganisme Leptospira

interogans tanpa memandang bentuk spesifik serotipenya. Penyakit ini pertama kali

dikemukakan oleh Weil pada 1886. Bentuk berat penyakit ini dikenal dengan Weils disease

(Zein, 2008).

Leptospirosis atau penyakit kuning adalah penyakit penting pada manusia, tikus, anjing,

babi dan sapi. Penyakit ini disebabkan oleh spirochaeta leptospira icterohaemorrhagiae yang

hidup pada ginjal dan urine tikus (Swastiko, 2009).

2. Epidemiologi

Secara epidemiologi, wilayah penyebaran leptospirosis umumnya pada daerah tropis dan

subtropics. Sebagian besar negara di Asia Tenggara dinyatakan sebagai daerah endemis

leptospirosis. Penyakit yang disebut re-emerging infectious disease ini dalam perkembangannya

dipengaruhi oleh kondisi iklim, terutama pada musim penghujan serta kemungkinan adanya

kontak dengan lingkungan yang terkontaminasi leptospira (Depkes RI, 2015).

Secara khusus terkait penyakit Leptospirosis di Indonesia, kejadian luar biasa (KLB)

Leptospirosis terjadi di Kabupaten Kota baru Kalimantan Selatan pada tahun 2014. Peningkatan

kasus terjadi di Provinsi Jawa Tengah dan DKI Jakarta setelah terjadi banjir besar yang cukup

lama. Data hingga November 2014, Kemenkes mencatat 435 kasus dengan 62 kematian akibat

penyakit Leptospirosis (Depkes RI, 2015).

3 Etiologi

Leptospirosis disebabkan kuman dari genus Leptospira dari famili Leptospiraceae.

Kuman ini berbentuk spiral, tipis, halus dan fleksibel dengan ukuran panjang 5-15 m, lebar 0,1-

0,2 m. Salah satu ujung leptospira berbentuk bengkok seperti kait. Leptospira tidak berflagel,

namun dapat melakukan gerakan rotasi aktif. Kuman ini tidak mudah diwarnai, namun dapat
diwarnai dengan impregnasi perak (Jawetz, 2010).

Gambar 2.1. Mikrograf Leptospira (Gomp, 2014)

Leptospira tumbuh baik pada kondisi aerobik di suhu 28-30C. Pada media yang

mengandung serum kelinci (Fletchers medium), juga pada media yang mengandung serum sapi

(Ellinghausen-Mc Cullough-Johnson-Harris/ EMJH medium), pertumbuhannya terlihat dalam

beberapa hari sampai 4 minggu.

Leptospira mati dengan pemanasan suhu 50 derajat celcius selama 10 menit atau 60

derajat selama satu menit. Leptospira juga akan mati pada kondisi tanah yang kering. Pada suhu

kamar leptospira dapat bertahan selama dua hari.

Genus Leptospira sendiri terdiri dari dua spesies yaitu L.interrogans (yang patogen) dan

L.biflexa (yang bersifat saprofit/ nonpatogen). Spesies L.interrogans dibagi dalam beberapa

serogrup yang terbagi lagi menjadi lebih 250 serovar berdasarkan komposisi antigennya.

Beberapa serovar L.interrogans yang patogen pada manusia adalah L.icterohaemorrhagiae,

L.canicola, L.pomona, L.grippothyphosa, L.javanica, L.celledoni, L.ballum, L.pyrogenes,

L.bataviae, L. hardjo, dan lain-lain (Jawetz,2010).

Siklus hidup leptospira dijelaskan oleh gambar di bawah ini:


Gambar 2.2. Siklus Hidup Leptospira

4 Patofisiologi

Leptospirosis tidak menular langsung dari pasien ke pasien. Masa inkubasi leptospirosis

adalah dua hingga 26 hari. Sekali berada di aliran darah, bakteri ini bisa menyebar ke seluruh

tubuh dan mengakibatkan gangguan khususnya hati dan ginjal (Gasem MH, 2009).

Penularan leptospirosis pada manusia terjadi secara kontak langsung dengan hewan

terinfeksi Leptospira. Penularan tidak langsung terjadi melalui genangan air, sungai, danau,

selokan saluran air dan lumpur yang tercemar urin hewan seperti tikus, umumnya terjadi saat

banjir. Wabah leptospirosis dapat juga terjadi pada musim kemarau karena sumber air yang sama

dipakai oleh manusia dan hewan. Sedangkan untuk penularan secara langsung dapat terjadi pada

seorang yang senantiasa kontak dengan hewan (peternak, dokter hewan). Penularan juga dapat

terjadi melalui air susu, plasenta, hubungan seksual, pecikan darah manusia penderita leptospira

meski kejadian ini jarang ditemukan (Gasem MH, 2009).

Leptospira masuk kedalam tubuh manusia melalui kulit dan membrane mukosa yang

terluka kemudian masuk kedalam aliran darah dan berkembang khususnya pada konjungtiva dan
batas oro-nasofaring. Kemudian terjadi respon imun seluler dan humoral sehingga infeksi ini

dapat ditekan dan terbentuk antibody spesifik. Leptospira dapat bertahan sampai ke ginjal dan

sampai ke tubulus konvoluntus sehingga dapat berkembang biak di ginjal. Leptospira dapat

mencapai ke pembuluh darah dan jaringan sehingga dapat diisolasi dalam darah dan LCS pada

hari ke 4-10 dari perjalanan penyakit. Pada pemeriksaan LCS ditemukan pleocitosis. Pada

infiltrasi pembuluh darah dapat merusak pembuluh darah yang dapat menyebabkan vasculitis

dengan terjadi kebocoran dan ekstravasasi darah sehingga terjadi perdarahan. Setelah terjadi

proses imun leptospira dapat lenyap dari darah setelah terbentuk agglutinin. Setelah fase

leptospiremia 4-7 hari, mikroorganisme hanya dapat ditemukan dalam jaringan ginjal dan okuler.

Dalam perjalana pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin yang bertanggung jawab

atas terjadinya keadaan patologi pada beberapa organ. Lesi yang muncul terjadi karena

kerusakan pada endotel kapiler (Zein, 2008).

Organ-organ yang sering terkena leptospira adalah sebagai berikut:

1. Ginjal

Nefritis Interstisial dengan infiltrasi sel mononuclear merupakan bentuk lesi yang dapat

terjadi tanpa disertai gangguan fungsi ginjal. Sedangkan jika terjadi gagal ginjal akibat

nekrosis tubular akut

2. Hati

Pada organ hati terjadi nekrosis sentilobuler fokal dengan infiltrasi sel limfosit fokal dan

proliferasi sel Kupfer.

3. Jantung

Kelainan miokradium dapat fokal ataupun difus berupa interstisial edema dengan

infiltrasi sel mononuclear dan plasma. Nekrosis berhubungan dengan infiltrasi neutrofil.

Dapat terjadi perdarahan fokal dan juga endokarditis.

4. Otot Rangka

Pada otot rangka terjadi nekrosis, vakuolisasi dan kehilangan striata. Nyeri otot yang
terjadi pada leptospira disebabkan oleh invasi langsung leptospira.

5. Mata

Leptospira dapat masuk ke uvea anterior yang dapat menyebabkan uveitis anterior pada

saat fase leptospiremia.

6. Pembuluh Darah

Bakteri yang menempel pada dinding pembuluh darah dapat terjadi vaskulitis dengan

manifetasi perdarahan termasuk pada mukosa, organ-organ visceral dan perdarahan

bawah kulit.

7. Susunan Saraf Pusat (SSP)

Manifestasi masuknya bakteri ke dalam LCS adalah meningitis. Meningitis terjadi

sewaktu terbentuknya respon antibodi, bukan pada saat masuk ke LCS. Terjadi penebalan

meninges dengan peningkatan sel mononuclear arakhnoid. Meningitis yang terjadi adalah

meningitis aseptic, biasanya paling sering disebabkan oleh L.canicola.

8. Weils Disease

Weil disease merupakan leptopsirosis yang berat ditandai dengan ikterus biasanya

disertai dengan perdarahan, anemia, azotemia, gangguan kesadaran dan demam tipe

continue. Serotype leptospira yang menyebabkan weil disease adalah serotype

icterohaemorrhagica. Gambaran klinis bervariasi berupa gangguan renal, hepatic dan

disfungsi vascular (Zein, 2008).

5 Manifestasi Klinis

Terdapat dua bentuk manifestasi klinis penyakit leptospirosis, yaitu ringan (anikterik) dan

berat (ikterik, atau Weils syndrome). Masa inkubasi leptospirosis adalah 2-20 hari, dari sejumlah

individu yang terpapar, 90% akan berkembang menjadi leptospirosis anikterik, dan 10% menjadi

leptospirosis ikterik (Nasronudin, 2007).


Tabel 2.1. Manifestasi Klinis Leptospirosis

Manifestasi klinis leptospirosis berlangsung bifasik yaitu fase septik dan fase imun. Fase

septik berakhir pada minggu pertama dengan manifestasi flu like syndrome. Pada fase ini

leptospira ditemukan di dalam darah. Kemudian diikuti fase imun yang berlangsung pada hari ke

4-30 dengan ditandai produksi antibodi dan sekresi Leptospira dalam urine (Nasronudin, 2007).
Gambar 2.3. Mnifestasi Bifasik Leptospirosis (Nasronudin, 2007)

6 Diagnosis

a. Anamnesis:

- Panas mendadak tinggi

- Sakit kepala frontal

- Mata kemerahan

- Nyeri-nyeri otot termasuk otot betis

b. Pemeriksaan Fisik:

- Injeksi silier

- Bradikardia

- Nyeri tekan otot

- Hepatomegali

- Splenomegali

- Perdarahan
(Nasronudin, 2007)

c. Pemeriksaan Penunjang:

- Darah lengkap: peningkatan laju endap darah, leukositosis atau sedikit leukopenia,

trombositopenia

- Urin lengkap: proteinuria, leukosituria, hematuria mikroskopis

- Faal ginjal: peningkatan BUN dan serum kreatinin

- Faal hepar: peningkatan SGOT, SGPT, bilirubin

- Mikroskop lapangan gelap: leptospirosis dapat dideteksi bila jumlahnya mencapai 104

Leptospira/ml.

(Nasronudin, 2007)

- Radioimmunoassay, positif: 104 105 Leptospira/ ml

- Serologis: IgM antibodi dalam darah positif pada 5-7 hari setelah muncul gejala. Genus

dan serogrup dapat ditentukan melalui MAT (microscopic aglutination test).

- Biomolekuler dengan PCR (polymerase chain reaction).

(Longo, et al, 2013).

7 Penatalaksanaan

Terapi antibiotik diberikan terutama pada leptospirosis berat. Leptospirosis ringan diobati

dengan doksisiklin, ampisilin, atau amoksisilin. Untuk leptospirosis berat, penisilin intravena G

telah lama menjadi obat pilihan, meskipun sefalosporin generasi ketiga, sefotaksim dan

ceftriaxone telah menjadi banyak digunakan. Alternatif regimen yang lain adalah ampisilin,

amoksisilin, atau eritromisin. Beberapa antibiotik lainnya mungkin berguna-misalnya, pengujian

broth microdilution telah menunjukkan kepekaan terhadap makrolid, fluoroquinolones, dan

carbapenems (Gomps, 2014).

Tabel 2.2 Antibiotik Leptospirosis


(Zein, 2008).

Pasien azotemia prarenal dilakukan rehidrasi dan pemantauan fungsi ginjal sedangkan

pasien gagal ginjal segera lakukan dialisis peritoneal. Pemantauan fungsi jantung perlu dilakukan

pada hari pertama rawat inap dengan mencakup aspek terapi kausatif, simtomatik dan supportif

(Gasem, 2009).

Prinsip umum dengan terapi suportif dan simptomatik meliputi pemberian analgetik

untuk rasa sakit. Bila perlu diberikan analgesik kuat seperti morfin atau petidin. Nyeri

kepala hebat dapat dihilangkan dengan pungsi lumbal. Pada pasien yang gelisah diberikan

penenang. Anemia berat diperbaiki dengan tranfusi darah. Keseimbangan cairan dan elektrolit

diberikan pada diare dan muntah-muntah. Pada pasien gagal ginjal dan gangguan fungsi hati

berat memerlukan terapi suportif intensif (Gasem, 2009).

Pada leptospirosis ringan yang belum ada komplikasi perlu dilakukan pirasi pemantuaan

tekanan darah, suhu, denyut nadi danrespirasi secara berkala tiap jam atau empat jam

sesuai dengankondisi klinik pasien disertai dengan pencatatan produksi urin (Gasem, 2009).

Pemberian nutrisi juga diperlukan diperhatikan. Jumlah kalori yang diberikan harus

seimbang dan suseai dengan kebutuhan agar tidak membebani fungsi hati dan ginjal yang sudah

menurun. Kalori diberikan dengan perhitungan:

0-20 kg : 100 kalori/kgBB/hari

20-30 kg : ditambahkan 50 kalori/kgBB/hari


30-40 kg : ditambahkan 25 kalori/kgBB/hari

40-50 kg : ditambahkan 10 kalori/kgBB/hari

50-60 kg : ditambahkan 5 kalori/kgBB/hari

Karbohidrat diberikan dalam jumlah cukup untuk mencegah terjadinya ketosis protein.

Protein yang mengandung asam aminoesensial, diberikan sebanyak 0,2-0,5 gram/kgBB/hari.

Pemberian kalium dibatasi sampai 40 mEq/hari karena kemungkinan sudah terjadi hiperkalemia.

Kadar natrium tidak boleh terlalu tinggi, maksimal 0,5 gram/hari (Gasem, 2009).

Hindari pemberian cairan terlalu banyak, karena akan membebani kerja hati dan ginjal.

Pemberian cairan harus memadai dan tidak berlebihan sehingga perlu dilakukan pemantauan

keseimbangan cairan secara tepat. Pada pasien dengan muntah hebat atau tidak mau

makan, diberi makanan secara parenteral (Gasem, 2009) .

Penanganan Khusus:

a . Hiperkalemia merupakan keadaan yang harus segera ditangan karena dapat

menyebabkan cardiac arrest. Sebagai tindakan darurat dapat diberikan garam kalsium

glukonas 1 gram atau glukosa insulin 10-20 U reguler insulin dalam infus dekstrosa 40%.

b. Asidosis metabolik diberikan natrium bikarbonas dengan dosis= 0,3 x kgBB x defisit

HCO3 plasma dalam mEq/L.

c. Hipertensi perlu diberikan anti hipertensi.

d. Gagal jantung diberikan pembatasan cairan, digitalis, dan diuretik.

e. Perdarahan diatasi dengan tranfusi. Perdarahan merupakan komplikasi serius

leptospirosis dan terjadi akibat penumpukan bahan toksik dan trombositopati.

(Gasem, 2009).

8 Pencegahan

Pencegahan leptospirosis cukup sulit karena paparan leptospira sulit diprediksi. Sering

diperlukan vaksinasi pada binatang peliharaan, pengendalian tikus, dan desinfeksi lingkungan

kerja. Juga diberlakukan larangan berenang di daerah tercemar (Tjokroprawiro, 2007).


9 Prognosis

Semua kasus leptospirosis ringan dapat sembuh sempurna, berbeda den-gan leptospirosis

berat yang mempunyai angka CFR tinggi, antara 5 -40%. Prognosis ditentukan oleh berbagai

faktor seperti virulensi kuman leptospira, kondisi fisik'pasien, umur pasien, adanya ikterik, adanya

gagal ginjal akut, gangguan fungsi hati berat seru cepat lambatnya penanganan oleh tim

medik.Faktor-faktor sebagai indikator prognosis mortalitas, yaitu :

- usia > 60 tahun

- Produksi urin

- Kadar kreatinin > 10 mg/dL

- Kadar ureum> 200 mg/dL

- Kadar albumin serum

- Kadar bilirubin > 25 mg/dL

- Trornbositopenia

- Anemia

- Adanya komplikasi

- Adanya sesak nafas

- Adanya abnormalitas EKG

- Adanya infiltrat alveolar pada pencitraan paru.

DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI. 2015. www.depkes.go.id. Diakses pada 28 Februari 2015 pukul 17.00 WIB.

Gasem MH et al. 2009. Long pentraxin PTX3 is associated with mortality and disease severity in

severe leptospirosis. Journal of Infection. 58: 425432.

Gomp, F. 2014. Leptospirosis.Medscape. Diunduh dari

http://emedicine.medscape.com/article/220563-overview#showall. Diakses pada 19

Februari 2015 pukul 20.00 WIB.

Jawetz E. 2010. Medical Microbiology, 25th ed, New York : Mc Graw Hill.
Longo, Dan L, et al. 2013. Leptospirosis. on Harrisons Manual of Medicine. 18th edition. New

York: McGraw-Hill medicine. 7: 677-678.

Nasronudin. 2007. Biologi Molekuler dan Aplikasi Klinis Leptospirosis. Dalam Penyakit Infeksi

di Indonesia- Solusi Kini & Mendatang. Surabaya: Airlangga University Presshal: 145-

152

Tjokroprawiro, Askandar, dkk. 2007. Leptospirosis. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.

Surabaya: Airlangga University Press. VII: 308-309.

Zein, Umar. 2008. Leptospirosis dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Interna

Publishing. Hal 2807-2811.


SISTEMIK LUPUS ERITEMATOSUS (SLE)

1 Definisi

Sistemik lupus eritematosus (SLE) adalah penyakit otoimun yang mengakibatkan

kerusakan organ, jaringan, dan sel yang dimediasi karena kompleks imun dan autoantibodi yang

berikatan dengan antigen jaringan.2

2 Epidemiologi

Sistemik lupus eritematosus terutama menyerang wanita muda dengan insiden puncak

pada usia 15-40 tahun selama masa reproduksi dengan ratio wanita: laki-laki 5:1. Dalam 30

tahun terakhir, SLE telah menjadi salah satu penyakit rematik utama di dunia. Prevalensi SLE di

berbagai negara sangat bervariasi. Prevalensi pada berbagai populasi antara 2,9/100.000

400/100.000. SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa negro, China, dan

mungkin juga Filipina. Terdapat juga tendensi familial. Prevalensi SLE di Amerika 15-50 per

100.000 penduduk dengan etnis terbanyak yakni Amerika Afrika. Faktor ekonomi dan geografi

tidak mempengaruhi distribusi penyakit. 1,2

Beberapa data di Indonesia dari pasien yang dirawat di Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ditemukan 37,7 % kasus pada tahun 1998-1990. Di

Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad sendiri belum ada data mengenai prevalensi SLE.1

3 Etiopatogenesis

Etiologi dan pathogenesis SLE belum diketahui dengan jelas. Meskipun demikian,

terdapat banyak bukti bahwa patogenesis SLE bersifat multifaktor, dan ini mencakup pengaruh

faktor genetik, lingkungan dan hormonal terhadap respon imun. Faktor genetik memegang

peranan penting dalam kerentanan serta ekspresi penyakit. Sekitar 10-20% pasien SLE

mempunya kerabat dekat yang juga menderita SLE. Angka terdapatnya SLE pada kembar
identik 24-69% lebih tinggi dari saudara kembar non identik 2-9%.1

Penelitian terakhir yang menunjukkan beberapa gen berikut HLA_DR 2 dan HLA-DR 3

berperan dalam mengkode unsur sistem imun. Gen lain yang ikut berperan seperti gen yang

mengkode sel reseptor T, imunoglobulin, dan sitokin. Sistem neuroendokrin ikut berperan

melalui pengaruhnya terhadap sistem imun. Penelitian menunjukkan bahwa sistem

neuroendokrin dengan sistem imun saling mempunyai hubungan timbal balik. Beberapa

penelitian berhasil menunjukkan bahwa hormon prolaktin dapat merangsang respon imun.1

Adanya satu atau beberapa faktor pemicu pada individu yang mempunyai predisposisi

genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal pada sel CD4 mengakibatkan hilangnya

toleransi sel T terhadap self antigen. Akibatnya muncullah sel T autoreaktif yang menyebabkan

induksi dan ekspansi sel B, baik yang memproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel

memori. Wujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian diduga hormon seks, sinar UV, infeksi. 1

Pada SLE autoantibodi terbentuk ditujukan terhadap antigen yang terutama terletak pada

nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non histon. Kebanyakan di

antaranya adalah dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan kompleks

protein RNA. Ciri khas autoantigen ini mereka tidak tissue spesific dan merupakan komponen

integrasi dari semua jenis sel. 1

Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti nuclear antibodi). Dengan antigen

spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar di sirkulasi. Klirens kompleks imun

menurun, meningkatnya kelarutan kompleks imun, gangguan pemrosesan kompleks imun dalam

hati, dan penurunan uptake kompleks imun pada limpa terjadi pada SLE. Sehingga kompleks

imun tersebut deposit ke luar sistem fagosit mononuklear. Endapannya di berbagai organ

mengakibatkan aktivasi komplemen sehingga terjadi peradangan. Organ tersebut bisa berupa

ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit, dll. 1

4 Manifestasi klinis
Gejala konstitusi. Seperti fatigue, penurunan berat badan, demam yang sifatnya tidak

mengancam jiwa. Penurunan berat badan yang terjadi dapat dibarengi dengan gejala

gastrointestinal. Demam dapat lebih dari 400C tanpa leukositosis. Menggigil (-). 1,3

Manifestasi renal. Komplikasi ini mengancam jiwa dan terjadi pada 30% pasien dengan

SLE. Nefritis terjadi pada beberapa tahun awal SLE. Gejala awal bisa asimtomatik, sehingga

pemeriksaan urinalisis dan tekanan darah penting. Karakteristik manifestasi renal berupa

proteinuria >500 mg/urin 24 jam, sedimen eritrosit. Klasifikasi glomerulonefritis akibat SLE

terdiri dari beberapa kelas. 3

1. Minimal mesangial lupus nefritis

2. Mesangial proliferatif lupus nefritis

3. Fokal lupus nefritis

4. Difus lupus nefritis

5. Membranosa lupus nefritis

6. Sklerosis lupus nefritis

Manifestasi neuropsikiatrik. Terdapat 19 manifestasi lupus neuropsikiatrik yang bisa

dibuktikan hanya dengan biopsi. Gejala yang dirasakan berupa nyeri kepala, kejang, depresi,

psikosis, neuropati perifer. Manifestasi sistem saraf pusat berupa aseptik meningitis, penyakit

serebrovaskuler, sindrom demielinasi, nyeri kepala, gangguan gerakan, mielopati, kejang,

penurunan kesadaran akut, kecemasan, disfungsi kognitif, gangguan mood, psikosis. Manifestasi

sistem saraf perifer berupa polineuropati perifer akut, gejala autonom, mononeuropati, miastenia

gravis, neuropati kranial, pleksopati. 3

Manifestasi muskuloskeletal. Manifestasi yang satu ini merupakan manifestasi yang

paling sering mengungkap terjadi SLE pada pasien. Atralgia dan mialgia merupakan gejala

tersering. Keluhan ini sering kali dianggap mirip dengan artritis reumatoid dan bisa disertai

dengan faktor reumatoid positif. Perbedaannya SLE biasanya tidak menyebabkan deformitas,

durasi kejadian hanya beberapa menit.1,3


Manifestasi kulit. Gejala yang terjadi berikut berupa rash malar dan diskoid. Sering

dicetuskan oleh fotosensitivitas. Bisa terjadi alopesia. Manifestasi oral berupa terbentuknya

ulkus atau kandidiasis, mata dan vagina kering. Perhatikan gambar 1 berikut malar rash dan

gambar 2 alopesia berat akibat SLE.3,4

Gambar 1. Rash malar4

Gambar 2. Alopesia berat SLE5

Manifestasi hematologi. Berupa anemia normokrom normositer,trombositopenia,

leukopenia. Anemia yang terjadi bisa terjadi akibat SLE maupun akibat manifestasi renal pada

SLE sehingga mengakibatkan terjadinya anemia. Limfopenia < 1500/uL terjadi pada 80% kasus.
3,5

Manifestasi paru. berupa pneumositis, emboli paru, hipertensi pul,onal, perdarahan

paru, pleuritis. Pleuritis memiliki gejala nyeri dada, batuk, sesak napas. Efusi pleura juga bisa

terjadi dengan hasil cairan berupa eksudat. Shrinking lung syndrome merupakan sistemik yang

terjadi akibat atelektasis paru basal yang terjadi akibat disfungsi diafragma.3-5

Manifestasi gastrointestinal. Gejala tersering berupa dispepsia, yang bisa terjadi baik
akibat penyakit SLE itu sendiri atau efek samping pengobatannya. Hepatosplenomegali (+).

Terjadinya vaskulitis mesenterika merupakan komplikasi paling mengancam nyawa karena dapat

menyebabkan terjadinya perforasi sehingga memerlukan penatalaksanaan berupa laparotomi. 3-5

Manifestasi vaskuler. Fenomena raynaud, livedo reticularis yang merupakan

abnormalitas mikrovaskuler pada ekstremitas, trombosis merupakan komplikasi yang terjadi.

Gambar berikut 3 menunjukkan livedo reticularis. 3-6

Gambar 3. Livedo reticularis6

Manifestasi kardiovaskuler. SLE dapat menyebabkan terjadinya aterosklerosis yang

pada akhirnya dapat mengakibatkan terjadi infark miokard. Gagal jantung dan angina pektoris,

valvulitis, vegetasi pada katup jantung merupakan beberapa manifestasi lainnya.1,3

5 Diagnosis

Kriteria diagnosis yang digunakan adalah dari American College of Rheumatology 1997

yang terdiri dari 11 kriteria, dikatakan pasien tersebut SLE jika ditemukan 4 dari 11 kriteria yang

ada. Berikut ini adalah 11 kriteria tersebut.1,7

No Kriteria Batasan
1 Rash malar Eritema, datar atau timbul di atas eminensia
malar dan bisa meluas ke lipatan nasolabial
2 Discoid rash Bercak kemerahan dengan keratosis bersisik

dan sumbatan folikel. Pada SLE lanjut

ditemukan parut atrofi


3 Fotosensitivitas Ruam kulit akibat reaksi abnormal terhadap

sinar matahari
4 Ulkus oral Ulserasi oral atau nasofaring yang tidak nyeri
5 Artritis nonerosif Melibatkan 2 atau lebih sendi perifer dengan

karakteristik efusi, nyeri, dan bengkak


6 Pleuritis atau a. Pleuritis: nyeri pleuritik, ditemukannya

perikarditis pleuritik rub atau efusi pleura

b. Perikarditis: EKG dan pericardial friction

rub
7 Gangguan renal a. Proteinuria persisten > 0,5 gr per hari atau

kualifikasi >+++

b. Sedimen eritrosit, granular, tubular atau

campuran
8 Gangguan a. Kejang- tidak disebabkan oleh gangguan

neurologis metabolik maupun obat-obatan seperti

uremia, ketoasidosis, ketidakseimbangan

elektrolit

b. Psikosis- tanpa disebabkan obat maupun

kelainan metabolik di atas


9 Gangguan a. Anemia hemolitik dengan retikulositosis

hematologi b. Leukopenia < 4000/uL

c. Limfopenia < 1500/uL

d. Trombositopenia< 100,000/uL
10 Gangguan a. antiDNA meningkat

imunologi b. anti Sm meningkat

c. antibodi antifosfolipid: IgG IgM


antikardiolipin meningkat, tes koagulasi

lupus (+) dengan metode standar, hasil (+)

palsu dan dibuktikan dengan pemeriksaan

imobilisasi T.pallidum 6 bulan kemudian

atau fluoresensi absorsi antibodi


11 Antibodi antinuklear Titer ANA meningkat dari normal

(ANA)

6 Penatalaksanaan

Tidak ada kata sembuh untuk SLE, remisi komplit pun jarang terjadi. Oleh karena itu

perlu diperhatikan untuk mengendalikan serangan akut dan mengatur stratefi sehingga dapat

mensupresi terjadinya kerusakan target organ. Tatalaksana diberikan sesuai manifestasi klinis

yang terjadi dan dibagi dalam kelompok yang mengancam nyawa dan tidak mengancam

nyawa.2,3

6.1. Terapi non farmakologis

Penyuluhan dan edukasi penting diberikan pada pasien dengan SLE yang baru

terdiagnosis. Berikut adalah beberapa hal penting dalam edukasi SLE:1

Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya

Masalah terkait fisik misalnya penggunaan kortikosteroid untuk tatalaksana SLE bisa

menyebabkan osteoporosis sehingga perlu dibarengi dengan latihan jasmani, istirahat,

diet, dan mengatasi infeksi secepatnya serta menggunakan kontrasepsi

Menggunakan payung, lengan panjang atau krem sinar matahari jika terpapar matahari

Memberikan edukasi mengenai terapi yang akan diberikan. Pasien dengan SLE

mengancam nyawa diberikan terapi agresif yakni imunosupresan dan kortikosteroid dosis

tinggi, sedangkan yang tidak mengancam nyawa diberikan terapi konservatif.


6.2. Terapi farmakologi

6.2.1. Sistemik lupus eritematosus ringan

Artritis, artalgia, mialgia. Keluhan ringan diberikan analgetik atau NSAID. Jika tidak

membaik dipertimbangkan pemberian hidroksiklorokuin 400mg/hari. Jika dalam 6 bulan tidak

berefek juga maka stop. Dapat diberikan kortikosteroid dosis rendah 15mg tiap pagi. Atau

metrotreksat 7,5-15 mg/minggu. Atau bisa dipertimbangkan pemberian cox-2 inhibitor.1,7

Lupus kutaneus. Menggunakan sunscreen untuk melindungi tubuh sehingga

mengurangi gejala fotosensitivitas. Sunscreen topikal berupa krem, minyak, lotio atau gel yang

mengandung PABA, ester, benzofenon, salisilat dan sinamat. Sunscreen dipakai ulang setelah

mandi atau berkeringat. Dermatitis lupus diberikan kortikosteroid topikal krem, salep atau

injeksi. Antimalaria juga dapat digunakan karena memiliki efek sunblock dan sunscreen. 1,7

Fatiq dan keluhan sistemik. Tidak memerlukan terapi spesifik. Cukup menambah

waktu istirahat dan menunjukkan empati. 1,7

Serositis. Nyeri dada dan abdomen merupakan tanda serositis. Keadaan ini diatasi

dengan NSAID, antimalaria atau glukokortikoid dosis 15 mg/hari. Pada keadaan berat

memerlukan kostikosteroid sistemik. 1,7

6.2.2. Sistemik lupus eritematosus yang mengancam jiwa

Keterlibatan organ dapat menyebabkan kerusakan yang ireversibel. Contohnya pasien

dengan lupus nefritis dapat menjadi gagal ginjal kronik. Pasien dengan manifestasi kardiak bisa

menyebabkan gagal jantung, insufisiensi katup jantung, atau tamponade perikardial. Anemia

berat atau trombositopenia bisa mengancam nyawa. Keadaan yang demikian memerlukan

campur tangan spesialisasi SLE.7

Berikut ini adalah contoh manifestasi yang mengancam nyawa dari SLE7
Jantung: vaskulitis/ vaskulopati koroner, endokarditis, miokarditis, perikardial

tamponade, hipertensi maligna

Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia < 1000/uL, trombositopenia < 50000/uL,

trombotik trombositopenia purpura, trombosis vena atau arterial

Neurologis: kejang, penurunan kesadaran akut-koma, stroke, mielopati tranversal,

mononeuritis, polineuritis, optik neuritis, psikosis, sindrom demielinasi

Otot: miositis

Pulmo: hipertensi pulmonal, perdarahan pulmo, pneumositis, emboli/infark paru,

shringking lung, fibrosis interstisial

Gastrointestinal: vaskulitis mesenterika, pankreatitis

Renal: nefritis persisten, glomerulonefritis progresif, sindroma nefrotik

Kulit: vaskulitis, ruam dengan ulserasi difus

Konstitusional: demam tinggi tanpa infeksi yang jelas

Glukokortikoid. Prednison oral 1-1,5 mg/kg/hari atau metilprednisolon bolus 1gram

selama 3-5 hari yang dilanjutkan dengan prednison oral. Respon terapi dilihat selama 6 minggu

pertama, jika respon baik maka dosis steroid diturunkan 5-10% tiap minggu. Setelah sampai

dosis 30 mg/hari diberikan penurunan 2,5 mg/minggu, jika sudah sampai dosis 10-15 mg/hari,

turunkan dosis 1mg/minggu. Jika terjadi eksaserbasi berikan dosis efektif, lalu turunkan lagi.1,7

Imunosupresan. Imunosupresan ini diberikan jika hanya tidak respon dengan terapi

steroid, setelah 4 minggu pemberian. Contoh imunosupresan yang bisa diberikan berupa

siklofosfamid, azatioprin, metotreksat, klorambusil, siklosporin. Pilihan obat tergantung

keadaan. Untuk artritis berat pilihannya adalah metotreksat. Nefritis lupus diberikan

siklofosfamid atau azatioprin. Siklofosfamid bolus 0,5-1 gr/m2 dalam 250 cc NS selama 1 jam

diikuti pemberian cairan 2-3 L/24 jam. Jika ada nefritis, dosis siklofosfamid hanya 500-750

mg/m2. Pemberiannya selama 6 bulan, kemudian dalam 3 bulan selama 2 tahun. Azatioprin oral
1-3 mg/kg/hari selama 6-12 bulan. Siklosporin 3-6 mg/kg/hari untuk nefritis SLE. Metotreksat

7,5-20 mg/minggu terbagi 3 dosis oral atau injeksi. 1,7

Terapi lain seperti imunoglobulin 300-400 mg/kg/hari selama 5 hari berturut-turut untuk

mencegah kekambuhan masih dalam proses penelitian. Selain itu, plasmaferesis juga masih

dalam penelitian. 1,7

8 Prognosis

Studi di Eropa pada 1000 pasien SLE menunjukkan 92% dengan terapi optimal memiliki

survival rate 10 tahun, dan menurun 88% pada pasien dengan nefropati. Usia rata-rata kematian

44 tahun, dan usia tertua untuk kematian 81 tahun. Penyebab kematian terbesar adalah lupus

nefritis.3

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu

penyakit dalam. Jilid II. 4th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.

2. Kasper DL, Braunwald E, Fauci A, Hauser S, Longo D, Jameson JL. Harrisons

principles of internal medicine. 16th ed. USA: McGraw-Hill;2005.

3. Manson JJ, Rahman A. Systemic lupus erythematosus. Orphanet Encyclopedia.2005.

4. American College of Rheumatology. Systemic lupus erythematosus research. Education.

Atlanta:Rheumatology; 2012.

5. Warrell DA, Cox TM, Firth JD, Edward J, Benz, editors. Oxford textbook of medicine. 4th

ed. Oxford: Oxford Press;2002.

6. Rheumatology Image Bank [homepage on the Internet]. Atlanta: American College of

Rheumatology; c2012 [cited 2012 Mar 28]. Rheumatology; [about 2 screens]. Available

from:

http://images.rheumatology.org/viewphoto.php?imageId=2861621&albumId=75674
7. American College of Rheumatology Ad Hoc Committee on Systemic Lupus

Erythematosus Guidelines. Guidelines for referral and management of systemic lupus

erythematosus in adults. Arthritis and Rheumatism. 1999:42(9).p. 1785-96.

8. WebMD [homepage on the Internet]. Lupus Health Center; c2005-2012 [cited 2012 Apr

2]. Drug induced lupus; [about 2 screens]. Available from:

http://lupus.webmd.com/tc/drug-induced-lupus-topic-overview

9. Monica RP, Derrick TJ. Pulmonary manifestation of systemic lupus erythematosus. US

Respiratory disease. 2011:7(1): 43-8


KEHAMILAN NORMAL

PROSES TERJADINYA KEHAMILAN

Kehamilan akan terjadi apabila terjadi konsepsi antara sel telur dengan sperma. Pelepasan sel
telur (ovum) hanya terjadi satu kali setiap bulan, sekitar hari ke 14 pada siklus menstruasi nornal
28 hari disebut dengan masa ovulasi. Siklus menstruasi bervariasi pada setiap wanita.

Berikut ini beberapa cara menentukan masa subur :

Berdasarkan hari menstruasi pertama di tambah 12 dan berlangsung tujuh hari.

Contoh : menstruasi hari pertama tanggal 5, maka perhitungan minggu suburnya adalah tanggal
17 24.

Melakukan pemeriksaan suhu basal, karena pada siklus menstruasi terjadi pelepasan sel telur dan
terjadi penurunan diikuti dengan kenaikan 0,5 derajat celcius.

Kemungkinan keinginan seks meningkat saat pelepasan sel telur

Kemungkinan terasa nyeri saat pelepasan sel telur.

Bila pada masa subur terjadi hubungan seks, maka sperma akan ditampung di liang senggama
bagian dalam. Setiap mililiter sperma mengandung sekitar 35 40 juta spermatozoa, sehingga
setiap hubungan seks terdapat sekitar 110 120 juta spermatozoa.

Spermatozoa akan berjalan mendekati sel telur yang dilepaskan oleh ovarium. Setelah masuknya
kepala spermatozoa kedalam ovum dengan meninggalkan ekornya maka terjadilah pertemuan
antara sel
telur dengan sperma Peristiwa ini disebut pembuahan ( konsepsi = fertilisasi ) Ovum yang telah
dibuahi ini segera membelah diri sambil bergerak oleh rambut getar tuba menuju ruang rahim
kemudian melekat pada mukosa rahim untuk selanjutnya bersarung di ruang rahim. Peristiwa ini
disebut nidasi (implantasi) Dari pembuahan sampai nidasi diperlukan waktu kira kira enam
sampai tujuh hari. Untuk menyuplai darah dan zat zat makanan bagi mudigah dan janin,
dipersiapkan uri (plasenta). Jadi dapat dikatakan bahwa untuk setiap kehamilan harus ada ovum
(sel telur), spermatozoa (sel mani), pembuahan (konsepsi = fertilisasi), nidasi dan plasenta.
(Rustam Mochtar, 1998 : 17)

Sel telur (ovum)

Pertumbuhan embrional oogonium yang kelak menjadi ovum terjadi digenital ridge. Menurut
umur wanita, jumlah oogonium adalah :

a) BBL
= 750.000
b) Umur 6 15
= 439.000
c) Umur 16 25 tahun
= 159.000
d) Umur 26 35 tahun
=
59.000
e) Umur 35 45 tahun
=
39.000
f) Masa menopause

= semua hilang

Urutan pertumbuhan ovum (oogenesis) :

Oogonia

Oosit pertama (primary oocyte)

Primary ovarian follicle

Liquar folliculi

3
Pematangan pertama ovum

Pematangan kedua ovum pada waktu sperma membuahi ovum (Rustam Mochtar, 1998 : 17-18)

Sel mani (spermatozoa)

Sperma bentuknya seperti kecebong, terdiri atas kepala berbentuk lonjong agak gepeng berisi
inti (nucleus) leher yang menghubungkan kepala dengan bagian tengah dan ekor yang dapat
bergetar sehingga sperma dapat bergerak dengan cepat. Panjang ekor kira kira sepuluh kali
bagian kepala.

Secara embrional, spermatogonium berasal dari sel sel primitif tubulas testis. Setelah bayi laki
laki lahir, jumlah spermatogonium yang ada tidak mengalami perubahan sampai masa akil
baliq. Pada masa pubertas dibawah pengaruh sel sel interstial leyding. Sel sel
spermatogonium ini mulai aktif mengadakan mitosis dan terjadilah spermatogenesis. Urutan
pertumbuhan sperma (spermatogenesis)

Spermatogonium (membelah dua)

Spermatosit pertama (membelah dua)

Spermatosit kedua (membelah dua)

Spermatid, kemudian tumbuh menjadi

Spermatozoa (sperma) (Rustam Mochtar, 1998 : 18)

Pembuahan (konsepsi =fertilisasi)

Pembuahan adalah suatu peristiwa penyatuan antara sel mani dengan sel telur di tuba fallopi,
umumnya terjadi di ampula tuba, pada hari ke sebelas sampai empat belas dalam siklus
menstruasi. Wanita mengalami ovulasi (peristiwa matangnya sel telur) sehingga siap untuk
dibuahi, bila saat ini dilakukan coitus, sperma yang mengandung kurang lebih seratus sepuluh
sampai seratus dua puluh juta sel sperma dipancarkan ke bagian atas dinding vagina terus naik
ke serviks dan melintas uterus menuju tuba fallopi disinilah ovum dibuahi.

Hanya satu sperma yang telah mengalami proses kapitasi yang dapat melintasi zona pelusida dan
masuk ke vitelus ovum. Setelah itu, zona pelisuda mengalami perubahan sehingga tidak dapat
dilalui oleh sperma lain. Proses ini diikuti oleh penyatuan ke dua pronuklei yang disebut zigot,
yang terdiri atas acuan genetic dari wanita dan pria. Pembuahan mungkin akan menghasilkan xx
zigot menurunkan bayi perempuan dan xy zigot menurunkan bayi laki laki.

Dalam beberapa jam setelah pembuahan, mulailah pembelahan zigot selama tiga hari sampai
stadium morula. Hasil konsepsi ini tetap digerakkan kearah rongga rahim oleh arus dan getaran
rambut getar (silia) serta kontraksi tuba. Hasil konsepsi tuba dalam kavum uteri pada tingkat
blastula. (Rustam Mochtar, 1998 : 18-19)

Nidasi

Nidasi adalah masuknya atau tertanamnya hasil konsepsi ke dalam endometrium. Blastula
diselubungi oleh sutu sampai disebut trofoblas, yang mampu menghancurkan dan mencairkan
jaringan. Ketika blastula mencapai rongga rahim, jaringan endometrium berada dalam masa
sekresi. Jaringan endometrium ini banyak mengandung sel sel desidua yaitu sel sel besar
yang
4
mengandung banyak glikogen serta mudah dihancurkan oleh trofoblas. Blastula dengan bagian
yang berisi massa sel dalam (inner cell mass) akan mudah masuk kedalam desidua,
menyebabkan luka kecil yang kemudian sembuh dan menutup lagi.

Itulah sebabnya kadang kadang pada saat nidasi terjadi sedikit perdarahan akibat luka desidua
(tanda Hartman). Umumnya nidasi terjadi pada depan atau belakang rahim (korpus) dekat fundus
uteri. Bila nidasi telah terjadi , dimulailah diferensiasi sel sel blastula. Sel lebih kecil yang
terletak dekat ruang exocoeloma membentuk entoderm dan yolk sac sedangkan sel sel yang
tumbuh besar menjadi entoderm dan membentuk ruang amnion. Maka terbentuklah suatu
lempeng embrional (embrional plate) diantara amnion dan yolk sac.

Sel sel trofoblas mesodermal yang tumbuh disekitar mudigah (embrio) akan melapisi bagian
dalam trofoblas. Maka terbentuklah sekat korionik (chorionik membrane) yang kelak menjadi
korion. Sel- sel trofoblas tumbuh menjadi dua lapisan yaitu sitotrofoblas (sebelah dalam) dan
sinsitio trofoblas (sebelah luar)

Villi koriales yang berhubungan dengan desidua basalis tumbuh bercabang cabang dan disebut
korion krondosum sedangkan yang berhubungan dengan desidua kapsularis kurang mendapat
makanan sehingga akhirnya menghilang disebut chorion leave.

Dalam peringkat nidasi trofoblas dihasilkan hormon hormon chorionic gonadotropin (HCG).
(Rustam Mochtar, 1998 : 19-21)

Plasentasi

Pertumbuhan dan perkembangan desidua sejak terjadi konsepsi karena pengaruh hormon terus
tumbuh sehingga makin lama menjadi tebal. Desidua adalah mukosa rahim pada kehamilan yang
terbagi atas :

Desidua basalis

Terletak diantara hasil konsepsi dan dinding rahim, disini plasentater bentuk.

Desidua kapsularis

Meliputi hasil konsepsi ke arah rongga rahim yang lama kelamaan bersatu dengan desidua vera
kosena obliterasi .

c) Desidua vera (parietalis)

Meliputi lapisan dalam dinding rahim lainnya. (Rustam Mochtar, 1998 : 21)
5
PERU

BAHAN ANATOMI FISIOLOGI WANITA HAMIL

Terjadinya kehamilan:

Peristiwa prinsip pada terjadinya kehamilan:

Pembuahan atau fertilisasi: bertemunya sel telur atau ovum wanta dengan sel benih/ spermatozoa
pria

Pembelahan sel (zigot) hasil pembuahan tersebut.

Nidasi atau implantasi zigot tersebut pada dinding saluran reproduksi (pada keadaan normal:
implantasi pada lapisan endometrium dinding cavum uteri).

Pertumbuhan dan perkembangan zigot embrio janin menjadi bakal individu baru.

Kehamilan dipengaruhi berbagai hormon: estrogen, progesteron, human chorionic gonadotropin,


human somamammotropin, prolaktin, dsb.

Human Chorionic gonadotropin (HCG)

Adalah hormon aktif khusus yang berperan selama awal masa hamil, fluktuasi kadarnya selama
kehamilan. Terjadinya perubahan juga pada anatomi dan fisiologi organ-organ sistem reproduksi
dan organ-organ sistem tubuh lain, yang dipengaruhi terutama oleh perubahan keseimbangan
hormonal tersebut.

DIAGNOSIS KEHAMILAN
Kehamilan dibagi atas 3 triwulan (trimester) :

Kehamilan trimester I antara 0 12 minggu

Kehamilan trimester II antara 12 28 minggu

Kehamilan trimester III antara 28 40 minggu

Tanda Dan Gejala Kehamilan

1. Tanda Tanda Presumptif (dugaan)

6
Amenorhea (tidak dating haid)

Wanita harus mengetahui tanggal hari pertama haid terakhir (HPMT) supaya dapat ditafsir umur
kehamilan dan taksiran tanggal persalinan (HPL). HPL bias ditung dengan rumus Nagele :
(HPMT +7 ) dan (bulan HT 3) dan (tahun HT + 1).

Mual muntah

Biasanya terjadi pada bulan bulan pertama kehamilan hingga akhir triwulan pertama. Karena
sering terjadi pada pagi hari, disebut morning sickness. Bila mual dan muntah terlalu sering
disebut hiperemesis.

Mengidam

Ibu hamil sering meminta makanan atau minuman tertentu terutama pada triwulan pertama.

Tidak tahan suatu bau bauan

Pingsan

Bila berada ada tempat tempat yang ramai yang sesak dan padat bisa pingsan.

Tidak ada selera makan

Hanya berlangsung pada triwulan pertama, kemudian nafsu makan timbul kembali.

Lelah

PAyudara membesar, tegang dan sedikit nyeri

Disebabkan pengaruh hormone estrogen dan progesterone yang merangsang duktus dan alveoli
payudara.

Sering buang air kecil

Karena kandung kemih tertekan oleh rahim yang membesar. Gejala ini akan hilang pada triwulan
kedua kehamilan. Pada akhir kehamilan, hejala ini muncul kembali karena kandung kemih
tertekan oleh kepala janin.

Konstipasi/obstipasi

Karena tonus otot otot usus menurun oleh pengaruh hormone steroid.

Pigmentasi kulit

Terjadi karena pengaruh hormone kortikosteroid plasenta, dijumpai di muka (chloasma


gravidarum), areola payudara, leher dan dinding perut (linea nigra).

Varises

Terjadi pada kaki, betis dan vulva , biasanya dijumpai pada triwulan akhir.

Tanda Tanda kemungkinan hamil


Perut membesar

Uterus membesar, terjadi perubahan bentuk, besar, konsistensi dari rahim.

Tanda hegar

Tanda chadwick

Tanda piscaseck

Kontraksi kontraksi kecil uterus bila dirangsang = braxton hiks

Teraba ballotement

Rekasi kehamilan positif

Tanda pasti kehamilan

7
Ada gerakan janin

Denyut jantung janin

Terlihat tulang tulang janin saat di USG

PERUBAHAN PADA ORGANORGAN SISTEM REPRODUKSI

Uterus

Tumbuh membesar primer, maupun sekunder akibat pertumbuhan isi konsepsi intrauterine.

Estrogen menyebabkan hiperpliasi jaringan, progesteron berperan untuk elastisitas atau


kelenturan uterus.

Ukuran

Untuk akomodasi pertumbuhan janin, rahim membesar akibat hipertrofi dan hiperplasi otot polos
rahim, serabut serabut kolagennya menjadi higroskopik endometrium menjadi desidua ukuran
pada kehamilan cukup bulan 30 x 25 x 20 cm dengan kapitasi lebih dari 4000 cc. Taksiran kasar
pembesaran uterus pada perabaan tinggi fundus:

Tidak hamil: sebesar telur ayam (+ 30 g)

Kehamilan 8 minggu: sebesar telur bebek

Kehamilan 12 minggu: sebesar telur angsa

Kehamilan 16 minggu: pertengahan simfisis-pusat

Kehamilan 20 minggu: pinggir bawah pusat

Kehamilan 24 minggu:pinggir atas pusat

Kehamilan 28 minggu: sepertiga pusat-xyphoid

Kehamilan 32 minggu: pertengahan pusat-xyphoid

Kehamilan 36-42 minggu: 3-1 jari di bawah xyphoid

b. Berat

Berat uterus naik secara luar biasa dari 30 gram menjadi 1000 gram pada akhir kehamilan (40
pekan).

Bentuk dan Konsistensi

Pada bulan bulan pertama kehamilan bentuk rahim seperti buah alpokat. Pada kehamilan empat
bulan berbentuk bulat dan akhir kehamilan bujur telur. Rahim yang kira kira sebesar telur
ayam, pada kehamilan dua bulan sebesar telur bebek dan kehamilan tiga bulan sebesar telur
angsa. Pada minggu pertama, isthmus rahim mengadakan hipertrofi dan bertambah panjang
sehingga bila diraba terasa lebih panjang sehingga bila diraba terasa lebih lunak (soft) disebut
tanda hegar. Pada kehamilan lima bulan, rahim teraba seperti berisi cairan ketuban, dinding
rahim terasa tipis, karena itu bagian bagian janin dapat diraba melalui dinding perut dan
dinding rahim.

Posisi Rahim

Pada permulaan kehamilan, dalam letak anteflexi atau retroflexi.

Pada 4 bulan kehamilan, rahim tetap berada dalam rongga pelvis.

8
Setelah itu, mulai memasuki rongga perut yang dalam pembesarannya dapat mencapai batas hati.

Rahim yang hamil biasanya mobilitasnya, lebih mengisi rongga abdomen kanan atau kiri.
(Rustam Mochtar, 1998 : 36)

Vaskularisasi

Aa.uterin dan aa. Ovarika bertambah dalam diameter panjang dan anak anak cabangnya.
Pembuluh darah balik (vena) mengembang dan bertambah. ( Rustam Mochtar, 1998 : 36)

Gambaran besarnya rahim dan tuanya kehamilan

Pada kehamilan 16 minggu, kavum uteri seluruhnya diisi oleh amnion dimana desidua kapsularis
dan desidua vera (parietalis) telah menjadi satu. Tinggi fundus uteri terletak antara pertengahan
simphisis dan pusat. Plasenta telah terbentuk seluruhnya.

Pada kehamilan 20 minggu, tinggi fundus uteri terletak 2 3 jari di bawah pusat.

Pada kehamilan 24 minggu, tinggi fundus uteri terlatak setinggi pusat.

Pada kehamilan 28 minggu, tinggi fundus uteri terletak 2 3 jari di atas pusat. Menurut
Spiegelberg dengan mengukur tinggi fundus uteri

dari simpisis adalah 26,7 cm diatas simpisis.

Pada kehamilan 36 minggu, tinggi fundus uteri terletak 3 jari di bawah processus xiphoideus.
Pada kehamilan 40 minggu, tinggi fundus uteri terletak sama dengan 8 bulan tapi melebar ke
samping yaitu terletak diantara pertengahan pusat dan processus xiphoideus. ( Rustam Mochtar,
1998 : 52)

9
Serviks uteri

Serviks bertambah vaskularisasinya dan menjadi lunak (soft) disebut tanda goodell. Kelenjar
endoservikal membesar dan mengeluarkan banyak cairan mucus, karena pertambahan dan
pelebaran pembuluh darah, warnanya menjadi livide disebut tanda Chadwick. ( Rustam Mochtar,
1998 : 35)

Ovarium (indung telur)

Ovulasi terhenti. Masih terdapat korpus luteum graviditas sampai terbentuknya uri yang
mengambil alih pengeluaran estrogen dan progesterone (kira kira pada kehamilan 16 minggu
dan korpus luteum graviditas berdiameter kurang lebih 3 cm). Kadar relaxin di sirkulasi maternal
dapat ditentukan dan meningkat dalam trimester pertama. Relaxin mempunyai pengaruh
menenangkan hingga pertumbuhan janin menjadi baik hingga aterm. (Rustam Mochtar, 1998 :
35)

Vagina dan vulva

Vagina dan vulva terjadi perubahan karena pengaruh estrogen. Akibat hipervaskularisasi, vagina
dan vulva terlihat lebih merah atau kebiruan. Warna livid pada vagina atau portio serviks disebut
tanda Chadwick. (Rustam Mochtar, 1998 : 35)

Dinding Perut (Abdominal Well)

Pembesaran rahim menimbulkan peregangan dan menyebabkan robeknya serabut elastik di


bawah kulit sehingga timbul striae gravidarum. Kulit perut pada linea alba bertambah
pigmentasinya dan disebut linea nigra. ( Rustam Mochtar, 1998 : 36)

10. Mammae

Selama kahamilan payudara bertambah besar, tegang, berat. Dapat teraba noduli noduli, akibat
hipertrofi kelenjar alveoli, bayangan vena vena lebih membiru. Hiperpigmentasi pada puting
susu dan areola payudara. Kalau diperas keluar air susu jolong (kolostrum) berwarna kuning.
( Rustam Mochtar, 1998 : 40)

Perkembangan payudara ini karena pengaruh hormon saat kehamilan yaitu estrogen,
progesterone dan somatomamotropin.

Fungsi hormon yang mempersiapkan payudara untuk pemberian ASI, antara lain:

Estrogen, berfungsi :

Menimbulkan hipertrofi system saluran payudara.

Menimbulkan penimbunan lemak dan air serta garam sehingga payudara tampak makin besar.
Tekanan serat syaraf akibat penimbunan lemak, air dan garam menyebabkan rasa sakit pada
payudara.

Progesteron, berfungsi :

10
Mempersiapkan asinus sehingga dapat berfungsi.

Menambah sel asinus.

Somatomamotropin, berfungsi :

Mempengaruhi sel asinus untuk membuat kasein, laktalbumin dan laktoglobulin.

(b) Penimbunan lemak sekitar alveolus payudara. ( Hanifa Wiknjosastro, 2002 :

Perubahan payudara pada ibu hamil

Payudara menjadi lebih besar

Areola payudara makin hitam karena hiperpigmentasi.

Glandula Montgomery makin tampak menonjol dipermukaan areola mamae.

Pada kehamilan 12 minggu keatas dari puting susu keluar cairan putih jernih (kolostrum) yang
berasal dari kelenjar asinus yang mulai bereaksi.

Pengeluaran ASI belum berjalan oleh karena prolaktin ini ditekan oleh PIH (Prolaktine Inhibiting
Hormone).

Setelah persalinan , dengan dilahirkannya plasenta pengaruh estrogen, progesterone dan


somotomammotropin terhadap hipotalamus hilang sehingga prolaktin dapat dikeluarkan dan
laktasi terjadi. ( Hanifa Wiknjosastro, 2002 : 95 )

Sirkulasi darah

Volume darah

Volume dan darah total dan volume plasma darah naik pesat sejak akhir trimester pertama.
Volume darah akan bertambah banyak, kira kira 25 % dengan puncaknya pada kehamilan 32
minggu, diikuti curah jantung (cardiac output) yang meningkat sebanyak kurang lebih 30%.
Akibat hemodilusi yang mulai jelas kelihatan pada kehamilan 4 bulan, ibu yang menderita
penyakit jantung dapat jatuh dalam keadaan dekompensasio kordis. Kenaikan plasma darah
dapat mencapai 40% saat mendekati cukup bulan. ( Rustam Mochtar, 1998 : 37 )

b) Nadi dan tekanan darah

Tekanan darah arteri cenderung menurun terutama selama trimester kedua dan naik lagi seperti
pada prahamil. Tekanan vena dalam batas batas normal. Pada ekstremitas atas dan bawah
cenderung naik setelah akhir trimester pertama. Nadi biasanya naik, nilai rata ratanya 84 kali
permenit. ( Rustam Mochtar, 1998 :38 )
c) Jantung

Pompa jantung mulai naik kira kira 30%. Setelah kehamilan 3 bulan dan menurun lagi pada
minggu minggu terakhir kehamilan. ( Rustam Mochtar, 1998 : 38 )

12. Sistem respirasi

11
Wanita hamil sering mengeluh sesak dan pendek napas. Hal ini disebabkan oleh usus yang
tertekan ke arah diafragma akibat pembesaran rahim. Kapasitas vital paru meningkat sedikit
selama hamil. Seorang wanita hamil selalu bernafas dada (thoracic breathing). ( Rustam
Mochtar, 1998 : 38)

13. Saluran pencernaan

Pada bulan bulan pertama kehamilan terdapat perasaan enek (nausea). Mungkin ini akibat
kadar hormon estrogen yang meningkat. Tonus otot otot traktus digestivus menurun sehingga
motilitas seluruh traktus digestivus juga berkurang. Makanan lebih lama berada di dalam
lambung dan apa yang telah dicernakan lebih lama berada dalam usus usus. Hal ini mungkin
baik untuk resorpsi akan tetapi menimbulkan pola obstipasi yang memang merupakan salah satu
keluhan utama wanita hamil. Tidak jarang dijumpai pada bulan bulan pertama kehamilan
gejala muntah (emesis). Biasanya terjadi pada pagi hari, dikenal sebagai morning sickness.
Emesis, bila terlampau sering dan terlalu banyak dikeluarkan disebut hiperemesis gravidarum,
keadaan ini patologik. Salivasi ini adalah pengeluaran air liur berlebihan daripada biasa. Bila
terlampau banyak, inipun menjadi patologik. (Hanifa Wiknjosastro, 2002 : 97 )

14. Traktus urinarius

Pada bulan bulan pertama kehamilan kandung kencing tertekan oleh uterus yang mulai
membesar sehingga timbul sering kencing. Keadaan ini hilang dengan makin tuanya kehamilan
bila uterus gravidus keluar dari rongga panggul. Pada akhir kehamilan, bila kepala janin mulai
turun ke bawah pintu atas panggul, keluhan sering kencing akan timbul lagi karena kandung
kencing mulai tertekan kembali. Dalam kehamilan ureter kanan dan kiri membesar karena
pengaruh progesterone. Akan tetapi ureter kanan lebih membesar daripada ureter kiri karena
mengalami lebih banyak tekanan dibandingkan dengan ureter kiri. Hal ini disebabkan olehkarena
uterus lebih sering memutar ke arah kanan. Mungkin karena orang bergerak lebih sering
memakai tangan kanannya atau disebabkan oleh letak kolon dan sigmoid yang berada di
belakang kiri uterus. Akibat tekanan pada ureter kanan tersebut lebih sering dijumpai hidroureter
dekstra dan pielitis dekstra. Disamping sering kencing tersebut diatas terdapat pula poliuri.
Poliuri disebabkan oleh adanya peningkatan sirkulasi darah di ginjal pada kehamilan sehingga
filtrasi glomerulus juga meningkat sampai 69 %. Reabsorbsi di tubulus tidak berubah sehingga
lebih

banyak dapat dikeluarkan urea, asam folik dalam kehamilan. ( Hanifa Wiknjosastro, 2002 :

97)

15. Kulit

Pada kulit terdapat deposit pigmen dan hiperpigmentasi alat alat tertentu. Pigmentasi ini
disebabkan oleh pengaruh Melanophore Stimulating Hormone (MSH) yang meningkat. MSH ini
adalah salah satu hormon yang juga dikeluarkan oleh lobus anterior hipofisis. Kadang kadang
terdapat deposit pigmen pada dahi, pipi, dan hidung dikenal sebagai cloasma gravidarum. Di
daerah leher sering terdapat hiperpigmentasi yang sama juga di areola mamae. Linea alba pada

12
kehamilan menjadi hitam dikenal sebagai linea grisea. Tidak jarang dijumpai kulit perut seolah
olah retak retak, warnanya berubah agak hiperemik dan kebiru biruan disebut striae livide.
Setelah partus striae livide ini berubah warnanya menjadi putih dan disebut striae albikantes.
Pada seorang multigravida sering tampak striae livide bersama striae albikantes. ( Hanifa
Wiknjosastro, 2002 : 97 98 )

16. Sistem Endokrin

Beberapa kelenjar endokrin terjadi perubahan seperti :

Kelenjar tiroid : dapat membesar sedikit

Kelenjar hipofise : dapat membesar terutama lobus anterior

Kelenjar adrenal : tidak begitu terpengaruh

17. Metabolisme

Umumnya kehamilan mempunyai efek pada metabolisme, karena itu wanita hamil perlu
mendapat makanan yang bergizi dan dalam kondisi sehat.

Tingkat metabolic basal(basal metabolic rate,BMR) pada wanita hamil meninggi hingga 15-
20%, terutama pada trimester akhir.

Keseimbangan asam alkali (acic base balance) sedikit mengalami perubahan konsentrasi alkali:

Wanita tidak hamil :155 mEg/liter

Wanita hamil : 145 mEg/liter

Natrium serum : turun dari 142 menjadi 135 mEg/liter

Bikarbonat plasma : turun dari 25 menjadi 22 mEg/ liter

c) Dibutuhkan protein yang banyak untuk perkembangan fetus,alat kandungan, payudara,


dan badan ibu, serta untuk persiapan laktasi.

Hidrat arang: seorang wanita hamil sering merasa haus, nafsu makan kuat, sering kencing, dan
kadang kala dijumpai glukosuria yang mengingatkan kita pada diabetes melitus. Dalam keadaaan
hamil, pengaruh kelenjar endokrin agak terasa, seperti somatomamotropin, plasma insulin dan
hormon-hormon adrenal 17-ketosteroid. Untuk rekomendasi, harus diperhatikan sungguh-
sungguh hasil GTT oral dan GTT intravena.

Metabolisme lemak juga terjadi. Kadar kolesterol meningkat sampai 350 mg atau lebih per 100
cc. Hormon somatomamotropin mempunyai peranan dalam pembentukan lemak pada payudara.
Deposit lemak lainya terdapat di badan, perut, paha dan lengan.

Metabolisme mineral

Kalsium dibutuhkan rata rata 1,5 gram sehari sedangkan untuk pembentukan tulang terutama
dalam trimester terakhir dibutuhkan 30 40 gram.

Fosfor : dibutuhkan rata-rata 2 g/hari.


(3) Zat besi : dibutuhkan tambahan zat besi kurang lebih 800 mg, atau 30-50 mg sehari.

Air : Wanita hamil cenderung mengalami retensi air.

Berat badan wanita hamil akan naik sekitar 6,5-16,5 kg. Kenaikan berat badan yang terlalu
banyak ditemukan pada keracunan hamil pre-eklamasi dan eklamsi) kenaikan berat badan wanita
hamil disebabkan oleh :

13
Janin , uri, air ketuban, uterus.

Payudara,kenaikan volume darah,lemak, protein,dan retensi air.

Kebutuhan kalori meningkat selama kehamilan dan laktasi. Kalori yang dibutuhkan untuk ini
terutama diperoleh dari pembakaran zat arang,khususnya sesudah kehamilan 5 bulan keatas.
Namun bila dibutuhkan, dipakai lemak ibu untuk mendapatkan tambahan kalori.

Wanita hamil memerlukan makanan yang bergizi dan harus mengandung banyak protein. Di
Indonesia masih banyak dijumpai penderita defisiensi zat besi dan vitamin B, oleh karena itu
wanita hamil harus diberikan Fe dan roboransia yang berisi mineral dan vitamin. ( Rustam
Muchtar, 1998 : 39-40 )

Sistem Muskuloskeletal

Pengaruh dari peningkatan estrogen, progesterone dan elastin dalam kehamilan menyebabkan
kelemahan jaringan ikat dan ketidakseimbangan persendian.

Akibat dari perubahan fisik selama kehamilan adalah :

Peregangan otot - otot

Pelunakan ligamen - ligamen

Tulang belakang (curva lumbar yang berlebihan)

Otot otot abdomal (meregang ke atas uterus hamil)

Otot dasar panggul (menahan berat badan dan tekanan uterus)

Bagi ibu hamil, bagian ini merupakan titik-titik kelemahan struktural dan bagian bermasalah
yang potensial dikarenakan beban dan menekan kehamilan . Oleh karena itu masalah postur
merupakan hal biasa dalam kehamilan :

a) Bertambahnya beban dan perubahan struktur dalam kehamilan merubah dimensi tubuh
dan

pusat gravitasi.

b) Ibu hamil mempunyai kecenderungan besar membentur benda-benda ( dan memar


biru )

dan kehilangan keseimbangan ( lalu jatuh ). ( PusDikNaKes, 2003 :100 )

PERKEMBANGAN JANIN Ovum

Kehamilan 5 minggu

Kantong lengkap dengan diameter 1cm yang terbungkus oleh vili korialis, ciri ciri khas manusia
belum ditemukan.
Embrio

Kehamilan 6 minggu

Kantong berdiameter 2,3cm, berat 1 gram. Kepala membesar, terbentuk tonjolan lengan dan
tungkai, jantung

14
primitif mulai berfungsi, denyut jantung terdengar lewat alat elektronik, sirkulasi dalam bentuk
yang primitif, terbentuk hubungan antar pembuluh darah dalam korion dan antar pembuluh yang
sudah tumbuh dengan body stalk.

Kehamilan 10 minggu

Panjang embrio 4 cm, genitalia eksterna terlihat. Membran anus pecah, tangan dan kaki sudah
bisa dikenali, terlihat bentuk manusia.

Janin

Kehamilan 12 minggu

Panjang janin 8cm, berat 15 gram, jari tangan serta jari kaki, mata dan telinga, sirkulasi dan
ginjal sudah terbentuk, septum nasi dan palatum telah menyatu, kelenjar endokrin dan sistem
saraf mulai berfungsi.

16 Minggu

Panjang janin 16cm, berat 110 gram, jenis kelamin mudah dikenali, kuku jari tangan dapat
terlihat, denyut jantung terdengar jelas, gerakan janin teraba.

20 Minggu

Panjang janin 22 cm, berat 300 gram, verniks pada kulit, lanugo (bulu buu halus) pada badan,
alis mata, janin kini secara hukum sudah dianggap viable.

24 Minggu

Panjang janin 30cm, berat 600 gram, kulit keriput, lemak terkumpul, perkembangan otak
berlanjut.

28 Minggu

Panjang janin 35 cm, berat 1000 gram, jika lahir bayi ini akan bergerak dengan kuat dan
menangis.

32 Minggu

Panjang janin 42cm, berat 1700 gram, kulit berwarna merah, keriput.

36 Minggu

Panjang janin 46 cm, berat 2500 gram, kuku sudah mencapai ujung jari tangan

40 minggu

Panjang janin 50cm, berat 3400 gram, tubuh bayi sudah terbungkus jaringan lemak, kulit
berwarna merah tidak keriput, semua organ sudah berfungsi kecuali paru paru.

C. TAHAP TAHAP PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN JANIN SERTA


PERUBAHAN MATERNAL

Minggu 0
a. Perkembangan janin

Sperma membuahi ovum yang kemudian membagi dan masuk ke dalam uterus menempel sekitar
hari ke 11.

2. Minggu ke empat atau bulan ke satu

Perkembangan janin

Dari diskus embrionik, bagian tubuh pertama muncul yang kemudian akan menjadi tulang
belakang, otak dan saraf tulang belakang. Jantung, sirkulasi darah dan saluran pencernaan
terbentuk. Embrio kurang dari 0.64 cm.

15
Perubahan perubahan maternal

Ibu terlambat menstruasi. Payudara menjadi nyeri dan membesar. Kelelahan yang kronis
(menetap) dan sering kencing mulai terjadi dan berlangsung selama 3 bulan berikutnya HCG ada
di dalam urine dan serum 9 hari.

3. Minggu ke delapan atau bulan ke dua

Perkembangan janin

Perkembangan cepat. Jantungnya mulai memompa darah. Anggota badan terbentuk dengan baik.
Perut muka dan bagian utama otak dapat dilihat. Telinga terbentuk dari lipatan kulit tulang dan
otot yang kecil terbentuk di bawah kulit.

Perubahan perubahan maternal

Mual muntah atau morning sicknes. Mungkin terjadi sampai usia kehamilan 12 minggu. Uterus
berubah dari bentuk pear menjadi globular. Tanda tanda hegar dan goodell muncul. Serviks
fleksi. Leukorrhea meningkat. Ibu mungkin terkejut atau senang dengan kehamilannya.
Penambahan berat badan belum terlihat nyata.

Minggu ke dua belas atau bulan ke tiga a. Perkambangan janin

Embrio menjadi janin. Denyut jantung dapat terlihat dengan ultrasound. Diperkirakan lebih
berbentuk manusia karena tubuh barkembang. Gerakan pertama dimulai selama minggu ke 12.
jenis kelamin dapat diketahui. Ginjal memproduksi urine.

Perubahan perubahan maternal

Tanda Chadwick muncul. Uterus naik diatas simpisis pubis. Kontraksi braxton hicks mulai dan
mungkin terus berlangsung selama kehamilan. potensial untuk menderita infeksi saluran kencing
meningkat dan ada selama kehamilan. Kenaikan berat badan sekitar 1- 2 kg selama trimester
pertama. Plasenta sekarang berfungsi penuh dan memproduksi hormon.

Minggu ke enam belas atau bulan ke empat a. Perkembangan janin

Sistem muskuloskeletal sudah matang. System syaraf mulai melaksanakan kontrol. Pembuluh
darah berkembang dengan cepat. Tangan janin dapat menggenggam. Kaki menendang dengan
aktif. Semua organ mulai matang dan tumbuh. Berat janin sekitar 0,2 kg. Denyut jantung janin
dapat didengar dengan Doppler. Pancreas memproduksi insulin.

Perubahan-perubahan maternal

Fundus berada di tengah antara simpisis dan pasti berat ibu bertambah 0,4-0,5 kg perminggu
selama sisa kehamilan. Mungkin mempunyai lebih banyak energi. Diameter biparietal dapat
diukur dengan ultrasound. Sekresi vagina meningkat (tetapi normal jika tidak gatal, iritasi /
berbau busuk). Pakaian ibu menjadi ketat. Tekanan pada kandung kemih dan sering kencing
berkurang.

Minggu ke dua puluh atau bulan ke lima a. Perkembangan janin

16
Verniks melindungi tubuh. Lanugo menutupi tubuh dan menjaga minyak pada kulit. Alis, bulu
mata dan rambut terbentuk. Janin mengembangkan jadwal yang teratur untuk tidur, menelan dan
menendang.

Perubahan-perubahan maternal

Fundus mencapai pusat. Payudara memulai sekresi kolostrum. Kantung ketuban menampung
400 ml cairan. Rasa akan pingsan dan pusing mungkin terjadi, terutama jika posisi berubah
secara mendadak. Verises pembuluh darah mungkin mulai terjadi. Ibu merasakan gerakan janin.
Areola bertambah gelap. Hidung tersumbat mungkin terjadi. Kram pada kaki mungkin ada.
Konstipasi mungkin dialami.

Minggu ke dua empat atau bulan ke enam a. Perkembangan janin

Kerangka berkembang dengan cepat karena sel pembentukan tulang meningkatkan aktifitasnya.
Perkembangan pernafasan dimulai. Berat janin 0,7-0,8 kg.

Perubahan-perubahan maternal

Fundus diatas pusat. Sakit punggung dan kram pada kaki mungkin mulai terjadi. Perubahan kulit
bisa berupa striae gravidarium, chloasma, linea nigra, dan jerawat. Mimisan dapat terjadi.
Mungkin mengalami gatal-gatal pada abdomen karena uterus membesar dan kulit meregang.

Minggu ke dua delapan atau bulan ketujuh a. Perkembangan janin

Janin dapat bernafas, menelan dan mengatur suhu. Surfactant terbentuk di dalam paru

paru. Mata mulai membuka dan menutup. Ukuran janin 2/3 ukuran pada saat lahir.

Perubahan perubahan maternal

Fundus berada di pertengahan antara pusat dan xiphoid. Hemorrhoid mungkin terjadi.
Pernafasan dada menggantikan pernafasan perut. Garis bentuk janin dapat dipalpasi. Mungkin
lelah menjalani kehamilan dan ingin sekali menjadi ibu. Rasa panas dalam perut mungkin mulai
terasa.

Minggu ke tiga puluh dua atau bulan ke delapan a. Perkembangan janin

Simpanan lemak coklat berkembang di bawah kulit untuk persiapan pemisahan bayi setelah
lahir. Bayi sudah tumbuh 38 43 cm. Mulai menyimpan zat besi, kalsium, dan fosfor.

Perubahan perubahan maternal

Fundus mencapai prosesus xiphoid. Payudara penuh dan nyeri tekan. Sering kencing mungkin
kembali terjadi. Kaki bengkak dan sulit tidur mungkin terjadi. Mungkin juga mengalami
dyspnea.

Minggu ke tiga puluh delapan atau ke sembilan a. Perkembangan janin

17
Seluruh uterus terisi oleh bayi sehingga ia tidak bisa bergerak atau berputar banyak. Antibody
ibu ditransfer ke bayi. Hal ini akan memberikan kekebalan untuk enam bulan pertama sampai
system kekebalan bayi bekerja sendiri.

Perubahan perubahan maternal

Penurunan bayi ke dalam pelvic atau panggul ibu (lightening). Plasenta setebal hampir empat
kali waktu usia kehamilan 18 minggu dan beratnya 0,5 0,6. ibu ingin sekali melahirkan bayi,
mungkin memiliki energi final yang meluap. Sakit punggung dan sering kencing meningkat.
Braxton hicks meningkat karena serviks dan segman bawah rahim disiapkan untuk persalinan.
(PusDikNaKes,2003 : 12-13)

MASA KEHIDUPAN INTRAUTERIN MANUSIA

Secara umum dibagi menjadi dua tahap:

1. Masa embrional

Meliputi masa pertumbuhan intrauterin samapi dengan usia kehamilan 8 minggu, di mana ovum
yang dibuahi (zygote) mengadakan pembuahan dan deferensiasi sel-sel menjadi organ-organ
yang hampir lengkap sampai terbebtuk struktur yang akan berkembang menjadi bentuk manusia.
Proses pembentukan organ dari tidak ada menjadi ada ini (organogenesis) pada beberapa
sistem organ, misalnya sistem sirkulasi, berlanjut terus samapi minggu ke-12, sehingga beberapa
sumbermengklasifikasikan pertumbuhan masa embrional sampai dengan minggu ke-12
(trimester pertama kehamilan).

2. Masa fetal

Meliputi masa pertumbuhan intrauterin antara usia kehamilan ke 8-12 sampai dengan sekitar
minggu ke-40 (pada kehamilan normal atau aterm), di mana organisme yang telah memiliki
struktur lengkap tersebut melanjutkan pertumbuhan dan perkembangan yang pesat, sampai pada
keadaan yang memungkinkan untuk hidup dan berfungsi di dunia luar (ekstrauterin).

TRIMESTER PERTAMA

Minggu pertama: disebut sebagai masa germinal. Karakteristik utama masa germinal ini adalah
pembelahan sel. Sejak pembuahan atau fertilisasi ovum oleh sperma, zigot yang terbentuk
membelah diri sampai fase morula-blastula. Menjelang akhir minggu pertama terjadi implantasi
di endometrium kavum uteri.

Minggu kedua: terjadi deferensiasi masa seluler embrio menjadi dua lapis 9stadium bilaminer).
Kedua lapisan itu adalah lempeng epiblas (akan menjadi ektoderm) dan hipoblas (akan menjadi
endoderm). Akhir stadium bilaminer ditandai munculnya alur primitif atau alur sedehana
(ptimitive streak).

Minggu ketiga: terjadi pembentukan tiga lapis atau lempeng yaitu ektoderm dan endoderm
dengan penyusupan lapisan mesoderm di antaranya, diawali dari daerah primitive streak. Embrio
disebut berada dalam stadium tiga lapis (stadium trilaminer). Dari perkembangan ptimitive
streak terbentuk lempeng saraf (neural plate) dan menjadi lipatan saraf (neural fold) di bagian
kranial. Struktur ini kemudian berkembang menjadi alur saraf (neural groove) dan nantinya akan
menjadi tabung saraf (neural tube)

18
Minggu keempat: pada akhir minggu ke-3 atau ke-4, mulai terbentuk ruas-ruas badan (somit)
sebagai karakteristik pertumbuhan periode ini. Sampai minggu ke-8 samapi ke-12 (akhir
trimester pertama) pertumbuhan dan deferensiasi somit terjadi begitu cepat, sampai dengan akhir
minggu ke-8 terbentuk 30-35 somit, disertai dengan perkembangan berbagai karakteristik fisik
lainnya. Beberapa sistem organ melanjutkan pembentukan awalnya sampai dengan akhir minggu
ke-12 (trimester pertama).

TRIMESTER KEDUA

Minggu ke-12 sampai ke-28: karakteristik utama perkembangan intrauterin trimester kedua
adalah penyempurnaan struktur organ umum dan mulai berfungsinya berbagai sistem organ.

Sistem sirkulasi: janin mulai menunjukkan adanya aktivitas denyut jantung dan aliran darah.
Dengan alat fetal ekokardiografi, DJJ dapat ditemukan sejak minggu ke-12. dengan stetoskop
laennec DJJ baru dapat terdengar setelah kehamilan 20 minggu. Ada beberapa struktur anatomik
yang terdapat pada masa janin kemudian tertutup atau mengalami regresi sesudah lahir sampai
dewasa, yaitu; foramen ovale, duktus arteriosus Botalli, arteria dan vena umbilikalis, dan duktus
venosus Arantii. Sel darah janin terutama mengandung HbF (hemoglobin fetal), yang memiliki
daya ikat oksigen jauh lebih tinggi dibandingkan HbA (Hb manusia dewasa) pada suhu dan pH
yang sama. HbA sendiri baru baru diproduksi pada akhir masa fetal, dan pada saat lahir,
jumlahnya mencapai hanya 30% dari seluruh Hb yang terkandung dalam neonatus. Pada
kehidupan ekstrauterin, berangsur-angsur produksi HbF berkurang sampai akhirnya normal tidak
terdapat lagi dalam tubuh individu.

Sistem respirasi: janin mulai menunjukkan gerak pernafasan sejak usia 18 minggu.
Pekembangan struktur alveoli paru sendiri baru sempurna pada usia 24-26 minggu. Surfaktan
mulai diproduksi sejak minggu ke-20, tetapi jumlah dan konsistensinya sangat minimal dan baru
adekuat untuk survival ekstrauterin pada akhir trimester ketiga. Aliran keluar-masu yang terjadi
pada pernafasan janin intrauterin bukanlah aliran udara, tetapi aliran cairan amnion. Seluruh
struktur saluran nafas janin sampai alveolus terendam dalam cairan amnion tersebut.

Sistem gastrointestinal: Janin mulai menunjukkan aktivitas gerakan menelan sejak usia gestasi
14 minggu. Gerakan menghisap aktif tampak pada 26-28 minggu. Cairan empedu mulai
diproduksi sejak skhir trimester pertama, diikuti dengan seluruh enzim-enzim pencernaan
lainnya. Mekonium, isi yang terutama pada saluran oencernaan janin, tampak mulai usia 16
minggu. Mekonium berasal dari: 1) sel-sel mukosa dinding saluran cerna yang mengalami
deskuamasi dan rontok, 2) cairan atau enzim yang disekresi sepanjang saluran cerna, mulai dari
saliva sampai enzim-enzim pencernaan, 3) cairan amnion yang diminum oleh janin, yang
kadang-kadang mengandung juga lanugo (rambut-rambut halus dari kulit janin yang rontok) dan
sel-sel dari kulit janin atau membran amnion yang rontok. Oksigenasi janin terutama tetap
berasal dari berasal dari sirkulasi meternal-fetal, melalui plasenta dan tali pusat.

Sistem saraf dan neuromuskular: ini merupakan sistem yang palinga awal mulai menunjukkan
aktivitasnya, yaitu sejak usia 8-12 minggu (akhir trimester pertama), berupa kontraksi oto yang
timbul jika terjadi stimulasi lokal. Sejak usia 9 minggu, janin mampu mengadakan fleksi alat-alat
gerak, dengan refleks-refleks dasar yang sangat sederhana (fleksi satu sisi diikuti juga fleksi sisi

19
lainnya). Terjadi juga berbagai gerakan spontan (spontaneus movement). Namun ukuran janin
pada akhir trimester pertama ini masih kecil, sehingga gerakan-gerakan janin belum dapat
dirasakan oleh ibunya. Sejak usia 13-14 minggu (awal trimester kedua), gerakan-gerakan janin
baru mulai dapat dirasakan ibunya. Terdapat hubungan antara keadaan emosional ibu dengan
tingkat aktivitas janin (misalnya, saat ibu marah atau gembira, gerak janin lebih sering atau kuat,
sebaliknya waktu ibu sedih atau depresi atau ketakutan, gerak janin lebih sedikit atau lemah).
Hal ini disebabkan oleh pengaruh variasi kadar hormon adrenalin ibu yangjuga ditransfer ke
janin melelui sirkulasi plasenta.

Sitem saraf sensorik khusus atau indera: mata yang terdiri dari lengkung bakal lensa (lens
placode) dan bakal bola mata atau mangkuk optik (optic cup) pada awalnya menghadap ke
lateral, kemudian berubah letaknya ke permukaan ventral wajah. Saraf penglihatan atau nervus
optikus merupakan derivar ektoderm, memasuki bola mata dari bagian posterior. Telinga yang
berasal dari vesikel otik (otic vesicles) bergeser ke sisi lateral kepala, menempati tempatnya yang
tetap. Telinga luar memperoleh inervasi sensorik dari nervus facialis, telinga dalam (organ
pendengaran dan keseimbangan) memperoleh inervasi dari derivat ektoderm nervus
vestibulokoklearis. Hidung yang berasal dari bakal olfaktoris (olfactory placode) merupakan
penebalan ektoderm permukaan di daerah wajah, memperoleh inervsi sensorik dari nervus
olfaktorius. Lidah berasal dari lengkung faring endoderm, kemudian memperoleh inervasi
sensorik dari cabang nervus trigeminus dan nervus facialis, serta inervasi motorik dari nervus
hipoglosus dan nervus laryngeus superior.

Sistem urinarius: glomerulus ginjal mulai terbentuk sejak usia 8 minggu. Pada kehamilan 20
minggu jumlah glomerulus diperkirakan mencapai 300-400 ribu. Ginjal mulai berfungsi sejak
awal trimester kedua, dan di dalam vesica urinaria dapat ditemukan urine janin, yang keluar
melalui uretra dan bercampur dengan cairan amnion. Produksi urune kira-kira 0,05-0,10
cc/menit. Ginjal belum sepenuhnya berfungsi, baik fungsi filtrasi maupun ekskresi, karena
vaskularisasi juga relatif masih sedikit.

Sistem endokrin: kortikotropin dan tirotropin mulai diproduksi di hipofisis janin sejak 10
minggu,

mulai berfungsi untuk merangsang perkembangan kelenjar suprarenal dan kelenjar tiroid.
Setelah kelenjar-kelenjar itu berkembang, produksi dan sekresi hormon-hormonnya juga milau
berlangsung. Hormon maternal maupun plasenta juga didistribusikan dalan jumlah besar ke
dalam sirkulasi janin, dan aktivitasnya juga mempengaruhi pertumbuhan janin, lebih daripada
hormon yang diproduksi janin itu sendiri. Kelenjar-kelenjar reproduksi pria (testis) juga
menghasilkan testosteron dan androstenedion, namun pada wanita (ovarium) tidak ditemukan
sekresi estrogen dan progesteron, kemungkinan karena belum terjadi pematangan teka dan
gralukosa folikel lebih lanjut.

Perubahan setiap bulan:

Bulan ketiga: wajah terbentuk makin sempurna, letak organ wajah sesuai tempatnya. Alat
kelamin luar berkembang. Lengkung usus yang terdesak ke arah tali pusat kembali tercakup
dalam rongga abdomen. Mulai terdeteksi gerakan otot atau refleks gerak sederhana, tetapi belum
sampai menimbulkan sensasi pada ibu. Pada akhir ke-12, jenis kelamin fetus umumnya sudah
diidentifikasi melelui pemeriksaan ultrasonografi.

20
Bulan keempat-kelima: tubuh janin memanjang dengan cepat, pertambahan berat mencapai 500
g. Tumbuh rambut-rambut halus (lanugo), rambut kepala, alis, dan bulu mata. Gerakan janin
mulai dapat dirasakan oleh ibu.

Bulan keeanm-tujuh: berat badan bertambah banyak, sampai dengan separuh berat janin pada
kehamilan aterm. Kulit kemerahan dan keriput karena belum terbentuknya jaringan ikat subkutis.
Susunan saraf pusat, kardiovaskular danpernafasan belum berfungsi sempurna dan diantara
ketiganya belum dapat berkoordinasi baik, sehingga jika janin pada periode ini tidak akan dapat
bertahan hidup.

TRIMESTER KETIGA

Minggu
ke-28
sampai
dengan
minggu
ke
38-42

Karakteristik utama perkembangan intrauterin pada trimester ketiga adalah penyempurnaan


struktur organ khusus / detail dan penyempurnaan fungsi berbagai sistem organ. Satu
karakteristik perkembangan akhir masa janin adalah perlambatan pertumbuhan kepala relatif
terhadap perumbuhan badan.

Pada awal bulan ke-3, ukuran kepala merupakan separuh ukuran kepala-bokong (crown-rump
length / CRL), tetapi sejak awal bulan ke-5, ukuran kepala relatif berkurang menjadi sepertiga
dari CRL, sampai

pada saat lahir ukuran kepala hanya seperempat dari CRL.

Hal ini disebabkan peningkatan pertumbuhan badan dan ekstremitas, bersama dengan penurunan
pertumbuhan kepala.

Perubahan setiap bulan

Bulan ketujuh-kedelapan: endapan lemak subkutis meningkat, sehingga janin memperoleh


bentuk membulat atau menggemuk. Produksi kelenjar lemak kulit juga menghasilkan lapisan
vernix caseosa yang melapisi kulit janin. Sejak usia 28 minggu lengkap, telah terbentuk
koordinasi antara sistem saraf pusat, pernafasasn dan kardiovaskular, meskipun masih sangat
minimal. Janin yang lahir pada masa ini dapat bertahan hidup, namun diperlukan tunjungan
hidup berupa perawatan intensif yang sangat baik untuk mencapai hasil optimal.

Bulan kesembilan: pertumbuhan kepala maksimal, lingkar kepala menjadi lingkar terbesar
daripada seluruh bagian tubuh. Pada bayi laki-laki, testis mulai turun ke tempatnya di dalam
skrotum.

Saat lahir: terjadi mekanisme adaptasi berbagai struktur janin. Di antaranya, paru yang semula
kolaps karena belum terisi udara, sejak lahir menjadi mengembang karena terisi udara
pernafasan. Berbagai struktur dalam sistem kardiovaskular menutup. Sejak tali pusat diputuskan,
sirkulasi feto-maternal melalui plasenta dan pembuluh darah umbilikus terputus, dan bayi
terpisah dari sirkulasi ibunya.

AIR KETUBAN (LIQUOR AMNII)

Ruangan yang dilapisi oleh selaput janin (amnion dan korion) berisi air ketuban (liquor amnii).

Ciri Ciri kimiawi

Volume air ketuban pada kehamilan cukup bulan kira kira 1000 1500 cc. air ketuban berwarna
putih keruh, berbau amis, dan berasa manis. Reaksinya agak alkalis atau netral, dengan berat
jenis 1,008.

21
Komposisinya terdiri atas 98% air. Sisanya albumin, urea, asam urik, kreatinin, sel sel epitel,
rambut lanugo, verniks kaseosa dan garam anorganik. Kadar protein kira kita 2,6% g per liter
terutama albumin.

Dijumpai lesitin dan sfingomielin dalam air ketuban yang sangat berguna untuk mengetahui
apakah paru paru janin sudah matang, sebab peningkatan kadar lesitin merupakan tanda bahwa
permukaan paru paru diliputi oleh zat surfaktan. Ini merupakan syarat bagi paru paru untuk
berkembang dan bernafas.

Bila persalinan lama atau ada gawat janin atau janin letak sungsang maka akan kita jumpai
warna air ketuban yang keruh kehijauan karena telah bercamur dengan mekonium.

Faal

Untuk proteksi janin

Mencegah perlekatan janin dengan amnion

Agar janin dapat bergerak dengan bebas

Regulasi terhadap panas dan perubahan suhu

Mungkin untuk menambah splai cairan janin dengan cara ditelan atau diminum yang kemudian
dikeluarkan melalui kencing janin

Meratakan tekanan intrauterine dan membersihkan jalan lahir bila ketuban pecah

Peredaran air ketuban dengan darah ibu cukup lancar dan perputarannya cepat, kira kira 350
500cc

Asal Air ketuban

Kencing janin

Transudasi dari darah ibu

Sekresi dari epitel amnion

Asal campuran

PLASENTA

Perkembangan Plasenta

Sel sel paling luar pada trofoblast berkembang menjadi tonjolan tonjolan yang menyerupai jari
jari (vili). Vili primitif ini menjorok kedalam pembuluh kapiler maternal untuk memudahkan
pertukaran oksigen, nutrisi dan bahan sisa. Pada bagian tengah setiap vili akhirnya terbentuk
pembuluh darah halus dari embrio. Diantara pembuluh pembuluh darah janin dan ibu akan
tumbuh empat lapisan jaringan yang berbeda. Lapisan lapisan ini sangat rapat satu sama ain dan
secara kolektif disebut sebagai membran (selaput) plasenta. Karena sawar (barier) ini, aliran
darah janin dan ibu tidak tercampur.
Desidua kemudian melapisi keseluruhan uterus. Pada tempat produk kehamilan menanamkan
dirinya, lapisan desidua tersebut pecah menjadi dua. Desidua yang langsung berada di bawah
blastokist disebut desidua basalis dan desiuda yang letaknya superfisial terhadap blastokist
(yaitu bagian desidua yang akan menutupi produk pembuahan setelah implantasi terjadi)
dinamakan desidua kapsularis. Bagian desidua lainnya yang melapisi kavum uteri dinamakan
desidua vera.

Kapsula ovum tumbuh sampai desidua kapsularis bertemu dengan desidua vera. Kedua desidua
ini menyatu dan kavum uteri akan tersumbat pada akhir mingg ke-12 kehamilan.

Vili yang mengelilingi ovum semakin bertambah jumlahnya dan dalam setiap vili terbentuk
bagian inti yang mengandung pembuluh darah. Vili yang bersentuhan dengan desidua kapsularis
segera

22
mengalami atrofi dan akhirnya menjadi membran luar (korion). Vili yang bersentuhan dengan
desidua basalis tidak mengalami atrofi dan akan tumbuh menjadi korion frondosum.

Korion frondosum (berasal dari ovum) dan desidua basalis (berasal dari ibu) secara bersama
sama membentk plasenta. Proses ini selesai pada akhir bulan ke-3. plasenta akan terus tumbuh
disepanjang kehamilan sampai usia aterm (40 minggu).

Plasenta pada usia aterm

Pada usia aterm, plasenta memiliki berat sekitar seperenam berat bayi dan biasanya berukuran
sekitar 20cm dengan ketebaan 2 3cm. Plasenta terutama berasal dari janin tetapi permukaannya
yang merah dan kasar berasal dari ibu.

Bagian Bagian Plasenta

Permukaan Fetal/Bagian Janin (fetal portion)

Terdiri dari korion frondosum dan vili. Vili dari uri yang matang terdiri atas :

Vili korialis

Ruang ruang interviler

Darah ibu yang berada dalam ruang interviler berasal dari arteri spiralis yang berada di desidua
basalis. Pada sistol, darah dipompa dengan tekanan 70 80 mmHg kedalam ruang intervier
sampai pada lempeng korionik pangkal dari kotiledon kotiledon. Darah tersebut membanjiri vili
korialis dan kembali perlahan lahan ke pembuluh balik di desidua dengan tekanan 8 mmHg.

Pada bagian permukaan janin uri diliputi oleh amnion yang kelihatan licin. Dibawah lapisan
amnion ini berjalan cabang cabang pembuluh darah tali pusat. Tali pusat akan berinsersi pada uri
bagian permukaan janin

Permukaan Maternal

Permukaan maternal berwarna merah gelap. Permukaan ini terbagi menjadi sejumlah kotiledon
(lobus). Plasenta yang mature seringkali memiliki bercak bercak kasar seperti butiran pasir.

Terdiri atas desidua kompakta yang terbentuk dari beberapa lobus dan kotiledon (15 20 buah).
Desidua basalis pada uri matang disebut lempeng korionik (basal), dimana sirkulasi utero-
pasental berjalan ke ruang ruang intervili melalui tali pusat. Jadi, sebenarnya peredaran darah ibu
dan janin adalah terpisah. Pertukaran terjadi melali sinsitial membran yang berlangsung secara
osmosis dan alterasi fisiko kimia.

Tali Pusat

Tali pusat merentang dari pusat janin ke uri bagian permukaan janin. Panjangnya rata rata 50
55 cm, sebesar jari (diameter 1 2,5cm). Pernah dijumpai tali pusat terpendek 0,5cm dan
terpanjang 200cm. Struktur terdiri atas 2 arteri umbilikalis dan 1 vena umbilikalis serta jelly
wharton.

Bentuk dan ukuran Plasenta


Uri (plasenta) berbentuk bundar atau oval, ukuran diameter 15 20cm, tebal 2 3cm, berat 500
600 gram. Biasanya plasenta terbentu lengkap pada kehamilan kira kira 16 minggu dimana
ruang amnion telah mengisi seluruh rongga rahim.

Letak Plasenta

Letak uri yang normal umumnya pada korpus uteri bagian depan atau belakang agak ke arah
fundus uteri.

23
Sirkulasi Plasenta

Darah dipompakan lewat janin oleh jantung janin. Darah meninggalkan janin melali pembuluh
pembuluh arteri pada funikulus umbilikalis dan berjalan ke plasenta. Pembuluh arteri umbilikalis
ini bercabang di seluruh permukaan plasenta, terbagi lagi dan kemudian berakhir dalam vili
korialis.

Vili korialis terendam dalam darah maternal namun tidak terdapat hubungan langsung antara
darah fetal dan darah maternal. Karbondioksida dan setiap produk limbah akan diangkut keluar
sementara oksigen dan nutrien diambil lewat sawar plasenta. Darah yang sudah diperbarui in
akan kembeli ke janin lewat vena umbilikalis.

Fungsi Plasenta

Nutrisi, yaitu alat pemberi maanan pada janin

Darah maternal akan memberikan nutrien kepada janin dalam bentuk yang paling sederhana :

Karbohidrat dalam bentuk glukosa

Protein dalam bentuk asam amino

Lemak dalam bentuk asam lemak

Vitamin

Mineral

Dll

Plasenta mengubah glukosa menjadi glikogen, menyimpannya dan mengubahnya kembali ketika
diperlukan sampai hati janin berfungsi penuh. Meskipun janin bergantung pada ibu dalam
memperoleh semua kebutuhan gizinya, namun keadaan kurang gizi yang diderita ibu biasanya
harus cukup berat sebelum pertumbuhan intrauterin terganggu.
Respirasi, yaitu alat penyalur zat asam dan pembuang CO2

Tekanan aliran darah maternal ke plasenta relatif rendah dan aliran yang lebih lambat sebagai
akibat dari tekanan yang rendah ini akan membantu proses pertukaran gas. Oksigen dari darah
ibu berdifusi lewat barrier plasenta. Jika ibu mengalami hipoksia, janin akan mengalami hipoksia
pula. Defisiensi atau kekurangan oksigen pada janin akan terjadi pula kalau terdapat gangguan
aliran darah plasenta (seperti ketika uterus berkontraksi terus saat persalinan). Kalau terdapat
gangguan aliran darah tali pusat (misalnya penipisan, peregangan atau prolapsus tali pusat) dan
kalau tekanan darah maternal terlalu tinggi sehingga pertukaran gas tidak efektif (misal pada pre
eklamsia).

Ekskresi, yaitu alat pengelaran sampah metabolisme

Plasenta mengekskresikan setiap produk limbah. Produk ini sangat sedikit karena semua bahan
gizi sudah dalam bentuk siap pakai. Penggunaan zat zat gizi terutama bagi pembangunan
jaringan.

Produksi, Yaitu alat yang menghasilkan hormon hormon Hormon hormon yang dhasilkan oleh
plasenta antara lain :
Human Chorionic gonadotropin (HCG)

Chorionic somatomammotropin (placental lactogen)

Estrogen

Progesteron

Tirotropin korionik dan relaksin

24
dll

Imunisasi, yaitu alat penyalur bermacam macam antibodi ke janin

Pertahanan (sawar), yaitu alat yang menyaring obat obatan dan kuman kuman yang bisa
melewati urin

DAFTAR PUSTAKA

Ida bagus Gde Manuaba. 2007. Pengantar kuliah obstetri. EGC. Jakarta

Ilyas, Jumarni. 1994. Asuhan keperawatan Perinatal. Jakarta. EGC

Hamilton, Persis Mary. 1995. Dasar dasar Keperawatan Maternitas. Ed 6. Jakarta. EGC

Bobak. 2004. Buku Ajar keperawatan Maternitas. Ed 4. Jakarta. EGC.

Farrer, Helen. 1999. Perawatan Maternitas. Ed 2. EGC. Jakarta

Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri : Obstetri fisiologi, obstetri patologi. Ed 2. EGC.
Jakarta
RETENSIO PLASENTA

DEFINISI

Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga atau melebihi

waktu 30 menit setelah bayi lahir.

ETIOLOGI

Penyebab pasti tertundanya pelepasan plasenta dari implantasinya tidak selalu dapat

dijelaskan, tetapi sebagian besar gangguan pelepasan plasenta disebabkan oleh gangguan

kontraksi uterus. Walaupun sangat jarang, hal tersebut dapat disebabkan karena plasenta melekat

erat ke tempat implantasi, akibatnya satu atau lebih kotiledon melekat erat ke desidua basalis

bahkan sampai ke miometrium, keadaan ini disebut plasenta akreta.

Walaupun plasenta yang terlalu melekat jarang dijumpai, namun memiliki makna klinis

yang cukup penting karena morbiditas dan mortalitas yang ditimbulkan oleh perdarahan berat,

perforasi usus, dan infeksi. Insiden plasenta akreta, inkreta dan perkreta telah meningkat karena

meningkatnya angka seksio sesarea.

Penyebab retensio plasenta:

1 Plasenta belum terlepas dari dinding rahim karena uterus kurang kuat untuk melepaskan

plasenta atau plasenta melekat dan tumbuh lebih dalam. Menurut tingkat perlekatannya:

a Plasenta adhesiva: plasenta yang melekat pada desidua endometrium lebih dalam.

b Plasenta inkreta: vili khorialis tumbuh lebih dalam dan menembus desidua

endometrium sampai ke miometrium.

c Plasenta akreta: vili khorialis tumbuh menembus miometrium sampai ke serosa

d Plasenta perkreta: vili khorialis tumbuh menembus serosa atau peritoneum dinding

rahim.
: kelainan perlekatan plasenta pada dinding uterus

2 Plasenta sudah terlepas dari dinding rahim namun belum disebabkan adanya lingkaran

konstriksi pada bagian bawah rahim (akibat kesalahan penanganan kala III) yang akan

menghalangi plasenta keluar (plasenta inkarserata). Plasenta mungkin pula tidak keluar

karena kandung kemih atau rektum penuh. Oleh karena itu keduanya harus dikosongkan.

Bila plasenta belum lepas sama sekali tidak akan terjadi perdarahan tetapi bila sebagian plasenta

sudah lepas sebagian maka akan terjadi perdarahan. Ini merupakan indikasi untuk segera

mengeluarkannya.

PENATALAKSANAAN

Penanganan retensio plasenta berupa pengeluaran plasenta dilakukan apabila plasenta

belum lahir dalam 1/2-1 jam setelah bayi lahir terlebih lagi apabila disertai perdarahan. Dapat

dicoba dulu perasat menurut Crede. Tindakan ini sekarang tidak banyak dianjurkan karena

kemungkinan terjadinya inversio uteri dan tekanan yang keras pada uterus dapat pula

menyebabkan perlukaan pada otot uterus dan rasa nyeri keras dengan kemungkinan syok. Para

ahli mengatakan bahwa perasat ini dapat menimbulkan pelepasan tromboplastin atau fibrinolis

okinase yang mengakibatkan koagulopati. Akan tetapi dengan teknik yang sempurna dan tanpa

paksaan, hal tersebut dapat dihindarkan.


Perasat crede dimaksudkan untuk melahirkan plasenta yang belum terlepas dengan

ekspresi. Perasat ini dapat dilakukan jika kontraksi uterus baik dan vesika urinaria kosong.

Pelaksanaannya dengan cara memegang fundus uteri dengan tangan kanan sehingga ibu jarit

erletak pada permukaan depan uterus sedangkan jari lainnya pada fundus dan permukaan

belakang, bila ibu gemuk hal ini tidak dapat dilaksanakan dan sebaiknya langsung dikeluarkan

secara manual. Setelah uterus berkontraksi baik, maka uterus di tekan ke arah jalan lahir.

Gerakan jari seperti memeras jeruk. Perasat crede tidak dilakukan jika uterus tidak berkontraksi

baik karena dapat menimbulkan inversio uteri.

Salah satu cara lain untuk membantu pengeluaran plasenta adalah cara Brandt. Dengan

salah satu tangan, penolong memegang tali pusat dekat vulva. Tangan yang lain diletakkan pada

dinding perut di atas simfisis sehingga permukaan palmar jari-jari tangan terletak di permukaan

depan rahim, kira-kira pada perbatasan segmen bawah rahim. Dengan melakukan tekanan ke

arah dorsokranial, maka badan rahim akan terangkat. Apabila plasenta telah lepas, maka tali

pusat tidak akan tertarik ke atas. Kemudian tekanan di atas simfisis di arahkan ke arah

dorsokranial, ke arah vulva. Pada saat ini dilakukan tarikan ringan pada tali pusat untuk

membantu mengeluarkan plasenta. Yang selalu tidak dapat dicegah ialah bahwa plasenta tidak

dapat dilahirkan seluruhnya, melainkan sebagian masih ketinggalan yang harus dikeluarkan

dengan tangan.

Pengeluaran plasenta dengan tangan atau pelepasan plasenta secara manual (manual

plasenta) kini dianggap cara yang paling baik. Dengan tangan kiri menahan fundus uteri supaya

uterus jangan naik ke atas, tangan kanan dimasukkan ke dalam kavum uteri. Dengan mengikuti

tali pusat, tangan itu sampai di plasenta dan mencari pinggir plasenta. Kemudian jari-jari tangan

itu dimasukkan antara pinggir plasenta dan dinding uterus. Biasanya tanpa kesulitan plasenta

sedikit demi sedikit dapat dilepaskan dari dinding uterus untuk kemudian dilahirkan. Sebaiknya

sebelum tindakan pelepasan plasenta secara manual dilaksanakan, sebaiknya pasang infus garam

fisiologis. Walaupun orang takuta bahwa pelepasan plasenta secara manual meningkatkan

insidensi infeksi, namun tidak boleh dilupakan bahwa perasat ini justru bermaksud untuk

menghemat darah dan dengan demikian menurunkan kejadian infeksi.


A B

Pelepasan plasenta secara manual. A: tangan kanan masuk ke kavum uteri dengan

menyusuri tali pusat. B: jari-jari tangan itu dimasukkan antara pinggir plasenta dan

dinding uterus. C: setelah seluruh plasenta terlepas, plasenta dipegang dan ditarik dan

dikeluarkan perlahan-lahan.

Banyak kesulitan dialami dalam pelepasan plasenta pada plasenta akreta. Plasenta hanya

dapat dikeluarkan sepotong demi sepotong dan bahaya perdarahan serta perforasi mengancam.

Apabila berhubungan dengan kesulitan-kesulitan tersebut di atas akhirnya diagnosis plasenta

akreta dibuat, sebaiknya usaha mengeluarkan plasenta secara bimanuil dihentikan, lalu dilakukan

histerektomi.

Pada plasenta yang sudah lepas, akan tetapi terhalang untuk dilahirkan karena lingkaran

konstriksi (inkarserasio plasenta) tangan kiri penolong dimasukkan ke dalam vagina dibantu oleh

anestesia umum melonggarkan konstriksi. Dengan tangan tersebut sebagai petunjuk dimasukkan

cunam ovum melalui lingkaran konstriksi untuk memegang plasenta, dan perlahan-lahan

plasenta sedikit demi sedikit ditarik ke bawah melalui tempat sempit itu.

Setelah melakukan tindakan pelepasan plasenta, dilakukan eksplorasi kavum uteri


sehingga diyakinkan tidak ada jaringan plasenta yang tertinggal. Sebagian dokter cenderung

mengusap kavum uteri dengan spons/kassa, apabila hal ini dilakukan, perlu dipastikan bahwa

spons/kassa ridak tertinggal di uterus atau vagina.

Setelah plasenta lahir fundus uteri harus selalu dipalpasi untuk memastikan bahwa uterus

berkontraksi dengan baik. Apabila uterus tidak keras, maka masase fundus diindikasikan.

Biasanya oksitosin diberikan 20 IU dalam 1000 ml ringer laktat atau normal salin dengan

kecepatan tetesan sekitar 10 tetes/ menit ditambah dengan masase uterus akan menimbulkan

kontraksi yang efektif. Apabila oksitosin yang diberikan secara infus cepat tidak efektif,

beberapa dokter memberikan turunan ergot (metilergonvin) 0,2mg intravena atau intramuskuler.

Obat ini dapat merangsang uterus berkontraksi cukup kuat untuk menghentikan perdarahan. Obat

ini dikontraindikasikan pada wanita dengan preeklamsia karena dapat menyebabkan hipertensi

yang berbahaya.

Tabel 2. Jenis uterotonika dan cara pemberiannya

JENIS DAN MISOPROSTO


OKSITOSIN ERGOMETRIN
CARA L
Dosis dan cara IV: 20 unit dalam IM atau IV (lambat): Oral atau rektal

pemberian 1 L NS dengan 0,2 mg 400 mg

awal tetesan cepat

IM : 10 unit
Dosis lanjutan IV: 20 unit dalam Ulangi 0,2 mg IM 400 mg 2-4 jam

1 L NS dengan setelah 15 menit. setelah dosis

40 tetes/ menit Bila masih diperlukan awal


beri IM/IV setiap 2-4

jam
Dosis Tidak lebih dari 3 Total 1 mg atau 5 Total 1200 mg

maksimal/hari L larutan dengan dosis atau 3 dosis

oksitosin
Indikasi Pemberian IV Preklampsia, vitium Nyeri kontraksi

kontra/hati- secara cepat/ bolus kordis, hipertensi Asma

hati

DAFTAR PUSTAKA

1 Saifuddin, A.B, ed. 2006. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan

Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

2 Martohoesodo,S., Hariadi,R., Ilmu Kebidanan Edisi III, Yayasan Bina Pustaka Sarwono

Prawirohardjo, Jakarta, 2002

3 Cunningham, F.Gary et all. Obstetri Williams Vol. 1 Edisi 21. Jakarta. EGC. 2006

4 Prof. Dr. Rustam Mochtar, MPH G:\Hasil Penelusuran http--www_geocities_com-

klinikobgin-kelainan-persalinan-perdarahan-postpartum_jpg.mht

Anda mungkin juga menyukai