Anda di halaman 1dari 36

Makassar, 11 Oktober 2022

TUTORIAL MODUL 2

PUSING BERPUTAR

KELOMPOK 3 KELAS B

Ananda Hikmal Akbari 11020200135


Pratiwi Trisda Ramadhani 11020200176
Khusnul Syafitri 11020200179
Trisha Mel Anggun Koedoeboen 11020200185
Adrianovel Makiko 11020200232
Nur Hidayatullah Rustam 11020200235
Ahmad Emil Zul-Ayman 11020200242
Muhammad Isma’il Asmi 11020200245

Tutor : -

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2020
MODUL 1: PUSING BERPUTAR

SKENARIO B :

Seorang perempuan berusia 55 tahun, dibawah ke IGD RS dengan pusing berputar


secara tiba-tiba sejak 3 jam yang lalu. Keluhan disertai dengan pendengaran menurun dan
terasa penuh pada telinga kanan serta bersifat hilang timbul. Riwayat keluhan berulang dan
berkurang dengan sendirinya, serta memiliki riwayat hipertensi.

KATA SULIT
- Tidak ditemukan pada skenario

KATA / KALIMAT KUNCI


- Perempuan usia 55 tahun
- Keluhan pusing berputar secara tiba-tiba sejak 3 jam lalu
- Keluhan disertai dengan pendengaran menurun dan terasa penuh pada telinga kanan
- Keluhan bersifat hilang timbul
- Riwayat keluhan berulang dan berkurang dengan sendirinya
- Riwayat hipertensi

PERTANYAAN
1. Jelaskan patomekanisme setiap gejala berdasarkan skenario?
2. Bagaimana hubungan pusing berputar dengan gangguan pendengaaran?
3. Apa hubungan gejala dan riwayat hipertensi berdasarkan dengan skenario?
4. Jelaskan patomekanisme terjadinya vertigo?
5. Bagaimana dan apa saja klasifikasi dari vertigo?
6. Jelaskan langkah-langkah diagnosis berdasarkan dengan skenario!
7. Jelaskan diagnosis banding berdasarkan skenario!
8. Bagamana penatalaksanaan awal berdasarkan dengan skenario?
9. Apa perspektif islam berdasarkan skenario?
JAWABAN PERTANYAAN

1. Jelaskan patomekanisme setiap gejala berdasarkan skenario?


a. Vertigo
Rasa pusing berputar disebabkan oleh gangguan alat keseimbangan tubuh yang
mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh yang sebenarnya dengan apa yang
dipersepsi oleh susunan saraf pusat. Ada beberapa teori yang berusaha menerangkan kejadian
tersebut :
1. Teori rangsang berlebihan (overstimulation)

Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsang yang berlebihan menyebabkan hiperemi
kanalis semisirkularis sehingga fungsinya terganggu; akibatnya akan timbul vertigo,
nistagmus, mual dan muntah

2. Teori konflik sensorik

Menurut teori ini terjadi ketidakcocokan masukan sensorik yang berasal dari berbagai
reseptor sensorik perifer yaitu antara mata/visus, vestibulum dan proprioseptik, atau ketidak-
seimbangan/asimetri masukan sensorik dari sisi kiri dan kanan. Ketidakcocokan tersebut
menimbulkan kebingungan sensorik di sentral sehingga timbul respons yang dapat berupa
nistagmus (usaha koreksi bola mata), ataksia atau sulit berjalan (gangguan vestibuler,
serebelum) atau rasa melayang, berputar (yang berasal dari sensasi kortikal). Berbeda dengan
teori rangsang berlebihan, teori ini lebih menekankan gangguan proses pengolahan sentral
sebagai penyebab.

3. Teori neural mismatch

Teori ini merupakan pengembangan teori konflik sensorik; menurut teori ini otak
mempunyai memori/ingatan tentang pola gerakan tertentu; sehingga jika pada suatu saat
dirasakan gerakan yang aneh/tidak sesuai dengan pola gerakan yang telah tersimpan, timbul
reaksi dari susunan saraf otonom.(Gb.1) . Jika pola gerakan yang baru tersebut dilakukan
berulang-ulang akan terjadi mekanisme adaptasi sehingga berangsur-angsur tidak lagi timbul
gejala.
NEURAL STROKE COMPAR OR UNIT

Gambar: Skema teori Neural Mismatch


4. Teori otonomik

Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom sebaga usaha adaptasi
gerakan/perubahan posisi; gejala klinis timbul jika sistim simpatis terlalu dominan,
sebaliknya hilang jika sistim parasimpatis mulai berperan.

5. Teori neurohumoral

Di antaranya teori histamin (Takeda), teori dopamin (Kohl) dan terori serotonin (Lucat)
yang masing-masing menekankan peranan neurotransmiter tertentu dalam mem-pengaruhi
sistim saraf otonom yang menyebabkan timbulnya gejala vertigo.

Normal Motion sickness

PAR

PAR SYM SYM


Adapted

SYM

PAR

Keterangan :
SYM : Sympathic Nervous System, PAR : Parasympathic Nervous System

6. Teori sinap

Merupakan pengembangan teori sebelumnya yang meninjau perananneurotransmisi dan


perubahan-perubahan biomolekuler yang terjadi pada proses adaptasi, belajar dan daya ingat.
Rangsang gerakan menimbulkan stres yang akan memicu sekresi CRF (corticotropin
releasing factor); peningkatan kadar CRF selanjutnya akan mengaktifkan susunan saraf
simpatik yang selanjutnya mencetuskan mekanisme adaptasi berupa meningkatnya aktivitas
sistim saraf parasimpatik. Teori ini dapat menerangkan gejala penyerta yang sering timbul
berupa pucat, berkeringat di awal serangan vertigo akibat aktivitas simpatis, yang
berkembang menjadi gejala mual, muntah dan hipersalivasi setelah beberapa saat akibat
dominasi aktivitas susunan saraf parasimpatis.

b. Pendengaran menurun dan telinga terasa penuh


Hilangnya atau menurunnya pendengaran (tuli) dapat temporer atau permanen, parsial
atau total. Tuli diklasifikasikan menjadi dua jenis—tuli konduktif dan tuli sensorineural—
bergantung pada bagian mekanisme pendengaran yang tidak dapat berfungsi adekuat. Tuli
konduktif terjadi jika gelombang suara tidak secara adekuat dihantarkan melalui bagian luar
dan tengah telinga untuk menggetarkan cairan di telinga dalam. Kemungkinan penyebab
adalah penyumbatan fisik saluran telinga oleh kotoran telinga, pecahnya gendang telinga,
infeksi telinga tengah disertai penimbunan cairan, atau restriksi gerakan osikulus akibat
perlekatan tulang. Gangguan pendengaran sensorineural terjadi karena kerusakan pada alat
transduksi mekanik pada koklea atau gangguan jalur konduksi listrik dari telinga bagian
dalam ke otak. Dengan demikian, cedera pada sel-sel rambut, sel-sel pendukung, neuron
pendengaran, atau jalur pendengaran sentral dapat menyebabkan gangguan pendengaran
sensorineural. Kerusakan pada sel-sel rambut organ Corti dapat disebabkan oleh suara keras,
infeksi virus, obat-obatan ototoksik (misalnya, salisilat, kina dan analog sintetiknya,
antibiotik aminoglikosida, loop diuretik seperti furosemide dan asam etakrilat, dan agen
kemoterapi kanker seperti sebagai cisplatin), fraktur tulang temporal, meningitis, koklear
otosklerosis , penyakit Ménière, dan penuaan.
Suatu kelainan yang dikenal sebagai Penyakit Ménière ditandai oleh vertigo episodik
serta gangguan pendengaran tipe sensorineural yang berfluktuasi, tinitus, dan kepenuhan
aural. Adanya gangguan keseimbangan yang disertai gangguan pendengaran disebabkan
karena lokasi abnormal pada penyakit ini ada pada telinga dalam, bagian telinga yang
berfungsi dalam keseimbangan (aparatus vestibularis) dan pendengaran ( apparatus
koklearis), dimana terjadi peningkatan volume dan tekanan dari endolimfe pada telinga
dalam.

Secara histologis, ada distensi sistem endolimfatik (endolymphatic hydrops) yang


mengarah ke degenerasi sel-sel rambut vestibular dan koklea. Ini mungkin hasil dari
disfungsi kantung endolymphatic sekunder. Banyak teori telah diajukan selama ini, termasuk:
masalah sirkulasi, infeksi virus, alergi, reaksi autoimun, migrain, dan kemungkinan koneksi
genetik. Para ahli tidak yakin apa yang menyebabkan gejala serangan akut penyakit Ménière.
Teori utama adalah bahwa mereka dihasilkan dari peningkatan tekanan endolimfin dalam
jumlah besar yang tidak normal di telinga bagian dalam dan / atau dari adanya kalium di area
telinga bagian dalam di mana ia seharusnya tidak ada. Kondisi-kondisi ini mungkin
disebabkan oleh pecahnya membran yang memisahkan endolymph dari cairan telinga bagian
dalam lainnya, perilymph.

Perlu diketahui bahwa endolimph atau cairan cairan yang berada di dalam labirin telinga
dalam memiliki kation utama yakni kalium. Ion yang terdapat di dalam endolimfe lebih
banyak dari perilimfe. Sedangkan perilimfe adalah cairan ekstraseluler yang terletak
dikoklea, tepatnya pada bagian skala timpani dan skala vestibuli serta diuang antara tulang
dan membran apparatus vestibularis. Komposisi ionik perimlife seperti pada plasma dan
cairan serebrospinal. Kation terbanyak adalah natrium. Perilimfe dan endolimfe memiliki
komposisi ionik yang unik yang sesuai untuk menjalankan fungsinya yaitu mengatur
rangsangan elektrokimiawi dari sel-sel rambut di indera pendengaran. Potensoal listrik dari
endolimfe ~80-90 mV lebih positif dari perilimfe.
Referensi :

1. Mardjono, Mahar & Sidharta, Priguna. (2012) Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat.
2. Sherwood L. Introduction to Human Physiology. 8th ed. EGC Medical Publisher; 2013. 982
p.
3. Disorders OC. Ménière ’ s Disease Ménière ’ s Disease. 1995;(503):1–6.
4. Sudoyo AWD. Harrison’s principles of Internal Medicine. 19th ed. Mc Graw Hill Education;
2015. 1911 p.
2. Bagaimana hubungan pusing berputar dengan gangguan pendengaaran?
Vertigo merupakan gejala subyektif yang sering dikeluhkan pasien dimana merupakan suatu
tanda penyakit, salah satunya schwanoma vestibular. Gangguan keseimbangan juga merupakan
salah satu gejala yang didapatkan pada pasien dengan schwanoma vestibular. Gejala ini biasanya
disertai dengan gejala penyerta lain seperti adanya gangguan pendengaran.1
Vestibular Schwannoma (dikenal juga sebagai acoustic neuroma, acoustic neurilemoma, atau
acoustic neurinoma) yaitu suatu tumor jinak yang pertumbuhannya lambat pada intrakranial
ekstra-aksial yang biasanya berkembang dari sistem keseimbangan (vestibular) atau , yang jarang
dari saraf pendengaran (koklea) di bagian telinga dalam. Tumor berasal dari over produksi sel
schwann, yang biasanya membungkus serat saraf untuk mendukung dan melindungi saraf
Vestibular Schwannoma yang unilateral dan bilateral dapat terjadi karena kerusakan
gen pada kromosom 22, yang menghasilkan protein (schwannomine / merlin) yang
mengontrol pertumbuhan sel schwann. Pada pasien neurofibromatosis tipe II ( NF2), gen
rusak pada kromosom 22 diwariskan dan hadir dalam semua atau sebagian besar sel-sel
somatik. Namun, pada individu dengan vestibular Schwannoma yang unilateral tidak diketahui
peranan gen ini dalam pembentukan sel Schwannoma
Vestibular Schwannoma, seperti space occupying lesion lainnya, menghasilkan gejala dengan
salah satu dari empat mekanisme yang dikenal seperti : (1) penyumbatan ruang cairan
cerebrospinal, (2) displacement batang otak, (3) kompresi pembuluh darah atau (4) kompresi
saraf (IRSA,2006). Vestibular Schwannoma dapat terus tumbuh sampai mencapai 3-4 cm di
dalam intrakranial sebelum muncul gejala efek massa yang besar. Nervus facialis cukup tahan
terhadap peregangan yang dikenakan oleh pertumbuhan tumor tanpa kerusakan fungsi klinis
yang jelas sampai tumor telah mencapai ukuran yang sangat besar. Saraf koklea dan vestibular
jauh lebih sensitif terhadap peregangan dan kompresi tumor sehingga tumor kecil yang terbatas
pada internal auditory canal dapat menghasilkan gejala awal berupa gangguan pendengaran atau
gangguan vestibular.2
Keluhan vertigo atau ilusi gangguan gerak, merupakan gejala lain yang sering didapati,
mencapai 58% dari seluruh penderita. Disequilibrium, perasaan seperti melayang atau tidak
seimbang merupakan gejala yang banyak dikeluhkan. Terjadinya vertigo berkaitan dengan
terjadinya penekanan pada nervus vestibuler atau terjadinya gangguan suplai darah pada sistem
vestibular.3
Gejala vestibular pada pasien VS sangat bervariasi. Meskipun VS adalah tumor yang tumbuh
lambat, beberapa pasien mungkin mengalami vertigo parah dengan onset yang akut, sementara
yang lain berkembang halus atau tanpa gejala. Perubahan mendadak pada input sensorik
vestibular, mungkin oleh kerusakan mekanis atau biokimia dapat diklaim sebagai penjelasan
yang mungkin untuk serangan vertigo akut.4
Sintarani, C. I. D., Witari, N.P. (2019). Gambaran vertigo sebagai manifestasi klinis pada
schwanoma vestibular: Laporan Kasus. Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah.
Chairul, M. (2013). Gambaran Protein S 100 pada Schwannoma di Medan. Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
Nam, G.-S., Jung, C. M., Kim, J. H., & Son, E. J. (2018). Relationship of Vertigo and Postural
Instability in Patients With Vestibular Schwannoma. Clinical and Experimental
Otorhinolaryngology, 11(2), 102–108.
3. Apa hubungan gejala dan riwayat hipertensi berdasarkan dengan skenario?
Keseimbangan Tubuh
Keseimbangan merupakan komponen penting dalam stabilitas gerak makhluk hidup.
Tiga sistem informasi sensoris digunakan oleh sistem saraf untuk menjaga keseimbangan yaitu
penglihatan, proprioseptif yang ada di seluruh tubuh dan sistem vestibular di dalam telinga.
Ketiga hal tersebut disebut sebagai equilibrial triad.
Vestibular
Salah satu organ yang mendeteksi sensasi keseimbangan adalah aparatus vestibular. Bagian
vestibula dari labirintus membranakeus terdiri dari kanalis semisirkularis, utriculus dan sakulus.
Dimana terdapat sel-sel siliaris yang menangkap rangsang keseimbangan yang bersifat
gelombang.
Secara umum arus informasi berlangsung intensif bila ada gerakan dari kepala atau
tubuh. Akibat gerakan ini menimbulkan perpindahan cairan endolimfe di labirin dan selanjutnya
silia dari sel rambut menekuk menyebabkan permeabilitas membran sel berubah sehingga ion
kalsium menerobos masuk ke dalam sel (influks) dengan akibat terjadi depolarisasi yaitu
pelepasan neurotransmiter eksitator (glutamat) yang selanjutnya impuls diteruskan ke pusat di
nucleus vestibularis terus ke otak kecil, korteks serebri, hipotalamus dan pusat otonomik di
formasio retikularis. Selanjutnya sebagai hasilnya dikeluarkan perintah ke efektor melalui
neurotransmiter inhibitor (gamalat, dopamin).
Gangguan vestibular dan hubungan sentralnya, pertama-tama menghasilkan vertigo,
memberikan perasaan seseorang berputar pada aksisnya sendiri atau semua disekelilingnya
berputar dengan cepat. Perasaan ini menimbulkan rasa tidak mantap pada waktu berjalan dan
berdiri, serta kecenderungan untuk jatuh. Vertigo dinyatakan sebagai pusing, pening, rasa
berputar-putar, sempoyongan, rasa seperti melayang atau merasakan badan atau dunia
sekelilingnya berputar-putar dan berjungkir balik. Pengaturan keseimbangan tubuh dilakukan
oleh pusat-pusat yang terletak pada semua tingkatan susunan saraf pusat, mulai dari medulla
spinalis hingga korteks serebri. Struktur dalam sistem saraf pusat yang mengendalikan berdiri
dan berjalan adalah ganglia basalis, “daerah lokomotor” dalam mesensefalon, serebelum dan
medulla spinalis. Korteks serebral pasti penting dalam beberapa aspek berdiri dan berjalan, tapi
pada binatang percobaan, pengangkatan korteks serebral seluruhnya selama periode neonatal,
dengan melindungi ganglia basalis, talamus, dan struktur dibawahnya, tetap meninggalkan cara
berdiri dan gaya gerak pada dasarnya normal. Sedangkan medula spinalis terdiri dari sirkuit
neural yang mengkoordinasikan otot-otot untuk daya gerak. Ringkasnya sikap berdiri dan gaya
berjalan adalah hasil aktivitas yang terintegrasi dari ganglia basalis, mesensefalon, serebelum
dan medulla spinalis. Serebelum merupakan komponen terpenting dalam menjaga keseimbangan
tubuh. Untuk tujuan klinis, serebelum dibagi menjadi tiga garis longitudinal yang tersusun dari
medial ke lateral, termasuk korteks serebelaris, substansia alba dibawahnya, dan nuklei
serebelaris profunda:
1) Zona garis tengah, terdiri dari daerah vermal dengan nukleus fastigial. Lesi pada zona ini
menyebabkan gangguan cara berdiri dan berjalan, ataksia tubuh, dan titubation, serta sikap
kepala terputar atau terangkat.
2) Zona intermedia, daerah paravermal, dengan interposed nuklei. Lesi pada zona ini
menyebabkan gejala khas terkenanya zona garis tengah maupun lateral.
3) Zona lateral terdiri dari hemisfer serebelaris dengan nukleus dentata. Lesi pada zona ini
mengakibatkan gangguan pada gerakan tungkai yang terkoordinasi (ataksia), disartria,
hipotonia, nistagmus, dan tremor kinetic. Stimulasi silia di aparatus vestibuler mengaktifkan
saraf sensoris pada saraf vestibulokoklear (VIII). Serabut saraf ini mentransmisikan impuls ke
serebelum dan ke nukleus vestibularis di medula oblongata. Serabut saraf nukleus vestibuler
juga menuju ke pusat okulomotor di otak dan ke sumsum tulang. Pergerakan mata dan tubuh
dihasilkan jaras tersebut untuk keseimbangan tubuh.
Gangguan Keseimbangan Tubuh
Ketidakseimbangan atau disequilibrium, yang juga disebut ketidakmantapan,
ketidakstabilan, dan inkoordinasi, tanpa vertigo merupakan ‘dizziness’ tersering. Gangguan
keseimbangan dinyatakan sebagai pasien merasa tidak seimbang (subyektif) dan atau pasien
terlihat tidak seimbang (obyektif). Pasien sering mengeluhkan pusing untuk menyatakan
perasaan tidak seimbang sewaktu berdiri atau berjalan serta dirasakan tidak ada hubungan
dengan sakit kepalanya.
Pusing dapat merupakan manifestasi berbagai gangguan atau penyakit di bidang neurologi,
otologi, kardiologi, oftalmologi, psikiatri atau kelainan iatrogenik. Oleh sebab itu keluhan
pusing harus dievaluasi secara sistematis dan komprehensif untuk mencari penyebab yang
mendasarinya agar pengobatan dapat optimal. Contohnya keadaan setelah sembuh dari penyakit
demam, operasi, gizi buruk. Selain itu bisa disebabkan oleh anemia, hipotensi, hipertensi,
mengeluarkan tenaga sambil membungkuk, sewaktu menderita menstruasi bagi wanita, dan
setelah minum alkohol sedikit terlalu banyak.
Hubungan Antara Hipertensi Dengan Gangguan Keseimbangan
Aliran darah otak dipengaruhi terutama oleh 3 faktor yaitu tekanan untuk memompakan
darah dari sistem arteri-kapiler ke sistem vena, tahanan perifer pembuluh darah otak dan faktor
darah itu sendiri (viskositas dan koagulobilitas). Tekanan darah arterial fluktuatif, walaupun
demikian tekanan arteriolar-kapiler otak konstan. Ketika tekanan darah arterial meningkat,
arteriole otak konstriksi, derajatnya bergantung kenaikan tekanan darah. Jika berlangsung dalam
periode singkat dan tekanan tidak terlalu tinggi maka tidak berbahaya. Namun bila berlangsung
bulan sampai tahun dapat terjadi hialinisasi otot pembuluh darah dan diameter lumen menjadi
tetap. Hal ini merupakan salah satu bentuk penyakit degeneratif yang merupakan salah satu
penyebab penyakit saraf. Pada gangguan ini, satu atau lebih komponen sistem saraf menjadi
malfungsi setelah berfungsi normal beberapa tahun serta bersifat kronis, difus dan progresif.
Hipertensi kronis dapat menimbulkan ketidakseimbangan Ketika terjadi lesi periventrikuler yang
mempengaruhi serat sensoris dan motoris yang menghubungkan area korteks dengan talamus,
ganglia basalis, serebelum dan medula spinalis. Dimana pengaturan keseimbangan merupakan
fungsi gabungan dari bagian serebelum, substansia retikuler dari medula, pons, dan
mesensefalon.
Hipertensi kronis menyebabkan penurunan perfusi darah ke otak. Jika perfusi turun,
membrane potensial juga akan turun. Hipoksia dan hipoglikemia akan mempunyai konsekuensi
patologis. Karena kurangnya oksigen, produksi energi melalui siklus asam sitrat untuk
memproduksi ATP akan turun. Selain itu akan menimbulkan asidosis yang mempengaruhi
fungsi enzim di otak.
Referensi: Amaliah. 2010. Hubungan Antara Hipertensi Dengan Gangguan Keseimbangan Di
Poli Rawat Jalan Saraf RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Fakultas Kedokteran. Universitas
Sebelas Maret: Surakarta.
4. Jelaskan patomekanisme terjadinya vertigo?
Lesi unilateral pada jalur vestibular akan menyebabkan terjadinya sindroma vestibular
sebagai konsekuensi dari ketidakseimbangan tonus. Ada dua macam sindrom klinis yang relevan
yaitu spatial hemineglect dan the pusher syndrome yang terjadi apabila lesi terdapat di daerah
thalamus atau di hemisfer otak. Sindroma ini biasanya didapati pada pasien stroke. Spatial
hemineglect terjadi apabila terdapat gangguan atau kerusakan di bagian otak yang bertanggung
jawab atas orientasi ruang. Hal ini akan menyebabkan pasien tidak dapat mempersepsikan objek
di salah satu sisi. The pusher syndrome adalah sebuah gejala yang biasanya ditemui pada pasien
post-stroke di mana pasien akan cenderung memposisikan badannya ke arah tubuh yang
mengalami kelemahan. Pada sindroma ini terjadi salah persepsi pada impuls yang disalurkan.
Pasien dengan sindroma ini juga memiliki gangguan pada persepsi visual, proprioseptif dan
pergerakan motorik sehingga menyulitkan mereka untuk memahami postur dan keseimbangan
tubuhnya. Kondisi ini merefleksikan disfungsi dari orientasi ruang, atensi dan kontrol postur
tubuh. Penyakit yang melibatkan fungsi vestibular sentral ini tidak hanya melibatkan konvergensi
input multisensor tetapi juga integrasi sensorimotor dengan memori spasial, orientasi, atensi,
navigasi dan interaksi tubuh dan lingkungan ketika bergerak.
Ketika ada kerusakan atau gangguan pada otak yang berfungsi mempersepsikan impuls
terkait keseimbangan ini, maka respon yang terbentuk tentu tidak akan normal. Perubahan posisi
dan gerak kepala yang diinformasikan melalui sistem vestibular normalnya akan membuat mata
tetap stabil ketika memandang. Apabila terdapat gangguan pada salah satu komponen VOR
misalnya batang otak maka impuls yang diteruskan akan salah dipersepsikan. Akibatnya pasien
akan mengalami vertigo yang disertai dengan nistagmus dan ketidakseimbangan postur tubuh.
Referensi : Pricilia, S., & Kurniawan, S. N. (2021). CENTRAL VERTIGO. Journal of Pain,
Headache and Vertigo, 2(2), 38-43.
5. Bagaimana dan apa saja klasifikasi dari vertigo?
Vertigo adalah suatu istilah yang berasal dari bahasa latin, vertere, yang artinya memutar.
Vertigo adalah rasa berputar pada tubuh atau sekitarnya yang disebabkan oleh gangguan labirin.
Adapun pendapat lain yaitu vertigo adalah gerakan atau rasa gerakan yang disebabkan oleh
gangguan alat keseimbangan tubuh di tingkat perifer atau sentral.

Klasifikasi

Berdasarkan kelainan yang mendasari, vertigo dibedakan menjadi beberapa kelompok,


seperti pada gambar dibawah

Vertigo patologik dibagi menjadi vertigo vestibular (True Vertigo) dan non vestibular
(Pseudo Vertigo), Berdasarkan lokasi penyebabnya, vertigo dibedakan menjadi vertigo sentral
dan perifer.

Vertigo vestibular (True Vertigo)

Vertigo vestibular adalah rasa berputar yang timbul pada gangguan vestibular. Menimbulkan
sensasi berputar, timbulnya episodik, diprovokasi oleh gerakan kepala, bisa disertai rasa mual
atau muntah. Berdasarkan letak lesinya vertigo vestibular terbagi menjadi dua yaitu
1. Vertigo vestibular perifer timbulnya lebih mendadak setelah perubahan posisi kepala
dengan rasa berputar yang berat, disertai mual atau muntah dan keringat dingin. Bisa
disertai gangguan pendengaran berupa tinitus, atau ketulian, dan tidak disertai gejala
neurologik fokal seperti hemiparesis, diplopia, perioralparestesia, paresis fasialis.
2. Vertigo perifer disebabkan oleh Benign Paroxismal Positional Vertigo (BPPV), Meniere’s
Disease, neuritis vestibularis, oklusi arteri labirin, labirhinitis, obat ototoksik, autoimun,
tumor nervus VIII, microvaskular compression, fistel perilimfe.
3. Vertigo vestibular sentral timbulnya lebih lambat, tidak terpengaruh oleh gerakan kepala.
Rasa berputarnya ringan, jarang disertai rasa mual dan muntah, tidak disertai gangguan
pendengaran. Keluhan dapat disertai dengan gejala neurologik fokal seperti hemiparesis,
diplopia, perioralparestesia, paresis fasialis. Vertigo perifer adalah vertigo akibat kelainan
pada labirin dan N.Vestibularis. penyebab pada labirin yaitu BPPV, post trauma, meniere,
labirintis, toksik, oklusi dan fistula labirin. Penyebab pada N.VIII : infeksi, inflamasi,
neuroma akustik, tumor lain.

Vertigo non vestibuler

Vertigo non vestibular adalah rasa goyang, melayang, mengambang yang timbul pada
gangguan sistem proprioseptif atau sistem visual disebabkan oleh polineuropati, mielopati,
artrosis servikalis, trauma leher, presinkop, hipotensi ortostatik, hiperventilasi, tension
headache, penyakit sistemik. Sensasi bukan berputar, melainkan rasa melayang, goyang,
berlangsung konstan atau kontinu, tidak disertai rasa mual dan muntah, serangan biasanya
dicetuskan oleh gerakan objek sekitarnya seperti di tempat keramaian misalnya lalu lintas
macet.

Referensi

1. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. 2017.
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia

2. Isman Jusuf, & Wahidji, (2014). Bunga Rampai Kedokteran. IDI Cabang Kota Gorontalo.
6. Langkah-langkah diagnosis berdasarkan dengan skenario!

A. Anamnesis (berdasarkan data skenario)


- Identitas pasien: Laki-laki 50 Tahun
- Keluhan utama: Kelemahan tubuh sebelah kiri sejak 2 jam yang lalu. Kelemahan pulih
setelah 1 jam perawatan di UGD.
- Keluhan penyerta: -
- Riwayat penyakit sebelumnya: hipertensi
- Riwayat keluarga: -
- Riwayat pengobatan: -
- Riwayat kebiasaan: -

B. Pemeriksaan Fisik
- Pemeriksaan umum

Pemeriksaan umum meliputi pemeriksaan kesan umum, kesadaran, tipe badan,


kelainan kongenital, tanda-tanda vital, kepala, leher, toraks, abdomen, ekstremitas, sendi,
otot, kolumna vertebralis, dan Gerakan leher/tubuh. Pemeriksaan kesan umum menilai
kondisi pasien secara subjektif. Range penilaian antara lain baik, sakit ringan, sakit
sedang, dan sakit berat. Beberapa indikator yang dapat digunakan antara lain cara
kemampuan berbicara atau berinteraksi dengan lingkungan, mobilisasi pasien (aktif/pasif),
gejala, dan atau tanda penyakit yang diderita oleh pasien.

Pada saat pemeriksaan Disability, pemeriksa mengecek tingkat kesadaran pasien


dengan AVPU (Alert, Verbal, Pain, Unconscious) atau GCS (Glasgow Coma Scale).
AVPU lebih mudah dilakukan saat di lapangan namun GCS lebih akurat untuk mendeteksi
trauma kepala. Trauma kepala akan menimbulkan cedera jaringan otak yang dapat
menyebabkan fragmentasi jaringan dan kontusio serta kerusakan sawar darah otak.

Glasgow Coma Scale (GCS) merupakan skala yang diciptakan pada tahun 1974
oleh Graham Teasdale dan Bryan Jennet. GCS bertujuan untuk mengetahui level
kesadaran pasien yang mengimplementasikan ada tidaknya cedera otak akut. Pemeriksaan
GCS ini terdiri dari tiga komponen pemeriksaan yaitu mata, verbal dan gerakan/motorik
(eyes, verbal and motor). Pada setiap kondisi, memiliki skor tertentu dan skor tersebut
menggambarkan bagaimana tingkat kesadaran pasien. Pemeriksa memberi stimulus yang
adekuat dimulai dengan stimulus auditorik. Pemeriksan memanggil nama pasien dengan
suara keras. Jika dengan stimulus auditori tidak ada respons, diberikan stimulus taktil. Jika
stimulus taktil tidak menimbulkan respons, diberi stimulus nyeri namun tidak membuat
trauma. Manuver yang direkomendasikan antara lain penekanan pada supraorbital ridge
kulit, di bawah kuku, sternum, dan ramus mandibularis.
Pemeriksa menilai tipe badan pasien, apakah tipe astenis/atletis/piknis, juga apakah
ada kelainan kongenital. Dilanjutkan dengan pemeriksaan tanda-tanda vital yang meliputi
pengukuran tekanan darah, nadi, suhu, pernapasan, dan skala nyeri. Peningkatan tekanan
darah bisa menunjukkan adanya peningkatan tekanan intracranial atau stroke.

Pemeriksaan kepala, leher, toraks, abdomen, ekstremitas, sendi, otot, kolumna


vertebralis dilakukan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi untuk mengetahui
adanya tanda trauma atau kondisi lain. Pada pemeriksaan kepala dapat ditemukan tanda
adanya fraktur, hematoma, dan laserasi. Pemeriksaan toraks meliputi pemeriksaan patu
dan jantung. Pola pernapasan perlu diperhatikan dengan seksama karena dapat
memberikan petunjuk mengenai fungsi batang otak.

- Pola pernapasan abnormal


1. Pernapasan Cheyne-Stokes, merupakan variasi berulang antara periode hiperventilasi
dengan apnea.
2. Central hyperventilation, merujuk pada lesi batang otak, diantara midbrain dan pons.
3. Pernapasan apneustik, pernapasan dengan jeda tidak bernapas 2-3 detik diakhir ekspirasi.
4. Pernapasan ataksik, pola pernapasan yang tidak teratur dan tidak terprediksi.

- Pemeriksaan neurologis
Setelah pemeriksaan umum, dilanjutkan dengan pemeriksaan neurologi. Pemeriksaan
neurologi pada pasien koma memerlukan observasi lebih teliti dan pemberian stimulus
yang adekuat. Pemeriksan membuka selimut ataupun pakaian yang menutupi ekstremitas
atas dan bawah untuk observasi. Dilakukan inspeksi apakah ada Gerakan spontan seperti
Gerakan ritmik yang mungkin menandakan adannya kejang.

Pemeriksaan saraf kranial bermakna untuk menilai refleks. Pemeriksaan fungsi


batang otak meliputi pemeriksaan pupil (ukuran, simetris, dan reaktivitasnya), refleks
kornea, pemeriksaan doll’s eyes movement/refleks okulosefalik jika tidak ada kecurigaan
terha- dap trauma servikal, refleks vestibulookular/ pemeriksaan kalorik, gag reflex, serta
refleks muntah dan batuk.

Observasi kedua mata untuk melihat adanya gerakan spontan atau diskonjugasi
bola mata. Pemeriksaan refleks cahaya langsung dilakukan satu per satu pada kedua mata.
Perbedaan respons terhadap refleks cahaya langsung dan/atau diameter pupil menandakan
disfungsi pupil. Disfungsi pupil lebih sering disebabkan oleh gang- guan struktural seperti
perdarahan dan infark. Dilatasi pupil unilateral menunjukkan adanya penekanan nervus III
akibat herniasi lokal ipsilateral atau adanya lesi massa. Pupil kecil dan tidak reaktif
menunjukkan adanya gangguan batang otak. Dilatasi pupil dan tidak reaktif terjadi pada
anoksia berat atau kerusakan midbrain atau kompresi fokal nervus okulomotorius. Pinpoint
pupils menandakan kerusakan pons yang biasanya disebabkan oleh perdarahan/infark.

Gerakan bola mata diperiksa menggunakan dua maneuver, yaitu OculoCephalic


Reflex (OCR) atau Doll’s Eyes Manuever dan OculoVestibular Reflex (OVR) atau Cold
Caloric Test. Pemeriksaan OCR dilakukan jika sudah di- pastikan tidak ada trauma
servikal. oving eye movement menandakan adanya gangguan metabolik atau toxic
encephalopathy atau adanya lesi bilateral di atas batang otak. Berikutnya adalah
pemeriksaan OVR. Pasti- kan patensi external auditory canal.

Setelah pemeriksaan terhadap mata, selanjutnya dilakukan pemeriksaan refleks.


Pemeriksaan refleks meliputi pemeriksaan refleks kornea, refleks batuk, refleks fisiologis,
dan refleks patologis. Pada pemeriksaan refleks kornea, pemeriksa menggoreskan ujung
kapas secara lembut atau meniupkan udara ke kornea. Pemeriksaan refleks muntah dan
batuk dila- kukan menggunakan kateter isap yang di- masukkan ke dalam trakea.
emeriksaan refleks fisiologis meliputi tendon biseps, triseps, patella, dan Achilles. Adanya
hiperrefleks menandakan adanya lesi upper motor neuron (UMN). Kemudian pemeriksaan
refleks patologis meliputi Babinski (Paling mudah ditimbulkan), Chaddock, Oppenheim,
Gordon, Schaeffer, dan Hoffmann-Tromner.

- Tanda rangsang meningeal


- Kaku kuduk (Nuchal rigidity), tangan pemeriksa ditempatkan dibawah kepala pasien yang
sedang berbaring, kepala difleksikan dan diusahakan dagu mencapai dada, kaku kuduk (+)
bila didapatkan tahanan.
- Kernig’s sign, fleksikan pada pasien pada persendian panggul sampai membuat sudut 90
derajat tungkai bawah di ekstensikan pada persendian lutut biasanya ekstensi dapat
mencapai sudut 135 derajat, kerning sign (+) bila terdapat tahanan sebelum tercapai sudut
135 derajat.
- Laseque sign, pasien berbaring lurus satu tungkai diangkat lurus, dibengkokkan pada
persendian panggulnya. Normalnya dapat mencapai sudut 70 derajat,
- Brudzinski 1, tangan ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring, buat
tekukan kepala sejauh mungkin sampai dagu mencapai dada tangan yang satunya lagi
ditempatkan di dada pasien.
- Brudzinski 2, satu tungkai difleksikan pada persendian panggul sedangkan tungkai yang
satu berada dalam keadaan lurus.

C. Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan laboratorium:
a) Tes darah.
Tes ini dapat mendeteksi infeksi pada otak dan sumsum tulang, perdarahan, kerusakan
pembuluh darah, racun yang memengaruhi sistem saraf, dan mengukur kadar obat pada
pasien epilepsi.
b) Tes urine (urinalisis).
Tes ini dilakukan untuk mendeteksi substansi abnormal pada urine yang menyebabkan
gangguan pada saraf.
c) Biopsi.
Tes ini dilakukan dengan mengambil jaringan pada otot, saraf, atau otak untuk kemudian
dianalisis di laboratorium.
- Radiologi. Jenis pemeriksaan dengan menggunakan gelombang sinar, suara berfrekuensi
tinggi, atau medan magnet. Jenis pemeriksaan radiologi meliputi:
a) CT scan. Pemeriksaan dengan menggunakan komputer dan mesin sinar-X yang memutar.
Dalam pemeriksaan saraf, CT scan dapat mendeteksi lokasi kerusakan otak pada pasien
cedera kepala, gumpalan darah atau perdarahan pada pasien stroke, atau tumor otak.
Pemeriksaan ini membutuhkan waktu 10-15 menit.
b) MRI. Pemeriksaan dengan menggunakan medan magnet dan teknologi komputer untuk
mendeteksi tumor otak dan saraf tulang belakang, multiple sclerosis, stroke, dan stenosis
spinal. MRI membutuhkan waktu 15-60 menit.

- Tes konduksi saraf, yaitu pemeriksaan terhadap kecepatan dan fungsi sinyal listrik yang
bergerak melalui saraf tubuh. Beberapa jenis tes konduksi saraf, antara lain:
a) Elektroensefalografi (EKG). Pemeriksaan dengan menggunakan elektroda yang dipasang
di kulit kepala untuk mendeteksi aktivitas listrik pada otak. EEG berfungsi untuk
membantu mendiagnosis kejang, tumor otak, kerusakan otak akibat cedera kepala, serta
peradangan otak dan saraf tulang belakang. Pemeriksaan ini membutuhkan waktu 1-3 jam
tergantung kondisi pasien.
b) Elektromiografi (EMG). Pemeriksaan terhadap fungsi saraf perifer di lengan dan tungkai
pasien, dengan menggunakan jarum sangat tipis yang dimasukkan ke dalam otot. EMG
dapat mendeteksi lokasi dan tingkat keparahan saraf yang terjepit. Pemeriksaan ini
membutuhkan waktu 15-45 menit.
c) Pungsi lumbal (spinal tap). Pemeriksaan yang dilakukan dengan memasukkan jarum ke
saraf tulang belakang untuk mengambil sampel cairan otak dan saraf tulang belakang
(serebrospinal). Cairan ini akan dianalisis di laboratorium dan hasilnya digunakan untuk
mendeteksi perdarahan dan infeksi di otak dan saraf tulang belakang, serta mengukur
tekanan di dalam kepala. Pemeriksaan ini membutuhkan waktu sekitar 45 menit.
Bateman DE. Neurological Psychiatry Pemeriksaan fisik. Jakarta Aprilia M,
Wreksoatmodjo BR. 2015. Pemeriksaan neurologis pada kesadaran menurun. Jakarta.
7. Jelaskan diagnosis banding berdasarkan skenario!
A.PENYAKIT MENIERE
DEFINISI
Penyakit meniere adalah gangguan pada telinga bagian dalam yang ditandai
dengan gangguan pendengaran, tinitus dan vertigo. Dalam banyak kasus, itu perlahan-
lahan progresif dan memiliki dampak yang signifikan pada fungsi sosial individu
yang terkena.
Kriteria diagnostik saat ini didefinisikan oleh masyarakat Barany oleh Lopez-
Escamez et al. dapat membantu membedakan antara penyakit Meniere yang mungkin
dan yang pasti.
Pasien dengan penyakit Meniere pasti menurut Barany Society memiliki:
1. Dua atau lebih episode vertigo spontan dengan masing-masing berlangsung 20
menit sampai 12 jam
2. Gangguan pendengaran sensorineural frekuensi rendah hingga sedang yang
terdeteksi secara audiometri pada satu telinga, menentukan dan menentukan lokasi
pada telinga yang terkena setidaknya satu kejadian sebelum, selama, atau setelah
salah satu episode vertigo
3. Gejala aural yang berfluktuasi (penuh, pendengaran, tinitus) yang terletak di
telinga yang terkena
4. Tidak lebih baik dijelaskan oleh diagnosis vestibular lainnya
Penyakit Meniere dapat ditemukan di klinis berikut:
1. Dua atau lebih episode pusing atau vertigo, masing-masing berlangsung 20 menit
hingga 24 jam
2. Gejala aural yang berfluktuasi (penuh, pendengaran, atau tinitus) di telinga yang
terkena
3. Kondisi ini lebih baik dijelaskan oleh diagnosis vestibular lain

ETIOLOGI
Etiologi yang patologis MD tidak sepenuhnya jelas, namun telah menentukan
perubahan anatomi cairan telinga bagian dalam yang dijelaskan dengan istilah hidrops
endolimfatik (ELH), penyakit khas yang dapat dikonfirmasikan secara postmortem.
Sementara EHL tidak identik dengan MD, endolimfe dalam labirin membran telinga
bagian dalam diperkirakan meningkat, yang berpuncak pada gejala telinga episodik,
termasuk vertigo, gangguan pendengaran yang berfluktuasi, tinitus, dan rasa penuh
pada telinga. Schuknecht dan Gulya10mendalilkan teori pecahnya membran Reissner
sekunder untuk distensi duktus endolimfatik. Air mata mikro ini akan mendukung
endolimfe kaya kalium untuk selsel rambut koklea dan saraf kedelapan kedelapan.
Studi tulang temporal mengungkapkan akumulasi endolimfatik di koklea dan
organ vestibular pada pasien dengan penyakit Meniere. Penelitian saat ini dikaitkan
dengan hidrops endolimfatik dengan gangguan pendengaran >40dB. Vertigo mungkin
terkait atau tidak. Oleh karena itu hidrops endolimfatik tidak sepenuhnya spesifik
untuk penyakit Meniere dan dapat ditemukan pada kasus tuli sensorineural idiopatik.
Etiologi pasti penyakit Meniere masih belum jelas. Teori yang berbeda ada,
tetapi faktor genetik dan lingkungan berperan. dengan komorbiditas umum tetap sulit
dijangkau.

EPIDEMIOLOGI
Prevalensi penyakit Meniere bervariasi antara 3,5 per 100.000 dan 513 per
100.000 dan lebih sering terjadi pada pasien yang lebih tua, kulit putih dan wanita.
Identifikasi beberapa komorbiditas yang terjadi secara meningkat pada pasien dengan
penyakit Meniere memunculkan teori baru tentang asal-usul penyakit.
1) Migrain: Migrain lebih sering terjadi pada pasien yang didiagnosis dengan
penyakit Meniere, meskipun mungkin ada tumpang tindih antara migrain basilar yang
salah didiagnosis sebagai penyakit Meniere.
2) Penyakit autoimun: Beberapa penyakit autoimun berhubungan dengan
penyakit Meniere, yaitu rheumatoid arthritis, lupus eritematosus sistemik, dan
ankylosing spondylitis.
3) Komponen genetik: Penyakit Meniere adalah kelainan poligenik. Sepuluh
kasus penyakit keturunan Eropa memiliki penyakit Meniere familial. MD mungkin
menunjukkan pewarisan autosomal dominan atau resesif autosomal tetapi mungkin
sporadis.
(referensi = Koenen L, Penyakit Andaloro C. Meniere. [Diperbarui 2022 Mei 1]. Di: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): Penerbitan StatPearls; 2022 Jan-. Tersedia dari:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK536955/)
PATOFISIOLOGI
Mekanisme patofisiologi utama adalah akumulasi endolimfe di ruang
endolimfatik labirin, yang dikenal sebagai hidrops endolimfatik. Meskipun gejala
biasanya terlokalisasi pada satu telinga, MR menunjukkan hidrops pada kedua telinga
sekitar setengah kasus. Penyebab pasti hidrops endolimfatik tidak diketahui, tetapi
proses yang berbeda mungkin bertanggung jawab, termasuk reaksi imun yang
abnormal, infeksi virus, perubahan vaskular dan disfungsi sistem saraf otonom, yang
menyebabkan ketidakseimbangan dalam homoeostasis telinga bagian dalam.
Hipersensitivitas alergi lebih tinggi dari tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan
tiga populasi umum, menunjukkan bahwa reaksi alergi dapat memicu penyakit telinga
bagian dalam yang dimediasi kekebalan yang menyebabkan hidrops endolimfatik.
Faktor genetik juga berperan, tetapi gen penyebab belum diidentifikasi. Meskipun
penyakit Meniere secara tradisional dianggap sebagai gangguan idiopatik, hidrops
endolimfatik dapat berkembang sebagai penyakit telinga bagian dalam lainnya, seperti
schwannoma vestibular, sindrom saluran air vestibular besar, labirinitis, meningitis,
gangguan pendengaran akibat kejadian, trauma, gangguan pendengaran bawaan atau
malformasi telinga bagian dalam. Kasus penyakit Meniere ini diklasifikasikan sebagai
sekunder, berbeda dengan penyakit telinga hidropik primer, di mana tidak ada
penyebab yang diidentifikasi. Selama bertahun-tahun, mekanisme serangan vertigo
yang khas pada penyakit Meniere dijelaskan oleh teori Schuknecht tentang pecahnya
membran Reissner dan keracunan kalium perilimfe.
Penelitian kontemporer menawarkan penjelasan alternatif: 'teori drainase' dari
Gibson dan Arenberg menjelaskan episode vertigo sebagai akibat dari disfungsi atau
pembengkakan kantung endolimfatik. Hal ini mengganggu aliran longitudinal
endolimfe, yang menyebabkan pengumpulannya di sinus duktus endolimfatik.
Refluks endolimfe yang berlebihan melalui katup utrikulus Bast dan ke dalam ampula
kanalis semisirkularis, mengakibatkan vertigo berputar. Hidrops endolimfatik yang
berlangsung lama menyebabkan distensi membran basilaris dan dapat mengganggu
suplai darah ke epitel neurosensori. Pada tahap awal penyakit, distensi datang dan
pergi menyebabkan tinitus berfluktuasi dan gangguan pendengaran, tetapi seiring
dengan degenerasi berlangsung, gejalanya menjadi permanen. Dalam jangka panjang,
hidrops endolimfatik berkembang, dan derajat hidrops endolimfatik berkorelasi
signifikan dengan kelainan pada tes fungsi audiovestibular (audiometri, tes kalori,
potensi miogenik yang dibangkitkan vestibular, elektrokokleogram, timpanometri pita
lebar). Namun, fluktuasi jangka pendek gejala audiovestibular tidak berkorelasi
dengan perubahan hidrops endolimfatik, menunjukkan fluktuasi yang terkait dengan
serangan memiliki amplitudo di bawah batas resolusi MR saat ini.
Referensi = Kutlubaev MA, Pyykko I, Hardy TA, Gürkov R. Menière's disease. Pract Neurol. 2020
Nov 28:practneurol-2020-002734. doi: 10.1136/practneurol-2020-002734. Epub ahead of print.
PMID: 33249404.
DIANGNOSIS
TATALAKSANA
Non farmakologi
Pilihan pengobatan yang berbeda untuk penyakit Meniere ada dengan
variabilitas substansial antar negara. Tak satu pun dari pilihan pengobatan
menyembuhkan penyakit. Karena banyak perawatan memiliki dampak signifikan
pada fungsi struktur di sekitarnya, seseorang harus memulai dengan pendekatan non-
invasif dengan efek samping seminimal mungkin dan melanjutkan ke langkah yang
lebih invasif.
1. Diet natrium: Bukti tingkat rendah menunjukkan bahwa membatasi asupan
natrium dapat membantu mencegah serangan Meniere.
2. Betahistine: Ketidaksepakatan substansial dalam komunitas medis tentang
penggunaan betahistine ada. Sebuah keyakinan Cochrane menemukan bukti
tingkat rendah untuk mendukung penggunaan betahistine dengan variabilitas
substansial antara studi. Terapi medis di banyak pusat kesehatan sering dimulai
dengan betahistine secara lisan.
3. Suntikan steroid intratimpani dapat mengurangi jumlah serangan vertigo pada
pasien dengan penyakit Meniere.
4. Suntikan gentamisin intratimpani: Gentamycin memiliki sifat ablatif yang kuat
terhadap sel vestibular. Efek sampingnya adalah gangguan pendengaran
sensorineural karena jumlah toksisitas terhadap sel koklea.
5. Pembedahan dengan bagian saraf vestibular atau labirinektomi: Bagian saraf
adalah pilihan terapi pada pasien yang gagal dengan pilihan pengobatan pilihan
dan labirinektomi ketika pilihan bedah gagal. Labirinektomi menyebabkan
gangguan pendengaran total pada sisi yang terkena .
(Koenen L, Penyakit Andaloro C. Meniere. [Diperbarui 2022 Mei 1]. Di: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): Penerbitan StatPearls; 2022 Jan-. Tersedia dari:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK536955/)
Farmakologi
1. Betahistine, antagonis H3 kuat yang dapat meningkatkan aliran darah koklea,
meningkatkan pergantian histamin di sistem saraf pusat dan vestibular, dan
menurunkan input vestibular di sistem vestibular perifer. Dosis minimal 48mg/
hari efektif. Pada pasien dengan MD berat yang dosis rendah tidak, dosis
betahistin dapat ditingkatkan menjadi 288- 480mg/hari. Betahistine juga efektif
untuk meningkatkan pemulihan gejala pada pasien MD dengan kehilangan
vestibular unilateral setelah neurektomi vestibular unilateral.
2. Diuretics. Hydrochlorothiazide, acetazolamide dan chlorthalidone adalah diuretik
yang paling umum digunakan sebagai pengobatan MD. Tetapi secara sistematis
termasuk studi secara keseluruhan, di antaranya adalah uji coba secara acak,
mengungkapkan bahwa pasti ada bukti bahwa diuretik dapat meredakan gejala
masih sangat rendah . Secara umum diyakini bahwa meredakan vertigo dan
gangguan pendengaran dengan menurunkan volume tekanan dan dalam
endolimfe. Tetapi Rosen diuretikum menguraikan kemungkinan bahwa penurunan
tekanan darah secara tiba-tiba oleh dapat memicu reaksi yang merugikan dan
mengirimkan informasi yang menyesatkan reseptor vasopresin koklea. Hal ini
pada akhirnya akan menyebabkan kerusakan permanen pada telinga bagian dalam
3. Intratympanic corticosteroids Ketika pengobatan pilihan dan medis gagal dalam
mengontrol vertigo, kortikosteroid direkomendasikan sebagai pengobatan lini
kedua. Tingkat perforasi membran timpani persisten setelah injeksi steroid
intratimpani Rendah. Pasien dengan riwayat radiasi di kepala dan leher dapat
meningkatkan risiko perforasi membran timpani persisten. mekanisme yang
mungkin dari kortikosteroid dalam mengobati MD bisa menjadi efek dari
perubahan regulasi cairan, dan regulasi ion. Baik deksametason dan
metilprednisolon dapat diterima dengan injeksi intratimpani. Baik injeksi harian
selama beberapa hari berturut-turut atau tayangan harian selama
bermingguminggu berturut-turut terbukti efektif. Beberapa studi acak, double-
blind, kontrol plasebo dan sistem mengkonfirmasi perbaikan yang signifikan
dalam kontrol vertigo dengan injeksi kortikosteroid intratimpani. Namun masih
belum ada konvensi internasional tentang frekuensi dan dosis yang ideal injeksi
kortikosteroid intratimpani. Juga, kontroversi masih ada mengenai kemanjuran
antara injeksi kortikosteroid intratimpani dan terapi medis oral. Paragache
membandingkan penerapan deksametason intratimpani dan terapi medis
konvensional dengan kontrol diet dan betahistine oral. Hasil penelitian
menunjukkan tidak ada perbedaan kontrol vertigo dan tinitus. kontroversi masih
ada mengenai kemanjuran antara injeksi kortikosteroid intratimpani dan terapi
medis oral. Paragache membandingkan penerapan deksametason intratimpani dan
terapi medis konvensional dengan kontrol diet dan betahistine oral. Hasil
penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan kontrol vertigo dan tinitus.
kontroversi masih ada mengenai kemanjuran antara injeksi kortikosteroid
intratimpani dan terapi medis oral. Paragache membandingkan penerapan
deksametason intratimpani dan terapi medis konvensional dengan kontrol diet dan
betahistine oral. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan kontrol vertigo
dan tinitus.
4. Intratympanic gentamicin (ITG), pengobatan reseksi labirin kimia, pasti sebagai
pengobatan lini keempat pada MD refrakter.. Risiko gangguan pendengaran tidak
boleh diabaikan karena efek otoksiknya. Mutasi mitokondria dari gen MTRNR1
tidak disaring di sebagian besar negara. Mutasi ini menyebabkan ketulian lengkap
dan definitif setelah satu gentamisin. Pasien yang menerima ITG harus
diinformasikan dengan baik sebelum pengobatan. Sebuah Percobaan double-
blinded, acak, terkontrol plasebo mengungkapkan bahwa ITG dapat menjadi
pengobatan yang efektif untuk vertigo pada MD. Ada potensi gangguan
pendengaran, tetapi uji coba menunjukkan tidak ada perbedaan tingkat
pendengaran antara pra-perawatan dan pascaperawatan .Perbandingan efektivitas
antara ITG dan metilprednisolon intratimpani secara acak, double-blind trail.
Hasil penelitian menunjukkan penurunan frekuensi vertigo sebesar 87% pada
kelompok ITG dan penurunan frekuensi vertigo sebesar 90% pada kelompok
metilprednisolon intratimpani. Tidak ada perbedaan statistik yang signifikan
dalam kontrol vertigo dan tingkat pendengaran. Metilprednisolon dan gentamisin
intratimpani keduanya merupakan pilihan terapi yang aman dan efektif untuk
refrakter MD.
5. Endolymphatic sac surgery Referensi Bedah kantung endolimfatik (ELSS) adalah
pengobatan pilihan untuk pasien MD refrakter pada tahap awal. Fungsi vestibular
dan fungsi pendengaran dapat dipertahankan dengan baik. Operasi dekompresi
kantung endolimfatik (ESD) diterima secara luas karena operasi yang mudah dan
komplikasi pascaoperasi lebih sedikit. Sastra telah menunjukkan kemanjuran ESD
untuk mengontrol vertigo dan gangguan pendengaran pada 64,5-90% pasien.
Kontroversi tentang efektivitas ESD masih sulit untuk melakukan single-blind
atau double-blind trail dalam perawatan bedah MD. Beberapa dokter
mempertanyakan jangka panjangnya jangka panjang dan menganggap bahwa
kontrol vertigo dicapai lebih karena efek menyenangkan daripada karena prosedur
itu sendiri. Baru-baru ini, Saliba dkk. mengusulkan operasi saluran endolimfatik
(EDB) sebagai prosedur bedah baru untuk mengobati MD. Mereka melaporkan
96,5% kontrol penuh vertigo pada kelompok EDB dan 37,5% pada kelompok
ESD setelah 24 bulan follow-up. Tingkat pendengaran terpelihara dengan baik
pada kedua kelompok. Penilaian kualitas hidup juga menunjukkan peningkatan
yang signifikan.
6. Destruktif bedah Labyrinthectomy dan vestibular neurectomy (VN) dianggap
memiliki kemungkinan tertinggi untuk mengontrol vertigo pada pasien MD yang
sulit ditangani. VN dapat dipertimbangkan ketika pasien memiliki pendengaran
yang buruk tetapi dapat diperbaiki. Labyrinthectomy cocok untuk pasien dengan
gangguan pendengaran berat hingga berat. Meningitis, cairan serebrospinal dan
hematoma epidural kemungkinan komplikasi pasca operasi setelah VN. Yu [20]
melaporkan vertigo 100% baik pada kelompok labirintektomi dan kelompok VN.
Kualitas hidup juga meningkat pada kedua kelompok. Umumnya, operasi
destruktif semakin jarang dilakukan.
Referensi =Liu Y, Yang J, Duan M. Status saat ini pada penelitian penyakit Meniere: review.
Acta Otolaringol. 2020 Okt;140(10):808-812. doi: 10.1080/00016489.2020.1776385. Epub
2020 21 Juni. PMID: 32564698
KOMPLIKASI
PROGNOSIS
Penyakit Meniere pada awalnya bersifat progresif tetapi berfluktuasi secara tidak
terduga. Sulit untuk membedakan resolusi alami dari efek pengobatan. Perbaikan yang
signifikan pada vertigo biasanya terlihat pada kelompok plasebo RCT, dalam beberapa kasus
sekitar 60%. Serangan vertigo akut sering meningkat frekuensinya selama beberapa tahun
pertama setelah presentasi dan kemudian menurun frekuensinya sehubungan dengan
penurunan pendengaran yang berkelanjutan.Pada kebanyakan orang, episode pusing akhirnya
berhenti sepenuhnya.Dalam satu studi kohort 20 tahun di 34 orang, 28 (82%) orang memiliki
setidaknya gangguan pendengaran sedang hingga berat (rata-rata gangguan pendengaran nada
murni> 50 dB) dan 16 (47%) mengembangkan penyakit bilateral.Gejala selain gangguan
pendengaran membaik pada 60% -80% orang terlepas dari pengobatan.Fitur-fitur ini
mengganggu uji klinis yang kuat karena kekuatan hampir tidak mungkin dicapai mengingat
insiden kondisi yang rendah. Uji klinis yang baik harus direncanakan selama beberapa tahun
untuk memperhitungkan fluktuasi alami dari kondisi tersebut, sehingga kepatuhan terhadap
penelitian dapat menjadi rendah. (referensi = Wright T. Menière's disease. BMJ Clin Evid.
2015 Nov 5;2015:0505. PMID: 26545070; PMCID: PMC4636025.)
B. BPPV ( VERTIGO POSISI PAROKSISMAL BENIGNA )
DEFINISI
Vertigo posisional paroksismal jinak (BPPV) adalah gangguan labirin,
menyebabkan episode berulang dari vertigo posisional. Penyebabnya adalah stimulasi
mekanis dari reseptor vestibular di dalam kanalis semisirkularis (SCCs) oleh otokonia
yang dipindahkan tetapi tanpa rotasi kepala yang sebenarnya. Nistagmus posisional
(PN) adalah tanda patognomonik BPPV. Dalam kebanyakan kasus, fitur BPPV mudah
dijelaskan dengan eksitasi atau penghambatan pelepasan sel-sel rambut yang tertanam
dalam cupula di dalam ampula. Meskipun BPPV dideskripsikan hampir 100 tahun
yang lalu1 dan dicirikan lebih lanjut lebih dari 60 tahun yang lalu,2 BPPV tidak
dikenal secara luas sampai tahun 1980-an setelah keberhasilan terapi oleh Alain
Sémontin Europe3 dan John Epley di Amerika Serikat.4 Sementara banyak yang telah
dipelajari tentang BPPV, patofisiologinya sebagian besar masih spekulatif. Di sini,
kami menjelaskan fitur utama BPPV, dengan fokus pada aspeknya yang lebih
kontroversial dan tidak dapat dijelaskan. (referensi =Nuti D, Zee DS, Mandalà M.
Vertigo Posisi Paroksismal Jinak: Apa yang Kita Lakukan dan Tidak Tahu. Semin
Neurol. 2020 Februari;40(1):49-58. doi: 10.1055/s-0039-3402733. Epub 2020 14
Januari. PMID: 31935770)
ETIOLOGI
Sebagian besar kasus BPPV bersifat idiopatik (primer), tetapi mekanisme
patofisiologis yang tepat masih belum jelas. Oleh karena itu, ada degenerasi organ
akhir yang menimbulkan puing-puing endolimfe yang mengambang bebas. Dalam
model cupulolithiasis, deposit menjadi melekat dan memuat cupula, membuatnya
lebih responsif terhadap gravitasi [8] . Hipotesis alternatif berimplikasi pada partikel
yang mengambang bebas di dalam lumen saluran (canalolithiasis), pertama kali
ditunjukkan secara in vivo oleh Parnes dan McClure [9] pada tahun 1992. Dalam
model ini, gravitasi menarik partikel yang mengambang bebas melalui endolimfe.
Karena viskositas endolimfe dan gaya hambat hidrodinamik, partikel yang bergerak
menciptakan arus endolimfe dan pada gilirannya, perpindahan cupular. Sementara
studi klinikopatologis telah menunjukkan bahwa kedua mekanisme dapat terjadi,
canalolithiasis tampaknya menjadi subtipe dominan di BPPV khas . Banyak yang
berspekulasi bahwa otokonia utrikulus yang tergeser mungkin merupakan sumber
kanalit. Klaim ini didukung oleh studi terbaru oleh Kao et al. pemindaian mikrograf
elektron (SEM) dari konten saluran semisirkularis posterior yang diekstraksi dari 2
pasien dengan BPPV yang keras. SEM menunjukkan otokonia mengambang bebas di
dalam lumen kanal dengan dan tanpa filamen penghubung, dan melekat pada apa
yang tampak seperti matriks gel. Salah satu SEM tersebut diperoleh selama penelitian,
tetapi tidak dipublikasikan sebelumnya, Otoconia yang berasal dari saccular tidak
mungkin terlibat karena lokasinya yang jauh relatif terhadap kanalis semisirkularis.
Degenerasi matriks gel terkait usia dan fibril penghubung terkait, atau
otokonia itu sendiri, dapat menciptakan lingkungan yang kondusif untuk detasemen
otoconial dan dengan demikian pengembangan BPPV idiopatik . Di antara pasien
dengan BPPV, 81% memiliki baik osteopenia atau osteoporosis, dan ada korelasi
dengan penanda untuk bone turnover. Homeostasis kalsium memainkan peran utama
dalam pembentukan dan penyerapan otokonia. Tampaknya ada kesamaan dalam
patofisiologi BPPV dan osteoporosis yang mungkin menyoroti metabolisme kalsium
sebagai faktor etiologi dalam BPPV. Pada wanita pascamenopause dengan
osteopenia/osteoporosis, insiden BPPV adalah 31%, yang secara signifikan lebih
tinggi dari tingkat 9% BPPV yang tidak diketahui pada populasi geriatri umum .
Peran estrogen dalam metabolisme kalsium dan dalam pemeliharaan struktur internal
otokonia dan interkoneksi terkait dengan substrat agar-agar dapat membantu
menjelaskan mengapa usia dan jenis kelamin perempuan merupakan faktor risiko
gangguan tersebut . Kekurangan vitamin D, komponen lain dari homeostasis kalsium,
juga telah terlibat baik dalam perkembangan dan kekambuhan BPPV dan dapat
mempengaruhi musim yang jelas dari presentasi BPPV. BPPV juga dapat
berkembang secara sekunder akibat berbagai kondisi patologis yang menyebabkan
kerusakan pada telinga bagian dalam dan menyebabkan terlepasnya otokonia dari
utrikulus. Trauma adalah penyebab paling umum dari BPPV sekunder. Hal ini dapat
terjadi akibat cedera kepala tertutup, pembedahan otologik dan non-otologik, atau
situasi di mana kekuatan mekanik yang cukup besar ditransmisikan ke telinga bagian
dalam. Selain itu, BPPV dapat terjadi akibat penyakit telinga bagian dalam yang
mengarah pada perburukan dan pelepasan otokonia seperti gangguan pendengaran
sensorineural mendadak, penyakit Meniere atau neuritis vestibular . Dibandingkan
dengan kasus idiopatik, BPPV sekunder lebih cenderung bilateral, memerlukan
beberapa perawatan dan dikaitkan dengan tingkat kekambuhan yang lebih tinggi.

EPIDEMIOLOGI
Vertigo didefinisikan sebagai persepsi subjektif rotasi atau translasi tanpa
gerakan eksternal. Prevalensi seumur hidup diperkirakan adalah antara 3 dan 10% dari
populasi . Vertigo posisional paroksismal jinak subtipe (BPPV) menyumbang 14-42%
dari pasien dengan vertigo, menjadikannya penyebab paling umum . BPPV adalah
gangguan organ akhir vestibular, ditandai dengan sensasi berputar sementara yang
biasanya berlangsung kurang dari satu menit yang dipicu oleh perubahan posisi
kepala sehubungan dengan gravitasi. Ada spektrum keparahan gejala yang luas, mulai
dari pusing ringan hingga episode pusing, cukup parah untuk menyebabkan mual dan
muntah, dan secara signifikan mengganggu fungsi sehari-hari. Gangguan ini rentan
terhadap remisi spontan dan kekambuhan. Prevalensi BPPV seumur hidup adalah
2,4%, dengan 10,7-64. 0 kasus per 100.000 penduduk, dan dapat mengenai satu atau
lebih dari 3 kanalis semisirkularis secara bersamaan, baik unilateral maupun bilateral.
Sebagian besar kasus muncul dari kanal posterior (80-90%), dengan kasus kanal
horizontal terhitung 10-20%, dan kasus kanal superior lebih jarang terjadi pada 3%.
Gangguan ini juga secara tidak proporsional mempengaruhi wanita (2:1–3:1) dan
orang tua dengan onset puncak pada dekade 5 dan 6 kehidupan .
Referensi =Instrum RS, Parnes LS. Vertigo posisi paroksismal benigna. Adv Otorhinolaryngol.
2019;82:67-76. doi: 10.1159/000490273. Epub 2019 15 Januari. PMID: 30947198.
PATOFISOLOGI
Otokonia yang copot mungkin sering terjadi di ruang depan dan di SCC,
bahkan pada subjek normal tanpa gejala. Hanya ketika massa kritis tercapai, fisiologi
vestibular diubah oleh massa yang bergerak di endolimfe atau menyebabkan cupula
lebih berat dari biasanya.Teori canalolithiasis diajukan 40 tahun yang lalu.Saat kepala
berubah posisi sehubungan dengan gravitasi, puing-puing otoconial bergerak di dalam
kanal dan menginduksi aliran endolymphin ke arah partikel yang jatuh. Aliran ini
membengkokkan kupula, mensimulasikan gerakan rotasi kepala. Aliran berakhir
hanya ketika debris otolith mencapai titik terendah di SCC dan kupula kembali ke
posisi istirahatnya.Dengan demikian, PN tipikal akibat kanalolitiasis adalah
paroksismal, terjadi setelah latensi, awalnya intens, dan kemudian meluruh. Otokonia
yang terlepas juga dapat menempel pada cupula, membuatnya sensitif terhadap
gravitasi, seperti yang diusulkan oleh Schuknecht dalam teori cupulolithiasis. Dalam
hal ini, stimulus seperti percepatan sudut kepala yang berkelanjutan, yang membuat
cupula dibelokkan. PN yang dihasilkan harus bertahap dalam onset dan relatif kurang
intens, dan bertahan jika posisi provokatif dipertahankan, meskipun akhirnya secara
bertahap berkurang karena adaptasi. Hukum kedua dan ketiga Ewald mendefinisikan
asimetri arah ketika ada gerakan fluida di kanal. Untuk SCC vertikal, defleksi kupula
menjauhi utrikulus bersifat rangsang dan menuju penghambatan utrikulus.
Hal sebaliknya terlihat di LC. Dalam kedua kasus, arah rangsang
menghasilkan respons yang lebih besar. Hukum pertama Ewald memprediksi arah
nistagmus: mata berputar dalam bidang yang sejajar dengan kanal yang distimulasi,
tidak tergantung pada posisi mata di orbit atau posisi kepala relatif terhadap gravitasi.
Banyak variabel yang dapat mempengaruhi intensitas, durasi, latensi, dan arah PN.
Misalnya, partikel besar yang jatuh di saluran sempit akan membangkitkan PN yang
intens dan berumur pendek, sedangkan partikel kecil jatuh lebih lambat, menyebabkan
respons yang kurang intens dan lebih tahan lama.Morfologi labirin membran,
orientasi spasial dan radius kelengkungan SCC, dan orientasi kupula di dalam ampula
juga merupakan variabel penting. Untuk cupulolithiasis, berat partikel dan di mana
mereka melekat pada kupula mempengaruhi respon. Sudut antara krista, di mana
cupula tertanam, dan bidang gravitasi vertikal adalah penting. Semua elemen ini dapat
mempengaruhi pola nistagmus dan respon terhadap manuver terapeutik. (referensi
=Nuti D, Zee DS, Mandalà M. Vertigo Posisi Paroksismal Jinak: Apa yang Kita
Lakukan dan Tidak Tahu. Semin Neurol. 2020 Februari;40(1):49-58. doi: 10.1055/s-
0039-3402733. Epub 2020 14 Januari. PMID: 31935770.
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/31935770/)
DIANGNOSIS
TATALAKSANA
KOMPLIKASI
PROGNOSIS
Vertigo sering kambuh di BPPV, dengan tingkat kekambuhan yang dilaporkan 15-
37% setelah CRM awal yang efektif. Dalam penelitian terbaru, tingkat kekambuhan adalah
50% selama periode tindak lanjut rata-rata 10 tahun.  Kebanyakan kekambuhan (80%) terjadi
dalam tahun pertama setelah pengobatan. Faktor yang terkait dengan tingkat kekambuhan
yang lebih tinggi termasuk menjadi perempuan,  adanya penyakit sebelumnya seperti trauma,
labirinitis, dan hidrops endolimfatik,  adanya osteopenia/osteoporosis, HC-BPPV,  dan
riwayat tiga atau lebih serangan BPPV sebelum perlakuan. 

C. NEUROMA AKUSTIK
DEFINISI
ETIOLOGI
EPIDEMIOLOGI
PATOFISOLOGIS
DIANGNOSIS
TATALAKSANA
KOMPLIKASI
PROGNOSIS

8. Bagamana penatalaksanaan awal berdasarkan dengan skenario?


Non-Farmakologi
Tatalaksana non-farmakologi dapat dilakukan dengan pemberian terapi
dengan manuver seposisi partikel/Particle Repositioning Manuver (PRM) yang dapat
secara efektif menghilangkan vertigo pada BPPV, meningkatkan kualitas hidup, dan
mengurangi risiko jatuh pada pasien. Keefektifan dari manuver-manuver yang ada
bervariasi mulaii dari 70%-100%. Efek samping dari manuver seperti mual, muntah,
vertigo, dan nistagmus. Hal ini terjadi karena adanya debris otolitith yang tersumbat
saat berpindah ke segmen yang lebih sempit misalnya saat berpindah dari ampula ke
kanal biforcasio. Setelah melakukan manuver hendaknya pasien tetap beradapada
posisiduduk minimal 10 menit untuk menghindaririsiko jatuh.Tujuan darimanuver
yang dilakukan adalah untuk mengembalikan partikel keposisi awalnya yaitu pada
makula utrikulus.
Ada lima manuver yangdapat dilakukan, antara lain:
a) Manuver Epley
Manuver Epley adalah yang paling sering digunakan pada kanal vertikel.
Pasien diminta untuk menolehkan kepala ke sisi yang sakit sebesar  45°  lalu   pasien 
berbaring  dengan kepala  tergantung  dan   dipertahankan   1-2 menit.Lalu kepala
ditolehkan 90° kesisi sebaliknya,  dan posisi supinasi berubah menjadi lateral
decubitus dan ditahan selama 30-60 detik. Setelah itu, pasien mengistirahatkan dagu
pada   pundaknya dan Kembali ke posisi duduk secara perlahan.

Gambar 1 : Manuver Epley


b) Manuver Semont, manuver ini diindikasikan untuk pengobatan cupulolithiasis
kanal posterior. Jika kanal posterior terkena, pasien diminta duduk tegak, lalu
kepala dimiringkan 45° ke sisi yang sehat, lalu secara cepat bergerak ke posisi
berbaring dan dipertahankan selama 1-3 menit. Ada nystagmus dan vertigo dapat
diobservasi. Setelah itu, pasien pindah ke posisi berbaring di sisi yang berlawanan
tanpa Kembali ke posisi duduk lagi.
Gambar 2 : Manuver Semont

c) Manuver Lempert.
Manuver ini dapat digunakan pada BPPV tipe kanal   lateral.  Pasien  
berguling  360°  yang dimulai dari posisi supinasi lalu pasien menolehkan kepala 90° 
ke sisi yang sehat, diikuti dengan membalikkan tubuh keposisi lateral  dekubitus.  Lalu
kepala  menoleh  ke bawah dan tubuh mengikuti posisi ventral dekubitus. Pasien
kemudian menoleh lagi 90° dan tubuh Kembali ke posisi lateral dekubitus lalu
kembali ke posisi supinasi. Masing-masing Gerakan dipertahankan selama 15 detik
untuk migrasi lambat dari partikel-partikel sebagai respon terhadap gravitasi.

Gambar 3 : Manuver Lempert

d) Forced Prolonged Position


manuver ini digunakan  pada BPPV tipe kanal lateral. Tujuannya adalah untuk
mempertahankan  kekuatan dari posisi lateral decubitus pada sisi telinga yang sakit
dan dipertahankan  selama  12  jam.  
e) Brandt- Daroffexercise,
Manuver ini dikembangkan sebagai Latihan untuk dirumah dan dapat
dilakukan sendiri oleh pasien sebagai terapi tambahan pada pasien yang tetap
simptomatik setelah manuver Epley atau Semont. Latihan ini juga dapat membantu
pasien menerapkan beberapa   posisi   sehingga   dapat   menjadi kebiasaan. 

Gambar 4 : Brandt-Daroff exercise

FARMAKOLOGI
Penatalaksanaan dengan farmakologi untuk tidak secara rutin dilakukan. Beberapa
pengobatan hanya diberikan untuk jangka pendek untuk gejala-gejala vertigo, mual dan
muntah yang berat yang dapat terjadi pada pasien BPPV, seperti setelah melakukan terapi
PRM. Pengobatan untuk vertigo yang disebut juga pengobatan suppresant vestibularyang
digunakan adalah golongan benzodiazepine (diazepam, clonazepam) dan antihistamine
(meclizine, dipenhidramin). Benzodiazepines dapat mengurangi sensasi berputar namun dapat
mengganggu kompensasi sentral pada kondisi vestibular perifer. Antihistamine mempunyai
efek supresif pada pusat muntah sehingga dapat mengurangi mual dan muntah karena motion
sickness. Harus diperhatikan bahwa   benzodiazepine   dan   antihistamine Dapat mengganggu
kompensasi sentral pada kerusakan vestibular sehingga penggunaannya diminimalkan.
Operasi dapat dilakukan pada pasien BPPV yang telah menjadi kronik dan sangat 
sering mendapat serangan BPPV yang hebat, bahkan setelah melakukan manuver-manuver
yang telah disebutkan di atas. Dari  literatur dikatakan indikasi untuk melakukan operasi
adalah pada  intractable BPPV, yang biasanya mempunyai klinis penyakit  neurologi
vestibular, tidak seperti BPPV biasa.
Terdapat dua pilihan intervensi dengan Teknik operasi yang dapat dipilih, yaitu
singular neurectomy (transeksisaraf ampulaposterior) dan oklusi kanal posterior semisirkular.
Namun, lebih dipilih Teknik dengan oklusi karena teknik neurectomy imempunyai risiko
kehilangan pendengaran yang tinggi.

Referensi: Setiawati, M. and Susianti (2016) ‘Diagnosis dan Tatalaksana Vertigo’, Majority, 5(4),
pp. 91–95.

9. Apa perspektif islam berdasarkan skenario?


Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ُ‫ع ْال ُمْؤ ِم ِن َأوْ َشوْ َكةٌ يُ َشا ُكهَا َأوْ َش ْي ٌء يُْؤ ِذ ْي ِه يَرْ فَ ُعهُ هللا بِهَا يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة َد َر َجةً َويُ َكفِّ ُر َع ْنهُ بِهَا ُذنُوْ بَه‬
ُ ‫صدَا‬
ُ .

Pusing yang dirasakan seorang mukmin, sebuah duri yang menusuknya, atau
sesuatu hal yang mengganggunya, dengan semua itu Allah akan meninggikannya satu
derajat pada hari kiamat dan Dia akan menggugurkan dosa-dosanya. (Hadis hasan
riwayat Ibnu Abi ad-Dunya. Lihat Shahih at-Targhib oleh al-Albani no 3434) Oleh
karena itu, ketika seorang merasa pusing, hendaknya ia bersabar dan mengharap
pahala dari Allah Ta’ala. Dengan hal tersebut, semoga ia mendapatkan keutamaan
yang telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pada hadis di atas. Lebih
utama lagi bila ia ridha dengan semua itu, dan akan lebih utama lagi bila ia
bersyukur.Janganlah ia berkeluh kesah ketika diuji dengan penyakit yang
menimpanya. Bila ia melakukannya, maka ia merugi dua kali dan ia pun berdosa.
Ibarat kata, “Sudah jatuh tertimpa tangga pula.” Ia tertimpa penyakit, merasakan rasa
sakitnya, tapi malah berdosa. Hanya kepada Allah semata kita memohon pertolongan
untuk sabar.

Surah Al-Mulk ayat 23

َ‫ْصا َر َوااْل َ ْفـِٕ َد ۗةَ قَلِ ْياًل َّما تَ ْش ُكرُوْ ن‬ ْٓ ‫لْ هُ َو الَّ ِذ‬
َ ‫ي اَ ْن َشا َ ُك ْم َو َج َع َل لَ ُك ُم ال َّس ْم َع َوااْل َب‬
Terjemahan
Katakanlah, “Dialah yang menciptakan kamu dan menjadikan pendengaran,
penglihatan dan hati nurani bagi kamu. (Tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur.”
Tafsir Ringkas Kemenag RI
Kaum musyrik yang telah diberikan aneka potensi yang semestinya dapat
digunakan untuk meraih petunjuk ternyata justru mengabaikannya. Ayat ini
memerintahkan kepada Nabi Muhammad dan seluruh manusia untuk menyadari
potensi itu. Katakanlah, “Dialah yang menciptakan kamu tahap demi tahap dan
menjadikan pendengaran, penglihatan dan hati nurani bagi kamu agar kamu
menggunakannya secara baik sebagai tanda syukur kepada-Nya. Tetapi sedikit sekali
kamu bersyukur.”
DAFTAR PUSTAKA

1. Amaliah. 2010. Hubungan Antara Hipertensi Dengan Gangguan Keseimbangan Di Poli


Rawat Jalan Saraf RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Fakultas Kedokteran. Universitas Sebelas
Maret: Surakarta.
2. Bateman DE. Neurological Psychiatry Pemeriksaan fisik. Jakarta Aprilia M, Wreksoatmodjo
BR. 2015. Pemeriksaan neurologis pada kesadaran menurun. Jakarta.
3. Chairul, M. (2013). Gambaran Protein S 100 pada Schwannoma di Medan. Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
4. Instrum RS, Parnes LS. Vertigo posisi paroksismal benigna. Adv Otorhinolaryngol.
2019;82:67-76. doi: 10.1159/000490273. Epub 2019 15 Januari. PMID: 30947198.

5. Isman Jusuf, & Wahidji, (2014). Bunga Rampai Kedokteran. IDI Cabang Kota Gorontalo.
6. Koenen L, Penyakit Andaloro C. Meniere. [Diperbarui 2022 Mei 1]. Di: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): Penerbitan StatPearls; 2022 Jan-. Tersedia dari:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK536955/
7. Kutlubaev MA, Pyykko I, Hardy TA, Gürkov R. Menière's disease. Pract Neurol. 2020 Nov
28:practneurol-2020-002734. doi: 10.1136/practneurol-2020-002734. Epub ahead of print.
PMID: 33249404.
8. Liu Y, Yang J, Duan M. Status saat ini pada penelitian penyakit Meniere: review. Acta
Otolaringol. 2020 Okt;140(10):808-812. doi: 10.1080/00016489.2020.1776385. Epub 2020
21 Juni. PMID: 32564698
9. Nam, G.-S., Jung, C. M., Kim, J. H., & Son, E. J. (2018). Relationship of Vertigo and
Postural Instability in Patients With Vestibular Schwannoma. Clinical and Experimental
Otorhinolaryngology, 11(2), 102–108.
10. Nuti D, Zee DS, Mandalà M. Vertigo Posisi Paroksismal Jinak: Apa yang Kita Lakukan dan
Tidak Tahu. Semin Neurol. 2020 Februari;40(1):49-58. doi: 10.1055/s-0039-3402733. Epub
2020 14 Januari. PMID: 31935770
11. Musadir, N. (2015). TUMOR SUDUT SEREBELLOPONTIN. JURNAL KEDOKTERAN
SYIAH KUALA , 15(1), 56-57
12. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. 2017. Pengurus
Besar Ikatan Dokter Indonesia
13. Pricilia, S., & Kurniawan, S. N. (2021). CENTRAL VERTIGO. Journal of Pain, Headache
and Vertigo, 2(2), 38-43.
14. Setiawati, M. and Susianti (2016) ‘Diagnosis dan Tatalaksana Vertigo’, Majority, 5(4), pp.
91–95
15. Sintarani, C. I. D., Witari, N.P. (2019). Gambaran vertigo sebagai manifestasi klinis pada
schwanoma vestibular: Laporan Kasus. Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana/RSUP Sanglah.
16. Wright T. Menière's disease. BMJ Clin Evid. 2015 Nov 5;2015:0505. PMID: 26545070;
PMCID: PMC4636025.

Anda mungkin juga menyukai