Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK

RETARDASI MENTAL

A. Definisi
Retardasi mental merupakan disabilitas kognitif yang muncul pada masa kanak- kanak
(sebelum usia 18 tahun) yang ditandai dengan fungsi intelektual di bawah normal (IQ
sekitar 2 standar deviasi yang dibawah normal, dalam rentang 65 sampai 75 atau kurang)
disertai keterbatasanketerbatasan lain pada sedikitnya dua area fungsi adaptif: berbicara
dan bahasa, keterampilan merawat diri, kerumahtanggaan, keterampilan sosial,
penggunaan sumber- sumber komunitas, pengarahan diri, kesehatan dan keamanan,
akademik fungsional, bersantai dan bekerja (Betz dan Sowden, 2009).
Retardasi mental adalah disabilitas yang menyebabkan keterbatasan signifikan baik
dalam fungsi intelektual maupun dalam perilaku adaptif (keterampilan sosial dan praktis
sehari-hari) sebelum usia 18 tahun (Bernstein dan Shelov, 2017). Retardasi mental juga
dikenal dengan beberapa istilah, yaitu: disabilitas kognitif, disabilitas intelektual,
disabilitas belajar (Betz dan Sowden, 2009), gangguan mental, abuse (misal, moron,
idiot, kretin, mongol) (Hull dan Johnston, 2008), tunagrahita (Iswari dan Nurhastati,
2010), keterbelakangan mental (Utaminingsih, 2015), gangguan intelektual (Bernstein
dan Shelov, 2017).

B. Etiologi
Tingkat kecerdasan ditentukan oleh faktor keturunan dan lingkungan. Pada sebagian
besar kasus retardasi mental, penyebabnya tidak diketahui, hanya saja 25% kasus yang
memiliki penyebab spesifik. Penyebab retardasi mental dibagi menjadi beberapa
kelompok:
a. Trauma (sebelum dan sesudah lahir)
1) Perdarahan intrakranial sebelum atau sesudah lahir
2) Cedera hipoksia (kekurangan oksigen), sebelum, selama atau sesudah lahir
3) Cedera kepala yang berat
b. Infeksi (bawaan dan sesudah lahir)
1) Rubella kongenitalis
2) Meningitis
3) Infeksi sitomegalovirus bawaan
4) Ensefalitis
5) Toksoplasmosis kongenitalis
6) Listeriosis
7) Infeksi HIV.
c. Kelainan kromosom
1) Kesalahan pada jumlah kromosom (Sindrom Down)
2) Defek pada kromosom (sindroma X yang rapuh, sindrom Angelman, sindrom
Prader-Willi)
3) Translokasi kromosom dan sindrom cri du chat
d. Kelainan genetik dan kelainan metabolik yang diturunkan
1) Galaktosemia
2) Penyakit Tay-Sachs
3) Fenilketonuria
4) Sindroma Hunter
5) Sindroma Hurler
6) Sindroma Sanfilippo
7) Leukodistrofi metakromatik
8) Adrenoleukodistrofi
9) Sindroma Lesch-Nyhan
10) Sindroma Rett
11) Sklerosis tuberosa
e. Metabolik
1) Sindroma Reye
2) Dehidrasi hipernatremik
3) Hipotiroid Kongenital
4) Hipoglikemia (diabetes mellitus yang tidak terkontrol dengan baik)
f. Keracunan
1) Pemakaian Alkohol, kokain, amfetamin dan obat lainnya pada ibu hamil
2) Keracunan metilmerkuri
3) Keracunan timah hitam
g. Gizi
1) Kwashiokor
2) Marasmus
3) Malnutrisi
h. Lingkungan
1) Kemiskinan
2) Status ekonomi rendah
3) Sindroma deprivasi (Utaminingsih, 2015)

E. Tanda dan Gejala


Menurut Yusuf (2015) gejala anak retardasi mental, antara lain sebagai berikut :
a. Lamban dalam mempelajari hal baru, mempunyai kesulitan dalam mempelajari
pengetahuan abstrak atau yang berkaitan, dan selalu cepat lupa apa yang dia pelajari
tanpa latihan yang terus-menerus.
b. Kesulitan dalam menggeneralisasi dan mempelajari hal-hal yang baru.
c. Kemampuan bicaranya sangat kurang bagi anak RM berat
d. Cacat fisik dan perkembangan gerak. Kebanyakan anak dengan retardasi mental
berat mempunyai keterbatasan dalam gerak fisik, ada yang tidak dapat berjalan, tidak
dapat berdiri, atau bangun tanpa bantuan. Mereka lambat dalam mengerjakan tugas-
tugas yang sangat sederhana, sulit menjangkau sesuatu, dan mendongakkan kepala.
e. Kurang dalam kemampuan menolong diri sendiri. Sebagian dari anak retardasi
mental berat sangat sulit untuk mengurus diri sendiri, seperti berpakaian, makan, dan
mengurus kebersihan diri. Mereka selalu memerlukan latihan khusus untuk
mempelajari kemampuan dasar.
f. Tingkah laku dan interaksi yang tidak lazim. Anak retardasi mental ringan dapat
bermain bersama dengan anak reguler, tetapi anak yang mempunyai retardasi mental
berat tidak melakukan hal tersebut. Hal itu mungkin disebabkan kesulitan bagi anak
retardasi mental dalam memberikan perhatian terhadap lawan main.
g. Tingkah laku kurang wajar yang terus-menerus. Banyak anak retardasi mental berat
bertingkah laku tanpa tujuan yang jelas. Kegiatan mereka seperti ritual, misalnya
memutar-mutar jari di depan wajahnya dan melakukan halhal yang membahayakan diri
sendiri, misalnya menggigit diri sendiri, membentur-beturkan kepala, dan lain-lain.

F. Patofisologi
Penyebab retardasi mental dapat digolongkan menjadi penyebab pranatal, perinatal,
dan pascanatal. Penyebab prenatal termasuk kelainan kromosom (trisomi 21 [sindrom
down], sindrom Fragile-X), gangguan sindrom (distrofi otot Duchenne,
neurofibromatosis [tipe-1] , dan gangguan metabolisme bawaan (fenilketonuria).
Penyebab perinatal dapat berhubungan dengan masalah intrauterus seperti abrupsio
plasenta, diabetes maternal, dan kelahiran prematur serta masalah neonatal termasuk
meningitis dan perdarahan intrakranial. Penyebab pascanatal mencakup kondisi-
kondisi yang terjadi karena cedera kepala, infeksi, dan gangguan degeneratif dan
demielinisasi. Sindrom Fragile X, sindrom down, dan sindrom alkohol janin terjadi
pada sepertiga dari kasus retardasi mental. Munculnya masalah-masalah terkait, seperti
paralisis serebral, defisit sensoris, gangguan psikiatrik, dan kejang berhubungan dengan
retardasi mental yang lebih berat. Diagnosis retardasi mental ditetapkan secara dini
pada masa kanak-kanak. Prognosis jangka panjang pada akhirnya ditentukan oleh
seberapa jauh individu tersebut dapat berfungsi secara mandiri dalam komunitas (yaitu
bekerja, hidup mandiri, keterampilan sosial) (Betz dan Sowden, 2009).
G. Komplikasi
a. Paralisis serebral
b. Gangguan kejang
c. Masalah- masalah perilaku/psikiatrik
d. Defisit komunikasi
e. Konstipasi (akibat penurunan motilitas usus akibat obat- obatan antikonvulsi, kurang
mengosumsi makanan berserat dan cairan)
f. Kelainan kongenital yang berkaitan seperti malformasi esophagus, obstruksi usus
halus dan defek jantung g. Disfungsi tiroid
h. Gangguan sensoris
i. Masalah- msalah ortopedik, seperti deformitas kaki, scoliosis
j. Kesulitan makan (Betz dan Sowden, 2009).
H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan anak dengan retardasi mental bersifat multi dimensional dan sangat
individual. Semua anak yang mengalami retardasi mental juga memerlukan perawatan
seperti pemeriksaan kesehatan yang rutin, imunisasi, dan monitoring terhadap tumbuh
kembangnya (Soetjiningsih, 2012).
a. Pengobatan Tujuan pengobatan adalah mengembangkan potensi anak semaksimal
mungkin Sedini mungkin diberikan pendidikan dan pelatihan khusus, yang meliputi
pendidikan dan pelatihan kemampuan sosial untuk membantu anak berfungsi
senormal mungkin (Utaminingsih, 2015).
Berikut ini adalah obat- obatan yang dapat digunakan:
1) Obat- obat psikotropika (misalnya: tioridazin, [Mellaril] , haloperidol [Haldol]
untuk remaja dengan perilaku yang membahayakan diri sendiri.
2) Psikostimulan untuk remaja yang menunjukkan tanda-tanda defisit perhatian/
hiperaktivitas( misalnya: metilfenidat [Ritalin])
3) Antidepresan (misalnya: fluoksetin [Prozac])
4) Obat untuk perilaku agresif (misalnya: karbamazepin [Tegretol])
b. Terapi Bermain Anak yang mengalami kerusakan kognitif mempunyai kebutuhan
yang sama terhadap rekreasi dan olahraga seperti anak lainnya. Namun, karena
perkembangan anak yang lebih lambat, orang tua kurang menyadari kebutuhan
untuk memenuhi aktivitas tersebut. Dengan demikian, perawat mengarahkan orang
tua untuk memilih permainan dan aktivitas olahraga yang sesuai.
Jenis permainan didasarkan pada usia perkembangan anak, walaupun kebutuhan
terhadap permainan sensorimotorik dapat diperpanjang sampai beberapa tahun.
Orang tua harus menggunakan setiap kesempatan untuk memperkenalkan anak
kepada banyak suara, pandangan, dan sensasi yang berbeda. Permainan yang sesuai
meliputi suara musik yang bergerak, mainan yang diisi, bermain air,
menghanyutkan mainan, kursi atau kuda yang dapat bergoyang, bermain ayunan,
bermain lonceng, dan bermain mobil-mobilan. Anak harus dibawa bermain keluar,
misalnya jalan-jalan ke toko makanan atau pusat pembelanjaan; orang lain harus
diberi semangat umtuk berkunjung kerumah; dan anak seharusnya berhubungan
langsung, misalnya mendekap, memeluk, mengayun, berbicara kepada anakdalam
posisi menatap wajah (wajah-ke-wajah), dan menaikkan anak diatas bahu orangtua.
Mainan dipilih berdasarkan manfaat rekreasi dan edukasionalnya. Sebagai contoh,
sebuah bola pantai besar yang dapat dikempeskan merupakan mainan air yang
baik;yang mendorong permainan interaktif dan dapat digunakan untuk mempelajari
keterampilan motoric, misalnya keseimbangan, mengayun, menendan, dan
melempar. Boneka dengan pakaian yang dapat diganti dan jenis kancing yang
berbeda dapat membantu anak mempelajari keterampilan berpakaian.
Mainan musical yang dapat meniru suara hewan atau merespon dengan frase sosial
merupakan cara yang sempurna untuk mendorong bicara. Mainan harus dirancang
secara sederhana sehingga anak dapat belajar memainkan mainan tersebut tanpa
bantuan. Bagi anak yang mengalami gangguan kognitif dan fisik berat, tombol
elektronik dapt digunakan untuk memungkinkan anak mengoperasikan mainan
tersebut. Aktivitas yang sesuai untuk aktivitas fisik berdasarkan pada ukuran tubuh,
koordinasi, kesegaran jasmani dan maturitas, motivasi, dan kesehatan anak (Wong,
2009).

C. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian Pengkajian keperawatan anak dengan masalah tumbuh kembang dapat
menggunakan indikator berikut :
a. Ditemukan adanya ketidakmampuan atau kesulitan melakukan tugas
perkembangan sesuai dengan kelompok usia dalam tahap pencapaian tumbuh
kembang.
b. Adanya perubahan pertumbuhan fisik (berat/ tinggi badan) yang tidak sesuai
dengan standar pencapaian tumbuh kembang.
c. Adanya perubahan perkembangan saraf yang tidak sesuai dengan tahapan
perkembangan, seperti gangguan motorik, bahasa, dan adaptasi sosial.
d. Adanya perubahan perkembangan perilaku, seperti hiperaktif, gangguan belajar
dan lain lain.
e. Adanya ketidakmauan atau ketidakmampuan melakukan perawatan diri atau
kontrol diri dalam beraktivitas sesuai dengan usianya.
Proses pengkajian bersifat komprehensif dalam lingkup yang berbasis dimensi
kebutuhan biofisik, psikososial, perilaku, dan pendidikan. Pengkajian terdiri dari
atas evaluasi komprehensif mengenai defisit dan kekuatan yang berhubungan
dengan keterampilan adaptif: komunikasi, perawatan diri, interaksi sosial,
penggunaan sumber- sumber di komunitas, pengarahan diri, pemeliharaan
kesehatan dan keamanan, akademik fungsional, pembentukan keterampilan
bersantai dan rekreasional, dan bekerja. Pengkajian mempertimbangkan pengaruh
latar belakang kultural dan bahasa, perhatian, dan kesukaan anak. Pengkajian fisik
meliputi pengukuran pertumbuhan (tinggi badan dan berat badan yang
diidentifikasi pada grafik pertumbuhan) dan evaluasi infeksi saat ini, status
masalah- msalah kongenital saat ini, fungsi tiroid, perawatan gigi, ketajaman
pendengaran dan penglihatan, masalahmasalah nutrisi dan makan, dan masalah
ortopedik. Pengkajian fisik juga meliputi pemantauan kondisi sekunder yang
berkaitan dengan diagnosis spesifik, seperti memantau hipotiroidisme dan depresi
pada orang yang mengalami sindrom down.
1. Pengkajian Anak
a. Identitas Nama : Identitas Umur : Umur untuk mengetahui dasar
perkembangan anak.
b. Jenis kelamin
c. Anak ke Jumlah anak yang banyak dalam keluarga dengan keadaan sosial
ekonomi cukup, akan mengakibatkan kurangnya perhatian dan kasih
sayang yang diterima. Belum ditambah lagi bila jarak kelahiran antara
anak yang satu dengan anak yang lain teralu dekat
d. Agama Pengajaran agama harus sudah ditanamkan pada anak- anak sedini
mungkin, karena dengan memahami agama akan menuntun umatnya
untuk berbuat kebaikan dan kebajikan.
e. Penanggung jawab
1) Nama orang tua sebagai penanggung jawab.
2) Pendidikan Ayah/Ibu
Pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam tumbuh kembang
anak karena dengan pendidikan yang lebih baik, maka orangtua dapat
menerima informasi tentang kesehatan anaknya
2. Pendapatan Keluarga Pendapatan keluarga yang memadai, dapat menunjang
tumbuh kembang anak karena orangtua dapat menyediakan segala kebutuhan
anak.
3. Alamat Adanya alamat tempat tinggal akan memudahkan jika sewaktu-waktu
dibutuhkan untuk berbagai kepentingan. Maka dari itu, oangtua sebaiknya
mulai mengenalkan alamat tempat tingal mereka kepada anak
f. Riwayat Kesehatan Anak Masa Lalu Riwayat kesehatan anak masa lalu,
berhubungan erat dengan riwayat kesehatan ibu pada masa sebelum
terjadinya kehamilan maupun saat hamil. Dikarenakan, gizi ibu hamil
sebelum terjadinya kehamilan maupun sedang hamil
g. Riwayat Parental (Riwayat Kesehatan Ibu) Riwayat Kesehatan Ibu
berhubungan erat dengan terpenuhi atau tidaknya gizi ibu hamil sebelum
terjadinya kehamilan maupun sedang hamil. Menghambat pertumbuhan
otak janin, anemia pada bayi baru lahir, BBLR mudah terkena infeksi,
abortus, dan lain-lain.
h. Riwayat Kelahiran Bayi baru lahir harus bisa melewati masalah transisi,
dari suhu sistem yang teratur yang sebagian besar tergantung pada organ-
organ ibunya, ke suatu sistem yang tergantung pada kemampuan genetik
dan mekanisme homeostatik bayi itu sendiri. Masa prenatal yaitu masa
antara 28 minggu dalam kandungan sampai 7 hari setelah dilahirkan,
merupakan masa awal dalam proses tumbuh kembang anak, khususnya
tumbuh kembang otak. Trauma kepala akibat persalinan akan berpengaruh
besar dan dapat meninggalkan cacat yang permanen.
i. Riwayat Kesehatan Keluarga Dalam keluarga bila ada yang menderita
sakit menular dapat menularkan pada bayinya. Juga faktor genetik
merupakan modal dasar mencapai hasil akhir proses tumbuh kembang
j. Riwayat Tumbuh Kembang Dengan mengetahui ilmu tumbuh kembang,
dapat mendeteksi berbagai hal yang berhubungan dengan segala upaya
untuk menjaga dan mengoptimalkan tumbuh kembang anak baik fisik,
mental, dan sosial, juga menegakkan diagnosis dini setiap kelainan
tumbuh kembang dan kemungkinan penanganan yang efektif serta
mencegah dan mencari penyebabnya
k. Riwayat Imunisasi Dengan pemberian imunisasi diharapkan anak
terhindar dari penyakitpenyakit tertentu yang bisa menyebabkan kecacatan
dan kematian. Dianjurkan anak sebelum umur 1 tahun sudah mendapat
imunisasi lengkap.
l. Pola Kebiasaan Sehari-Hari
1) Nutrisi/Gizi Pemberian nutrisi pada anak harus cukup baik dari segi
kuantitas maupun kualitasnya seperti: protein, lemak, karbohidrat dan
mineral serta vitamin
2) Eliminasi BAB/BAK Anak umur 1,5-2 tahun berhenti mengompol pada
siang hari. Usia 2,5- 3 tahun berhenti mengompol pada malam hari. Anak
perempuan lebih dulu berhenti mengompol dicari penyebabnya. Toilet
training (latihan defekasi perlu dimulai, supaya evakuasi sisa makanan
dilakukan secara teratur, sehingga mempermudah kelancaran pemberian
makanan)
3) Istirahat dan tidur Anak yang sudah mulai besar akan berkurang waktu
istirahatnya. Karena kegiatan fisiknya mulai meningkat, seperti bermain.
Namun, kebutuhan tidur anak sebaiknya tetap dipenuhi antara 2 hingga 3
jam tidur siang dan 7 hingga 8 jam pada saat malam hari
4) Olahraga dan Rekreasi Olahraga akan meningkatkan sirkulasi, aktivitas
fisiologi dan mulai perkembangan otot-otot
5) Personal Hygiene Personal Hygiene menyangkut cara anak
membersihkan diri. Upaya ini dapat dilakukan anak dengan mandi 2x
sehari, keramas 3x seminggu, potong kuku 1 kali seminggu,
membersihkan mulut dan gigi
6) Tanda-tanda vital Tanda vital meliputi suhu, tekanan darah, nadi, dan
respirasi.
2. Diagnosa
yang mungkin muncul Masalah keperawatan yang mungkin muncul pada
anak dengan retardasi mental menurut Standar Diagnosis Keperawatan
Indonesia (SDKI) , adalah sebagai berikut:
1. Gangguan tumbuh kembang b.d efek ketidak mampuan fisik
2. Gangguan interaksi social b.d hambatan perkembangan/maturasi.
3. Resiko cidera dibuktikan dengan :
- Perubahan orientasi afektif
- Kegagalan mekanisme pertahanan tubuh
- Perubah funsi kognitif.
INTERVENSI KEPERAWATAN

No SDKI SLKI SIKI


1. ( D.0106) Setelah dilakukan asuhan Perawatan perkembangan ( I.10339)
Gangguan tumbuh kembang b.d efek keperawatan diharapkan status Observasi
ketidak mampuan fisik. perkembangan pasien membaik, - Identifikasi pencapaian tugas perkembangan
Di buktikan dengan : dengan kriteria hasil : anak
 Tidak mampu melakukan  Keterampilan perilaku Terapeutik
keterampilan atau prilaku cukup meningkat(4) - Berikan sentuhan yang bersifat gentle dan
khas sesuai usia  Kemapuan melakukan tidak ragu-ragu
 Pertumbuhan fisik terganggu perawatan diri cukup - Pertahankan lingkungan yang
 Respon social lambat meningkat (4) mendukung perkembangan optimal
 Kontak mata terbatas  Respon social cukup - Motivasi anak berinteraksi dengan orang
 Mudah marah meningkat(4) lain
 Kontak mata cukup - Sediakan aktifitas yang memotifasi
meningkat (4) anakberinteraksi dengan anak lainnya
 Kemarahan cukup - Dukung anak mengespresikan diri
menurun(4) dengan penghargaan posif atau umpan balik
atas usahanya
- Fasilitasi anak melatih keterampilan
pemenuhan kebutuhan secara mandiri(mia,
makan,sikat gigi,cuci tangan, memakai baju)
Edukasi
- Jelaskan orangtua tentang nilai stone
perkembangan anak dan perilaku anak
- Ajarkan orang tua berinteraksi dengan
anaknya
Kolaborasi
- rujuk untuk konseling jika perlu

2. (D.0118) Setelah dilakukan asuhan Modifikasi perilaku kerampilan social


Gangguan interaksi social b.d keperawatan diharapkan ( I.13484)
hambatan perkembangan/maturasi. interaksi social meningkat, Observasi
Dibuktikan dengan : dengan kriteria hasil : - Identifikasi focus pelatiahan keterampilan
 Merasa tidak nyaman dengan  Persaan nyaman dengan social
situasi social situasi social meningkat Terapeutik
 Kurang respon atau tertarik  Respon pada orang lain - Motivasi untuk berlatih keterampilan
pada orang lain meningkat social
 Kontak mata kurang  Kontak mata meningkat - Beri umpan balik posif( Pujian/
 Ekspresi wajah tidak responsif  Ekspresi wajah penghargaan) terhadap kemampuan sosialisasi
 Tidak kopratif dalam bermain responsive meningkat - Libatkan keluarga selama latihan
dan berteman dengan sebaya  Kopratif dalam bermain keterampilan social
dengan teman sebaya
meningkat. Edukasi
- Jelaskan tujuan melatih keterampilan
social
- Anjurkan mengungkapkan perasaan akibat
masalah yang di alami
- Edukasi keluarga untuk dukungan
keterampilan social
- Latih keterampilan secara bertahap

3. (D.0136) Setelah dilakukan asuhan Pencegahan Cidera ( I.14537)


Resiko cidera ditandai dengan : keperawatan diharapkan tingkat Observasi
 Perubahan orientasi afektif cidera menurun - Identifikasi area lingkungan yang berpotensi
 Kegagalan mekanisme dengan kriteria hasil : menyebabkan cidera
pertumbuhan tubuh  Kejadian cedera Terapeutik
 Mal nutrsi menurun - Sosialisasi pasien dan keluarga dengan
 Perubahan fungsi kongnitif  Gangguan kognitif lingkungan ruang rawat ( mis, tempat
menurun tidur,penerangan ruangan dan lokasi kamar
mandi)
- Pastika barang-barang pribadi mudah di
jangkau
- Diskusikan mengenai latihan dan terapi
fisik yang diperlukan
- Diskusikan bersama anggota keluarga
yang dpat mendampingi pasien.
KAJIAN LITERATUR DAN SATUAN ACARA PENYULUHAN

TERAPI BERMAIN PUZZLE

A. Pengertian
Bermain merupakan suatu aktivitas bagi anak yang menyenangkan dan merupakan suatu
metode bagaimana mereka mengenal dunia. Bagi anak bermain tidak sekedar mengisi
waktu, tetapi merupakan kebutuhan anak seperti halnya makanan, perawatan, cinta kasih
dan lain-lain. Anak-anak memerlukan berbagai variasi permainan untuk kesehatan fisik,
mental dan perkembangan emosinya. Puzzle merupakan salah satu alat permainan
edukatif yang merangsang fungsi kognitif dan melatih keterampilan anak. Anak usia
prasekolah berada dalam tahap bermain dengan karakteristik bermain keterampilan dan
asosiatik play.
B. Tujuan
Setelah mendapatkan terapi bermain selama 40 menit, anak diharapkan dapat
mengembangkan aktivitas dan kreativitas melalui pengalaman bermain dan beradaptasi
efektif terhadap stres karena penyakit dan dirawat di rumah sakit.
Setelah mendapatkan terapi bermain selama 40 menit, diharapkan anak mampu :
- Dapat berinteraksi dengan sesama pasien dan perawat;
- Dapat mengembangkan imajinasinya;
- Dapat mengembangkan kemampuan motorik halusnya;
- Dapat meningkatkan kreativitasnya;
- Mengungkapkan kegembiraan atas rasa senang;
- Terlihat lebih rileks; dan
- Kooperatif terhadap perawatan dan pengobatan.
C. Perencanaan
1. Jenis Program Bermain
Jenis permainan yang akan dilakukan adalah menyusun puzzle.
2. Karakteristik Bermain
a. Tidak banyak mengeluarkan energi, singkat, dan sederhana.
b. Mempertimbangkan keamanan.
c. Kelompok umur pasien sama.
d. Melibatkan orang tua.
3. Karakteristik Peserta
a. Usia 3-7 tahun yang dirawat di Ruang Anggrek BRSU Tabanan.
b. Jumlah peserta : 5-10 anak dan didampingi orang tua.
c. Keadaan umum anak mulai membaik.
d. Pasien (anak) yang telah dapat melakukan mobilisasi fisik dan tanpa kontraindikasi
untuk melakukan kegiatan sehari-hari secara mandiri.
e. Peserta kooperatif.
4. Metode : Demonstrasi
5. Alat-alat yang digunakan (Media)
a. Puzzle
b. Jam/ Timer
c. Lembar observasi
D. TATA LETAK

Keterangan :
: Pasien

: Leader
: Fasilitator/ Orang tua

: Observer

E. STRATEGI PELAKSANAAN
1. Persiapan : 10 Menit
a. Menyiapkan ruangan
b. Menyiapkan alat
c. Menyiapkan peserta
2. Pembukaan : 5 Menit
a. Perkenalan petugas dengan anak dan keluarga.
b. Anak yang akan bermain saling berkenalan
c. Menjelaskan maksud dan tujuan.
3. Kegiatan : 20 Menit
a. Anak diminta untuk memilih gambar puzzle yang ingin disusun yang sudah
tersedia.
b. Anak dianjurkan untuk menyusun puzzle yang tersedia.
4. Penutup : 5 menit
a. Memberikan penghargaan pada anak atas hasil karyanya.
b. Merapikan alat dan tempat bermain.
F. EVALUASI
1. Anak dapat berinteraksi dengan sesama pasien dan perawat;
2. Anak dapat mengembangkan imajinasinya;
3. Anak dapat mengembangkan kemampuan motorik halusnya;
4. Anak dapat meningkatkan kreativitasnya;
5. Anak mengungkapkan kegembiraan atas rasa senang;
6. Anak terlihat lebih rileks;
7. Anak kooperatif terhadap perawatan dan pengobatan.
G. Hasil Penelitian Terkait :
Dwi Wundari, dkk (2018) dalam penelitiannya tentang penggaruh permainan puzzle
terhadap kemampuan beradaptasi sosial siswa retradasi mental Penelitian ini
menggunakan desain penelitian pre exsperimental design dengan bentuk rancangan one
group pretest-postest, dengan hasil penelitian Berdasarkan hasil penelitian dan beberapa
teori yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa permainan puzzle dapat
meningkatkan adaptasi sosial anak dimana dengan permainan puzzle secara kelopok anak
akan belajar berkomunikasi dengan baik dengan temannya dalam memecahkan teka-teki
dalam permainan puzzle selain itu juga dengan permainan puzzle ini anak dituntut untuk
berfikir lebih aktif sehingga dapat memancing respon dan daya fikir anak, dengan
terjalinnya komunikasi yang baik dari anak satu dan lainya akan meningkatkan hubungan
sosial anak yang baik dengan teman satu kelompoknya.
Berdasarkan hasil penelitian mengenai pengaruh antara bermain puzzle terhadap
kemampuan beradaptasi sosial pada siswa retardasi mental di SDLB Dharma Wanita
Kota Bengkulu dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Rata-rata anak yang mengalami
retardasi mental sebelum dilakukan permainan puzzle mempunyai adaptasi sosial yang
kurang baik dan rata-rata anak yang mengalami retardasi mental sesudah dilakukan
permainan puzzle mempunyai adaptasi sosial yang cukup baik. Ada pengaruh antara
bermain puzzle terhadap kemampuan beradaptasi sosial pada siswa retardasi mental di
SDLB Dharma Wanita Kota Bengkulu.

Referensi:
Soetjiningsih. 1988. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta:EGC
Markum.A.H. 1991. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta:FKUI
Behrman. (2000). Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol. I. Jakarta: EGC
Depkes RI. (2014). Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Sekolah Luar Biasa (SLB) Bagi
Petugas Kesehatan. Departemen Kesehatan RI: Jakarta
Fauziddin, M. (2014). Pembelajaran PAUD Bermain, Cerita dan Menyanyi Secara Islami.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Gerungan. (2009). Psikologi Sosial. PT Refika Asitama: Bandung
Gunarsa. (2004). Bunga Rampai Psikologi Perkembangan. dari Anak sampai Usia Lanjut.
Jakarta: SBPK Gunung Mulia
Gunawan. (2010). Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta

Anda mungkin juga menyukai