OH
1.2 Tujuan
Mahasiswa dapat mempelajari serta melakukan Ovariohysterectomy pada kucing dengan
baik dan benar.
1.3 Manfaat
Mahasiswa mampu melakukan teknik Ovariohysterectomy pada kucing dengan baik dan
benar.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ovariohysterectomy (OH)
Ovariohysterectomy merupakan istilah kedokteran yang terdiri
dari ovariectomy dan histerectomy. Ovariectomy adalah tindakan mengamputasi,
mengeluarkan dan menghilangkan ovarium dari rongga abdomen.
Sedangkan histerectomy adalah tindakan mengamputasi, mengeluarkan dan menghilangkan
uterus dari rongga abdomen. OH adalah tindakan bedah yang dilakukan untuk mengangkat
dan membuang uterus dan ovariumnya sekaligus dari tubuh hewan betina.
Ovariohysterectomy dilakukan pada kasus-kasus pyometra, metritis, dan salphingitis. Selain
itu, tindakan operasi ini juga dianjurkan dilakukan pada anjing betina yang sudah tua yang
tidak ingin dikawinkan lagi dengan tujuan untuk mencegah terjadinya tumor kelenjar mamae
(Sudisma, 2006).
Ovariohysterectomy merupakan tindakan pembedahan yang dilakukan untuk
mengangkat ovarium dan/atau bersama uterus. Ovariectomy merupakan tindakan
mengamputasi, mengeluarkan, dan menghilangkan ovarium dari rongga abdomen.
Hysterotomy merupakan tindakan pembedahan berupa insisi uterus yang dilakukan melalui
dinding abdomen atau melalui vagina sedangkan Hysterectomy merupakan operasi
pemotongan dan pengambilan keseluruhan uterus (Kirpensteijn, 2008).
Kerugian dari OH ini yaitu akan memunculkan kondisi ketidakseimbangan hormonal
untuk sementara waktu seperti perubahan tingkah laku hewan tidak berahi, tidak bunting, dan
tidak dapat menyusui. Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan ovarium merupakan kelenjar
yang juga berfungsi sebagai kelenjar endokrin. Namun, keuntungan dari dilakukannya OH
adalah dapat mencegah terjadinya tumor mamae dan akan menghilangkan kemungkinan
terjadinya kasus pyometra. Selain itu juga untuk mengurangi over populasi hewan yang
tumbuh tidak terkontrol, penggemukan hewan, dan hewan lebih jinak atau lebih mudah
dikendalikan (Goathem, et al., 2006).
2.2 Anatomi
Sistem reproduksi pada hewan betina terdiri dari ovarium,oviduc,uterus , vulva dan
vagina.
2.4 Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian zat kimia sebelum tindakan anestesi umum dengan
tujuan utama menenangkan pasien, menghasilkan induksi anestesi yang halus, mengurangi
dosis anestetikum, mengurangi nyeri selama operasi maupun pasca operasi. Premedikasi
diberikan dengan tujuan membuat hewan lebih tenang dan terkendali, mengurangi dosis
anestesi, mengurangi efek-efek otonomik yang tidak diinginkan, mengurangi nyeri pre-
operasi. Agen anastesi digolongkan menjadi 4 yaitu: antikolinergik, morfin serta derivatnya,
transquilizer, dan neuroleptanalgesik (Goathem, et al., 2006).Premedikasi yang digunakan
pada OH yaitu atropin sulfat yang diberikan dengan dosis 0.02 mg/kg BB, konsentrasi 0,25
mg/ml, volume 0,208 ml secara subkutan.
2.5 Anastesi
Anestesi menurut arti kata adalah hilangnya kesadaran rasa sakit, namun obat anestesi
umum tidak hanya menghilangkan rasa sakit akan tetapi juga menghilangkan kesadaran.
Hampir semua obat anestetik menghambat aktivitas sistem saraf pusat secara bertahap diawali
fungsi yang kompleks yang dihambat dan yang paling akhir dihambat adalah medula
oblongatandimana terletak pusat vasomotor dan pusat respirasi yang vital. Depresi umum
pada sistem saraf pusat tersebut akan menimbulkan hipnosis, analgesi, dan depresi pada
aktivitas refleks. Pada OH digunakan teknik anastesi umum atau regional (Goathem, et al.,
2006).Adapun obat anastesi yang digunakan yaitu ketamin dosis 10 mg/kg BB, konsentrasi
100 mg/ml, volume 0,26 ml dan xylazine dosis 2 mg//kg BB, konsentrasi 20 mg/ml, volume
0,26 ml secara intramuskular.
Menurut Sardjana dan Kusumawati (2011) , stadium anastesi umum dibagi menjadi
empat tingkatan yaitu :
1. Stadium I (stadium analgesia/Induksi)
Stadium I (stadium analgesia) dikenal juga sebagai stadium eksitasi yang disadari atau
disorientasi, stadium ini berlangsung antara saat induksi dilakukan sampai hilangnya
kesadaran hewan penderita. Pada stadium ini pupil tidak melebar (midriasis) akibat terjadinya
rangsangan psikosensorik.
2. Stadium II (Stadium Eksitasi)
Stadium II dimulai dari hilangnya kesadaran, terjadi reaksi berlebihan maupun refleks yang
tidak terkendali terhadap segala bentuk rangsangan, refleks faring yang berhubungan dengan
menelan dan muntah meningkat. Pada stadium ini pupil mengalami midriasis akibat
rangsangan simpatik pada otot dilatator. Stadium I dan II adalah stadium menyulitkan ahli
anestesi karena bisa berbahaya bagi hewan penderita, oleh karena itu diupayakan bisa
melewati secepatnya untuk mencapai stadium III.
3. Stadium III (Stadium Anestesi)
Stadium III adalah stadium anestesi (stadium pembedahan), pupil mengalami midriasis
disebabkan pelepasan adrenalin. Stadium pembedahan ini dilakukan bila pupil dalam posisi
terfiksasi di tengah dan respirasi teratur. Pada anestesi yang dalam pupil mengalami dilatasi
maksimal akibat paralisis saraf kranial III. Stadium pembedahan ini dibagi menjadi 4 plane :
a. Plane 1, ventilasi teratur bersifat torakoabdominal, pernafasan dada dan perut seimbang,
pernafasan teratur, spontan, terjadi gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak, pupil
miosis, refleks cahaya positif, lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah negatif, tonus
otot menurun,belum tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna.
b. Plane 2, operasi kecil dapat dilakukan pada tingkat ini. Pernafasan teratur tetapi kurang
dalam dibandingkan tingkat I, ventilasi teratur bersifat abdomino torakal, bola mata tidak
bergerak, pupil midriasis, refleks cahaya menurun dan refleks kornea negatif, refleks laring
negatif, relaksasi otot sedang, tonus otot menurun, refleks laring hilang sehingga dapat
dikerjakan intubasi. Semua operasi dapat dilakukan pada tingkat ini.
c. Plane 3, pernafasan perut lebih nyata daripada pernafasan dada karena otot interkostal
mulai mengalami paralisis, pupil melebar, tonus otot makin menurun, relaksasi otot lurik
sempurna, refleks laring dan peritonium negatif. Semua operasi dapat dilakukan pada tingkat
ini.
d. Plane 4, ventilasi tidak teratur, tonus otot menurun, pernafasan perut sempurna karena
kelumpuhan otot interkostal sempurna, tekanan darah mulai menurun, pupil sangat lebar dan
refleks cahaya hilang.
4. Stadium IV (Stadium Overdosis)
Stadium IV disebut stadium overdosis, hewan mengalami henti napas dan henti jantung yang
berakhir dengan kematian (Sardjana dan Kusumawati, 2011).
BAB III
METODOLOGI
Alat Bedah
Hasil
Kucing
Hasil
3.2.3 Preparasi Operator
Operator
Hasil
Kucing
Hasil
Kucing
Hasil
BAB IV
HASIL
Pemeriksaan Hewan
SIGNALEMENT
Nama : Chiki
Jenis hewan : Kucing
Kelamin : Betina
Ras/breed : Domestic Short Hair
Warna bulu/kulit : Coklat, Putih
Umur : ± 1 tahun
Berat badan : 2,68 Kg
Tanda kusus :-
Pemeriksaan Hewan
Hospital Name : CLINIC VETERINARY OF BRAWIJAYA UNIVERSITY
Address : JL. MT. HARYONO
City : MALANG
Tanggal : 08 September 2018
Temp : 38,6 ⁰C
Pulse : 88 kali/menit Respirasi : 40 kali/menit
Membrane color : Rose CRT : < 2 s
Hydration : < 2 s Body Weight : 2,68 Kg
Color and consistency of feces: kering dan berbentuk
Body condition : Underweight Overweight √ Normal
System Review
a. Integumentary b. Otic c. Optalmic d. Muscoloskeletal
√ Normal √ Normal √ Normal √ Normal
Abnormal Abnormal Abnormal Abnormal
e. Nervus f. Cardiovaskuler g. Respiration h. Digesty
√ Normal √ Normal √ Normal √ Normal
Abnormal Abnormal Abnormal Abnormal
i. Lympatic j. Reproduction k. Urinaria
√ Normal √ Normal √ Normal
Abnormal Abnormal Abnormal
Deskripsi Abnormal : -
Vaksinasi Ya √ Tidak
Ctt :
Disease Record : -
FORM OPERASI
OH
KONTROL PEMERIKSAAN
Menit 0 15 30 45
Pulsus (/menit) 88 124 138 140
Temp (0C) 38,6 36,8 34,7 33,3
3. Ketamin
Ketamin dapat diberikan secara oral, intramuskular, rectal, nasal dan epidural. Pada
hewan umumnya ketamin diberikan secara intramuskular. Ketamin memiliki bioavaibilitas
pada oral sebesar 20%, intramuscular 90%, rectal sebesar 25%, epidural 77% dan nasal
sebesar 50%. Ketamin diserap cepat melalui parental administrasi. Ketamin dengan cepat
didistribusikan ke jaringan tubuh, dengan konsentrasi yang relatif cukup
tinggi muncul dalam lemak tubuh, hati , paru-paru , dan otak. Metabolitnya memiliki daya
kerja analgetik yang berlangsung lebih lama daripada efek hipnotiknya (Mentari, 2013).
Mekanisme kerja (farmakodinamik) ketamin bekerja sebagai antagonis
nonkompetitif pada reseptor NMDA yang tidak tergantung pada tegangan akan
mempengaruhi ikatan pada tempat ikatan fensiklidin. Reseptor NMDA adalah suatu reseptor
kanal ion (untuk ion 8 na+ ,ca2+,dan k+ ) maka blockade reseptor ini berarti bahwa pada saat
yang sama, ada blockade aliran ion sepanjang membrane neuron sehingga terjadi hambatan
pada depolarisasi neuron di SSP. 18,19 Mekanisme kerja ketamin mungkin dengan cara
menghambat efek membrane eksitatori neurotransmitter asam glutamat pada suptipe reseptor
NMDA.. Pada praktikum ini Ketamin HCL 100 mg/ml diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB
secara intramuskular diantara m. semimembranosus dengan m. semitendinosus atau di m.
Gluteus.
4. Xylazine
Farmakokinetik xylazine yaitu absorbsi terjadi secara cepat melalui jalur injeksi
intramuskular. Tetapi pada bioavaibilitasnya berpariasi dan incomplete. Pada anjing
bioavaibilitasnya 52-90 %. Durasi dari kerja obat tergantung pada dosis yang diberikan tetapi
durasinya sekurangnya adalah 1,5 jam. Waktu paruh obat dalam serum setelah pemberian
dosis tunggal adalah 50 menit pada kuda dengan recovery time 2-3 jam. Pada kucing onset
kerja obat adalah 10-15 menit dengan rute pemberian secara intramuskular ataupun
melalui subkutan, sedangkan jika melalui intravena 3-5 menit. Efek analgesiknya akan
bertahan selama 15-30 menit setelah pemberian dosis tunggal namun sifat sedatifnya akan
berlangsung selama 1-2 jam. Waktu paruh obat dalam serum pada anjing adalah 30 menit.
Recovery total akan membutuhkan waktu 2-4 jam pada anjing dan kucing (Sardjana dan
Kusumawati, 2011).
Xylazine bekerja melalui mekanisme (farmakologi ) yang menghambat tonus
simpatik karena xylazine mengaktivasi reseptor postsinap 2-adrenoseptorα sehingga
menyebabkan medriasis, relaksasi otot, penurunan denyut jantung, penurunan
peristaltik, relaksasi saluran cerna, dan sedasi. Aktivitas xylazine pada susunan syaraf pusat
adalah melalui aktivasi atau stimulasi reseptor 2-adrenoseptor,α menyebabkan penurunan
pelepasan simpatis, mengurangi pengeluaran norepineprin dan dopamin. Reseptor 2,
Xylazine menghasilkan sedasi dan hipnotis yang dalamα dan lama, dengan dosis yang
ditingkatkan mengakibatkan sedasi yang lebih dalam dan lama serta durasi panjang. Xylazine
diinjeksikan secara intramuskular menyebabkan iritasi kecil pada daerah suntikan, tetapi tidak
menyakitkan dan akan hilang dalam waktu 24 –48 jam (Sardjana dan Kusumawati, 2011).
Pada praktikum ini Xylazine 20 mg/ml diberikan sebanyak 2 mg/kg BB secara intramuskular.
5. Ketoprofen
Farmakokinetik ketoprofen yaitu bioavailabilitas obat mencapai 90% dengan onset
kerja 30 menit dan durasi kerja 6 jam. Konsentrasi puncak dalam plasma darah dicapai sekitar
0,5-2 jam. Pada sediaan lepas lambat, konsentrasi puncak dalam plasma darah dapat terjadi
sekitar 6─7 jam setelah mengonsumsi obat. Ikatan protein 99%. Ketoprofen memiliki volume
distribusi 0,1 L/kgBB. Ketoprofen melewati sawar otak, dan dalam kadar sedikit dalam ASI.
Metabolisme ketoprofen terjadi di hepar dengan metabolit utama berupa glukuronida hasil
konjugasi ketoprofen dan ketoprofen terhidroksilasi.Ekskresi ketoprofen terjadi di urine
sebesar 50-90% sebagai metabolit konjugat glukuronida. Hanya sekitar 1% obat yang
dieliminasi dalam bentuk tidak berubah. Ekskresi di feses hanya sekitar 1-8%.Waktu paruh
sediaan yang berefek segera sekitar 2-4 jam dan untuk sediaan lepas lambat 3-7.5 jam.
6. Gentamicin Sulfat
Adapun teknik OH yang digunakan yaitu caudal midline. Hewan yang akan dioperasi
terlebih dahulu harus diinjeksi Amoxicilin Short Act 200 mg/ml dosis 10 mg/kg BB secara
intramuskular, 15 menit kemudian diberikan premedikasi. Injeksi pre medikasi dilakukan
menggunakan Atropin Sulfat 0,25 mg/ml dosis 0.02 mg/kg BB secara subkutan,15 menit
kemudian baru diberikan induksi anestesi. Setelah itu dipasang infus pada exremitas cranial
kucing dengan faktor ttes sebanyak 25 tetes per menit. Anasesi yang diberikan berupa
Ketamine HCl 100 mg/ml dosis 10 mg/kg BB dan Xylazine 20 mg/ml dosis 2 mg/kg BB
secara intramuskular. Hewan diposisikan pada rebah dorsal atau lateral dan keempat kakinya
difiksasi menggunakan tali. Dipasang duk pada lokasi pembedahan dan lokasi pembedahan
diolesi antiseptik alkohol (dibiarkan 10 menit) dan povidone iodine (dibiarkan 15 menit).
Setelah persiapan selesai, dapat dilakukan insisi kira-kira 5 cm pada 1/3 caudal
umbilikus . Incisi kulit, subkutan, hingga muskulus sampai terlihat organ pencernaan kucing.
Dimasukkan hook untuk mencari uterus. Setelah mendapatkan uterus lalu ditarik keluar.
Dipasang 3 klem pada pembuluh darah dan penggantung ovarium. Dilakukan 2 ligasi yaitu di
atas klem pertama dan di antara klem pertama dan kedua lalu dipotong penggantung dan
pembuluh darah setelah klem kedua. Lakukan hal yang sama pada ovarium yang lain.
Kemudian ligasi cornua uteri, lalu dipasang 3 klem pada corpus uteri. Di tengah-tengah
operasi diberikan amoxicilin long acting 150 mg/ml dosis 10 mg/kg BB di area incisi tetes
demi tetes. Selain itu juga diberi NaCl untuk flushing. Diligasi corpus uteri di antara klem
kedua dan klem ketiga serta setelah klem ketiga. Dipotong cornua uteri di antara klem
pertama dan kedua. Dimasukkan dida uterus ke dalam abdomen kemudian dilakukan
penjahitan. Muskulus dijahit dengan pola jahitan simple interrupted menggunakan benang
absorbable. Subkutan dijahit dengan pola jahitan simple continous menggunakan jahitan
absorbable. Kemudian jaringan subdermal dijahit menggunakan pola jahitan intradermal
dengan benang non absorbable. Setelah operasi selesai, diberikan povidone iodine pada
lokasi incisi. Selama operasi harus dilakukan pemantauan suhu dan pulsus setiap 15 menit
(Yusuf, 2015).
Pengamatan luka dilakukan pada saat penggantian perban yaitu dua hari sekali. Pada
hari ke-2 hingga ke-7 luka terlihat menunjukkan perkembangan pengeringan. Namun, di
bawah incisi masih terlihat kebengkakan. Pada kontrol kedua yaitu hari ke-14 bengkak sudah
menghilang, luka tertutup sempurna, dan jahitan sudah lepas. Tidak ditemukan adanya pus,
demam, maupun luka yang terlalu basah.
1. Usia
Anak dan dewasa penyembuhannya lebih cepat daripada hewan tua. Hewan tua lebih sering
terkena penyakit kronis, penurunan fungsi hati dapat mengganggu sintesis dari faktor
pembekuan darah.
2. Nutrisi
3. Infeksi
Bakteri sumber penyebab infeksi. Infeksi menyebabkan peningkatan inflamasi dan nekrosis
yang menghambat penyembuhan luka.
Sejumlah kondisi fisik dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Adanya sejumlah besar
lemak subkutan dan jaringan lemak (yang memiliki sedikit pembuluh darah). Pada hewan
yang gemuk penyembuhan luka lambat karena jaringan lemak lebih sulit menyatu, lebih
mudah infeksi, dan lama untuk sembuh. Aliran darah dapat terganggu pada hewan dewasa
dan pada hewan yang menderita gangguan pembuluh darah perifer, hipertensi atau diabetes
millitus. Oksigenasi jaringan menurun pada hewan yang menderita anemia atau gangguan
pernapasan kronik. Kurangnya volume darah akan mengakibatkan vasokonstriksi dan
menurunnya ketersediaan oksigen dan nutrisi untuk penyembuhan luka.
5. Hematoma
Hematoma merupakan bekuan darah. Seringkali darah pada luka secara bertahap diabsorbsi
oleh tubuh masuk kedalam sirkulasi. Tetapi jika terdapat bekuan yang besar hal tersebut
memerlukan waktu untuk dapat diabsorbsi tubuh, sehingga menghambat proses penyembuhan
luka.
6. Benda asing
Benda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan menyebabkan terbentuknya suatu abses
sebelum benda tersebut diangkat.
7. Iskemia
Iskemia merupakan suatu keadaan dimana terdapat penurunan suplai darah pada bagian tubuh
akibat dari obstruksi dari aliran darah. Hal ini dapat terjadi akibat dari balutan pada luka
terlalu ketat. Dapat juga terjadi akibat faktor internal yaitu adanya obstruksi pada pembuluh
darah itu sendiri.
8. Diabetes Mellitus
Hambatan terhadap sekresi insulin akan mengakibatkan peningkatan gula darah, nutrisi tidak
dapat masuk ke dalam sel. Akibat hal tersebut juga akan terjadi penurunan protein-kalori
tubuh..
9. Obat
Obat anti inflamasi (seperti steroid dan aspirin), heparin dan anti neoplasmik mempengaruhi
penyembuhan luka. Penggunaan antibiotik yang lama dapat membuat seseorang rentan
terhadap infeksi luka (Mycek,2011).
Terjadi kebengkakan pada area di bawah incisi selama kurang lebih 10 hari post
operasi. Namun lama kelamaan bengkak hilang seiring enutupnya luka.
BAB VI
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
Saran saya yaitu praktikum dilaksanakan lebih tepat waktu sesuai jadwal yang telah
ditentukan.
DAFTAR PUSTAKA
Goethem, Bart, et al. 2006. Making a Rational Choice Between Ovariectomy and
Ovariohysterectomy in the Dog: A Discussion of Benefits of Either Technigue.
Veterinary Surgery 35:136 – 143
Handoko. 2011. Anastetik Umum. Ganiswara SG : Editor. Dalam : Farmakologi dan Terapi.
Ed ke-4. Jakarta : UI Press.
Ibrahim, M. 2010. Pengantar Ilmu Bedah Veteriner. Banda Aceh : Syiah Kuala University
Press.
Kirpensteijn, Jolle. 2008. Ovariectomy versus Ovariohysterectomy. Is the eternal argument
ended?. IVIS. Italia
Murrel, J. C., 2007. Manual of Canine and Feline Anaesthesia and Analgesia Second Edition.
England: British Small Animal Veterinary Association.
Mycek, JM., Harvey, AR., Champe, CP. 2011. Farmakologi. Edisi ke-2. Jakarta (ID): Widya
Medika.
Potter. 2010. Perry Guide to Basic Skill and Prosedur Dasar, Edisi III, Alih bahasa Ester
Monica. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Suwed,MA. & Napitulu, RM. 2011. Panduan Lengkap Kucing. Jakarta : Penebar Swadaya
Syarif, WJ et al. 2011. Veterinary Anesthesia and Analgesia, Edisi ke-4. Ames: Blackwell.
Yusuf. 2015. Ilmu Bedah Khusus Veteriner. Banda Aceh. Syiah Kuala University Press.
Lampiran 1. Dokumentasi Kegiatan
Lampiran 2. Foto kesembuhan luka