RETARDASI MENTAL
A. Definisi
Retardasi mental merupakan disabilitas kognitif yang muncul pada masa kanak- kanak
(sebelum usia 18 tahun) yang ditandai dengan fungsi intelektual di bawah normal (IQ
sekitar 2 standar deviasi yang dibawah normal, dalam rentang 65 sampai 75 atau kurang)
disertai keterbatasanketerbatasan lain pada sedikitnya dua area fungsi adaptif: berbicara
dan bahasa, keterampilan merawat diri, kerumahtanggaan, keterampilan sosial,
penggunaan sumber- sumber komunitas, pengarahan diri, kesehatan dan keamanan,
akademik fungsional, bersantai dan bekerja (Betz dan Sowden, 2009).
Retardasi mental adalah disabilitas yang menyebabkan keterbatasan signifikan baik
dalam fungsi intelektual maupun dalam perilaku adaptif (keterampilan sosial dan praktis
sehari-hari) sebelum usia 18 tahun (Bernstein dan Shelov, 2017). Retardasi mental juga
dikenal dengan beberapa istilah, yaitu: disabilitas kognitif, disabilitas intelektual,
disabilitas belajar (Betz dan Sowden, 2009), gangguan mental, abuse (misal, moron,
idiot, kretin, mongol) (Hull dan Johnston, 2008), tunagrahita (Iswari dan Nurhastati,
2010), keterbelakangan mental (Utaminingsih, 2015), gangguan intelektual (Bernstein
dan Shelov, 2017).
B. Etiologi
Tingkat kecerdasan ditentukan oleh faktor keturunan dan lingkungan. Pada sebagian
besar kasus retardasi mental, penyebabnya tidak diketahui, hanya saja 25% kasus yang
memiliki penyebab spesifik. Penyebab retardasi mental dibagi menjadi beberapa
kelompok:
a. Trauma (sebelum dan sesudah lahir)
1) Perdarahan intrakranial sebelum atau sesudah lahir
2) Cedera hipoksia (kekurangan oksigen), sebelum, selama atau sesudah lahir
3) Cedera kepala yang berat
b. Infeksi (bawaan dan sesudah lahir)
1) Rubella kongenitalis
2) Meningitis
3) Infeksi sitomegalovirus bawaan
4) Ensefalitis
5) Toksoplasmosis kongenitalis
6) Listeriosis
7) Infeksi HIV.
c. Kelainan kromosom
1) Kesalahan pada jumlah kromosom (Sindrom Down)
2) Defek pada kromosom (sindroma X yang rapuh, sindrom Angelman, sindrom
Prader-Willi)
3) Translokasi kromosom dan sindrom cri du chat
d. Kelainan genetik dan kelainan metabolik yang diturunkan
1) Galaktosemia
2) Penyakit Tay-Sachs
3) Fenilketonuria
4) Sindroma Hunter
5) Sindroma Hurler
6) Sindroma Sanfilippo
7) Leukodistrofi metakromatik
8) Adrenoleukodistrofi
9) Sindroma Lesch-Nyhan
10) Sindroma Rett
11) Sklerosis tuberosa
e. Metabolik
1) Sindroma Reye
2) Dehidrasi hipernatremik
3) Hipotiroid Kongenital
4) Hipoglikemia (diabetes mellitus yang tidak terkontrol dengan baik)
f. Keracunan
1) Pemakaian Alkohol, kokain, amfetamin dan obat lainnya pada ibu hamil
2) Keracunan metilmerkuri
3) Keracunan timah hitam
g. Gizi
1) Kwashiokor
2) Marasmus
3) Malnutrisi
h. Lingkungan
1) Kemiskinan
2) Status ekonomi rendah
3) Sindroma deprivasi (Utaminingsih, 2015)
F. Patofisologi
Penyebab retardasi mental dapat digolongkan menjadi penyebab pranatal, perinatal,
dan pascanatal. Penyebab prenatal termasuk kelainan kromosom (trisomi 21 [sindrom
down], sindrom Fragile-X), gangguan sindrom (distrofi otot Duchenne,
neurofibromatosis [tipe-1] , dan gangguan metabolisme bawaan (fenilketonuria).
Penyebab perinatal dapat berhubungan dengan masalah intrauterus seperti abrupsio
plasenta, diabetes maternal, dan kelahiran prematur serta masalah neonatal termasuk
meningitis dan perdarahan intrakranial. Penyebab pascanatal mencakup kondisi-
kondisi yang terjadi karena cedera kepala, infeksi, dan gangguan degeneratif dan
demielinisasi. Sindrom Fragile X, sindrom down, dan sindrom alkohol janin terjadi
pada sepertiga dari kasus retardasi mental. Munculnya masalah-masalah terkait, seperti
paralisis serebral, defisit sensoris, gangguan psikiatrik, dan kejang berhubungan dengan
retardasi mental yang lebih berat. Diagnosis retardasi mental ditetapkan secara dini
pada masa kanak-kanak. Prognosis jangka panjang pada akhirnya ditentukan oleh
seberapa jauh individu tersebut dapat berfungsi secara mandiri dalam komunitas (yaitu
bekerja, hidup mandiri, keterampilan sosial) (Betz dan Sowden, 2009).
G. Komplikasi
a. Paralisis serebral
b. Gangguan kejang
c. Masalah- masalah perilaku/psikiatrik
d. Defisit komunikasi
e. Konstipasi (akibat penurunan motilitas usus akibat obat- obatan antikonvulsi, kurang
mengosumsi makanan berserat dan cairan)
f. Kelainan kongenital yang berkaitan seperti malformasi esophagus, obstruksi usus
halus dan defek jantung g. Disfungsi tiroid
h. Gangguan sensoris
i. Masalah- msalah ortopedik, seperti deformitas kaki, scoliosis
j. Kesulitan makan (Betz dan Sowden, 2009).
H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan anak dengan retardasi mental bersifat multi dimensional dan sangat
individual. Semua anak yang mengalami retardasi mental juga memerlukan perawatan
seperti pemeriksaan kesehatan yang rutin, imunisasi, dan monitoring terhadap tumbuh
kembangnya (Soetjiningsih, 2012).
a. Pengobatan Tujuan pengobatan adalah mengembangkan potensi anak semaksimal
mungkin Sedini mungkin diberikan pendidikan dan pelatihan khusus, yang meliputi
pendidikan dan pelatihan kemampuan sosial untuk membantu anak berfungsi
senormal mungkin (Utaminingsih, 2015).
Berikut ini adalah obat- obatan yang dapat digunakan:
1) Obat- obat psikotropika (misalnya: tioridazin, [Mellaril] , haloperidol [Haldol]
untuk remaja dengan perilaku yang membahayakan diri sendiri.
2) Psikostimulan untuk remaja yang menunjukkan tanda-tanda defisit perhatian/
hiperaktivitas( misalnya: metilfenidat [Ritalin])
3) Antidepresan (misalnya: fluoksetin [Prozac])
4) Obat untuk perilaku agresif (misalnya: karbamazepin [Tegretol])
b. Terapi Bermain Anak yang mengalami kerusakan kognitif mempunyai kebutuhan
yang sama terhadap rekreasi dan olahraga seperti anak lainnya. Namun, karena
perkembangan anak yang lebih lambat, orang tua kurang menyadari kebutuhan
untuk memenuhi aktivitas tersebut. Dengan demikian, perawat mengarahkan orang
tua untuk memilih permainan dan aktivitas olahraga yang sesuai.
Jenis permainan didasarkan pada usia perkembangan anak, walaupun kebutuhan
terhadap permainan sensorimotorik dapat diperpanjang sampai beberapa tahun.
Orang tua harus menggunakan setiap kesempatan untuk memperkenalkan anak
kepada banyak suara, pandangan, dan sensasi yang berbeda. Permainan yang sesuai
meliputi suara musik yang bergerak, mainan yang diisi, bermain air,
menghanyutkan mainan, kursi atau kuda yang dapat bergoyang, bermain ayunan,
bermain lonceng, dan bermain mobil-mobilan. Anak harus dibawa bermain keluar,
misalnya jalan-jalan ke toko makanan atau pusat pembelanjaan; orang lain harus
diberi semangat umtuk berkunjung kerumah; dan anak seharusnya berhubungan
langsung, misalnya mendekap, memeluk, mengayun, berbicara kepada anakdalam
posisi menatap wajah (wajah-ke-wajah), dan menaikkan anak diatas bahu orangtua.
Mainan dipilih berdasarkan manfaat rekreasi dan edukasionalnya. Sebagai contoh,
sebuah bola pantai besar yang dapat dikempeskan merupakan mainan air yang
baik;yang mendorong permainan interaktif dan dapat digunakan untuk mempelajari
keterampilan motoric, misalnya keseimbangan, mengayun, menendan, dan
melempar. Boneka dengan pakaian yang dapat diganti dan jenis kancing yang
berbeda dapat membantu anak mempelajari keterampilan berpakaian.
Mainan musical yang dapat meniru suara hewan atau merespon dengan frase sosial
merupakan cara yang sempurna untuk mendorong bicara. Mainan harus dirancang
secara sederhana sehingga anak dapat belajar memainkan mainan tersebut tanpa
bantuan. Bagi anak yang mengalami gangguan kognitif dan fisik berat, tombol
elektronik dapt digunakan untuk memungkinkan anak mengoperasikan mainan
tersebut. Aktivitas yang sesuai untuk aktivitas fisik berdasarkan pada ukuran tubuh,
koordinasi, kesegaran jasmani dan maturitas, motivasi, dan kesehatan anak (Wong,
2009).
A. Pengertian
Bermain merupakan suatu aktivitas bagi anak yang menyenangkan dan merupakan suatu
metode bagaimana mereka mengenal dunia. Bagi anak bermain tidak sekedar mengisi
waktu, tetapi merupakan kebutuhan anak seperti halnya makanan, perawatan, cinta kasih
dan lain-lain. Anak-anak memerlukan berbagai variasi permainan untuk kesehatan fisik,
mental dan perkembangan emosinya. Puzzle merupakan salah satu alat permainan
edukatif yang merangsang fungsi kognitif dan melatih keterampilan anak. Anak usia
prasekolah berada dalam tahap bermain dengan karakteristik bermain keterampilan dan
asosiatik play.
B. Tujuan
Setelah mendapatkan terapi bermain selama 40 menit, anak diharapkan dapat
mengembangkan aktivitas dan kreativitas melalui pengalaman bermain dan beradaptasi
efektif terhadap stres karena penyakit dan dirawat di rumah sakit.
Setelah mendapatkan terapi bermain selama 40 menit, diharapkan anak mampu :
- Dapat berinteraksi dengan sesama pasien dan perawat;
- Dapat mengembangkan imajinasinya;
- Dapat mengembangkan kemampuan motorik halusnya;
- Dapat meningkatkan kreativitasnya;
- Mengungkapkan kegembiraan atas rasa senang;
- Terlihat lebih rileks; dan
- Kooperatif terhadap perawatan dan pengobatan.
C. Perencanaan
1. Jenis Program Bermain
Jenis permainan yang akan dilakukan adalah menyusun puzzle.
2. Karakteristik Bermain
a. Tidak banyak mengeluarkan energi, singkat, dan sederhana.
b. Mempertimbangkan keamanan.
c. Kelompok umur pasien sama.
d. Melibatkan orang tua.
3. Karakteristik Peserta
a. Usia 3-7 tahun yang dirawat di Ruang Anggrek BRSU Tabanan.
b. Jumlah peserta : 5-10 anak dan didampingi orang tua.
c. Keadaan umum anak mulai membaik.
d. Pasien (anak) yang telah dapat melakukan mobilisasi fisik dan tanpa kontraindikasi
untuk melakukan kegiatan sehari-hari secara mandiri.
e. Peserta kooperatif.
4. Metode : Demonstrasi
5. Alat-alat yang digunakan (Media)
a. Puzzle
b. Jam/ Timer
c. Lembar observasi
D. TATA LETAK
Keterangan :
: Pasien
: Leader
: Fasilitator/ Orang tua
: Observer
E. STRATEGI PELAKSANAAN
1. Persiapan : 10 Menit
a. Menyiapkan ruangan
b. Menyiapkan alat
c. Menyiapkan peserta
2. Pembukaan : 5 Menit
a. Perkenalan petugas dengan anak dan keluarga.
b. Anak yang akan bermain saling berkenalan
c. Menjelaskan maksud dan tujuan.
3. Kegiatan : 20 Menit
a. Anak diminta untuk memilih gambar puzzle yang ingin disusun yang sudah
tersedia.
b. Anak dianjurkan untuk menyusun puzzle yang tersedia.
4. Penutup : 5 menit
a. Memberikan penghargaan pada anak atas hasil karyanya.
b. Merapikan alat dan tempat bermain.
F. EVALUASI
1. Anak dapat berinteraksi dengan sesama pasien dan perawat;
2. Anak dapat mengembangkan imajinasinya;
3. Anak dapat mengembangkan kemampuan motorik halusnya;
4. Anak dapat meningkatkan kreativitasnya;
5. Anak mengungkapkan kegembiraan atas rasa senang;
6. Anak terlihat lebih rileks;
7. Anak kooperatif terhadap perawatan dan pengobatan.
G. Hasil Penelitian Terkait :
Dwi Wundari, dkk (2018) dalam penelitiannya tentang penggaruh permainan puzzle
terhadap kemampuan beradaptasi sosial siswa retradasi mental Penelitian ini
menggunakan desain penelitian pre exsperimental design dengan bentuk rancangan one
group pretest-postest, dengan hasil penelitian Berdasarkan hasil penelitian dan beberapa
teori yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa permainan puzzle dapat
meningkatkan adaptasi sosial anak dimana dengan permainan puzzle secara kelopok anak
akan belajar berkomunikasi dengan baik dengan temannya dalam memecahkan teka-teki
dalam permainan puzzle selain itu juga dengan permainan puzzle ini anak dituntut untuk
berfikir lebih aktif sehingga dapat memancing respon dan daya fikir anak, dengan
terjalinnya komunikasi yang baik dari anak satu dan lainya akan meningkatkan hubungan
sosial anak yang baik dengan teman satu kelompoknya.
Berdasarkan hasil penelitian mengenai pengaruh antara bermain puzzle terhadap
kemampuan beradaptasi sosial pada siswa retardasi mental di SDLB Dharma Wanita
Kota Bengkulu dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Rata-rata anak yang mengalami
retardasi mental sebelum dilakukan permainan puzzle mempunyai adaptasi sosial yang
kurang baik dan rata-rata anak yang mengalami retardasi mental sesudah dilakukan
permainan puzzle mempunyai adaptasi sosial yang cukup baik. Ada pengaruh antara
bermain puzzle terhadap kemampuan beradaptasi sosial pada siswa retardasi mental di
SDLB Dharma Wanita Kota Bengkulu.
Referensi:
Soetjiningsih. 1988. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta:EGC
Markum.A.H. 1991. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta:FKUI
Behrman. (2000). Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol. I. Jakarta: EGC
Depkes RI. (2014). Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Sekolah Luar Biasa (SLB) Bagi
Petugas Kesehatan. Departemen Kesehatan RI: Jakarta
Fauziddin, M. (2014). Pembelajaran PAUD Bermain, Cerita dan Menyanyi Secara Islami.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Gerungan. (2009). Psikologi Sosial. PT Refika Asitama: Bandung
Gunarsa. (2004). Bunga Rampai Psikologi Perkembangan. dari Anak sampai Usia Lanjut.
Jakarta: SBPK Gunung Mulia
Gunawan. (2010). Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta