Anda di halaman 1dari 33

PRAKTIKUM BIOFARMASETIKA DAN FARMAKOKINETIK TERAPAN

“PENGARUH FORMULASI TERHADAP LAJU DISOLUSI”

NAMA : SEKAR AYU KUMARA

NIM : 1811102415125

KELAS :B

KELOMPOK :6

DOSEN PENGAMPU : Apt. IKA AYU MENTARI, M. Farm

FAKULTAS ILMU KESEHATAN DAN FARMASI

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KALIMANTAN TIMUR

2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Tujuan Praktikum
1. Agar mahasiswa dapat memahami profil disolusi obat dalam berbagai kondisi
pH.
2. Untuk melihat pengaruh formulasi sediaan obat terhadap laju disolusi.
B. Tinjauan Pustaka
Kelarutan obat selaras dengan laju disolusi dimana sediaan obat padat perlu
mengalami pelepasan dari sediannya dan larut dalam larutan gastrointestinal.
Oleh karena itu, laju disolusi pun menjadi suatu hal kritis. Obat yang sukar larut
air merupakan sebuah tantangan dalam studi mengenai struktur kimia obat dalam
pengembangan desain formulasi (Rachmaniar, 2017).
Kelarutan merupakan faktor yang penting dalam penghantaran obat secara
oral. Untuk obat dengan kelarutan yang rendah tetapi permeabilitasnya tinggi,
tahap penentu absorpsi obat ditentukan oleh proses disolusi (Trianggani, 2012).
Biopharmaceutical Classification System (BCS) merupakan pengklasifikasian
zat obat berdasarkan permeabilitas pada usus dan kelarutannya dengan air. BCS
terbagi dalam 4 kelas, yaitu kelas I untuk kelarutan dan permeabilitas tinggi,
kelas II untuk kelarutan rendah tetapi permeabilitas tinggi, kelas III untuk
kelarutan tinggi tetapi permeabilitas rendah, dan kelas IV untuk kelarutan dan
permeabilitas rendah (Trianggani, 2012).
Dispersi padat merupakan produk solid yang terdiri paling sedikit dua
komponen yang berbeda, yaitu matriks hidrofilik yang dapat berupa kristal atau
amorf dan obat hidrofobik yang akan terdispersi secara molekuer pada partikel
matriks baik amorf ataupun kristal sehingga dapat meningkatkan kecepatan
disolusi (Trianggani, 2012).
Disolusi atau “transfer massa” merupakan suatu prosedur yang melibatkan
pergerakan partikel dari padatan menjadi larutan dimana partikel masuk kedalam
pelarut (solven). Disolusi menggambarkan proses kinetik dan laju disolusi
menunjukkan jumlah obat yang dilepaskan selama waktu tertentu yang
menunjukkan kinerjanya (Susanti, 2019).
Uji disolusi merupakan suatu metode yang digunakan dalam pengembangan
formulasi obat baru, memantau kualiatas produk obat, menilai dampak potensial
dari perubahan pasca-persetujuan pada kasus kinerja produk, memprediksi
kinerja in vivo dari produk obat (Susanti, 2019).
Tablet merupakan bentuk sediaan padat oral yang sering diberikan. Tablet
merupakan bentuk sediaan padayang mengandung zat aktif dengan atau tanpa
pengisi (Susanti, 2019).
Parasetamol adalah derivat asetanilida yang berkhasiat sebagai analgetik dan
antipiretik tetapi tidak anti radang. Parasetamol larut dalam 70 bagian air, hal ini
berarti Parasetamol agak sukar larut dalam air dengan pemerian serbuk hablur
putih, tidak berbau, rasa sedikit pahit (Soedirman, 2010).
Paracetamol merupakan obat yang sering digunakan untuk mengobati demam
dan nyeri ringan seperti sakit kepala dan nyeri otot. Meskipun aman dikonsumsi
pada dosis terapeutik, namun overdosis obat yang disebabkan oleh pemakaian
jangka panjang ataupun penyalahgunaan masih sering terjadi. Penggunaan
Parasetamol yang salah dalam dosis tinggi dan waktu yang lama dapat
menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan, di antaranya adalah efek
hepatotoksisitas yang merusak sel-sel hati (Rafita, 2015).
BAB II

JALAN PERCOBAAN

A. Alat dan Bahan


1. Alat
a. Labu ukur
b. Pipet ukur
c. Beaker glass
d. Batang pengaduk
e. Gelas ukur
f. Timbangan
g. Dissolution tester
h. Spektrofotometri UV-Vis
2. Bahan
a. Tablet Paracetamol paten
b. Tablet Paracetamol generik
c. HCl 0,1 N
d. Aquadest
B. Cara Kerja
1. Penentuan panjang gelombang maksimum Paracetamol dalam HCl 0,1 N
a. Dibuat larutan standar Paracetamol dalam HCl 0,1 N dengan konsentrasi
14uµg/ml.
b. Diukur serapannya dengan menggunakan spektrofotometri UV-Vis pada
panjang gelombang 220-350 nm.
c. Dibuat spektrum serapan (absorbansi vs panjang gelombang).
2. Pembuatan kurva baku larutan standar Paracetamol dalam HCl 0,1 N
a. Dibuat larutan standar Paracetamol dengan konsentrasi 3; 6; 9; 12; 15; 18
µg/ml.
b. Diukur serapannya dengan menggunakan spektrofotometri UV-Vis pada
panjang gelombang maksimum.
c. Dibuat kurva baku Paracetamol (absorbansi vs konsentrasi).
3. Penentuan profil disolusi Paracetamol
a. Diisi wadah dengan air, atur suhu 37ºC.
b. Diisi medium disolusi dengan (HCl 0,1 N)sebanyak 900 ml.
c. Dicelupkan tablet Paracetamol kedalam medium disolusi, kemudian
diputar dengan kecepatan 50 rpm.
d. Dipipet sebanyak 5 ml pada larutan dalam labu disolusi pada menit ke-5,
10, 15, 20, dan 30 (setiap pemipetan medium diganti medium dengan jenis
dan jumlah yang sama), dimasukkan kedlam labu ukur 25 ml.
e. Ditambahkan HCl 0,1 N hingga tanda batas labu ukur, pada maing-masing
larutan yang telah dipipet.
f. Diukur serapannya dengan menggunakan spektrofotometri UV-Vis pada
panjang gelombag maksimum, pada masing-masing larutan yang telah
dipipet.
g. Dihitung kadar Paracetamol yang terdisolusi per satuan waktu, dihitung
menggunakan kurva baku.
BAB III

HASIL PENGAMATAN

Kurva baku larutan standar Paracetamol dalam HCl 0,1 N


Konsentrasi (µg/ml) Absorbansi
3 0,4526
6 0,7721
9 0,9912
12 1,7823
15 1,9283
18 2,8134

Absorbansi
3

2.5 y = 0.153x - 0.1497

1.5 Absorbansi
Linear (Absorbansi)
1

0.5

0
0 5 10 15 20
Profil disolusi Paracetamol

Waktu Absorbansi Kadar % Terdisolusi

(Menit) Paten Generik Paten Generik Paten Generik

5 0,4456 0,1241 0,019 0,008 3,8 1,6

10 0,6912 0,1735 0,027 0,010 5,4 2,2

15 0,9721 0,3512 0,036 0,016 7,2 3,2

20 1,0524 0,4613 0,039 0,019 7,8 3,8

30 1,2821 0,5141 0,046 0,021 9,2 4,2

Perhitungan kadar paten

1. y = 0,153 x – 0,1497
pada menit ke-5 = 0,4456
0,4456 = 0,153 x – 0,1497
0,4456+ 0,1497 = 0,153 x
0,5953 = 0,153 x
0,5953/0,153 =x
3,890 μg/ml =x
= 3,890 µg/ml x 5 (FP)
= 19,45 μg
= 0,019 mg
2. y = 0,153 x – 0,1497
pada menit ke 10 = 0,6912
0,6912 = 0,153 x – 0,1497
0,6912 + 0,1497 = 0,153 x
0,8409 = 0,153 x
0,8409/0,153 =x
5,496 =x
= 5,496 μg/ml x 5 (FP)
= 27.48 μg
= 0,027 mg

3. y = 0,153 x – 0,1497
pada menit ke 15 = 0,9721
0,9721 = 0,153 x – 0,1497
0,9721 + 0,1497 = 0,153 x
1,1218 = 0,153 x
1,1218/0,153 =x
7,332 =x
= 7,332 μg/ml x 5 (FP)
= 36,66 μg
= 0,036 mg

4. y = 0,153 x – 0,1497
pada menit ke 20 = 1,0524
1,0524 = 0,153 x – 0,1497
1,0524 + 0,1497 = 0,153 x
1,2021 = 0,153 x
1,2021/0,153 =x
7.856 =x
= 7,856 μg/ml x 5 (FP)
= 39,28 μg
= 0,039 mg

5. y = 0,153 x – 0,1497
pada menit ke 30 = 1,2821
1,2821 = 0,153 x – 0,1497
1,2821 + 0,1497 = 0,153 x
1,4318 = 0,153 x
1,4318/0,153 =x
9,358 =x
= 9,358 μg/ml x 5 (FP)
= 46,79 μg
= 0,046 mg

Perhitungan kadar generik

1. y = 0,153 x – 0,1497
pada menit ke 5 = 0,1241
0,1241 = 0,153 x – 0,1497
0,1241 + 0,1497 = 0,153 x
0,2738 = 0,153 x
0,2738/0,153 =x
1,789 =x
= 1,789 μg/ml x 5 (FP)
= 8,945 μg
= 0,008 mg
2. y = 0,153 x – 0,1497
pada menit ke 10 = 0,1735
0,1735 = 0,153 x – 0,1497
0,1735 + 0,1497 = 0,153 x
0,3232 = 0,153 x
0,3232/0,153 =x
2,112 =x
= 2,112 μg/ml x 5 (FP)
= 10,56 μg
= 0,010 mg

3. y = 0,153 x – 0,1497
pada menit ke 15 = 0,3512
0,3512 = 0,153 x – 0,1497
0,3512 + 0,1497 = 0,153 x
0,5009 = 0,153 x
0,5009/0,153 =x
= 3,273 μg/ml x 5 (FP)
= 16,365 μg
= 0,016 mg

4. y = 0,153 x – 0,1497
pada menit ke 20 = 0,4613
0,4613 = 0,153 x – 0,1497
0,4613+ 0,1497 = 0,153 x
0,611 = 0,153 x
0,611/0,153 =x
3,993 =x
= 3,993 μg/ml x 5 (FP)
= 19,965 μg
= 0,019 mg

5. y = 0,153 x – 0,1497
pada menit ke 30 = 0,5141
0,5141 = 0,153 x – 0,1497
0,5141 + 0,1497 = 0,153 x
0,6638 = 0,153 x
0,6638/0,153 =x
= 4,338 μg/ml x 5 (FP)
= 21,69 μg
= 0,021 mg
Faktor koreksi paten

1. 5 menit
C1 = 0,019
X = C1
X = 0,019 mg
2. 10 menit
C2 = 0,027
X2 = 0,027 + (5 / 900 x 0,019)
X2 = 0,027
3. 15 menit
C3 = 0,036
X3 = 0,036 + (5 / 900 x 0,019 + 0,027)
X3 = 0,036
4. 20 menit
C4 = 0,039
X4 = 0,039 + (5 / 900 x 0,019 + 0,027 + 0,036)
X4 = 0,039
5. 30 menit
C5 = 0,046
X5 = 0,046 + (5 / 900 x 0,019 + 0,027 + 0,036 + 0,039)
X5 = 0,046
Faktor koreksi generik
1. 5 menit
C1 = 0,008
X1 = C1
X1 = 0,008
2. 10 menit
C2 = 0,010
X2 = 0,010 + (5 / 900 x 0,008)
X2 = 0,010
3. 15 menit
C3 = 0,016
X3 = 0,016 + (5 / 900 x 0,008 + 0,010)
X3 = 0,016
4. 20 menit
C4 = 0,019
X4 = 0,019 + (5 / 900 x 0,008 + 0,010 + 0,016)
X4 = 0,019
5. 30 menit
C5 = 0,021
X5 = 0,021 + (5 / 900 x 0,008 + 0,010 + 0,016 + 0,019)
X5 = 0,021
Perhitungan % disolusi paten

% Terdisolusi = x 100%

1. T 5 menit = x 100% = 3,8%

2. T 10 menit = x 100% = 5,4%

3. T 15 menit = x 100% = 7,2%

4. T 20 menit = x 100% = 7,8%

5. T 30 menit = x 100% = 9,2%

Perhitungan % disolusi generik

1. T 5 menit = x 100% = 1,6%

2. T 10 menit = x 100% = 2%

3. T 15 menit = x 100% = 3,2%

4. T 20 menit = x 100% = 3,8%

5. T 30 menit = x 100% = 4,2%


BAB IV

PEMBAHASAN

Praktikum kali ini berjudul pengaruh formulasi terhadap laju disolusi.


Praktikum ini bertujuan agar mahasiswa dapat memahami profil disolusi obat dalam
berbagai kondisi pH dan untuk melihat pengaruh formulasi sediaan obat terhadap laju
disolusi. Disolusi atau “transfer massa” merupakan suatu prosedur yang melibatkan
pergerakan partikel dari padatan menjadi larutan dimana partikel masuk kedalam
pelarut (solven). Disolusi menggambarkan proses kinetik dan laju disolusi
menunjukkan jumlah obat yang dilepaskan selama waktu tertentu yang menunjukkan
kinerjanya (Susanti, 2019).

Tablet merupakan bentuk sediaan padat oral yang sering diberikan. Tablet
merupakan bentuk sediaan padayang mengandung zat aktif dengan atau tanpa pengisi
(Susanti, 2019). Keuntungan tablet yaitu tablet dapat diproduksi dalam sekala besar
dan dengan kecepatan produksi yang sangat tinggi sehingga lebih murah, memiliki
ketepatan dosis tiap tablet atau mirip unit pemakaian, lebih stabil dan tidak mudah
ditumbuhi mikroba, dapat dibuat produk dengan profil pelepasan, mudah dalam
pengepakan, mudah dibawa kemana-mana, pemakaian dapat dilakukan sendiri tanpa
bantuan tenaga medis, tersedia dalam berbagai tipe, lebih sulit dipalsukan. Kerugian
tablet yaitu bahan aktif dengan dosis yang besar sulit dibuat tablet, sulit untuk
memformulasikan zat aktif yang sulit dibasahi, onsetnya lebih lama, jumlah zat aktif
dalam bentuk cairan yang dapat dijerat kedalam tablet sangat kecil, kesulitan menelan
pada anak-anak (Ansel, 2018).

Nama generik yaitu nama yang lebih yang disepakati sebagai nama obat dari
suatu nama kimia. Obat generik adalah obat dengan nama generik, nama resmi yang
telah ditetapkan dalam Farmakope Indonesia dan INN dari WHO untuk zat berkhasiat
yang dikandungnya. Nama generik ini ditempatkan sebagai judul dari monografi
sediaan obat yang mengandung nama generik tersebut sebagai zat tunggal. Manfaat
obat generik sebagai sarana pelayanan kesehatan masyrakat untuk meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat, dari segi ekonomis obat generic dapat dijangkau
masyarakat golongan ekonomi menengah kebawah, dari segi kualitas obat generik
memiliki mutu atau khasiat yang sama dengan obat paten. Obat paten adalah obat jadi
dengan nama dagang yang terdaftar atas nama si pembuat atau yang dikuasakan dan
dijual dalam bungkus asli yang dikeluarkan dari pabrik yang memproduksi. Masa
berlaku paten di Indonesia adalah 20 tahun (Yusuf, 2016).

Penentuan panjang gelombang maksimum Paracetamol dalam HCl 0,1 N. Hal


pertama yang dilakukan yaitu dibuat larutan standar Paracetamol dalam HCl 0,1 N
dengan konsentrasi 14uµg/ml, kemudian diukur serapannya dengan menggunakan
spektrofotometri UV-Vis pada panjang gelombang 220-350 nm, lalu dibuat spektrum
serapan (absorbansi vs panjang gelombang).

Fase farmasetik adalah fase yang meliputi waktu hancurnya bentuk sediaan
obat, melarutnya bahan obat sampai pelepasan zat aktifnya kedalam cairan tubuh.
Pada proses liberasi pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan tergantung pada jalur
pemberiaan dan bentuk sediaan serta dapat terjadi secara cepat. Pelepasan zat aktif
dipengaruhi oleh keadaan lingkungan biologis dan mekanisme pada tempat
pemasukan obat, misalnya gerak peristaltik usus, hal ini penting untuk bentuk sediaan
yang keras atau yang kenyal (tablet, supositoria dan lain-lain). Tahap pelepasan ini
dapat dibagi dalam dua tahap yaitu tahap pemecahan dan peluruhan (Nila, 2013).

Uji disolusi merupakan uji yang sangat sensitif dan merupakan alat untuk
memprediksi bioavaibilitas obat secara in vivo. Jika proses disolusi untuk suatu
partikel obat cepat maka laju obat yang terabsorbsi akan bergantung pada
kesanggupannya menembus pembatas membran. Jika laju disolusi obat lambat maka
proses disolusinya merupakan tahap yang menentukan laju dalam proses absorbs
(Rachmaniar, 2017).
Faktor-faktor yang mempengaruhi laju disolusi, yang pertama yaitu faktor
fisika yang terdiri dari pengadukan, suhu, medium kelarutan, wadah, vibrasi. Faktor
yang berkaitan dengan sifat fisikokimia obat antara lain kelarutan, bentuk kristal,
bentuk hidrat solvasi dan kompleksasi serta ukuran partikel. Sifat-sifat fisikokimia
lain seperti kekentalan dan keterbatasan. Faktor yang berikatan dengan formulasi
sediaan yaitu bahan pembantu dan cara pengolahan. Faktor yang mempengaruhi
kecepatan disolusi bentuk sediaan padat dapat diklasifikasikan ke dalam 4 kategori
utama yaitu: sifat fisika kimia obat, formulasi produk obat, proses pembuatan
sediaan, dan kondisi uji disolusi (Putri, 2016).

Pembuatan kurva baku larutan standar Paracetamol dalam HCl 0,1 N, pertama
tama dibuat larutan standar Paracetamol dengan konsentrasi 3; 6; 9; 12; 15; 18 µg/ml,
lalu diukur serapannya dengan menggunakan spektrofotometri UV-Vis pada panjang
gelombang maksimum, setelah itu dibuat kurva baku Paracetamol (absorbansi vs
konsentrasi). Pada konsentrasi 3 didapatkan absorbansi 0,4526, konsentrasi 6
didapatkan 0,7721, konsentrasi 9 didapatkan 0,9912, konsentrasi 12 didapatkan
1,7823, konsentrasi 15 didapatkan 1,9283, konsentrasi 18 didapatkan 2,8134, setelah
dibuat kurva baku Paracetamol (absorbansi vs konsentrasi) didapat y = 0,153 x –
0,1497, sehingga semakin tinggi konsentrasi semakin besar nilai absorbansi.

Penentuan profil disolusi Paracetamol, pertama-tama, diisi wadah dengan air,


atur suhu 37ºC, lalu diisi medium disolusi dengan (HCl 0,1 N) sebanyak 900 ml,
kemudian dicelupkan tablet Paracetamol kedalam medium disolusi, kemudian diputar
dengan kecepatan 50 rpm, dipipet sebanyak 5 ml pada larutan dalam labu disolusi
pada menit ke-5, 10, 15, 20, dan 30 (setiap pemipetan medium diganti medium
dengan jenis dan jumlah yang sama), dimasukkan kedlam labu ukur 25 ml, lalu
ditambahkan HCl 0,1 N hingga tanda batas labu ukur, pada maing-masing larutan
yang telah dipipet, diukur serapannya dengan menggunakan spektrofotometri UV-Vis
pada panjang gelombag maksimum, pada masing-masing larutan yang telah dipipet,
kemudian dihitung kadar Paracetamol yang terdisolusi per satuan waktu, dihitung
menggunakan kurva baku.

Penentuan profil disolusi Paracetamol, didapatkan kadar Paracetamol paten


pada menit ke 5 yaitu 0,019, menit ke 10 yaitu 0,027, menit ke 15 yaitu 0,036, menit
ke 20 yaitu 0,039, menit ke 30 yaitu 0,046. Kadar parasetamol generik pada menit ke
5 yaitu 0,008, menit ke 10 yaitu 0,010, menit ke 15 yaitu 0,016, menit ke 20 yaitu
0,019, menit ke 30 yaitu 0,02. Pada % terdisolusi parasetamol paten pada menit ke 5
yaitu 3,8%, menit ke 10 yaitu 5,4%, menit ke 15 yaitu 7,2%, menit ke 20 yaitu 7,8%,
menit ke 30 yaitu 9,2%. Pada % terdisolusi parasetamol generik pada menit ke 5 yaitu
1,6%, menit ke 10 yaitu 2%, menit ke 15 yaitu 3,2%, menit ke 20 yaitu 3,8%, menit
ke 30 yaitu 4,2%. Berdasarkan gambaran profil yang memenuhi syarat batasan nilai
standar C30 yang diacu dalam USP XXIII yang menyatakan bahwa disolusi tablet
Paracetamol pada menit ke 30 tidak boleh kurang dari 80% kadar Paracetamol. Pada
% disolusi paten menit ke 30 yaitu 9,2% dan % disolusi generik menit ke 30 yaitu
4,2%, sehingga % disolusi paten dan generik Paracetamol yang diperiksa tidak
memenuhi syarat baku menurut USP XXIII.

Medium disolusi menggunakan larutan HCl karena untuk meningkatkan


waktu tinggal di lambung dan mengendalikan fluktuasi kadar obat dalam plasma
Oleh karena itu, dalam uji disolusi digunakan medium yang sesuai dengan kondisi
cairan lambung seperti HCl 0,1 N. Penggunaan HCl dilakukan untuk menyesuaikan
keadaan fisiologis didalam lambung (Siswanto,2014).

Hasil obat yang tidak memenuhi standar, sebagai seorang farmasis dapat
melakukan anlisis kembali kemudian harus memahami dan menyadari jika obat tidak
memenuhi standar. Obat yang tidak memenuhi standar harus segera ditarik,
dipisahkan secara fisik, penarikan secara fisik harus dilakukan secara berkala.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Biopharmaceutical Classification System (BCS) merupakan pengklasifikasian
zat obat berdasarkan permeabilitas pada usus dan kelarutannya dengan air.
2. Uji disolusi merupakan suatu metode yang digunakan dalam pengembangan
formulasi obat baru.
3. Parasetamol adalah derivat asetanilida yang berkhasiat sebagai analgetik dan
antipiretik tetapi tidak anti radang.
4. Kurva baku larutan standar Paracetamol dalam HCl 0,1 N
3 → 0,4526
6 → 0,7721
9 → 0,9912
12 → 1,7823
15 → 1,9283
18 → 2,8134
5. Kadar Paracetamol paten Kadar Paracetamol generik
5 → 0,019 5 → 0,008
10 → 0,027 10 → 0,010
15 → 0,036 15 → 0,016
20 → 0,039 20 → 0,019
30 → 0,046 30 → 0,021
6. % terdisolusi Paracetamol paten % terdisolusi Paracetamol generik
5 → 3,8% 5 → 1,6%
10 → 5,4% 10 → 2%
15 → 7,2% 15 → 3,2%
20 → 7,8% 20 → 3,8%
30 → 9,2% 30 4,2%
7. Paracetamol paten dan Paracetamol generik yang diperiksa tidak memenuhi
syarat baku karena memiliki kadar dibawah 80%
B. Saran
Diharapkan agar mahasiswa/i dapat mempelajari dan memahami pengaruh
formulasi terhadap laju disolusi dan memahami profil disolusi obat dalam berbagai
kondisi pH.
DAFTAR PUSTAKA

Ansel. 2008. “Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi”. Jakarta: Universitas Indonesia.

Brater, D Craig. 2008. “USP 25 The United States Pharmacopeia”. USA: USP NF.

Nila, Aster. 2013. “Dasar-Dasar Farmakologi 2”. Jakarta: Direktorat Pembinaan


SMK.

Putri, Resha Adriana. 2016. “Uji Disolusi, Uji Difusi (in-vitro) dan Penetapan Kadar
Tablet Ranitidin Generik dan Generi Bermerek”. Jakarta: Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah.

Rachmaniar, Revika. 2017. “Usaha Peningkatan Kelarutan dan Laju Disolusi Zat
Aktif Farmasi Sukar Larut Air”. Indonesian Journal of Pharmaceutical Science
and Technology. Hal 2.

Rafita, Ita Dwi. 2015. “Pengaruh Ekstrak Kayu Manis Terhadap Gambaran
Histopatologi dan Kadar Sgot-Sgpt Hepar Tikus yang Diinduksi Parasetamol”.
Unnes Journal of Life Science. Hal 30.

Siswanto, Agus. 2014. “Pengaruh Medium Disolusi dan Penggunaan Sinker Terhadap
Profil Disolusi Tablet Floating Aspirin. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Soedirman, Iskandar. 2010. “Efek Penambahan Polivinil Pirolidon Terhadap Disolusi


Tablet Parasetamol”. Purwokerto: Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

Susanti, Ike. 2019. “Pengaruh Medium Disolusi dan Upaya Peningkatan


Permeabilitas Metformin”. Jurnal Farmaka. Hal 97-100.

Trianggani, Danintya Fairuz. 2012. “Dispersi Padat”. Bandung: Universitas


Padjajaran.
Yusuf, Faisal. 2016. “Studi Perbandingan Obat Generik dan Obat Dengan Nama
Dagang”. Jurnal Farmasenia. Hal 7-8.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai