KELOMPOK D2
PENDAHULUAN
1
Dalam ilmu bedah, kastrasi merupakan suatu tindakan operasi yang
harus dikuasai oleh seorang calon dokter hewan. Teknik kastrasi yang harus
dikuasai antara lain indikasi, pendekatan anatomi, materi dan metode
operasi, persiapan operasi, pelaksanaan operasi, dan perawatan post operasi
sehingga operasi dapat berjalan dengan baik, steril, lege artis dan hewan
dapat sembuh.
Pada koasistensi bedah, kegiatan yang wajib dilakukan oleh
mahasiswa/i adalah operasi kastrasi. Kegiatan ini wajib dilakukan agar
mahasiswa/i mampu melaksanakan teknik operasi kastrasi dengan baik,
benar dan dapat mengevaluasi pasien operasi hingga sembuh.
1.2 INDIKASI
1.3 TUJUAN
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
dan metode tertutup (Anonimus, 2017). Kastrasi terbuka adalah prosedur
pembedahan pembuangan testis dan kordaspermatika dengan
membuka/mengincisi tunika vaginalis. Keuntungan dari metode kastrasi terbuka
ini adalah mencegah terjadinya pendarahan (ligasi lebih pasti/kuat). Kastrasi
tertutup adalah tindakan bedah dimana testis dan kordaspermatika dibuang tanpa
membuka/mengincisi tunika vaginalis. Keuntungan dari metode kastrasi tertutup
ini adalah mencegah terjadinya hernia skrotalis. (Widyaputri dkk, 2014).
Obat-obatan premedikasi digunakan untuk mempersiapkan pasien sebelum
pemberian obat anastesi baik itu anastesi lokal, regional maupun umum. Manfaat
pemberian premedikasi adalah untuk membuat hewan menjadi lebih tenang dan
terkendali, mengurangi dosis anastesi, mengurangi efek-efek otonomik yang tidak
diinginkan seperti saliva yang berlebihan, mengurangi efek-efek samping yang
tidak diinginkan seperti vomit, dan mengurangi rasa nyeri preoperasi. Agen
anastesi digolongkan menjadi 4 yaitu: antikolinergik, morfin serta derivatnya,
transquilizer, dan neuroleptanalgesik. Obat-obatan premedikasi diberikan
maksimal 10 menit atau kurang lebih setengah sampai satu jam sebelum
pemberian anestesi umum atau anestesi lokal. Obat-obatan tersebut disuntikkan
secara intramuskular, subkutan, atau intramuskular. Menurut Sardjana dan
Kusumawati (2004) pada umumnya obat-obat preanastesi bersifat sinergis
terhadap anastetik namun penggunaanya harus disesuaikan dengan umur, kondisi
dan temperamen hewan, ada atau tidaknya rasa nyeri, teknik anastesi yang
dipakai, adanya antisipasi komplikasi, dan lainnya.
Atropin sulfat merupakan obat anestetik agen preanestesi yang
digolongkan sebagai antikolinergik atau parasimpatik, dengan fungsi utama
mengurangi sekresi kelenjar saliva terutama bila dipakai obat anestetik yang
menimbulkan hipersekresi kelenjar saliva. Atropin sebagai antikolinergik
/antimuskurinik mempunyai kerja menghambat efek asetilkolin pada syaraf
postganglionik kolinergik dan otot polos. Hambatan ini bersifat reversible dan
dapat diatasi dengan pemberian asetilkolin dalam jumlah berlebihan atau
pemberian antikolinesterase. Atropin sebagai premedikasi diberikan pada kisaran
dosis 0.02-0.04 mg/kg, yang diberikan baik secara subkutan, intra vena maupun
4
intramuskuler (Plumb, 2008). Pada dosis normal, atropin dapat mencegah
bradikardia dan sekresi berlebih saliva serta mengurangi motilitas gastrointestinal.
Atropin dapat menimbulkan efek pada susunan syaraf pusat seperti merangsang
medulla oblongata dan pusat lain di otak, menghilangkan tremor, perangsangan
respirasi akibat dilatasi bronkus. Pada dosis yang besar menyebabkan depresi
nafas, eksitasi, halusinasi dan lebih lanjut dapat menimbulkan depresi dan paralisa
medulla oblongata. Efek atropin pada mata menyebabkan midriasis dan
siklopegia. Pada saluran nafas, atropin dapat mengurangi sekresi hidung, mulut,
dan bronkus. Efek atropin pada sistem kardiovaskuler (jantung) bersifat bifasik
yaitu atropin tidak mempengaruhi pembuluh darah maupun tekanan darah secara
langsung dan menghambat vasodilatasi oleh asetilkolin. Pada saluran pencernaan,
atropin sebagai antispasmodik yaitu menghambat peristaltik usus dan lambung,
sedangkan pada otot polos atropin mendilatasi pada saluran perkencingan
sehingga menyebabkan retensi urin (Ganiswarna, 2001).
Anestesi menurut arti kata adalah hilangnya kesadaran rasa sakit, namun
obat anestesi umum tidak hanya menghilangkan rasa sakit akan tetapi juga
menghilangkan kesadaran. Hampir semua obat anestetik menghambat aktivitas
sistem saraf pusat secara bertahap diawali fungsi yang kompleks yang dihambat
dan yang paling akhir dihambat adalah medula oblongata dimana terletak pusat
vasomotor dan pusat respirasi yang vital. Depresi umum pada sistem saraf pusat
tersebut akan menimbulkan hipnosis, analgesi, dan depresi pada aktivitas refleks.
Obat anestesi umum yang ideal menurut Norsworhy (1993) mempunyai sifat-sifat
antara lain: pada dosis yang aman mempunyai analgesik relaksasi otot yang
cukup, cara pemberian mudah, mulai kerja obat yang cepat dan tidak mempunyai
efek samping yang merugikan. Selain itu, obat tersebut harus tidak toksik, mudah
dinetralkan, mempunyai batas keamanan yang luas, tidak dipengaruhi oleh variasi
umur dan kondisi hewan. Ketamine hydroklorat adalah agen anastesi yang sering
disebut sebagai “dissosiative anaesthetic” karena memiliki kemampuan analgesia
ringan dan memodulasi rasa sakit karena kemampuannya sebagai nonkompetitif
antagonis untuk reseptor n-methyl D-aspartate (NMDA). Larutannya yang tidak
berwarna, stabil pada suhu kamar dan relatif aman dengan kerja singkat. Durasi
5
dari ketamin adalah 30 menit atau kurang dan biasa digunakan sebagai anastetik
jangka pendek. Sering dikombinasikan dengan obat anastetik dan sedatifa lainnya
seperti xylazin, dexmedetomidin, medetomidin, acepromazin, opioit, dan
benzodiazepine (contohnya; diazepam) (Papich, 2011).
Oxytetrasiklin merupakan antibiotik tetrasiklin, bersifat bakteriostatik dan
spektrum luas, oxytetrasiklin dapat digunakan untuk mengobati infeksi traktus
respiratorius, traktus urinary, jaringan lunak, dan kulit. Oxytetrasiklin dapat
diberikan setiap 10-12 jam. Amoxicillin merupakan antibiotik beta laktam bersifat
bakteriosidal dan spektrum luas. Amoxicillin dapat digunakan untuk infeksi
traktus urinarius, jaringan lunak dan pneumonia. Dengan dosis anjuran 10-20
mg/kg BB diberikan setiap 8-12 jam secara per oral (Papich, 2011).
6
BAB III
3.1 MATERI
3.1.1 ALAT
Alat yang digunakan pada teknik operasi kastrasi antara lain:
skalpel dan blade, towel klem, gunting tajam-tumpul, arteri klem,
needle holder, pinset sirurgis dan anatomis, stetoskop, termometer,
infus set, spuit 1ml dan 3ml, abocath, tabung EDTA, sikat kuku,
pembersih kuku, dan under pad.
3.1.2 BAHAN
Bahan yang digunakan pada teknik operasi kastrasi antara lan:
larutan infus RL, atropin sulfat, xylasine, ketamin HCl, kain duk,
sarung tangan, masker, penutup kepala, benang cromic catgut
nomor 2-0, benang plain catgut nomor 2-0, benang silk nomor 2-0,
tali, tampon, povidon iodin 3%, alkohol 70%, procain penisilin G,
aquabisetila, sabun antibakteri, spons, tisue, saleb oksitetrasiklin,
leukoplas, multivitamin stimuno, dan amoksisilin tablet 500 gram.
3.2 METODE
Metode kastrasi yang digunakan adalah metode kastrasi terbuka/ open
castration. Tujuan dari penggunaan metode kastrasi terbuka adalah untuk
mencegah terjadinya pendarahan. Metode ini memiliki kekurangan dapat
menyebabkan terjadinya hernia skritalis tetapi dapat dicegah dengan
menjahit septum interskrotalis higga tertutup (Anonimus, 2007).
7
hormon testosteron menghasilkan semen dan penis sebagai organ
tersier yang berfungsi sebagai alat kopulasi (Toelihere, 1993).
Berdasarkan susunan anatominya, struktur organ reproduksi jantan
dari superfisial hingga profunda terdiri atas: kulit dan subkutan
(skrotum), tunika vaginalis, fascia spermatikus dan muskulus
kremaster, didalam tunika vaginalis terdapat korda spermatikus, vas
deferens, tunika albuginea dan epididimis (kaput, korpus dan kaudal
epididimis), didalam tunika albuginea terdapat testis, dan didalam
korda spermatikus terdapat arteri dan vena testikularis (Anonimus,
2017).
8
digunakan pada operasi kastrasi harus dicuci dengan sabun dan
dikeringkan. Setelah itu direndam dengan alkohol 70%. Alat yang
sudah dibersihkan kemudian dibungkus terlebih dahulu lalu
disterilkan. Sterilisasi bertujuan untuk menghilangkan seluruh
mikroba patogen yang terdapat pada instrument bedah, agar
jaringan atau organ pada pasien yang akan dibedah tidak
terkontaminasi. Sterlisasi alat dapat menggunakan autoclave
dengan suhu 121˚C selama 1 jam.
b. Persiapan ruang operasi
Ruang operasi yang akan digunakan untuk melakukan operasi
kastrasi terlebih dahulu harus dibersihkan untuk mencegah
terjadinya kontaminasi pada pasien. Ruangan operasi dapat di sapu
dan pel, lalu meja operasi dan meja untuk menaruh alat operasi
dapat didesinfektan dengan menggunakan alkohol 70% untuk
mencegah terjadinya kontaminan dari meja ke alat yang akan
digunakan dan pasien yang akan di operasi.
c. Persiapan pasien
Sebelum tindakan operasi dilakukan, pemeriksaan status
kesehatan pasien harus dilakukan terlebih dahulu untuk mengetahui
hewan dalam kondisi yang sehat. Pemeriksaan kesehatan meliputi
signalemen (jenis hewan, ras hewan, jenis kelamin, umur, warna
bulu/ciri khas), anamnesa (hasil wawancara dengan pemilik
mengenai latar belakang kesehatan pasien), pemeriksaan fisik (dari
kepala-kaki), pengukuran suhu, pulsus dan respirasi, hewan
dimandikan 2 hari sebelum dilakukan operasi, hewan dipuasakan
makan selama 12-18 jam dan dipuasakan minum selama 6-8 jam,
pengambilan dan pemeriksaan darah, dilakukan penimbangan berat
badan, pencukuran rambut pada daerah operasi dan sekitarnya.
Sebelum dilakukan tindakan operasi, hewan terlebih dahulu
diberikan premedikasi dan anastesi. Premedikasi yang digunakan
adalah atropine sulfate dengan dosis anjuran untuk anjing 0,02-0,04
9
mg/kg BB, dosis sediaan 0,25ml diberikan secara subkutan, lalu
setelah 10 menit diberikan xylazine dengan dosis anjuran untuk
anjing 2,2 mg/kg BB, dosis sediaan 20 mg/ml diberikan secara
intramuskuler lalu setelah 10 menit dapat diberikan ketamine
dengan dosis anjuran untuk anjing 10-22 mg/kg BB, dosis sediaan
100mg/ml diberikan secara intramuskuler (Papich, 2011). Setelah
pemberian preanastesi, hewan harus diinfus terlebih dahulu
menggunakan larutan Ringer Laktat agar menghindari terjadinya
kekurangan darah karena pendarahan dan dehidrasi.
A B C
d. Persiapan operator
Sebelum melakukan operasi, operator harus dipastikan terbebas
dari kontaminasi bakteri/mikroba patogen sehingga meminimalkan
kontaminasi ke pasien. Peralatan operasi yang digunakan oleh
operator harus dicuci dan disterilkan terlebih dahulu. Proses
pencucian tangan harus dilakukan dengan menggunakan sikat, sabu
antibakteri, pembersih kuku, dan air mengalir dengan tahapan
sebagai berikut.
Dilakukan pencucian tangan selama 30 detik dengan air
mengalir
Setelah itu kuku dibersihkan menggunakan pembersih kuku
10
Lakukan pencucian tangan dengan menggunakan sabun
antibakteri kemudian tangan dibilas menggunakan air mengalir
Lakukan pencucian tangan kedua kali dengan menggunakan
sabun antibakteri selama 90 detik lalu bilas menggunakan air
mengalir selama 30 detik
Lakukan pengeringan tangan dengan kain steril
Posisikan tangan selalu diatas pinggang dan selebar bahu
Lakukan pemakaian gaun operasi dan sarung tangan dengan
metode close glove.
11
BAB IV
12
pada metode terbuka incisi dilakukan pada tunika vaginalis hingga
testis terekspose keluar beserta episisimis, korda spermatikus dan
vas deferens.
testis, korda spermatikus dan vas deferens ditarik hingga maksimal
dan lakukan penjepitanpada korda spermatikus dan vas deferens
dengan menggunakan 2 arteri klem secara bersamaan
lakukan ligasi pada bagian yang telah dijepit pada kedua sisi arteri
klem. Ligasi dilakukan dengan menggunakan benang kromik catgut
nomor 2-0 dengan simpul surgical knot sebanyak dua kali. Pastikan
ligasi terikat dengan kuat
setelah ligasi dilakukan, potong korda spermatikus dan vas
deferens tepat pada pertengahan kedua arteri klem tersebut
testis yang teah terpotong dapat diangkat dan a rteri kelm yang
menjepit korda spermatikkus dan vas deferens dapat dilepas dan
dimasukkan kembali kedalam kantung skrotum
lakukan teknik yang sama untuk mengeuarkan testis yang lainnya
setelah kedua testis behasil dikeluarkan, lakukan irigasi dengan
meggunakan procain penisilin G yang sudah diencerkan dengan
aquabidestila lalu keringkan dengan tampon
lakukan penjahitan pada septum interskrotalis dengan
menggunakan plain catgut nomor 2-0 dengan pola jahitan
sederhana tunggal. Penjahitan ini dilakukan untuk mencegah
terjadinya hernia skrotalis
setelah itu, dilakukan penjahitan pada subkutan dengan
menggunakan benang plai catgut nomor 2-0 dengan pola jahitan
sederhana berlanjut
kemudian dilakukan pejahitan pada kulit dengan menggunakan
benang silk nomor 2-0 dengan pola jahitan sederhana tunggal
setelah penjahitan kulit selesai dilakukan, desinfeksi luka operasi
dengan menggunakan povidon iodin 3% (Fossum et al 2002).
13
A B C
D E F
G H I
14
Tabel 1. Monitoring status fisiologis pasien post operasi selama 7 hari.
Kontrol Suhu (°C) Pulsus (x/menit) Respirasi (x/menit) Keterangan
CRT < 2 detik
Turgor < 2 detik
Luka masih basah,
Hari 1 (6 juni 2017) hewan aktif
38.5 100 32
Pagi bergerak, pemberian
oksitetrasiklin,
stimuno dan
amoksisilin
CRT < 2 detik
Turgor < 2 detik
Luka masih basah, 2
Hari 1 (6 juni 2017) jahitan terlepas,
38.7 96 28
Sore pemberian
oksitetrasiklin,
stimuno dan
amoksisilin
CRT < 2 detik
Turgor < 2 detik
Luka masih basah,
Hari 2 (7 juni 2017)
38.9 96 20 pemberian
Pagi
oksitetrasiklin,
stimuno dan
amoksisilin
CRT < 2 detik
Turgor < 2 detik
Luka bengkak,
Hari 2 (7 juni 2017)
39.0 92 24 pemberian
Sore
oksitetrasiklin,
stimuno dan
amoksisilin
CRT < 2 detik
Turgor < 2 detik
Luka bengkak,
Hari 3 (8 juni 2017)
38.8 100 20 pemberian
Pagi
oksitetrasiklin,
stimuno dan
amoksisilin
CRT < 2 detik
Turgor < 2 detik
Luka bengkak,
Hari 3 (8 juni 2017)
38.3 96 24 pemberian
Sore
oksitetrasiklin,
stimuno dan
amoksisilin
15
CRT < 2 detik
Turgor < 2 detik
Luka sudah tertutup,
Hari 4 (9 juni 2017)
38.5 96 32 pemberian
Pagi
oksitetrasiklin,
stimuno dan
amoksisilin
CRT < 2 detik
Turgor < 2 detik
Hari 4 (9 juni 2017)
38.3 96 28 Luka sudah kering,
Sore
pemberian
amoksisilin
CRT < 2 detik
Turgor < 2 detik
Hari 5 (10 juni 2017)
38.2 100 20 Luka sudah kering,
Pagi
pemberian
amoksisilin
CRT < 2 detik
Turgor < 2 detik
Hari 5 (10 juni 2017)
38.5 92 28 Luka sudah kering,
Sore
pemberian
amoksisilin
CRT < 2 detik
Hari 6 (11 juni 2017)
38.5 104 24 Turgor < 2 detik
Pagi
Luka sudah kering
CRT < 2 detik
Hari 6 (11 juni 2017)
38.3 100 28 Turgor < 2 detik
Sore
Luka sudah kering
CRT < 2 detik
Hari 7 (12 juni 2017)
38,2 96 32 Turgor < 2 detik
Pagi
Luka sudah sembuh
CRT < 2 detik
Hari 7 (12 juni 2017)
38.1 92 28 Turgor < 2 detik
Sore
Luka sudah sembuh
CRT < 2 detik
Hari 8 (13 juni 2017) Turgor < 2 detik
38.4 120 40
Pagi Luka sudah sembuh
sempurna
16
A B C
D E F
17
hari keempat luka sudah mengering dan terbentuk lapisan luka
berwarna hitam. Pada hari ketujuh luka sudah mengalami kesembuhan
total. Selama 5 hari paska operasi pasien diberikan oksitetrasiklin
saleb pada luka dan diberikan amoksisilin tablet dan stimuno secara
peroral. Hewan mengalami kesembuhan total setelah 7 hari post
operasi.
18
BAB V
KESIMPULAN
19
DAFTAR PUSTAKA
Fossum, T.W Et Al. 2002. Small Animal Surgery. Edisi Kedua. Mosby Inc.
Plump, D.C. 2008. Veterinary Drug Handbook. Blackwell Pubishing. South State
Avenue: Australia.
Sudisma, IGN, Pemayun IGAGP, Wardhita AAGJ, Dan Gorda IW. 2006. Ilmu
Bedah Veteriner Dan Teknik Operasi.Denpasar: Penerbit Universitas
Udayana.
Tjitarsa, IB. 1986. Usaha Pencegahan Penyakit Rabies Di Bali Ditinjau Dari
Sudut Kesehatan Masyarakat. Makalah Seminar Ilmiah. Program Studi
Kedokteran Hewan Universitas Udayana.
20