Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN KASUS

TONSILITIS GONORE

Pembimbing :
dr. Anggina Diksita P, Sp. THT-KL

Disusun oleh:
Nadya Shabirah Zahra 1820221135

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA

PERIODE 17 - 22 AGUSTUS 2020


LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS
TONSILITIS GONORE

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik


Departemen Ilmu Penyakit THT

Oleh :
Nadya Shabirah Zahra 1820221135

Jakarta, Agustus 2020


Telah dibimbing dan disahkan oleh,

Pembimbing

dr. Anggina Diksita P, Sp. THT-KL


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa


karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan
kasus yang berjudul “Tonsilitis Gonorrheae”.
Penyusunan tugas ini terselesaikan atas bantuan dari banyak pihak
yang turut membantu terselesaikannya laporan kasus ini. Untuk itu, dalam
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada dr.
Anggina Diksita P, Sp. THT-KL selaku pembimbing dan seluruh teman
kepaniteraan klinik Departemen Penyakit THT atas kerjasamanya selama
penyusunan tugas ini.
Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari
pembaca guna perbaikan yang lebih baik. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat baik bagi penulis sendiri, pembaca maupun bagi semua pihak-
pihak yang berkepentingan.

Jakarta, Agustus2020

Penulis
BAB I
LAPORAN KASUS

I.1 IDENTITAS PASIEN


Laki-laki usia 25 tahun.1
I.2 ANAMNESIS
Laki-laki (25 tahun) homoseksual yang sebelumnya dalam keadaan sehat
datang ke klinik rawat jalan penyakit menular dan meminta skrining uji
HIV. Pasien bercerita bahwa pasien telah melakukan hubungan seksual
oral dan anal tanpa kondom dengan seorang pasangan yang tidak
diketahui status HIV nya 6 hari sebelumnya. Skrining HIV terakhir pada
tahun 1998 dan hasilnya negatif. Pertanyaan spesifik tentang potensi
sindrom retroviral akut baru diketahui ketika pasien menderita sakit
tenggorokan selama 3 hari tanpa demam.1
I.3 PEMERIKSAAN FISIK :

Suhu 36.6oC, kedua amandel terutama yang kanan membesar dan


memerah serta dijumpai cryptae yang sebagian ditutupi oleh warna
kuning, tampak supuratif massa (Gambar 1). Dinding posterior faring
juga memerah. Ditemukan juga limfadenopati servikal bilateral,
pemeriksaan fisik terkait bagian lainnya dalam batas normal. 1

Gambar 1. Pemeriksaan Fisik Pasien


I.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG :

Hasil lab :

a. Hb 13.0 g/dl,
b. WBC 9.140/µl,
c. Limfosit 1.380 / µl,
d. Protein C-reaktif 12mg/1,
e. Laktat dehydrogenase 422 U/1,
f. Serologi HIV-1 dan HIV-2, HIC-p21 antigen dan HIV-RNA
negative. 1

Pewarnaan Gram :

Diambil dari usap tonsil menunjukkan hasil diplokokkus Gram (-)


intraseluler (Gambar 2). Reaksi berantai ligasi (LCR) untuk Neisseria
gonorrheae dan Chlamydia trachomatis menjadi (+) untuk N.
gonorrheae. LCR dari usap uretra hasilnya tetap (-) untuk kedua
organisme. 1

Gambar 2. Pewarnaan Gram

I.5 DIAGNOSIS :

Tonsilitis gonnore
I.6 TATALAKSANA :

Azythromycin 1000 mg dosis tunggal

Ciprofloxacin 500 mg dosis tunggal

I.7 FOLLOW UP :

Lima hari kemudian kami melihat pasien itu lagi. Pasien tidak lagi
mengeluh sakit tenggorokan. Amandelnya tidak terlalu bengkak,
bahkan lesi supuratif telah menghilang, KGB servikal tidak lagi
membesar. Pasien tidak datang 3 bulan kemudian untuk uji serologi
HIV ulang.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II. 1 Anatomi

Faring

Faring terletak dibelakang cavum nasi, mulut, dan laring. Bentuknya


mirip corong dengan bagian atasnya yang lebar terletak di bawah cranium
dan bagian bawahnya yang sempit dilanjutkan sebagai eosophagus setinggi
vertebra cervicalis enam. Dinding faring terdiri atas tiga lapis yaitu mukosa,
fibrosa, dan muskular.2,3

Berdasarkan letak faring dibagi menjadi 3 bagian yaitu: nasofaring,


orofaring dan laringofaring

1. Nasofaring

Nasofaring terletak dibelakang rongga hidung, di atas palatum molle.


Nasopharynx mempunyai atap, dasar, dinding anterior, dinding posterior,
dandinding lateral. Bagian atap dibentuk oleh corpus ossis sphenoidalis dan
pars basilaris ossis occipitalis. Kumpulan jaringan limfoid yang disebut
tonsila pharyngeal, yang terdapat didalam submucosa. Bagian dasar
dibentuk oleh permukaan atas palatum molle yang miring. Dinding anterior
dibentuk oleh aperture nasalis posterior, dipisahkan oleh pinggir posterior
septum nasi. Dinding posterior membentuk permukaan miring yang
berhubungan dengan atap. Dinding ini ditunjang oleh arcus anterior
atlantis.Dinding lateral pada tiap-tipa sisi mempunyai muara tuba auditiva
ke faring. Kumpulan jaringan limfoid di dalam submukosa di belakang
muara tuba auditiva disebut tonsila tubaria. 2,3
Gambar 3. Nasofaring

2. Orofaring

Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atasnya adalah palatum


mole,batas bawahnya adalah tepi atas epiglotis, kedepan adalah rongga
mulut, sedangkan kebelakang adalah vertebra servikal.1Orofaring
mempunyai atap, dasar, dinding anterior, dinding posterior, dan dinding
lateral. Bagian atap dibentuk oleh permukaan bawah palatum molle dan
isthmus pharygeus. Kumpulan kecil jaringan limfoid terdapat di dalam
submukosa permukaanbawah palatum molle. Bagian dasar dibentuk oleh
sepertiga posterior lidah dan celah antara lidah dan permukaan anterior
epiglotis. Membrana mukosa yang meliputi sepertiga posterior lidah
berbentuk irregular, yang disebabkan oleh adanya jaringan limfoid
dibawahnya, yang disebut tonsil linguae. Membrana mukosa melipat dari
lidah menuju ke epiglotis. Pada garis tengah terdapat elevasi, yang disebut
plica glosso epiglotica mediana, dan dua plica glosso epiglotica lateralis.
Lekukan kanan dan kiri plica glosso epiglotica mediana disebut
vallecula.7Dinding anterior terbuka ke dalam rongga mulut melalui isthmus
oropharynx (isthmus faucium). 2

Dibawah isthmus ini terdapat pars pharyngeus linguae. Dinding


posterior disokong oleh corpos vertebra cervicalis kedua dan bagian atas
corpus vertebra cervicalis ketiga. Pada kedua sisi dinding lateral terdapat
arcus palate glossus dengantonsila palatina diantaranya. Struktur yang
terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior pharynx,tonsil
palatina, fossa tonsila serta arcus pharynx anterior dan posterior, uvula,
tonsilalingual dan foramen sekum.
 Fossa Tonsilaris
Fossa tonsilaris adalah sebuah recessus berbentuk segitiga
pada dinding lateraloropharynx diantara arcus palatoglossus di
depan dan arcus palatopharyngeus dibelakang. Fossa ini
ditempati oleh tonsila palatina. Batas lateralnya adalah
m.konstriktor pharynx superior. Pada batas atas yang disebut
kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang
dinamakan fossa supra tonsila. Fossa ini berisi jaringan ikat
jarang dan biasanya merupakan tempat nanah memecah keluar
bila terjadi abses. Fossa tonsila diliputi oleh fasia yang
merupakan bagian dari fasia bukopharynx, dan disebut kapsul
yang sebenarnya bukan merupakan kapsulyang sebenarnya.
 Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan
ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus didalamnya. Terdapat
tiga macam tonsil yaitu tonsila faringeal (adenoid), tonsil
palatina dan tonsila lingual yang ketiga-tiganya membentuk
lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. Tonsil palatina yang
biasanya disebut tonsil saja terletak didalam fossa tonsil. Pada
kutub atas tonsil sering kali ditemukan celah.
o Tonsil faringealis atau adenoid, menonjol keluar dari
atas faring dan terletak di belakang koana
o Tonsil palatina atau faucia dilapisi oleh epitel berlapis
gepeng tanpa lapisan tanduk
o Tonsil ingual atau tonsil pangkal lidah memiliki epitel
berlapis tanpa lapisan tanduk
Intratonsil yang merupakan sisa kantong pharyng yang
kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar
lidah.Tonsil faringeal dalam kapsulnya terletak pada mukosa
dinding lateral rongga mulut. Di depan tonsil, arkus faring
anterior disusun oleh otot palatoglosus, dan dibelakangdari arkus
faring posterior disusun oleh otot palatofaringeus. Permukaan
medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah
yangdisebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel
skuamosa yang juga meliputi kriptus. Didalam kriptus biasanya
ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan
sisa makanan. Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia
pharyng yang sering juga disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak
melekat erat pada otot pharyng ,sehingga mudah dilakukan
diseksi pada tonsilektomi.

Gambar 4. Orofaring

Tonsil mendapat darah dari arteri palatina minor, arteri palatine


asendens, cabang tonsil arteri maksila eksterna, arteri pharyng asendens
dan arteri lingualis dorsal.Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi
menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotica. Di garis tengah, di sebelah
anterior massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang
terbentuk oleh papilla sirkum valata. Tempat ini kadang-kadang
menunjukkan penjalaran duktus tiroglossus dan secara klinik merupakan
tempat penting bila ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) dan kista
duktus tiroglosus. Vena-vena menembus m.constrictor pharyngeus
superior dan bergabung dengan vena palatine eksterna, vena
pharyngealis, atau vena facialis. Aliran limfe pembuluh-pembuluh limfe
bergabung dengan nodi lymphoidei profundi. Nodus yang terpenting.
Dari kelompok ini adalah kelompok nodus jugulodigatricus, yang terletak
di bawah dan belakang anguus mandibulae. 2
3. Laryngofaring
Laryngofaring terletak di belakang aditus larynges dan permukaan
posterior larynx, dan terbentang dari pinggir atas epiglottis sampai dengan
pinggir bawah cartilage cricoidea. Laryngofaring mempunyai dinding
anterior, posterior dan lateral. Dinding anterior dibentuk oleh aditus laryngis
dan membrane mukosa yang meliputi permukaan posterior laringDinding
posterior disokong oleh corpus vertebra cervicalis ketiga, keempat, kelima,
dan keenam. Dinding lateral disokong oleh cartilage thyroidea dan
membrane thyrohyoidea. Sebuah alur kecil tetapi penting pada membrana,
disebut fossa piriformis, terletak di kanan dan kiri aditus larynges. 2,3

II.2 Fisiologi Tonsil


Tonsil merupakan jaringan kelenjar limfa yang berbentuk oval yang
terletak pada kedua sisi belakang tenggorokan. Dalam keadaan normal
tonsil membantu mencegah terjadinya infeksi. Tonsil bertindak seperti filter
untuk memperangkap bakteri dan virus yang masuk ke tubuh melalui mulut
dan sinus. Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing
tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil.
Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fossa tonsilaris, daerah yang kosong
diatasnya dikenal sebagai fossa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral
orofaring. Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfoid
yang mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari kesuluruhan limfosit tubuh
pada orang dewasa. Proporsi limfosit B danT pada tonsil adalah 50%:50%,
sedangkan di darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil terdapat sistem imun
kompleks yang terdiri atas sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit dan
antigen presenting cells) yang berperan dalam proses transportasi antigen ke
sel limfosit sehingga terjadi APCs (sintesis immunoglobulin spesifik). Juga
terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa Ig G.
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk
diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil
mempunyai dua fungsi utama yaitu menangkap dan mengumpulkan bahan
asing dengan efektif dan sebagai organ produksi antibodi dan sensitisasi sel
limfosit T dengan antigen spesifik. Sistem imunitas ada 2 macam yaitu
imunitas seluler dan humoral. Imunitas seluler bekerja dengan membuat sel
(limfoid T) yang dapat “memakan“ kuman dan virus serta membunuhnya.
Sedangkan imunitas humoral bekerja karena adanya sel (limfoid B) yang
dapat menghasilkan zat immunoglobulin yang dapat membunuh kuman dan
virus. Kuman yang dimakan oleh imunitas seluler tonsil dan adenoid
terkadang tidak mati dan tetap bersarang disana serta menyebabkan infeksi
tonsil yang kronis dan berulang (Tonsilitis kronis). Infeksi yang berulang ini
akan menyebabkan tonsil dan adenoid bekerja terus dengan memproduksi
sel-sel imun. Banyak sehingga ukuran tonsil dan adenoid akan membesar
dengan cepat melebihi ukuran yang normal.
Tonsila palatina adalah suatu jaringan limfoid yang terletak di fossa
tonsilaris di kedua sudut orofaring dan merupakan salah satu bagian dari
cincin Waldeyer. Tonsila palatina lebih padat dibandingkan jaringan limfoid
lain. Permukaan lateralnya ditutupi oleh kapsul tipis dan di permukaan
medial terdapat kripta. Tonsila palatina merupakan jaringan limfoepitel
yang berperan penting sebagai sistem pertahanan tubuh terutama terhadap
protein asing yang masuk ke saluran makanan atau masuk ke saluran nafas
(virus, bakteri, dan antigen makanan). Mekanisme pertahanan dapat bersifat
spesifik atau non spesifik. Apabil patogen menembus lapisan epitel maka
sel-sel fagositik mononuklear pertama-tama akan mengenal dan
mengeliminasi antigen. Lokasi tonsil sangat memungkinkan terpapar benda
asing dan patogen, selanjutnya membawanya ke sel limfoid. Aktivitas
imunologi terbesar tonsil ditemukan pada usia 3 – 10 tahun.
II.3 Tonsilitis

II.3.1 Definisi

Tonsilitis adalah peradangan pada tonsil faring. Peradangan ini


biasanya meluar ke adenoid dan tonsil lingual. Oleh karena itu, istilah
faringitis juga dapat digunakan.4,6

II.3.2 Epidemiologi

Paling sering terjadi pada anak-anak >2 tahun. Tonsillitis yang


disebabkan oleh Streptococcus Sp. biasanya terjadi pada anak-anak usia 5-
15 tahun, sedangkan tonsillitis virus lebih sering terjadi pada anak-anak
yang lebih kecil. 6

Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di tujuh provinsi di


Indonesia pada bulan September tahun 2012, prevalensi tonsilitis kronik
tertinggi setelah nasofaringitis akut yaitu sebesar 3,8%., prevalensi tonsillitis
kronik sebesar 3,8% tertinggi kedua setelah nasofaringitis akut (4,6%). Di
RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar jumlah kunjungan baru dengan
tonsillitis kronik mulai Juni 2008–Mei 2009 sebanyak 63 orang. Apabila
dibandingkan dengan jumlah kunjungan baru pada periode yang sama, maka
angka ini merupakan 4,7% dari seluruh jumlah kunjungan baru. 6
II.3.4 Etiologi

Infeksi virus atau bakteri dan faktor imunologi yang dapat menyebabkan
tonsillitis adalah sebagai berikut : 6

 Herpes simplex virus

 Epstein-Barr virus (EBV)

 Cytomegalovirus

 Other herpes viruses


 Adenovirus

 Measles virus

Bakteri menyebabkan 15-30% kasus tonsillitis. Bakteri anaero yang


berperan penting dalam penyakit tonsil. Kebanyakan kasus tonsil bacterial
disebabkan Streptococcus pyogene beta-hemolitik grop A (GABHS), S.
pyogenes. Mycoplasma pneumoniae, Corynebacterium diphtheria, dan
Chlamydia pneumoniae. Neisseria gonorrheae dapat menyebabkan
tonsillitis pada orang yang aktif seksual. 6

II.3.5 Klasifikasi

Tonsilitis dibagi menjadi 3 macam berdasarkan penyebabnya yaitu : 9


a. Tonsilitis Akut
Tonsilitis akut dibagi menjadi 2 jenis berdasarkan penyebabnya
yaitu
1) Tonsilitis Viral
Tonsilitis viral adalah tonsillitis akut yang terjadi akibat infeksi
virus, penyebab tersering adalah virus Epstein Barr.
Haemofilus influenza merupakan penyebab tonsillitis akut
supuratif. Gejala tonsillitis viral lebih menyerupai common
cold yang disertai rasa nyeri tenggorokan. Jika terjadi infeksi
virus coxschakie, maka pada pemeriksaan rongga mulut akan
tampak luka-luka kecil pada palatum dan sangat nyeri pada
tonsil.
Terapi yang dianjurkan adalah istirahat, minum cukup,
analgetika, dan antivirus diberikan jika gejala berat.
2) Tonsilitas Bakterial
Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A
Streptococcus beta hemolitikus yang dikenal sebagai strept
throat, pneumokokus, Streptococcus viridans dan Streptococus
piogenes. Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil
akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit
polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Detritus ini
merupakan kumpulan leukosit, bakteri yang mati dan epitel
yang terlepas. Secara klinis detritus ini mengisi kriptus tonsil
dan tampak sebagai bercak kuning.
Bentuk tonsillitis akut dengan detritus yang jelas disebut
tonsillitis folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini menjadi
satu membentuk alur-alur maka akan menjadi tonsillitis
lakunaris. Bercak detritus ini juga dapat melebar sehingga
terbentuk semacam membrane semu (pseudomembrane) yang
menutupi tonsil.
a) Gejala dan Tanda
Masa inkubasi 2-4 hari. Gejala dan tanda yang sering
ditemukan adalah nyeri tenggorokan dan nyeri waktu
menelan, demam dengan suhu tubuh yang tinggi, rasa
lesu, rasa nyeri sendi-sendi, tidak nafsu makan dan
rasa nyeri di telinga (otalgia). Rasa nyeri di telinga ini
karena nyeri alih (reffered pain) melalui saraf n.
glosofaringeus (n.IX). padapemeriksaan tampak tonsil
membengkak, hiperemis dan terdapat detritus
berbentuk folikel, lacuna atau tertutup oleh membrane
semu. Kelenjar submandibular membengkak dan
nyeri tekan.
b) Terapi
Antibiotik spectrum luas penisilin, eritromisin,
antipiretik dan obat kumur yang mengandung
desinfektan.
b. Tonsilitis Membranosa
Penyakit yang termasuk dalam golongan tonsillitis membranosa
ialah tonsillitis difteri, tonsillitis septik (septic sore throat), angina
plaut Vincent, penyakit kelainan darah seperti leukemia akut,
anemia pernisiosa, neutropenia maligna serta infeksi mono-
nukleosis, proses spesifik luas dan tuberculosis, infeksi jamur
moniliasis, aktinomikosis dan blastomikosis, infeksi virus morbili,
pertusis dan skarlatina.
1) Tonsilitis Difteri
Frekuensi penyakit ini sudah menurun berkat keberhasilan
imunisasi pada bayi dan anak.penyebab tonsillitis difteri ialah
kuman Corynebacterium diphteriae, kuman yang termasuk
Gram positif dan hidup di saluran napas bagian atas yaitu
hidung, faring dan laring. Tidak semua orang yang terinfeksi
oleh kuman ini akan menjadi sakit. Keadaan ini tergantung
pada titer anti toksin dalam darah seseorang. Titer anti toksin
sebesar 0.03 satuan per cc darah dapat dianggap cukup
memberikan dasar imunitas. Hal inilah yang dipakai pada tes
Schick.
Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang
dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun
walaupun pada orang dewasa masih mungkin menderita
penyakit ini.
a) Gejala dan Tanda
Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu gejala
umum, gejala lokal dan gejala akibat eksotoksin.
i. Gejala umum
- Kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris
- Nyeri kepala
- Tidak nafsu makan
- Badan lemah
- Nadi lambat
- Nyeri menelan
ii. Gejala lokal
Tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang
makin lama makin meluas dan bersatu membentuk
membrane semu. Membrane ini dapat meluas ke
palatum mole, uvula, nasofaring, laring, trakea dan
bronkus serta dapat menyumbat saluran napas.
Membrane semu ini melekat erat pada dasarnya,
sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada
perkembangan penyakit ini bila infeksinya berjalan
terus, kelenjar limfe leher akan membengkak
sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai leher
sapi (bull neck) atau disebut juga Burgemeester’s hals.
iii. Gejala akibat eksotoksin
Eksotoksin yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini
akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu
pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai
decompensation cordis, mengenai saraf kranial
menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot
pernapasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria.
b) Diagnosis
Diagnosis tonsillitis difteri ditegakkan berdasarkan
gambaran klinik dan pemeriksaan preparat langsung
kuman yang diambil dari permukaan bawah membrane
semu dan didapatkan kuman Corynebacterium
diphteriae.
c) Terapi
Anti Difteri Serum (ADS) diberikan segera tanpa
menunggu hasil kultur, dengan dosis 20.000-100.000
unit tergantung dari umur dan beratnya penyakit.
Antibiotik penisilin atau eritromisin 25-50 mg/KgBB
dibagi dalam 3 dosis selama 14 hari.
Krotikosteroid 1,2 mg/KgBB/hari. Antipiretik untuk
simptomatis. Karena penyakit ini menular, pasien
harus diisolasi. Perawatan harus istirahat di tempat
tidur selama 2-3 minggu.

d) Komplikasi
- Laringitis difteri dapat berlangsung cepat, membrane
semu menjalar ke laring dan menyebabkan gejala
sumbatan. Makin muda usia pasien makin cepat timbul
komplikasi ini.
- Miokarditis dapat menyebabkan payah jantung atau
dekompensasio cordis.
- Kelumpuhan otot palatum mole, otot mata untuk
akomodasi, otot faring serta otot laring sehingga
menimbulkan kesulitan menelan, suara parau dan
kelumpuhan otot-otot pernapasan.
- Albuminuria sebagai akibat komplikasi ke ginjal.
2) Tonsilitis Septik
Penyebab dari tonsillitis septik ialah Streptococcus hemoliticus
yang terdapat dalam susu sapi sehingga dapat timbul epidemic.
Oleh karena di Indonesia susu sapi dimasak dulu dengan cara
pasteurisasi sebelum diminum maka penyakit ini jarang
ditemukan.
3) Angina Plaut Vincent (stomatitis ulsero membranosa)
Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta triponema
yang didapatkan pada penderita dengan hiegene mulut yang
kurang dan defisiensi vitamin C.
a) Gejala
Demam sampai 39 C, nyeri kepala, badan lemah dan
kadang- kadang terdapat gangguan pencernaan. Rasa nyeri
di mulut, hipersalivasi, gigi dan gusi mudah berdarah.
b) Pemeriksaan
Mukosa mulut dan faring hiperemis, tampak membrane
putih keabuan di atas tonsil, uvula, dinding faring, gusi
serta prosesus alveolaris, mulut berbau (foetor ex ore) dan
kelenjar submandibular membesar
c) Terapi
Antibiotik spectrum lebar selama 1 minggu. Memperbaiki
hiegene mulut. Serta dapat diberikan vitamin C dan
vitamin B kompleks.

4) Penyakit Kelainan Darah


Tidak jarang tanda pertama leukemia akut, angina
agranulositosis dan infeksi mononucleosis timbul di faring
atau tonsil yang tertutup membrane semu. Kadang-kadang
terdapat perdarahan di selaput lendir mulut dan faring serta
pembesaran kelenjar submandibular.
a) Leukemia akut
Gejala pertama sering berupa epistaksis, perdarahan di
mukosa mulut, gusi dan dibawah kulit sehingga kulit
tampak bercak kebiruan. Tonsil membengkak ditutupi
membran semu tetapi tidak hiperemis dan rasa nyeri
hebat di tenggorok.
b) Angina agranulositosis
Penyebabnya ialah akibat keracunan obat dari
golongan amidopirin, sulfa dan arsen. Pada
pemeriksaan tampak ulkus di mukosa mulut dan
faring serta di sekitar ulkus tampak gejala radang.
Ulkus ini juga dapat ditemukan di genitalia dan
saluran cerna.
c) Infeksi monukleosis
Pada penyakit ini terjadi tonsilo faringitis ulsero
membranosa bilateral. Membrane semu yang
menutupi ulkus mudah diangkat tanpa timbul
perdarahan, terdapat pembesaran kelenjar limfe leher,
ketiak dan regioingunial. Gambaran darah khas yaitu
terdapat leukosit mononukleus dalam jumlah besar.
Tanda khas yang lain ialah kesanggupan serum pasien
untuk beragluntinasi terhadap sel darah merah domba
(reaksi Paul Bunnel).

c. Tonsilitis Kronik
Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik ialah rangsangan
yang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, hiegene mulut
yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan
tonsillitis akut yang tidak adekuat. Kuman penyebabnya sama
dengan tonsillitis akut tetapi kadang- kadang kuman berubah
menjadi golongan Gram negatif.
1) Patologi
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel
mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses
penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut
yang akan mengalami pengerutan sehinga kripti melebar.
Secara klinik kripti ini tampak diisi oleh detritus. Proses
berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya
menimbulkan perlekatan dengan jaringan di sekitar fosa
tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran
kelenjar limfa sumbandinbula.
a) Gejala dan Tanda
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan
permukaan yang tidak rata, kriptus melebar dan
beberapa kripti terisi oleh detritus. Rasa ada yang
mengganjal di tenggorok, dirasakan kering di
tenggorok dan napas berbau.
b) Terapi
Terapi local ditujukan pada hiegene mulut dengan
berkumur atau obat isap.

c) Komplikasi
Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi
ke daerah sekitarnya berupa rhinitis kronik, sinusitis
atau otitis media secara perkontinuitatum. Komplikasi
jauh terjadi secara hematogen atau limfogen dan dapat
timbul endocarditis, artritis, myositis, nefritis, uveitis,
iridoksilitis, dermatitis, pruritus, urtikaria dan
furunkulosis.
Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi berulang
atau kronik, gejala sumbatan serta kecurigaan
neoplasma.
d) Indikasi Tonsilektomi
The American Academy of Otolaryngology-Head and
Neck Surgery Clinical Indicators Compendium tahun
1995 menetapkan :
1. Serangan tonsillitis > 3 kali/tahun walaupun telah
mendapatkan terapi yang adekuat.
2. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi
dan menyebabkan gangguan pertumbuhan orofasial.
3. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil
dengan sumbatan jalan napas, sleep apnea, gangguan
menelan, gangguan berbicara, dan cor pumonale.
4. Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis,
abses peritonsil yang tidak berhasil hilang dengan
pengobatana.
5. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan.
6. Tonsillitis berulang yang disebabkan oleh bakteri
grup A streptococcus beta hemoliticus.
7. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan.
8. Otitis media efusa/otitis media supuratif. 8

II.3.6 Patofisiologi
Tonsillitis berawal dari penularan yang terjadi melalui droplet
dimana kuman menginfiltrasi lapisan epitel. Adanya infeksi berulang pada
tonsil menyebabkan pada suatu waktu tonsil tidak dapat membunuh semua
kuman sehingga kuman kemudian bersarang ditonsil. Pada keadaan inilah
fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi (fokal
infeksi) dan suatu saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh
misalnya pada saat keadaan umum tubuh menurun. Bila epitel terkikis maka
jaringan limfoid superkistal bereaksi dimana terjadi pembendungan radang
dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Karena proses radang berulang
yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan limfoid diganti oleh
jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripti melebar.
Secara klinik kripti ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus
sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan
dengan jaringan di sekitar fossa tonsilaris. Pada anak disertai dengan
pembesaran kelenjar limfa submadibularis. 5
Gambar 5. Patofisiologi Tonsilitis

II.3.7 Gejala Klinis

Penderita mengeluh sakit tenggorokan dan beberapa derajat disfagia


dan pada kasus berat biasanya penderita sampai tidak bias makan dan
minum. Penderita tampak sakit akut dan pasti mengalami malaise. Suhu
tubuh biasanya tinggi, napas bau, kadang otalgia dalam bentuk nyeri alih.
Seringkali terdapat adenopati servikaslis disertai nyeri tekan. Tonsila
membesar dan meradang, adanya bercak-bercak dan kadang diliputi
eksudat. Eksudat mungkin dapat keabu-abuan atau kekuningan dan
berkumpul atau membentuk membran, serta beberapa kali dapat terjadi
nekrosis jaringan nokal.10

II.3.8 Diagnosis

a. Anamnesis:
Tanda dan gejala tonsilitis seperti demam mendadak, nyeri tenggorokan,
ngorok, dan kesulitan menelan.11 Sedangkan menurut Masjoer (2000) adalah
suhu tubuh naik sampai 40, rasa gatal atau kering di tenggorokan, lesu, nyeri
sendi, odinofagia (nyeri menelan), anoreksia, dan otalgia (nyeri telinga).
Bila laring terkena suara akan menjadi serak. Pada pemeriksaan tampak
faring hiperemis, tonsil membengkak, hiperemesis.
b. Pemeriksaan fisik:
Pemeriksaan fisik tonsil
Pasien diminta untuk membuka mulutnya dan kemudian diperiksa dengan
menggunakan spatel menekan lidah kebawah dan kemudian daerah faring
dan tonsil dapat dievaluasi
Gambar 6. Ukuran Pembesaran Tonsil

Ukuran pada pembesaran tonsil dapat dikelompokan sebagai berikut:

T1: Tonsil tidak melewati pilar faring posterior

T2: Tonsil melewati pilar posterior namun tidak melewati garis


pertengahan (imajiner antara uvula dan pilar posterior)

T3: Tonsil mencapai garis peretngahan antara uvula dan faring posterior

T4: Tonsil saling menempel (Kissing tonsil) atau mendrong uvula

Gambar 7. Pemeriksaan fisik


c. Pemeriksaan penunjang:
1. Parameter inflamasi: pemeriksaan darah menunjukan
leukositosis, dan erhytrocyte sedimen rate (ESR) dan C-reactive
protein (CRP) meningkat
2. Pemeriksaan bakteri: kultur bakteri jarang diambildari swab
tenggorok karena biasanya membutuhkan waktu 2-3 hari untuk
mendapatkan hasil yang definitif, dimana waktu pengobatan
tersebut sudah harus dimulai  sebaiknya dilakukan rapid
immunoassay, yang dapat mengidentifikasi organisme penyebab
seperti streptococcus group A hanya dalam waktu 10 menit.
3. Pencitraan radiologis tidak berguna pada kasus tonsillitis akut.
Namun berguna ketika penderita diduga tonsillitis aku yang
telah menyebar ke struktur leher lainnya diluar fasia orofaring.
Dapat digunakan foto polos leher laterl atau CT-Scan dengan
kontras.6

II.3.9 Tatalaksana

1. Medikamentosa
Penatalaksanaan pasien tonsilitis secara umum :
1. Penderita dengan tonsillitis akut serta demam sebaiknya tirah baring,
pemberian cairan adekuat, dan diet ringan.10
2. Jika penyebab bakteri, diberikan antibiotik peroral (melalui mulut)
selama 10 hari, jika mengalami kesulitan menelan, bisa diberikan
dalam bentuk suntikan.
Penatalaksanaan pasien tonsilitis menurut Mansjoer (2000) adalah:
a. Antibiotik golongan penicilin atau sulfanamid selama 5 hari dan
obat kumur atau obat isap dengan desinfektan, bila alergi dengan
diberikan eritromisin atau klidomisin.
b. Antibiotik yang adekuat untuk mencegah infeksi sekunder,
kortikosteroid untuk mengurangi edema pada laring dan obat
simptomatik.
c. Pasien diisolasi karena menular, tirah baring, untuk menghindari
komplikasi kantung selama 2 sampai 3 minggu atau sampai hasil
usapan tenggorok 3 kali negatif.
d. Pemberian antipiretik.13
The American Academy of Otolaryngology – Head and Neck Surgery
Clinical Indikators Compendium tahun 1995 menetapkan indikasi
dilakukannya tonsilektomi yaitu:
1) Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah
mendapatkan terapi yang adekuat.
2) Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan
gangguan pertumbuhan orofasial.
3) Sumbatan jalan nafas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan
jalan nafas, sleep apnea, gangguan menelan, dan gangguan bicara.
4) Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil, yang
tidak berhasil hilang dengan pengobatan.
5) Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan.
6) Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A Sterptococcus β
hemoliticus
7) Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan.
8) Otitis media efusa atau otitis media supurataif.8
2. Operatif
Bedah tonsilektomi diindikasikan pada individu
1. Mengalami lebih dari 6 episode tonsillitis streptokokkus
(terkonfirmasi dengan kultur) dalam 1 tahun
2. Mengalami 5 episode tonsillitis dalam 2 tahun berturut-turut
3. Mengalami 3 atau lebih infeksi tonsil selama 3 tahun berturut-turut
4. Tonsilitis kronis atau berulang yang berhubungan dengan
resistennya streptokokkus terhadap antibiotic beta-lakamase
5. Dipertimbangkan untuk anak-anak yang memiliki alergi antibiotic,
demam periodic, stomatitis aphthous, PFAPA, riwayat abses
peritonsilar.6
II.3.10 Komplikasi

1. Abses peritonsil
Terjadi diatas tonsil dalam jaringan pilar anterior dan palatum mole,
abses ini terjadi beberapa hari setelah infeksi akut dan biasanya
disebabkan oleh streptococcus group A.8
2. Otitis media akut
Infeksi dapat menyebar ke telinga tengah melalui tuba auditorius
(eustochi) dan dapat mengakibatkan otitis media yang dapat
mengarah pada ruptur spontan gendang telinga. 8
3. Mastoiditis akut

Ruptur spontan gendang telinga lebih jauh menyebarkan infeksi ke


dalam sel-sel mastoid. 8

4. Laringitis
Merupakan proses peradangan dari membran mukosa yang
membentuk larynx. Peradangan ini mungkin akut atau kronis yang
disebabkan bisa karena virus, bakter, lingkungan, maupun karena
alergi.14
5. Sinusitis
Merupakan suatu penyakit inflamasi atau peradangan pada satu atau
lebih dari sinus paranasal. Sinus adalah merupakan suatu rongga
atau ruangan berisi udara dari dinding yang terdiri dari membran
mukosa. 14
6. Rhinitis
Merupakan penyakit inflamasi membran mukosa dari cavum nasal
dan nasopharinx. Sama halnya dengan sinusitis, rhinitis bisa berupa
penyakit kronis dan akut yang kebanyakan disebabkan oleh virus
dan alergi. 14
II.4 Gonore

II.4.1 Definisi

Gonore merupakan infeksi menular seksual (IMS) yang disebabkan


oleh kuman Neiserria gonorrhoeae. Kuman ini hanya mempunyai satu host,
yaitu manusia dan dapat menginfeksi pria maupun wanita. Penularannya
melalui kontak seksual antar manusia (vaginal, anal, atau oral).

II.4.2 Etiologi

Penyakit gonore disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae, kuman


diplokokus gram negatif, dengan sisi cekung berdekatan sehingga seperti
bentuk ginjal.14 Ukuran diameter dari kuman ini adalah 0,6-1,0 μm serta
tidak bergerak, tidak membentuk spora, dan berada di dalam dan/ luar sel
lekosit polimorfonuklear (PMN) dan fastidius.15 Selain itu, kuman ini tidak
dapat bertahan lama untuk hidup di udara bebas, cepat mati dalam keadaan
kering, tidak tahan suhu diatas 39ºC. Pada suhu 35-37ºC, pH 7,2-7,6 dapat
tumbuh secara optimal serta membutuhkan CO2 dengan konsentrasi 2-10%.
Kuman ini terdiri dari 4 tipe, yaitu tipe 1 dan 2 yang mempunyai pili
pada permukaannya, kecil dan bersifat virulen, sedangkan tipe 3 dan 4 tidak
mempunyai pili, lebih besar, tidak berpigmen dan tidak virulen. Fungsi dari
pili adalah untuk membantu proses penempelan kuman dengan permukaan
mukosa atau menyebabkan resistensi terhadap pengobatan gonore.
Membran luar dari kuman ini tersusun atas protein, fosfolipid, dan
lipooligosakarida (LOS). 15

II.4.3 Gejala Klinis

Oral gonore lebih sering tidak menimbulkan gejala, namun jika


penderita mengalami gejala akan sulit dibedakan dengan gejala umum
infeksi lainnya.
Gambar 8. Oral Gonore

Gejala yang mungkin terjadi yaitu sakit tenggorokan, kemerahan di


tenggorokkan, demam, pembesaran KGB leher, terkadang juga mengalami
infeksi gonore dibagian tubuh lainnya seperti serviks atau uretra dengan
gejala sebagai berikut ;

a. Seviks
Duh tubuh vagina yang berasal dari endoservisitis yang bersifat
purulen dan agak berbau namun pada beberapa pasien kadang
mempunyai gejala minimal. Kemudian timbul disuria dan
dispareunia. Jika bersifat asimptomatis maka dapat berkembang
menjadi penyakit radang panggul. Penyakit ini bisa akibat dari
menjalarnya infeksi ke endometrium, tuba falopii, ovarium dan
peritoneum. 16

Gambar 9. Gonore pada wanita


b. Uretra
Uretra menjadi bengkak, merah, perabaan hangat, dan terasa
nyeri. Pada saat berkemih, penderita akan merasakan nyeri dan
rasa seperti terbakar yang berlebih. Uretritis yang tidak segera
diterapi, akan menyebabkan tanda dan gejala yang muncul
bertambah berat dan memuncak dalam waktu 2 minggu. 15,16

Gambar 10. Gonore pada pria

II.4.4 Diagnosa

Diagnosis gonore dapat ditegakkan atas dasar anamnesis,


pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Diagnostik laboratorium
yang digunakan antara lain: 16
a. Mikroskopis
Pemeriksaan mikroskopis yang digunakan adalah dengan pengecatan
gram. Pengambilan sampel dari swab endoservik pada wanita. Hasil positif
akan tampak diplokokus gram negatif. Pengecatan positif pada wanita
memiliki sensitivitas sebesar 30% - 50% dan spesifitas sebesar 90-99 %.
Gambar 11. Pewarnaan Gram

b. Kultur
Untuk identifikasi dilakukan pembiakan dengan menggunakan media
selektif yang diperkaya yaitu Media Thayer Martin yang mengandung
vankomisin, dan nistatin yang dapat menekan pertumbuhan bakteri Gram
positif, Gram negatif dan jamur, dimana tampak koloni berwarna putih
keabuan, mengkilat dan cembung. Kultur diinkubasi pada suhu 350C –
370C dan atmosfer yang mengandung CO2 5%. Pemeriksaan kultur dengan
bahan dari duh uretra pria, sensitivitasnya lebih tinggi 94% - 98% daripada
duh endoserviks 85 % - 95%, sedangkan spesifisitasnya sama yaitu 99%.

Gambar 12. Kultur bakteri Neisseria gonorrhoeae


c. Pemeriksaan definitif

1. Tes oksidase
Pada tes oksidase koloni genus Neisseria menghasilkan indofenol
oksidase sehingga memberikan hasil tes oksidase positif. Tes oksidase
dilakukan dengan cara meneteskan reagen 1% tetrametil parafenilen diamin
monohidrokhlorid pada koloni. Jika hasil tes positif maka akan berubah
menjadi merah jambu dan makin lama semakin menghitam. Sebaliknya
hasil negatif menunjukkan warna koloni tidak berubah atau tetap berwarna
coklat. Dalam tes ini, reagen tersebut membunuh mikroorganisme tetapi
tidak merubah morfologi dan sifat pewarnaan.

Gambar 13. Tes oksidasi gonore


2. Tes fermentasi
Tes fermentasi digunakan untuk mengidentifikasi bakteri yang mampu
memfermentasikan karbohidrat. Pada tes fermentasi terjadi perubahan
warna pada media glukosa yang berubah menjadi warna kuning, artinya
bakteri ini membentuk asam dari fermentasi glukosa. Media glukosa juga
terbentuk gelembung pada tabung Durham yang diletakkan terbalik didalam
tabung media, artinya hasil fermentasi berupa gas.

Gambar 14. Tes fermentasi


II.4.5 Tatalaksana

Manajemen terhadap infeksi gonokokal telah banyak berubah ada


decade terakhir. Hal ini diakibatkan oleh beberapa faktor seperti resistensi
terhadap antibiotik, ko-infeksi dengan Chlamydia, serta lokasi anatomis dari
infeksi.
CDC, 2015 merekomendasikan pengobatan ganda menggunakan dua
antimikroba dengan mekanisme kerja yang berbeda untuk menghindari
resistensi. Untuk infeksi gonore tanpa komplikasi yang terjadi di serviks,
uretra, rektum, dan faring rejimen yang direkomendasikan adalah
seftriakson dosis tunggal 250 mg (intramuskular) ditambah azitromisin
dosis tunggal 1 gram (per oral) yang diberikan pada hari yang sama. Jika
tidak tersedia seftriakson, dapat diberikan rejimen alternatif yaitu sefiksim
dosis tunggal 400 mg (per oral) ditambah azitromisin dosis tunggal 1 gram
(per oral). 17
BAB III
PEMBAHASAN KASUS

Infeksi tonsil dapat terjadi melalui berbagai macam mekanisme dan


etilogi. Etiologi tersering untuk infeksi tonsil adalah bakteri Streptoccoccus
sp. Namun juga ada bakteri Mycoplasma pneumoniae, Corynebacterium
diphtheria, Chlamydia pneumoniae dan Neisseria gonorrheae dan beberapa
jenis viral yang dapat menginfeksi tonsil. Pada kasus kali ini pasien
homoseksual datang ke klinik rawat jalan penyakit menular. Kita harus
mengetahui terlebih dahulu mengenai homoseksual. Homoseksual adalah
rasa ketertarikan romantis dan/atau seksual atau perilaku antara individu
berjenis kelamin atau gender yang sama.18 Pasien juga bercerita telah
melakukan hubungan seksual oral dan anal tanpa kondom dengan seorang
pasangan yang tidak diketahui status HIV nya.

Dari hasil anamnesa pasien mengeluhkan sakit tenggorokan selama


3 hari tanpa adanya demam. Sakit tenggorokkan ini dapat kita ulas lebih
jauh lagi bagaimana sakit tengorokkannya dan jika ada keluhan sakit
tenggorokan dapat kita pikirkan penyakit yang diderita pasien karena
adanya infeksi tonsil atau infeksi faring.

Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan suhu pasien 36.6oC, kedua


tonsil terutama yang kanan membesar dan memerah serta dijumpai cryptae
yang sebagian ditutupi oleh selaput berwarna kuning, tampak massa
supuratif. Dinding posterior faring juga memerah. Ditemukan juga
limfadenopati servikal bilateral, pemeriksaan fisik terkait bagian lainnya
dalam batas normal. Adanya pembesaran tonsil, dinding posterior faring
yang memerah dan limfadenopati servikal menandakan terjadi suatu reaksi
inflamasi berupa rubor dan tumor yang diperkuat dengan adanya cryptae.
Cryptae adalah lekukan tonsil yang lama kelamaan akan mengeras. Adanya
warna kuning dan massa supuratif menandakan infeksi yang masih aktif.

Pada pemeriksaan penunjang di dapatkan hasil laboratorium Protein


C reaktif 12mg/1 tinggi dimana nilai normal <5 mg, PCR adalah
zat protein yang diproduksi oleh organ hati. Zat tersebut diproduksi sebagai
respons bila terjadi peradangan di dalam tubuh.20 Sedangkan untuk hasil
pewarnaan gram yang diambil dari usap tonsil menunjukkan hasil
diplokokkus Gram (-) intraseluler.19 Hal ini memperkuat bahwa pasien
terinfeksi bakteri Neisseria gonorrheae sesuai dengan hasil penelitian
Khariri (2018) dimana hasil pewarnaan gram pada bakteri Neisseria
gonorrheae berwarna merah. merupakan kokus Gram negatif dengan ciri-
ciri berbentuk seperti biji kopi berpasangan (diplokokus) dengan sisi rata.
Sehingga diagnosis untuk pasien ini adalah tonsillitis gonore, dan diberikan
pengobatan berupa azythromycin 1000 mg dosis tunggal dan ciprofloxacin
500 mg dosis tunggal, Rekomendasi pengobatan gonore dari CDC tahun
2015 harus diikuti dengan pengobatan non gonore. Hal ini berlaku pada
infeksi yg menyerang bagian genital maupun bagian lain. Pasien diberikan
seftriakson dosis tunggal 250 mg (intramuskular) ditambah azitromisin
dosis tunggal 1 gram (per oral). Selanjutnya pasien di evaluasi selama 2
minggu. Jika didapatkan pengurangan gejala dan hasil lab negatif
menandakan infeksi berhasil dieradikasi. 17
DAFTAR PUSTAKA

1. Günthard, H.F, C. Balmelli, 2003, Gonococcal Tonsillar Infection –


A Case Report And Literature Review
2. Richard SS. Pharinx. In: Anatomi Klinik untuk Mahasiswa
Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: ECG, 2006. p795-801
3. Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD. Tonsillitis, Tonsillectomy, and
Adenoidectomy. In: Head&Neck Surgery-Otolaryngology, 4th
edition. 2006.
4. Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Tonsil dan
Adenoid. In: IlmuKesehatan Anak Edisi 15 Volum 2. Jakarta:
ECG,2000. p1463-4
5. Andrews BT, Hoffman HT, Trask DK. Pharyngitis/Tonsillitis. In:
Head and Neck Manifestations of Systemic Disease.
USA:2007.p493-508
6. Udayan K Shah, MD, FACS, FAAP, 2020, Tonsillitis And
Peritonsillar Abscess, Medscape
7. Ellis H. The pharynx. Dalam: Clinical anatomy. Edisi ke-11.
Australia. Blackwell Publising; 2010. h.279-80
8. Rusmarjono dan Soepardi EA.Tonsilitis. Dalam: Soepardi, E, et al,
Ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan. Edisi
VI. Balai Penerbitan FKUI, Jakarta. 2007: p. 44-77.
9. Hidayatulloh, Hanung Maulana, 2018, Penerapan Terapi Kompres
Dingin Terhadap Nyeri Post Operasi Tonsilektomi Di Rsud Dr. R.
Goeteng Taroenadibrata Purbalingga, Fakultas Ilmu Kesehatan,
Universitas Muhammadiyah Purwokerto
10. Boies AH. Rongga Mulut dan Faring. In: Boies Buku Ajar Penyakit
THT. Jakarta: ECG, 2015
11. Smeltzer., Bare. 2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
(Edisi 8 volume 1), Jakarta : EGC.
12. Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media
Aeus Capius.
13. Nettina, Sandara M. 2006. Pedoman Klinik Keperawatan. Jakarta:
EGC.
14. Reeves, Charlene J.Raux, Gayle, Lockhart, Robin. 2000.
Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 1: Jakarta: FKUL
15. Maria Diandra Christie Budiono, 2016, Uji Beda Sensitivitas Kuman
Neisseria Gonorrhoeae Terhadap Levofloksasin Dengan
Tiamfenikol Secara In Vitro, Skripsi, Fakultas Kedokteran,
Universitas Diponegoro, Semarang.
16. Sela Eka Firdiana, 2015, Perbandingan Efektivitas Seftriakson
Dengan Siprofloksasin Pada Kuman Neisseria Gonorrhoeae Secara
In Vitro, Skripsi, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro,
Semarang.
17. CDC. Sexually Transmitted Disease Treatment Guidelines, 2015:
Gonococcal Infections
18. Himawan, Anang Haris, 2007, Bukan Salah Tuhan Mengazab:
Ketika. Perzinaan Menjadi Berhala Kehidupan, Solo: Tiga
Serangkai, 
19. Khariri, Kambang Sariadji, 2018, Penerapan Teknik Labratorium
Sederhana Dengan Pewarnaan Gram Untuk Deteksi Cepat Infeksi
Neisseria Gonorrhoeae Pada Wanita Penjaja Seks (Wps), Pusat
Penelitian Dan Pengembangan Biomedis Dan Teknologi Dasar
Kesehatan Badan Litbangkes, Kemenkes Ri, Seminar Nasional
Cendekiawan Ke 4
20. Devi Liani Octiara, Bugenvil Ungu, 2018, Electrochemical
Biosensor Sebagai Diagnostik Terbaru Terhadap Penyakit Gonore,
Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung

Anda mungkin juga menyukai