KEPERAWATAN ANAK II
DOSEN PENGAMPU
I WAYAN ROMANTIKA, S.Kep., Ns.,M.Kep
OLEH
KELOMPOK VI
SARINA
(S.0019.P.024)
HIKMAH APRILLAH PULUASE
(S.0019.P.008)
PRODI SI KEPERAWATAN
STIKES KARYA KESEHATAN KENDARI
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga makalah ini dapat
tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih terhadap bantuan
dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun
materinya.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan
dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
(Utaminingsih, 2015)
3. Patofisiologi
Penyebab retardasi mental dapat digolongkan menjadi penyebab pranatal,
perinatal, dan pascanatal. Penyebab prenatal termasuk kelainan kromosom (trisomi
21 [sindrom down], sindrom Fragile-X), gangguan sindrom (distrofi otot
Duchenne, neurofibromatosis [tipe-1] , dan gangguan metabolisme bawaan
(fenilketonuria). Penyebab perinatal dapat berhubungan dengan masalah intrauterus
seperti abrupsio plasenta, diabetes maternal, dan kelahiran prematur serta masalah
neonatal termasuk meningitis dan perdarahan intrakranial. Penyebab pascanatal
mencakup kondisi- kondisi yang terjadi karena cedera kepala, infeksi, dan
gangguan degeneratif dan demielinisasi. Sindrom Fragile X, sindrom down, dan
sindrom alkohol janin terjadi pada sepertiga dari kasus retardasi mental.
Munculnya masalah-masalah terkait, seperti paralisis serebral, defisit sensoris,
gangguan psikiatrik, dan kejang berhubungan dengan retardasi mental yang lebih
berat. Diagnosis retardasi mental ditetapkan secara dini pada masa kanak-kanak.
Prognosis jangka panjang pada akhirnya ditentukan oleh seberapa jauh individu
tersebut dapat berfungsi secara mandiri dalam komunitas (yaitu bekerja, hidup
mandiri, keterampilan sosial) (Betz dan Sowden, 2009).
4. Manisfestasi Retardasi Mental
Menurut Maramis (2005) yang di kutib dari buku Prabowo (2014), Retardasi
mental dalam PPDGJ I diklasifikasikan menjadi 4 tingkatan :
a. Retardasi mental ringan (IQ 52-69: umur mental 8-12 tahun), karakteristik:
1) Usia prasekolah tidak tampak sebagai anak retardasi mental, tetapi
terlambat dalam kemampuan berjalan, bicara, makan sendiri dan lainlain.
2) Usia sekolah dapat melakukan keterampilan membaca dan aritmatik dengan
pendidikan khusus, diarahkan pada kemampuan aktifitas sosial.
3) Usia dewasa melakukan keterampilan sosial dan vokasional, diperbolehkan
menikah tidak dianjurkan memiliki anak, kemampuan psikomotor tidak
berpengaruh kecuali koordinasi.
b. Retardasi mental sedang (IQ 50-55: umur mental 3-7 tahun), karakteristik :
1) Usia prasekolah, kelambatan terlihat pada perkembangan motorik, terutama
bicara, respon saat belajar dan perawatan diri.
2) Usia sekolah dapat mempelajari komunikasi sederhana, dasar kesehatan,
perilaku aman serta keterampilan mulai sederhana, tidak ada kemampuan
membaca dan berhitung.
3) Usia dewasa melakukan aktifitas latihan tertentu, berpartisipasi dalam
rekreasi, dapat melakukan perjalanan sendiri ketempat yang dikenal, tidak
biasa membiayai sendiri.
c. Retardasi mental berat (IQ 20-25 s/d 35-40; umur mental
karakteristik :
1) Usia prasekolah retardasi mencolok fungsi sensorimotor minimal, butuh
perawatan total.
2) Usia sekolah, kelambatan nyata disemua area berkembang, memperlihatkan
respon emosional dasar, keterampilan latihan kaki, tangan dan rahang butuh
pengawasan pribadi, usia mental bayi muda
3) Usia dewasa mungkin biasa berjalan, butuh perawatan total biasanya diikuti
dengan kelainan fisik.
5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan anak dengan retardasi mental bersifat multi dimensional dan
sangat individual. Semua anak yang mengalami retardasi mental juga
memerlukan perawatan seperti pemeriksaan kesehatan yang rutin, imunisasi,
dan monitoring terhadap tumbuh kembangnya (Soetjiningsih, 2012)
a. Pengobatan
Tujuan pengobatan adalah mengembangkan potensi anak semaksimal
mungkin Sedini mungkin diberikan pendidikan dan pelatihan khusus, yang
meliputi pendidikan dan pelatihan kemampuan sosial untuk membantu anak
berfungsi senormal mungkin (Utaminingsih, 2015).