WAKTU PRAKTIKUM
Penyusun:
No
Nama
1. Thomas Reynaldi
NIM
021511133011
2.
Fissando Yanuar M.
021511133013
3.
Andry Sentosa
021511133014
4.
Dini Parasila
021511133018
5.
Salsabila Maghfirani
021511133020
6.
Destri Imania
021511133021
7.
021511133022
8.
Nadia Mutiara H
021511133023
9.
Karina Octaviani
021511133024
021511133025
021511133026
021511133027
021511133028
021511133029
1. PETUNJUK PRAKTIKUM
1.1. Alat:
1. Sthethoscope
2. Gunting penjepit
3. Gunting
4. Senter
5. Sungkup (Corong anastesi)
1.2. Bahan:
1. Hewan coba : kelinci
2. Obat yang digunakan : Eter
5. Rasa nyeri
6. Lain-lain
2. HASIL PRAKTIKUM
Tabel 1. Hasil praktikum anestesi umum dengan eter pada kelinci kelompok A2:
Keadaan
mata
Stadium 2
(08.50)
(08.51)
(08.52)
Teratur
Kecepatan
Stadium 1
Keadaan
pernafasan
Kontrol
Tidak
teratur
Stadium 3
Plan 1 (08.53)
Tidak
Teratur
teratur
Cepat
Pernafasan
Lemah
Pernafasan
normal
Cepat
Cepat
Pernafaan
Pernafasan
Pernafasan
abdomen
&thoracis
abdomen
abdomen
abdomen
&thoracis
&thoracis
&thoracis
Kornea
Kornea
Plan 2 (08.54)
Kornea
Kornea
Tidak
teratur
abdomen
Kornea
masih
masih
masih
tidak
tidak
merespon
merespon
merespon
merespon
merespon
Miosisi
midriasis
midriasis
Miosis
midriasis
karena
takut
Keadaan
otot/
Normal
Normal
Lemah
Sedikit
Sedikit
Sedikit
Sedikit
Sedikit
Masih terasa
Masih terasa
Masih terasa
Tidak terasa
Tidak terasa
Takhikardi
Brakhikardi
Takhikardi
Takhikardi
Brakhikardi
Ada
pergerakan
Keadaan
saliva
Rasa nyeri
Detak
jantung
Eksistasi
Sudah tidak
Normal
ada pergerakan
3. TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Anastesi Umum
Anestesi umum adalah menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara sentral disertai
hilangnya kesadaran yang bersifat reversible. Perbedaan dengan anestesi lokal antara lain,
pada anestesi lokal hilangnya rasa sakit setempat, yang terpengaruh adalah syaraf perifer dan
tidak ada penurunan kesadaran. Sedangkan pada anestesi umum hilangnya rasa sakit di
seluruh tubuh dan yang terpengaruh adalah sistem saraf pusat (Soenarjo & Djatmiko, 2002).
Anestesi umum atau pembiusan artinya hilang rasa sakit di sertai hilang
kesadaran. Ada juga mengatakan anestesi umum adalah keadaan tidak terdapatnya sensasi
yang berhubungan dengan hilangnya kesadaran yang reversibel (Neal, 2006).
Anestesi Umum adalah obat yang dapat menimbulkan anestesi yaitu suatu keadaan
depresi umum dari berbagai pusat di sistem saraf pusat yang bersifat reversibel, dimana
seluruh perasaan dan kesadaran ditiadakan sehingga lebih mirip dengan keadaan
pinsan. Anestesi digunakan pada pembedahan dengan maksud mencapai keadaan pingsan,
merintangi rangsangan nyeri (analgesia), memblokir reaksi refleks terhadap manipulasi
pembedahan serta menimbulkan pelemasan otot (relaksasi). Anestesi umum yang kini
tersedia tidak dapat memenuhi tujuan ini secara keseluruhan, maka pada anestesi untuk
pembedahan
umumnya
digunakan
kombinasi
hipnotika,
analgetika,
dan
Stadium III
Stadium III (pembedahan) dimulai dengan tcraturnya pernapasan sampai pernapasan
spontan hilang. Stadium III dibagi menjadi 4 plana yaitu:
1. Plana 1: Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang, terjadi gerakan bola mata
yang tidak menurut kehendak, pupil midriasis, refleks cahaya ada, lakrimasi meningkat,
refleks faring dan muntah tidak ada, dan belum tercapai relaksasi otot lurik yang
sempurna. (tonus otot mulai menurun).
2. Plana 2: Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak menurun, frekuensi
meningkat, bola mata tidak bergerak, terfiksasi di tengah, pupil midriasis, refleks cahaya
mulai menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks laring hilang sehingga dikerjakan
intubasi.
3. Plana 3: Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai paralisis, lakrimasi
tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks laring dan peritoneum tidak ada, relaksasi
otot lurik hampir sempuma (tonus otot semakin menurun).
4. Plana 4: Pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot interkostal paralisis total, pupil
sangat midriasis, refleks cahaya hilang, refleks sfmgter ani dan kelenjar air mata tidak
ada, relaksasi otot lurik sempuma (tonus otot sangat menurun).
Stadium IV
Stadium IV (paralisis medula oblongata) dimulai dengan melemahnya pernapasan perut
dibanding stadium III plana 4. Pada stadium ini tekanan darah tak dapat diukur, denyut
jantung berhenti, dan akhirnya terjadi kematian. Kelumpuhan pernapasan pada stadium ini
tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan.
3.3 Eter
Eter adalah senyawa karbon turunan alkana yang memiliki gugus fungsi OR
(alkoksi). Eter dikenal dengan alkoksi alkana. Dia dianggap berasal dari substitusi satu atom
H pada alkana dengan gugus fungsi OR. Dari rumus molekul senyawa senyawa di atas,
jika n adalah jumlah atom C, maka rumus umum alkoksi alkana dinyatakan sebagai:
CnH2n+2O
Kegunaan Eter
1. Dietil eter
Sebagai pelarut senyawa organik untuk ekstraksi senyawa organik dari air atau
pelarut lainnya. Banyak senyawa organik yang lebih mudah larut dalam dietileter
dibandingkan dengan air. Dengan titik didih yang rendah, dietileter dapat dipisahkan
kembali dari senyawa-senyawa organik terlarutnya melalui penyulingan pada suhu rendah.
Sebagai obat bius (anestesi). Campuran dietileter dengan air bersifat sangat eksplosif
sehingga sekarang telah diganti dengan zat lain, seperti pentrana (CH3 O CF2 CHCl2)
dan entrana (CHF2 O CF2 CHFCl).
2. Metil tersier butil eter (MTBE atau 2-metil-2-metoksi propana)
MTBE berperan sebagai zat aditif pada bensin. MTBE bersifat karsinogenik dan
kebocoran MTBE dari tempat penyimpanan bensin di tangki bawah tanah, dapat
mencemari air tanah. Penggunaan MTBE telah dilarang dan kemudian akan digunakan
senyawa yang mengandung oksigen, seperti etanol yang tidak terlalu karsinogenik meski
agak mahal.
3.4 Kelinci
Kelinci (Oryctolagus cuniculus) merupakan hewan percobaan yang dapat hidup dalam
lingkungan yang bervariasi (padang pasir, daerah tropis, daerah subtropis), namun kelinci
berkembang paling baik pada iklim sedang. Kelinci berasal dari Eropa dan sekarang kelinci
liar dapat ditemukan di Amerika, Australia, dan Selandia Baru. Kelinci liar tinggal di dalam
lubang-lubang tanah dan sekarang terdapat kurang lebih 92 bangsa dan galur kelinci. Kelinci
yang sering dijadikan hewan coba adalah Nee Zealand White (BB kurang lebih 3 kg),
California, Lops, dan Dutch Belted (BB kurang dari 2 kg).
Kelinci termasuk hewan herbivora adaptif dan mempunyai sistema digesti khusus yang
ditandai dengan terbentuknya sekum yang panjang (sacculus rotundus) yang berisi jaringan
limphatik. Kelinci memiliki tingkah laku yang khas yang disebut coprophagy
(pseuderuminasi/caecophagy), yaitu memakan tinjanya sendiri. Tinja yang dimakan adalah
tinja yang dikeluarkan pada malam hari. Karakteristik tinja kelinci yang dikeluarkan pada siang
hari berupa butir tinja yang keras dan kering, sedangkan tinja yang dikeluarkan pada malam
hari konsistensinya lembek dan berlendir. Tingkah laku ini penting sebagai pemanfaatan
protein dan serat tumbuhan. Tinja banyak mengandung vitamin-vitamin, diantaranya vit.K,
niasin, riboflavin, asam pentolenat, sianokobalamin (B12). Komposisi protein kasar pada tinja
malam hari mencapai 39,7%, sedang pada tinja siang hari hanya 20,3%.
Kelinci dapat digolongkan sebagai hewan yang mudah dibiakkan dan dapat dikatakan
relatif bersih serta kelinci merupakan hewan yang cukup mudah dikontrol untuk memenuhi
stadar hewan coba diantaranya yaitu, mempunyai kemampuan dalam memberikan reaksi
imunitas yang baik. Kepekaan terhadap sesuatu penyakit, hal ini menunjukkan tingkat
suseptibilitas hewan terhadap penyakit serta performa atau prestasi hewan percobaan yang
dikaitkan dengan sifat genetiknya.
8
4. PEMBAHASAN
Sebelum percobaan dimulai, dilakukan pengamatan pada kelinci yang nantinya digunakan
sebagai kontrol. Pada keadaan normal, frekuensi pernapasan kelinci adalah 132/menit, irama
detak jantung kelinci teratur, dan jenis pernapasannya adalah thorako-abdominal. Selain itu
kelinci masih memberikan gerak reflek ketika telinga nya dijepit menggunakan gunting
penjepit. Tonus otot juga masih ada saat kaki kelinci dipegang dan kaki tersebut menghasilkan
tahanan otot. Keadaan mata kelinci pada saat keadaan normal terdapat refleks cahaya, refleks
kornea, dan pergerakan mata.
Stadium I anastesi umum dicapai setelah 8 menit 51 detik. Hal ini ditandai dengan
terjadinya brakikardi. Tahap ini dimulai dari saat pemberian zat anastetik sampai hilangnya
kesadaran. Keadaan pernafasan kelinci mulai lemah, pupil mata besar, sedangkan untuk
keadaan otot, saliva, dan rasa nyeri masih sama seperti pada saat kontrol.
Stadium II, yang disebut juga dengan stadium eksitasi atau delirium, dimulai dari hilangnya
kesadaran hingga permulaan stadium pembedahan. Kelinci memasuki stadium ini setelah 1
menit dari stadium I, yang ditandai dengan pernapasan cepat dan tidak teratur. Pada stadium
ini terlihat jelas adanya eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak, seperti refleks bulu
mata, pelebaran pupil mata (midriasis), saliva sedikit, pernafasan yang tak teratur, tonus
muskulus skeletal meningkat dan takikardia.
Eksitasi dapat disebabkan karena adanya depresi atau hambatan pada pusatinhibisi.
Pernafasan torakalabdominal yang cepat dan tidak teratur diakibatkan oleh depresi pernafasan
sehingga terjadi retensi CO2 dan menuju pada Sympatho Adrenal Discharged (SAD) yaitu
pelepasan adrenalin dari kelenjar medula adrenalin dan noradrenalin dari ujung saraf simpatis.
Bola mata bergerak-gerak karena terjadi paralisa otot ekstrinsik bola mata sehingga
kontraksinya tak terkoordinir.
Pada saat kelinci memasuki stadium III Plane 1, ditandai dengan pernafasan thoracal dan
abdominal yang mulai teratur, pergerakan bola mata tak teratur, konjuctiva dan kornea
terdepresi, miosis, refleks faring dan muntah hilang, takikardu serta relaksasi otot tidak
sempurna. Pada pukul 8:54 yaitu 1 menit setelah terjadinya stadium III plane 1, kelinci coba
sudah kehilangan kesadaran, eksitasi sudah tidak nampak kelinci coba sudah tenang, ketika di
pegang kelinci coba menggunakan pernapasan torakal abdominal mulai teratur yang lebih
dominan pada torakal, dilihat dari pupilnya mulai membesar, ketika kaki kelinci digerakkan
9
sudah melemas artinta tonus otot bergaris sudah menurun (relaksasi otot), dilihat dari detak
jantungnya mengalami brakikardi. Oleh sebab gejala-gejala yang ditimbulkan tersebut, kelinci
coba sudah memasuki stadium III plane 2 dan pembedahan dapat dilakukan dalam stadium ini.
5. KESIMPULAN
-
Eter merupakan cairan tidak bewarna, mudah menguap, berbau dan mudah terbakar.
Jumlah eter yang diperlukan tergantung dari berat dan kondisi dari penderita, kebutuhan,
kebutuhan dalamnya, anestesia dan teknik yang digunakan.
Waktu yang diperlukan hewan coba untuk bereaksi terhadap pemberian anestesi menit
pertama dan seterusnya tidak sama. Hal tersebut kemungkinan dikarenakan kondisi
pertahanan hewan coba dan beberapa faktor lainnya.
6. DAFTAR PUSTAKA
Goodman & Gilman. 2008. Anastetik Umum Dasar Farmakologi Terapi. Jakarta: EGC
Gunawan S, dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Gaya Gon
Katzung, Bertram G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik, Terj. Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: Salemba Medika
Latief, S.A., Suryadi, K.A., & Dachlan, M.R. 2002. Petunjuk Praktis Anastesiologi. Edisi
Kedua.
Munaf, S. 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Palembang: EGC
Neal, M.J. 2006. At a Glance Farmakologi Medis. Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit Erlangga
Soenarjo & Jatmiko H.D. 2002. Anastesiologi. Semarang: Bagian Anastesiologi dan Terapi
Intensif FK UNDIP
10