Anda di halaman 1dari 38

TUGAS

PELAYANAN KEFARMASIAN

Oleh:

DELLA ROSALYNNA STIADI


1441012112

PROGRAM PROFESI APOTEKER ANGKATAN IV


FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2015

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Alhamdulillahirabbilalamin, Puji syukur kepada Allah SWT atas segala
karunia-Nya

sehingga

penulis

dapat

menyelesaikan

makalah

Pelayanan

Kefarmasian tentang Ringkasan materi selama perkuliahan dari bab I sampai bab
V.
Dalam penyusunannya, penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai
pihak, karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada: Allah SWT, Kedua orang tua, Bapak Prof. Almahdy, MS, Apt selaku
dosen pembimbing mata kuliah Pelayanan Kefarmasian dan segenap keluarga
besar serta kakak-kakak dan teman-teman calon apoteker angkatan IV Universitas
Andalas yang telah memberikan dukungan dan kepercayaan yang begitu besar.
Dari sanalah semua kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa memberikan
sedikit kebahagiaan dan menuntun pada langkah yang lebih baik lagi.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan makalah ini. Akhir kata
penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.

Jakarta, Maret 2015


Wassalam
Penulis

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................. i


Daftar Isi ............................................................................................................ ii
1. Pelayanan Kefarmasian
...................................................................................................................... 1
2. Panduan Peresepan Yang
Baik ....................................................................................................................
.. 6
3. Farmakovigilannce
...................................................................................................................... 14
4. Developing Pharmacy Practice
...................................................................................................................... 20
5. Food/Drug And Drug/Nutrient Interactions
...................................................................................................................... 26
Daftar Pustaka .................................................................................................. 32

BAB I
PHARMACEUTICAL CARE
1.1 Definisi
Pharmaceutical

care adalah patient

centered

practice yang

mana

merupakan praktisi yang bertangung jawab terhadap kebutuhan terapi obat pasien
dan memegang tanggung jawab terhadap komitmen (Cipole dkk, 1998). Menurut
Linda Strand : Pharmaceutical care (PC) adalah sebuah praktek dimana praktikan
langsung mengambil tanggung jawab pengobatan pasien dan memegang
kebutuhan tanggung jawab untuk komitmen ini. Menurut American Society of
Hospital

Pharmacists

(1993),

asuhan

kefarmasian

(Pharmaceutical

care) merupakan tanggung jawab langsung apoteker pada pelayanan yang


berhubungan dengan pengobatan pasien dengan tujuan mencapai hasil yang
ditetapkan yang memperbaiki kualitas hidup pasien. Menurut PP No. 51 tahun
2009 tentang pekerjaan kefarmasian, yang dimaksud dengan pelayanan
kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada
pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil
yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.
Asuhan kefarmasian tidak hanya melibatkan terapi obat tapi juga keputusan
tentang penggunaan obat pada pasien. Termasuk keputusan untuk tidak
menggunakan terapi obat, pertimbangan pemilihan obat, dosis, rute dan metode
pemberian, pemantauan terapi obat dan pemberian informasi dan konseling pada
pasien. Asuhan kefarmasian adalah konsep yang melibatkan tanggung jawab
farmasis yang menuju keberhasilan outcome tertentu sehingga pasien membaik
dan kualitas hidupnya meningkat (Heppler and Strand, 1990).
Outcome yang dimaksud adalah (Heppler and strand, 1990) :
1.

Merawat Penyakit

2.

Menghilangkan atau menurunkan gejala

3.

Menghambat atau memperlama proses penyakit

4.

Mencegah penyakit atau gejala


Pharmautical

public

health didefinisikan

bahwa

apoteker

dapat

menerapkan ketrampilan farmasi, pengetahuan dan sumber daya untuk


1

mendukung data-data objektif dengan tujuan menetapkan, menangani dan


memantau kebutuhan kesehatan yang nyata dari populasi. (Armstrong dkk,
2005).
Pharmaceutical Public Health juga didefinisikan sebagai penerapan dari
pengetahuan, ketrampilan dan sumber daya dari ilmu pengetahuan dan seni dalam
pencegahan penyakit, memperpanjang hidup, mendukung, melindungi dan
memperbaiki kesehatan dalam suatu komunitas (WHO, 2006).
Elemen dari Pharmaceutical Care :
1. tanggung jawab
bertanggung jawab penuh, menganggap pasien yang datang adalah pasien ku
2. interaksi langsung
fokus, kontak dan berinteraksi langsung dengan pasien
3. kepedulian
menunjukkan rasa kepedulian terhadap apa yang dialami pasien, menganggap
mereka adalah orang yang kita sayangi, dan menerapkan patient oriented
(orientasi terhadap pasien), untuk menerapkan patient oriented ini kita harus terus
mengupdate skill./keterampilan, pengetahuan dan komunikasi
4. mendapatkan tujuan positif (outcome) :
penyembuhan penyakit, mengurangi dan menghilangkan penyakit dan gejala, men
- cegah gejala, dan mencegah perkembangan penyakit.
5. meningkatkan kualitas hidup pasien
6.

resolusi

dari

medication-related

problem

(MRP's)

DRP seperti : dosis terlalu besar/kecil, obat yang salah, obat tanpa indikasi, ADR,
IO, kegagalan menerima obat dll.
1.2 Tanggung Jawab Apoteker
Fungsi dari asuhan kefarmasian adalah (Heppler and strand, 1990) :
1.
2.

Identifikasi aktual dan potensial masalah yang berhubungan dengan obat.


Menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan obat / Drug Related

3.

Problem (DRP).
Mencegah terjadinya masalah yang berhubungan dangan obat.
1.2.1. Drug Related Problem (DRP)

Drug Related Problem (DRP) atau masalah terkait obat adalah bagian dari
asuhan kefarmasian (pharmaceutical care) yang menggambarkan suatu keadaan,
dimana profesional kesehatan (apoteker) menilai adanya ketidaksesuaian
pengobatan dalam mencapai terapi yang sesungguhnya (Hepler, 2003).
DRP dibagi menjadi 2 : actual dan potensial, DRP actual adalah masalah yang
terjadi seketika saat pasien menggunakan obat (misalkan alergi dll), dan DRP
potensial adalah masalah yang akan terjadi pada saat setelah penggunaan obat
(misalnya kerusakan hati, ginjal, dsb). Ada 8 jenis Drug Related Problem, yaitu :
1. Indikasi yang tidak ditangani (Untreated Indication)
Ada indikasi penyakit/keluhan pasien yang belum ditangani dalam
resep tersebut, misalnya pasien mengeluh nyeri di persendian, sedang dalam
resep tersebut tidak ada obat untuk mengatasi masalah nyeri tersebut.
2. Pilihan Obat yang Kurang Tepat (Improper Drug Selection)
Pemilihan obat dalam resep kurang tepat (salah obat) dan beresiko,
misalnya pasien demam dikasih antibiotik rifampisin, ini jelas pemilihan bat
salah. atau obat yang dipilih memiliki kontraindikasi atau perhatian (caution)
terhadap pasien.
4.
5.

3. Penggunaan Obat Tanpa Indikasi (Drug Use Without Indication)


Obat yang ada dalam resep, tidak sesuai dengan indikasi keluhan

6.
7.

penyakit pasien.
4. Dosis Terlalu Kecil (Sub-Therapeutic Dosage)
Dosis obat yang diberikan dalam dosis tersebut terlalu kecil, sehingga

8.
9.

efek terapi tidak memadai untuk mengobati penyakit pasien.


5. Dosis Terlalu Besar (Over Dosage)
Dosis yang diberikan dalam resep terlalu besar, diatas dosis maksimum,

10.
11.

hal ini dapat berakibat fatal.


6. Reaksi Obat Yang Tidak Dikehendaki (Adverse Drug Reactions)
Obat yang diberikan memberikan efek samping yang memberatkan
kondisi

pasien,

misalnya

captopril

menyebabkan

batuk

yang

mengganggu (efek samping ini tidak selalu terjadi, karena sensitifitas


12.

setiap orang berbeda-beda).


7. Interaksi Obat (Drug Interactions)
Obat-obatan dalam resep saling berinteraksi seperti warfarin dan vitamin
K ber -sifat antagonis, atau obat dengan makanan semisal susu dan
tetrasiklin mem -bentuk khelat/kompleks yang tidak bisa diabsorpsi.

13.

8. Gagal Menerima Obat (Failure to receive medication)


Obat tidak diterima pasien bisa disebabkan tidak mempunyai
kemampuan eko -nomi, atau tidak percaya dan tidak mau mengkonsumsi
obat-obatan. atau bisa juga disebabkan obat tidak tersedia di apotek
sehingga pasien tidak dapat memperoleh obat.
Dengan adanya DRP diharapkan seorang apoteker menjalankan
perannya dengan melakukan screening resep untuk mengetahui ada atau
tidaknya DRP, serta mela -kukan konseling pada pasien tersebut agar
masalah terkait penggunaan obat dapat diatasi dan pasien dapat mengerti
tentang pengobatannya yang bermuara pada me-ningkatnya kepatuhan
pasien dalam pengobatan yang teratur. Hayo jalankan pe-ranmu
apoteker, tunggu apa lagi

Apoteker bertanggung jawab dalam menjalankan Pharmaceutical Care, antara


lain :
1.

Menetapkan kebutuhan terapi obat pasien sepanjang waktu, yang artinya (a)
semua kebutuhan terapi obat pasien digunakan sewajarnya dalam segala
kondisi, (b) Terapi obat oleh pasien adalah yang paling efektif, (c) Terapi obat
yang diterima oleh pasien adalah yang paling aman, dan (d) pasien sanggup

2.

dan mau untuk menjalankan medikasi.


Tanggung jawab apoteker termasuk dalam menjalankan identifikasi, resolusi,

3.

dan pencegahan kesalahan terapi obat (drug therapy problems)


Menjamin bahwa tujuan terapi dapat digunakan

baik

untuk

pasien. Praktisipharmaceutical care bertanggung jawab untuk memantau


kondisi pasien untuk memastikan bahwa pengobatan mencapai hasil yang
4.

diinginkan
These responsibilities are fulfilled by caring for each patient as an individual
in a way that benefits the patient, minimizes harm, and is honest, fair, and

5.

ethical.
Praktisi pharmaceutical care memenuhi tanggung jawab Klinis dengan cara
menemukan standar professional dan ethical behavior prescribed dalam
filsafat dari Praktik Asuhan Kefarmasian.

6.

Standar dalam sikap frofesional termasuk menyediakan asuhan kefarmasian


dalam specified standard of care, membuat keputusan secara etis, menunjukan
collegiality, kolaborasi, memelihara kompetensi, menerapkan research

7.

findings where appropriate, and being sensitive to limited resources


It is the pharmaceutical care practitioner's responsibility to hold colleagues
accountable to the same standards of professional performance. The success of
the practice will depend upon it.
Melakukan yang terbaik untuk pasien. Dalam segala kasus, tidak membuat

8.

kesalahan. Mengatakan yang sebenarnya pada pasien. Be fair. Setia. Mengakui


that the patient is the ultimate decision maker. Selalu menjaga privasi pasien.
1.3 Implementasi Asuhan Kefarmasian
Pelaksanaan dan Tanggung Jawab Pharmacetical care meliputi:
Assesment

Bertemu dengan pasien


Memperoleh informasi yang

Menetapkan hubungan terapi


Menetapkan siapa pasien anda dengan cara

relevan dari pasien

mempelajari alasan untuk menemui,


demografi pasien, pengobatan dan

Care plan

Membuat keputusan terapi

informasi klinis yang lainnya.


Menetapkan kebutuhan obat pasien yang

rasional

dijumpai

menggunakanPharmacotherap

(indikasi,efektifitas,keamanan,kepatuhan),

y Workup

identifikasi DRP.

Menetapkan tujuan terapi

Negosiasi dan and agree upon endpoints


and timeframe for pharmacotherapies with

Memilih intervensi yang tepat

the patient
Mempertimbangkan alternative terapi

untuk : resolusi DRP

Memilih Farmakoterapi yang specifik


untuk pasien

Menghargai goal terapi

Memilih intervensi tanpa obat

Mencegah masalah terapi obat


Membuat jadwalfollow-up

Edukasi pasien
Menetapkan jadwal secara tepat dan sesuai

Follow-up

evaluation
Menetapkan bukti klinis/ lab

secara klinis untuk pasien


Evaluasi efektifitas farmakoterapi

evaluation

pasien outcome terbaru dan


5

mebandingkan terhadap tujuan


terapi yang ditetapkan sebagai
efektifitas terapi obat
Menetakan bukti klinis/lab

Evaluasi keamanan farmakoterapi

adverse effect untuk mnetapkan

Menetapkan kepatuhan pasien

keamanan terapi obat


Status dokumen klinis dan

Membuat keputusan sebagai yang diatur

perubahan dalam farmakoterapi

dengan terapi obat.

yang diperlukan
Menilai pasien untuk DRP

Identifikasi DRP yang baru dan

terbaru
penyebabnya
Jadwalkan evaluasi selanjutnya Sediakan perawatan lanjutan

1.4 Asuhan Kefarmasian Sebagai Ruh Good Pharmacy Practice (GPP)


WHO & FIP telah menerbitkan panduan Good Pharmacy Practice (GPP) dan
menghimbau semua negara untuk mengembangkan standar minimal praktik
farmasi. Apoteker sebagai bagian dari tenaga kesehatan mempunyai tugas dan
tanggung jawab dalam mewujudkan pelayanan kefarmasian yg berkualitas.
Good Pharmacy Practice (GPP) atau Cara Pelayanan Kefarmasian yang Baik
(CPFB) adalah cara untuk melaksanakan pelayanan kefarmasian yang baik secara
komprehensif, berupa panduan yang berisi sejumlah standar bagi para Apoteker
dalam menjalankan praktik profesinya di sarana pelayanan kefarmasian. Good
Pharmacy Practice (GPP) merupakan praktek kefarmasian yang tanggap terhadap
kebutuhan masyarakat yang menggunakan jasa apoteker untuk memberikan
pelayanan yang optimal, asuhan berbasis bukti.
Cara Pelayanan Kefarmasian yang Baik [CPFB] (=Good Pharmacy
Practice [GPP]) adalah suatu pedoman, sebagai perangkat untuk memastikan
Apoteker dalam memberikan setiap pelayanan kepada pasien di Apotek,
Puskesmas, Klinik maupun Rumah Sakit agar memenuhi standar mutu dan
merupakan cara untuk menerapkanPharmaceutical Care (Asuhan Kefarmasian).
Pelaksanaan konteks Good Pharmacy Practice (GPP) yang berlandaskan
konsep asuhan kefarmasian (pharmaceutical care) memerlukan persyaratanpersyaratan sebagai berikut (Sudjaswadi, 2001):

1. GPP mensyaratkan bahwa perhatian pertama dan utama seorang apoteker di


semua aspek adalah mengenai kesejahteraan pasien.
2. GPP mensyaratkan bahwa inti dari kegiatan farmasi adalah untuk membantu
pasien menggunakan obat-obatan terbaik, meliputi persediaan obat dan produk
perawatan kesehatan lainnya dengan kualitas terjamin, menyediakan informasi
dan saran yang tepat, pemberian obat, kapan saat membutuhkan obat, dan
pemantauan efek penggunaan obat-obatan.
3. GPP mensyaratkan bahwa bagian integral dari kontribusi apoteker adalah
mempromosikan peresepan yang rasional dan ekonomis, termasuk proses
dispensing.
4. GPP mensyaratkan bahwa tujuan dari setiap elemen pelayanan kefarmasian
relevan dengan pasien, didefinisikan secara jelas dan dikomunikasikan secara
efektif pada semua yang terlibat. Kolaborasi multidisiplin antara kesehatanasuhan secara professional adalah faktor kunci untuk keberhasilan
meningkatkan keselamatan pasien.

BAB II
GUIDE TO GOOD PRESCRIBING A PRACTICAL MANUAL
Kesalahan terapi (medication errors) sering terjadi di praktek umum
maupunrumah sakit. Kesalahan yang terjadi bisa karena peresepan yang salah, dan
itu terjadikarena kesalahan dalam proses pengambilan keputusan. Setiap langkah
mulai pengumpulan data pasien (anamnesis, pemeriksaan jasmani, dan
pemeriksaan penunjang lainnya) berperan penting untuk pemilihan obat dan
akhirnya penulisanresep yang tepat. Kesalahan pemilihan jenis obat, dosis, cara

pemakaian, penulisan yang sulitdibaca merupakan faktor yang bisa meningkatkan


kesalahan terapi. Pemberian obat yang ditujukan untuk mengobati penyakit atau
kumpulan gejala(sindroma) merupakan salah satu langkah penting dalam
pengobatan. Pengobatan,seperti halnya penelitian yang baik dimulai dari
penetapan masalah, membuathipotesis, pengujian hipotesis dan verifikasi hasil.
Diagnosis yang tepat berdasarkankumpulan gejala yang tampak dan menetapkan
tujuan terapi kemudian dipilihtindakan atau terapi yang paling tepat, efektif dan
aman. Setelah pilihan ditentukandan pasien harus mendapat penjelasan tentang
pilihan tersebut. Selanjutnyatindakan/terapi dapat dimulai dan hasilnya harus
dipantau serta diverifikasi apakahtelah sesuai dengan tujuan terapi. Apabila hasil
menunjukkan perbaikan atau sesuaidengan tujuan terapi maka terapi bisa
diteruskan atau kalau tidak berhasil dihentikan,terapi perlu dikaji ulang.Algoritma
terapi yang runtut dan rasional perlu dipelajari oleh setiap calon dokter dansuatu
saat menjadi kebiasaan bagi mereka bila telah menjadi dokter. Bahkan dokter pun
harus selalu disegarkan kembali ingatannya tentang peresepan yang rasional.

2.1. Proses pengobatan rasional


Bab ini menyajikan gambaran pertama dari proses memilih obat dalam
mengobati penyakit dengan diagnosa yang tepat pada pasien. Pengobatan rasional
memerlukan pendekatan logis dan akal sehat. Peresepan obat biasanya merupakan
langkah terakhir dalam konsultasi pasien dan dokter. Obat yangdiresepkan oleh
dokter harus memenuhi kriteria peresepan obat yang rasional. Peresepan obat
yangrasional memenuhi langkah proses pengambilan keputusan yang logis mulai
dari pengumpulan data pasien melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium atau penunjang lainnya.
World

Health

Organization

(WHO)

sejak

tahun

90an

telah

memperkenalkan sistem pembelajaran yang dikembangkan terutama untuk


mahasiswa kedokteran yaitu Guide to Good Prescribing. Makalah ini
mendiskusikan latar-belakang dan isi metode Guide to Good Prescribing.
Penggunaan obat yang tidak rasional merupakan masalah global.Diperkirakan
kurang dari 50% semua obat diresepkan, diserahkan(dispensed) atau dijual tidak
sesuai aturan, dan kurang dari 50%pasien mendapatkan obat dari peresepan atau

dispensed.Penggunaan obat secara tidak rasional dapat membahayakanmasyarakat


karena dapat menimbulkan pengobatan kurang efektif, risiko efek samping dan
tingginya biaya pengobatan.Contohnya pada penggunaan antibiotik secara tidak
rasional dapat berdampakserius karena dapat menyebabkan resistensi kuman
yangmeningkat pesat di seluruh dunia dan menyebabkan morbiditas dan
mortalitas yang bermakna, juga tingginya biaya yang terbuangpercuma untuk
tambahan biaya pengobatan per tahun.
Resep

adalah

permintaan

tertulis

dari

dokter

kepada

apoteker/farmasipengelola apotek untuk memberikanobat jadi atau meracik obat


dalambentuk tertentu sesuai dengankeahliannya, takaran dan jumlah obatsesuai
dengan yang diminta, kemudianmenyerahkannya kepada yangberhak/pasien.
Menurut WHO, peresepan yangrasional adalah memberikan obat
sesuaidengan

keperluan

klinik,

dosis

sesuaidengan

kebutuhan

pasien,

diberikandalam jangka waktu yang sesuai denganpenyakit, dan dengan biaya


termurah menurut pasien dan komunitasnya.
Tujuan adanya panduan peresepan obat baik adalah :
1. Memudahkan apoteker dalam pelayanankesehatan di bidang obat.
2. Meminimalkan kesalahan dalam pemberianobat.
3. Dituntut peran dan tanggung jawab apotekerdalam pengawasan distribusi obat
kepada masyarakat.

2.2. Siklus Terapi Pengobatan Rasional

1. Menetapkan Masalah Pasien


Keluhan yang disampaikan pasien harus digali lebih dalam saat
anamnesis.Anamnesis yang baik sangat membantu penegakan diagnosis yang
tepat setelahditambah data pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan
pemeriksaan penunjang lain. Bila masalah jelas maka diagnosis menjadi lebih
mudah,karena bila diagnosis sudah ditegakkan, maka tujuan terapi lebih mudah
ditetapkan.Data anamnesis dan pemeriksaan yang lengkap akan membantu
membangun hipotesis berdasarkan patofisiologi penyakit. Dengan mengenal
patofisiologi dapat diusahakanuntuk mengembalikan ke keadaan fisiologis
melalui pilihan terapi yang sesuai.
2. Menetapkan Tujuan Terapi
Bila diagnosis (kerja) dapat ditegakkan maka tujuan terapi pun dapat
dibuatdengan tegas, karena dari sinilah ditentukan apa yang diharapkan bila terapi
diberikan pada pasien. Contohnya sebagai berikut :
Kelima pasien setelah semua memiliki keluhan yang sama , sakit tenggorokan .
Tapi apakah mereka semua memiliki diagnosis yang sama ?

10

KASUS

DIAGNOSA
pasien 1

Pasien 1 :
Man , 54 tahun . Mengeluh sakit
tenggorokan yang parah . Tidak

Sakit tenggorokan pasien 1


merupakan infeksi virus ringan .
Mungkin dia takut penyakit yang

ada gejala umum , tidak ada


demam , sedikit kemerahan di
tenggorokan ; tidak ada temuan

lebih serius ( kanker tenggorokan ? )


. Dia perlu diyakinkan dan saran ,
bukan obat-obatan . Dia tidak

lainnya

membutuhkan antibiotik, karena


antibiotik tidak akan
menyembuhkan infeksi virus .

Pasien 2 :

pasien 2

Perempuan, 23 tahun . Mengeluh Tes

darah

nya

menegaskan

sakit tenggorokan , tetapi juga diagnosis klinis pasien AIDS .


sangat lelah dan telah pembesaran Masalahnya benar-benar berbeda
kelenjar getah bening di leher . dari kasus sebelumnya , seperti sakit
Demam ringan . Dia telah datang tenggorokan
untuk

hasil

tes

adalah

gejala

dari

laboratorium penyakit yang mendasarinya .

minggu lalu.
Pasien 3 :

pasien 3

Mahasiswa perempuan , 19 tahun . perhatikan bahwa dia agak pemalu


Mengeluh

sakit

tenggorokan

. dan ingat bahwa ia tidak pernah

Kemerahan sedikit tenggorokan ; berkonsultasi sebelumnya. masalah


tapi tidak demam dan tidak ada sebenarnya adalah , dengan ragutemuan

lainnya

pemalu

dan

Dia

tidak

sedikit ragu dia memberitahu bahwa dia


pernah adalah 3 bulan terlambat halangan .

berkonsultasi sebelumnya untuk pasien ternyata hamil dan tidak ada


11

keluhannya itu.

hubungannya

dengan

tenggorokannya .

Pasien 4 :

pasien 4

Manusia 43 tahun . Mengeluh sakit

Dalam hal ini , informasi dari

tenggorokan . Kemerahan sedikit rekam medis pasien sangat penting


tenggorokan ; tidak demam dan untuk pemahaman yang benar dari
tidak ada temuan lainnya . Rekam masalah . Sakit tenggorokan nya
medis

menyebutkan

bahwa

menderita diare kronis .

ia mungkin

disebabkan

oleh

loperamide untuk pengobatan diare


kronis . Obat ini efek samping nya
adalah pengurangan air liur dan
mulut kering. Pengobatan rutin dari
sakit

tenggorokan

memecahkan

tidak

akan

masalahnya,

tapi

diganti pengobatan anti diarenya


dengan obat lain.

3. Meneliti Kecocokan Terapi-Pribadi (personal therapy)


Dari keadaan pasien dipilih (rangkaian) terapi-P yang paling cocok agar tujuan
terapi tercapai dengan mempertimbangkan efektifitas, keamanan, kecocokan dan
biaya. Langkah pemilihan Obat-Pribadi, dapat dimulai dengan contoh kasus di
bawah ini:Tuan P umur 60 tahun, beberapa bulan ini mengeluh nyeri dada
yangdisertai sesak nafas yang timbul bila melakukan kegiatan fisik dan hilang bila
berhenti. Sejak 4 tahun berhenti merokok. Ayah dan saudara lelakimeninggal

12

karena serangan jantung. Tidak pernah minum aspirin selainuntuk nyeri.Tekanan


darah: 130/86 mmHg, Nadi: 78/mnt, berat badan normal.

Diagnosis: Angina Pectoris


Tujuan pengobatan:
Dalam menentukan tujuan pengobatan patofisiologi penyakit perlu
diketahui danmenjadi dasar untuk pengobatan non-farmakologik maupun
farmakologik. Sebagaicontoh dari kasus di atas dengan diagnosis kerja angina
pektoris maka bisa di telusurihal sebagai berikut misalnya etiologi angina
pektoris yaitu arteriosklerosis parsial pembuluh koroner, tujuan mengatasi
serangan secepatnya dan hal itu merupakanstrategi untuk meningkatkan
pasokan O2, menurunkan kebutuhan O2 miokard sebagai akibat dari
penurunan beban hulu ( preload ), kontraktilitas, frekuensi deyut jantung,atau
beban hilir (afterload ).Maka senyawa farmakologis yang bisa memenuhi
tujuan tersebut adalah: (1) Nitratorganik, (2) Penghambat reseptor beta,
(3)Penyekat kanal kalsium .

4. Dasar pemilihan terapi


Dalam pemilihan dan pengambilan keputusan tentang terapi non-obat
maupunobat harus dipertimbangkan faktor kemanjuran (efficacy), keamanan
(safety),kecocokan (suitability) dan biaya (cost ). Terapi non-obat yang
biasanya dipikirkandan dianjurkan kepada pasien menyangkut perubahan gaya
hidup (life style) termasuk

perubahan pola makan (mengurangi asupan

karbohidrat, lemak atau protein), perubahan pola minum (mengurangi


konsumsi alkohol), berhenti merokok,meningkatkan kegiatan olahraga,
dst).Upaya terapi terhadap berbagai kondisi penyakit dapat dilihat dari sumber
yang menyajikan hasil penelitian meta-analisis atausystematic-reviews
(evidence-based medicine/ EBM).

5. Mulai pengobatan

13

Setelah sampai pada kesimpulan dan keputusan tentang obat yang paling
cocok untuk pasien dan kasus yang kita hadapi, maka langkah berikut adalah
memulai pengobatan dengan menuliskan resep yang merupakan suatu
instruksi kepadaapoteker untuk menyediakan/menyiapkan obat yang
dibutuhkan pasien. Dalam matarantai pengobatan rasional, pasien pun berhak
mendapatkan informasi dari apoteker dan perawat (atau petugas kesehatan
yang bertanggung-jawab untuk hal itu) tentangobat, dosis, cara penggunaan,
efek samping, dll.
6. Penjelasan Tentang Obat, Cara Pakai, Peringatan.
Setelah resep ditulis, kita harus menjelaskan tentang berbagai hal kepada
pasien yaitu:

Efek obat: Efek utama obat yang menjadi dasar pilihan kita
untuk mengatasi permasalahan/diagnosis perlu dijelaskan kepada pasien,

misalnya gejalademam dan pusing akan berkurang atau hilang.


Efek samping: Demikian pula efek samping yang mungkin
muncul akibatmenggunakan obat. Namun perlu bijaksana, agar pasien
tidak justru menjaditakut karenanya, yang penting pasien tahu dan bisa
mengantisipasi bila efek samping itu muncul, misalnya hipoglikemia

akibat obat anti diabetes,mengantuk akibat anti-histamin, dll


Instruksi: Pasien harus jelas tentang saat minum obat, cara
minum obat,misalnya obat diminum 3 kali (pagi, siang dan malam,
sesudah/sebelummakan, dengan cukup air, dst.), cara menyimpannya, apa
yang harus dilakukan bila ada masalah dst. Antibiotika misalnya harus
diminum sampai habis sesuai dengan jumlah yang diresepkan, sedangkan
beberapa obat digunakan hanya bila diperlukan saja. Ada obat yang
diminum secara bertahap dengan dosis berangsur-angsur naik dan setelah

itu berangsur-angsur turun (kortikosteroid).


Peringatan: terkait dengan efek samping, misalnya tidak boleh

mengemudi danmenjalankan mesin karena efek kantuk obat.


Kunjungan berikutnya: jadwal kunjungan berikutnya ke dokter

(untuk evaluasidan monitor terapi).


Sudah jelaskah semuanya?: Pasien perlu ditanya apakah semua
informasi yangdiberikan telah dimengerti dengan baik. Pasien bisa diminta
untuk mengulangsegenap informasi yang telah disampaikan.

14

WHO menyarankan 12 intervensi kunci yang dapat meningkatkan


pemakaian obat secara rasional:
1. Pembentukan

badan

multi-disiplin

di

tingkat

nasional

yang

mengkordinasikebijakan penggunaan obat


2. Penggunaan pedoman klinik (clinical guidelines)
3. Pembuatan daftar obat esensial nasional (DOEN)
4. Pembentukan Komite Obat/Farmasi dan Terapi (KFT) di wilayah dan
rumahsakit
5. Memasukkan pembelajaran farmakoterapi model belajar-berbasis masalah
(problem-based learning/PBL) di pendidikan dokter
6. Pendidikan medik berkelanjutan sebagai syarat pengajuan/perpanjangan
ijin praktek
7. Supervisi, audit dan umpan-balik terhadap (pola) penggunaan obat
8. Menggunakan sumber informasi yang mandiri/independen tentang obat
9. Pendidikan tentang obat kepada masyarakat. Masyarakat perlu
dicerdaskandalam hal obat dan pengobatan melalui pendidikan formal
maupun informal.
10. Menghindari insentif finansial (dari produsen farmasi) yang berlebihan.
11. Penggunaan dan pelaksanaan kebijakan (obat) yang konsisten.
12. Peningkatan pemahaman dan praktek penggunaan obat yang rasional
melalui pendidikan bisa ditempuh melalui berbagai strategi yaitu (a) di
tingkat pendidikandokter, residensi/kepaniteraan dan internship juga ketika
pendidikan spesialisasi, (b) metode pembelajaran dengan problem-based
learningdibantu dengan komputer (computer-based training), (c) insentif
dan penegakan kebijakan dan hukum (law enforcement).

BAB III
PHARMACOVIGILANCE
3.1.

Defenisi
Definisi menurut WHO adalah serangkaian ilmu dan kegiatan yang

berkaitan dengan deteksi, penilaian, pemahaman dan pencegahan efek samping


atau masalah terkait obat lainnya (DRP).
Pharmacovigilance dibutuhkan karena ketika dipasarkan obat telah
melewati uji klinik dan dilegalkan untuk dikonsumsi oleh populasi umum. Pada

15

titik ini, kebanyakan obat hanya melewati tahap uji keamanan dan kemanjuran
yang singkat pada jumlah individu yang terbatas yang dipilih secara hati-hati.
Pada beberapa kasus, paling sedikit 500 orang, dan jarang yang lebih dari 5000
akan menerima produk yang akan dipasarkan.
Karena itu, untuk alasan yang bagus, bahwa obat baru yang masih butuh
pengembangan secara medis dimonitor untuk keefektifan dan keamanannya
setelah dipasarkan. Banyak informasi yang sangat dibutuhkan untuk penggunaan
obat tersebut pada populasi tertentu, khususnya pada anak-anak, wanita hamil, dan
lansia, dan mengenai kemanjuran dan keamanan pada penggunaan kronik,
khususnya dalam bentuk kombinasi dengan obat lain. Pengalaman membuktikan
bayak terjadi efek samping, interaksi ( dengan makanan dan obat lain) dan faktor
resiko lain yang tampak setelah obat tersebut dipasarkan.
3.2.

Tujuan Farmakovigilance
Tujuan

utama

dari

farmakovigilans

sendiri

ialah

menempatkan

penggunaan produk yang tepat untuk memastikan keamanan dan efikasi. Menurut
WHO,

tujuan

dari

meningkatkanperawatan

adanyaprogram
pasien

denganpenggunaanobat-obatan,
masyarakat

dengan

dan
dan

farmakovigilansadalah

keselamatanpasien
untuk

menyediakanhandal,

mendukung
informasi

dalam

untuk
kaitannya

programkesehatan

yang

seimbanguntuk

penilaianyang efektifdari profilrisiko - manfaatobat-obatan.


Seperti tragedi yang terjadi pada thalidomide, maka sangat penting adanya
sistem monitoring obat yang efektif untuk semua obat. Tujuan utama dari program
pharmacovigilance adalah :
1. Meningkatkan pelayanan pasien dan keamanan dalam menggunakan
obat, pengobatan, dan intervensi paramedic.
2. Meningkatkan kesehatan masyarakat dan keamanan dalam penggunaan
obat.
3. Memberikan kontribusi untuk penilaian manfaat, bahaya, keefektifan
dan resiko penggunaan obat, harapan untuk kemanan pasien,
penggunaan obat yabg rasional dan efektif (termasuk biaya yang
efektif).

16

4. Untuk memberikan pemahaman , pendidikan dan training klinik dalam


pharmacovigilance dan komunikasi yang efektif kepada tenaga
kesehatan dan masyarakat.
Pada decade terakhir, ruang lingkup pharmacovigilance yang sudah
dikenal perlu diperluas dan dibatasi secara tegas untuk mendeteksi gejala-gejala
baru dari obat. Berbagai macam perkembangan yang semakin maju dalam
penggunaan obat memerlukan pendekatan pharmacovigilance yang lebih spesifik.

3.3.

Sumber Farmakovigilan
Sumber farmakovigilan adalah sistem pelaporan secara nasional akan

sebuah kasus yang diduga ADR dan hasil kajian farmakoepidemiologi.


Farmakovigilan mencakup kegiatan mendeteksi kejadian efek obat yang tidak
diduga, yang tidak diharapkan dan yang merugikan.WHO mendirikan Program
untuk Pemantauan Obat Internasional dalam menanggapi bencana thalidomide
terdeteksi pada tahun 1961. Bersama dengan WHO Collaborating Centre for
International Pengawasan Obat, Uppsala, WHO mempromosikan farmakovigilans
di tingkat negara. Pada akhir 2010, 134 negaramerupakan bagian dariProgram
Farmakovigilans WHO.

3.4.

Ruang Lingkup Farmakovigilans


a. Meningkatkan perawatan dan keselamatan pasien dalam kaitannya
dengan penggunaan obat-obatan, dan semua intervensi medis dan
paramedis.
b. Meningkatkan kesehatan dan keselamatan masyarakat dalam kaitannya
dengan penggunaan obat-obatan.
c. Berkontribusi pada penilaian manfaat, bahaya, efektivitas dan risiko
obat-obatan, mendorong mereka aman, rasional dan lebih efektif
(termasuk biaya-efektif) digunakan, dan
d. Mempromosikan pemahaman, pendidikan dan pelatihan klinis di
pharmacovigilance dan komunikasi yang efektif kepada public.

3.5.

Alasan Diperlukan Farmakovigilans

17

Alasan 1:
Keprihatinan kemanusiaan:
Tak cukup bukti keselamatan dari uji klinis
Percobaan pada hewan
Tahap 1-3 penelitian sebelum izin edar
Alasan 2:
Obat-obatan yang seharusnya untuk menyelamatkan nyawa.
Meninggal akibat penyakit ini kadang-kadang tidak dapat dihindari;
sekarat dari obat tidak dapat diterima. (Lepakhin V. Geneva 2005)
Alasan 3:
ADR (reaksi obat yang merugikan) yang mahal. Reaksi obat yang
merugikan

sebagai penyebab masuk ke rumah sakit. Analisis prospektif dari

18,820 pasien terdapat:

6,5% dari penerimaan disebabkan ADR


Tujuh rumah sakit 800 tempat tidur yang ditempati oleh pasien
ADR

Alasan 4:
Mempromosikan penggunaan obat yang rasional dan kepatuhan

Alasan 5:
Memastikan kepercayaan public, jika ada sesuatu yang bisa salah,
itu harus -

(hukum Murphy)

Alasan 6: Etika
Untuk mengetahui ada sesuatu yang berbahaya bagi orang lain yang
tidak tahu,

dan tidak memberitahu, itu tidak etis. Tidak melaporkan reaksi yang

tidak

diketahui yang serius itu tidak etis berlaku untuk semua orang.

Pasien
profesional kesehatan
produsen
pemerintah

3.6.

Fase Pengembangan Obat


Uji klinik terdiri dari 4 fase yaitu:
1. Fase I, calon obat diuji pada sukarelawan sehat untuk mengetahui apakah
sifat yang diamati pada hewan percobaan juga terlihat pada manusia.

18

Pada

fase

ini

ditentukan

hubungan

dosis

dengan

efek

yang

ditimbulkannya dan profil farmakokinetik obat pada manusia.


2. Fase II, calon obat diuji pada pasien tertentu diamati efikasi pada
penyakit yang diobati. Yang diharapkan dari obat adalah mempunyai efek
yang potensial dengan efek samping rendah atau tidak toksik. Pada fase
ini mulai dilakukan pengembangan dan uji stabilitas bentuk sediaan obat.
3. Fase III, melibatkan kelompok besar pasien. Di sini obat baru
dibandingkan efek dan keamanannya terhadap obat pembanding yang
sudah diketahui. Semula uji klinik banyak senyawa calon obat
dinyatakan tidak dapat digunakan. Akhirnya obat baru hanya lolos satu
atau lebih kurang 10.000 seyawa yang disintesis karena risikonya lebih
besar dari manfaatnya atau kemanfaatnnya lebih kecil dari obat yang
sudah ada. Keputusan untuk mengakui obat baru dilakukan oleh badan
pengatur nasional di Indonesia oleh BPOM (Badan Pengawas Obat dan
Makanan), di AS adalah FDA (Food and Drug Administration), di
Kanada oleh Health Canada, di Inggris oleh MHRA (Medicine and
Healthcare Product Regulatory Agency), di negara Eropa lain oleh
EMEA (European Agency for the Evaluation of Medicinal Product) dan
di Australia oleh TGA (Therapeutics Good Administration).
4. Fase IV, setelah obat dipasarkan masih dilakukan studi pasca pemasaran
(post marketing surveillance) yang diamati pada pasien dengan berbagai
kondisi, berbagai usia dan ras. Studi ini dilakukan dalam jangka panjang
untuk melihat terapetik dan pengalaman jangka panjang dalam
menggunakan

obat.

Setelah

hasil

studi

IV

dievaluasi

masih

memungkinkan obat ditarik dari perdagangan jika membahayakan.


Sebagai contoh cerivastatin (suatu antihiperkolesterolemia yag dapat
merusak ginjal), entero-vioform (kliokuinol suatu anti-disentri amuba
yang pada orang Jepang bisa menyebabkan kelumpuhan pada otot
mata/SMON disesase), fenil pranol amin/PPA yang sering terdapat pada
obat flu harus diturunkan dosisnya dari 25 mg menjadi tidak lebih dari 15

19

mg karena dapat meningkatkan tekanan darah dan kontraksi jantung,


triglitazon (antidiabetes yang bisa merusak hati), dan Viox (rofecoxib)
yang bisa merusak jantung. Penemuan obat baru chemotheraupetica
(New Chemical Entity/NCE) saat ini cenderung mengalami penurunan
karena diberlakukannya syarat yang sangat ketat untuk dapat diterima,
diregistrasi dan diizinkan beredar sebagai obat. Hal ini berlaku di negaranegara Eropa, AS dan negara maju lainnya. Persyaratan ketat ini
memerlukan penelitian farmakologi dan kemanan yang jauh lebih luas
dan dengan sendirinya memerlukan biaya yang sangat tinggi. Jangka
penemuan obat baru sejak awal ditemukan suatu bahan kimia harus
sampai menjadi obat baru yang diizinkan beredar memerlukan waktu 1012 tahun dan biaya peneltian lebih kurang USD 350-800 juta.
FASE 1-3 :
Jumlah populasi : tidak lebih dari 5000 dan sering kecil dari 500
relawan.
Populasi sempit: usia dan jenis kelamin tertentu
Indikasi sempit: hanya penyakit tertentu yang dipelajari
Durasi pendek: sering tidak lebih dari beberapa minggu.

3.7.

Peran Penting Farmakovigilans


Ketika obat dilepaskan ke pasar masih banyak yang diketahui tentang

keamanan produk. Setelah dipasarkan obat-obatan yang digunakan oleh pasien


yang memiliki banyak penyakit yang berbeda, yang menggunakan beberapa obat
lain dan yang memiliki tradisi yang berbeda dan diet yang dapat mempengaruhi
cara di mana mereka bereaksi untuk obat. Berbagai merek obat mungkin berbeda
dalam cara di mana mereka diproduksi dan bahan-bahan yang digunakan. Reaksi
obat yang merugikan dan keracunan yang berhubungan dengan obat tradisional
dan herbal juga perlu dipantau di setiap negara.

20

3.8.

Alasan Mengetahui Farmakovigilans


1. Untuk memastikan keamanan bagi pasien
2. Meningkatkan pengetahuan tentang produk dan cara penggunaan yang
optimal
3. Meningkatkan kepercayaan konsumen
4. Meningkatkan kepatuhan

21

BAB IV
DEVELOPING PHARMACY PRACTICE
Seorang Apoteker harus bergerak dari belakang meja dan mulai melayani
masyarakat dengan menyediakan pelayanan bukan pil saja. Tidak ada masa
depan dalam tindakan yang hanya sekadar pengeluaran (produk/obat). Kegiatan
yang dapat dan akan diambil alih oleh internet, mesin, dan / atau teknisi yang
tidak terlatih. Fakta bahwa apoteker memiliki pelatihan akademik dan bertindak
sebagai profesional perawatan kesehatan menempatkanbeban kepada mereka
untuk lebih melayani masyarakat daripada yang mereka lakukan saat ini.
Pelayanan Kefarmasian atau Asuhan Kefarmasian adalah tugas dari
seorang tenaga kesehatan apoteker yang bertanggung jawab dalam hal yang
berkaitan dengan terapi obat pasien untuk mencapai tujuan dan hasil yang pasti
demi meningkatkan kualitas hidup pasien.
Empat prinsip utama yang telah muncul untuk memandu jaminan mutu
dalam pelayanan kesehatan:
1. Fokus pada klien / pasien
2. Fokus pada sistem dan proses
3. Fokus pada pengukuran
4. Fokus pada kerja sama tim
Apoteker klinis bekerja terutama di rumah sakit dan pengaturan perawatan
akut dan mengutamakan pasien-oriented daripada layanan produk-oriented.
Klasifikikasi Aktivitas Praktek Di Apotek
A. Memastikan terapi yang tepat dan hasil
o Memastikan farmakoterapi yang tepat
o Memastikan pemahaman / kepatuhan pasien terhadap terapinya atau
rencana perawatannya
o Pemantauan dan hasil pelaporan
B. Pemberian obat-obatan dan perangkat
o Pengolahan resep atau pemesanan obat
o Mempersiapkan produk farmasi
o Menghantarkan obat atau perangkat
C. Promosi Kesehatan dan pencegahan penyakit
o Menyampaikan layanan pencegahan klinis
22

o Pengawasan dan pelaporan masalah kesehatan masyarakat


o Mempromosikan penggunaan obat yang aman dalam masyarakat
D. Sistem manajemen Kesehatan
o Mengelola praktek
o Mengelola obat di seluruh sistem kesehatan
o Mengelola penggunaan obat dalam sistem kesehatan
o Berpartisipasi dalam kegiatan penelitian
o Terlibat dalam kolaborasi interdisipliner

Peranan apoteker dijelaskan di bawah ini dan termasuk fungsinya

sebagai berikut:
o Pemberi pelayanan: Apoteker menyediakan layanan kepedulian. Mereka
harus melihat praktek mereka sebagai terintegrasi dan terus-menerus dengan
orang-orang dari sistem perawatan kesehatan dan profesional kesehatan
lainnya. Jasa harus dari kualitas tertinggi.
o Pembuat keputusan: ketepatan, berkhasiat, penggunaan yang aman dan
hemat biaya sumber daya (misalnya, personel, obat-obatan, bahan kimia,
peralatan, prosedur, praktek) harus menjadi dasar kerja apoteker. Di tingkat
lokal dan nasional, apoteker berperan dalam menetapkan kebijakan obatobatan. Pencapaian tujuan ini memerlukan kemampuan untuk mengevaluasi,
mensintesis. Data dan informasi dan memutus saja yang paling tepat
tindakan.
o Manager: Apoteker harus mampu mengelola sumber daya (manusia, fisik
dan keuangan) dan informasi secara efektif; mereka juga harus nyaman
diperintah oleh orang lain, apakah dengan majikan atau manajer / pemimpin
tim perawatan kesehatan. Terlebih lagi, informasi dan teknologi terkait akan
memberikan tantangan sebagai apoteker memikul tanggung jawab yang lebih
besar untuk berbagi informasi mengenai obat-obatan dan produk-produk
terkait dan memastikan kualitas mereka.
o Belajar seumur hidup: Tidak mungkin untuk memperoleh semua
pengetahuan di sekolah farmasi dan pengalaman yang diperlukan untuk
mengejar karir seumur hidup sebagai seorang apoteker. Konsep, prinsip
dan komitmen untuk belajar seumur hidup harus dimulai ketika
menghadiri sekolah farmasi dan harus didukung sepanjang karier apoteker.

23

Apoteker harus belajar bagaimana menjaga pengetahuan dan keterampilan


mereka up to date.
o Guru: Apoteker memiliki tanggung jawab untuk membantu pendidikan dan
pelatihan generasi masa depan apoteker dan masyarakat. Berpartisipasi
sebagai guru tidak hanya menanamkan pengetahuan kepada orang lain, ia
menawarkan kesempatan bagi praktisi untuk mendapatkan pengetahuan baru
dan untuk menyempurnakan keterampilan yang ada.
o Pemimpin: Dalam multidisiplin (misalnya, tim) peduli situasi atau di daerah
di mana penyedia layanan kesehatan lainnya terbatas atau tidak ada apoteker
wajib untuk mengasumsikan posisi kepemimpinan dalam kesejahteraan
keseluruhan pasien dan masyarakat. Kepemimpinan melibatkan kasih sayang
dan empati serta visi dan kemampuan untuk membuat keputusan,
berkomunikasi, dan mengelola secara efektif. Seorang apoteker yang peran
kepemimpinan harus diakuiharus memiliki visi dan kemampuan untuk
memimpin.

Ilustrasi Kasus

KASUS I
Mrs W, seorang wanita 53 tahun telah memiliki gangguan asam terkait
gastrointestinal (GERD) didiagnosis dengan endoskopi. Mrs W memiliki riwayat
asma, hipertensi dan duodenum ulkus (DU). Terapi obat saat nya meliputi
amlodipine (10mg di pagi hari), salbutamol inhaler (dua puff yang diperlukan),
beclometasone inhaler (200mcg dua kali sehari), dan teofilin (300mg dua kali
sehari). Mrs W baru-baru ini telah mengalami H. pylori terapi eradikasi yg sukses,
yang telah dikonfirmasi oleh tes nafas karbon urea. Mrs W merokok 10 batang
sehari, memiliki indeks massa tubuh 35 dan tidak minum alkohol.
Identifikasi pola hidup, obat dan faktor penyakit pasien dibawah ini :
1. Faktor pola hidup

Dia obesitas dan harus mencoba untuk menurunkan berat badan.


Dia adalah seorang perokok. Nikotin dapat menyebabkan refluks

dengan mengurangi nada sfingter esofagus lebih rendah.


Faktor-faktor lain mungkin ada tetapi tidak jelas dari sejarah.
Misalnya, dia tidak tidak minum alkohol tetapi dapat minum

24

kelebihan kopi atau minuman lainnya seperti cola atau teh, yang akan
memperburuk GERD karena kandungan kafein mereka.
2. Faktor Obat

Calcium channel blockers mengurangi nada sfingter esofagus bagian


bawah yang dapat menyebabkan refluks asam. Mungkin amlodipine
dapat diubah ke yang lain anti-hipertensi seperti bendroflumethiazide

(bendrofluazide).
Theophylline juga mengurangi nada sfingter esofagus lebih rendah.
Tinjau manajemen asma. Jika sesuai, bisa berhenti teofilin tanpa
menambahkan terapi atau mengganti teofilin dengan obat lain seperti

salmeterol.
3. Faktor Penyakit
Diagnosis GERD mungkin telah tertutup oleh pengobatan jangka
panjang DU yang baru-baru ini disembuhkan oleh pemberantasan H.

pylori ; ini tidak jarang.


Presentasi 'Atypical' dari GERD termasuk gejala asma terkait dengan
refluks asam.

KASUS II
Mrs P, berusia 74 tahun, baru-baru ini didiagnosis dengan penyakit
Parkinson. dia hanya kondisi medis yang tercantum adalah angina. Terapi obatnya
saat ini adalah sebagai berikut: gliseril trinitrat (GTN) 500mcg satu tablet
sublingually sesuai kebutuhan haloperidol 0.5mg kapsul satu kapsul tiga kali
sehari.
IDENTIFIKASI MASALAH OBAT KASUS 2
Jenis Masalah
1. butuh farmakoterapi tetapi tidak

1.

mendapatkannya-masalah

untuk angina-dosis rendah sehari

sebenarnya
2. butuh farmakoterapi tetapi tidak
mendapatkannya-masalah potensial
3. mendapat atau menerima obat
dengan

tidak

tepat

Deskripsi Masalah
indikasi profilaksis antiplatelet

indikasi-

aspirin
2.

penjelasan

dibutuhkan

untuk

terapi profilaksis anti angina oleh


pemantauan pnggunaan GTN dan
frekuensi serangan angina. Juga

25

masalah sebenarnya
4. mengalami ES-maslah potensial

cek kolesterol dan lakukan terapi


yang dbutuhkan
3.

penjelasan
untuk

yang

haloperidol.

dibutuhkan
Tidak

ada

indikasi yang dilaporkan yang


diidentifikasi

dari

wawancara

pasien
4.

hentikan

haloperidol

dan

jelaskan diagnosis dari pnyakit


parkinson

KASUS III
Mrs L, pasien 59 tahun, meminta untuk membeli ranitidin 'kekuatan tinggi'
untuk 'maag' nya. Dari catatan nya Anda perhatikan bahwa dia tidak memiliki
riwayat penyakit ulkus peptikum. Pembahasan lebih lanjut dengan Mrs L
mengungkapkan bahwa dia telah membeli ranitidin, yang memiliki pengaruh yang
kecil. Dia menghubungkan ini dengan kekuatan rendah

yang telah dibeli

sebelumnya maka permintaannya untuk 'kekuatan tinggi' ranitidine. Gejala yang


agak kabur dan termasuk atas perut tidak nyaman, mual dan sesekali muntah
berhubungan dengan penurunan berat badan baru-baru ini. Kondisi medisnya
hanya anemia yang ia menerima suntikan hydroxocobalamin setiap tiga bulan.
Identifikasi Masalah Kasus 3
Terapi obat ranitidine tidak perlu diberikan, namun untuk situasi dan
kondisi darurat rujukan ini lebih lanjut yang diperlukan. Pasien memiliki anemia
pernisiosa yang menyebabkan kekurangan faktor intrinsik lambung akibat gastritis
autimun yang disebabkan malabsorpsi vitamin B12, maka dibutuhkan injeksi
hydroxocobalamin. Kondisi ini juga terkait dengan keasaman yang rendah dan
peningkatan risiko kanker lambung. Pasien tersebut selalu tidak memiliki sel-sel
parietal dan karena itu tidak dapat menghasilkan asam dan obat-obatan lambung
seperti ranitidine yang tidak pantas. Kasus ini butuh analisa spesialis dan rujukan
lebih lanjut.
26

BAB V
FOOD/DRUG AND DRUG/NUTRIENT INTERACTIONS
Bagaimana untuk memahami interaksi obat dengan makanan/ obat dg
obat / nutrisi, penting untuk memahami bagaimana obat bekerja dalam tubuh. Ada
empat tahapan kerja obat untuk obat-obatan yang diambil oleh mulut:
Tahap 1. Obat larut ke dalam bentuk yang bisa digunakan di perut.
Tahap 2. Obat ini diserap ke dalam darah dan diangkut ke tempat
kerjanya.
Tahap 3. Tubuh merespon obat dan obat melakukan fungsi.
Tahap 4. Obat ini diekskresikan dari tubuh baik oleh ginjal, hati, atau
keduanya.

INTERAKSI MAKANAN/OBAT

27

Makanan dapat mengganggu tahapan kerja obat dalam beberapa cara. Efek
yang paling umum adalah untuk makanan untuk mengganggu penyerapan obat.
Hal ini dapat membuat obat kurang efektif karena kurang masuk ke dalam darah
dan ke lokasi aksi. Kedua, nutrisi atau bahan kimia lainnya dalam makanan dapat
mempengaruhi bagaimana obat yang digunakan dalam tubuh. Ketiga, ekskresi
obat dari tubuh dapat dipengaruhi oleh makanan, nutrisi, atau zat lain.
Dengan beberapa obat, sangat penting untuk menghindari makanan dan
obat-obatan bersama-sama karena makanan dapat membuat obat kurang efektif.
Untuk obat lain, mungkin baik untuk mengambil obat dengan makanan untuk
mencegah iritasi lambung.
a) Grapefruit Juice Dan Obat
Jus Grapefruit mengandung senyawa yang meningkatkan penyerapan
beberapa obat. Hal ini dapat meningkatkan efek mereka. Senyawa ini tidak
ditemukan dalam jus jeruk lainnya. Yang terbaik untuk tidak mengambil obat
dengan jus jeruk. Minum setidaknya dua jam dari ketika Anda minum obat.
Jika Anda sering minum jus jeruk, berbicara dengan apoteker atau dokter
sebelum mengubah rutinitas Anda.
Hal ini juga memungkinkan untuk obat untuk mengganggu status gizi
seseorang. Beberapa obat mengganggu penyerapan nutrisi. Obat lain
mempengaruhi penggunaan tubuh dan / atau ekskresi nutrisi, terutama vitamin
dan mineral. Jika gizi kurang tersedia untuk tubuh karena efek ini, hal ini
dapat menyebabkan kekurangan gizi.
b) Analgetik
Analgetik adalah obat yang menghilangkan rasa sakit. Analgesik seringkali
menyebabkan iritasi lambung. Ini adalah ide yang baik untuk mengambil
analgesik, seperti aspirin, dengan makanan. Sebuah perut penuh menurunkan
risiko iritasi lambung.
c) Antacid, Acid Blocker
Antasida menetralisir asam lambung, dan asam blocker mengurangi produksi
asam lambung. Penggunaan jangka panjang obat ini dapat menyebabkan
kekurangan gizi tertentu. Hal ini karena asam lambung yang penting dalam
pencernaan dan / atau penyerapan nutrisi. Orang tua menghasilkan asam

28

lambung yg kurang, yang menyebabkan rendahnya penyerapan vitamin B12.


Biasa menggunakan antasida atau asam blocker penyerapan B12 rendah
bahkan lebih. Suplemen vitamin B12 mungkin diperlukan dalam situasi ini.
d) Antibiotik
Antibiotik digunakan untuk mengobati infeksi bakteri. Ada berbagai jenis
antibiotik. Beberapa antibiotik mengurangi sintesis vitamin K oleh bakteri
biasanya ditemukan di usus kita. Vitamin K penting untuk pembekuan darah
normal.
Contoh : Antibiotik Tetrasiklin Mengikat kalsium ditemukan dalam produk
susu. Hal ini dapat mengurangi penyerapan antibiotik. Obat lain seperti
penisilin dan eritromisin yang paling efektif bila diminum pada saat perut
kosong. Hal ini karena mereka mungkin sebagian dihancurkan oleh asam
lambung jika dikonsumsi dengan makanan. Namun, makanan dapat
mengurangi kemungkinan iritasi lambung dari obat ini. Tanyakan apoteker
Anda jika Anda harus mengambil antibiotik tertentu dengan atau tanpa
makanan.
e) Antikoagulan
Antikoagulan memperlambat proses pembekuan darah. Hal ini dapat
mengurangi risiko stroke pada pasien yang darahnya cenderung menggumpal
terlalu mudah. Obat ini, seperti warfarin (Coumadin), bekerja dengan
mengganggu penggunaan vitamin K dalam pembekuan darah. Orang yang
memakai antikoagulan tersebut harus konsisten dalam jumlah vitamin K yang
mereka dapatkan dari makanan. Ini sangat penting untuk menghindari makan
dalam jumlah besar makanan tinggi vitamin K. sumber kaya vitamin K
meliputi hati, dan sayuran hijau seperti brokoli, bayam dan sayuran hijau
lainnya.
f) Antikonvulsan
Obat antikonvulsan membantu mengontrol kejang. Fenitoin (Dilantin),
fenobarbital dan primidone dapat menyebabkan diare dan penurunan nafsu
makan. Hal ini dapat mengurangi ketersediaan banyak nutrisi.
Obat ini juga meningkatkan penggunaan vitamin D dalam tubuh. Ini berarti
bahwa kurang vitamin D yang tersedia untuk fungsi-fungsi penting seperti
penyerapan kalsium. Suplemen vitamin D mungkin diperlukan. Beberapa

29

antikonvulsan juga berinteraksi dengan asam folat vitamin B. Ketika terapi


obat dimulai, kadar asam folat dalam penurunan tubuh. Karena suplemen
asam folat mempengaruhi kadar obat, suplemen folat harus diawasi oleh
dokter.
g) Antihistamin
Antihistamin digunakan untuk mengobati alergi. Banyak obat-obatan ini
sering menyebabkan kantuk. Mereka juga dapat meningkatkan nafsu makan,
yang dapat menyebabkan penambahan berat badan. Peningkatan aktivitas fisik
dapat membantu mengurangi berat badan. Alkohol dapat menyebabkan
peningkatan yang lebih besar dalam rasa kantuk yang disebabkan oleh
antihistamin seperti diphenhydramine (Benadryl), klorfeniramin (ChlorTrimeton), dan obat lain yang mengandung antihistamin over-the-counter.
h) Antiinflamasi
Obat anti-inflamasi diresepkan untuk pasien untuk sejumlah masalah seperti
sakit kronis sendi, sakit kepala, dan arthritis. Penggunaan jangka panjang
dapat menyebabkan iritasi lambung dan akhirnya bisul. Obat-obat ini harus
diambil dengan makanan.
i) Antihipertensi
Antihipertensi yang digunakan untuk mengontrol tekanan darah tinggi.
Kelompok obat secara luas digunakan di seluruh Amerika Serikat karena
sejumlah besar orang dengan tekanan darah tinggi. Obat-obat ini dapat
mempengaruhi tingkat mineral

tubuh seperti kalium, kalsium, dan seng.

Untuk pasien dengan diabetes, obat ini dapat menyebabkan masalah dalam
mengontrol gula darah. Selain itu, licorice alami, ditemukan di beberapa
permen impor, menyebabkan retensi garam dan air. Hal ini dapat
menyebabkan peningkatan tekanan darah.
j) Obat Kanker
Agen antineoplastik digunakan untuk mengobati berbagai bentuk kanker. Obat
ini dapat mengiritasi sel-sel yang melapisi mulut, lambung, dan usus. Banyak
penyebab mual, muntah, dan / atau diare. Semua ini dapat mempengaruhi
status gizi.
k) Laxative

30

Pencahar mempercepat pergerakan material melalui saluran pencernaan. Hal


ini mengurangi waktu untuk penyerapan nutrisi. Penggunaan berlebihan obat
pencahar dapat menguras vitamin dan mineral yang dibutuhkan untuk fungsi
tubuh normal. Obat pencahar juga meningkatkan kehilangan cairan. Hal ini
dapat menyebabkan dehidrasi.
l) Diuretik
Diuretik menyebabkan tubuh mengeluarkan lebih banyak urin dan sering
digunakan untuk mengobati tekanan darah tinggi dan penumpukan cairan.
Beberapa diuretik meningkatkan kerugian mineral urin seperti kalium,
magnesium, dan kalsium. Lainnya membatasi kehilangan mineral (terutama
kalium). Hal ini penting untuk berbicara dengan dokter Anda tentang apakah
Anda perlu mengambil atau menghindari suplemen mineral.
m) Antihiperlipid
Obat penurun lipid, juga disebut obat Antihyperlipemic menurunkan kadar
kolesterol darah. Obat-obatan seperti cholestyramine (Questran) dapat
menurunkan penyerapan vitamin larut lemak (A, D, E, dan K), vitamin B12,
asam folat, dan kalsium. Untuk penggunaan jangka panjang, mungkin akan
membantu untuk mengambil multivitamin dan suplemen kalsium.
n) Obat Gangguan Mental
Obat psikoterapi mengobati depresi, kecemasan, dan kondisi kesehatan mental
lainnya. Beberapa obat ini meningkatkan nafsu makan sementara yang lain
menguranginya. efek dapat berdampak berat badan secara signifikan.

o) Inhibitor Mao
Obat ini mengurangi penggunaan tubuh dari senyawa yang disebut
monoamina. MAO inhibitor juga dapat bereaksi dengan tyramine (monoamine
a) ditemukan dalam makanan. Reaksi ini dapat menyebabkan kenaikan
berbahaya dalam tekanan darah. Jika tidak diobati, hal ini dapat menyebabkan
kematian. Beberapa makanan tua dan difermentasi yang tinggi tyramine.
Mereka harus dihindari oleh orang yang memakai inhibitor MAO. Beberapa
makanan ini:
Keju berusia
Brewer ragi, ekstrak ragi

31

Anggur chianti
Acar ikan herring
Kacang fava

Jika Anda tidak yakin apakah Anda mengambil inhibitor MOA, tanyakan
kepada dokter atau apoteker.
Interaksi

obat

dan makanan terjadi

apabila

makanan

yang

kita

makan

mempengaruhi kerja obat, kerja obat menjadi tidak efektif dan tidak tepat sasaran,
dapat menimbulkan efek samping yang lebih parah, dan dampak buruk lainnya.
Namun, tidak semua makanan yang kita konsumsi dapat mempengaruhi efektifitas
obat di dalam tubuh lho, hanya obat-obatan tertentu saja dan ini patut kita ketahui.
Makanya, terkadang ada obat yang diminum dua jam sebelum makan dan ada
yang diminum setelah makan.

Berikut ini ada beberapa contoh interaksi obat dan makanan tersebut
:Makanan yang mengandung kalsium, seperti susu dan produk olahannya
serta suplemen; zinc, magnesium, zat besi, dapat menghambat penyerapan
antibiotik. Antibiotik bila berikatan dengan zat-zat tersebut dapat membentuk
zat yang tidak larut dan tidak dapat diserap oleh tubuh. Akibatnya, obat
menjadi

tidak

manjur

dan

kesembuhan

menjadi lama.

Jika anda sedang mengkonsumsi antibiotik, misalnya ampisilin, amoxilin,


kloramfenikol, antibiotic golongan tetrasiklin dan fluorokuinolon (contoh:
siprofloksasin) sebaiknya jangan minum susu. Jika anda tetap ingin minum
susu juga tunggu sampai dua jam setelah atau sebelum minum obat.
Sebenarnya tidak semua obat tidak baik dikonsumsi berbarengan dengan susu.
Ada juga beberapa obat seperti obat-obat antiinflamasi non steroid seperti
asetosal dan ibuprofen dianjurkan diminum bersama susu atau pada waktu
makan. Meskipun mengurangi kerja obat, tetapi efeknya dapat melindungi
iritasi lambung, dan ini dirasa lebih bermanfaat.

Makanan atau minuman yang mengandung kafein, seperti kopi


meningkatkan

resiko

over dosis antibiotik

32

tertentu

(seperti enoxacin,

ciprofloxacin, norfloksasin). Kejadian ini dapat menimbulkan halusinasi,


tremor, dan palpitasi. Kafein merangsang kinerja susunan saraf pusat. Jadi,
ketika mengunakan obat-obat yang merangsang saraf pusat (seperti
obat asma yang mengandung teofilin dan epinefrin) dapat meningkatkan efek
stimulant sistem saraf pusat yang berlebihan. Teh juga seperti itu,
mengandung zat tannin yang dapat mengikat senyawa aktif obat sehingga
sukar untuk di absorpsi dan diserap tubuh.

Sayuran yang kaya vitamin K seperti brokoli, kubis, selada, bayam, dan
alpukat sebaiknya dihindari ketika sedang meminum obat anti koagulan
karena dapat mengurangi efektifas obat tersebut. Obat ini bekerja
mengencerkan darah, sedangkan vitamin K dapat membekukan darah

Jus jeruk yang dikonsumsi bersamaan dengan obat penurun kolesterol


dapat meningkatkan penyerapan bahan aktifnya dan menyebabkan kerusakan
otot yang parah. Selain itu, jeruk yang dikonsumsi bersamaan dengan obat anti
inflamasi atau aspirin dapat memicu rasa panas dan asam di perut.

Konsumsi alkohol dengan obat anti histamin atau anti alergi (seperti obat
alergi, flu, dan batuk) dapat menambah rasa kantuk dan memperlambat
performa motoric dan mental. Selain itu juga, konsumsi alkohol yang
bersamaan dengan parasetamol dapat meningkatkan kerusakan hati dan
pendarahan lambung. Maka dari itu, sebaiknya hindari konsumsi makanan
yang mengandung alkohol berlebihan seperti tape ketan atau tape beras.OK
gan, gimana ne biar obat-obatan tetap manjur??. Nah,ketika mendapat resep
dari dokter ikuti petunjuknya dan tanyakan apa saja makanan dan minuman
yang dilarang, serta jangan lupa baca label pada kemasan obat-obatan. Untuk
lebih amannya konsumsi obat dengan air putih saja.

33

DAFTAR PUSTAKA
Amstrong dkk, 2005, The contribution of community pharmacy to improving the
publics health, Report 3: An overview of evidence-base from 1990
2002 and recommendations for action.
Anonim. 1990. The Role of the Pharmacist in Health Care System
Bland, Sarah E. 1998. Pharmacotherapy Perspectives : Drug-Food Interactions.
Journal of the Pharmacy Society of Wisconsin.
Bobroff, Linda B, Ashley Lentz, dan R. Elaine Turner. Food/Drug and
Drug/Nutrient Interactions : What You Should Know About Your
Medications. University of Florida
Cipolle, Robert J. Linda M. Strand, dan Peter C. Morley. Pharmaceutical Care
Practice: The Clinician's Guide, 2nd Edition.
Couper, Mary R dan Shanthi Pal. The need for Pharmacovigilance : Quality
Assurance and Safety of Medicines. World Health Oganization.
Hepler and Strand , 1990, Opportunities and Responsibilities in Pharmaceutical
Care
Sudjaswadi, 2001, Farmasi, Farmasis, dan Farmasi Sosial (Pharmacy,
Pharmacist, and Social Pharmacy)
World Health Organitation, 2006, Developing pharmacy practice A focus on
patient care HANDBOOK 2006 EDITION. World Health Organitation.

34

Anda mungkin juga menyukai