Anda di halaman 1dari 41

CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)

*Kepaniteraan Klinik Senior/G1A220118/ Februari 2021


**Pembimbing/ dr. Vonna Riasari, Sp.M

REFERAT
RETINOPATI

Oleh:
Muhammad Hafizh Pane
G1A220118

Pembimbing:
dr. Vonna Riasari, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


SMF/BAGIAN MATA RSUD H. ABDUL MANAP
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2021

i
HALAMAN PENGESAHAN

REFERAT

RETINOPATI

DISUSUN OLEH
Muhammad Hafizh Pane
G1A220118

Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik senior


Bagian Mata RSUD H. Abdul Manap
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi

Jambi, Februari 2021


PEMBIMBING

dr. Vonna Riasari, Sp.M

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat-
Nya penulis dapat menyelesaikan tugas pada Kepaniteraan Klinik Senior di
Bagian Mata Fakultas Kedokteran Universitas Jambi yang berjudul, “Retinopati”.
Tugas ini bertujuan agar penulis dapat memahami lebih dalam mengenai
teori-teori yang diberikan selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian
Mata RSUD Raden Mattaher Jambi dan RSUD H. Abdul Manap Jambi dan
melihat penerapannya secara langsung di lapangan. Pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada dr. Vonna Riasari, Sp.M selaku preseptor yang
telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulis.
Penulis menyadari keterbatasan dan kekurangan dalam penulisan, sehingga
diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang
membacanya. Semoga tugas ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak
yang membutuhkan.

Jambi, Februari 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………………...i
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………………ii
KATA PENGANTAR…………………………………………………………...iii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………..iv
BAB 1
PENDAHULUAN………………………………………………………...1
BAB 2 TINJAUAN
PUSTAKA…………………………………………………..2
2.1 Anatomi
Retina………………………………………………………………...2
2.1.1 Lapisan Retina…………………………………………………………...2
2.2 Retinopati……………………………………………………………………...
4
2.2.1 Definisi………………………………………………………………….
4
2.3 Retinopati
Diabetik…………………………………………………………….5
2.3.1 Definisi………………………………………………………………….
5
2.3.2 Epidemiologi…………………………………………………………….
5
2.3.3 Etiologi………………………………………………………………….
5
2.3.4
Patofisiologi……………………………………………………………...6
2.3.5 Diagnosis dan Klasifikasi………………………………………………..6
2.3.6 Pencegahan dan Pengobatan……………………………………………
10

iv
v

2.3.7 Perjalanan Klinis dan


Prognosis………………………………………...11
2.4 Retinopati Hipertensi…………………………………………………………
12
2.4.1 Definisi……………………………………………………………….. .
12
2.4.2 Epidemiologi…………………………………………………………...
12
2.4.3 Patogenesis…………………………………………………………….
13
2.4.4 Manifestasi Klinis………………………………………………………
13
2.4.5 Diagnosis dan Klasifikasi………………………………………………14
2.4.6
Penatalaksanaan………………………………………………………...16
2.4.7 Prognosis………………………………………………………………
17
2.5 Retinopati Prematuritas………………………………………………………
17
2.5.1 Definisi………………………………………………………………...
17
2.5.2 Etiologi……………………………………………………………… ...
17
2.5.3 Manifestasi Klinis………………………………………………………
18
2.5.4 Klasifikasi………………………………………………………………
18
2.5.5 Diagnosis……………………………………………………………….19
2.5.6
Penatalaksanaan………………………………………………………...19
2.5.7 Pencegahan……………………………………………………………..20
vi

2.5.8 Prognosis……………………………………………………………….
20
2.6 Retinopati Anemia……………………………………………………………
20
2.7 Retinopati Akibat Trauma Non
Okuli………………………………………...20
2.7.1 Retinopati
Purtscher…………………………………………………….21
2.7.2 Retinopati Embolisasi Lipid……………………………………………21
2.7.3 Retinopati Valsalva…………..…………………………………………
21
2.8 Retinopati
Toksik……………………………………………………………..22
2.8.1 Klorokuin dan Hidroklorokuin…………………………………………22
2.8.2 Isoretinoin………………………………………………………………
22
2.8.3 Sildenafil………………………………………………………………
22
2.8.4 Vigabatrin………………………………………………………………23
2.8.5 Tamoxifen……………………………………………………………...
23
2.8.6 Phenotiazine……………………………………………………………
23
2.9 Age-Related Macular Degeneration………………………………………….23
2.10 Retinitis Pigmentosa………………………………………………………...24
2.10.1 Definisi………………………………………………………………..24
2.10.2 Etiologi………………………………………………………………..25
2.10.3 Patogenesis………………...………………………………………….25
2.10.4 Manifestasi Klinis…………………………………………………….
26
2.10.5 Diagnosis……………………………………………………………...27
vii

2.10.6
Penatalaksanaan……………………………………………………….31
2.10.7 Prognosis……………………………………………………………...
33
BAB 3
KESIMPULAN………………………………………………………….34
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………...
35
BAB 1
PENDAHULUAN

Retina atau selaput jala, merupakan bagian mata yang mengandung reseptor
yang menerima rangsangan cahaya. Warna retina biasanya jingga, kadang pucat
pada anemia dan iskemia, merah pada hiperemia. Pembuluh darah di dalam retina
merupakan cabang arteri oftalmika, arteri retina sentral masuk retina melalui papil
saraf optic yang akan memberikan nutrisi pada retina dalam. Lapisan luar retina
atau sel kerucut dan batang mendapat nutrisi dari koroid.1
Retina terdiri dari beberapa lapis, yaitu: retinal pigment epithelium (RPE);
lapis fotoreseptor; membrane limitan eksterna; lapis nukleus luar; lapis pleksiform
luar; lapis nukleus dalam; lapis sel ganglion; lapis serabut saraf; membrane
limitan interna.1
Untuk melihat fungsi retina maka dilakukan pemeriksaan subyektif retina
seperti: tajam penglihatan, penglihatan warna, dan lapang pandang. Pemeriksaan
obyektif seperti: elektroretinografi (ERG), elektrookulalografi (EOG), dan visual
evoked respons (VER).1
Retinopati merupakan kelainan pada retina yang tidak disebabkan radang.
Kelainan retina yang berhubungan dengan penurunan penglihatan seperti
retinopati akibat anemia, diabetes melitus, hipotensi, hipertensi, dan retinopati
leukimia. Retinopati dibagi berdasarkan etiologi seperti retinopati anemia,
retinopati diabetik, retinopati hipotensi, retinopati hipertensi, retinopati
pigmentosa, dan retinopati prematuritas.1

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Retina


Retina atau selaput jala, merupakan bagian mata yang mengandung
reseptor yang menerima rangsangan cahaya. Warna retina biasanya jingga,
kadang pucat pada anemia dan iskemia, merah pada hiperemia. Pembuluh
darah di dalam retina merupakan cabang arteri oftalmika, arteri retina sentral
masuk retina melalui papil saraf optik yang akan memberikan nutrisi pada
retina dalam. Lapisan luar retina atau sel kerucut dan batang mendapat nutrisi
dari koroid.1
2.1.1 Lapisan Retina
Retina terdiri atas lapisan:
1. Lapis fotoreseptor, merupakan lapis terluar retina yang terdiri atas sel
batang yang mempunyai bentuk ramping dan sel kerucut
2. Membran limitan eksterna
3. Lapis nukleus luar, merupakan susunan lapis nukleus sel kerucut dan
batang.
Ketiga lapis di atas avaskular dan mendapat metabolism dari kapiler
koroid.
4. Lapis pleksiform luar, merupakan lapisan aselular dan merupakan
tempat sinapsis sel fotoreseptor dengan sel bipolar dan sel horizontal
5. Lapis nukleus dalam, merupakan tubuh sel bipolar, sel horizontal dan
sel muller. Lapis ini mendapat metabolism dari arteri retina sentral
6. Lapis pleksiform dalam, merupakan lapis aselular tempat sinaps sel
bipolar, sel amakrin dengan sel ganglion
7. Lapis sel ganglion yang merupakan lapis badan sel daripada neuron
kedua
8. Lapis serabut saraf, merupakan lapis akson sel ganglion menuju kearah
saraf optik. Di dalam lapisan-lapisan ini terletak sebagian besar
pembuluh darah retina

2
3

9. Membran limitan interna, merupakan membran hialin antara retina dan


badan kaca

Gambar 2.1 Lapisan Retina2


Area sentral retina atau makula berukuran sekitar 5,5 mm dan berpusat
diantara kepala saraf optik dan the temporal vascular arcades. Di tengah
makula, yang disebut fovea (fovea sentralis) berfungsi untuk ketajaman
spasial dan penglihatan warna. Fovea memiliki margin ke bawah seperti
lereng dan lantai yang dikenal sebagai foveola. Daerah dengan diameter 0,35
mm berbentuk kerucut, memanjang dan padat. Di tengah foveola ada depresi
kecil berdiameter 150-200 µm yang dikenal sebagai umbo. Di dalam fovea
adalah daerah tanpa pembuluh darah retinal yang dikenal sebagai zona
avaskular foveal (FAZ). Di sekitar fovea adalah parafovea, sebuah cincin
berdiameter 0,5 mm tempat lapis ganglion, lapis nukleus dalam, dan lapis
pleksiform luar yang juga dikenal sebagai lapisan serat henle yang paling
tebal. Disekitar zona ini adalah perifovea, cincin berdiameter sekitar 1,5 mm.2
4

Keterangan:
a. umbo; b. foveola; c. fovea; c-d. parafoveal
macula; d-e. perifoveal macula; e. macula
Gambar 2.2 Anatomi Makula2
Untuk melihat fungsi retina maka dilakukan pemeriksaan subyektif retina
seperti: tajam penglihatan, penglihatan warna, dan lapang pandang.
Pemeriksaan obyektif seperti: elektroretinografi (ERG), elektrookulalografi
(EOG), dan visual evoked respons (VER).1
2.2 Retinopati
2.2.1 Definisi
Retinopati merupakan kelainan pada retina yang tidak disebabkan
radang. Kelainan retina yang berhubungan dengan penurunan penglihatan
seperti retinopati akibat anemia, diabetes melitus, hipotensi, hipertensi,
dan retinopati leukimia. Retinopati dibagi berdasarkan etiologi seperti
retinopati anemia, retinopati diabetik, retinopati hipotensi, retinopati
hipertensi, retinopati pigmentosa, dan retinopati prematuritas.1
2.3 Retinopati Diabetik
2.3.1 Definisi
Retinopati diabetik iaIah suatu kelainan mata pada pasien diabetes
yang disebabkan karena kerusakan kapiler retina dalam berbagai tingkatan,
sehingga menimbulkan gangguan penglihatan mulai dari yang ringan
sampai berat bahkan sampai terjadi kebutaan total dan permanen.3
5

2.3.2 Epidemiologi
Prevalensi retinopati diabetik pada pasien diabetes tipe 1 setelah 10-15
tahun sejak diagnosis ditegakkan berkisar antara 25-50%. Sesudah 15
tahun prevalensi meningkat menjadi 75-95% dan setelah 30 tahun
mencapai 100%. Pasien diabetes tipe 2 ketika diagnosis diabetes
ditegakkan sekitar 20% di antaranya sudah ditemukan retinopati diabetik.
Setelah 15 tahun kemudian prevalensi meningkat menjadi lebih dari 60-
85%. Di Amerika Utara dilaporkan sekitar 12.000-24.000 pasien diabetes
mengalami kebutaan setiap tahun. Di Inggris dan Wales tercatat sekitar
1000 pasien diabetes setiap tahun mengalami kebutaan sebagian sampai
kebutaan total. Di Indonesia belum ada data mengenai prevalensi
retinopati diabetik secara nasional. Namun apabila dilihat dari jumlah
pasien diabetes yang meningkat dari tahun ke tahun, maka dapat
diperkirakan bahwa prevalensi retinopati diabetik di Indonesia juga cukup
tinggi.3
2.3.3 Etiologi
Meskipun penyebab retinopati diabetik sampai saat ini belum diketahui
secara pasti, namun keadaan hiperglikemia yang berlangsung lama
dianggap sebagai faktor risiko utama. Beberapa proses biokimiawi yang
terjadi pada hiperglikemia dan diduga berkaitan dengan timbulnya
retinopati diabetik yaitu aktivasi jalur poliol, glikasi nonenzimatik dan
peningkatan diasilgliserol yang menyebabkan aktivasi PKC. Selain itu,
hormon pertumbuhan dan beberapa faktor pertumbuhan lain seperti VEGF
diduga juga berperan dalam progresifitas retinopati diabetik.3
2.3.4 Patofisiologi
Patofisiologi retinopati diabetik melibatkan lima proses yang terjadi
ditingkat kapiler yaitu: 1. pembentukan mikroaneurisma; 2. peningkatan
permeabilitas; 3. Penyumbatan; 4. proliferasi pembuluh darah baru
(neovaskular) dan pembentukan jaringan fibrosis; 5. kontraksi jaringan
fibrosis kapiler dan vitreus. Penyumbatan dan hambatan perfusi
6

(nonperfusion) menyebabkan iskemia retina sedangkan kebocoran dapat


terjadi pada semua komponen darah.3
Kebutaan akibat retinopati diabetik dapat terjadi melalui beberapa
mekanisme yaitu: 1. edema makula atau nonperfusi kapiler; 2.
pembentukan pembuluh darah baru dan kontraksi jaringan fibrosis
sehingga terjadi ablasio retina (retinal detachment); 3. pembuluh darah
baru yang terbentuk menimbulkan perdarahan preretina dan vitreus; 4.
terjadi glaukoma yang juga merupakan akibat dari pembentukan pembuluh
darah baru. Perdarahan adalah bagian dari stadium retinopati diabetik
proliferatif dan merupakan penyebab utama kebutaan permanen. Selain
itu, kontraksi dari jaringan fibrovaskular sehingga terjadi ablasio retina
(terlepasnya lapisan retina) juga merupakan penyebab kebutaan yang
terjadi pada retinopati diabetik proliferatif.3
2.3.5 Diagnosis dan Klasifikasi
Diagnosis retinopati diabetik didasarkan atas hasil pemeriksaan
funduskopi. Pemeriksaan dengan fundal fluorescein angiography (FFA)
merupakan metode pemeriksaan yang paling dipercaya. Namun dalam
klinik pemeriksaan dengan oftalmoskopi masih dapat digunakan untuk
pemeriksaan penyaring. Klasifikasi retinopati diabetik umumnya
didasarkan atas beratnya perubahan yang terjadi pada mikrovaskular retina
dan ada atau tidak adanya pembentukan pembuluh darah baru. Early
Treatment Diabetic Retinopathy Research Study Group (ETDRS)
membagi retinopati diabetik atas dua stadium yaitu nonproliferatif dan
proliferatif.3
Retinopati diabetik nonproliferatif (RDNP) hanya ditemukan
perubahan ringan pada mikrovaskular retina. Kelainan fundus pada RDNP
dapat berupa mikroaneurisma atau kelainan intraretina yang disebut intra-
retinal microvascular abnormalities (IRMA). Penyumbatan kapiler retina
akan menimbulkan hambatan perfusi yang secara klinik ditandai dengan
perdarahan, kelainan vena dan IRMA. Iskemia retina yang terjadi akibat
hambatan perfusi akan merangsang proliferasi pembuluh darah baru
7

(neovaskular). Pembentukan pembuluh darah baru merupakan tanda khas


dari retinopati diabetik proliferatif (RDP).3

Retinopati Diabetik Nonproliferatif


Retinopati diabetik nonproliferatif merupakan bentuk retinopati yang
paling ringan dan sering tidak memperlihatkan gejala. Stadium ini sulit
dideteksi hanya dengan pemeriksaan oftalmoskopi langsung maupun tidak
langsung. Cara pemeriksaan yang paling baik iaIah dengan menggunakan
foto warna fundus atau dengan FFA. Mikroaneurisma yang terjadi pada
kapiler retina merupakan tanda awal yang dapat ditemukan pada RDNP
Dengan oftalmoskopi atau foto warna fundus, mikroaneurisma tampak
berupa bintik merah dan sering kelihatan pada bagian posterior. Penyebab
timbulnya mikroaneurisma masih belum jelas. Diduga ada hubungan
dengan faktor vasoproliferatif yang dihasilkan endotel, kelemahan dinding
kapiler akibat berkurangnya sel perisit, serta meningkatnya tekanan intra
lumen kapiler.3
Kelainan morfologi yang lain iaIah penebalan membrana basalis,
perdarahan ringan, eksudat keras yang tampak sebagai bercak warna
kuning dan eksudat lunak yang tampak sebagai bercak halus (cotton wool
spot). Perdarahan terjadi akibat kebocoran eritrosit, eksudat terjadi akibat
kebocoran dan deposisi lipoprotein plasma, sedangkan edema terjadi
akibat kebocoran plasma. Retinopati diabetik nonproliferatif berat sering
juga disebut sebagai retinopati diabetik iskemik, retinopati obstruktif atau
retinopati preproliferatif. Gambaran yang dapat ditemukan yaitu bentuk
kapiler yang berkelok tidak teratur akibat dilatasi yang tidak beraturan dan
cotton wool spot, yaitu suatu daerah retina dengan gambaran bercak warna
putih pucat dimana kapiler mengalami sumbatan. Dalam waktu 1-3 tahun
RDNP berat (retinopati reproliferatif) sering berkembang menjadi
retinopati diabetik proliferatif, baik disertai maupun tidak disertai dengan
edema makula. Pasien diabetes dengan keadaan tersebut merupakan calon
untuk mendapat terapi fotokoagulasi.3
8

Retinopati Diabetik Proliferatif


Retinopati diabetik proliferatif ditandai dengan pembentukan
pembuluh darah baru. Dinding pembuluh darah baru tersebut hanya terdiri
dari satu lapis sel endotel saja tanpa sel perisit dan membrana basalis
sehingga sangat rapuh dan mudah mengalami perdarahan. Pembentukan
pembuluh darah baru tersebut sangat berbahaya karena dapat tumbuh
secara abnormal keluar dari retina meluas sampai ke vitreus, menyebabkan
perdarahan disana dan dapat menimbulkan kebutaan.3
Perdarahan dalam vitreus akan menghalangi transmisi cahaya ke dalam
mata dan pada lapangan penglihatan memberi penampakan berupa bercak
warna merah, abu-abu atau hitam. Apabila perdarahan terus berulang,
dapat terbentuk jaringan fibrosis atau sikatriks pada retina. Oleh karena
retina hanya berupa lapisan tipis yang terdiri dari beberapa lapis sel saja,
maka sikatriks dan jaringan fibrosis yang terbentuk dapat menarik retina
sampai terlepas sehingga terjadi ablasio retina (retinal detachment).3
Pembuluh darah baru dapat juga terbentuk dalam stroma dari iris dan
bersama-sama dengan jaringan fibrosis dapat meluas sampai ke chamber
anterior. Keadaan tersebut dapat menghambat aliran keluar dari aqueous
humor sehingga menimbulkan glaukoma neovaskular yang ditandai
dengan meningkatnya tekanan intraokular. Kebutaan dapat terjadi apabila
ditemukan pembuluh darah baru yang meliputi satu per empat daerah
diskus, adanya perdarahan preretina, pembuluh darah baru yang terjadi
dimana saja (neovascularization elsewhere) yang disertai perdarahan, atau
terdapat perdarahan di lebih dari separuh pada daerah diskus atau vitreus.3
9

Makulopati Diabetik
Makulopati diabetik merupakan penyebab kebutaan paling sering pada
pasien diabetes. Makulopati diabetik cenderung berhubungan dengan
diabetes tipe 2 usia lanjut, sedangkan retinopati diabetik proliferatif
cenderung ditemukan pada usia muda. Tergantung perubahan utama yang
terjadi pada kapiler retina, makulopati diabetik dapat dibedakan dalam
beberapa bentuk yaitu makulopati iskemik, makulopati eksudatif dan
edema makula.3
Makulopati iskemik terjadi akibat penyumbatan yang luas dari kapiler
di daerah sentral retina. Makulopati eksudatif terjadi karena kebocoran
setempat sehingga terbentuk eksudat keras seperti yang ditemukan pada
RDNP Makulopati eksudatif perlu segera dilakukan terapi fotokoagulasi
untuk mencegah hilangnya visus secara permanen. Edema makula terjadi
akibat kebocoran yang difus. Apabila keadaan tersebut menetap, maka
akan terbentuk kista berisi cairan yang dikenal sebagai edema makula
kistoid. Bila keadaan ini terjadi maka gangguan visus akan menetap dan
sukar diperbaiki. Dibanding dengan metode diagnostik yang lain, optical
coherence tomography (OCT) merupakan metode yang paling baik untuk
mendiagnosis makulopati diabetik.3

Gambar 2.3 Klasifikasi Retinopati Diabetik3


10

2.3.6 Pencegahan dan Pengobatan


Pencegahan dan pengobatan retinopati diabetik merupakan upaya yang
harus dilakukan secara bersama untuk mencegah atau menunda timbulnya
retinopati dan memperlambat proses perburukan. Tujuan utama
pengobatan retinopati diabetik iaiah untuk mencegah terjadinya kebutaan
permanen. Pendekatan multidisiplin dengan melibatkan ahli diabetes,
perawat edukator, ahli gizi, spesialis mata, optometris dan dokter umum,
akan memberi harapan bagi pasien untuk mendapatkan pengobatan
optimal sehingga kebutaan dapat dicegah. Kontrol glukosa darah yang
baik merupakan dasar dalam mencegah timbulnya retinopati diabetik atau
memburuknya retinopati diabetik yang sudah ada. Pencegahan dan
pengobatan retinopati diabetik meliputi:
1. kontrol glukosa darah
2. kontrol tekanan darah
3. kontrol profil lipid
4. ablasi kelenjar hipofisis melalui pembedahan atau radiasi (Jarang
dilakukan) 5. fotokoagulasi dengan sinar laser:
-fotokoagulasi panretinal untuk RDP atau glaukoma neovaskular
-fotokoagulasi fokal untuk edema makula
6. vitrektomi/vitreolisis untuk perdarahan vitreus atau ablasio retina
7. intervensi farmakologi (umumnya masih dalam tahap percobaan) seperti
pemberian inhibitor enzim aldose reduktase, inhibitor hormon
pertumbuhan, anti VEGF, inhibitor PKC dan anti inflamasi.3
Pasien diabetes dengan retina normal atau RDNP minimal perlu
diperiksa setiap tahun karena pasien yang sebelumnya tanpa retinopati
pada waktu diagnosis diabetes ditegakkan, 5%-10% akan mengalami
retinopati setelah 1 tahun. Pasien RDNP derajat sedang dengan
mikroaneurisma, perdarahan yang jarang, atau ada eksudat keras tetapi
tidak disertai edema makula, perlu pemeriksaan ulang setiap 6-12 bulan
karena sering progresif. Suatu penelitian terhadap pasien diabetes tipe 1
ditemukan 16% dari RDNP derajat sedang yang hanya ditandai eksudat
11

keras dan mikroaneurisma, dapat berkembang kearah stadium proliferatif


hanya dalam waktu 4 tahun.3
2.3.7 Perjalanan Klinis dan Prognosis
Pasien RDNP minimal yang hanya ditandai mikroaneurisma yang
jarang, memiliki prognosis baik sehingga cukup dilakukan pemeriksaan
ulang setiap 1 tahun. Pasien yang tergolong RDNP sedang tanpa disertai
edema makula, perlu dilakukan pemeriksaan ulang setiap 6-12 bulan oleh
karena sering bersifat progresif. Pasien RDNP derajat ringan sampai
sedang dengan disertai edema makula yang secara klinik tidak signifikan,
perlu diperiksa kembali dalam waktu 4-6 bulan oleh karena memiliki
risiko besar untuk berkembang menjadi edema makula yang secara klinik
signifikan (CSME). Untuk pasien RDNP dengan CSME harus dilakukan
terapi fotokoagulasi.3
Pasien RDNP berat memiliki risiko tinggi menjadi RDP Separuh dari
pasien RDNP berat akan berkembang menjadi RDP dalam 1 tahun di
mana 15% diantaranya tergolong RDP dengan risiko tinggi. Pasien RDNP
sangat berat, risiko menjadi RDP dalam 1 tahun adalah 75% dimana 45 %
diantaranya tergolong RDP risiko tinggi. Oleh sebab itu pasien RDNP
yang sangat berat perlu dilakukan pemeriksaan ulang setiap 3-4 bulan.
Pasien dengan RDP risiko tinggi harus segera diterapi dengan
fotokoagulasi. Teknik yang dilakukan iaIah dengan scatter
photocoagulation. Pasien RDP risiko tinggi yang disertai CSME, terapi
fotokoagulasi dimulai dengan menggunakan metode fokal dan panretinal
(scatter). Oleh karena metode fotokoagulasi panretinal dapat menimbulkan
eksaserbasi dari edema makula, maka untuk terapi dengan metode
panretinal (scatter) perlu dibagi dalam 2 tahap atau lebih.3
2.4 Retinopati Hipertensi
2.4.1 Definisi
Retinopati hipertensi adalah kelainan-kelainan retina dan pembuluh
darah retina akibat tekanan darah tinggi. Perubahan pembuluh darah retina
12

muncul akibat peningkatan tekanan darah secara kronik. Bukan hanya


retina, namun juga melibatkan koroid dan saraf optik.1
2.4.2 Epidemiologi
Prevalensi lebih tinggi didapatkan pada orang kulit hitam
berhubungan dengan tekanan darah yang lebih tinggi pada ras tersebut.
Pada laki-laki angka kejadiannya juga lebih tinggi. Namun pada usia lebih
dari 50 tahun, wanita memiliki prevalensi yang lebih tinggi dari laki-laki.
Frekuensi tertinggi terjadinya retinopati hipertensi adalah pada pasien
dengan tekanan darah yang tidak terkontrol.1
2.4.3 Patogenesis
Dinding arteriol normal bersifat transparan, sehingga apa yang
sebenarnya terlihat adalah kolom- kolom darah di dalam pembuluh.
Pantulan cahaya yang tipis di tengah kolom-kolom darah di dalam
pembuluh. Apabila dinding arteriol terinfiltrasi oleh lemak dan kolesterol,
pembuluh menjadi sklerotik. Seiring dengan berlanjutnya prosses ini,
dinding pembuluh secara bertahap kehilangan transparansinya dan menjadi
terlihat berupa kolom darah tampak lebih lebar daripada normal, dan
refleksi cahaya yang tipis menjadi lebih lebar. Produk-produk lemak
kuning keabu- abuan yang terdapat di dinding pembuluh bercampur
dengan warna merah kolom darah dan menghasilkan gambaran khas
”kawat tembaga” (copper-wire). Apabila sklerosis berlanjut, refleksi
cahaya dinding pembuluh-kolom darah mirip dengan ”kawat perak”
(silver-wire). Bahkan dapat terjadi sumbatan suatu cabang arteriol. Oklusi
arteri primer ataupun sekunder akibat arterioslerosis yang mengakibatkan
oklusi vena dapat menyebabkan perdarahan retina.2
2.4.3 Manifestasi Klinis
Hipertensi atau tekanan darah tinggi memberikan kelainan pada retina
berupa retinopati hipertensi, dengan arteri yang besarnya tidak teratur,
eksudat pada retina, edema retina dan perdarahan retina. Kelainan
pembuluh darah dapat berupa penyempitan umum atau setempat,
13

percabangan pembuluh darah yang tajam, fenomena crossing, atau


sklerose pembuluh darah.2
Penyempitan (spasme) pembuluh darah tampak sebagai:
1. Pembuluh darah (terutama arteriol retina) yang berwarna lebih pucat
2. Kaliber pembuluh yang menjadi lebih kecil atau irregular (karena
spasme lokal
3. Percabangan arteriol yang tajam
Bila kelainan berupa sclerosis dapat tampak sebagai:
1. Refleks copper wire
2. Refleks silver wire
3. Sheating
4. Lumen pembuluh darah yang irregular
5. Terdapat fenomena crossing sebagai berikut:
a. Elevasi: Pengangkatan vena oleh arteri yang berada dibawahnya
b. Deviasi: Penggeseran posisi vena oleh arteri yang bersilangan
dengan vena tersebut dengan sudut persilangan yang lebih kecil
c. Kompresi: Penekanan yang kuat oleh arteri yang menyebabkan
bendungan vena
Retinopati hipertensi dapat juga berupa perdarahan atau eksudat retina
yang pada daerah makula dapat memberikan gambaran seperti bintang
(star figure). Eksudat retina tersebut dapat berupa eksudat pungtata yang
tersebar, eksudat putih pada daerah yang tidak tentu dan luas, dan cotton
wool patches yang merupakan edema serat saraf retina akibat mikroinfark
sesudah penyumbatan arteriole, biasanya terletak sekitar 2-3 diameter
papil di dekat kelompok pembuluh darah utama sekitar papil.1
2.4.4 Diagnosis dan Klasifikasi
Terdapat beberapa klasifikasi retinopati hipertensi. Klasifikasi
retinopati hipertensi di bagian I.P. Mata RSCM adalah:
Tipe 1:
- Fundus hipertensi dengan atau tanpa retinopati, tidak ada sklerose dan
terdapat pada orang muda
14

- Funduskopi: arteri menyempit dan pucat, arteri meregang dan


percabangan tajam, perdarahan ada atau tidak ada, eksudat ada atau tidak
ada
Tipe 2:
- Fundus hipertensi dengan atau tanpa retinopati sklerose senil, terdapat
pada orang tua
- Funduskopi: pembuluh darah tampak mengalami penyempitan, pelebaran
dan sheating setempat. Perdarahan retina ada atau tidak ada. Tidak ada
edema papil.
Tipe 3:
- Fundus dengan retinopati hipertensi dengan arteriosklerosis, terdapat
pada orang muda
- Funduskopi: penyempitan arteri, kelokal bertambah fenomena crossing
perdarahan multipel, cotton wool patches, makula star figure Tipe 4:
Hipertensi yang progresif
- Funduskopi: edema papil, cotton wool patches, hard exudate, star figure
exudate yang nyata
Klasifikasi menurut Scheie:
- Stadium I: terdapat penciutan setempat pada pembuluh darah kecil.
-Stadium II: penciutan pembuluh darah arteri menyeluruh, dengan kadang-
kadang penciutan setempat sampai seperti benang, pembuluh darah arteri
tegang dan membentuk cabang keras.
- Stadium III: lanjutan stadium II, dengan eksudat cotton, dengan
perdarahan yang terjadi akibat diastol di atas 120 mmHg, kadang-kadang
terdapat keluhan berkurangnya penglihatan.
- Stadium IV: seperti stadium III dengan edema papil dengan eksudat star
figure, disertai keluhan penglihatan menurun dengan tekanan diastol kira-
kira 150 mmHg.
Klasifikasi Keith Wagener Barker, dimana klasifikasi ini dibuat
berdasarkan meninggalnya penderita dalam waktu 8 tahun:
15

- Derajat 1: penciutan ringan pembuluh darah. Dalam periode 8 tahun 4 %


meninggal.
- Derajat 2: penambahan penciutan, ukuran pembuluh nadi dalam diameter
yang berbeda-beda, terdapat fenomen crossing. Dalam periode 8 tahun 20
% meninggal.
- Derajat 3: tanda-tanda pada derajat 2 ditambah perdarahan retina dan
cotton wool patches. Dalam periode 8 tahun 80% meninggal.
- Derajat 4: tanda-tanda derajat 3 dengan edema papil yang jelas. Dalam
periode 8 tahun 98% meninggal

Gambar 2.4 Retinopati Hipertensi1


Perdarahan retina dapat terjadi primer akibat oklusi arteria tau
sekunder akibat arteriosklerose yang mengakibatkan oklusi vena. Pada
hipertensi yang berat dapat terlihat perdarahan retina pada lapisan dekat
papil dan sejajar dengan permukaan retina. Perdarahan vena akibat
diapedesis biasanya kecil dan berbentuk lidah api(flame shaped).2
Diagnosis Banding
1. Retinopati diabetic (perdarahan umumnya blot dan dot,
mikroaneurisme)
2. Penyakit kolagen-vaskular (gambaran cotton wool spot multiple)
3. Anemia (predominan perdarahan tanpa perubahan arteri yang
bermakna)
4. Retinopati radiasi (dapat terlihat mirip dengan retinopati hipertensi.
Adanya riwayat radiasi di daerah kepala. Dapat muncul kapan saja,
namun biasanya setelah 4 tahun)
16

5. Central retinal vein occlusion (CRVO) atau branch retinal vein


occlusion (BRVO) (Unilateral, perdarahan multiple, dilatasi vena,
danpa penyempitan aretri. Dapat merupakan akibat hipertensi)
2.4.5 Penatalaksanaan
Adanya retinopati hipertensi dapat menjadi indikasi untuk memulai
terapi antihipertensi walaupun pada pasien dengan hipertensi grade 1
(TD= 140-150/ 90-99 mm Hg) tanpa bukti kelainan target organ.10
Retinopati hipertensi kronik saja jarang mengakibatkan kehilangan
penglihatan. Terapi terhadap penyakit yang mendasari dapat
memperlambat perubahan pada retina, namun penyempitan arteriol dan
crossing arteri-vena sudah menjadi permanent. Prinsip penatalaksanaannya
adalah menurunkan tekanan darah untuk meminimalisasi kerusakan target
organ. Namun penurunan yang terlalu tajam harus dihindari karena dapat
mengakibatkan iskemia. Pada kasus dimana tekanan darah naik secara
ekstrim (misalnya 250/150mmHg) dan terdapat edema discus disertai
gambaran macular star, biasanya disebabkan oleh keadaan hipertensi
maligna.2
2.4.6 Prognosis
Kelainan tajam penglihatan tidak selalu muncul sebagai akibat dari
retinopati hipertensi kecuali bila disertai oklusi arteriol dan vena. Pasien
dengan perdarahan, cotton wool spots dan edema tanpa disertai
papiledema mempunyai harapan hidup sebanyak 27,6 bulan. Sementara
dengan papiledema angkanya menjadi 10,5 bulan.2
2.5 Retinopati Prematuritas
2.5.1 Definisi
Retinopati prematuritas (ROP) merupakan pertumbuhan abnormal
pembuluh darah retina pada bayi prematur.1
2.5.2. Etiologi
Pembuluh darah retina mulai terbentuk 3 bulan sesudah konsepsi, dan
berakhir pada saat kelahiran normal. Pada kehamilan minggu ke 34
pembuluh darah dalam mata berkembang sempurna dan retina mempunyai
17

peredaran darah yang sempurna. Bila bayi terlahir prematur, maka akan
terjadi gangguan perkembangan mata. Pembuluh darah berhenti
berkembang atau berkembang secara patologis kedalam badan kaca.
Pembuluh darah sangat rentan dan mudah memberikan perdarahan
kedalamnya. Terbentuk jaringan parut yang akan menarik retina dari
dasarnya.1
Dahulu pengikatan pemberian oksigen pada bayi prematur akan
membangkitkan pertumbuhan pembuluh darah baru. Sekarang akibat
oksigen telah dapat dimonitor secara tepat, kelainan ini sudah jarang
terjadi. Pada saat ini risiko ROP tergantung beratnya prematuritas saat
lahir. Bayi yang lahir 1,5 kg dan lahir kurang dari 30 minggu perlu
diperiksa untuk kelainan ini.1
Risiko terjadinya ROP terdapat pada keadaan berikut:
1. Pernapasan berhenti (apneu)
2. Penyakit jantung
3. Kadar CO2 tinggi dalam darah
4. Infeksi
5. Keasaman daarah rendah (pH)
6. Kadar oksigen darah rendah
7. Gangguan pernapasan
8. Bradikardi
9. Transfusi
2.5.3 Manifestasi Klinis
Retinopati yang berat bisa menyebabkan gejala berikut: Leukokoria
(pupil berwarna putih), Nistagmus (gerakan bola mata yang abnormal),
Strabismus (juling), Miopia (rabun dekat).1
2.5.4 Klasifikasi
Klasifikasi retinopati prematuritas berdasarkan zonasi (batas pembuluh
darah terbentuk):
Zonasi 1: 60o dari papil (sekitar makula)
Zonasi 2: Sampai ora serrata bagian anterior
18

Zonasi 3: Sampai ora serrata bagian temporal


Pada zonasi 1 dan 2 masih mungkin ditemukan visus dalam keadaan baik.
Klasifikasi retinopati prematuritas berdasarkan stadium (batas
avaskular terlihat):
Stadium 1: Garis demarkasi, sebuah pita putih sempit yang menandai taut
retina vaskular dan avaskular
Stadium 2: Proliferasi (penebalan) pada intraretina
Stadium 3: Proliferasi dan perdarahan vitreous pada intraretinal dan
ekstraretina
Stadium 4: ablasio retina subtotal
Stadium 5: ablasio retina total berbentuk corong
2.5.6 Diagnosis
Retinopati karena prematuritas bisa didiagnosis dengan bantuan
oftalmoskopi. Pemeriksaan mata pada bayi prematur dilakukan dalam
waktu 6 minggu setelah persalinan dan kemudian dilakukan setiap
beberapa minggu sampai pembuluh darah retina terbentuk sempurna. Pada
bayi yang memiliki jaringan parut akibat retinopati, pemeriksaan mata
harus dilakukan setiap 1 tahun seumur hidupnya.1
2.5.7 Penatalaksanaan
Pengobatan retinopati prematuritas didasarkan pada zonasi dan
stadium penyakit. Perlu dicatat bahwa sejumlah pasien retinopati
prematuritas mengalami regresi spontan. Perubahan retina perifer pada
retina perifer pada retinopati prematuritas yang mengalami regresi adalah
retina avaskular, lipatan-lipatan perifer, dan robekan retina; kelainan
penyerta di kutub posterior antara lain terdiri dari melurusnya pembuluh-
pembuluh temporal, meregangnya makula ke temporal, dan jaringan retina
yang tampak tertarik ke atas diskus. Temuan lain pada retinopati
prematuritas yang mengalami regresi adalah myopia (yang mungkin
asimetrik), strabismus, katarak, dan galukoma sudut tertutup.1
Umumnya ROP membaik sendiri dan tidak membutuhkan pengobatan.
Pada stadium 3 dan lebih lanjut pengobatan diperlukan untuk
19

menghentikan pertumbuhan pembuluh darah abnormal pada retina atau


mengatasi ablasi retina yang terjadi.1
Stadium 1 dan 2 saat ini tidak memerlukan tindakan selain observasi,
pada stadium 3 dipertimbangkan tindakan krioterapi transsklera atau
fotokoagulasi laser. Bedah vitreoretina diperlukan untuk ablasio retina
akibat traksi, dilakukan pada stadium 4 dan 5.1
2.5.8 Pencegahan
Pencegahan yang paling efektif adalah mencegah terjadinya kelahiran
prematur.Jika bayi lahir prematur dan menderita gangguan pernafasan,
maka dilakukan pemantauan ketat terhadap pemakaian oksigen untuk
mencegah terlalu tingginya kadar oksigen dalam darah.1
2.5.9 Prognosis
Umumnya ROP membaik sendiri dan tidak membutuhkan pengobatan.
Prognosis dari retinopati prematuritas didasarkan pada zonasi dan stadium
penyakit.1
2.6 Retinopati Anemia
Pada anemia dapat terlihat perubahan berupa perdarahan dalam dan
superficial, termasuk edem papil. Gejala retina ini diakibatkan anoksia berat
yang terjadi pada anemia. Anoksia akan mengakibatkan infark retina sehingga
tidak jarang ditemukan pula suatu bercak eksudat kapas. Makin berat anemia
akan terjadi kelainan yang makin berat.2
2.7 Retinopati Akibat Trauma Non Okuli
Mekanisme Patofisiologi kerusakan retina setelah trauma diyakini atas 3
bentuk: 1. kerusakan endotel pembuluh darah retina akibat peningkatan
tekanan intraluminal; 2. emboli yang berasal dari air, darah, atau lemak; 3.
gaya mekanik dari permukaan vitreoretina yang dapat merusak retina.
2.7.1 Retinopati Purtscher
Retinopati Purtscher merupakan kerusakan retina yang berhubungan
dengan trauma berat, trauma tumpul toraks dan kepala, gagal ginjal, dan
juga dapat terjadi penyakit sistemik tanpa trauma. Penyebab yang pasti
tidak diketahui.1
20

Gambaran patologik mungkin disebabkan oleh emboli pembuluh darah


perpapil yang merupakan jaringan kapiler peripapil superficial. Lemak,
udara endapan fibrin mungkin merupakan proses multi faktor emboli
tersebut.1
Gejala berupa penglihatan kurang mendadak setelah trauma kepala.
Funduskopi terlihat iskemia pada polus posterior dengan bercak edema
retina dan perdarahan sekitar papil saraf optic, papil terlihat atrofi. Bercak
kapas wol sekitar papil setelah trauma dada.1
Pada pemeriksaan angiografi fluorescein terlihat perlambatan
pengaliran darah di retina yang pucat.1
2.7.2 Retinopati Embolisasi Lipid
Retinopati embolisasi lipid merupakan gejala sekunder dari sindrom
emboli lipid dan tampak sebagai titik cotton-wool dan perdarahan
intraretinal. Biasanya, manifestasi sindrom ini timbul 24-49 jam setelah
trauma, namun 5 % diketahui pada fraktur tulang panjang. Beberapa
menifestasi meliputi ruam petechi, insufisiensi respiratorik, lesi retina, dan
perubahan status mental. Patogenesis terjadinya temuan fundus belum
sepenuhnya diketahui, Perubahan homeostasis lipid mungkin terlibat.2
2.7.3 Retinopati Valsalva
Retinopati valsalva muncul akibat manuver valsalva. Beberapa
tindakan yang mencetus kan manuver ini antara lain mengangkat beban
berat, batuk, muntah, atau aktivitas lainnya. Pasien hanya mengeluh
penurunan visus. Pemeriksaan fundus ditemukan kemerahan, berbentuk
kubah di bawah lapisan membran interna limitan. Perdarahan dapat
menyebabkan penurunan visus bila darah menyebar ke membran interna
limitan di daerah makula atau fovea. Perdarahan vitreus juga dapat
berkibat penurunan visus. Dengan peningkatan tekanan vena intraokuli,
manuver valsalva menyebabkan ruptur kapiler superfisial retina.
Perdarahan preretina dapat sembuh spontan selama beberapa hari hingga
minggu.2
2.8 Retinopati Toksik
21

2.8.1 Klorokuin dan Hidroklorokuin


Toksisitas terhadap retina tergantung kepada besar dosis. Resiko
terbesar untuk mendapatkan overdosis adalah pada orang obesitas.
Aminoquinolone diserap oleh jaringan berinti sel, dan karena jaringan
adiposa tidak memiliki inti sel, pasien obesitas dapat menjadi overdosis.
Makulopati toksik merupakan manfestasi awal. Bila obat ini menyebabkan
kelainan pada kulit, palpebra, kornea, atau rambut, merupakan indikator
adanya retinopati obat. Skotoma parasentral merupakan kelainan akibat
kercunan klorokuin. Bila muncul kecurigaan terhadap retinopati toksik,
obat ini harus dihentikan, Namun, proses makulopati tidak berhenti begitu
saja.4
2.8.2 Isoretinoin
Efek samping okuli berhubungan dengan dosis dan mungkin terjadi
efek samping tersering yang berhubungan dengan obat ini. Pasien
mengeluh matnya kering, dan penglihatan kabur. Namun, ada beberapa
pasien yang mengeluh tidak jelas melihat pada malam hari setelah minum
obat ini selama 1-2 tahun. Disfungsi retina diduga akibat adanya
persaingan reseptor antara asam retinoid dengan retinol (vitamin A).2
2.8.3 Sildenafil
Sildenafil sitrat merupakan obat disfungsi ereksi, salah satu obat
terlaris di dunia. Efek samping yang berhubungan dengan obat sildenafil
antara lain adanya warna biru pada lapangan pandangan, hipersensitivitas
terhadap cahaya, dan visus kabur. Kelainan ini dapat timbul selama
beberapa jam tergantung besaran dosis.2
2.8.4 Vigabatrin
Vigabatrin merupakan obat yang digunakan untuk mengobati epilepsi
refraktori. Efek samping utama adalah konstriksi lapangan pandang baik
simtomatik maupun asimtomatik. Mekanisme penyebab defek visual
berhubungan dengan asam amino butirat gamma di sel amakrin retina.2
2.8.5 Tamoxifen
22

Obat antiestrigen ini biasa digunakan untuk ca. mammae, ca. ovarium,
ca. pankreas, dan melanoma maligna. Gejala retina timbul bila
mengkonsumsi lebih dari 180 mg perhari. Pada saat akut, dapat timbul
pandangan hilang, edema retina, perdarahan retina, dan pembengkakan
saraf optik.2

2.8.6 Phenotiazine
Obat ini digunakan untuk depresi, involusi, senil, psikosis organik, dan
skizofrenia. Setiap phenotiazine berpotensi menyebabkan efek samping
pada retina. Efek samping yang sering terjadi antara lain visus menurun,
akibat gangguan antikolinergi.2
2.9 Age-Related Macular Degeneration
Makula degenerasi sering disebut sebagai age-related macular
degeneration (AMD), merupakan kelainan mata yang berhubungan dengan
usia sehingga mengakibatkan gangguan penglihatan. Degenerasi macula
merupakan degenerasi menahun yang merupakan kelainan progresif yang
mengenai bagian sentral retina atau macula lutea sehingga mengakibatkan
perlahan-lahan berkurangnya tajam penglihatan atau penglihatan sentral.
Kelainan ini memberat dengan bertambahnya usia, terutama usia 70-80 tahun.
Perempuan lebih banyak terkena penyakit ini dibandingkan dengan laki-laki.1
Terdapat 2 bentuk AMD (Adult Macular Degeneration):
1. Degenerasi macula kering (dry).
Kelainan ini terdapat sebanyak 90%. Makula yang menipis sesuai
dengan perjalanan usia akan mengakibatkan penurunan penglihatan sentral.
Kelainan dry AMD lebih sering 70-90% terjadi dibanding wet AMD. Dry
AMD biasanya mengenai kedua mata, kadang-kadang dimulai terlebih
dahulu pada satu mata dan biasanya mengenai kedua mata bersama-sama
(perjalanannya lambat). Salah satu gejala dry AMD adalah Drusen. Drusen
merupakan timbunan bintik kuning kecil dibawah retina yang sering
ditemukan pada usia 60 tahun. Tanda paling dini adalah terdapatnya drusen.
23

Terdapatnya drusen yang kecil biasanya tidak mengganggu penglihatan.


Bila terdapat drusen banyak dan besar, dapat mengakibatkan terbentuknya
dry AMD atau wet AMD lanjut.1
2. Degenerasi macula basah (wet)
Walaupun hanya mengenai 10% penderita AMD, akan tetapi
mengakibatkan 90% kebutaan pada AMD. Bila degenerasi macula kering
berlanjut, dapat terjadi penumbuhan pembuluh darah baru dan cairan
dibawah macula lutea yang akan mengakibatkan degenerasi macula basah
(wet AMD). Hal ini mengakibatkan kerusakan macula lutea sehingga
terjadi gangguan penglihatan sentral yang nyata pada waktu singkat.
Perdarahan, kebocoran, dan pembentukan jaringan parut akan
mengakibatkan kerusakan dan hilangnya tajam penglihatan.1
Wet AMD dimulai dengan terdapatnya pembuluh darah abnormal
dibelakang retina atau macula, dapat disertai perdarahan dan cairan
dibawah macula lutea. Perdarahan disertai masuknya cairan kedalam retina
dan jaringan parut mengakibatkan kerusakan disertai penurunan tajam
penglihatan dengan cepat. Tanda dini dari ARMD adalah bentuk garis lurus
yang menjadi bergelombang. Wet AMD lebih sering pada perempuan
dibanding laki-laki.1
2.10 Retinitis Pigmentosa
2.10.1 Definisi
Retinis pigmentosa merupakan kelainan herediter yang ditandai
dengan degenerasi sel epitel retina terutama sel batang dan atrofi saraf
optik tanpa gejala peradangan. Kondisi ini biasanya memburuk dalam
jangka waktu beberapa tahun (progresif) dan onset bermula sejak masa
kanak-kanak.1
2.10.2 Etiologi
Retinitis pigmentosa dapat terjadi sebagai kelainan primer yang
bersifat herediter, diturunkan secara autosomal dominan, autosomal resesif
atau X-linked, atau sebagai bagian dari suatu kelainan sistemik tertentu,
yang biasanya diturunkan secara autosomal resesif. Kebanyakan pasien
24

tanpa riwayat penyakit pada keluarga sebelumnya. Kasus retinitis


pigmentosa dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Kasus sporadik tanpa riwayat keluarga. Kelompok ini merupakan
kelompok yang paling sering dijumpai. Sebagian kasus merupakan
autosomal resesif dan sebagian lagi merupakan mutasi autosomal
dominan.
2. Kasus autosomal dominan adalah kelompok kedua tersering dan
memiliki prognosis terbaik.
3. Kasus X-linked resesif adalah kelompok yang paling jarang, namun
memiliki prognosis terburuk. Wanita carrier dapat memiliki fundus
normal atau menunjukkan golden-metalic tapetal reflex di bagian
temporal dari macula yang bersifat patognomonik. Pada beberapa
kasus lain, dapat ditemukan atrofi retina perifer dan ireguleritas
pigmen pada satu sektor fundus.
2.10.3 Patogenesis
Walaupun kata retinitis menunjukkan adanya proses inflamasi atau
infeksi, secara histopatologis tidak ditemukan bukti keterlibatan makrofag
atau respon inflamasi lain pada lapisan fotoreseptor atau lapisan lain pada
retina. Mayoritas kasus memiliki dasar genetik dan melibatkan kematian
sel fotoreseptor melalui proses apoptosis. Istilah retinitis pigmentosa
merujuk pada kelompok penyakit yang meliputi berbagai tipe abnormalitas
primer fotoreseptor. Sebagian mempengaruhi sel batang terlebih dahulu,
kemudian sel kerucut (tipe batang-kerucut) dan begitu pula sebaliknya
(tipe kerucut-batang).1
Pada kelainan tipe batang-kerucut, gejala yang paling penting adalah
rabun senja progresif dan tunnel vision. Gejala tersebut akan semakin
memberat dengan semakin banyaknya jumlah sel batang yang mati.
Karena sel batang terdapat paling banyak di daerah midperifer maka
midperipheral ring scotoma cukup sering dijumpai seiring dengan
progresifitas penyakit. Biasanya terjadi pada kedua mata. Diagnosis
spesifik sampai ke subtype akan membantu dalam menentukan target
25

penatalaksanaan. Distrofi kerucut-batang atau batang-kerucut dapat


diketahui dengan pemeriksaan electroretinography (ERG). Tipe kerucut-
batang akan menimbulkan masalah berkurangnya tajam penglihatan pada
siang hari, gangguan mengenali warna dan fotoaversi.1
2.10.4 Manifestasi Klinis
Gejalanya adalah sukar melihat di malam hari. Selain lapang pandang
menyempit, penglihatan sentral dinyatakan dengan adanya buta warna.
Biasanya ditemukan kesulitan beradaptasi pada tempat yang
gelap/remang-remang (rabun senja) yang juga disebut nyctalopia. Pasien
mampu menyetir saat malam hari di jalanan dengan penerangan yang baik.
Namun pasien akan memiliki kesulitan menyetir saat senja atau pada saat
hujan atau kabut. Pasien mengeluh sulit menyesuaikan pandangan bila
beralih dari luar ruangan ke dalam ruangan pada siang hari. Pada stadium
pertengahan, terjadi pengecilan lapang pandang, contohnya pasien sering
menabrak meja yang tingginya selutut. Pasien tampak canggung saat
berjalan, sering menabrak pinggiran pintu atau orang yang berjalan
disampingnya. Banyak pasien dengan retinitis pigmentosa mengeluh
melihat kilatan cahaya berkelap-kelip (fotopsia) yang terjadi terus
menerus.1
Manifestasi klinis yang dibahas di atas adalah manifestasi retinitis
pigmentosa tipikal.selain tipe tipikal juga terdapat beberapa tipe retinitis
pigmentosa atipikal seperti:
1. Retinitis punctata albescens, dengan karakteristik bintik-bintik putih
yang tersebar terutama antara kutub posterior dan equator.
2. Retinitis pigmentosa sector, dengan karakteristik hanya satu kuadran
yang terkena (biasanya kuadran nasal) atau setengah bagian fundus
(biasanya inferior). Progresifitas lambat dan umumnya menetap.
3. Retinitis pigmentosa perisentrik, perubahan pigmen terutama terjadi
pada retina perisentral.
26

4. Retinitis pigmentosa dengan vasculopati eksudatif, ditandai dengan


Coats’-like appearance dengan teleangiektasis, deposit lipid pada
retina perifer dan robekan retina eksudatif.
Retinitis pigmentosa, terutama tipe atipikal, dapat diasosiasikan
dengan berbagai kelainan sistemik yang sebagian besar diturunkan secara
autosomal resesif. Beberapa kelainan sistemik tersebut adalah:
1. Sindrom Bassen-Kornzweig
2. Sindrom Refsum’s
3. Sindrom Usher’s
4. Sindrom Cockayne’s
5. Sindrom Kearns-Sayre
6. Mukopolisakaridase
7. Sindrom Bardet-Biedl
8. Sindrom Laurence-Moon
9. Friedreich’s ataksia
2.10.5 Diagnosis
Diagnosis retinits pigmentosa ditegakkan apabila ditemukan kelainan
bilateral, kehilangan lapangan pandang perifer, disfungsi sel batang dan
kehilangan fungsi fotoreseptor yang bersifat progresif. Triad klasik
retinitis pigmentosa adalah arteriolar attenuation, pigmentasi bone- spikula
pada retina dan waxy disc pallor.1
Pemeriksaan oftalmoskopi pada stadium sangat awal menunjukkan
penyempitan arteriolar, pigmentasi intraretinal yang berbentuk seperti
debu halus dan hilangnya pigmen dari retinal pigment epithelium (RPE).
Pada stadium lebih lanjut tampak perubahan pigmen yang lebih kasar
dengan konfigurasi perivaskular bone-spikula. Kelompokan kecil pigmen
dengan batas yang ireguler juga sering dijumpai. Degenerasi pigmen pada
awalnya tampak di bagian perifer midretinal. Dengan berjalannya waktu
perubahan pigmen meluas, baik ke arah posterior dan anterior. Hal ini
menimbulkan gejala skotoma cincin pada lapang pandang. Berkurangnya
lapang pandang akhirnya hanya meninggalkan daerah kecil pada lapang
27

pandang sentral yang pada akhirnya juga akan hilang. Pada stadium
ini,nervus optikus mulai menjadi waxy pallor. Stadium lanjut ditandai
dengan tampaknya pembuluh darah koroid yang berukuran besar,
arteriolar attenuation yang tampak jelas dan discus optic yang tampak
pucat. Ketiga tipe makulopati yang mungkin dijumpai adalah atrofi,
cellophane dan edema macular sistoid. Tipe terakhir dapat diberikan terapi
acetazolamid sistemik. Keparahan penyakit, seperti jumlah pigmen, luas
kelainan diskus optikus dan derajat penyempitan arteriolar, bertambah
seiring dengan bertambahnya usia.1
A B C
Keterangan:
A. Kumpulan Pigmen
B. Gambaran Pigmentasi Bone Spikula Yang Khas
C. Stadium Lanjut Dengan Pembuluh Koroid Yang Tampak
28

Gambar 2.5 Retinitis Pigmentosa1


Diagnosis Banding
1. Retinopati toksik
Toksisitas retina akibat Thioridazine menyebabkan degenerasi pigmen
retina dan mempengaruhi tajam penglihatan dan emberikan gejala yang
mirip dengan retinitis pigmentosa. Toksisitas biasanya terjadi beberapa
bulan setelah penggunaan thioridazine, walaupun degenerasiretina juga
dilaporkan terjadi setelah penggunaan dihentikan.
2. Retinopati postinfeksi
Infeksi rubella kongenital menyebabkan timbulnya bintik-bintik kasar
pigmen dan kelompok kecil pimen pada retina (disebut salt and pepper
retinopathy). Namun, lapang pandang tidak terganggu dan ERG normal.
Keluhan dapat berupa penurunan tajam penglihatan akibat makulopati
yang berasal dari scar fibrotik macula berwarna kekuningan. Lapang
pandang perifer baik, walaupun tajam pengihatan akan memburuk saat
dewasa muda dan pasien memiliki predisposisi mengalami degenerasi
macula presenil. Retinitis sifilis dapat menyebabkan retinopati
pigmentosa dan gangguan penglihaan progresif yang menyerupai
retinitis pigmentosa. Dapat juga menyebabkan kelainan unilateral yang
menyerupai retinitis pigmentosa unilateral. Skrining serologi sebaiknya
dilakukan pada pasien yang menderita retinitis pigmentosa tanpa
adanya riwayat keluarga.
3. Retinopati terkait kanker
Sindrom ini akan mengakibatkan kehilangan penglihatan yang akut,
progresig dan bilateral tanpa diawali retinopati pigmentosa. Penyebab
tersering adalah kanker paru sel kecil, dikuti oleh kanker endometrial,
payudara dan prostate. Mekanisme eliputi produksi autoantigen yang
memasuki retina dan menyebabkan apoptosis. Target autoantigen
tersebut adalah molekul recoverin pada fotoreseptor, yang terintegrasi
pada kaskade fototransduksi. Perjalanan penyakit cepat dan menuju
29

pada hilangnya penglihatan secara total. Tes komersial untuk menguji


antibody retinopati terkait kanker sudah tersedia.
4. Retinopati terkait melanoma kutaneus
Merupakan sindrom paraneoplastik dengan onset akut dan
menyebabkan rabun senja ilateral tanpa retinopati yang tampak.
Antibody yang dihasilkan untuk melawan melanoma kutaneus melewati
sawar darah-retina dan menyerang sel bipolar retina. Hal ini
menyebabkan gangguan fungsi tapi tidak menyebabkan kematian sel.
Gejala visual meliputi fotopsia dan bercak-bercak cahaya berkilauan.
ERG skotopik menurun.
5. Resolusi ablasi retina eksudatif
6. Defisiensi vitamin A
Pemeriksaan Penunjang
1. Elektroretinografi (ERG)
Cukup sensitif untuk mendeteksi kerusakan fotoreseptor yang ringan.
Amplitude gelombang b sel batang akan menurun pada stadium
penyakit paling awal yaitu pada saat retina masih tampak normal dan
gangguan penglihatan minimal. Untuk menegakkan diagnosis pada
pasien usia muda dengan riwayat keluarga, pemeriksaan ini sangat
penting. Pemeriksaan ini juga digunakan untuk moitoring terapi. Pada
orang dewasa pemeriksaan ERG biasanya diulang 1-2 tahun setelah tes
yang pertama atau dilakukan tes serial untuk menilai progresivitas.
2. Tes lapang pandang
Perimetri Goldman lebih banyak digunakan untuk memeriksa lapang
pandang sampai 90o ke arah perifer temporal, dimana daerah ini yang
pertama kali terkena pada kelainan tipe batang-kerucut. Kelainan
moderate pada sel batang sudah menunjukkan kehilangan lapang
pandang yang signifikan pada perimetri Goldman. Pemeriksaan dengan
menggunakan perimeter otomatis memberikan hasil yang
mengecewakan.
3. Tes adaptasi gelap
30

Gejala rabun senja timbulpada awal peralanan penyait retinitis


pigmentosa dan harus dievaluasi dengan ter adaptasi gelap. Instrument
yang paling banyak digunakan adalah Goldman-Weekers dark
adaptometer. Beberapa pasien dengan keluhan kesulitan adaptasi pada
kondisi gelap memberikan hasil yang normal pada tes ini. Pasien seperti
ini mungkin memliki myopia yang kurang terkoreksi dan keluhan
tersebut hanyalah pandangan yang kabur pada keadaan cahaya remang-
remang.
4. Tes buta warna
Pada retinopati degeneratif, tes warna berguna untuk melengkapi tes
tajam penglihatan karena dapat memberikan informasi tambahan
mengenai kondisi macular cones. Pasien retinitis pigmentosa jarang
mengeluhkan kesulitan melihat warna karena mereka dapat
membedakan warna-warna utama yaitu merah, hijau dan biru. Namun,
pada distrofi batang-kerucut, diskriminasi warna tritanopik (biru) hilang
pada tes dengan panel Farnsworth D-15. instrument ini merupakan
ineks yang sensitive untuk mendeteksi keterlibatan sel kerucut fovea.
Instrument ini tidak melelahkan pasien dan mudah untuk dinilai. Tes
Ishihara dan American Optical tidak memberikan hasil yang baik.
5. Angiografi fluorosein, tidak banyak memberikan informasi tambahan,
paling bermanfaat pada kelainan makulopati herediter.
6. Elektro-Okulografi, memberikan hasil abnormal setiap kali ERG
abnormal, hanya memberikan informasi bila hasil ERG normal.
7. Visual-evoked cortical potensial, lebih menekankan pada fungsi macula
dan hanya sedikit kontribusi dari retina perifer.
2.10.6 Penatalaksanaan
Saat ini tata laksana retinitis pigmentosa belum efektif, walaupun
penelitian menyatakan bahwa terdapat kemungkinan memperlambat
progresivitas penyakit yaitu mempertahankan penglihatan seumur hidup.1
Tata laksana meliputi:
1. Vitamin A
31

Studi jangka panjang dengan menggunakan suplementasi vitamin A


palmitat (15000 IU/hari) kepada 600 orang pasien retinitis pigmentosa
tipikal, menunjukkan perlambatan hilangnya tajam penglihatan yaitu
kehilangan tajam penglihatan sebesar 8,3%, dibandingkan 10% pada
kelompok control. Mekanisme kerja tidak diketahui, namun vitamin A
merupakan komponen esensial dalam pembentukan rhodopsin yang
sensitive tarhadap cahaya. Bila terapi ini diberikan, pasien diharapkan
menggunakan dalam jangka panjang dan tidak mengharapkan
perbaikan tajam penglihatan dalam waktu singkat. Pemeriksaan enzim
hati dan/atau kadar vitamin A serum setahun sekali dianjurkan karena
vitamin A dikonsumsi dalam dosis yang tinggi dan harus segera
dihentikan bila terjadi kehamilan. Pengobatan ini hanya dianjurkan
untuk pasien yang tidak hamil dan berusia di atas 21 tahun.
2. Docosahexaenoic acid (DHA)
DHA merupakan komponen lipid utama pada membrane sel batang
dan penting untuk mempertahankan kandungan cairan membrane yang
diperlukan untuk melaksanakan fungsi sel batang. Kadar kolesterol
dan lipid serum yang abnormal dilaporkan pada sejumlah pasien
retinitis pigmentosa dan kadar DHA pada umumnya rendah pada
Xlinked retinitis pigmentosa. Oleh karena itu sedang dilakukan
penelitian untuk melihat apakah suplementasi DHA dapat
memperlambat pogresivitas penyakit.
3. Neurotrophic factors
Laporan tahun 1990 mnunjukkan bahwa basic FGF yang diberikan
melalui injeksi intraokular, secara efektif memperlambat degeerasi
fotoreseptor pada model tikus yang mengalami degenerasi retina.

Dari sumber lain dianjurkan penatalaksanaan dengan memberikan


vitamin A larut air 10000-15000 IU, kurangi makanan berlemak sampai
15% kalori harian dan tambahan diet dengan Zinc. Pemakaian kacamata
lapis gelap akan membantu pasien. Pasien memerlukan konsultasi genetik
32

disertai pengarahan pekerjaan.3 Perlu juga diberikan penyuluhan


mengenai cara mengatasi gangguan penglihatan yang dialami, low vision
aids, dan rehabilitasi.1
2.10.7 Prognosis
Hilangnya kemampuan melihat dapat disebabkan oleh keterlibatan
langsung fovea pada retinitis pigmentosa, makulopati atau katarak. Sekitar
25% pasien dapat mempertahankan tajam penglihatan yang baik dan
mampu membaca sepanjang hidup mereka, walaupun ERG tidak terekam
dan lapang pandang sentral 2-3o. Pada usia di bawah 20 tahun, hanya
sedikit pasien yang memiliki visus 6/60 atau lebih buruk. Namun, pada
usia 50 tahun, jumlah pasien yang memiliki visus tersebut cukup banyak.1
BAB 3
KESIMPULAN

Retinopati merupakan kelainan pada retina yang tidak disebabkan radang.


Kelainan yang berhubungan dengan penurunan penglihatan yang menurun
perlahan seperti retinopati akibat anemia, diabetes mellitus, hipertensi, trauma non
okuli, degeneratif dan retinopati prematuritas.
Penegakan diagnosa berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Dimana gejala dan temuan pemeriksaan yang didapatkan
berbeda-beda tergantung dari etiologi yang mendasari retinopati dan derajat dari
penyakit tersebut.
Pengobatan yang dilakukan juga tergantung dari etiologi yang mendasari
serta derajat penyakitnya, dimana hal itu akan berpengaruh terhadap prognosis
dari penyakit.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, S. llmu Penyakit Mata Edisi Kelima. Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia. 2018.
2. American Academy of Ophthalmology. Section 12: Retina and Vitreous.
In: Basic and Clinical Science Course. 2016.
3. Sanityoso A, Christine G. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Ilmu
Penyakit Dalam. 2017.
4. Stokkermans, TJ. Goyal, A. Bansal, P. et al. Chloroquine and
Hydroxychloroquine Toxicity. Treasure Island: StatPearls Publishing.
2020.

34

Anda mungkin juga menyukai