ABSES PERITONSIL
Disusun Oleh :
Ariqah Ghina Mardiah Ruslan, S.Ked
(17 20 777 14 427)
Pembimbing :
dr. Densy Tette, M.Kes, Sp.THT-KL
Bagian THT-KL
RSU ANUTAPURA PALU
Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Alkhairaat
Pembimbing Mahasiswa
PENDAHULUAN
Latar belakang
Abses peritonsillar adalah salah satu komplikasi lokal yang paling sering dari
tonsilitis akut; kejadiannya dalam populasi dilaporkan sebagai 10–45/100.000 orang.
Abses peritonsillar didiagnosis pada pasien dari hampir semua kelompok umur,
paling sering pada remaja dan dewasa muda. Pada sebagian besar kasus Abses
peritonsillar bersifat unilateral, tetapi jarang terjadi secara bilateral. Rasio deformitas
sisi kiri dan kanan dilaporkan kira-kira sama atau lebih banyak pada sisi kiri.
Pertama, phlegmon peritonsillar berkembang, kemudian membran piogenik
terbentuk, dan proses inflamasi memperoleh bentuk abses. Abses peritonsillar dapat
disertai dengan perkembangan komplikasi lain seperti obstruksi jalan napas. Selain
itu, infeksi tenggorokan dalam dengan ruang leher parapharyngeal, retropharyngeal,
dan visceral, mediastinitis, necrotizing fasciitis, erosi arteri karotis interna, dan abses
otak dapat terjadi.1
Abses peritonsil merupakan suatu infeksi akut yang diikuti dengan terkumpulnya pus
pada jaringan ikat longgar antara muskulus konstriktor faring dengan tonsil pada
fosa tonsil.Infeksi ini menembus kapsul tonsil atau umumnya pada kutub atas. Abses
peritonsil merupakan infeksi pada tenggorok yang sering kali merupakan komplikasi
dari tonsilitis akut.2
Abses peritonsil merupakan infeksi pada kasus kepala leher yang sering terjadi pada
orang dewasa. Timbulnya abses peritonsil dimulai dari infeksi superfisial dan
berkembang secara progresif menjadi tonsilar selulitis. Pada fosa tonsil ditemukan
suatu kelompok kelenjar di ruang supra tonsil yang disebut kelenjar Weber. Fungsi
kelenjar-kelenjar ini adalah mengeluarkan cairan ludah kedalam kripta-kripta tonsil,
membantu untuk menghancurkan sisa-sisa makanan dan debris yang terperangkap
didalamnya lalu kemudian dievakuasi dan dicerna. Jika terjadi infeksi berulang,
dapat terjadi gangguan pada kelenjar Weber yang mengakibatkan terjadinya
pembesaran kelenjar. Jika tidak diobati secara maksimal, akan terjadi infeksi
berulang selulitis peritonsil atau infeksi kronis pada kelenjar Weber dan sistem
saluran kelenjar tersebut akan membentuk pus sehingga menyebabkan terjadinya
abses. 2
Gejala klinis berupa rasa sakit di tenggorok, rasa nyeri yang terlokalisir, demam
tinggi, lemah dan mual. Keluhan lainnya berupa mulut berbau, muntah, sampai nyeri
alih ke telinga atau otalgia dan trismus. Komplikasi abses peritonsil yang mungkin
terjadi antara lain perluasan infeksi ke parafaring, mediastinitis, dehidrasi,
pneumonia, hingga infeksi ke intrakranial berupa trombosis sinus kavernosus,
meningitis, abses otak dan obstruksi jalan napas. 2
TINJAUAN PUSTAKA
Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun sistem immunnya,
tetapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada anak-
anak. Bukti menunjukkan bahwa tonsilitis kronik atau percobaan penggunaan
antibiotik oral untuk tonsilitis akut merupakan predisposisi untuk berkembangnya
abses peritonsil.5
Dilaporkan bahwa penyakit gigi dapat memegang peranan dalam etiologi abses
peritonisl. Fried dan Forest menemukan 27% adanya riwayat infeksi gigi. Abses
peritonsil mengalami peningkatan pada penyakit periodontal dibandingkan tonsilitis
rekuren.5
2.5 epidemiologi
Abses peritonsil kira-kira 30% dari abses leher dalam, sekalipun sudah di era
antibiotika, abses peritonsil masih sering ditemukan dengan jumlah yang menurun
menjadi 18% di United Kingdom dalam sepuluh tahun terahir ini.5
Tonsilitis banyak ditemukan pada anak-anak. Abses peritonsil biasanya ditemukan
pada orang dewasa dan dewasa muda, sekalipun dapat terjadi pada anak-anak. 5
Abses peritonsil umumnya terjadi akibat komplikasi tonsilitis akut , dikatakan bahwa
abses peritonsil merupakan salah satu komplikasi umum dari tonsilitis akut, pada
penelitian di seluruh dunia dilaporkan insidens abses peritonsil ditemukan 10 -37 per
100.000 orang. di Amerika dilaporkan 30 kasus per 100 orang per tahun, 45.000
kasus baru per tahun. Data yang akurat secara internasional belum dilaporkan.5
Biasanya unilateral, bilateral jarang ditemukan. 5
Usia bervariasi paling tinggi pada usia 15-35 tahun, tidak ada perberdaan antara laki-
laki dan perempuan.5
Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi
pada umur 20-40 tahun. 5
2.6 patofisiologi
Abses peritonsil biasanya terjadi sebagai akibat komplikasi tonsillitis akut, walaupun
dapat terjadi tanpa infeksi tonsil sebelumnya. Infeksi memasuki kapsul tonsil
sehingga terjadi peritonsilitis dan kemudian terjadi pembentukan nanah. Daerah
superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu
infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini,
sehingga tampak palatum mole membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk
di bagian inferior, namun jarang. Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), selain
pembengkakan tampak juga permukaan yang hiperemis. Bila proses tersebut
berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih lunak dan berwarna
kekuning-kuningan. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil ke tengah,
depan, bawah, dan uvula bengkak terdorong ke sisi kontra lateral. Bila proses terus
berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada m.
pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Kelenjar Weber adalah kelenjar mucus
yang terletak di atas kapsul tonsil, kelenjar ini mengeluarkan air liur ke permukaan
kripta tonsil. Kelenjar ini bisa tertinggal pada saat tonsilektomi, sehingga dapat
menjadi sumber infeksi setelah tonsilektomi. 5
Pada fosa tonsil ditemukan suatu kelompok kelenjar di ruang supra tonsil yang
disebut kelenjar Weber. Fungsi kelenjar-kelenjar ini adalah mengeluarkan cairan
ludah ke dalam kripta-kripta tonsil, membantu untuk menghancurkan sisa-sisa
makanan dan debris yang terperangkap di dalamnya lalu dievakuasi dan dicerna. Jika
terjadi infeksi berulang, dapat terjadi gangguan pada proses tersebut lalu timbul
sumbatan terhadap sekresi kelenjar Weber yang mengakibatkan terjadinya
pembesaran kelenjar. Jika tidak diobati secara maksimal, akan terjadi infeksi
berulang selulitis peritonsil atau infeksi kronis pada kelenjar Weber dan sistem
saluran kelenjar tersebut akan membentuk pus sehingga menyebabkan terjadinya
abses.4
Apapun bakteri/kuman yang menjadi penyebabnya, proses infeksi ini menunjukkan
bahwa mekanisme pertahanan pertama dari orofaring penerima (host) telah ditembus
dan sebagai akibatnya mikroorganisme tersebut masuk menembus jaringan
orofaring. 4
Ketika bakteri menembus jaringan, tubuh secara alami akan menggerakkan beberapa
mekanisme pertahanan. Secara umum bakteri akan mati oleh aktifitas sel-sel fagosit.
Antibodi memainkan peranan penting melawan toksin-toksin bakteri, tetapi
bagaimana peranan antibodi dalam melawan bakteri penyebab inflamasi peritonsil
akut masih belum diketahui. 4
2.7 diagnosis
Anamnesis
Onset gejala abses peritonsil biasanya dimulai sekitar 3 sampai 5 hari sebelum
pemeriksaan dan diagnosis. Demam (lebih dari 40 derajat), Nyeri tenggorok yang
sangat (Odinofagi) dapat merupakan gejala menonjol, dan pasien mungkin
mendapatkan kesulitan untuk makan bahkan menelan ludah. Akibat tidak dapat
mengatasi sekresi ludah sehingga terjadi hipersalivasi dan ludah seringkali menetes
keluar. Keluhan lainnya berupa mulut berbau (foetor ex ore), muntah (regurgitasi),
sampai nyeri alih ke telinga (otalgi). Keluhan nyeri biasanya akan semakin hebat
ketika pasien sedang menoleh atau sedang menggerakkan leher. Pada beberapa
pasien didapatkan riwayat sakit gigi atau riwayat tertelan benda asing. Keluhan lain
didapatkan sulit menelan selama beberapa hari, trismus bahkan sampai sesak nafas.
Trismus akan muncul bila infeksi meluas mengenai otot-otot pterigoid. 4, 5, 6, 7
derajat inflamasi dan infeksi terus berlanjut, gejala terjadi di dasar mulut, ruang
Parapharyngeal dan ruang prevertebral. Ekstensi hingga di dasar mulut
mengkhawatirkan karena obstruksi jalan napas. Presentasi dapat berkisar dari
tonsilitis akut dengan asimetri faring unilateral hingga dehidrasi dan sepsis, sebagian
besar pasien mengalami nyeri hebat.3
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan tonsil, ada pembengkakan unilateral, karena jarang kedua tonsil
terinfeksi pada waktu bersamaan. Bila keduanya terinfeksi maka yang kedua akan
membengkak setelah tonsil yang satu membaik. Bila terjadi pembengkakan secara
bersamaan, gejala sleep apnea dan obstruksi jalan nafas akan lebih berat. Pada
pemeriksaan fisik penderita dapat menunjukkan tanda-tanda dehidrasi dan
pembengkakan serta nyeri kelenjar servikal / servikal adenopati. Di saat abses sudah
timbul, biasanya akan tampak pembengkakan pada daerah peritonsilar yang terlibat
disertai pembesaran pilar-pilar tonsil atau palatum mole yang terkena. 3,4
Terjadi gangguan terutama pada saraf kranial N IX, X dan XII. Selain itu sering
didapatkan karies dentis.6
Tonsil sendiri pada umumnya tertutup oleh jaringan sekitarnya yang membengkak
atau tertutup oleh mukopus. Timbul pembengkakan pada uvula yang mengakibatkan
terdorongnya uvula pada sisi yang berlawanan. Paling sering abses peritonsil pada
bagian supratonsil atau di belakang tonsil, penyebaran pus ke arah inferior dapat
menimbulkan pembengkakan supraglotis dan obstruksi jalan nafas. Pada keadaan ini
penderita akan tampak cemas dan sangat ketakutan. 4
Abses peritonsil yang terjadi pada kutub inferior tidak menunjukkan gejala yang
sama dengan pada kutub superior. Umumnya uvula tampak normal dan tidak
bergeser, tonsil dan daerah peritonsil superior tampak berukuran normal hanya
ditandai dengan kemerahan.4
Tabel 2.2 Temuan gejala dan pemeriksaan fisik tersering pada abses peritonsil
Pemeriksaan penunjang
Aspirasi dengan jarum pada daerah yang paling fluktuatif, atau punksi merupakan
tindakan diagnosis yang akurat untuk memastikan abses peritonsil. Yang merupakan
“gold standar” untuk mendiagnosis abses peritonsil adalah dengan mengumpulkan
pus dari abses dengan menggunakan jarum aspirasi. Untuk mengetahui jenis kuman
pada abses peritonsil tidak dapat dilakukan dengan cara usap tenggorok.
Pemeriksaan penunjang akan sangat membantu selain untuk diagnosis, juga untuk
perencanaan penatalaksanaan. 5
2.9 tatalaksana
Penisilin IV dosis tinggi tetap menjadi pilihan yang baik untuk pengobatan empiris
abses peritonsillar. Alternatifnya, karena kultur pus bersifat polimikrobial, agen yang
mengobati kopatogen dan melawan beta laktamase juga telah direkomendasikan
sebagai pilihan pertama. Cephalexin atau sefalosporin lain [dengan atau tanpa
metronidazole] mungkin merupakan pilihan awal yang terbaik. Obat alternatif adalah
Cefuroxime atau cefpodoxime [dengan atau tanpa metronidazole], clindamycin,
Trovafloxacin, Amoxicillin-clavulanate. Antibiotik oral dapat diresepkan setelah
pasien dapat mentolerir asupan oral, beberapa penelitian menunjukkan bahwa
penggunaan steroid IV [Dexamethasone, Methyle-prednisoloneolone] dapat
meringankan gejala.3
Tonsilektomi
Jika pasien terus melaporkan sakit tenggorokan berulang atau kronis setelah sayatan
dan drainase yang tepat, tonsilektomi dapat diindikasikan. Drainase intraoral
memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi dan tingkat kekambuhan dan morbiditas
yang rendah. Dalam situasi di mana abses terletak di daerah yang sulit diakses,
tonsilektomi mungkin merupakan satu-satunya cara untuk mengeringkan abses.3
2.10 komplikasi
Komplikasi segera yang dapat terjadi berupa dehidrasi karena masukan makanan
yang kurang. Abses pecah spontan, mengakibatkan terjadi perdarahan, aspirasi paru
atau pyemia ,penjalaran infeksi abses ke daerah parafaring sehingga terjadi abses
parafaring, penjalaran ke daerah intrakranial dapat mengakibatkan trombus sinus
kavemosus, meningitis dan abses otak. Pada keadaan ini, bila tidak ditangani dengan
baik akan menghasilkan gejala sisa neurologis yang fatal. Komplikasi lain yang
mungkin timbul akibat penyebaran abses adalah endokarditis, nefritis, dan peritonitis
juga pernah ditemukan. Pembengkakan yang timbul di daerah supraglotis dapat
menyebabkan obstruksi jalan nafas yang memerlukan tindakan trakeostomi.
Keterlibatan ruang-ruang faringomaksilaris dalam komplikasi abses peritonsil
mungkin memerlukan drainase dari luar melalui segitiga submandibular. 5
Perdarahan merupakan komplikasi potensial jika cabang dari arteri karotis eksternal
terluka atau jika arteri karotis eksternal itu sendiri terluka. Perdarahan dapat terjadi
intra operasi atau pada periode awal pasca operasi. Perdarahan intraopratif
merupakan keadaan darurat dan diakibatkan oleh cedera langsung pada arteri karotis
eksterna atau cabang terminalnya. Komplikasi lain yang dilaporkan karena
perkembangan infeksi yang berkelanjutan dapat menyebabkan abses parafaringeal,
mediastinitis nekrotikans yang menurun, sindrom Lemierre, dan pseudoaneurisma
arteri karotis interna.3
2.11 prognosis
Pemberian antibiotik yang adekuat dan drainase abses merupakan penanganan yang
kebanyakan hasilnya baik, dalam beberapa hari terjadi penyembuhan. Dalam jumlah
kecil,diperlukan tonsilektomi beberapa lama kemudian. Bila pasien tetap mengeluh
sakit tenggorok setelah insisi abses, maka tonsilektomi menjadi indikasi.
Kekambuhan abses peritonsil pada usia lebih muda dari 30 tahun lebih tinggi terjadi,
demikian juga bila sebelumnya menderita tonsilitas sebelumnya sampai 5 episode.5
DAFTAR PUSTAKA