TONSILITIS GONORE
Pembimbing :
dr. Anggina Diksita P, Sp. THT-KL
Disusun oleh:
Nadya Shabirah Zahra 1820221135
FAKULTAS KEDOKTERAN
LAPORAN KASUS
TONSILITIS GONORE
Oleh :
Nadya Shabirah Zahra 1820221135
Pembimbing
Jakarta, Agustus2020
Penulis
BAB I
LAPORAN KASUS
Hasil lab :
a. Hb 13.0 g/dl,
b. WBC 9.140/µl,
c. Limfosit 1.380 / µl,
d. Protein C-reaktif 12mg/1,
e. Laktat dehydrogenase 422 U/1,
f. Serologi HIV-1 dan HIV-2, HIC-p21 antigen dan HIV-RNA
negative. 1
Pewarnaan Gram :
I.5 DIAGNOSIS :
Tonsilitis gonnore
I.6 TATALAKSANA :
I.7 FOLLOW UP :
Lima hari kemudian kami melihat pasien itu lagi. Pasien tidak lagi
mengeluh sakit tenggorokan. Amandelnya tidak terlalu bengkak,
bahkan lesi supuratif telah menghilang, KGB servikal tidak lagi
membesar. Pasien tidak datang 3 bulan kemudian untuk uji serologi
HIV ulang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II. 1 Anatomi
Faring
1. Nasofaring
2. Orofaring
Gambar 4. Orofaring
II.3.1 Definisi
II.3.2 Epidemiologi
Infeksi virus atau bakteri dan faktor imunologi yang dapat menyebabkan
tonsillitis adalah sebagai berikut : 6
Cytomegalovirus
Measles virus
II.3.5 Klasifikasi
d) Komplikasi
- Laringitis difteri dapat berlangsung cepat, membrane
semu menjalar ke laring dan menyebabkan gejala
sumbatan. Makin muda usia pasien makin cepat timbul
komplikasi ini.
- Miokarditis dapat menyebabkan payah jantung atau
dekompensasio cordis.
- Kelumpuhan otot palatum mole, otot mata untuk
akomodasi, otot faring serta otot laring sehingga
menimbulkan kesulitan menelan, suara parau dan
kelumpuhan otot-otot pernapasan.
- Albuminuria sebagai akibat komplikasi ke ginjal.
2) Tonsilitis Septik
Penyebab dari tonsillitis septik ialah Streptococcus hemoliticus
yang terdapat dalam susu sapi sehingga dapat timbul epidemic.
Oleh karena di Indonesia susu sapi dimasak dulu dengan cara
pasteurisasi sebelum diminum maka penyakit ini jarang
ditemukan.
3) Angina Plaut Vincent (stomatitis ulsero membranosa)
Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta triponema
yang didapatkan pada penderita dengan hiegene mulut yang
kurang dan defisiensi vitamin C.
a) Gejala
Demam sampai 39 C, nyeri kepala, badan lemah dan
kadang- kadang terdapat gangguan pencernaan. Rasa nyeri
di mulut, hipersalivasi, gigi dan gusi mudah berdarah.
b) Pemeriksaan
Mukosa mulut dan faring hiperemis, tampak membrane
putih keabuan di atas tonsil, uvula, dinding faring, gusi
serta prosesus alveolaris, mulut berbau (foetor ex ore) dan
kelenjar submandibular membesar
c) Terapi
Antibiotik spectrum lebar selama 1 minggu. Memperbaiki
hiegene mulut. Serta dapat diberikan vitamin C dan
vitamin B kompleks.
c. Tonsilitis Kronik
Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik ialah rangsangan
yang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, hiegene mulut
yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan
tonsillitis akut yang tidak adekuat. Kuman penyebabnya sama
dengan tonsillitis akut tetapi kadang- kadang kuman berubah
menjadi golongan Gram negatif.
1) Patologi
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel
mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses
penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut
yang akan mengalami pengerutan sehinga kripti melebar.
Secara klinik kripti ini tampak diisi oleh detritus. Proses
berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya
menimbulkan perlekatan dengan jaringan di sekitar fosa
tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran
kelenjar limfa sumbandinbula.
a) Gejala dan Tanda
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan
permukaan yang tidak rata, kriptus melebar dan
beberapa kripti terisi oleh detritus. Rasa ada yang
mengganjal di tenggorok, dirasakan kering di
tenggorok dan napas berbau.
b) Terapi
Terapi local ditujukan pada hiegene mulut dengan
berkumur atau obat isap.
c) Komplikasi
Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi
ke daerah sekitarnya berupa rhinitis kronik, sinusitis
atau otitis media secara perkontinuitatum. Komplikasi
jauh terjadi secara hematogen atau limfogen dan dapat
timbul endocarditis, artritis, myositis, nefritis, uveitis,
iridoksilitis, dermatitis, pruritus, urtikaria dan
furunkulosis.
Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi berulang
atau kronik, gejala sumbatan serta kecurigaan
neoplasma.
d) Indikasi Tonsilektomi
The American Academy of Otolaryngology-Head and
Neck Surgery Clinical Indicators Compendium tahun
1995 menetapkan :
1. Serangan tonsillitis > 3 kali/tahun walaupun telah
mendapatkan terapi yang adekuat.
2. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi
dan menyebabkan gangguan pertumbuhan orofasial.
3. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil
dengan sumbatan jalan napas, sleep apnea, gangguan
menelan, gangguan berbicara, dan cor pumonale.
4. Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis,
abses peritonsil yang tidak berhasil hilang dengan
pengobatana.
5. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan.
6. Tonsillitis berulang yang disebabkan oleh bakteri
grup A streptococcus beta hemoliticus.
7. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan.
8. Otitis media efusa/otitis media supuratif. 8
II.3.6 Patofisiologi
Tonsillitis berawal dari penularan yang terjadi melalui droplet
dimana kuman menginfiltrasi lapisan epitel. Adanya infeksi berulang pada
tonsil menyebabkan pada suatu waktu tonsil tidak dapat membunuh semua
kuman sehingga kuman kemudian bersarang ditonsil. Pada keadaan inilah
fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi (fokal
infeksi) dan suatu saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh
misalnya pada saat keadaan umum tubuh menurun. Bila epitel terkikis maka
jaringan limfoid superkistal bereaksi dimana terjadi pembendungan radang
dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Karena proses radang berulang
yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan limfoid diganti oleh
jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripti melebar.
Secara klinik kripti ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus
sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan
dengan jaringan di sekitar fossa tonsilaris. Pada anak disertai dengan
pembesaran kelenjar limfa submadibularis. 5
Gambar 5. Patofisiologi Tonsilitis
II.3.8 Diagnosis
a. Anamnesis:
Tanda dan gejala tonsilitis seperti demam mendadak, nyeri tenggorokan,
ngorok, dan kesulitan menelan.11 Sedangkan menurut Masjoer (2000) adalah
suhu tubuh naik sampai 40, rasa gatal atau kering di tenggorokan, lesu, nyeri
sendi, odinofagia (nyeri menelan), anoreksia, dan otalgia (nyeri telinga).
Bila laring terkena suara akan menjadi serak. Pada pemeriksaan tampak
faring hiperemis, tonsil membengkak, hiperemesis.
b. Pemeriksaan fisik:
Pemeriksaan fisik tonsil
Pasien diminta untuk membuka mulutnya dan kemudian diperiksa dengan
menggunakan spatel menekan lidah kebawah dan kemudian daerah faring
dan tonsil dapat dievaluasi
Gambar 6. Ukuran Pembesaran Tonsil
T3: Tonsil mencapai garis peretngahan antara uvula dan faring posterior
II.3.9 Tatalaksana
1. Medikamentosa
Penatalaksanaan pasien tonsilitis secara umum :
1. Penderita dengan tonsillitis akut serta demam sebaiknya tirah baring,
pemberian cairan adekuat, dan diet ringan.10
2. Jika penyebab bakteri, diberikan antibiotik peroral (melalui mulut)
selama 10 hari, jika mengalami kesulitan menelan, bisa diberikan
dalam bentuk suntikan.
Penatalaksanaan pasien tonsilitis menurut Mansjoer (2000) adalah:
a. Antibiotik golongan penicilin atau sulfanamid selama 5 hari dan
obat kumur atau obat isap dengan desinfektan, bila alergi dengan
diberikan eritromisin atau klidomisin.
b. Antibiotik yang adekuat untuk mencegah infeksi sekunder,
kortikosteroid untuk mengurangi edema pada laring dan obat
simptomatik.
c. Pasien diisolasi karena menular, tirah baring, untuk menghindari
komplikasi kantung selama 2 sampai 3 minggu atau sampai hasil
usapan tenggorok 3 kali negatif.
d. Pemberian antipiretik.13
The American Academy of Otolaryngology – Head and Neck Surgery
Clinical Indikators Compendium tahun 1995 menetapkan indikasi
dilakukannya tonsilektomi yaitu:
1) Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah
mendapatkan terapi yang adekuat.
2) Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan
gangguan pertumbuhan orofasial.
3) Sumbatan jalan nafas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan
jalan nafas, sleep apnea, gangguan menelan, dan gangguan bicara.
4) Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil, yang
tidak berhasil hilang dengan pengobatan.
5) Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan.
6) Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A Sterptococcus β
hemoliticus
7) Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan.
8) Otitis media efusa atau otitis media supurataif.8
2. Operatif
Bedah tonsilektomi diindikasikan pada individu
1. Mengalami lebih dari 6 episode tonsillitis streptokokkus
(terkonfirmasi dengan kultur) dalam 1 tahun
2. Mengalami 5 episode tonsillitis dalam 2 tahun berturut-turut
3. Mengalami 3 atau lebih infeksi tonsil selama 3 tahun berturut-turut
4. Tonsilitis kronis atau berulang yang berhubungan dengan
resistennya streptokokkus terhadap antibiotic beta-lakamase
5. Dipertimbangkan untuk anak-anak yang memiliki alergi antibiotic,
demam periodic, stomatitis aphthous, PFAPA, riwayat abses
peritonsilar.6
II.3.10 Komplikasi
1. Abses peritonsil
Terjadi diatas tonsil dalam jaringan pilar anterior dan palatum mole,
abses ini terjadi beberapa hari setelah infeksi akut dan biasanya
disebabkan oleh streptococcus group A.8
2. Otitis media akut
Infeksi dapat menyebar ke telinga tengah melalui tuba auditorius
(eustochi) dan dapat mengakibatkan otitis media yang dapat
mengarah pada ruptur spontan gendang telinga. 8
3. Mastoiditis akut
4. Laringitis
Merupakan proses peradangan dari membran mukosa yang
membentuk larynx. Peradangan ini mungkin akut atau kronis yang
disebabkan bisa karena virus, bakter, lingkungan, maupun karena
alergi.14
5. Sinusitis
Merupakan suatu penyakit inflamasi atau peradangan pada satu atau
lebih dari sinus paranasal. Sinus adalah merupakan suatu rongga
atau ruangan berisi udara dari dinding yang terdiri dari membran
mukosa. 14
6. Rhinitis
Merupakan penyakit inflamasi membran mukosa dari cavum nasal
dan nasopharinx. Sama halnya dengan sinusitis, rhinitis bisa berupa
penyakit kronis dan akut yang kebanyakan disebabkan oleh virus
dan alergi. 14
II.4 Gonore
II.4.1 Definisi
II.4.2 Etiologi
a. Seviks
Duh tubuh vagina yang berasal dari endoservisitis yang bersifat
purulen dan agak berbau namun pada beberapa pasien kadang
mempunyai gejala minimal. Kemudian timbul disuria dan
dispareunia. Jika bersifat asimptomatis maka dapat berkembang
menjadi penyakit radang panggul. Penyakit ini bisa akibat dari
menjalarnya infeksi ke endometrium, tuba falopii, ovarium dan
peritoneum. 16
II.4.4 Diagnosa
b. Kultur
Untuk identifikasi dilakukan pembiakan dengan menggunakan media
selektif yang diperkaya yaitu Media Thayer Martin yang mengandung
vankomisin, dan nistatin yang dapat menekan pertumbuhan bakteri Gram
positif, Gram negatif dan jamur, dimana tampak koloni berwarna putih
keabuan, mengkilat dan cembung. Kultur diinkubasi pada suhu 350C –
370C dan atmosfer yang mengandung CO2 5%. Pemeriksaan kultur dengan
bahan dari duh uretra pria, sensitivitasnya lebih tinggi 94% - 98% daripada
duh endoserviks 85 % - 95%, sedangkan spesifisitasnya sama yaitu 99%.
1. Tes oksidase
Pada tes oksidase koloni genus Neisseria menghasilkan indofenol
oksidase sehingga memberikan hasil tes oksidase positif. Tes oksidase
dilakukan dengan cara meneteskan reagen 1% tetrametil parafenilen diamin
monohidrokhlorid pada koloni. Jika hasil tes positif maka akan berubah
menjadi merah jambu dan makin lama semakin menghitam. Sebaliknya
hasil negatif menunjukkan warna koloni tidak berubah atau tetap berwarna
coklat. Dalam tes ini, reagen tersebut membunuh mikroorganisme tetapi
tidak merubah morfologi dan sifat pewarnaan.