Anda di halaman 1dari 11

Ikterus Obstruktif

Fekaj E1*, Jankulovski N2 dan Matveeva N3

Abstrak
Penyebab paling umum dari ikterus obstruktif adalah koledokolitiasis, struktur
traktus biliaris, kolangiokarsinoma, karsinoma pankreas, pankreatitis, parasit, dan
kolangitis sklerosis primer. Diagnosis sindroma ini ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
fisik, pemeriksaan laboratorium, pencitraan dan pemeriksaan endoskopik. Apapun
penyebabnya, obstruksi fisik akan menyebabkan utamanya hiperbilirubinemia
terkonjugasi. Ikterus obstruktif dapat berkomplikasi dengan gangguan ginjal, gangguan
hemostasis, gangguan hati, peningkatan permeabilitas usus, dan komplikasi lainnya.
Saat diagnosis obstruksi bilier mekanik ditegakkan, biasanya direkomendasikan
intervensi bedah, endoskopik atau radiologis. Endoscopic Retrogade
Cholangiopancretography merupakan suatu alat bantu diagnostik dan terapeutik yang
dikembangkan untuk penyakit pankreatikobilier termasuk koledokolitiasis. Akan tetapi,
Magnetic Resonance Cholangiopancreatography secara bertahap mulai menjadi suatu
alat bantu diagnostik alternatif dan dianggap sebagai suatu teknik diagnostik noninvasif
pada penyakit bilier. Pada pasien, dimana batu empedu berkaitan dengan batu duktus
bilaris komunis, maka tidak terdapat konsensus yang menyatakan bahwa pendekatan
laparoskopik atau endoskopik yang harus menjadi terapi lini pertama. Terlepas dari
kemajuan teknogi dalam prosedur diagnostik selama beberapa dekade terakhir, hanya
sekitar 20% dari kanker pankreas yang ditemukan yang dapat direseksi. Berbagai
strategi terapi paliatif telah dijelaskan. Saat ini, terapi yang paling umum adalah
pemasangan stent bilier endoskopik dan operasi bypass bilier. Rekomendasinya adalah
bahwa stent endoskopik harus dilakukan pada pasien dengan prognosis yang buruk
(yaitu, angka harapan hidup kurang dari enam bulan), dan bahwa pasien dengan angka
harapan hidup yang lebih dari enam bulan harus diterapi dengan bypass bilier karena
hasil jangka panjang yang lebih baik terkait dengan operasi tersebut.
Kata kunci: Ikterus obstruktif; Ikterus; Bilirubinemia terkonjugasi

Singkatan

1
ALT: Alanin Transaminase; AST: Aspartat Transaminase; GGT: Gama-
Glutamiltranspeptidase; ALP: Alkalin Fosfatase; ERCP; Endoscopic Retrograde
Cholangiopancretography; PT: Waktu Protrombin; CBD: duktus biliaris komunis; CT:
Computed Tomography; MRCP: Magnetic Resonance Cholangiopancretography; MRI;
Magnetic Resonance Imaging; PTC: Percutaneous Transhepatic
Cholangiopancretography; CD4+: Cluster of Differentiation 4; CD8+: Cluster of
Differentiation 8.

Pendahuluan
Ikterus obstruktif terjadi akibat dari obstruksi bilier, yaitu suatu sumbatan pada
duktus yang membawa empedu dari hati ke kandung empedu dan kemudian ke usus
halus [1]. Penyebab ikterus obstruktif yang paling sering adalah koledokolitiasis,
karsinoma pankreas, pankreatitis, parasit, dan kolangitis sklerosis primer [2].
Batu di duktus biliaris komunis terjadi pada 10-15% pasien dengan batu
empedu. Batu-batu ini bertanggung jawab terhadap lebih dari 80% batu duktus biliaris
komunis; mereka berpindah dari kandung empedu dan memiliki bentuk dan komposisi
kimia yang sama dengan batu-batu lain yang ditemukan di traktus biliaris. Batu duktus
bilaris primer mungkin dapat berkembang meskipun jarang terjadi dalam duktus biliaris
komunis beberapa tahun pasca kolesistektomi [3].
Prevalensi batu empedu dan batu duktus biliaris meningkat seiring dengan
bertambahnya usia [4]. Lebih dari 90% pasien dengan karsinoma caput pankreas
menunjukkan tanda dan gejala ikterus obstruktif pada saat datang berobat [5].
Artikel ini menekankan mengenai diagnosis, komplikasi, dan modalitas terapi
dari ikterus obstruktif. Tujuan tinjauan ini adalah untuk meningkatkan pemahaman dan
penatalaksanaan dari sindroma ini.

Diagnosis Ikterus Obstruktif


Manifestasi klinis
Manifestasi klinis bergantung pada etiologi utama dari penyakit ini, dan meliputi
memberatnya ikterus dan nyeri perut selama beberapa hari, diikuti dengan nyeri yang
hilang timbul dan ikterus saat batu terlepas dan kembali menyumbat duktus biliaris

2
komunis, dan ikterus dengan gejala yang terus-menerus, warna urin seperti teh tua,
anoreksia, penurunan berat badan, dan malaise terkait malignansi [6].
Apapun penyebabnya, obstruksi fisik menyebabkan terjadinya
hiperbilirubinemia terkonjugasi. Ikterus pada konjungtiva umumnya merupakan tanda
yang lebih sensitif untuk hiperbilirubinemia daripada ikterus pada kulit secara umum
[7]. Kurangnya bilirubin pada traktus digestivus menyebabkan warna feses seperti
dempul yang biasanya berkaitan dengan obstruksi bilier. Penyebab rasa gatal (pruritus)
yang berkaitan dengan obstuksi bilier masih belum dipahami secara jelas. Beberapa
meyakini bahwa mungkin hal tersebut berkaitan dengan akumulasi asam empedu di
kulit. Yang lain menyatakan bahwa hal tersebut mungkin berkaitan dengan pelepasan
opioid endogen [8].
Temuan laboratorium
Apapun penyebab kolestasisnya, kadar bilirubin serum (terutama direk) biasanya
mengalami meningkat. Pada fase awal obstruksi dan yang bersifat inkomplit atau
intermiten, kadar bilirubin, kadar bilirubin serum mungkin hanya meningkat sedikit.
Alkalin Fosfatase (ALP): Suatu enzim yang berikatan-pada-membran yang
terletak di kutub kanalikuli biler dari hepatosit, ALP meningkat pada pasien-pasien
dengan obstruksi bilier. Kadar ALP meningkat pada hampir 100% pasien, kecuali pada
beberapa kasus obstruksi inkomplit atau intermiten. Kadarnya biasanya tiga kali lipat
batas atas dari nilai rujukan. Peningkatan yang kurang dari tiga kali lipat batas atas
merupakan bukti adanya obstruksi ekstra-hepatik.
Gama-Glutamiltranspeptidase (GGT): Kadarnya meningkat pada pasien-
pasien dengan penyakit hati, traktus biliaris, dan pankreas bila traktus biliaris
mengalami obstruksi. Kadarnya sebanding dengan ALP pada kondisi yang berkaitan
dengan kolestasis.
Serum Transaminase: (ALT, AST): Kadar enzim ini biasanya hanya
meningkat ringan pada pasien dengan kolestasis namun biasanya mungkin meningkat,
terutama bila dijumpai adanya kolangitis.
Waktu Protrombin (PT): Biasanya memanjang karena malabsorpsi dari
vitamin K. Perbaikan PT dengan pemberian vitamin K parenteral dapat membantu
membedakan gagal hati dengan kolestasis. Sedikit perbaikan atau bahkan tidak ada
perbaikan yang terjadi pada pasien dengan penyakit pada parenkim hati [9].

3
Pemeriksaan Pencitraan
Sonografi transabdomen
Ultrasound merupakan pilihan pemeriksaan awal untuk diagnosis adanya
obstruksi dan hingga seberapa jauh obstruksinya. Ultrasonografi dapat menemukan
adanya obstruksi bilier pada 78-89% kasus [10]. Deteksi yang akurat terhadap tingkat
obstruksi mungkin terjadi pada 27-95% kasus, dan mungkin dapat diketahui juga
penyebab obstruksi, pada sekitar 23-88% kasus. Merupakan pemeriksaan yang buruk
dalam mendeteksi adanya batu di duktus biliaris komunis dengan sensitivitas 25-58%
dan spesifisitas 68-91%. Akurasinya berkisar antara 47-90% dalam membedakan kasus
jinak atau ganas. Sensitivitas untuk keganasan pankreatikobilier berkisar dari 5% untuk
ampula dan 67-81% pada keganasan pankreatikobilier [10,11].
Sonografi endoskopik
Ultrasonografi endoskopik dapat membantu mengatasi batasan-batasan yang
dijumpai dalam mengevaluasi duktus biliaris komunis (CBD) distal pada sonografi
transabdomen. Pemeriksaan ini sangat akurat dalam mendiagnosis batu CBD dengan
akurasi keseluruhan sebesar 96% dibandingkan dengan sensitivitas sebesar 63% dari
sonografi transabdomen terutama untuk batu kecil tanpa dilatasi dari sistem bilier [12].
Pemeriksaan ini juga dapat menemukan massa kecil pankreatobilier yang dapat
direseksi dengan sensitivitas tinggi, yaitu sebesar 93-100% [13].
Computed Tomography
Computed Tomography (CT) tradisional biasanya dianggap lebih akurat
daripada ultrasonografi dalam membantu menentukan penyebab spesifik dan tingkat
obstruksinya. Akurasi dari CT konvensional dalam menentukan keberadaan dan tingkat
obstruksi mencapai 81-94% dan 88-92% secara berurutan [14]. CT Scan memiliki nilai
yang terbatas dalam membantu mendiagnosis batu duktus biliaris komunis karena
banyak batu yang bersifat radiolusen dan CT Scan hanya dapat menunjukkan batu
dengan kalsifikasi. CT kolangiografi dengan teknik CT spiral paling sering digunakan
untuk menggambarkan sistem bilier dan membuat visualisasi dari batu radiolusen dan
patologi bilier lainnya [15].
Magnetic Resonance Cholangiopancreatography (MRCP) dan MRI
MRCP merupakan suatu metode non-radiasi, non-invasif, dan memiliki
sensitivitas tinggi dalam menyelidiki lesi obstruktif di traktus biliaris [17]. Alat ini

4
memiliki sensitivitas sebesar 95% dan spesifisitas sebesar 95% dalam menunjukkan
tingkat dan keberadaan obstruksi bilier [16]. MRCP dapat dipertimbangkan sebagai
standar emas baru dalam menyelidiki obstruksi bilier dan mempersiapkan ERCP pada
pasien dengan kemungkinan intervensi terapeutik yang tinggi [17].
Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
ERCP merupakan prosedur rawat jalan yang menggabungkan modalitas
endoskopik dan radiologis untuk memvisualisasikan baik sistem duktus biliaris maupun
pankreas. Selain menjadi modalitas diagnostik, ERCP memiliki aplikasi terapeutik
karena obstruksi dapat diperbaiki dengan pengangkatan batu, sfingterotomi, dan
pemasangan stent dan drain. Sensitivitas dan spesifisitas ERCP adalah sebesar 90% dan
98%, secara berurutan. Komplikasi dari teknik ini antara lain pankreatitis, perforasi,
perdarahan, sepsis, dan efek samping dari obat-obatan untuk merelaksasikan duodenum.
ERCP masih dianggap sebagai kriteria standar untuk pencitraan sistem biliaris, terutama
bila direncanakan untuk dilakukan intervensi terapeutik [17].
Percutaneous Transhepatic Cholangiopancreatography (PTC)
Pemeriksaan ini bermanfaat terutama untuk lesi-lesi di duktus hepatikus
komunis bagian proksimal. Akurasi PTC dalam menemukan penyebab dan lokasi
ikterus obstruktif sebesar 90-100% untuk penyebab dalam traktus biliaris [17].

Komplikasi Terkait-Ikterus Obstruktif


Permeabilitas usus pada ikterus obstruktif
Traktus digestivus bukanlah sekedar suatu organ pasif untuk absorpsi nutris,
tetapi sistem ini juga menunjukkan fungsi penting dari endokrin, imunologi, metabolik,
dan sebagai barrier. Adanya cairan empedu di dalam lumen usus berkaitan dengan
sejumlah efek positif, yang berperan terhadap fungsi barrier normal usus. Cairan
empedu memiliki efek positif terhadap barrier imun, biologis, dan mekanik. Penelitian
eksperimental menunjukkan bahwa cairan empedu mempengaruhi penyimpanan dan
distribusi dari limfosit T pada jaringan limfatik terkait-usus, dan ketidakberadaannya
menyebabkan penurunan jumlah limfosit T CD4+ dan CD8+ [18]. Cairan empedu telah
dilaporkan dapat menghambat pertumbuhan bakteri tertentu seperti Bacteroides,
Clostridia, Lactobacillus, dan Streptococci. Tidak adanya cairan empedu menyebabkan
terganggunya keseimbangan bakteri dalam usus dengan pertumbuhan berlebihan dari

5
bakteri gram negatif [19]. Selain itu, empedu memberikan efek tropik pada mukosa
usus, meningkatkan kepadatan vili usus, dan menginduksi hipertrofi komponen dinding
usus [20]. Seluruh komponen integritas barrier usus dapat dipengaruhi oleh obstruksi
bilier dan tidak adanya empedu di dalam lumen usus [18].
Perubahan ekspresi tight junction usus dan peningkatan apoptosis di usus
disertai dengan perubahan signifikan pada status oksidatif usus, yang menggambarkan
faktor tambahan yang penting dalam mendorong cedera usus pada ikterus obstruktif
[21,22]. Peningkatan permeabilitas membran diduga menjadi faktor utama penyebab
translokasi bakteri dan endotoksin serta patogenesis sepsis dan komplikasi ginjal pada
pasien-pasien dengan obstruksi bilier ekstra-hepatik [23].
Penekanan kapasitas bersihan sel Kupffer, populasi makrofag utama hepar,
berhubungan dengan akumulasi cairan empedu dalam hati, sehingga menyebabkan
tumpahan endotoksin dari sirkulasi porta ke sirkulasi sistemik, dengan pelepasan
sitokin-sitokin proinflamasi, yang akan menyebabkan perkembangan dari sepsis
turunan-usus [18].
Gangguan hemostasis pada pasien dengan ikterus obstruktif
Sebagai bagian dari peran multifactorial hati dalam sintesis protein, banyak
faktor-faktor koagulasi (fibrinogen, prothrombin, V,VII,VIII,IX,X,XI,XII,XIII,
prekalikrein), antikoagulan alami (antitrombin-III, kofaktor-II heparin, Protein C,
Protein S), dan komponen-komponen dari sistem fibrinolysis (plasminogen, a2-
antiplasmin) yang diproduksi di hati. Penyakit hati kronik, baik obstruksi bilier maupun
penyakit pada parenkim hati, akan disertai dengan pembekuan yang abnormal.
Translokasi bakteri memainkan peran penting dalam patofisiologi gangguan hemostasis
pada pasien dengan ikterus obstruktif. Gangguan hemostasis pada pasien dengan ikterus
obstruktif bersifat multifactorial dan sulit untuk dinilai. Kolestasis sederhana namun
berlangsung lama akan menyebabkan diatesis hemoragik. Bila komplikasi sepsis
dan/atau ketelibatan pankreas saling tumpeng tindih, maka hasil akhir dai hemostasis
akan menjadi suatu status protrombotik. Saat dijumpai malignansi, situasinya akan
menjadi lebih rumit. Adenokarsinoma mukus pankreas dan karsinoma hepatoseluler
dapat menginduksi aktivasi hemostasis. Kejadian tromboemboli, terutama yang
terdahulu, biasanya sering diujumpai dan merupakan komplikasi yang serius yang
menyebabkan prognosis yang buruk. Kolestasis yang menetap mungkin akan

6
menyebabkan disfungsi hati dan perkembangan menjadi sirosis. Pada kasus-kasus ini,
lebih banyak gangguan hemostatis umum yang mempengaruhi seluruh jalur yang akan
dijumpai: trombositopenia, penurunan sintesis dan bersihan dari faktor koagulasi dan
inhibitor, dysfibrinogenemia, hiperfibrinolisis dan koagulasi diseminata intravaskuler
bersamaan dengan stasis bena porta serta thrombosis dapat ditemukan pada satu pasien
[24].
Ikterus obstruktif dan gangguan ginjal
Bukti yang ada saat ini, terutama berasal dari model eksperimental,
mengindikasikan bahwa ikterus saja (terlepas dari penyakit parenkim paru)
mempengaruhi integritas dari fungsi kardiovaskuler. Efek-efeknya adalah sebagai
berikut: 1) Penurunan resistensi perifer, yang akan menyebabkan hipotensi sistemik, 2)
Menurunnya kinerja miokardium, dan 3) Natriuresis dan diuresis yang akan
menyebabkan berkurangnya volume.
Selain itu, sebagian besar data eksperimental menunjukkan bahwa baik bilirubin
maupun cairan empedu tidak memiliki efek nefrotoksik secara langsung, dan oleh
karena itu, komplikasi ginjal pada ikterus obstruktif eksperimental utamanya
diakibatkan oleh faktor-faktor pra-renal. Selain efek merugikan dari cairan empedu
terhadap ginjal dan sirkulasi, jelas bahwa faktor-faktor terkait dengan kerusakan
parenkim hati berkaitan dengan ikterus obstruktif mungkin memiliki kontribusi
independen terhadap patogenesis arterial underfilling yang lebih lanjut akan
mendorong pasien ini pada gagal ginjal dan akhirnya nekrosis tubular akut.
Jelas bahwa efek hemodinamik perifer dan ginjal dari ikterus pembedahan
lebih bermakna daripada ikterus pengobatan yang berkaitan dengan sirosis. Perbedaan
ini dapat dikaitkan dengan tingginya prevalensi endotoksemia pada ikterus obstruktif
dan efek merugikan dari endotoksin terhadap mikrosirkulasi ginjal dan sistemik. Selain
itu, peningkatan kadar cairan empedu yang bersirkulasi pada ikterus obstruktif
berkontribusi terhadap gangguan hemodinamik berat melalui efek langsung terhadap
sirkulasi sistemik, melalui efek kardiodepresor, dan kemungkinan efek hipovolemik
[25].
Ikterus obstruktif dan gangguan hati
Ikterus obstruktif dapat menyebabkan gangguan patofisiologi seperti lesi
fungsional pada hati dan ginjal, gangguan fungsional dari pembekuan darah, cedera

7
membran mukosa lambung, menurunnya fungsi imun dan gangguan regenerasi hati
[26].
Penelitian patofisiologi saat ini terhadap ikterus obstruktif menunjukkan bahwa
kerusakan hati, ginjal, dan sistem imun pasien berkaitan erat dengan endotoksemia [27].
Obstruksi bilier derajat-tinggi akan mulai menyebabkan kerusakan sel, dan bila
tidak ditangani akan menyebabkan sirosis bilier sekunder [28,29]. Pada pasien dengan
ikterus obstruktif cairan empedu dapat menginduksi apoptosis sel hati [30]. Meskipun
apoptosis merupakan mekanisme dengan pengaturan tinggi, kekacauan apoptosis dapat
terjadi kapanpun mulai dari embryogenesis hingga usia dewasa, yang menyebabkan
berbagai kondisi patologis [31,32]. Mekanisme dimana cairan empedu menginduksi
apoptosis pada hepatodit masih belum dipahami sepenuhnya [33]. Memang,
patofisiologi konsentrasi cairan empedu dapat menginduksi apoptosis baik melalui
aktivasi langsung terhadap reseptor [34], maupun induksi kerusakan oksidatif dan
gangguan mitokondria, sebuah kombinasi yang akan mensensitisasi apoptosis dengan
kuat [35,36].

Modalitas Terapi
Saat obstruksi biler mekanik terdiagnosis, biasanya direkomendasikan intervensi
bedah, endoskopik, atau radiologis [19]. Sindroma ikterus obstruktif sering dijumpai
dan umumnya memerlukan terapi pembedahan. Prevalensinya meningkat lebih dari dua
kali lipat sejak tahun 1980-an [37]. Meskipun telah terdapat kemajuan dalam evaluasi
perawatan pra- dan pasca-operasi, intervensi-intervensi untuk memperbaiki ikterus
obstruktif, terutama bedah, masih memiliki angka morbiditas dan mortalitias yang
tinggi, terutama karena sepsis dan gangguan ginjal [19].
Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
Pada era pra-endoskopi dan pra-laparoskopi, terapi standar untuk pasien yang
memiliki batu empedu disertai batu di duktus biliaris komunis adalah kolesistektomi
terbuka dan eksplorasi CBD. Dengan kemajuan teknik laparoskopik dan endoskopik,
beberapa terapi alternatif, seperti kolesistektomi laparoskopik, endoscopic retrograde
cholangiopancreatography pra-operasi dan pasca-operasi, dan sfingterotomi
endoskopik serta eksplorasi CBD laparoskopik telah dikembangkan untuk mengobati
koledokolitiasis. Selama dua dekade terakhir, kolesistektomi laparoskopik semakin

8
banyak diterima sebagai pilihan pertama dalam penatalaksanaan kolesistolitiasis.
Akibatnya, kasus-kasus batu CBD yang telah dikonfirmasi atau masih dicurigai secara
rutin diterapi melalui dua tahap manajemen menggunakan endoscopic retrograde
cholangiopancreatography/sfingterotomi endoskopik yang diikuti dengan
kolesistektomi laparoskopik [38].
Pada lebih dari 20% kasus, batu empedu berkaitan dengan batu CBD. Meskipun
banyak pemeriksaan dan teknik yang tersedia saat ini, dua masalah utama masih belum
dapat terjawab dengan jelas: bagaimana cara menegakkan diagnosis batu CBD dengan
biaya efektif, dan saat mereka ditemukan, bagaimana mengatasinya. Dua pendekatan
filosofis utama saling berhadapan untuk pasien dengan risiko sedang hingga berat
dalam membawa batu CBD; sebaliknya, pendekatan laparoskopik-dahulu, yang
utamanya bergantung pada kolangiografi intraoperatif untuk diagnosis dan eksplorasi
CBD laparoskopik untuk penatalaksanaan, dan sebaliknya, perilaku endoskopik-
dahulu, yang menggunakan magnetic resonance cholangiography, ultrasonografi
endoskopik dan/atau endoscopic retrograde cholangiography untuk diagnosis dan
sfingterotomi endoskopik untuk penatalaksanaan. Terkait diagnosis batu CBD,
kolangiografi intraoperatif, ultrasonografi endoskopik, dan magnetic resonance
cholangiography dilaporkan memberikan hasil yang sama. Literatur terbaru, terkait
penatalaksanaan, menunjukkan hasil jangka pendek dan jangka panjang yang lebih baik
pada pembedahan dalam hal batu yang menetap dan diperlukannya prosedur lebih
lanjut. Dengan demikian, meskipun belum ada konsensus yang memadai dan
manajemen batu CBD tampaknya tergantung pada ketersediaan instrumen, personel,
dan keterampilan, maka terapi endoskopik umumnya lebih disukai di seluruh dunia
[39].
ERCP merupakan suatu alat bantu diagnostik dan terapeutik yang dikembangkan
untuk penyakit pankreatobilier yang meliputi koledokolitiasis. Akan tetapi, nilai
diagnostik ERCP pada penyakit-penyakit bilier, terutama penyakit jinak, masih
sangatlah kurang. Magnetic Resonance Cholangiopancreatography (MRCP) secara
bertahap mulai menjadi suatu alternatif dan dianggap sebagai teknik diagnostik
noninvasif pada penyakit bilier [40].
Terapi bedah

9
Meskipun telah terdapat kemajuan dalam prosedur diagnostik selama beberapa
dekade terakhir, hanya sekitar 20% kanker pankreas yang dijumpai dapat direseksi pada
saat ditemukan [41,42]. Pada kondisi paliatif, perbedaan antara karsinoma caput
pankreas dengan disfungsi bilier distal seringkali tidak memungkinkan. Namun, kedua
malignansi ini biasanya adenokarsinoma dan memiliki gejala yang sama data mencapai
stadium tertentu. Sekitar 90% pasien ini menunjukkan tanda dan gejala ikterus
obstruktif pada saat ditemukan [43].
Berbagai strategi paliatif telah banyak dinyatakan. Hari ini, terapi yang paling
umum adalah pemasangan stent biler secara endoskopik dan operasi bypass bilier
dengan atau tanpa gastrojejunostomi. Selain itu, drainase bilier transhepar perkutan
dipandu-radiologis atau pemasangan stent transhepar biasanya dipersiapkan untuk
pasien-pasien yang tidak bisa dilakukan reseksi, dan yang tidak mampu menjalani
drainase endoskopik. Tujuan utama terapi paliatif pada pasien dengan karsinoma caput
pankreas yang tak dapat direseksi atau batu bilier distal adalah untuk memperbaiki
obstruksi bilier. Masih terdapat ketidaksetujuan mengenai apakah paliasi endoskopik
atau bedah berkaitan dengan hasil yang lebih baik, dan terdapat sejumlah penelitian
retrospektif yang menunjukkan keunggulan dari satu terapi dibanding terapi lainnya.
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa stent endoskopik memiliki morbiditas yang
lebih rendah selama periode pasca-prosedural awal. Akan tetapi, dengan semakin
bertambahnya lama follow-up, maka sekitar 20-50% pasien mengalami komplikasi,
seperti kolangitis atau ikterus rekuren. Namun, meskipun penelitian terhadap pasien
yang menjalani hepatikojejunostomi menemukan bahwa pasien ini memiliki morbiditas
yang lebih tinggi selama periode pasca-operasi awal selama waktu rawat inapnya,
timbulnya sekuel jangka-panjang seperti ikterus berulang cukup jarang dijumpai (0-
7%).
Beberapa peneliti telah menyatakan bahwa prognosis pasien harus memandu
pengambilan keputusan apakah pembedahan ataukah pemasangan stent yang lebih tepat
secara klinis. Mereka merekomendasikan bahwa stent endoskopik harus dilakukan pada
pasien-pasien dengan diagnosis yang buruk (yaitu angka harapan hidup kurang dari
enam bulan), dan pasien dengan angka harapan hidup lebih dari enam bulan harus
diterapi dengan bypass bilier karena hasil jangka panjang yang lebih baik terkait dengan
pembedahan [44].

10
Kesimpulan
Saat diagnosis obstruksi bilier mekanik ditegakkan, biasanya direkomendasikan
intervensi bedah, endoskopik, atau radiologis. Endoscopic Retrograde
Cholangiopancreatography merupakan suatu alat bantu diagnostik dan terapeutik yang
telah dikembangkan untuk penyakit-penyakit pankreatikobilier termasuk
koledokolitiasis. Namun, Magnetic Resonance Cholangiopancreatography secara
bertahap mulai menjadi alat bantu diagnostik alternatif dan dianggap sebagai suatu
teknik diagnostik non-invasif untuk penyakit-penyakit bilier. Pada pasien dimana batu
empedu berkaitan dengan batu CBD, belum ada konsensus yang menyatakan bahwa
pendekatan laparoskopik atau endoskopik yang harus menjadi terapi pertama. Hanya
sekitar 20% kanker pankreas yang dijumpai dapat direseksi pada saat ditemukan. Saat
ini, terapi yang paling sering untuk pemasangan stent bilier endoskopik dan operasi
bypass bilier. Rekomendasinya adalah bahwa pemasangan stent harus dilakukan pada
pasien dengan prognosis buruk (yaitu angka harapan hidup kurang dari enam bulan),
dan bahwa pasien dengan angka harapan hidup lebih dari enam bulan harus diterapi
dengan bypass bilier karena hasil jangka-panjang yang lebih baik terkait pembedahan.

Diterjemahkan dari
Sumber: Fekaj E, Jankulovski N and Matveeva N. Obstructive Jaundice. Austin Dig
Syst. 2017; 2(1): 1006.

11

Anda mungkin juga menyukai