Anda di halaman 1dari 11

A2

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI


TOPIK

: Percobaan Anestesi Umum Dengan Eter pada Kelinci

WAKTU PRAKTIKUM

: Rabu, 5 Oktober 2016

Penyusun:
No
Nama
1. Thomas Reynaldi

NIM
021511133011

2.

Fissando Yanuar M.

021511133013

3.

Andry Sentosa

021511133014

4.

Dini Parasila

021511133018

5.

Salsabila Maghfirani

021511133020

6.

Destri Imania

021511133021

7.

Bella Primordio Cida

021511133022

8.

Nadia Mutiara H

021511133023

9.

Karina Octaviani

021511133024

10. Junneva Frisky Secondra

021511133025

11. Chanita Elonianty

021511133026

12. Mitha Jati Wirasty

021511133027

13. Aulady Qibtiyah

021511133028

14. Shasadhara Pramesti H

021511133029

DEPARTEMEN BIOLOGI ORAL


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNAIR
2016

1. PETUNJUK PRAKTIKUM
1.1. Alat:
1. Sthethoscope
2. Gunting penjepit
3. Gunting
4. Senter
5. Sungkup (Corong anastesi)

Gambar 1. A. Sthethoscope, B. Gunting penjepit, gunting, senter, C. Sungkup

1.2. Bahan:
1. Hewan coba : kelinci
2. Obat yang digunakan : Eter

Gambar 2. Kelinci dan Botol penetes berisi eter.

1.3. Cara kerja:


Untuk melakukan percobaan ini pilihlah kelinci yang cukup besar dan sehat. Lalu
melakukan control sebelum percobaan pada kelinci berupa:
1. Keadaan pernapasan : Frekuensi, dalamnya pernapasan, teratur atau tidak, jenis
pernapasan (dada atau perut)
2. Keadaan mata : Lebar pupil (mm), reflek kornea, konjungtiva, pergerakan mata
3. Keadaan otot/ pergerakan : Keadaan gerakan, tonus otot bergaris
4. Keadaan saliva

: Saliva banyak atau sedikit

5. Rasa nyeri

: Keadaan nyeri ( dengan mencubit telinga)

6. Lain-lain

: Muntah, ronkhi, warna telinga

Setelah hal tersebut dicatat, percoban dapat dimulai.


Pasanglah corong anastesi (mouth cap) pada moncong kelinci dengan baik dan
mulailah meneteskan eter dengan kecepatan kira-kira 60 tetes per menit secara konstan.
Catatlah waktu:
Mulai meneteskan eter
Adanya tanda-tanda dari tiap-tiap stadium (stadium)
Keadaan di mana binatang coba sudah berada dalam anastesi yang cukup untuk memulai
melakukan operasi.
Bila keadaan terakhir ini sudah tercapai (stadium of anesthesia) pertahankanlah keadaan
ini untuk beberapa saat (5menit) dan perhatikan dan periksalah keadaaan binatang coba
(seperti di atas) tanpa menambah eter lagi. Kemudian biarkanlah kelinci sadar kembali dan
catatlah hal-hal yang perlu dan perhatikanlah keadaaan tiap-tiap stadium. Hitunglah jumlah
eter yang digunakan.

2. HASIL PRAKTIKUM
Tabel 1. Hasil praktikum anestesi umum dengan eter pada kelinci kelompok A2:

Keadaan
mata

Stadium 2

(08.50)

(08.51)

(08.52)

Teratur

Kecepatan

Stadium 1

Keadaan
pernafasan

Kontrol

Tidak

teratur

Stadium 3
Plan 1 (08.53)

Tidak

Teratur

teratur

Cepat

Pernafasan

Lemah

Pernafasan

normal

Cepat

Cepat

Pernafaan

Pernafasan

Pernafasan

abdomen
&thoracis

abdomen

abdomen

abdomen

&thoracis

&thoracis

&thoracis

Kornea

Kornea

Plan 2 (08.54)

Kornea

Kornea

Tidak
teratur

abdomen

Kornea

masih

masih

masih

tidak

tidak

merespon

merespon

merespon

merespon

merespon

Miosisi

midriasis

midriasis

Miosis

midriasis

karena
takut
Keadaan
otot/

Normal

Normal

Lemah

Sedikit

Sedikit

Sedikit

Sedikit

Sedikit

Masih terasa

Masih terasa

Masih terasa

Tidak terasa

Tidak terasa

Takhikardi

Brakhikardi

Takhikardi

Takhikardi

Brakhikardi

Ada

pergerakan
Keadaan
saliva
Rasa nyeri
Detak
jantung
Eksistasi

Sudah tidak

Normal

ada pergerakan

3. TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Anastesi Umum
Anestesi umum adalah menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara sentral disertai
hilangnya kesadaran yang bersifat reversible. Perbedaan dengan anestesi lokal antara lain,
pada anestesi lokal hilangnya rasa sakit setempat, yang terpengaruh adalah syaraf perifer dan
tidak ada penurunan kesadaran. Sedangkan pada anestesi umum hilangnya rasa sakit di
seluruh tubuh dan yang terpengaruh adalah sistem saraf pusat (Soenarjo & Djatmiko, 2002).
Anestesi umum atau pembiusan artinya hilang rasa sakit di sertai hilang
kesadaran. Ada juga mengatakan anestesi umum adalah keadaan tidak terdapatnya sensasi
yang berhubungan dengan hilangnya kesadaran yang reversibel (Neal, 2006).
Anestesi Umum adalah obat yang dapat menimbulkan anestesi yaitu suatu keadaan
depresi umum dari berbagai pusat di sistem saraf pusat yang bersifat reversibel, dimana
seluruh perasaan dan kesadaran ditiadakan sehingga lebih mirip dengan keadaan
pinsan. Anestesi digunakan pada pembedahan dengan maksud mencapai keadaan pingsan,
merintangi rangsangan nyeri (analgesia), memblokir reaksi refleks terhadap manipulasi
pembedahan serta menimbulkan pelemasan otot (relaksasi). Anestesi umum yang kini
tersedia tidak dapat memenuhi tujuan ini secara keseluruhan, maka pada anestesi untuk
pembedahan

umumnya

digunakan

kombinasi

hipnotika,

analgetika,

dan

relaksasi otot (Latief et al, 2002).


Untuk menentukan prognosis ASA (American Society of Anesthesiologists) membuat
klasifikasi berdasarkan status fisik pasien pra anestesi yang membagi pasien kedalam 5
kelompok atau kategori sebagai berikut: ASA 1, yaitu pasien dalam keadaan sehat yang
memerlukan operasi. ASA 2, yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang
baik karena penyakit bedah maupun penyakit lainnya. Contohnya pasien batu ureter dengan
hipertensi sedang terkontrol, atau pasien apendisitis akut dengan lekositosis dan febris. ASA
3, yaitu pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang diaktibatkan karena
berbagai penyebab. Contohnya pasien apendisitis perforasi dengan septi semia, atau pasien
ileus obstruksi dengan iskemia miokardium. ASA 4, yaitu pasien dengan kelainan sistemik
berat yang secara langsung mengancam kehiduannya. ASA 5, yaitu pasien tidak diharapkan
hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi atau tidak. Contohnya pasien tua dengan
perdarahan basis krani dan syok hemoragik karena ruptura hepatik.
4

Menurut Kee et al (1996), Anastesi seimbang, suatu kombinasi obat-obatan, sering


dipakai dalam anastesi umum. Anestesi seimbang terdiri dari:
1. Hipnotik diberikan semalam sebelumnya
2. Premedikasi, seperti analgesik narkotik atau benzodiazepin (misalnya, midazolam dan
antikolinergik (atropin) untuk mengurangi sekresi diberikan kira-kira 1 jam sebelum
pembedahan
3. Barbiturat dengan masa kerja singkat, seperti natrium tiopental (Pentothal)
4. Gas inhalan, seperti nitrous oksida dan oksigen
5. Pelemas otot jika diperlukan
Sifat anestesi umum yang ideal adalah:
1. Bekerja cepat, induksi dan pemilihan baik
2. Cepat mencapai anestesi yang dalam,
3. Batas keamanan lebar
4. Tidak bersifat toksis.
Untuk anestesi yang dalam diperlukan obat yang secara langsung mencapai kadar yang
tinggi di SSP (obat intravena) atau tekanan parsial yang tinggi di SSP (obat ihalasi).
Kecepatan induksi dan pemulihan bergantung pada kadar dan cepatnya perubahan kadar obat
anastesi dalam SSP (Munaf, 2008).
3.2 Stadium Anestesi umum
Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter dalam 4 stadium (stadium III dibagi
menjadi 4 plana), yaitu:
Stadium I (Analgesi)
Dimulai dari saat pemberian zat anestetik sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini
pasien masih dapat mengikuti perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan
pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar dapat dilakukan pada
stadium ini

Stadium II (Delirium/eksitasi, hiperrefleksi)


Dimulai dari hilangnya kesadaran dan refleks bulu mata sampai pernapasan kembali
teratur.

Stadium III
Stadium III (pembedahan) dimulai dengan tcraturnya pernapasan sampai pernapasan
spontan hilang. Stadium III dibagi menjadi 4 plana yaitu:
1. Plana 1: Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang, terjadi gerakan bola mata
yang tidak menurut kehendak, pupil midriasis, refleks cahaya ada, lakrimasi meningkat,
refleks faring dan muntah tidak ada, dan belum tercapai relaksasi otot lurik yang
sempurna. (tonus otot mulai menurun).
2. Plana 2: Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak menurun, frekuensi
meningkat, bola mata tidak bergerak, terfiksasi di tengah, pupil midriasis, refleks cahaya
mulai menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks laring hilang sehingga dikerjakan
intubasi.
3. Plana 3: Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai paralisis, lakrimasi
tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks laring dan peritoneum tidak ada, relaksasi
otot lurik hampir sempuma (tonus otot semakin menurun).
4. Plana 4: Pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot interkostal paralisis total, pupil
sangat midriasis, refleks cahaya hilang, refleks sfmgter ani dan kelenjar air mata tidak
ada, relaksasi otot lurik sempuma (tonus otot sangat menurun).
Stadium IV
Stadium IV (paralisis medula oblongata) dimulai dengan melemahnya pernapasan perut
dibanding stadium III plana 4. Pada stadium ini tekanan darah tak dapat diukur, denyut
jantung berhenti, dan akhirnya terjadi kematian. Kelumpuhan pernapasan pada stadium ini
tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan.

3.3 Eter
Eter adalah senyawa karbon turunan alkana yang memiliki gugus fungsi OR
(alkoksi). Eter dikenal dengan alkoksi alkana. Dia dianggap berasal dari substitusi satu atom
H pada alkana dengan gugus fungsi OR. Dari rumus molekul senyawa senyawa di atas,
jika n adalah jumlah atom C, maka rumus umum alkoksi alkana dinyatakan sebagai:
CnH2n+2O
Kegunaan Eter
1. Dietil eter
Sebagai pelarut senyawa organik untuk ekstraksi senyawa organik dari air atau
pelarut lainnya. Banyak senyawa organik yang lebih mudah larut dalam dietileter
dibandingkan dengan air. Dengan titik didih yang rendah, dietileter dapat dipisahkan
kembali dari senyawa-senyawa organik terlarutnya melalui penyulingan pada suhu rendah.
Sebagai obat bius (anestesi). Campuran dietileter dengan air bersifat sangat eksplosif
sehingga sekarang telah diganti dengan zat lain, seperti pentrana (CH3 O CF2 CHCl2)
dan entrana (CHF2 O CF2 CHFCl).
2. Metil tersier butil eter (MTBE atau 2-metil-2-metoksi propana)
MTBE berperan sebagai zat aditif pada bensin. MTBE bersifat karsinogenik dan
kebocoran MTBE dari tempat penyimpanan bensin di tangki bawah tanah, dapat
mencemari air tanah. Penggunaan MTBE telah dilarang dan kemudian akan digunakan
senyawa yang mengandung oksigen, seperti etanol yang tidak terlalu karsinogenik meski
agak mahal.

3.4 Kelinci

Kelinci (Oryctolagus cuniculus) merupakan hewan percobaan yang dapat hidup dalam
lingkungan yang bervariasi (padang pasir, daerah tropis, daerah subtropis), namun kelinci
berkembang paling baik pada iklim sedang. Kelinci berasal dari Eropa dan sekarang kelinci
liar dapat ditemukan di Amerika, Australia, dan Selandia Baru. Kelinci liar tinggal di dalam
lubang-lubang tanah dan sekarang terdapat kurang lebih 92 bangsa dan galur kelinci. Kelinci
yang sering dijadikan hewan coba adalah Nee Zealand White (BB kurang lebih 3 kg),
California, Lops, dan Dutch Belted (BB kurang dari 2 kg).
Kelinci termasuk hewan herbivora adaptif dan mempunyai sistema digesti khusus yang
ditandai dengan terbentuknya sekum yang panjang (sacculus rotundus) yang berisi jaringan
limphatik. Kelinci memiliki tingkah laku yang khas yang disebut coprophagy
(pseuderuminasi/caecophagy), yaitu memakan tinjanya sendiri. Tinja yang dimakan adalah
tinja yang dikeluarkan pada malam hari. Karakteristik tinja kelinci yang dikeluarkan pada siang
hari berupa butir tinja yang keras dan kering, sedangkan tinja yang dikeluarkan pada malam
hari konsistensinya lembek dan berlendir. Tingkah laku ini penting sebagai pemanfaatan
protein dan serat tumbuhan. Tinja banyak mengandung vitamin-vitamin, diantaranya vit.K,
niasin, riboflavin, asam pentolenat, sianokobalamin (B12). Komposisi protein kasar pada tinja
malam hari mencapai 39,7%, sedang pada tinja siang hari hanya 20,3%.
Kelinci dapat digolongkan sebagai hewan yang mudah dibiakkan dan dapat dikatakan
relatif bersih serta kelinci merupakan hewan yang cukup mudah dikontrol untuk memenuhi
stadar hewan coba diantaranya yaitu, mempunyai kemampuan dalam memberikan reaksi
imunitas yang baik. Kepekaan terhadap sesuatu penyakit, hal ini menunjukkan tingkat
suseptibilitas hewan terhadap penyakit serta performa atau prestasi hewan percobaan yang
dikaitkan dengan sifat genetiknya.
8

4. PEMBAHASAN
Sebelum percobaan dimulai, dilakukan pengamatan pada kelinci yang nantinya digunakan
sebagai kontrol. Pada keadaan normal, frekuensi pernapasan kelinci adalah 132/menit, irama
detak jantung kelinci teratur, dan jenis pernapasannya adalah thorako-abdominal. Selain itu
kelinci masih memberikan gerak reflek ketika telinga nya dijepit menggunakan gunting
penjepit. Tonus otot juga masih ada saat kaki kelinci dipegang dan kaki tersebut menghasilkan
tahanan otot. Keadaan mata kelinci pada saat keadaan normal terdapat refleks cahaya, refleks
kornea, dan pergerakan mata.
Stadium I anastesi umum dicapai setelah 8 menit 51 detik. Hal ini ditandai dengan
terjadinya brakikardi. Tahap ini dimulai dari saat pemberian zat anastetik sampai hilangnya
kesadaran. Keadaan pernafasan kelinci mulai lemah, pupil mata besar, sedangkan untuk
keadaan otot, saliva, dan rasa nyeri masih sama seperti pada saat kontrol.
Stadium II, yang disebut juga dengan stadium eksitasi atau delirium, dimulai dari hilangnya
kesadaran hingga permulaan stadium pembedahan. Kelinci memasuki stadium ini setelah 1
menit dari stadium I, yang ditandai dengan pernapasan cepat dan tidak teratur. Pada stadium
ini terlihat jelas adanya eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak, seperti refleks bulu
mata, pelebaran pupil mata (midriasis), saliva sedikit, pernafasan yang tak teratur, tonus
muskulus skeletal meningkat dan takikardia.
Eksitasi dapat disebabkan karena adanya depresi atau hambatan pada pusatinhibisi.
Pernafasan torakalabdominal yang cepat dan tidak teratur diakibatkan oleh depresi pernafasan
sehingga terjadi retensi CO2 dan menuju pada Sympatho Adrenal Discharged (SAD) yaitu
pelepasan adrenalin dari kelenjar medula adrenalin dan noradrenalin dari ujung saraf simpatis.
Bola mata bergerak-gerak karena terjadi paralisa otot ekstrinsik bola mata sehingga
kontraksinya tak terkoordinir.
Pada saat kelinci memasuki stadium III Plane 1, ditandai dengan pernafasan thoracal dan
abdominal yang mulai teratur, pergerakan bola mata tak teratur, konjuctiva dan kornea
terdepresi, miosis, refleks faring dan muntah hilang, takikardu serta relaksasi otot tidak
sempurna. Pada pukul 8:54 yaitu 1 menit setelah terjadinya stadium III plane 1, kelinci coba
sudah kehilangan kesadaran, eksitasi sudah tidak nampak kelinci coba sudah tenang, ketika di
pegang kelinci coba menggunakan pernapasan torakal abdominal mulai teratur yang lebih
dominan pada torakal, dilihat dari pupilnya mulai membesar, ketika kaki kelinci digerakkan
9

sudah melemas artinta tonus otot bergaris sudah menurun (relaksasi otot), dilihat dari detak
jantungnya mengalami brakikardi. Oleh sebab gejala-gejala yang ditimbulkan tersebut, kelinci
coba sudah memasuki stadium III plane 2 dan pembedahan dapat dilakukan dalam stadium ini.

5. KESIMPULAN
-

Eter merupakan cairan tidak bewarna, mudah menguap, berbau dan mudah terbakar.

Jumlah eter yang diperlukan tergantung dari berat dan kondisi dari penderita, kebutuhan,
kebutuhan dalamnya, anestesia dan teknik yang digunakan.

Waktu yang diperlukan hewan coba untuk bereaksi terhadap pemberian anestesi menit
pertama dan seterusnya tidak sama. Hal tersebut kemungkinan dikarenakan kondisi
pertahanan hewan coba dan beberapa faktor lainnya.

6. DAFTAR PUSTAKA
Goodman & Gilman. 2008. Anastetik Umum Dasar Farmakologi Terapi. Jakarta: EGC
Gunawan S, dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Gaya Gon
Katzung, Bertram G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik, Terj. Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: Salemba Medika
Latief, S.A., Suryadi, K.A., & Dachlan, M.R. 2002. Petunjuk Praktis Anastesiologi. Edisi
Kedua.
Munaf, S. 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Palembang: EGC
Neal, M.J. 2006. At a Glance Farmakologi Medis. Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit Erlangga
Soenarjo & Jatmiko H.D. 2002. Anastesiologi. Semarang: Bagian Anastesiologi dan Terapi
Intensif FK UNDIP

10

Anda mungkin juga menyukai