Anda di halaman 1dari 6

6. Jelaskan diagnosis banding terkait dengan skenario!

A) Gangguan Konversi
a. Definisi
Gangguan konversi, juga dikenal sebagai gangguan gejala neurologis
fungsional (FND), adalah gangguan kejiwaan yang ditandai dengan gejala yang
mempengaruhi fungsi sensorik atau motorik. Didefinisikan sebagai penyakit
kejiwaan di mana gejala dan tanda-tanda yang mempengaruhi motorik sukarela
atau fungsi sensorik tidak dapat dijelaskan oleh kondisi medis neurologis atau
umum. Faktor psikologis, seperti konflik atau stres, dinilai terkait dengan
defisit. Istilah gangguan konversi diciptakan oleh Sigmund Freud, yang
berhipotesis bahwa terjadinya gejala tertentu yang tidak dijelaskan oleh
penyakit organik mencerminkan konflik yang tidak disadari.
Contoh umum dari gejala konversi termasuk kebutaan, kelumpuhan,
distonia, kejang nonepileptik psikogenik (PNES), anestesi, kesulitan menelan,
tics motorik, kesulitan berjalan, halusinasi, anestesi, dan demensia. Pada pasien
dengan kelainan konversi, gejala ini tidak disebabkan langsung oleh efek
fisiologis; sebaliknya gejala-gejala ini disebabkan oleh konflik psikologis.
b. Etiologi
Faktor psikologis, sosial, dan biologis semuanya dapat berkontribusi pada
mengendapkan atau melanggengkan gangguan konversi. Seringkali, ada trauma,
peristiwa kehidupan yang merugikan, atau stres akut / kronis sebelum gejala
gangguan konversi.
c. Epidemiologi
Insiden gangguan konversi sangat tergantung pada populasi yang diteliti.
Akagi dan House menemukan bahwa insiden rata-rata gangguan konversi di
berbagai pengaturan geografis adalah sekitar 4 hingga 12 per 100000 per tahun.
d. Patofiologi
Model neurobiologis menunjukkan bahwa gangguan konversi hasil dari
perubahan dalam pemrosesan kortikal tingkat tinggi. Hipotesis umum dan luas
adalah bahwa area frontal dan subkortikal otak dapat diaktifkan oleh tekanan
emosional, yang kemudian mengarah pada input ke penghambatan sirkuit
ganglia-thalamocortical basal ketika kemudian mengurangi sensorik sadar atau
pemrosesan motorik.
Pasien dengan gangguan konversi memiliki pola aktivasi serebral yang
abnormal di mana area limbik (atau area yang terhubung dengan sistem limbik)
menimpa aktivasi motor dan korteks sensorik. Bagaimana tepatnya hal ini
terjadi tidak jelas, tetapi satu teori menyatakan bahwa daerah spesifik korteks
cingulate dapat berfungsi secara eksklusif. Sebuah mekanisme yang disebut
"penghambatan timbal balik" memungkinkan setiap wilayah untuk mematikan
yang lain selama pemrosesan informasi. Ini relevan dengan gangguan konversi
di mana segmen kaudal, yang bertanggung jawab untuk tindakan yang
diinginkan, dapat dinonaktifkan atau ditekan oleh korteks cingulate anterior
pregenual karena memproses emosi yang intens.
Pasien dengan ingatan emosional yang ditekan (tidak diinginkan) memiliki
pola MRI fungsional penonaktifan otak regional dan aktivasi tambahan yang
melengkapi data tentang gangguan konversi. Aktivitas saraf dalam
hippocampus (repositori memori) ditekan oleh aktivasi dalam jaringan yang
kaya frontal (yaitu, korteks prefrontal dorsolateral dan ventrolateral dan
konektivitas gingrus cingulata anterior). Diharapkan bahwa spesifisitas otak
regional akan berbeda antara data dari studi MRI fungsional pasien dengan
gangguan konversi dan pasien dengan amnesia disosiatif, mengingat perbedaan
dalam fenomenologi. Yang lebih penting adalah bahwa, dalam kedua kondisi,
jaringan saraf diskrit yang terlibat dalam memproses emosi dan kontrol
eksekutif dapat menekan daerah yang terkait dengan sejumlah
besar fungsi lainnya (misalnya, motorik, sensorik, memori, penglihatan). Ini
mendukung validitas konstruk yang mendasari bagaimana gejala atipikal,
terlepas dari fenotipenya, dapat timbul.
e. Manifestasi Klinis
1) Tanda
- Penyakit berupa kelemahan secara tiba-tiba
- Riwayat masalah psikologis yang membaik ketika gejala penyakit fisik
muncul
- Kurangnya kekhawatiran yang baiasanyamuncul dengan gejala fisik
yang parah
2) Gejala
- Kebutaan
- Kelumpuhan
- Sulit menelan
- Ketidakmampuan untuk berbicara

f. Penegakan Diagnosis (Assesment)


Kriteria diagnostik atau gangguan konversi yaitu :
1) Satu atau lebih gejala atau defisit yang mengenai fungsi motorik
volunter atau sensorik yang mengarahkan pada kondisi neurologis
atau kondisi medis lain.
2) Faktor psikologis dipertimbangkan berhubungan dengan gejala atau
defisit karena awal atau eksaserbasi gejala atau defisit adalah
didahului oleh konflik atau stresor lain.
3) Gejala atau defisit tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat
(seperti pada gangguan buatan atau berpurapura).
4) Gejala atau defisit tidak dapat, setelah penelitian yang diperlukan,
dijelaskan sepenuhnya oleh kondisi medis umum, atau oleh efek
langsung suatu zat, atau sebagai perilaku atau pengalaman yang
diterima secara kultural.
5) Gejala atau defisit menyebabkan penderitaan yang bermakna secara
klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi
penting lain atau memerlukan pemeriksaan medis.
6) Gejala atau defisit tidak terbatas pada nyeri atau disfungsi seksual,
tidak terjadi semata-mata selama perjalanan gangguan somatisasi, dan
tidak dapat diterangkan dengan lebih baik oleh gangguan mental lain.
Sebutkan tipe gejala atau defisit :
- Dengan gejala atau defisit motorik
- Dengan gejala atau defisit sensorik
- Dengan kejang atau konvulsi
- Dengan gambaran campuran

g. Penatalaksanaan
1) Non-Farmakologi
a. Psikoterapi
Landasan pengobatan untuk gangguan konversi adalah psikoterapi yang
bertujuan untuk menjelaskan dasar emosional dari gejala. Psikoterapi dapat
mencakup individu atau kelompok terapi, terapi perilaku, hipnosis,
biofeedback, dan latihan relaksasi. Terapi perilaku kognitif (CBT) telah
menunjukkan kemanjuran tertinggi dalam pengobatan pseudoseizures.
Intervensi perilaku harus fokus pada peningkatan harga diri, peningkatan
kapasitas untuk mengekspresikan emosi, dan meningkatkan kemampuan
berkomunikasi dengan nyaman dengan orang lain.
b. Terapi Fisik
Penelitian telah menunjukkan bahwa terapi fisik dapat menjadi metode
pengobatan yang efektif. Perawatan fisioterapi sangat penting dalam
pengelolaan orang dengan gangguan konversi untuk memungkinkan mereka
mengatasi gejala fisik mereka dan mencegah komplikasi sekunder, seperti
kelemahan otot dan kekakuan, yang mungkin terjadi sebagai akibat dari
ketidakaktifan. Latihan progresif yang dimulai sebagai tugas sederhana dan
beralih ke tugas yang lebih menantang telah terbukti efektif pada mereka yang
memiliki gangguan neurologis serta gangguan konversi. Terapis fisik berusaha
untuk membangun keterampilan motorik pasien dengan secara bertahap
memberikan sedikit isyarat verbal dan sentuhan atau bantuan lainnya
sementara pasien melakukan tugas-tugas tertentu.
2) Farmakologi
Gangguan konversi juga dapat ditingkatkan melalui penggunaan obat-
obatan untuk mengobati masalah kejiwaan yang mendasarinya, seperti depresi
dan kecemasan. Obat-obatan dapat termasuk antidepresan, anxiolytics, atau
lainnya tergantung pada co-morbiditas psikiatrik. Tindak lanjut janji rutin
dengan ahli saraf dan / atau psikiater harus diberikan kepada pasien untuk
membatasi kunjungan ruang gawat darurat dan tes diagnostik atau invasif yang
tidak perlu.
Referensi:
1. Peeling JL, Muzio MR. Conversion Disorder. [Updated 2020 May 23].
In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing;
2020 Jan-.
2. Ali, S, et al. Conversion Disorder - Mind versus Body: A Review. 2015.
Georgetown University. Washington DC.
3. Feinstein, A. Conversion disorder: advances in our understanding. 2011.
Departement of Psychiatry. Toronto: University of Toronto. Canadian
Medical Association.

B) Epilepsi
a. Definisi
Epilepsi didefiniskan sebagai suati keadaan yang ditandai oleh kebangkitan
epilepsi berulang berselang dari 24 jam yang tibul tanpa provokasi. Sedangkan
yang dimaksud dengan bangkitan epilepsi adalah manifestasi klini yang
disebabkan oleh aktivitas listrik yang abnormal dan berlebihan dari sekelompok
neuron di otak.
b. Etiologi
1) Idiopatik
Tidak terdapat lesi strukturan di otak atau defisit neurologis dan
diperkirakan tidak mempunyai prediposisi genetik dan umumnya berhubungan
dengan usia.
2) Kriptogenik
Dianggap simptomatik teteapi penyebabnya belum diketahui, termasuk
disini sindromawest, sindroma Lennox-Gastaut, dan epilepsi mioklonik.
3) Simpotmatik
Bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi.
4) Strukturan pada otak
Misalnya cedera eoalam infeksi SSP, kelainan kongenital, lesi desak ruang,
gangguan peredaran darah otak, toksik, metabolik, kelainan neurodegeneratif.
c. Epidemiologi
Kejang merupakan kelainan neurologi yang paling sering terjadi pada anak,
di mana ditemukan 4 – 10 % anak-anak mengalami setidaknya satu kali kejang
pada 16 tahun pertama kehidupan. Studi yang ada menunjukkan bahwa 150.000
anak mengalami kejang tiap tahun, di mana terdapat 30.000 anak yang
berkembang menjadi penderita epilepsi.

d. Patofisologi
Epilepsi adalah pelepasan muatan listrik yang berlebihan dan tidak teratur
di otak. Aktivitas listrik normal jika terdapat keseimbangan antara faktor yang
menyebabkan inhibisi dan eksitasi dari aktivitas listrik. Epilepsi timbul karena
adanya ketidakseimbangan faktor inhibisi dan eksitasi aktivitas listrik otak
e. Manifestasi Klinis
1) Fisik
Adanya tanda-tanda dari gangguan yang bergubungan dengan epilepsi
seperti trauma kepala, ingeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital,
kecanduan alkohol atau obat terlarang, kelainan pada kulit, kanker, defisit
neurologikal fokal.
2) Neurologis
- Jika dilakukan pada beberapa menit atau jam setelah bangkitan maka akan
tampak tanda pasca iktal terutama tanda fokal seperti toods paresis, trans
aphasic syndrome yang tidak jarang dapar menjadi petunjuk lokalisasi.
- Jika dilakukan pada beberapa waktu setelah bangkitan terakhir berlalu,
sasaran utama adalah menentukan apakah ada tanda-dtanda disfungsi saraf
permanen (epilepsi simptomatik) dan walaupun jarang apakah ada tanda-
tanda peningkatan tekanan intrakranial.
f. Penegakan Diagnosis (assesment)
1) Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakan dengan :
a. Anamnesis
Ada tiga langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu :
1. Memastikan apakah kejadian yang bersifat paroksismal merupakan
bangkitan epilepsi. Pada sebagian besar kasus, diagnosis epilepsi dapat
ditegakan berdasarkan informasi yang diperoleh dari anamnesis baik auto
maupun allo-anamnesis dari orang tua maupun saksi mata yang lain.
2. Apabila benar terdapat bangkitan epilepsi, maka tentukan bangkitan
tersebut bangkitan yang seperti apa (klasifikasi ILAE 1981).
3. Menentukan etiologi, sindrom epilepsi, atau penyakit epilepsi apa yang
diderita pasien dilakukan dengan memperhatikan klasifikasi ILAE 1989.
Langkah ini penting untuk menentukan prognosis dan respon terhadap
OAE (Obat Anti Epilepsi).
b. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
( tertulis sama seperti manifestasi klinis )
2) Diagnosis Banding
- Sinkop
- Transient Ischemic Attack
- Vertigo
- Global Amnesia
- Tics
- Gerakan involunter
g. Penatalaksanaan
Sebagai dokter di fasilitas kesehatan tingkat pertama, bila pasien
terdiagnosis sebagai epilepsi, untuk penagnan awal pasien harus dirujuk ke
dokter spesialis saraf. Namun jika diharuskan penanganan, OAE dapat
diberikan bila :
- Diagnosis epilepsi sudah dapat dipastikan
- Pastikan faktor pencetus dapat dihindari (alkohol, stress, kurang tidur,
dan lain-lain)
- Terdapat minimum 2 bangkitan dalam setahun
- Penyandang dan atau keluarganya sudah menerima penjelasan terhadao
tujuan pengobatan
- Penyandang dan atau keluarganya telah diberitahu tentang kemungkinan
efek samping yang timbul dari OAE

Referensi:
1. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. 2017. Panduan Praktik Klinis
Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama.Ed. 1. PB
IDI

Anda mungkin juga menyukai