Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH

INKONTENESIA URINE KONSTIPASI

Nama Kelompok :

1. Vera Eliza ( 1926010003)


2. Fira Tamara Natasya (1926010023)
3. Voni Dwi Lestari (1916010032)

Dosen Pembimbing :

Ns. Hanipa,S.Kep.M.Kep

 
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

TRI MANDIRI SAKTI

BENGKULU

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
karunian-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini. Makalah ini kami
tujukan kepada pembaca, kami susun sebagai bentuk pengetahuan.

Sebagai upaya dalam mengetahui Inkontinesia Urine Kontinesia, kami sangat


memperhatikan segi isi dan penyajian makalah ini. Berdasarkan sumber-sumber
belajar yang kami temukan, semoga dapat mewujudkan tujuan makalah ini.

Kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berpartispasi
dalam penyusunan makalah ini. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat dan
berguna serta dapat dikembangkan. 

Bengkulu,  Juni 2022

ii
 

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah........................................................................ 1
C. Tujuan ......................................................................................... 2
D. Manfaat........................................................................................ 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Landasan Teori Inkontimensia Urin............................................ 3
B. Asuhan Keperawatan Inkontimensia Urin................................... 13
C. Penerapan Teknik Kegel Exercise............................................... 18
D. Konsep Utama Paradigma Keperawatan Menurut Imogene
M.King........................................................................................ 8
E. Teori Imogene M. King Dalam Proses Keperawatan.................. 11

iii
BAB III KASUS
A. Pengkajian Biodata...................................................................... 22
B. Pengkajian Fisik.......................................................................... 24

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan.................................................................................. 32
B. Saran............................................................................................ 32

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Lanjut usia merupakan suatu anugerah. Menjadi tua, dengan segenap
keterbatasannya, pasti akan dialami oleh seseorang bila ia panjang umur.
Pada usia lanjut, terjadi penurunan kondisi fisik/biologis, kondisi psikologis,
serta perubahan kondisi sosial.
Inkontinensia urin merupakan salah satu kondisi umum yang terjadi
pada lansia yang disebabkan karena faktor degeneratif, maupun lainnya, yang
mengenai setidaknya 14 % wanita berumur di atas 30 tahun. Selain itu,
masalah pada sistem pencernaan juga tak jarang ditemui pada lansia, salah
satunya adalah konstipasi. Menurut National Health Interview Survey pada
tahun 1991, konstipasi merupakan  keluhan saluran cerna terbanyak pada usia
lanjut. Terjadi peningkatan dengan bertambahnya usia dan 30-40 % orang di
atas 65 tahun mengeluhkan konstipasi.
Inkontinensia urine pada populasi lansia merupakan masalah serius.
Definisi paling sederhana inkontinensia urine yaitu berkemih nonvolunter,

iv
ketika tekanan di dalam kandung kemih lebih besar dari resistansi uretra.
Sedangkan Konstipasi adalah kondisi sulit atau jarang untuk defekasi.
Konstipasi merupakan keluhan paling sering dalam praktik klinis.
Inkontinensia urin maupun konstipasi yang dialami oleh pasien dapat
menimbulkan dampak yang merugikan pada pasien, seperti gangguan
nyamanan akibat nyeri, kecemasan maupun menimbulkan rasa rendah diri
pada pasien

B. Rumusan Masalah
Bagaimana Asuhan Keperawatan pada Lansia dengan Inkontinensia
urine dan Konstipasi ?

C. Tujuan Penulis
1. Tujuan Umum
Untuk menjelaskan Asuhan Keperawatan pada Lansia dengan Gangguan
SistemPerkemihan dan Pencernaan.
2. Tujuan Khusus
a. Menjelaskan konsep inkontinensia urin pada lansia.
b. Menjelaskan konsep konstipasi pada lansia.

D. Manfaat
1. Mahasiswa dapat memahami Asuhan Keperawatan pada Lansia dengan
Gangguan Sistem Perkemihan dan Pencernaan.dengan Gangguan
SistemPerkemihan dan Pencernaan.
2. Mahasiswa dapat memahami konsep pada gangguan sistem perkemihan
dan pencernaan.
3. Mahasiswa dapat memahami konsep inkontinensia urin pada lansia.
4. Mahasiswa dapat memahami konsep konsep konstipasi

v
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori Inkontinensia Urin


1. Pengertian Inkontinensia Urin
Inkontinensia urin merupakan pengeluaran urin yang tidak
terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki dan tidak melihat jumlah
maupun frekuensinya, keadaan ini dapat menyebabkan masalah fisik,
emosional, sosial dan kebersihan (Kurniasari, 2016). Proses berkemih
yang normal adalah suatu proses dinamik yang secara fisiologik
berlangsung dibawah kontrol dan koordinasi sistem saraf pusat dan sistem
saraf tepi di daerah sacrum. Sensasi pertama ingin berkemih biasanya
timbul pada saat volume kandung kemih mencapai 150–350 ml.
Umumnya kandung kemih dapat menampung urin sampai kurang lebih
500 ml tanpa terjadi kebocoran.
Frekuensi berkemih yang normal adalah tiap 3 jam sekali atau tidak
lebih dari 8 kali sehari (Wahab, 2016). Menurut penelitian Junita, (2013)
rata-rata lansia yang mengalami inkontinensia urin akan berkemih
sebanyak 12 kali selama 24 jam.
Perubahan sistem perkemihan lansia terjadi pada ginjal, ginjal
mengalami pengecilan dan nefron menjadi atrofi. Aliran ginjal menurun
hingga 50%, fungsi tubulus berkurang mengakibatkan BUN (Blood Urea
Nitrogen) meningkat hingga 21 mg%, berat jenis urine menurun, serta
nilai ambang ginjal terhadap glukosa meningkat. Pada kandung kemih,
otot-otot melemah, sehingga kapasitasnya menurun hingga 200 ml yang
menyebabkan frekuensi berkemih meningkat (Rosidawati dkk, 2011).
Inkontinensia urin merupakan masalah yang meluas dan merugikan.
Masalah ini merupakan salah satu faktor utama yang membuat banyak
keluarga menempatkan lansia di panti jompo untuk mendapatkan
perawatan yang layak (Agoes, 2010). Beberapa kondisi yang sering
menyertai inkontinensia urin antara lain kelainan kulit, gangguan tidur,
dampak psikososial dan ekonomi, seperti depresi, mudah marah, terisolasi,
hilang percaya diri, pembatasan aktivitas sosial, dan besarnya biaya
rawatan (Juananda, 2017).
2. Etiologi Inkontinensia Urin
Menurut Soeparman & Wapadji Sarwono, (2001) dalam Aspiani, (2014)
faktor penyebab inkontinensia urin antara lain :
a. Poliuria
Poliuria merupakan kelainan frekuensi buang air kecil karena
kelebihan produksi urin. Pada poliuria volume urin dalam 24 jam
meningkat melebihi batas normal karena gangguan fungsi ginjal dalam
mengonsentrasi urin.
b. Nokturia
Kondisi sering berkemih pada malam hari disebut dengan
nokturia. Nokturia merupakan salah satu indikasi adanya prolaps
kandung kemih.

c. Faktor usia

Inkontinensia urin lebih banyak ditemukan pada usia >50 tahun


karena terjadinya penurunan tonus otot pada saluran kemih.

d. Penurunan produksi estrogen (pada wanita)

Penurunan produksi estrogen dapat menyebabkan atropi


jaringan uretra sehingga uretra menjadi kaku dan tidak elastis.

e. Operasi pengangkatan rahim

Pada wanita, kandung kemih dan rahim didukung oleh beberapa


otot yang sama. Ketika rahim diangkat, otot-otot dasar panggul
tersebut dapat mengalami kerusakan, sehingga memicu inkontinensia.

f. Frekuensi melahirkan

Melahirkan dapat mengakibatkan penurunan otot-otot dasar panggul.


g. Merokok
Merokok dapat menyebabkan kandung kemih terlalu aktif
karena efek nikotin pada dinding kandung kemih.
h. Konsumsi alkohol dan kafein
Mengonsumsi alkohol dan kafein dapat menyebabkan
inkontinensia urin karena keduanya bersifat diuretik sehingga
dapat meningkatkan frekuensi berkemih.

i. Obesitas

Berat badan yang berlebih meningkatkan resiko terkena


inkontinensia urin karena meningkatnya tekanan intra abdomen
dan kandung kemih. Tekanan intra abdomen menyebabkan
panjang uretra menjadi lebih pendek dan melemahnya tonus
otot.
j. Infeksi saluran kemih
Gejala pada orang yang mengalami infeksi saluran kemih
biasanya adalah peningkatan frekuensi berkemih. Frekuensi
berkemih yang semakin banyak akan menyebabkan
melemahnya otot pada kandung kemih sehingga dapat terjadi
inkontinensia urin.
3. Patofisiologi Inkontinensia Urin
Inkontinensia urin dapat terjadi karena beberapa penyebab, antara lain:
a. Perubahan terkait usia pada sistem perkemihan
Menurut Stanley M & Beare G Patricia, (2006) dalam Aspiani,
(2014) kapasitas kandung kemih (vesiko urinaria) yang normal sekitar
300-600 ml. Dengan sensasi atau keinginan berkemih di antara 150-
350 ml. Berkemih dapat ditunda 1-2 jam sejak keinginan berkemih
dirasakan. Keinginan berkemih terjadi pada otot detrusor yang
kontraksi dan sfingter internal serta sfingter eksternal relaksasi, yang
membuka uretra. Pada orang dewasa muda hampir semua urin
dikeluarkan saat berkemih, sedangkan pada lansia tidak semua urin
dikeluarkan.
Pada lansia terdpat residu urin 50 ml atau kurang dianggap
adekuat. Jumlah residu lebih dari 100 ml mengindikasikan retensi
urin. Perubahan lain pada proses penuaan adalah terjadinya kontraksi
kandung kemih tanpa disadari. Pada seorang wanita lanjut usia
terjadinya penurunan hormon estrogen mengakibatkan atropi pada
jaringan uretra dan efek dari melahirkan menyebabkan lemahnya otot-
otot dasar panggul.
b. Fungsi otak besar yang terganggu dan mengakibatkan kontraksi
kandung kemih
Menurut Aspiani, (2014) adanya hambatan pengeluaran urin
karena pelebaran kandung kemih, urin terlalu banyak dalam kandung
kemih sehingga melebihi kapasitas normal kandung kemih. Fungsi
sfingter yang terganggu mengakibatkan kandung kemih mengalami
kebocoran ketika bersin atau batuk.
4. Pathway Inkontinensia Urin

Gambar 1. Pathway Inkontinensia Urin

ISK
Persalinan pervaginan Proses menua Peningkatan
produksi urin
(DM)
Refluks
Peregangan otot Kadar hormon urovesikal
jaringan / robekan menurun
jalan lahir Hiperglikemia MK :
gangguan
rasa nyaman/ Menyebarnya
Otot dasar nyeri infeksi dari
Melemahnya otot panggul rusak Perpindahan uretra
dasar panggul cairan
intraseluler
Posisi kandung secara osmotik MK : risiko
Tidak dapat menahan kemih prolap tinggi infeksi
Sfingter dan
air kencing
otot dasar
panggul
Ginjal MK :
terganggu
Melemahnya reabsorbsi kekurangan
tekanan / tekanan kelebihan volume
akhiran kemih glukosa cairan
keluar Pengosongan
kandung
kemih tidak
MK : kelelahan sempurna
INKONTINENSIAPoliuria
URIN
Glukosuria

Urgensi
Desakan berkemih

MK : isolasi
Mengompol sosial Nokturia

(Sumber : Daneshgari & Moore, 2007 dalam Sinaga, 2011)


5. Klasifikasi Inkontinensia Urin
Menurut Cameron (2013), inkontinensia urin dapat dibedakan menjadi:
a. Inkontinensia urge
Keadaan otot detrusor kandung kemih yang tidak stabil, di mana otot
ini bereaksi secara berlebihan. Inkontinensia urin ini ditandai dengan
ketidakmampuan menunda berkemih setelah sensasi berkemih muncul,
manifestasinya dapat berupa perasaan ingin berkemih yang mendadak
(urge), berkemih berulang kali (frekuensi) dan keinginan berkemih di
malam hari (nokturia).
b. Inkontinensia stress
Inkontinensia urin ini terjadi apabila urin dengan secara tidak
terkontrol keluar akibat peningkatan tekanan di dalam perut,
melemahnya otot dasar panggul, operasi dan penurunan estrogen. Pada
gejalanya antara lain keluarnya urin sewaktu batuk, mengedan,
tertawa, bersin, berlari, atau hal yang lain yang meningkatkan tekanan
pada rongga perut.
c. Inkontinensia overflow
Pada keadaan ini urin mengalir keluar dengan akibat isinya yang sudah
terlalu banyak di dalam kandung kemih, pada umumnya akibat otot
detrusor kandung kemih yang lemah. Biasanya hal ini bisa dijumpai
pada gangguan saraf akibat dari penyakit diabetes, cedera pada
sumsum tulang belakang, dan saluran kemih yang tersumbut.
Gejalanya berupa rasanya tidak puas setelah berkemih (merasa urin
masih tersisa di dalam kandung kemih), urin yang keluar sedikit dan
pancarannya lemah.
d. Inkontinensia refleks
Hal ini terjadi karena kondisi sistem saraf pusat yang terganggu,
seperti demensia. Dalam hal ini rasa ingin berkemih dan berhenti
berkemih tidak ada.
e. Inkontinensia fungsional
Dapat terjadi akibat penurunan yang berat dari fungsi fisik dan kognitif
sehingga pasien tidak dapat mencapai ke toilet pada saat yang tepat.
Hal ini terjadi pada demensia berat, gangguan neurologi, gangguan
mobilitas dan psikologi.
f. Manifestasi Klinis
Menurut Aspiani ( 2014) ada beberapa manifestasi klinis inkontinensia
urin, antara lain :
g. Inkontinensia urge
Gejala dari inkontinensia urge adalah tingginya frekuensi berkemih
(lebih sering dari 2 jam sekali). Spasme kandung kemih atau
kontraktur berkemih dalam jumlah sedikit (kurang dari 100 ml) atau
dalam jumlah besar (lebih dari 500 ml).
h. Inkontinensia stress
Gejalanya yaitu keluarnya urin pada saat tekanan intra abdomen
meningkat dan seringnya berkemih.
i. Inkontinensia overflow
Gejala dari inkontinensia jenis ini adalah keluhan keluarnya urin
sedikit dan tanpa sensasi bahwa kandung kemih sudah penuh, distensi
kandung kemih.
j. Inkontinensia refleks
Orang yang mengalami inkontinensia refleks biasanya tidak menyadari
bahwa kandung kemihnya sudah terisi, kurangnya sensasi ingin
berkemih, dan kontraksi spasme kandung kemih yang tidak dapat
dicegah.
k. Inkontinensia fungsional
Mendesaknya keinginan berkemih sehingga urin keluar sebelum
mencapai toilet merupakan gejala dari inkontinensia urin fungsional.
6. Penatalaksanaan Inkontinensia Urin
Penatalaksanaan inkontinensia urin menurut Aspiani (2014) yaitu
dengan mengurangi faktor risiko, mempertahankan homeostatis,
mengontrol inkontinensia urin, modifikasi lingkungan, medikasi, latihan
otot pelvis, dan pembedahan. Dari beberapa hal tersebut, dapat dilakukan
sebagai berikut :
a. Pemanfaatan kartu catatan berkemih
Yang dicatat dalam kartu catatan yaitu waktu berkemih, jumlah urin
yang keluar baik secara normal maupun karena tak tertahan.
Banyaknya minuman yang diminum, jenis minuman yang diminum,
dan waktu minumnya juga dicatat dalam catatan tersebut.
b. Terapi non farmakologi
Terapi ini dilakukan dengan cara mengoreksi penyebab timbulnya
inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik,
dan hiperglikemi. Cara yang dapat dilakukan adalah :
1) Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval
waktu berkemih) dilakukan dengan teknik relaksasi dan distraksi
sehingga waktu berkemih 6-7x/hari. Lansia diharapkan mampu
menahan keinginan berkemih sampai waktu yang ditentukan. Pada
tahap awal, diharapkan lansia mampu menahan keinginan
berkemih satu jam, kemudian meningkat 2- 3 jam.
2) Promited voiding yaitu mengajari lansia mengenali kondisi
berkemih. Hal ini bertujuan untuk membiasakan lansia berkemih
sesuai dengan kebiasaannya. Apabila lansia ingin berkemih
diharapkan lansia memberitahukan petugas. Teknik ini dilakukan
pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif.
3) Melakukan latihan otot dasar panggul atau latihan kegel.
Latihan kegel ini bertujuan untuk mengencangkan otot-otot dasar
panggul dan mengembalikan fungsi kandung kemih sepenuhnya
serta mencegah prolaps urin jangka panjang.
c. Terapi farmakologi
Obat yang dapat diberikan pada inkontinensia dorongan (urge)
yaitu antikolenergik atau obat yang bekerja dengan memblokir
neurotransmitter, yang disebut asetilkolin yang membawa sinyal otak
untuk mengendalikan otot. Ada beberapa contoh obat antikolenergik
antara lain oxybutinin, propanteline, dyclomine, flsavoxate, dan
imipramine. Pada inkontinensia tipe stress diberikan obat alfa
adregenic yaitu obat untuk melemaskan otot. Contoh dari obat tersebut
yaitu pseudosephedrine yang berfungsi untuk meningkatkan retensi
urethra. Pada sfingter yang mengalami relaksasi diberikan obat
kolinergik agonis yang bekerja untuk meningkatkan fungsi
neurotransmitter asetilkolin baik langsung maupun tidak langsung.
Obat kolinergik ini antara lain bethanechol atau alfakolinergik
antagonis seperti prazosin untuk menstimulasi kontraksi.
d. Terapi pembedahan
Terapi ini bisa dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress
dan urge, bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak
berhasil. Pada inkontinensia overflow biasanya dilakukan
pembedahan untuk mencegah retensi urin. Terapi ini biasanya
dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan
prolaps pelvis.
e. Modalitas lain
Terapi modalitas ini dilakukan bersama dengan proses terapi dan
pengobatan masalah inkontinensia urin, caranya dengan menggunakan
beberapa alat bantu bagi lansia antara lain pampers, kateter, dan alat
bantu toilet seperti urinal dan bedpan.
7. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Artinawati (2014) terdapat beberapa pemeriksaan penunjang
untuk masalah inkontinensia urin, antara lain :
a. Urinalis
Spesimen urin yang bersih diperiksa untuk mengetahui penyebab
inkontinensia urin seperti hematuria, piuria, bakteriuria, glukosuria,
dan proteinuria.
b. Pemeriksaan darah
Dalam pemeriksaan ini akan dilihat elektrolit, ureum, kreatinin,
glukosa, dan kalsium serum untuk menentukan fungsi ginjal dan
kondisi yang menyebabkan poliuria.
c. Tes laboratorium tambahan
Tes ini meliputi kultur urin, blood urea nitrogen, kreatinin, kalsium,
glukosa, dan sitologi.
d. Tes diagnostik lanjutan
1) Tes urodinamik untuk mengetahui anatomi dan fungsi
saluran kemih bagian bawah

2) Tes tekanan uretra untuk mengukur tekanan di dalam


uretra saat istirahat dan saat dinamis.
3) Imaging tes untuk saluran kemih bagian atas dan bawah.
e. Catatan berkemih (voiding record)
Catatan berkemih ini dilakukan selama 1-3 hari untuk mengetahui pola
berkemih. Catatan ini digunakan untuk mencatat waktu dan jumlah urin
saat mengalami inkontinensia urin dan tidak inkontinensia urin, serta
gejala yang berhubungan dengan inkontinensia urin.
B. Asuhan Keperawatan Inkontinensia Urin

1. Pengkajian
Pengkajian asuhan keperawatan pada lansia secara menyeluruh menurut
Rosidawati, (2011) yaitu :
a. Karakteristik demografi
1) Identitas pasien, meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan,
agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat sebelumnya, dan
hobi.
2) Riwayat keluarga, keluarga yang bisa dihubungi, jumlah saudara
kandung, jumlah anak, riwayat kematian keluarga dalam satu
tahun, dan riwayat kunjungan keluarga.
3) Riwayat pekerjaan dan status ekonomi, pekerjaan sebelumnya dan
sumber pendapatan saat ini.

4) Aktivitas dan rekreasi, meliputi jadwal aktivitas, hobi, wisata,


dan keanggotaan organisasi.
b. Pola kebiasaan sehari-hari
1) Pola nutrisi
Pola nutrisi meliputi frekuensi makan, nafsu makanan, jenis
makanan yang dimakan, kebiasaan sebelum makan, makanan yang
disukai dan tidak disukai, alergi dengan makanan, dan keluhan
yang berhubungan dengan makan. Selain makan juga perlu dikaji
asupan cairannya, meliputi jumlah air yang diminum dalam sehari,
jenis minuman (air putih, teh, cokelat, minuman berkafein,
bersoda, dan beralkohol), dan minuman kesukaan.
2) Pola eliminasi
Menurut Maas, (2014) pengkajian pola eliminasi khusus untuk
lansia dengan inkontinensia urin yaitu :
a) Buang air kecil, frekuensi berkemih sepanjang hari, frekuensi
berkemih di malam hari, kesulitan dalam berkemih (perlu
mengejan atau tidak), aliran urin, nyeri saat berkemih, adanya
campuran darah saat berkemih, dan warna urin.
b) Buang air besar, frekuensi buang air besar, konsistensi, warna
feses, keluhan saat buang air besar, dan penggunaan obat
pencahar.
3) Pola personal hygiene
Menggambarkan frekuensi mandi, gosok gigi, mencuci rambut,
penggunaan alat mandi (sabun, pasta gigi, dan shampo), dan
kebersihan tangan serta kuku.
4) Pola istirahat dan tidur
Menggambarkan pola tidur, lamanya tidur saat malam hari, lama
tidur saat tidur siang, dan keluhan saat tidur.
5) Pola hubungan dan peran
Menggambarkan hubungan responden dengan keluarga,
masyarakat, dan tempat tinggal.
6) Pola sensori dan kognitif
Menjelaskan persepsi sensori dan kognitif. Pola persepsi sensori
meliputi pengkajian penglihatan, pendengaran, perasaan, dan
pembau.
7) Pola persepsi dan konsep diri
Menggambarkan sikap tentang diri sendiri dan persepsi terhadap
kemampuan konsep diri. Konsep diri menggambarkan gambaran
diri, harga diri, peran dan identitas diri. Mengkaji tingkat depresi
responden menggunakan format pengkajian status psikologis.
8) Pola seksual dan reproduksi
Menggambarkan masalah terhadap seksualitas.
9) Pola mekanisme stress dan kopping
Menggambarkan kemampuan untuk menangani stress.
10) Pola tata nilai dan kepercayaan
Menggambarkan pola, nilai keyakinan termasuk spiritual.
11) Kebiasaan mengisi waktu luang
Menggambarkan kegiatan responden dalam mengisi waktu luang
seperti mencuci baju, merajut, membaca majalah atau koran,
mendengarkan radio, dan beribadah.
12) Kebiasaan yang mempengaruhi kesehatan
Menggambarkan kebiasaan responden yang berdampak pada
kesehatan meliputi merokok, minum minuman beralkohol, dan
ketergantungan terhadap obat.
c. Status kesehatan
1) Status kesehatan saat ini
Biasanya adanya keluhan nyeri saat berkemih atau urin keluar
dengan tiba-tiba, dan tingginya frekuensi berkemih.
2) Riwayat kesehatan masa lalu
a) Penyakit yang pernah diderita, meliputi diabetes, hipertensi,
kolesterol, dan asam urat.
b) Riwayat alergi (obat, makanan, minuman, binatang, debu,
dan lain-lain).
c) Riwayat kecelakaan, lansia sering mengalami jatuh dan
terpeleset saat berjalan.
d) Riwayat dirawat di rumah sakit.
e) Riwayat pemakaian obat, biasanya pemakaian obat
diuretik yang cukup lama dapat menyebabkan
inkontinensia urin.
3) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan meliputi keadaan umum, berat badan, kepala, dada,
abdomen, kulit, ekstremitas atas, dan ekstremitas bawah.
4) Lingkungan dan tempat tinggal
Pengkajian terhadap kebersihan dan kerapian ruangan,
penerangan, sirkulasi udara, dan kebersihan toilet.
2. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan pengkajian di atas, dapat disimpulkan diagnosa yang
muncul pada pasien inkontinensia urine menurut SDKI (2017) :
a. Inkontinensia urin berlanjut berhubungan dengan neuropati arkus
refleks, disfungsi neurologis, kerusakan refleks kontraksi detrusor,
trauma, kerusakan medula spinalis, dan kelainan anatomis.
b. Inkontinensia berlebih berhubungan dengan blok sfingter, kerusakan
atau ketidakadekuatan jalur aferen, obstruksi jalan keluar urin, dan
ketidakadekuatan detrusor.
c. Inkontinensia urin fungsional berhubungan dengan ketidakmampuan
atau penurunan mengenali tanda-tanda berkemih, penurunan tonus
kandung kemih, hambatan mobilisasi, faktor psikologis; penurunan
perhatian pada tanda-tanda keinginan. berkemih, hambatan lingkungan,
kehilangan sensorik dan motorik, gangguan penglihatan.
d. Inkontinensia urin refleks berhubungan dengan kerusakan konduksi
impuls di atas arkus refleks, dan kerusakan jaringan.
e. Inkontinensia urin stres berhubungan dengan kelemahan intrinsik
sfingter uretra, perubahan degenerasi/non degenerasi otot pelvis,
kekurangan estrogen, peningkatan tekanan intraabdomen, dan
kelemahan otot pelvis.
f. Inkontinensia urgensi berhubungan dengan iritasi reseptor kontraksi
kandung kemih, penurunan kapasitas kandung kemih, hiperaktivitas
detrusor dengan kerusakan kontraktilitas kandung kemih, dan efek
agen farmakologis.
g. Kesiapan peningkatan eliminasi urin
h. Isolasi sosial berhubungan dengan ketidakmampuan menjalin
hubungan yang memuaskan, perubahan penampilan fisik, dan
perubahan status mental.
i. Risiko infeksi berhubungan dengan peningkatan paparan
organisme patogen lingkungan.
3. Rencana Keperawatan

Tabel 1. Rencana Keperawatan

Diagnosa Tujuan dan


Intervensi Rasional
Keperawatan Kriteria Hasil
Inkontinensia Setelah dilakukan 1. Kaji pola 1. Memberikan
urin tindakan berkemih dan informasi mengenai
keperawatan kegel bandingkan perubahan yang
exercise 4 kali 10 dengan sekarang. mungkin terjadi
siklus sehari selanjutnya.
dalam 4 minggu, 2. Dukung 2. Memotivasi
diharapkan perawatan diri responden untuk
kontinensia urin menjaga kebersihan
pasien meningkat diri dan
dengan kriteria menghindarkan
hasil : responden dari
1. Kemampuan resiko infeksi.
berkemih 3. Buat jadwal 3. Kegel exercise
meningkat. latihan otot dasar berfungsi untuk
2. Nokturia panggul atau menguatkan otot-otot
menurun. kegel elevator ani dan
3. Residu volume urogenital yang
urin setelah dapat menurunkan
berkemih inkontinensia urin.
menurun. 4. Minum yang
4. Distensi 4. Anjurkan adekuat akan
kandung kemih minum adekuat menurunkan risiko
menurun. selama siang hari, dehidrasi, infeksi
5. Dribbling minimal 2 liter saluran kemih,
menurun. (sesuai toleransi), dan konstipasi.
6. Frekuensi dan diet tinggi
berkemih serat. 5.Pembatasan minum
membaik. 5. Batasi minum di malam hari dapat
7. Sensasi saat menjelang menghindarkan
berkemih tidur. responden dari
membaik enuresis dan
(SLKI , nokturia.
L.04036, 2018) 6. Kolaborasi 6. Menurunkan derajat
dengan dokter inkontinensia.
dalam mengkaji
efek pemberian
obat.
(SIKI, 2018)
4. Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah aksi dalam melakukan tindakan dari
keperawatan, selesaikan perencanaan mandiri dan kolaboratif untuk
membantu pasien mencapai hasil dan tujuan yang diinginkan. Tindakan
mandiri adalah aktivitas dimana perawat menggunakan pertimbangannya
sendiri (Potter & Perry, 2010).
5. Evaluasi
Evaluasi yang dilakukan adalah evaluasi dengan klien yang
dilakukan terapi kegel exercise. Klien merupakan sumber evaluasi hasil
dari respons terbaik bagi asuhan keperawatan. Perawat harus
mengevaluasi efektivitas intervensi keperawatan dengan membandingkan
tujuan. Bandingkan hasil aktual dengan hasil yang diharapkan untuk
menentukan keberhasilan sebagian atau penuh (Potter & Perry, 2010).

C. Penerapan Teknik Kegel Exercise


1. Pengertian Kegel Exercise
Kegel exercise adalah latihan untuk menguatkan otot panggul atau
latihan yang bertujuan untuk memperkuat otot-otot dasar panggul terutama
otot pubococcygeal sehingga seorang wanita dapat memperkuat otot-otot
saluran kemih. Senam kegel juga dapat menyembuhkan ketidakmampuan
menahan kencing (inkontinensia urin) dan dapat mengencangkan dan
memulihkan otot di daerah alat genital dan anus. Efektivitas latihan
kegel dapat dilihat setelah dilakukan latihan 3-4 kali sehari selama 4
minggu dengan penahanan kontraksi 3-10 detik (Novera Milya, 2017).
Penelitian dari penemu latihan kegel yaitu Arnold Kegel, efektivitas
senam kegel untuk menyembuhkan inkontinensia urin mencapai 84%
dengan latihan otot dasar panggul 50-60 kali secara teratur dan jumlah
kontraksi otot panggul sebanyak 24 sampai 160 kali setiap harinya untuk
wanita dan pria dengan berbagai macam tipe inkontinensia urin. Setelah 4
sampai 6 minggu melakukan senam kegel secara teratur akan mengurangi
kebocoran urin dan memberikan kontrol yang baik terhadap kandung
kemih, walaupun memakan waktu yang lama dan kesabaran tetapi
hasilnya cukup memuaskan (Darmojo, 2011 dalam Novera 2017).
2. Tujuan Kegel Exercise
Kegel exercise dikembangkan oleh Dr. Arnold H. Kegel pada tahun
1940 untuk menguatkan otot pubokoksigeus dan mengurangi
inkontinensia urin (Maas, 2014), dengan kata lain kegel exercise
merupakan suatu bentuk terapi latihan yang ditujukan untuk meningkatkan
kekuatan otot-otot dasar panggul, dimana latihan ini akan berdampak pada
otot dasar panggul. Kegel exercise dapat mengembalikan pola normal
perkemihan.
Penerapan kegel exercise akan memberi manfaat bagi responden
antara lain yaitu responden dapat mengontrol berkemih, menghindarkan
responden dari kelembaban dan iritasi pada kulit, dan dapat
menghindarkan responden dari masalah isolasi sosial. Cara kerja kegel
exercise yaitu dengan memperpanjang waktu menahan berkemih,
meningkatkan jumlah urin yang ditampung dalam kandung kemih, dan
memperbaiki kontrol terhadap pengeluaran urin.
3. Indikasi Kegel Exercise
Kegel exercise dilakukan pada responden pria atau wanita dengan
masalah inkontinensia urin (tidak mampu menahan buang air kecil),
wanita yang sudah menopause untuk memperkuat otot panggul karena
penurunan kadar estrogen, wanita yang mengalami prolaps uteri
(turunnya rahim) karena melemahnya otot dasar panggul dan untuk wanita
yang mengalami masalah seksual, serta dapat dilakukan pada pria yang
mengalami ejakulasi dini atau ereksi lebih lama (Ardani, 2010 dalam
Jayanti, 2015).
4. Kontraindikasi Kegel Exercise
Penderita penyakit jantung yang dapat menyebabkan nyeri dada
saat melakukan gerakan minimal, penderita diabetes, dan penderita
penyakit kelamin (Hartanti, 2009 dalam Jayanti, 2015).
5. Prosedur Kegel Exercise
Menurut Artinawati, (2014) standar operasional prosedur (SOP)
kegel exercise :
a. Salam terapeutik disampaikan kepada responden.
b. Tujuan dan prosedur kegiatan disampaikan dengan benar.
c. Cuci tangan dilakukan dengan benar.

d. Anjurkan responden untuk mengosongkan kandung


kemih atau berkemih terlebih dahulu.
e. Beri kesempatan responden untuk bertanya.
f. Atur posisi responden :
1) Posisi berdiri
Pasien berdiri tegak dengan kedua kaki lurus.
2) Posisi duduk
a) Posisi duduk tegak pada kursi dengan panggul
dan lutut tersokong rileks.
b) Badan sedikit membungkuk dengan lengan
menyangga paha dan dada
3) Posisi terlentang
Posisi terlentang dengan kedua lutut ditekuk, apabila kedua lutut
tidak bisa ditekuk maka kaki bisa diluruskan.
g. Tanyakan kesiapan responden.
h. Konsentrasikan kontraksi pada daerah vagina, uretra, dan rektum.
i. Kontraksikan otot dasar panggul seperti menahan defekasi dan
berkemih.
j. Pertahankan kontraksi 5-10 detik.
k. Selama mengencangkan otot ini jangan menahan nafas.
l. Lemaskan otot dasar panggul.
m. Lakukan rutin 4 kali dalam sehari (08.00 WIB, 10.00 WIB, 12.00
WIB, dan 14.00 WIB) dengan satu siklus latihan 10 kali.
n. Perhatikan respon responden terhadap kelelahan.
o. Cuci tangan dilakukan dengan benar.
p. Evaluasi hasil melalui anamnesa respon responden.
BAB III
KASUS

Ny.W berusia 63 tahun dengan BB 76kg ketika datang kerumah sakit Dr.
Soetomo dengan keluhan BAK terus menerus dan tidak bisa ditahan hingga
sampai ke toilet. Ny.W mengatakan kencing sebanyak lebih dari 10 kali dalam
sehari,dengan jumlah urine 1000-1500ml. Ny.W juga mengatakan bahwa dirinya
tidak bisa menahan kencingnya untuk sampai ke toilet dan terasa perih pada area
perianalnya. Karena sering mengompol, Ny.W mengaku mengurangi minum dan
sering menahan haus, dan mengalami penurunan BB sebanyak 5kg menjadi 71kg.
Ny.W merasa malu apabila keluar rumah karena mengompol dan bau air
kencingnya yang menyengat sehingga hanya tinggal di dalam rumah. Saat
ditanyakan tentang riwayat kehamilan, anak klien mengatakan bahwa klien
memiliki 2 orang anak, dan tidak pernah mengalami keguguran. Anaknya
mengatakan bahwa keluarganya tidak ada yang mengalami penyakit seperti itu
sebelumnya dan tidak ada penyakit keturunan. Dulunya klien adalah seorang
penjahit di rumahnya, namun beberapa tahun yang lalu sudah tidak lagi bekerja.
Setelah dilakukan pemeriksaan awal pada Ny.W ditemukan membran mukosa
kering, turgor kulit kering dan keriput serta lecet-lecet pada kulitnya. Hasil dari
TTVnya adalah TD: 160/90 mmHg, Nadi 90x/menit, RR 19x/menit, dan Suhu
370C.
A. Pengkajian Biodata
Nama : Ny.W
Usia : 66 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jalan Merdeka No.5
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa/Indonesia
Pekerjaan : Irt
Masuk Rs :
Tanggal pengkajian : 5 Oktober 2022
Penanggung jawab
Nama : Tn.M
Usia : 69 Tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Pekerjaan : Wirausaha
Hubungan dengan klien : Suami

Keluhan utama
Klien mengatakan BAK terus-menerus, tidak bisa menahannya sehingga
mengompol

Riwayat penyakit
Klien datang kerumah sakit dengan keluhan BAK terus menerus dengan
frekuensi lebih dari 10 kali dalam sehari. Klien tidak bisa menahan
kencingnya untuk pergi ke toilet sampai klien mengompol. Klien mengaku
mengurangi minum dan menahan rasa haus.

Riwayat penyakit keluarga


Suami pasien mengatakan anggota keluarganya tidak ada yang mengalami
penyakit seperti itu sebelumnya dan tidak ada penyakit keturunan.

Pemeriksaan fisik
Kesadaran : Composmetis
TTV
Td :!60/90 mmhg
Nadi :90 x/menit
Rr : 19 x/menit
S : 37 C

B. Pengkajian fisik
a. Penampakan umum
Keadaan umum Klien tampak sakit sedang, klien tampak
lemas.
Kesadaran Composmentis
BB 71 kg TB : 155 cm
TD:160/90mmHg Suhu:370C RR:19x/ Nadi:90x/
menit menit

b. Kepala dan leher


1) Rambut
a) Inspeksi
Rambut klien tampak bersih, berwarna hitam dan putih dan
potongan rambut pendek.
b) Palpasi
Rambut klien tampak bersih, lembut dan tidak ada nyeri tekan.
2) Mata
a) Inspeksi
Bentuk mata simetris antara kanan dan kiri dan konjungtiva pucat
pandangan kabur dan berkunang-kunang.
b) Palpasi
Tidak ada pembengkakan pada mata.
3) Telinga
a) Inspeksi
Bentuk dan posisi telinga simetris, tidak ada cairan yang keluar
seperti nanah atau darah.
b) Palpasi
Tidak ada nyeri tekan pada telinga.
4) Hidung
a) Inspeksi
Bentuk dan posisi hidung simetris, tidak ada pendarahan dan
tanda – tanda infeksi.
b) Palpasi
Tidak ada nyeri tekan pada hidung.
5) Mulut
a) Inspeksi
Bentuk mulut simetris, lidahnya berwarna putih dan mukosa bibir
kering.
b) Palpasi
Tidak ada nyeri tekan pada bagian bibir.
6) Leher
a) Inspeksi
Pada leher terlihat normal dengan gerakan ke kanan dan ke kiri.
b) Palpasi
Tidak ada nyeri tekan pada leher.
7) Dada
a) Inspeksi
Bentuk dada simetris antara kanan dan kiri.
b) Palpasi
Tidak ada benjolan dan nyeri tekan.
c) Perkusi
Tidak ada masalah.
d) Auskultrasi
Bunyi jantung normal.
8) Jantung
a) Inspeksi
Jantung tidak nampak dari luar.
b) Palpasi
Terjadi palpitasi jantung.
c) Perkusi
Tidak dilakukan pemeriksaan.
d) Aukultrasi
Detak jantung takikardi 90x/menit.
9) Abdomen
a) Inspeksi
Tampak simetris, tidak nampak lesi, bersih.
b) Palpasi
Tidak ada nyeri tekan pada abdomen, tidak ada pembesaran
hepar.
c) Perkusi
Tidak flatulen.
d) Auskultrasi
Terdengar suara bising usus.
10) Inguinal dan genetalia
a) Inspeksi
Tidak tampak adanya pembengkakan.
b) Palpasi
Tidak ada nyeri tekan.
11) Ekstrimitas
a) Inspeksi
Bagian atas dan bawah tampak simetris, tidak ada deformitas,
pergerakan normal.
b) Palpasi
Tidak ada nyeri tekan pada ekstrimitas atas dan bawah.
c) Kekuatan otot

5 5

5 5
Keterangan :
0 : otot tak mampu bergerak.
1 : jika otot ditekan masih terasa ada kontraksi.
2 : dapat menggerakan otot/bagian yang lemah sesuai perintah.
3 : dapat menggerakan otot dengan tahanan.
4 : dapat bergerak dengan melawan hambatan yang ringan.
5 : bebas bergerak dan dapat melawan hambatan
ANALISA DATA

Nama : Ny
Ruang :
Usia :

No Data Masalah Keperawatan Etiologi Diagnosa


1. Ds. Risiko Hipovolemia Kehilangan Risiko
-Klien mengatakan cairan secara Hipovolemia b.d
mengurangi aktif Kehilngan cairan
minum. secara aktif d.b
Klien
-Klien mengatakan mengatakan
sering merasa haus mengurangi haus
dan sering
Do. merasa haus
-Membran mukosa
kering.
-Turgor kulit
kering.
TTV :
-TD : 160/90
mmHg.
-N : 90x/menit.
-RR : 19x/menit.
-S : 37°C.
-BB 71kg
-Frekuensi minum
4-5 gelas dalam
sehari.
DS :
-Klien mengatakan
kencing sebanyak
lebih dari 10 kali
dalam sehari.
-Klien mengatakan
bahwa dirinya tidak
bisa menahan
kencing untuk
sampai ke toilet.
DO :
-Klien sering
mengompol.
2 Inkontinesia Urin Ketidakmampuan Inkontinesia Urin
DS : Fungsional atau penurunan Fungsional b.d
mengenali tanda- Ketidakmampuan
-Klien mengatakan tanda berkemih atau Penurunan
perih di daerah mengenali tanda-
perinealnya. tanda berkemih
DO : d.b Klien sering
mengompol
-Tampak
kemerahan di area
perineal.
-Turgor kulit
kering.

3 Gangguan Integritas Kelembaban Gangguan


Kulit/Jaringan Integritas
Kulit/Jaringan
b.d Kelembaban
d.b tampak
kemerahan diarea
perical

Diagnosa keperawatan
a. Risiko Hipovolemia b.d Kehilngan cairan secara aktif d.b Klien
mengatakan mengurangi haus dan sering merasa haus
b. Inkontinesia Urin Fungsional b.d Ketidakmampuan atau Penurunan
mengenali tanda-tanda berkemih d.b Klien sering mengompol
c. Gangguan Integritas Kulit/Jaringan b.d Kelembaban d.b tampak
kemerahan diarea perical
PERENCANAAN ASUHAN KEPERAWATAN

DATA DIAGNOSIS OUTCOMES/LUARAN INTERVENSI


PENDUKUNG KEPERAWATAN
DATA Kode:D.0034 Kode: Kode :
Obsevasi:
a.Risiko Setelah dilakukan asuhan -periksa tanda dan
Hipovolemia b.d keperawatan selama 3x24 gejala
Kehilngan cairan jam status cairan klien hivpovolemia
secara aktif d.b membaik kriteria hasil : ( frekuensi nadi
Klien mengatakan 1. Keseimbangan intake meningkat, torgur
mengurangi haus dan output dalam 24 kulit menurun,
dan sering merasa jam. membran mukosa
haus 2. Turgor kulit elastis. kering, haus)
3. Keluhan haus
menurun - monitor intake
4.  membran mukosa dan output cairan.
membaik.
5. TTV stabil. Observasi :
b.Inkontinesia Urin - periksa kembali
Fungsional b.d gangguan berkemih
Ketidakmampuan - monitor polandan
atau Penurunan kemampuan
mengenali tanda- berkemih
tanda berkemih d.b Setelah dilakukan asuhan
Klien sering keperawatan selama 3x24 Teraupetik:
mengompol jam diharapkan inkontinesia -pasang kateter
urine membaik, kritera hasil -siapakan toilet
: yang aman
1.  Ditensi kandung -siapkan perlatan
kemih meninggkat. yang dibutuhkan
2. frekuensi berkemih dekat dan midah
menurun dijangkau( kursi
roda untuk
memudahkan
klien)

Edukasi:
- ajurkan klien
eliminasi normal
dengan beraktivitas
dan olahraga sesuai
kemampuan
c.Gangguan Observasi:
Integritas - monitor tanda-
Kulit/Jaringan b.d tanda infeksi
Kelembaban d.b - berikan salep
tampak kemerahan pada daerah
diarea kemerahan
perical
Edukasi:
-jelaskan tanda dan
gejala infeksi

Setelah dilakukan asuhan


keperawatan selama 3x24
jam diharapkan integritas
kulit dan jaringan
meninggkat, kriteria hasil:
1.  Kerusakan kulit
menurun
2. nyeri menurun
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Inkontinensia urine adalah ketidak mampuan menahan air kencing.
Inkontinensia urin merupakan salah satu manifestasi penyakit yang
sering ditemukan pada pasien geriatri. Diperkirakan prevalensi
inkontinensia urin berkisar antara 15–30% usia lanjut di masyarakat
dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit mengalami
inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat inkontinensia
urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun. Inkontinensia urine bisa
disebabkan oleh karena komplikasi dari penyakit infeksi saluran
kemih, kehilangan kontrol spinkter atau terjadinya perubahan tekanan
abdomen secara tiba-tiba. inkontinensia urine dapat terjadi pada
pasien dari berbagai usia.

B. Saran
Kami selaku mahasiswa berharap dengan pembuatan paper
dalam bentuk makalah ini, dapat memberikan manfaat dalam proses
belaja mengajar. Dan tetap mengharapkan bimbingan lebih dalam lagi
dari para Dosen pembimbing mengenai penyakit “Inkontenensia Urin
BAK”.
DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. (2008). Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi. Jakarta :


Salemba Medika.

B, Pribakti. (2011). Dasar-dasar Uroginekologi.Jakarta : Sagung Seto.

Corwin, Elizabeth, J. (2009). Patofisiologi : Buku Saku. Jakarta : ECG.

Darmojo B. 2009. Geriatri Ilmu Kesehatan Usia Lanjut.Edisi keempat. Jakarta:


Balai Penerbit FKUI.

Doengoes, E Marilynn, 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC

Efendi, Ferry, Makhfudli. (2009).Keperawatan Kesehatan Komunitas : teori dan


Praktik dalam Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

Hidayat, Aziz, A.(2006). Pengantar Kebutuhan Dasar manusia: Aplikasi konsep


dan proses keperawatan.Jakarta : Salemba Medika. 

Maryam, Siti, R, dkk. (2008).Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta :


Salemba Medik

Mass, L, Meridean, dkk. (2001). Asuhan Keperawatan Geriatrik : Diagnosis


NANDA, Kriteria Hasil NIC NOC, dan Intervensi NIC. Jakarta : Buku
Kedokteran EGC.

Nugroho, Wahjudi.2000. Keperawatan Gerontik.Jakarta : EGC

Potter, Patricia A. (2005). Buku ajar fundamental keperawatan: Proses dan


praktik. Ed. 4. Jakarta: EGC

Uliyah, Musfiratul. 2008. Ketrampilan Dasar praktik Klinik. Jakarta : Salemba


Medika
Asmadi. 2008. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC

Anda mungkin juga menyukai