Menurut PMK RI nomor 35 tahun 2014 tentang standar
pelayanan kefarmasian di apotek, pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pelayanan kefarmasian telah mengalami perubahan yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan obat (drug oriented) berkembang menjadi pelayanan komprehensif (pharmaceutical care) meliputi pelayanan obat dan pelayanan farmasi klinik yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Menurut WHO, pengobatan yang rasional adalah suatu keadaan dimana pasien menerima pengobatan sesuai dengan kebutuhan klinis mereka, dengan dosis, cara pemberian dan durasi yang tepat, dengan cara sedemikian rupa sehingga meningkatkan kepatuhan pasien terhadap proses pengobatan dan dengan biaya yang paling terjangkau bagi mereka dan masyarakat pada umumnya. Bila definisi WHO tersebut diterjemahkan, maka ”meningkatkan kepatuhan” berarti bahwa pemberian pengobatan harus disertai dengan pemberian informasi yang memadai. Dengan kata lain, informasi obat dan pengobatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses terapi rasional. Seringkali, dokter dianggap merupakan pemegang keputusan terakhir dalam suatu proses terapi. Namun, dalam hal penggunaan obat, apoteker dan petugas penyerah obat lainnya, merupakan petugas terakhir yang menyerahkan obat kepada pasien. Proses penyerahan obat seringkali diabaikan oleh para penyusun kebijakan di bidang kesehatan selama pengembangan proses pemberian pelayanan kesehatan. Proses ini biasanya dianggap kurang penting dibandingkan proses diagnosis, pengadaan, kontrol penyimpanan dan distribusi. Kelalaian ini sangat merugikan karena proses penyerahan obat yang tidak tepat dan tidak terkontrol dapat menimbulkan dampak buruk bagi sistem pemberian pelayanan kesehatan. Semua proses yang yang telah dilakukan hingga penentuan obat untuk pasien akan menjadi tidak berguna bila proses penyerahan obat tidak dapat menjamin ketepatan pemberian obat yang benar kepada pasien yang benar dalam dosis dan jumlah yang efektif, dengan instruksi yang jelas dan penyimpanan obat dalam kemasan yang menjamin kestabilan obat. Karena petugas penyerah obat merupakan orang terakhir yang berkomunikasi dengan pasien sebelum obat digunakan, maka proses penyerahan obat merupakan tahap yang sangat penting dalam menentukan penggunaan obat yang tepat. Karena itu, proses ini harus dimengerti oleh setiap pelaku proses penyerahan obat. Tujuan konseling pasien dalam pelayanan kefarmasian di antaranya membentuk hubungan yang baik antara Apoteker dan pasien sehingga dapat timbul kepercayaan, menunjukkan perhatian Apoteker kepada pasien, dan membantu pasien beradaptasi dengan pengobatannya (misalnya membuat jadwal minum obat yang sesuai dengan kegiatan pasien sehari-hari). Konseling memberikan banyak manfaat pula,di mana tidak hanya untuk pasien, tetapi juga untuk farmasis sendiri. Manfaat konseling bagi pasien, yaitu menurunkan kesalahan penggunaan obat, meningkatkan kepatuhan dalam menjalani pengobatan, menghindari reaksi obat yang tidak diinginkan, memastikan keamanan dan efektivitas pengobatan, mendapatkan penjelasan tambahan mengenai penyakitnya (misalnya pasien asam urat dijelaskan mengenai penyakit asam urat oleh Apoteker), membantu pemecahan masalah pengobatan dalam situasi tertentu dan dalam melakukan perawatan kesehatan sendiri (self-care / self-medication), serta meningkatkan efektivitas dan efisiensi biaya kesehatan. Tujuan Pemberian konseling obat 1. Mendorong penggunaan obat secara: a) Efektif Efektif yaitu tercapainya tujuan terapi secara optimal, termasuk juga efektivitas biaya, yang ditandai dengan keluaran positif lebih besar daripada keluaran negatif. b) Aman Aman berarti bahwa efek obat yang merugikan dapat diminimalkan dan tidak membahayakan pasien. c) Rasional Rasional yaitu bahwa pengobatan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, sehingga dengan adanya pelaksanaan pelayanan informasi obat diharapkan obat yang diberikan kepada pasien dapat memenuhi kriteria, yaitu tepat pasien, tepat dosis, tepat rute pemberian dan tepat cara penggunaan. 2. Menyediakan dan memberikan informasi obat kepada pasien, tenaga kesehatan, dan pihak lain. 3. Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan obat terutama bagi PFT/KFT (Panitia/Komite Farmasi dan Terapi). Ada pula manfaat konseling yang dapat dirasakan Apoteker seperti menghindarkan Apoteker dari tuntutan karena kesalahan penggunaan obat (medication error), menjaga citra profesi sebagai bagian dari tim pelayanan kesehatan, meningkatkan kepuasan kerja dan mengurangi stress pekerjaan, serta menjadi pelayanan tambahan untuk menarik pelanggan. Pelayanan konseling telah diketahui memiliki tujuan mulia dan manfaat yang tidak hanya dirasakan pasien tetapi juga Apoteker. Tujuan dan manfaat tersebut dapat diperoleh dengan adanya komitmen dan kerjasama dari Apoteker dan tenaga kesehatan lain, pasien, pemerintah, dan pihak lain yang bersangkutan. Dengan demikian, pelayanan kefarmasian dapat terlaksana secara optimal dan manfaatnya dapat dirasakan oleh pasien dan masyarakat, yang akhirnya dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. Dalam proses penyerahan obat, ada delapan langkah penting yang harus dilakukan untuk menjamin terlaksananya penyerahan obat yang benar kepada pasien dari petugas penyerah obat. Setiap langkah membawa tanggungjawab dan atau pertimbangan yang penting untuk dilakukan. Dalam hal ini, diasumsikan bahwa pemberi resep telah melakukan diagnosis yang benar serta memilih obat yang benar dan regimen yang tepat, serta pasien mempunyai akses terhadap apotik. Langkah tersebut adalah sebagai berikut : 1. Petugas penyerah obat menerima resep yang benar dari pasien atau pemberi resep (secara tertulis atau lisan) dan melakukan pengkajian resep terhadap antara lain : Originalitas (keaslian) resep. Jika diperlukan komunikasi dengan pemberi resep untuk resep yang meragukan dan tidak jelas. 2. Petugas penyerah obat membaca resep dengan benar dan memeriksa ketepatan instruksi yang tertulis pada resep, terhadap : Nama obat. Dosis, cara dan lama pemberian. Ketersediaan obat. Petugas penyerah obat kemudian mencari obat di tempat penyimpanannya 3. Obat yang diresepkan tersedia dalam kondisi layak pakai (tidak kadaluarsa atau rusak). Petugas penyerah obat harus : Menjamin obat disimpan pada tempat yang benar. Memeriksa tanggal kadaluarsa dan melakukan proses FIFO (First in First Out). Melakukan proses periksa dan periksa ulang (jika memungkinkan) terhadap ketepatan nama, kekuatan dan bentuk sediaan obat yang diberikan. 4. Petugas penyerah obat harus memiliki pengetahuan obat dan cara penggunaan obat yang tepat dan dapat pula melakukan hal berikut : Penyiapan obat dengan tepat. Pengecekan kembali terhadap jenis obat dan dosis. 5. Petugas penyerah obat harus mengkomunikasikan kepada pasien cara yang tepat untuk menggunakan obat melalui informasi mengenai : Etiket obat yang mencantumkan informasi mengenai nama pasien, nama obat, petunjuk penggunaan obat, tanggal pemberian obat, identitas pemberi resep, dan identitas petugas penyerah obat. Instruksi berupa simbol, untuk pasien yang buta huruf. Pemberian label/etiket informasi tambahan untuk obat. 6. Pasien mengerti terhadap instruksi dari petugas penyerah obat. Petugas penyerah obat harus ; Mengulang secara lisan, instruksi yang tertulis pada etiket, jika memungkinkan dalam bahasa yang jelas dan lugas, yang dimengerti oleh pasien. Meminta pasien untuk mengulang instruksi yang diberikan. Menekankan kebutuhan terhadap adanya kepatuhan. Menginformasikan peringatan dan perhatian terkait penggunaan obat. Memberikan perhatian khusus terhadap kondisi tertentu seperti wanita hamil, pasien yang memiliki gangguan penglihatan dan pendengaran, buta huruf, anak dan pasien lansia dan pasien yang mendapatkan lebih dari satu jenis obat. 7. Yakinkan pasien untuk mematuhi instruksi dari terapi Untuk meningkatkan kepatuhan, pemberian obat harus disertai dengan pemberian informasi yang memadai. Komunikasi dengan pasien atau keluarganya seringkali menemui hambatan, sehingga pasien gagal untuk mengikuti petunjuk pengobatan. Berikut ini beberapa kemungkinan penyebab yang telah teridentifikasi: Ada kesenjangan antar pemberi dan penerima informasi, baik dalam penggunaan bahasa, cara penuturan, ataupun cara pendekatan. Waktu untuk memberikan informasi terbatas. Pemberi informasi tidak berhasil menarik perhatian atau keterbukaan pasie/keluarganya. Informasi yang diberikan tidak diartikan secara benar, atau tidak dimengerti. Petunjuk yang diberikan tidak dipahami. Petunjuk yang diberikan tidak disepakati. Petunjuk yang diberikan tidak dapat dilaksanakan. Petunjuk diberikan secara tidak lengkap. Hal-hal yang harus dikerjakan terlupa. Pasien tidak suka diajak berdiskusi. Pasien/keluarga merasa sudah mengetahui. Keyakinan pasien/keluarganya sulit diubah. Tidak tersampaikannya informasi secara baik, mutlak menjadi tanggung jawab apoteker atau petugas penyerah obat lainnya, walaupun hambatannya mungkin ada di pihak penerima. Untuk itu, perlu diwaspadai kemungkinan adanya hambatan diatas, agar dapat segera diantisipasi. 8. Petugas penyerah obat melakukan pendokumentasian terhadap langkah yang dilakukan, yaitu: Memasukkan detil informasi pada profil pengobatan pasien. Memasukkan data resep. Melengkapi data inventori. Hubungan antara dokter, apoteker dan asisten apoteker terle tak pada saat adanya permintaan resep dari dokter kepada apoteker yang dibantu asisten apoteker agar menyediakan obat yang ditujukan kepada pasien dan apabila ditemukan hal-hal yang meragukan apoteker atauasisten apoteker dapat menghubungi dokter untuk berkonsultasi mengenai obat-obatan yang diberikan kepada pasien sehingga pasien benar-benar mendapatkan obat yang tepat dan aman :ntuk menjalin suatu hubungan antar professional farmasis dengan dokter supaya terjalin komunikasi yang baik, seorang farmasis dan Asisten Apoteker harus mengetahui lebih dahulu apa yang menjadi tanggung jawab seorang farmasis dalam pelayanan kefarmasian.Yang biasa dapat dijumpai di Apotek, Rumah sakit, Poliklinik,Puskesmas dan masihbanyak lainnya. Adanya pemahaman yang baik antar kedua profesi ini, akan sangat Memud ahkan farmasis dan dokter berkomunikasi. Dokter juga harus selalu bersikap ramah namun tetap bertanggung jawab d an memperhatikan aspek medikolegal dalam menjalankan hubungan kerja professional dengan profesi lain. Dokter wajib memahami semua peraturan perundangan yg berlaku di bidang kesehatan, khususnya yang berhubungan dengan praktik kedokteran. Dalam hubungan antar farmasis dan dokter, biasanya seorang dokter selalu bertanya atau berkomunikasi dengan farmasis di depo farmasi mengenai info obat yang tersediadi tempat mereka bekerja. Begitu juga dengan farmasis, mereka harus selalu membe ritahuinformasi terbaru mengenai obat di depo farmasi. Jika dokter lupa memberikan aturan pakai dalam resep obat yang akan di tebus di depo Farmasi biasanya farmasis akan langsung ke ruangan dokter untuk bertanya tentang kelengkapan resep tersebut. Kita sebagai farmasis juga dapat selalu sharing mengenai fungsi berbagai macam obat ke dokter HUBUNGAN FARMASIS DENGAN PERAWAT Hubungan antar farmasis dengan perawat tidak jauh beda de ngan hubungandokter dan farmasis. Hanya bedanya seorang perawat akan lebih banyak bertanggung jawabterhadap pasien yang dirawatnya dalam memberikan obat. selain itu perawat juga harus banyak berkomunikasi dengan farmasis dalam pemberian d an pendistribusian obat terhadap pasiennya. Perawat juga wajib menegur farmasis bila terjadi kesalahan dalam pemberian obat dan memastikan terlebih dahulu dosis yang akan diberikan ke pasien. Terkadang perawat hanyamemberikan resep yang diberikan kepada dokter untuk di tebus di depo farmasi untuk pasien rawat inap HUBUNGAN FARMASIS DENGAN FARMASIS Hubungan farmasis dengan farmasis adalah termasuk kedalam hubungan antar professional yang terjalin didalam suatu ruang lingkup yang sama dan di dalam satu tempat. Hubungan ini biasa terjadi antara apoteker dengan apoteker atau apoteker dengan asisten apoteker. Namun biasanya seorang apoteker hanya dapat menaungi satu apotik saja dan terdiri dari beberapa orang asisten apoteker. Dalam hal inilah terjadi suatu hubungan komunikasi antar profesi Biasanya dalam suatu depo farmasi atau apotik, pasien jika ingin bertanya mengenai fungsi atau aturan pakai obat biasa memanggil apoteker, karena apotekerlah yang biasa memberikan informasi penggunaan obat secara normative kepada pasien dari pada asisten apotekernya. Sebenarnya asisten apoteker juga dapat memberikan informasi obat jika mereka aktif bertanya kepada apoteker mengenai penggunaan obat dan paham betul fungsi obat tersebut Apoteker akan bisa saling mempercayai asisten apoteker dalam memberikan pelayanan karena mereka sendiri yang telah membantu dan mengawaasi para asisten apoteker dalam bekerja. Selain itu para asisten apoteker harus aktif kepada apoteker, karena apoteker sangat memerlukan informasi yang independen, komprehensif dan mutakhir tentang pelayanan kefarmasian. Kadang-kadang para farmasis selalu bertukar pikiran mengenai materi promosi obat serta penyebaran informasi yang telah dievaluasi bersama.