Anda di halaman 1dari 5

Journal Reading

Bertahan Hidup dari Konsentrasi Mematikan Sianida dalam Darah dengan


Intoksikasi Alkohol
Survival from a lethal blood concentration of cyanide with associated alcohol
intoxication

Oleh:
Zikri Putra Lan Lubis 130100052
Monica Nadya Sinambela 130100289

Pembimbing:
dr. Ismurizal, SH, Sp.F

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTRA
MEDAN
2018
Abstrak
Dilaporkan satu pasien dengan konsentrasi sianida dalam darah yang mematikan.
Pasien juga memiliki kadar alkohol darah sebesar 270mg/dL, tetapi megalami
pemulihan komplit setelah pemberian antidotum berupa dimethylaminophenol dan
thiosulfat. Dihipotesiskan bahwa pasien kemungkinan dapat mendetoksifikasi dirinya
sendiri sebagai hasil dari metabolism sianida ke dalam bentuk non-toksik yaitu
thiosianat.

Sianida merupakan salah satu molekul organik yang sangat awal ditemukan dan
merupakan prekursor esensial dalam pembentukan asam amino, purin dan pirimidin.
Dalam individu yang sehat, sianida ada dalam darah dengan kondisi normal sebagai
hasil dari metabolism vitamin B12 dan factor lingkungan seperti makanan dan
merokok. Diketahui secara umum penggunaan dari sianida dalam bencana
pembunuhan pada Perang Dunia II.
Sianida merupakan racun poten oral yang menghasilkan simtom dalam
beberapa menit dan kematian dalam hitungan menit hingga jam. Dosis letal oral dari
asam sianida adalah 200-300 mg. Kadar sianida darah yang melebihi 2,5 mg/L
berhubungan dengan koma dan berpotensi mematikan. Dilaporkan suatu kasus
dengan penatalaksanaan yang berhasil dari pasien dengan kadar sianida darah 6,9
mg/L dengan kadar alcohol darah 270 mg/dL.

Riwayat Kasus
Seorang laki-laki, 29 tahun, berat badan 85 kg, tinggi badan 180 cm,
dihampiri oleh staf emergensi setelah 8 menit diberitahu oleh ayah pasien. Pasien
ditemukan tidak sadar dengan laju respirasi 35-45 kali per menit. Glasgow Coma
Score (GCS) pasien 3 pada penilaian awal. Pupil berdilatasi tetapi masih respon
terhadap cahaya. Tim emergensi menjumpai nafasnya berbau alkohol dan
menemukan bubuk sianida bersamaan dengan 12 botol bir kosong di sebelah pasien.
Nafasnya tidak berbau amandel, tetapi ketiadaan sianosis dengan kondisi gagal nafas
yang jelas menunjukkan adanya toksisitas sianida.
Tekanan darah 80/60 mmHg dijumpai dengan nadi 95 kali per menit. Setelah
insersi dari kateter intravena, pasien diintubasi setelah pemberian thiopental. Pasien
dihiperventilasi dengan oksigen 100%. Cairan kristaloid diberikan dan pasien
menerima bolus awal berupa 1000 cc salin 0,9%. Sepuluh menit setelah tim
emergensi tiba, pasien menerima 250mg dimethylaminophenol, dan pemberian
thiosulfat dimulai selama transportasi menuju rumah sakit. Pasien langsung ditransfer
ke Unit Perawatan Intensif / ICU dimana pasien mendapatkan thiosulfat kembali (9 gr
total). Sampel darah dikirim untuk analisis kadar sianida dan alcohol. Pasien disedasi
dengan infsu propofol (250 mg/jam) dan menerima IPPV dengan 100% oksigen,
dengan PEEP 10 mmHg dan dihiperventilasi sedang terhadap tekanan arterial parsial
30 mmHg karbon dioksida. Saturasi oksigen awal yang diukur dengan oksimeter
adalah 82%.
Foto radiologi thoraks dijumpai normal dan EKG tidak menunjukkan adanya
aritmia ataupun iskemia. Kadar methaemoglobin 8,8% dan memuncak 2 jam
setelahnya menjadi 9,9%. 5 jam setelah pemberian thiosulfat, kadarnya menurun
menjadi 2,5%, dan mencapai 0,9% setelah 9 jam penatalaksanaan. Kadar pH 7,30
ditatalaksana dengan 100 cc sodium bicarbonas 8,4% dan meningkatkan kadar pH
hingga 7,5. Kumbah lambung dan usus, arang aktif dan laksatif diberikan setelah
pemberian antidotum. Diuresis diinduksi dengan pemberian furosemide 20 mg/jam.
16 jam setelah pemberian, gastroskopi mengeksklusi ulserasi dari traktus
gastrointestinal atas dan bronkoskopi dilakukan dengan hasil normal. Pasien
diekstubasi 18 jam setelah tiba di ICU. Pasien mengalami pemulihan komplit dan
dipindahkan dari ICU ke bangsal psikiatri pada hari kedua.
Pasien memiliki riwayat depresi selama 2 minggu dan bekerja di pabrik
pemrosesan metal dimana dia dapat mencuri sianida. Pasien mengakui mengonsumsi
hamper 50 gram dari bubuk sianida yang dilarutkan dalam bir dengan tujuan bunuh
diri. Pasien meninggalkan rumah sakit 7 hari setelah peristiwa overdosisnya dan
masuk dalam program rehabilitasi pasien rawat jalan.
Departemen forensic memeriksa bubuk putih yang ditemukan di lokasi dan
hasil darah pasien yang menunjukkan konten sianida menggunakan reaksi pyridine-
asam barbiturate. Bubuk tersebut teridentifikasi sebagai sianida 25mg/gr. Hal ini
menyimpulkan bahwa pasien mengonsumsi hamper 1250mg, yang merupakan 5 kali
lipat dari dosis letal garam sianida. Kadar sianida darah pasien dijumpai 6,9 mg/L.

Diskusi
Sebuah pengulasan dari literature dari beberapa tahun sebelumnya
menunjukkan perhatian yang sangat kecil terhadap keracunan sianida, kecuali untuk
perbandingan antidotum. Laporan kasus gagal untuk menspesifikasi kadar sianida
dalam darah yang sesuai.
Pasien ini bertahan hidup setelah mengonsumsi dosis yang sangat besar dari
garam sianida. Adanya alkohol mungkin dapat membatasi uptake dari sianida pada
lambung. Asam hidroklorik (HCl) pada lambung menyebabkan pelepasan dari
hydrogen sianida (HCN) cair yang secara cepat diabsorbsi sebagai ion sianida.
Alkohol mungkin telah menetralisasi asam dan membatasi uptake dari sianida.
Namun, kadar sianida darah yang mematikan tetap tercapai. Dihipotesiskan bahwa
tanpa adanuya antidotum dan terapi suportif, pasien tersebut mungkin dapat
mendetoksifikasi dirinya sendiri.
Sianida dimetabolisme melalui setidaknya empat jalur. Enzim rhodanese
mengubah 80% sianida dengan adanya thiosulfat menjadi thiosianat yang kemudian
diekskresikan melalui ginjal. Hal yang membatasi hal ini adalah kadar dari thiosulfat.
Rhodanese ada dengan konsentrasi tinggi pada hepar dan renal, tetapi sediaan
thiosulfat terbatas. Jalur alternatif termasuk konversi dari hydroxycobalamin (Vitamin
B12a) dengan adanya HCN menjadi bentuk non-toksik, cyanocobalamin (Vitamin
B12). Jumlah kecil dari sianida diekskresikan melalui paru-paru dan keringat dan
menghasilkan bau amandel yang khas.
Liebowitz et al. melaporkan kasus dari pemulihan pasien dengan kadar
dalam darah sebesar 7,7 mmol/L yang sama sekali tidak menerima terapi suportif.
Hardy et al. menjelaskan berbagai variasi dari kemampuan individual untuk
memetabolisme dan mendetoksifikasi sianida dengan cara mengubahya menjadi
thiosianat.
Pasien dengan atrofi Leber optic tidak akan mampu mendetoksifikasi sianida
dengan cara mengkonversinya ke dalam bentuk thiosianat, karena kondisi ini terjadi
akibat defek metabolic kongenital dalam metabolisme sianida.
Sianida diketahui sebagai racun mematikan yang paling cepat bekerja.
Walaupun berbagai agen merupakan antidotum yang efektif pada berbagai hewan
percobaan, dimethyl-aminophenol dan thiosulfate direkomendasikan di Jerman
karena onset yang cepat dan mengurangi berbagai efek samping.
Sebagai kesimpulan, dilaporkan suatu kasus campuran dari keracunan
sianida dan alkohol dengan kadar sianida darah yang sangat tinggi. Pasien pulih
secara komplit karena pemberian cepat dari antidotum yang sesuai, pasien
kemungkinan dapat mendetoksifikasi dirinya sendiri dengan memetabolisme sianida
dengan mengubahnya menjadi bentuk non-toksik, thiosianat.

Anda mungkin juga menyukai