Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Hewan peliharaan adalah hewan-hewan yang sudah dikembangkan
secaravdomestik atau dibiasakan untuk hidup berdampingan dengan manusia.
Binatang ini sudah tidak memiliki naluri untuk merasa terancam atau menyerang
lagi kepada manusia dan makhluk hidup lain. Binatang peliharaan ada yang sudah
dikembangbiakan oleh manusia sejak beratus-ratus tahun yang lalu agar bisa
hidup nyaman berdampingan dengan manusia . Hewan sekarang lebih sebagai
hobi, bisnis, atau bahkan untuk meningkatkan status sosial, sehingga kesehatan
dan perawatan hewan semakin di perhatikan. Dokter hewan dituntut untuk dapat
melakukan pengobatan, pencegahan penyakit, dan penanganan operasi. Operasi
atau pembedahan yang dilakukan di dunia kedokteran hewan pada dasarnya
dibedakan menjadi dua, yaitu bedah terapi dan bedah kosmetik atau untuk
kepentingan estetika. Bedah terapi bertujuan menghilangkan penyebab penyakit
dan serta menghilangkan kelainan kongenital yang dapat menyelamatkan jiwa
pasien. Bedah kosmetik bertujuan menghilangkan bagian tubuh yang tidak
diinginkan sehingga dinilai berpenampilan lebih baik. Bedah kosmetik umumnya
dilakukan atas permintaan pemilik hewan dan berdasarkan mode yang di anut
pada suatu komunitas.

Tujuan
Kastrasi pada kucing bertujuan untuk menghambat fertilitas kucing jantan.

Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh dari tindakan kastrasi yaitu mengurangi
overpopulasi kucing, mengurangi sifat agresif pada kucing jantan, roaming dan
kebiasaan spray urin. Selain itu tindakan kastrasi pada kucing jantan dapat
menghambat penyakit yang berkaitan dengan hormon androgen, seperti gangguan
pada kelenjar prostat, perianal adenomas, dan perineal hernias (Fossum dkk.,
2007).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Sistem Reproduksi Kucing Jantan

Gambar 1. Sistem reproduksi dan urinari kucing jantan ( Hills, 2007 ).

Organ reproduksi pada kucing jantan meliputi testes, epididimis, ductus


(vasa) deferens, prostat, gld. Bulbourethralis, penis, dan preputium (Johnston et
al ,2001). Pada kucing, seperti pada kebanyaka mamalia, masing masing testis
turun dari rongga perut menuju inguinal ring ke dalam skrotum. Testis tertutup
tunica albuginea, dan juga beberapa lapisan dari visceral (lamina parietalis tunica
vaginalis) dan parietal (fascia spermatica interna) peritoneum terbawa bersamaan
3

keluar dari cavum abdominalis. Incisi pada kulit scrotum, akan melewati fascia
spermatica interna (tunica vaginalis communis), cavum vaginalis, lamina
parietalis tunica vaginalis (tunica vaginalis propria), dan tunica albuginea sebelum
akhirnya memasuki parenkim testis. Pada anak kucing normal testes akan turun
pada saat kelahiran, tetapi ketika prubertas (umur 7-10 bulan), testes kucing dapat
berpindah naik ke atas dan turun ke bawah di dalam canalis inguinalis. Berat
kedua testes pada anak kucing baru lahir sekitar 20-58 mg, 130 mg pada umur 12
minggu, dan 500 mg pada umur 20 minggu (Johnston et al, 2001).
Epididimis berdampingan dengan duktus eferens yang menempel pada
permukaan testes. Epididimis merupakan tempat pematangan sperma. Lokasi
caput epididimis terletak pada dorsal cranial medial dari testis; corpus epididimis
berbelok mengelilingi dorsolateral dari testis dan melanjut kepada caudal
epididimis. Caudal epididimis kemudian melewati medial menuju permukaan
testis dan melanjut menjadi ductus deferens, yang melewati bersama corda
spermatica lainnya, menuju cavum abdominal lewat cincin inguinal dan menurun
ke arah permukaan dorsal dari prostat, dimana letak jalur masuknya yaitu di
colliculus seminalis, menuju ke urethra (Johnston et al, 2001).
Testis dari kucing domestik terdiri dari tubulus seminiferus dan sel sel
interstisial (leydig) yang hampir memenuhi ruang intertubular. Tiga sel utama
pada testis yaitu, sel interstisial yang mensekresikan testoterone sebagai respon
stimulasi dari LH; sel Sertoli yang mensekresikan estrogen dan inhibin sepanjang
tubulus seminiferus yang bertindak merawat sel untuk memperpanjang produksi
spermatosit; sel germ (misal : spermatogonia, spermatosit primer dan sekunder,

spermatid, spermatozoa), yang ada didalam tubulus seminiferus (Johnston et al,


2001).

Kastrasi/ Orchiectomy
Orchiectomy atau kastrasi merupakan prosedur operasi/ bedah dengan
tujuan menghambat fertilitas hewan. Manfaat yang dapat diperoleh dari tindakan
kastrasi yaitu mengurangi overpopulasi kucing, mengurangi sifat agresif pada
kucing jantan, roaming dan kebiasaan spray urin. Selain itu tindakan kastrasi pada
kucing jantan dapat menghambat penyakit yang berkaitan dengan hormon
androgen, seperti gangguan pada kelenjar prostat, perianal adenomas, dan
perineal hernias (Fossum dkk., 2007).
Terdapat dua metode kastrasi, yaitu:
1. Open castration (metode terbuka)
Metode kastrasi dengan cara incisi sampai ke tunika vaginalis parietalis
(Fossum dkk., 2007).
2. Closed castration (metode tertutup)
Metode kastrasi dengan cara incisi hanya sampai ke fascia scroti (Fossum
dkk., 2007).

Preanastesi
Obat-obatan preanastesi digunakan untuk mempersiapkan pasien sebelum
pemberian agen anestesi baik itu anastesi local, regional ataupun umum. Tujuan
pemberian agen preanestesi tersebut adalah untuk mengurangi sekresi kelenjar
ludah, meningkatkan keamanan pada saat pemberian agen anestesi, memperlancar

induksi anestesi, mencegah efek bradikardi dan muntah setelah ataupun selama
anestesi, mendepres reflek vasovagal, mengurangi rasa sakit dan gerakan yang
tidak terkendali selama recovery. Agen preanastesi digolongkan menjadi 4 yaitu;
antikolinergik, morfin serta derivatnya, transquilizer dan neuroleptanalgesik
(Kumar, 1996).
Premedikasi pada kucing dapat diberikan atropin sulfat dengan dosis 0,020,04 mg/kg (injeksi SC atau IM), acepromazine 0,05 mg/kg (injeksi SC atau IM),
atau butorphanol 0,2-0,4 mg/kg (injeksi SC atau IM) (Fossum dkk., 2007).

Atropin Sulfat. Atropin merupakan agen preanestesi yang digolongkan sebagai


antikolinergik atau parasimpatolitik. Atropin sebagai prototip antimuskarinik
mempunyai kerja menghambat efek asetilkolin pada syaraf postganglionik
kolinergik dan otot polos. Hambatan ini bersifat reversible dan dapat diatasi
dengan pemberian asetilkolin dalam jumlah berlebihan atau pemberian
antikolinesterase (Ganiswarna, 2001). Atropin sebagai premedikasi diberikan
pada kisaran dosis 0,02-0,04 mg/kg, yang diberikan baik secara subkutan, intra
vena maupun intra muskuler (Plumb, 2008).
Atropin dapat menimbulkan beberapa efek, misalnya pada susunan syaraf
pusat, merangsang medulla oblongata dan pusat lain di otak, menghilangkan
tremor, perangsang respirasi akibat dilatasi bronkus, pada dosis yang besar
menyebabkan depresi sistem pernafasan, eksitasi, halusinasi dan lebih lanjut dapat
menimbulkan depresi dan paralisa medulla oblongata. Efek atropin pada mata
menyebabkan midriasis dan siklopegia. Pada saluran pernafasan, atropin dapat

mengurangi sekresi kelenjar di hidung, mulut dan bronkus. Efek atropin pada
sistem kardiovaskuler (jantung) bersifat bifasik yaitu atropin tidak mempengaruhi
pembuluh darah maupun tekanan darah secara langsung dan menghambat
vasodilatasi oleh asetilkolin. Pada saluran pencernaan, atropin sebagai
antispasmodik yaitu menghambat peristaltik usus dan lambung, sedangkan pada
otot polos atropin mendilatasi pada saluran perkencingan sehingga menyebabkan
retensi urin (Ganiswara, 1995).

Anestesi
Anestesi pada prosedur operasi diperlukan untuk membuat hewan tidak
sadar, mengurangi rasa sakit menginduksi relaksasi otot, dan menghilangkan
respon reflek. Pemilihan ini didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu
keadaan penderita, sifat anestetika, jenis operasi yang dilakukan, dan peralatan
serta obat yang tersedia. Sifat anestetika yang ideal antara lain mudah didapat,
murah, tidak menimbulkan efek samping terhadap organ vital seperti saluran
pernapasan atau jantung, tidak mudah terbakar, stabil, cepat dieliminasi,
menghasilkan relaksasi otot yang cukup baik, kesadaran cepat kembali, tanpa efek
yang tidak diingini. Obat anestesi umum yang ideal mempunyai sifat-sifat antara
lain : pada dosis yang aman mempunyai daya analgesik relaksasi otot yang cukup,
cara pemberian mudah, mulai kerja obat yang cepat dan tidak mempunyai efek
samping yang merugikan. Selain itu obat tersebut harus tidak toksik, mudah
dinetralkan, mempunyai batas keamanan yang luas, tidak dipengaruhi oleh variasi
umur dan kondisi hewan (Tranqulli dkk., 2007).

Ketamine HCl. Ketamin merupakan zat anastetik disosiatif yang bekerja dengan
menghambat reseptor NMDA di CNS yang mana bisa digunakan untuk
pengendali rasa sakit. Efek samping yang akan diberikan yaitu hipertensi,
hipersalivasi, depresi respiratori, hiperthermia, emesis, dysnoe, kaku otot, tremor,
hipertonicity, kesakitan akibat injeksi IM juga dapat terjadi. Mata kucing akan
tetap terbuka setelah pemberian ketamine (Plumb, 2008).
Ketamine adalah anastetik general yang signifikan untuk analgesik dan
tidak terlalu memicu efek cardiopulmonary deppresant. Obat ini menginduksi
anastesi dan amnesia dengan menstimulai secara berlebihan CNS atau agar CNS
mamasuki tahap cataleptic. Ketamine menginhibisi GABA, dan dapat memblok
serotonin, norepinephrine, dan dopamine pada CNS. Sistem Thalamoneocortical
akan terdepres akan tetapi sistem limbic tetap aktif. Ketamin akan menginduksi
anastesi menuju tahap I dan II, tetapi tidak sampai tahap III. Pada kucing akan
mengakibatkan sedikit efek hypothermic sebagai akibat dari menurunnya
temperatur tubuh dengan rata-rata sekitar 1,6oC setelah dosis therapeutic. Efek
ketamine pada sistem cardiovascular yaitu meningkatnya cardia output, denyut
jantung dan tekanan darah. Ketamine tidak mengakibatkan secara signifikan
depresi respirasi pada dosis yang sesuai, akan tetapi dengan dosis yang lebih
tinggi dapat mengakibatkan frekuensi nafas menurun (Plumb, 2008).
Ketamine didistribusikan pada semua jaringan tubuh dengan paling tinggi
ditemukan pada otak, hati, paru-paru, dan lemak. Ikatan dengan plasma protein
sekitar 37-53% pada kucing. Obat ini dimetabolisasi di hati dengan demethylasi

dan hidroksilasi dan metabolitnya bersama ketamine yang belum berubah


dieleminasi melewati urine. Waktu paruh eliminasi pada kucing, pedet, dan kuda
yaitu sekitar 1 jam (Plumb, 2008).
Pada kucing direkomendasikan untuk memberikan atropine atau
glycopyrrolate sebelum penggunaan untuk mengurangi hipersalivasi. 11 mg/kg
IM untuk restraint; 22-33 mg/kg untuk diagnosa atau operasi minor yang tidak
melibatkan otot skeletal relaksasi. 2-4 mg/kg IV atau 11-33 mg/kg IM; 22-33
mg/kg IM atau 2,2-4,4 mg/kg IV (dengan atropine) (Plumb, 2008).

Antibiotik
Ampicilin

Aminopenicillin bersifat broad-spectrum atau ampicillin penicillin efektif


untuk banyak strain gram-negatif aerob yang tidak terbunuh oleh penicillin alami
atau penicillinase-resistat penicillin, termasuk beberapa strain E.coli, Klebsiella,,
dan Haempohilus. Ampicillin bekerja dengan menghambat sel sintesis dinding sel
bakteri. Beberapa yang tidak efektif dengan ampicillin yaitu Pesudomonas
aeruginosa, Serratia, Indole-positive Proteus (kecuali Proteus mirabilis),
Enterobcater, Citrobacter, dan Actenobacter (Plumb, 2008).
Setelah terabsorbsi, volume distribusi ampicillin pada kucing yaitu 0,167
L/kg. Obat ini terdistribusi pada banyak jaringan, termasuk hati, paru-paru, otot,
empedu, dan cairan plerual dan sinovial. Ampicilin sekitar 20%-nya terikat pada

plasma protein, utamanya albumin. Eliminasi dari obat ini secara utama melewati
mekanisme ginjal, sekresi tubular, tetapi sebagian dari obat dimetabolisme dengan
hidrolisis menjadi asam peniclloic (inactive) dan disekresikan bersama urine.
Waktu eliminasi yaitu 45-80 menit pada anjing dan kucing (Plumb, 2008).
Hipersensitivitas dapat terjadi dengan gejala demam, ruam, eosinofilia,
neutropenia, agranulocytosis, thrombocytopenia, leukopenia, anemia, lymphadenopathy, atau anafilaksis (Plumb, 2008).
Dosis pada kucing untuk infeksi gram positif yaitu 10-20 mg/kg PO 2 kali
sehari; 5 mg/kg IM, SC 2 kali sehari; 5 mg/kg IV 3 kali sehari. Pada infeksi gram
negatif yaitu 20-30 mg/kg PO 3 kali sehari; 10 mg/kg IM, SC 3 kali sehari; 10
mg/kg IV 4 kali sehari. Pada infeksi jaringan lunak 20-40 mg/kg PO q8-12 jam
untuk 14 hari. Pada infeksi sistemik 7-11 mg/kg IV, IM, SC q8-12 jam selama
yang dibutuhkan. Pada kasus sepsis 20-40 mg/kg IV q6-8 jam (Plumb, 2008).

BAB III
MATERI DAN METODE

1. Persiapan alat dan bahan operasi


Dalam melakukan operasi kita harus mempersiapkan alat operasi terlebih
dahulu. Alat operasi yang harus dipersiapkan dalam keadaan steril meliputi:
scalpel dan blade, gunting lurus dan bengkok, needle holder, pinset anatomis

10

dan chirurgis, allis forcep, hemostatik forcep, tourniquet , rochester forcep


duk klem, duk, jarum bulat dan segitiga, benang catgut chromic, catgut plain
dan benang katun secukupnya, tampon dan kapas, dan dua set baju operasi.
Bahan yang harus disiapkan antara lain: air sabun, alkohol 70%, iodium,
Atropin Sulfat, Ketamin HCl, Xylazin, infus NaCl, salep iodine, kucing
jantan.
2. Persiapan hewan
Hewan yang akan dioperasi akan diperiksa terlebih dahulu untuk
mengetahui

status

kesehatannya.

Sehari

sebelum

dioperasi,

kucing

dimandikan terlebih dahulu. Kucing dipuasakan makan selama 8-12 jam dan
puasa minum selama 2-6 jam sebelum dioperasi. Selain dipuasakan,
dilakukan pencukuran rambut pada daerah skrotum dan sekitarnya.
Pencukuran dilakukan dengan cara rambut dibasahi air sabun, pencukuran
dilakukan searah dengan rebah rambut, setelah dicukur daerah yang akan
dioperasi dibersihkan dengan kapas yang dibasahi air kemudian dikeringkan
dengan handuk kering. Pencukuran tidak dilakukan di ruang operasi.
Kucing dibawa ke ruang operasi dan diberi premedikasi. Premedikasi pada
kucing dapat diberikan atropin sulfat dengan dosis 0,02-0,04 mg/kg (injeksi
SC atau IM), acepromazine 0,05 mg/kg (injeksi SC atau IM), atau
butorphanol 0,2-0,4 mg/kg (injeksi SC atau IM) (Fossum, 2007).
Setelah pemberian premedikasi kemudian dilakukan anestesi dengan
Ketamin HCl 2% dan Xylazin 10% diinjeksikan intramuskuler. Dosis
Ketamin HCl yang digunakan yaitu 10-20 mg/kg (injeksi SC atau IM) dan
dosis Xylazin 1,1-2,2 mg/kg (injeksi SC atau IM).
Setelah kucing teranestesi, kucing diletakkan di atas meja operasi dengan
posisi rebah dorsal dan difiksasi ke meja operasi. Daerah operasi diolesi

11

dengan iodium tincture 3% secara sirkuler dari bagian yang akan diincisi ke
perifer, kemudian duk steril dipasang (Mann dkk., 2011).
3. Persiapan operator dan co-operator
Operator dan asisten operator mempersiapkan diri dengan mencuci kedua
tangan sampai siku menggunakan air bersih dan sabun kmudian dengan
alkohol 70%, memakai jas dan sarung tangan serta masker. Untuk
pelaksanaan operasi yang aseptis maka diharapkan untuk menjaga sterilitas
alat dan bahan yang digunakan.
4. Pelaksanaan operasi
Lakukan incisi pada skrotum secara longitudinal sepanjang 1 cm pada
masing-masing testis (Gambar 2). Lapisan yang diincisi yaitu kutis, subkutis,
tunika dartos.

Gambar 2. (Tobias, 2010).


Pada metode kastrasi terbuka, incisi tunika vaginalis parietalis, kemudian
pisahkan ligamen yang melekat diantara epididimis dengan tunika vaginalis
(Gambar 3 dan 4).

Gambar 3. (Tobias, 2010).

Gambar 4. (Tobias, 2010).


12

Ligasi korda spermaticus dengan menggunakan benang aborbable catgut


chromic.

Transect

korda

spermaticus

yang

sudah

diligasi.

Selain

menggunakan benang, ligasi juga dapat dilakukan dengan mengikat antara


ductus deferens dengan korda spermaticus (Gambar 5).

Gambar 5. (Tobias, 2010).


DAFTAR PUSTAKA

Fossum, T.W. 2007. Small Animal Surgery 3rd Edition. Mosby-Year Book Inc.:
Missouri.
Ganiswara. 1995. Farmakologi edisi keempat. Jakarta: UI Press.
Johnston, Shirley D., Kustritz, Margaret V. Root., and Olson, Patricia N.S. 2001.
Canine and Feline Theriogenology. Saunders : USA.
Kumar, A., 1997. Veterinary Surgical Techniques. New Delhi : Vikas Publishing
House PVTLTD.
Mann, F.A., Gheorghe M.C., Hun Y.Y. 2011. Fundamentals of Small Animal
Surgery. Blackwell Publishing Ltd.: UK
Plumb DC. 2008. Veterinary Drug Handbook. United Kingdom: Blackwell
Publishing
Tobias, K.M. 2010. Manual of Small Animal Soft Tissue Surgery. Wiley
Blackwell: Iowa.

13

Tranquilli, W.M., John, C.T., Kurt, A.G. 2007. Lumb & Jones Veterinary
Anesthesia and Analgesia. Blackwell Publishing: Iowa.

14

Anda mungkin juga menyukai