Anda di halaman 1dari 14

REFERAT

RHINITIS ALERGI

DISUSUN OLEH :
Yenny Permatasari 1102008323

PEMBIMBING :
Kolonel (Purn) dr. Tri Damijatno, Sp.THT

Kolonel (Ckm) dr. Rakhmat H, Sp.THT-KL

Mayor (Ckm) dr. Moh.Andi F, Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN TELINGA, HIDUNG


dan TENGGOROKAN

RS TK II MOCH RIDWAN MEURAKSA

JAKARTA
2015
DAFTAR ISI
BAB I………………………………………………………………………………… 1
PENDAHULUAN……………………………………………………………………. 1
BAB II……………………………………………………………………………....... 2
TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………………… 2
1.1 ANATOMI HIDUNG……………………………………………………. 2
2.1 RHINITIS ALERGI……………………………………………………… 3
2.1.1 DEFINISI………………………………………………………. 4
2.1.2 KLASIFIKASI………………………………………………… 5
2.1.3 ETIOLOGI……………………………………………………... 5
2.1.4 PATOFISIOLOGI……………………………………………... 6
2.1.5 MANIFESTASI KLINIS……………………………………… 9
2.1.6 DIAGNOSIS…………………………………………………… 9
2.1.7 PENATALAKSANAAN……………………………………... 11
2.1.8 KOMPLIKASI………………………………………………... 14
BAB III……………………………………………………………………………… 15
KESIMPULAN……………………………………………………………………... 15
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………. 16
BAB I
PENDAHULUAN

Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi kronis yang disebabkan oleh suatu
reaksi alergi dengan dilepaskannya suatu mediator kima ketika terjadi paparan
ulangan dengan alergen spesifik pada pasien atopik yang sudah tersensitisasi dengan
alergen yang sama sebelumnya.1
Dengan kata lain, alergi adalah suatu reaksi hipersensitivitas. Penyakit alergi
merupakan kerusakan jaringan tipe 1, sehingga memerlukan adanya antibody
(immunoglobulin) E untuk terjadinya reaksi. Untuk menimbulkan reaksi alergi harus
dipenuhi 2 faktor, yaitu adanya sensitivitas terhadap suatu alergen (atopi), yang
biasanya bersifat herediter dan adanya kontak ulang dari alergen tersebut.1
Seperti yang telah diketahui sebelumnya dikenal bahwa reaksi tipe I menurut
klasifikasi Gell dan Coomb pada than 1963 mula-mula dianggap sebagai reaksi cepat
(terjadi beberapa saat setelah paparan) dan langsung menimbulkan gejala. Tetapi
setelah dipelajari lebih dalam, ternyata rinitis alergi merupakan suatu
penyakitinflamasi yang terdiri dari reaksi fase cepat, fase lambat dan fase
hiperresponsif.1
Usia rata-rata onset rinitis alergi adalah 8-11 tahun, dan 80% kasus rinitis
alergi berkembang dengan usia 20 tahun.2 Biasanya rinitis alergi timbul di usia muda.
Riwayat atopi memegang peranan penting dalam timbulnya rinits alergi. Jika kedua
orang tua memiliki riwayat atopi maka risiko anaknya untuk menderita atopi menjadi
4 kali lebih besar.2
Prinsip penatalaksanaan rinitis alergi terutama adalah menghindari faktor
pencetus utama, yaitu agen penyebab alergi yang bersifat spesifik pada masing-
masing individu. Kemudian untuk mempercepat resolusi dari gejala dapat didukung
dengan terapi farmakologi, baik dengan obat-obatan, pembedahan, maupun
imunoterapi.1

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Anatomi

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah :


1. Pangkal hidung (bridge)
2. Batang hidung (dorsum nasi)
3. Puncak hidung (hip)
4. Ala nasi
5. Kolumela
6. Lubang hidung (nares anterior)
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit dan jaringan ikat dan
beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang
hidung . Kerangka tulang terdiri dari :
1. tulang hidung (os nasal)
2. prosessus frontalis os nasal
3. prosessus nasalis os frontal
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang
rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung
, yaitu :
1. sepasang kartilago nasalis lateralis superior
2. sepasang kartilago lateralis inferior (kartilago ala mayor)
3. tepi anterior kartilago septum
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi cavum nasi kanan
dan kiri. Pintu atau lubang masuk cavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan
lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan cavum nasi
dengan nasofaring.1
Bagian dari cavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di
belakang nares anterior disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang
mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.
2
Tiap cavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan
superior.1

Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang
dan tulang rawan. Bagian tulang adalah :
1. lamina perpendikularis os etmoid
2. vomer
3. Krista nasalis os maksilaris
4. Krista nasalis os palatine
Bagian tulang rawan adalah :
1. Kartilago septum
2. kolumela
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya
paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalh konka media,
lebih kecil lagi ialah konka superior sedangkan yang terkecil adalah konka suprema.
Konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri
yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior
dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.5
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus. Berdasarkan letaknya, ada 3 meatus, yaitu :
1. meatus inferior, terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding
lateral ronggga hidung. Pada meatus inferior terdapat pula muara (ostium) duktus
nasolakrimalis.
3
2. meatus medius, terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung.
Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid
anterior.
3. meatus superior merupakan ruangan
nya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel
pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan
membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan
submukosa hidung.5
8
2.5 Manifestasi Klinis
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang.
Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila
terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme
fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap
patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat
dilepaskannya histamin.6
Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air
mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga,
faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang – garis hitam
melintang pada tengah punggung hidung akibat sering menggosok hidung ke atas
menirukan pemberian hormat (allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung yang
dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau
cair. Tanda di mata termasuk edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar
hitam dibawah mata (allergic shiner).6 Tanda pada telinga termasuk retraksi membran
timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachius. Tanda
faringeal termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid.
Tanda laringeal termasuk suara serak dan edema pita suara.6
Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah
penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa
orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan
sulit tidur.6

2.6 Diagnosis
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan :
1. Anamnesis
Muncul gejala-gejala umum, seperti bersin-bersin (terutama ketika bangun tidur di
pagi hari) timbul pada saat pasien merasa sedang kelelahan, hidung meler (ingus yang
timbul berwarna bening dan cair), mata berair dan terasa gatal, gatal pada hidung,
langit-langit, serta tenggorokan.
Untuk kondisi parah bisa muncul gejala seperti :
 Berkeringat
9
 Sakit kepala
 Kehilangan bau dan rasa
 Muka terasa sakit yang disebabkan oleh sinus diblokir
 Gatal menyebar dari tenggorokan, ke hidung dan telinga
 Kelelahan (fatigue)
 Sifat lekas marah
 Insomnia
Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset dan
keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor genetik dan herediter
sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap pengobatan, kondisi
lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila
terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung
dan mata gatal, ingus encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat, dan mata merah
serta berair maka dinyatakan positif.6

2. Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu
bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi
hidung.6 Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang
pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering
digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic salute).6
Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat atau
livid dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat
adanya kelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung
tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang
berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media.6

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
 Swab pada mukosa hidung

Pada Rinitis Alergi sel yang berperan antar lain sel eosinofil, makrofag dan

10

limfosit. Sel eosinofil ke jaringan tempat terjadi reaksi jaringan yang diperantarai oleh
eosinofil Chemotatic Factor of Anaphylactic (ECFA) yang dilepas oleh mastosit/
basofil, sedangkan pada fase lambat dipengaruhi oleh Platelet Activacting Factor
(PAF), yang juga berfungsi untuk degranulasi netrofil dan eosinofil. Untuk
meningkatkan adesi pada endotel. Pemeriksaan eosinofil usapan mukosa hidung valid
sebagai kriteria diagnosis Rinitis Alergi.

 Darah

 RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno
Sorbent Assay Test)

 Pemeriksaan sitologi hidung

Walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai


pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak
menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin
disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan
adanya infeksi bakteri.6

b. Skin Prick Test


  Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit (skin
Prick test). Pemeriksaan ini dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan
alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya.6
2.7 Penatalaksanaan
1. Terapi nonfarmakologi
Terapi non-farmakologi  yang paling ideal adalah dengan menghindari alergen
penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.
2. Terapi farmakologi
a.   Medikamentosa
Terapi medikamentosa yaitu antihistamin, obat-obatan simpatomimetik,
kortikosteroid dan antikolinergik topikal.
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1. Antagonis reseptor histamin
H1 berikatan dengan reseptor H1 tanpa mengaktivasi reseptor, yang mencegah
11
ikatan dan kerja histamin. Merupakan preparat farmakologik yang paling sering
dipakai sebagai lini pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam
kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin
dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan
generasi -2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat
menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta
mempunyai efek kolinergik.5
Generasi kedua lebih bersifat lipofobik dan memiliki ukuran molekul lebih
besar sehingga lebih banyak dan lebih kuat terikat dengan protein plasma dan
berkurang kemampuannya melintasi otak. Generasi kedua AH1 mempunyai rasio
efektivitas, keamanan dan farmakokinetik yang baik, dapat diminum sekali sehari,
serta bekerja cepat (kurang dari 1 jam) dalam mengurangi gejala hidung dan mata,
namun obat generasi terbaru ini kurang efektif dalam mengatasi kongesti hidung.6
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai
dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau
topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh untuk beberapa hari saja
untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa. Beraksi pada reseptor
adrenergik pada mukosa hidung untuk menyebabkan vasokonstriksi, menciutkan

mukosa yang membengkak, dan memperbaiki pernapasan.6


Dekongestan oral seperti efedrin, fenilefrin, dan pseudoefedrin, merupakan
obat simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Penggunaan
obat ini pada pasien dengan penyakit jantung harus berhati-hati. Efek samping obat
ini antara lain hipertensi, berdebar-debar, gelisah, agitasi, tremor, insomnia, sakit
kepala, kekeringan membran mukosa, retensi urin, dan eksaserbasi glaukoma atau
tirotoksikosis. Dekongestan oral dapat diberikan dengan perhatian terhadap efek
sentral. Pada kombinasi dengan antihistamin-H1 oral efektifitasnya dapat
meningkat, namun efek samping juga bertambah.4,6
Dekongestan intranasal (misalnya epinefrin, naftazolin, oksimetazolin, dan
xilometazolin) juga merupakan obat simpatomimetik yang dapat mengurangi
gejala kongesti hidung. Obat ini bekerja lebih cepat dan efektif daripada
dekongestan oral. Penggunaannya harus dibatasi kurang dari 10 hari untuk
mencegah terjadinya rinitis medikamentosa. Efek sampingnya sama seperti sediaan
12
oral tetapi lebih ringan. Pemberian vasokonstriktor topikal tidak dianjurkan untuk
rinitis alergik pada anak di bawah usia l tahun karena batas antara dosis terapi
dengan dosis toksis yang sempit. Pada dosis toksik akan terjadi gangguan
kardiovaskular dan sistem saraf pusat.1,3
Kortikosteroid digunakan sangat luas dalam pengobatan berbagai penyakit
alergi oleh karena sifat anti inflamasinya yang kuat. Beragam kerja anti inflamasi
kortikosteroid diperantarai oleh pengaturan ekspresi dari bermacam gen target
spesifik. Telah diketahui bahwa kortikosteroid menghambat sintesis sejumlah
sitokin seperti interleukin IL-1 sampai IL-6, tumor nekrosis factor-α (TNF-α), dan
granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF). Kortikosteroid juga
menghambat sintesis khemokin IL-8,  regulated on activation normal T cell
expressed and secreted (RANTES), eotaxin, macrophage inflammatory protein- 1α
(MIP-1α), dan monocyt chemoattractant protein-1.5,6
Selain itu, terdapat pula beberapa obat yang dapat dipertimbangkan antara lain
:3
 Sodium Kromolin
Sebagai suatu penstabil sel mast sehingga mencegah degranulasi sel mast dan
pelepasan mediator termasuk histamin dengan cara memblokade
pengangkutan kalsium yang dirangsang antigen melewati membran sel mast.
 Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat
untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik
permukaan sel efektor.
 Anti-leukotrien  seperti montelukast, pranlukast, dan zafirlukast, akan
memblok reseptor CystLT, dan merupakan obat yang menjanjikan baik
dipakai sendiri ataupun dalam kombinasi dengan antihistamin-H1 oral, namun
masih diperlukan banyak data mengenai obat-obat ini. Efek sampingnya dapat
ditoleransi tubuh dengan baik.
b.   Operatif
Konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka inferior
hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai
AgNO3 25 % atau troklor asetat.4
c. Imunoterapi
13
Imunoterapi atau hiposensitisasi digunakan ketika pengobatan medikamentosa
gagal mengontrol gejala atau menghasilkan efek samping yang tidak dapat
dikompromi. Imunoterapi menekan pembentukan IgE. Imunoterapi juga
meningkatkan titer antibodi IgG spesifik. Jenisnya ada desensitisasi, hiposensitisasi
& netralisasi. Desensitisasi dan hiposensitisasi membentuk blocking antibody.
Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil
pengobatan lain belum memuaskan. Netralisasi tidak membentuk blocking
antibody dan untuk alergi inhalan.2

d. Edukasi
Pasien harus diberi pengetahuan tentang rinitis alergi, perjalanan penyakit, dan tujuan
penatalaksanaan. Penatalaksanaan medis bertujuan untuk mengurangi gejala atau
mengganggu kerja sistem imun untuk mengurangi hipersensitivitas, atau keduanya.
Selain itu, pasien juga harus diberikan informasi mengenai keuntungan dan efek
samping yang mungkin terjadi untuk mencegah ekspektasi yang salah dan
meningkatkan kepatuhan pasien terhadap obat yag diresepkan. 4
2.8 Komplikasi
1. Polip hidung. Rinitis alergi dapat menyebabkan atau menimbulkan kekambuhan
polip hidung.
2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
3. Sinusitis paranasal.
4. Masalah ortodonti dan efek penyakit lain dari pernafasan mulut yang lama
khususnya pada anak-anak.
5. Asma bronkial. Pasien alergi hidung memiliki resiko 4 kali lebih besar
mendapat asma bronkial. 1

14
KESIMPULAN

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut.
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi
genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat
berperan pada ekspresi rinitis alergi. Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen
inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai
gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan.
Prinsip terapi dari rinitis alergi berupa terapi non-farmakologi dan
farmakologi. Terapi non-farmakologi yang paling ideal adalah dengan menghindari
alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. Terapi medikamentosa yaitu
antihistamin, obat-obatan simpatomimetik, kortikosteroid dan antikolinergik topikal.
Selain itu dapat dipertimbangkan tindakan pembedahan dan imunoterapi.
15
DAFTAR PUSTAKA

1. Irawati, N., Kasakeyan, E., Rusmono, N. Rinitis Alergi. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telonga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi ketujuh. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI; 2007; 128-134.
2. Sudiro, M., Madiadipoera, T., Purwanto, B. Eosinofil Kerokan Mukosa Hidung
Sebagai Diagnostik Rinitis Alergi. MKB volume 42 No 1; 2010. hslm 6-11.
3. Adams, G., Boies, L R., Higler, P A. Penyakit Hidung. Dalam : Boies Buku Ajar
Penyakit THT Edisi keenam. Jakarta: EGC; 1997; 210-218.
4. Karya, I W., Aziz, A., Rahardjo S P., Djufri, N I. Pengaruh Rinitis Alergi (ARIA
WHO 2001) terhadap Gangguan Fungsi Ventilasi Tuba Eustachius. Cermin Dunia
Kedokteran 166 volume 37 (7). 2008; 405-410.
5. Snell, R S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6. Jakarta: EGC.
2006; 803-805.
16

Anda mungkin juga menyukai