a. Anatomi
Cortex Cerebri,
Area ini menjadi basis dari aktivitas yang berkaitan dengan kemampuan rasional
seseorang. Mulai dari kemampuan menerima rangsang panca indera, memahaminya,
menganalisa, dan kemudian merespon secara motorik. Ahli neuroanatomi menduga
bahwa struktur seluler spesifik masing- masing area bersesuaian dengan tugas khusus
yang dijalankan.Bahkan memungkinkan untuk menentukan fungsi tunggal yang jelas
pada berbagai area, yang disebut area korteks primer.
Lobus Frontalis
Lobus frontalis dapat dibagi menjadi tiga komponen utama : korteks motorik primer,
korteks premotorik, dan regio prefrontalis (suatu area korteks yang luas yang terdiri
dari area asosiasi multimodal).Korteks motoric dan korteks premotorik membentuk
Sistem Limbik
Melalui hubungannya dengan hipotalamus dan juga dengan system saraf otonomsystem limbik ikut dalam pengaturan dorongan (drive) dan perilaku afektif.
Dikatakan fungsi utamnya, dari sisi teologis, adalah pembentukan perilaku yang
meningkatkan ketahanan (survival) individu dan spesies.
b. Fisiologi
Gejala mengamuk diduga berhubungan dengan lesi pada korteks prefrontalis dan
Stimuluasi nucleus amigdala dari sistem limbic. Lobus frontalis merupakan pusat
mental dan emosi manusia, sehingga jika terjadi lesi dibagian tersebut
akan mengakibatkan gangguan mental yang sukar / tidak dapat dikendalikan Selain
itu, stimulasi eksperimental pada amigdala dalam sistem limbic diketahui
menimbulkan aktivasi afektif. Reaksi emosional seperti kemarahan dan agresi muncul
disertai oleh reaksi otonom seperti peningkatan tekanan darah, frekuensi denyut
jantung dan frekuensi pernapasan, perubahan atensi, asupan nutrisi dan perubahan
perilaku seksual terjadi, tergantung pada subdivisi nucleus amigdala yang
terstimulasi.
Pengaturan Sifat Oleh Hipothalamus Dan Daerah Asosiasi
Sistem Limbik
a. Stimulasi pada lateral hipotalamus menimbulkan persepsi haus dan lapar serta
Mengarahkan pada sikap marah.
b. Stimulasi pada ventromedial nucleus memberikan sensasi kepuasan dan
Penurunan nafsu makan.
c. Stimulation pada thin zone of periventricular nuclei menimbulkan sensasi
Takut dan rasa bersalah.
d. Perubahan perilaku seksual khususnya disebabkan karena stimulus pada
Anterior dan posterior hypothalamus.
2. Jelaskan Perbedaan Gangguan Jiwa Organik dan Non Organik?
a. Gangguan Mental Organik
Gangguan mental organik adalah gangguan mental dimana terdapat suatu patologi
yang dapat diidentifikasi (contohnya tumor otak, penyakit cerebrovascular dan
intoksifikasi obat)1,2,3. Adapun jenis-jenis dari gangguan mental organik yaitu :
Menurut PPDGJ III, klasifikasi gangguan mental organik adalah sebagai berikut :
L. Demensia pada penyakit Alzheimer
1.1 Demensia pada penyakit Alzheimer dengan onset dini.
1.2.Demensia pada penvakit Alzheimer dengan onset lambat.
1.3.Demensia pada penyakit Alzheimer, tipe tak khas atau tipe campuran.
1.4. Demensia pada penyakit Alzheimer Yang tidak tergolongkan ( YTT).
2. Demensia Vaskular
2.1.Demensia Vaskular onset akut.
2.2. Demensia multi-infark
2.3 Demensia Vaskular subkortikal.
2.4. Demensia Vaskular campuran kortikal dan subkortikal
2.5. Demensia Vaskular lainnya
2.6. Demensia Vaskular YTT
3. Demensia pada penyakit lain yang diklasifikasikan di tempat lain (YDK)
3.1. Demensia pada penyakit Pick.
3.2. Demensia pada penyakit Creutzfeldt Jakob.
3. 3. Demensia pada penyakit huntington.
3.4. Demensia pada penyakit Parkinson.
3.5. Demensia pada penyakit human immunodeciency virus (HIV).
3.6. Demensia pada penyakit lain yang ditentukan (YDT) dan YDK
4. Demensia YTT.
Karakter kelima dapat digunakan untuk menentukan demensia pada 1-4 sebagai berikut:
1. Tanpa gejala tambahan.
2. Gejala lain, terutama waham.
deliriumytt.
7. Gangguan mental lainnya akibat kerusakan dan disfungsi otak dan penyakit fisik.
7.1. Halusinosis organik.
7.2. Gangguan katatonik organik.
7.3. Gangguan waham organik (lir-skizofrenia)
7.4. Gangguan suasana perasaan (mood, afektif) organik.
7.4.1. Gangguan manik organik.
7.4.2. Gangguan bipolar organik.
7.4.3. Gangguan depresif organik.
7.4.4. Gangguan afektif organik campuran.
7.5. Gangguan anxietas organik
7.6. Gangguan disosiatif organik.
A. Klasifikasi Mengamuk
A. Gangguan mental organik :
Delirium
Gambaran Klinik :
kurang)
biasanya
akal.
hari.
Tumor otak
kebutuhan
dan
Skizofrenia paranoid
keinginan
tanpa
mempertimbangkan
Gambaran Klinik :
a) Waham-waham kejaran, rujukan (reference), merasa dirinya tinggi (exalted
birth), misi khusus,perubahan tubuh atau kecemburuan;.
b) Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah, atau
halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit (whistling),
mendengung (humming), atau bunyi tawa (Laughing);
c) Halusinasi pembauan atau pengecapan, atau bersifat seksual, atau lain-lain
perasaan tubuh ; halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol
1. Stupor (amat
berkurang
dan
dalam
rendah
Gambaran Kognitif
Gangguan paranoid
c. Gangguan kepribadian
Panik homoseksual
afektif. Reaksi emosional seperti kemarahan dan agresi muncul disertai oleh reaksi
otonom seperti peningkatan tekanan darah, frekuensi
seksual
terjadi,
Fisik-diagnostik
Status mentalis
Laboratorium
Radiologik
Evaluasi psikologik
Lain-lain
Diagnosis
Aksis I = Klinis
Aksis II = Kepribadian
Aksis III = Kondisi medik
Aksis IV = Psiko-sosial
Aksis V = Taraf fungsi
Terapi
Farmakoterapi
Psikoterapi
Terapi sosial
Terapi okupasional
Lain-lain
Tindak Lanjut
Evaluasi terapi
Evaluasi diagnosis
Lain-lain
pemeriksaan
(data objektif)
VI.
VII.
VIII.
IX.
X.
sistem multiaksial yang menilai pasien dalam beberapa variabel dan mempunyai lima
aksis. Aksis I dan II terdiri dari semua klasifikasi gangguan mental, 17 klasifikasi dan
lebih dari 300 gangguan spesifik. Dalam banyak keadan, pasien mempunyai suatu
gangguan pada kedua aksis.
Aksis I mengandung gangguan klinis dan kondisi lain yang mungkin merupakan pusat
perhatian klinis.
Aksis IImengandung gangguan kepribadian dan retardasi mental.
Aksis IIImenuliskan tiap gangguan fisik atau kondisi medis umum yang ditemukan di
samping gangguan mental. Kondisi fisik mungkin merupakan penyebab, akibat dari
gangguan mental, atau gangguan medis yang tidak berhubungan. Jika suatu gangguan
medis adalah sebagai penyebab atau secara penyebab berhubungan dengan suatu
gangguan mental, gangguan mental karena kondisi umumn aksis III.
Aksis IV digunakan untuk memberi kode pada masalah psikologis dan lingkungan yang
secara bermakna berperan pada perkembangan atau eksaserbasi gangguan sekarang.
Aksis V adalah skala penilaian global terhadap fungsi (GAF; global assessment of
functioning) dimana dokter mempertimbangkan keseluruhan tingkat fungsional pasien
selama periode waktu tertentu. Fungsional dimengerti sebagai kesatuan dari tiga bidang
utama: fungsi social, fungsi pekerjaan, dan fungsi psikologis skala GAF, yang didasarkan
pada rangkaian kesatuan kesehatan mental dan penyakit mental, adalah skala dengan 100
poin, 100 mencerminkan tingkat fungsi tertinggi dalam semua bidang. Pasien yang
memiliki tingkat fungsional tertinggi sebelum suatu episode penyakit biasanya
mempunyai prognosis yang lebih baik dibandingkan mereka yang mempunyai tingkat
fungsional yang rendah.
Adalah skala penilaian global terhadap fungsi-sering-disebut GAF (Global Assesment
of
pasien selama periode waktu tertentu ( misalnya : saat pemeriksaan atau tingkat
fungsional pasien tertinggi untuk sekurangnya 1 bulan selama 1 tahun terakhir)
Fungsional diartikan sebagai kesatuan dari 3 bidang utama yaitu fungsi sosial, fungsi
Format yang mudah dan sistematik sehingga membantu dalam menata dan
mengkomunikasikan informasi klinis serta dalam menggambarkan perbedaan-perbedaan
individual pada pasien dengan diagnosis klinis yang sama
Antara aksis I, II, III, tidak selalu harus ada hubungan etiologi atau patogenesis. Namun,
hubungan antara aksis I-II-III dan aksis IV dapat timbal balik saling mempengaruhi.
Diagnosis Multiaksial memakai lima aksis, yaitu(Rusdi, M., 2001):
a. Aksis I:
Gangguan Klinis Kondisi Lain yang Mungkin Merupakan Pusat Perhatian Klinis
F00-F09
F10-F19
MENTAL SIMTOMATIK)
GANGGUAN MENTAL DAN PERILAKU AKIBAT
F20-F29
F30-F39
F40-F48
WAHAM
GANGGUAN SUASANA PERASAAN MOOD ATAU AFEKTIF)
GANGGUAN NEUROTIK, GANGGUAN SOMATOFORM DAN
F50-F59
F62-F68
F80-F89
F90-F98
F99
G21
G24
G25
ESLEWHERE)
PARKINSONISME SEKUNDER
G21.0: Sindrom neuroleptika maligna
G21.1 :Parkinsonisme sekunder akibat neuroleptika
DISTONIA
G24.0: Distonia akut akibat neuroleptika
G24.8: Tardive dyskinesia akibat neuroleptika
GANGGUAN EKSTRAPIRAMIDAL DAN PERGERAKAN
LAINNYA
G25.1 : Tremor akibat obat
G25.9 :Gangguan pergerakan akibat obat
Z63.0 : Masalah hubungan dengan pasangan (partner)
Z63.7 : Masalah dalam hubungan yang berkaitan dengan gangguan
F93.3
T74
Z91.1
Z76.5
Z72.8
R41.8
Z63.4
Z55.8
Z56.7
Z71.8
F93.8
Z 03.2
R 69
A00-B99
C00-D48
E00-G90
G00-G99
H00-H59
H60-H95
I00-I99
Bab X
Bab XI
Bab XII
Bab XIII
Bab XIV
Bab XV
Bab XVII
Bab
J00-J99
K00-K93
L00-L99
M00-M99
N00-N99
O00-O99
Q00-Q99
R00-R99
XVIII
Bab XIX
Bab XX
Bab XXI
S00-T98
V01-Y98
Z00-Z99
e. Aksis V:
GAF Scale
100-91
Gejala tidak ada, fungsi maksimal, tidak ada masalah yang tidak
tertanggulangi
90-81
Gejala minimal, fungsi baik, cukup puas, tidak lebih dari masalah harian
biasa
80-71
70-61
60-51
50-41
40-31
30-21
20-11
10-01
berlangsung pada masa janin dalam kandungan atau tahun pertama sesudah kelahiran. Namun,
gangguan bipolar bermanifestasi 15-20 tahun kemudian. Telatnya manifestasi itu timbul karena diduga
pada usia 15 tahun kelenjar timus dan pineal yang memproduksi hormon yang mampu mencegah
gangguan psikiatrik sudah berkurang 50%.
Penyebab gangguan Bipolar multifaktor. Mencakup aspek bio-psikososial. Secara biologis
dikaitkan dengan faktor genetik dan gangguan neurotransmitter di otak. Secara psikososial dikaitkan
dengan pola asuh masa kana-kanak, stres yang menyakitkan, stres kehidupan yang berat dan
berkepanjangan, dan banyak lagi faktor lainnya.
Didapatkan fakta bahwa gangguan alam perasaan (mood) tipe bipolar (adanya episode manik dan
depresi) memiliki kecenderungan menurun kepada generasinya, berdasar etiologi biologik. 50% pasien
bipolar mimiliki satu orangtua dengan gangguan alam perasaan/gangguan afektif, yang tersering
unipolar (depresi saja). Jika seorang orang tua mengidap gangguan bipolar maka 27% anaknya
memiliki resiko mengidap gangguan alam perasaan. Bila kedua orangtua mengidap gangguan bipolar
maka 75% anaknya memiliki resiko mengidap gangguan alam perasaan. Keturunan pertama dari
seseorang yang menderita gangguan bipolar berisiko menderita gangguan serupa sebesar 7 kali.
Bahkan risiko pada anak kembar sangat tinggi terutama pada kembar monozigot (40-80%), sedangkan
kembar dizigot lebih rendah, yakni 10-20%.
Beberapa studi berhasil membuktikan keterkaitan antara gangguan bipolar dengan kromosom 18
dan 22, namun masih belum dapat diselidiki lokus mana dari kromosom tersebut yang benar-benar
terlibat. Beberapa diantaranya yang telah diselidiki adalah 4p16, 12q23-q24, 18 sentromer, 18q22,
18q22-q23, dan 21q22. Yang menarik dari studi kromosom ini, ternyata penderita sindrom Down
(trisomi 21) berisiko rendah menderita gangguan bipolar.
Sejak ditemukannya beberapa obat yang berhasil meringankan gejala bipolar, peneliti mulai
menduga adanya hubungan neurotransmiter dengan gangguan bipolar. Neurotransmiter tersebut adalah
dopamine, serotonin, dan noradrenalin. Gen-gen yang berhubungan dengan neurotransmiter tersebut
pun mulai diteliti seperti gen yang mengkode monoamine oksidase A (MAOA), tirosin hidroksilase,
catechol-Ometiltransferase (COMT), dan serotonin transporter (5HTT).
Penelitian terbaru menemukan gen lain yang berhubungan dengan penyakit ini yaitu gen yang
mengekspresi brain derived neurotrophic factor (BDNF). BDNF adalah neurotropin yang berperan
dalam regulasi plastisitas sinaps, neurogenesis dan perlindungan neuron otak. BDNF diduga ikut
terlibat dalam mood. Gen yang mengatur BDNF terletak pada kromosom 11p13. Terdapat 3 penelitian
yang mencari tahu hubungan antara BDNF dengan gangguan bipolar dan hasilnya positif.
Kelainan pada otak juga dianggap dapat menjadi penyebab penyakit ini. Terdapat perbedaan
gambaran otak antara kelompok sehat dengan penderita bipolar. Melalui pencitraan magnetic
resonance imaging (MRI) dan positron-emission tomography (PET), didapatkan jumlah substansia
nigra dan aliran darah yang berkurang pada korteks prefrontal subgenual. Tak hanya itu, Blumberg dkk
dalam Arch Gen Psychiatry 2003 pun menemukan volume yang kecil pada amygdala dan hipokampus.
Korteks prefrontal, amygdala dan hipokampus merupakan bagian dari otak yang terlibat dalam respon
emosi (mood dan afek).
Penelitian lain menunjukkan ekspresi oligodendrosit-myelin berkurang pada otak penderita
bipolar. Seperti diketahui, oligodendrosit menghasilkan membran myelin yang membungkus akson
sehingga mampu mempercepat hantaran konduksi antar saraf. Bila jumlah oligodendrosit berkurang,
maka dapat dipastikan komunikasi antar saraf tidak berjalan lancar.
3. Epidemiologi
Dapat dikatakan insiden gangguan bipolar tidak tinggi, berkisar antara 0,3-1,5%. Namun, angka
itu belum termasuk yang misdiagnosis. Risiko kematian terus membayangi penderita bipolar. Biasanya
kematian itu dikarenakan mereka mengambil jalan pintas yaitu bunuh diri. Risiko bunuh diri
meningkat pada penderita bipolar yang tidak diterapi yaitu 5,5 per 1000 pasien. Sementara yang
diterapi hanya 1,3 per 1000 pasien. Gangguan pada lelaki dan perempuan sama, umumnya timbul di
usia remaja atau dewasa. Hal ini paling sering dimulai sewaktu seseorang baru menginjak dewasa,
tetapi kasus-kasus gangguan bipolar telah didiagnosis pada remaja dan bahkan anak-anak.
4. Gambaran Klinis
Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual (DSM) IV, gangguan bipolar dibedakan menjadi
2 yaitu gangguan bipolar I dan II. Perbedaannya adalah pada gangguan bipolar I memiliki episode
manik sedangkan pada gangguan bipolar II mempunyai episode hipomanik. Beberapa ahli
menambahkan adanya bipolar III dan bipolar IV namun sementara ini yang 2 terakhir belum
dijelaskan.
Gangguan bipolar I dibagi lagi menjadi beberapa bagian menurut perjalanan longitudinal
gangguannya. Namun hal yang pokok adalah paling tidak terdapat 1 episode manik di sana. Walaupun
hanya terdapat 1 episode manik tanpa episode depresi lengkap maka tetap dikatakan gangguan bipolar
I. Adapun episode-episode yang lain dapat berupa episode depresi lengkap maupun episode campuran,
dan episode tersebut bisa mendahului ataupun didahului oleh episode manik.
Gangguan bipolar II mempunyai ciri adanya episode hipomanik. Gangguan bipolar II dibagi
menjadi 2 yaitu tipe hipomanik, bila sebelumnya didahului oleh episode depresi mayor dan disebut
tipe depresi bila sebelum episode depresi tersebut didahului oleh episode hipomanik.
Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III, gangguan ini
bersifat episode berulang yang menunjukkan suasana perasaan pasien dan tingkat aktivitasnya jelas
terganggu, dan gangguan ini pada waktu tertentu terdiri dari peninggian suasana perasaan serta
peningkatan energi dan aktivitas (mania atau hipomania), dan pada waktu lain berupa penurunan
suasana perasaan serta pengurangan energi dan aktivitas (depresi). Yang khas adalah terdapat
penyembuhan sempurna antar episode. Episode manik biasanya mulai dengan tiba-tiba dan
berlangsung antara 2 minggu sampai 4-5 bulan, sedangkan depresi cenderung berlangsung lebih lama.
Episode pertama bisa timbul pada setiap usia dari masa kanak-kanak sampai tua. Kebanyakan
kasus terjadi pada dewasa muda berusia 20-30 tahun. Semakin dini seseorang menderita bipolar maka
risiko penyakit akan lebih berat, kronik bahkan refrakter.
Episode manik dibagi menjadi 3 menurut derajat keparahannya yaitu hipomanik, manik tanpa
gejala psikotik, dan manik dengan gejala psikotik. Hipomanik dapat diidentikkan dengan seorang
perempuan yang sedang dalam masa ovulasi (estrus) atau seorang laki-laki yang dimabuk cinta.
Perasaan senang, sangat bersemangat untuk beraktivitas, dan dorongan seksual yang meningkat adalah
beberapa contoh gejala hipomanik. Derajat hipomanik lebih ringan daripada manik karena gejalagejala
tersebut tidak mengakibatkan disfungsi sosial.
Pada manik, gejala-gejalanya sudah cukup berat hingga mengacaukan hampir seluruh pekerjaan
dan aktivitas sosial. Harga diri membumbung tinggi dan terlalu optimis. Perasaan mudah tersinggung
dan curiga lebih banyak daripada elasi.
Tanda manik lainnya dapat berupa hiperaktifitas motorik berupa kerja yang tak kenal lelah
melebihi batas wajar dan cenderung non-produktif, euphoria hingga logorrhea (banyak berbicara, dari
yang isi bicara wajar hingga menceracau dengan 'word salad'), dan biasanya disertai dengan waham
kebesaran, waham kebesaran ini bisa sistematik dalam artian berperilaku sesuai wahamnya, atau tidak
sistematik, berperilaku tidak sesuai dengan wahamnya. Bila gejala tersebut sudah berkembang menjadi
waham maka diagnosis mania dengan gejala psikotik perlu ditegakkan.
5. Diagnosis Dan Klasifikasi
Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual (DSM) IV, gangguan bipolar dibedakan menjadi
2 yaitu gangguan bipolar I dan II. Gangguan bipolar I atau tipe klasik ditandai dengan adanya 2
episode yaitu manik dan depresi, sedangkan gangguan bipolar II ditandai dengan hipomanik dan
depresi. PPDGJ III membaginya dalam klasifikasi yang berbeda yaitu menurut episode kini yang
dialami penderita.
Pembagian Gangguan Afektif Bipolar Berdasarkan PPDGJ II (F31)
- F31.0 Gangguan afektif bipolar, episode kini hipomanik
- F31.1 Gangguan afektif bipolar, episode kini manik tanpa gejala psikotik
- F31.2 Gangguan afektif bipolar, episode kini manik dengan gejala psikotik
- F31.3 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif ringan atau sedang
- F31.4 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif berat tanpa gejala psikotik
- F31.5 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif berat dengan gejalapsikotik
- F31.6 Gangguan afektif bipolar, episode kini campuran
- F31.7 Gangguan afektif bipolar, kini dalam remisi
- F31.8 Gangguan afektif bipolar lainnya
- F31.9 Gangguan afektif bipolar yang tidak tergolongkan
6. Komorbid
Sebagian besar penderita bipolar tidak hanya menderita bipolar saja tetapi juga menderita
gangguan jiwa yang lain (komorbid). Penelitian oleh Goldstein BI dkk,seperti dilansir dari Am J
Psychiatry 2006, menyebutkan bahwa dari 84 penderita bipolar berusia diatas 65 tahun ternyata
sebanyak 38,1% terlibat dalam penyalahgunaan alkohol, 15,5% distimia, 20,5% gangguan cemas
menyeluruh, dan 19% gangguan panik. Sementara itu, attention deficit hyperactivity disorder (ADHD)
menjadi komorbid yang paling sering didapatkan pada 90% anak-anak dan 30% remaja yang bipolar.
7. Penatalaksanaan
A. Farmakoterapi
Obat
Dosis
Monitoring
Efek samping
Lithium
Dosis tunggal
800mg,malam hari.
harusdipantau setiap 3-
Peningkatan beratbadan,
Dosis
6bulan, sedangkantes
gangguankognitif,
direndahkanpadapasien
fungsi ginjaldan
gangguansaluran
diatas 65 tahundan
tiroiddiperiksa setiap
cerna,rambut
yangmempunyaigangguan 12bulan
rontok,leukositosis,jerawat
ginjal.
, dan edema
Valproate
Rawat inap:
(divalproate semisodium)
dosisinisial20-30
peningkatanringan enzim
mg/kg/hari.
Rawat jalan:
dosisinisial500 mg, titrasi
250-500mg/hari.
Dosis maksimum 60
Mg/kg/hari.
Karbamazepin
Dosis inisial 400 mg.Dosis Darah rutin, dantes fungsi Lelah, mual,diplopia,
maintenance200-1600
mg/hari
pertama
ataxia
Lamotrigine
Dosis inisial
Rashkulit,hipersensitifitas,
25mg/haripada 2minggu
sindrom StevenJohnson,
pertama,lalu 50 mg pada
toksikepidermal nekrolisis
minggukedua dan
ketiga.Dosis
diturunkansetengahnya
bilapasienjuga
mendapatvalproate
Selain itu pengobatan dengan antidepresan, terutama yang mengandung agenserotonergik seperti
sertraline (zoloft 50 mg/hari). Beberapa pasien memberikan respon yang cukup bagus dengan
pemberian obat psikostimulan dalam dosis kecil seperti amfetamin 5-15 mg/ hari. Dalam semua kasus
harus ada kombinasi kedua hal tadi.
Gangguan bipolar harus diobati secara kontinu, tidak boleh putus. Bila putus, fase normal akan
memendek sehingga kekambuhan semakin sering. Adanya fase normal pada gangguan bipolar sering
mengakibatkan buruknya compliance untuk berobat karena dikira sudah sembuh. Oleh karena itu,
edukasi sangat penting agar penderita dapat ditangani lebih dini.
8. Psikoterapi
Sedikit data yang menguatkan keunggulan salah satu pendekatan psikoterapi dibandingkan yang
lain dalam terapi gangguan mood masa anak-anak dan remaja. Tetapi, terapi keluarga diperlukan
untuk mengajarkan keluarga tentang gangguan mood serius yang dapat terjadi pada anak-anak saat
terjadinya stres keluarga yang berat. Pendekatan psikoterapetik bagi anak terdepresi adalah pendekatan
kognitif dan pendekatan yang lebih terarah dan lebih terstruktur dibandingkan yang biasanya
digunakan pada orang dewasa. Karena fungsi psikososial anak yang terdepresi mungkin tetap
terganggu untuk periode yang lama, walaupun setelah episode depresif telah menghilang, intervensi
keterampilan sosial jangka panjang adalah diperlukan. Pada beberapa program terapi, modeling dan
permainan peran dapat membantu menegakkan keterampilan memecahkan masalah yang baik.
Psikoterapi adalah pilihan utama dalam pengobatan depresi.
9. Prognosis
Pasien dengan gangguan bipolar I mempunyai prognosis lebih buruk. Di dalam 2 tahun pertama
setelah peristiwa awal, 40-50% tentang pasien mengalami serangan manik lain.
Hanya 50-60% pasien dengan gangguan bipolar I yang dapat diatasi gejalanya dengan lithium. 7%
pasien ini, gejala tidak terulang. 45% Persen pasien mengalami lebih dari sekali kekambuhan dan lebih
dari 40% mempunyai suatu gejala yang menetap.
B. Skizofrenia Paranoid
1. Definisi
Skizofrenia paranoid adalah salah satu tipe skizofrenia di mana penderitanya mengalami
delusi bahwa orang lain sedang bersekongkol melawan dirinya atau anggota keluarganya.
Paranoid juga merupakan jenis skizofrenia dengan jumlah kasus kejadian paling banyak.
Kebanyakan penderita skizofrenia paranoid mengalami halusinasi suara, di mana mereka
mendengar suara-suara yang tidak nyata. Umumnya, mereka juga mengalami delusi bahwa
diri mereka lebih hebat, lebih kuat, serta punya pengaruh besar daripada kenyataannya.
Penderita skizofrenia paranoid akan menghabiskan banyak waktunya untuk memikirkan cara
melindungi diri dari musuh-musuh khayalan mereka. Dengan penanganan yang benar serta
dukungan dari orang terdekat, biasanya pengidap kondisi ini punya kemungkinan sembuh
yang besar.
2. Gejala Skizofrenia Paranoid
Gejala-gejala utama yang dirasakan oleh penderita skizofrenia paranoid adalah:
Halusinasi suara.
Gangguan persepsi.
Suasana hati yang tidak stabil (tapi gejalanya disini lebih ringan dibanding pada
skizofrenia jenis lain).
Penyalahgunaan obat-obatan.
Usia saat mengandung. Orang tua yang mengandung ketika sudah berusia lanjut punya
risiko lebih tinggi untuk melahirkan anak dengan skizofrenia.
Stres pada usia muda, bisa menjadi faktor pendukung munculnya skizofrenia.
Pemeriksaan fisik dan tesdarah (terutama untuk membuktikan adanya gangguan tiroid,
kadar alkohol, dan obat-obatan).
Tespencitraan, termasuk MRI dan CT scan untuk memeriksa apakah terdapat luka di otak
atau ketidaknormalan pada struktur otak.
Evaluasi psikologis. Psikiater akan bertanya pada penderita tentang pikiran, perasaan,
serta perilaku penderita.
Pengambilan sampel neuron dari hidung penderita. Molekul mikro RNA yang ada di
dalam neuron akan diuji di laboratorium.
Pemberian obat-obatan. Jenis yang diberikan umumnya adalah obat antipsikotik atipikal,
antipsikotik tipikal, antidepresan, anti cemas, atau penstabil mood.
Perawatan di Rumah Sakit Jiwa. Jika gejala semakin parah, maka penderita harus ditangani di
Rumah Sakit Jiwa agar kebutuhan nutrisi serta istirahat bisa dipantau dan dipenuhi.
Terapi elektrokonvulsif (ECT). Penanganan ini digunakan bagi penderita yang mengalami
gejala depresi parah dan penderita yang punya risiko tinggi bunuh diri.
Pelatihan keterampilan dan bersosialisasi. Penderita akan dilatih untuk hidup higienis,
mengonsumsi makanan bernutrisi, dan memiliki komunikasi yang lebih baik.
6. Komplikasi
Bisa terjadi jika skizofrenia paranoid tidak ditangani. Beberapa komplikasi yang bisa
disebabkan oleh skizofrenia paranoid adalah:
Depresi.
Masalah kebersihan.
Penyalahgunaan zat.
Malnutrisi.
C. Delirium
A. Definisi
Delirium adalah diagnosis klinis, gangguan otak difus yang dikarasteristikkan dengan variasi
kognitif dan gangguan tingkah laku. Delirium ditandai oleh gangguan kesadaran, biasanya
terlihat bersamaan dengan fungsi gangguan kognitif secara global. Kelainan mood, persepsi
dan perilaku adalah gejala psikiatrik yang umum; tremor, asteriksis, nistagmus, inkoordinasi
dan inkontinensia urin merupakan gejala neurologis yang umum.
Biasanya
perjalanan yang singkat dan berfluktuasi dan perbaikan yang cepat jika faktor penyebab
diidentifikasi dan dihilangkan. Tetapi masing-masing ciri karakteristik tersebut dapat
bervariasi pada pasien individual. Delirium dapat terjadi pada berbagai tingkat usia namun
tersering pada usia diatas 60 tahun. Menggigau merupakan gejala sementara dan dapat
berfluktuasi intensitasnya, kebanyakan kasus dapat sembuh dalam waktu 4 minggu atau
kurang. Akan tetapi jika delirium dengan fluktuasi yang menetap lebih dari 6 bulan sangat
jarang dan dapat menjadi progresif kearah dementia.
B. Epidemiologi
Delirium merupakan kelainan yang sering pada :
-
Penyebab dari pasca operasi delirium termasuk stress dari pembedahan, sakit pasca
operasi, pengobatan anti nyeri, ketidakseimbangan elektrolit, infeksi, demam, dan
kehilangan darah.
Sekitar 20% pasien dengan luka bakar berat dan 30-40 % pasien dengan sindrom
imunodefisiensi didapat (AIDS)
Usia lanjut merupakan faktor resiko dari terjadinya delirium, sekitar 30 40 persen dari
pasien yang dirawat berusia 65 tahun dan memiliki episode delirium
C. Etiologi
Penyebab utama delirium :
1. Penyakit pada CNS encephalitis, space occupying lesions, tekanan tinggi intrakranial
setelah episode epilepsi.
2. Demam - penyakit sistemik
3. Intoksikasi dari obat-obatan atau zat toksik
4. Withdrawal alkohol
5. Kegagalan metabolik kardiak, respiratori, renal, hepatik, hipoglikemia
Faktor predisposisi.
Demensia
Obat-obatan multipel
Umur lanjut
Ketidakmampuan fungsional
Ketergantungan alkohol
Isolasi sosial
Depresi
Withdrawal benzodiazepin
Hipoglikemia
Gagal hepar/ginjal
Polifarmasi
'Sleep deprivation'
Demam/hipothermia
Hipotensi perioperati
Pengekangan fisik
Kardiovaskular 3%
Sedatif hipnotik
1.1. Benzodiazepin
1.2. Kloralhidrat, barbiturat
1.3. Anti kolinergik
1.4. Benztropin, oksibutirin
2. Antihistamin mis difenhidramin
3. Antispasmodik misal : belladona, propanthelin
4. Fenothiazin misal: thioridazin
5. Antidepresan trisklik
6. Antiparkinson misal levodopa, amantadin, pergolid, bromokriptin
7. Analgetik misal opiat (khususnya pethidin), jarang : NSAID,aspirin
8. Obat anestesi
kardiovaskuler
dan
antihipertensi,
kinin,digoxin
(padakadar
valproat,
pirimidin,
fenitoin,
karbamazepin,
klonazzepam,klobazam.
15. Lain-lain : lithium, flunoksilin, metoclopramid,imunosupresan.
D. Patofisiologi
Tanda dan gejala delirium merupakan manifestasi dari gangguan neuronal, biasanya
melibatkan area di korteks serebri dan reticular activating sistem. Dua mekanisme yang
terlibat langsung dalam terjadinya delirium adalah pelepasan neurotransmiter yang berlebihan
(kolinergik muskarinik dan dopamin) serta jalannya impuls yang abnormal. Aktivitas yang
berlebih dari neuron kolinergik muskarinik pada reticular activating sistem, korteks, dan
hipokampus berperan pada gangguan fungsi kognisi (disorientasi, berpikir konkrit, dan
inattention) dalam delirium. Peningkatan pelepasan dopamin serta pengambilan kembali
dopamin yang berkurang misalnya pada peningkatan stress metabolik. Adanya peningkatan
dopamin yang abnormal ini dapat bersifat neurotoksik melalui produksi oksiradikal dan
pelepasan glutamat, suatu neurotransmiter eksitasi. Adanya gangguan neurotransmiter ini
menyebabkan hiperpolarisasi membran yang akan menyebabkan penyebaran depresi
membran.
Berdasarkan tingkat kesadarannya, delirium dapat dibagi tiga:
1.
Delirium hiperaktif
Ditemukan pada pasien dalam keadaan penghentian alkohol yang tiba-tiba, intoksikasi
Phencyclidine (PCP), amfetamin, dan asam lisergic dietilamid (LSD)
2.
Delirium hipoaktif
Delirium campuran
gangguan struktural dan fisiologis. Hipotesis utama adalah adanya gangguan yang irreversibel
terhadap metabolisme oksidatif otak dan adanya kelainan multipel neurotransmiter.
Asetilkolin
Obat-obat anti kolinergik diketahui sebagai penyebab keadaan acute confusional states dan
pada pasien dengan gangguan transmisi kolinergik seperti pada penyakit Alzheimer. Pada
pasien dengan post-operative delirium, aktivitas serum anticholonergic meningkat.
Dopamin
Diotak terdapat hubungan reciprocal antara aktivitas kolinergic dan dopaminergic. Pada
delirium, terjadi peningkatan aktivitas dopaminergic
Neurotransmitter lain
Serotonin: ditemukan peningkatan serotonin pada pasien hepatic encephalopathy dan sepsis
delirium. Agen serotoninergic seperti LSD dapat pula menyebabkan delirium. Cortisol dan
beta-endorphins: pada delirium yang disebabkan glukokortikoid eksogen terjadi gangguan
pada ritme circadian dan beta-endorphin.
Mekanisme inflamasi
Mekanisme inflamasi turut berperan pada patofisiologi delirium, yaitu karena keterlibatan
sitokoin seperti intereukin-1 dan interleukin-6, Stress psychososial dan angguan tisur berperan
dalam onset delirium
Mekanisme struktural
Formatio retikularis batang otak adalah daerah utama yang mengatur perhatian kesadaran dan
jalur utama yang berperan dalam delirium adalah jalur tegmental dorsalis yang keluar dari
formatio reticularis mesencephalic ke tegmentum dan thalamus. Adanya gangguan metabolik
(hepatic encephalopathy) dan gangguan struktural (stroke, trauma kepala) yang mengganggu
jalur anatomis tersebut dapat menyebabkan delirium.
E. Diagnosis
Kriteria diagnostic delirium berdasar DSM IV :
Untuk Delirium karena kondisi medis umum:
1. Gangguan kesadaran disertai berkurangnya kemampuan untuk memusatkan perhatian,
mempertahankan perhatian, atau perubahan atensi.
2. Perubahan kognisi atau gangguan persepsi, yang tidak terkait demensia.
3. Gangguan yang berkembang dalam periode yang pendek (jam ke hari), dan berfluktuasi
sepanjang hari.
4. Adanya bukti-bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau temuan laboratorium bahwa
gangguan disebabkan oleh pengobatan umum, atau obat-obatan, atau gejala putus obat.
Untuk Delirium Intoksikasi Zat:
1.
2.
3.
Gangguan yang berkembang dalam periode yang pendek (jam ke hari), dan berfluktuasi
sepanjang hari.
4.
Adanya bukti-bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau temuan laboratorium
(A) atau (B).
A.
B.
1.
2.
3.
Gangguan yang berkembang dalam periode yang pendek (jam ke hari), dan berfluktuasi
sepanjang hari.
4.
Adanya bukti-bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau temuan laboratorium
bahwa gejala dalam kriteria (1) dan (2) berkembang selama , atau segera setelah suatu
sindroma putus
Untuk Delirium Karena Penyebab Multiple:
1.
2.
3.
Gangguan yang berkembang dalam periode yang pendek (jam ke hari), dan berfluktuasi
sepanjang hari.
4.
Adanya bukti-bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau temuan laboratorium
bahwa delirium telah memiliki lebih dari satu penyebab (misalnya lebih dari satu penyebab
kondisi medis umum, suatu kondisi medis umum ditambah intoksikasi zat atau efek samping
medikasi).
Untuk Delirium Yang Tidak Ditentukan:
Kategori ini harus digunakan untuk mendiagnosis suatu delirium yang tidak memenuhi
kriteria salah satu tipe delirium yang dijelaskan pada bagian ini.
G. Gejala Klinis Dari Delirium :
Gangguan kesadaran
Disorientasi
Konsentrasi kurang
Tingkah laku
Hiperaktif
Hipoaktif
Pikiran
Bizarre
Ideas of reference
Waham
Mood
Cemas, Irritable
Depresi
Persepsi
Illusi
Hallusinasi (visual)
Memori
Terganggu
*Fluctuating course, worse in the evening
Gambaran kunci dari delirium adalah suatu gangguan kesadaran, yang dalam DSM IV
digambarkan sebagai penurunan kejernihan kesadaran terhadap lingkungan dengan penurunan
kemampuan untuk memusatkan, mempertahankan atau mengalihkan perhatian. Keadaan
delirium mungkin didahului selama beberapa hari oleh perkembangan kecemasan, mengantuk,
insomnia, halusinasi transient, mimpi menakutkan di malam hari, kegelisahan.
1. Kesadaran (arousal)
Dua pola umum kelainan kesadaran telah ditemukan pada pasien dengan delirium. Satu
pola ditandai oleh hiperaktivitas yang berhubungan dengan peningkatan dari kesiagaan.
Pasien dengan delirium yang berhubungan dengan pemusatan zat seringkali mempunyai
delirium hiperaktif yang juga dapat disertai dengann tanda otonomik, seperti kulit kemerahan,
pucat, berkeringat, takikardi, pupil berdilatasi, mual-muntah dan hipertermi. Pasien dengan
gejala hipoaktif kadang-kadang diklasifikasikan sebagai sedang depresi, katatonik atau
mengalami depresi.
2. Orientasi
Orientasi terhadap waktu, tempat dan orang harus di uji pada pasien dengan delirium.
Orientasi terhadap waktu seringkali hilang, bahkan pada kasus deliriun yang ringan orientasi
terhadap tempat dan kemampuan untuk mengenali orang lain mungkin juga terganggu pada
kasus yang berat.
3. Bahasa dan Kognisi
Kelainan dapat berupa bicara yang melantur, tidak relevan atau membingungkan
(inkoheren) dan gangguan kemampuan untuk mengerti pembicaraan. Fungsi kognitif lainnya
yang mungkin terganggu pada pasien delirium adalah fungsi ingatan dan kognitif umum.
Kemampuan untuk menyusu, mempertahankan dan mengingat kenangan munkin terganggu,
walaupun ingatan kenangan yang jauh mungkin dipertahankan. Pasien delirium juga
mempunyai waham yang tidak sistematis, kadang-kadang paranoid.
4.Persepsi
Pasien dengan delirium seringkali mempunyai ketidakmampuan umum untuk
membedakan stimulus sensorik dan untuk mengintegrasikan persepsi sekarang dengan
pengalaman masa lalu mereka. Halusinasi juga relatif sering pada pasien delirium. Halusinasi
paling sering adalah visual atau auditorik, walaupun halusinasi dapat taktil atau olfaktorius.
Ilusi visual dan auditoris juga sering pada delirium.
5. Mood
Gejala yang paling sering adalah kemarahan, kegusaran dan rasa takut yang tidak
beralasan. Kelainan mood lain yang sering adalah apati, depresi, dan euforia.
6. Gejala penyerta
A. Gangguan tidur bangun
Tidur pasien secara karakteristik terganggu. Pasien seringkali mengantuk selama siang
hari dan dapat ditemukan tidur sekejap ditempat tidurnya atau diruang keluarga. Tetapi tidur
pada pasien delirium hampir selalu singkat dan terputus-putus. Pasien seringkali mengalami
eksaserbasi gejala delirium tepat sebelum tidur, dikenal sebagai sundowning. Kadang-kadang
mimpi menakutkan di malam hari dan mimpi yang mengganggu pasien terus berlangsung ke
keadaan terjaga sebagai pengalaman halusinasi.
B. Gejala neurologis
Gejala neurologis yang sering menyertai berupa disfagia, tremor, asteriksis, inkordinasi
dan inkontinensia urin. Tanda neurologis fokal juga ditemukan sebagai bagian pola gejala
pasien dengan delirium.
H. Management Pengobatan
Pengobatan secara langsung baik identifikasi dari underlying physical cause maupun menilai
pengobatan dari anxietas, distress, dan problem prilaku.
-
Pasien perlu penentraman hati, dan reorientasi untuk mengurangi anxietas, cara ini perlu
dilakukan dengan sering.
Keluarga pasien perlu diberitahukan dan diterangkan secara jelas mengenai penyakit
pasien agar mengurangi kecemasannya sehingga keluarga pasien dapat menolong pasien
dalam perawat menjadi lebih tentram.
Pada perawatan di rumah sakit pasien sebaiknya dirawat di ruangan yang tenang juga
cukup cahaya agar pasien dapat tahu dimana dia berada namun dengan penerangan dimana
tidak mengganggu tidur pasien.
Penting untuk memberi sedapat mungkin sejak terjadi perburukan dari delirium.
Dosis yang kecil dari benzodiazepin atau obat hypnotic lain sangat berguna untuk
membut pasien tidur saat malam. Benzodiazepin harus dihindari saat siang dimana efek
sedasinya dapat meningkatkan disorientasi.
Ketika pasien dalam keadaan yang menderita dan gangguan prilaku, monitor pengobatan
antipsikotik secara hati-hati dapat sangat berharga. Ikuti dengan dosis inisial yng cukup untuk
mengobati situasi akut, dosis obat oral secara reguler dapat diberikan secara adekuat agar
pasien tidak mengantuk berlebihan. Haloperidal dapat diberikan dimana dosis harian 1060mg. Jika perlu dosis pertama antara 2-5mg dapat diberikan intramuskular.
Pengobatan Farmakologis Delirium :
Dua gejala utama dari delirium yang mungkin memerlukan pengobatan farmakologis adalah
psikosis dan insomnia. Obat yang terpilih untuk psikosis adalah Haloperidol. Droperidol
(Inapsine) adalah suatu butyrophenone yang tersedia sebagai suatu formula intravena
alternative , walaupun monitoring elektrokardiogram adalah sangat penting pada pengobatan
ini. Golongan phenothiazine harus dihindari pada pasien delirium
disertai dengan aktifitas antikolinergik yang bermakna.Insomnia paling baik diobati dengan
golongan benzodiazepine dengan waktu paruh pendek atau dengan hydroxyzine (Vistaril), 25
sampai 100mg.
1.
2.
3.
Risperidone (risperidal), juga efektif dan dapat ditoleransi dengan baik, dimulai
dengan 0,5 mg dua kali sehari atau 1mg sebelum waktu tidur, meningkat sampai 3 mg 2 kali
sehari jika dibutuhkan.
4.
Haloperidol (haldol), dpat digunakan dengan dosis yang rendah (0.5 mg sampai
dengan 2 mg 2 kali sehari), jika dibutuhkan secara intravena. Efek samping ekstra pyramidal
dapat terjadi, dapat ditambahkan sedative, misalnya lorazepam diawali 0,5 mg sampai 1 mg
setiap 3 sampai 8 jam jika dibutuhkan.
I. Prognosis
Setelah identifikasi dan menghilangkan faktor penyebab, gejala delirium biasanya
menghilang dalam periode 3-7 hari, walaupun beberapa gejala mungkin membutuhkan waktu
sampai 2 minggu untuk menghilang secara lengkap. Semakin lanjut usia pasien dan semakin
lama pasien mengalami delirium semakin lama waktu yang diperlukan bagi delirium untuk
menghilang. Ingatan tentang apa yang dialami selama delirium, jika delirium telah berlalu,
biasanya hilang timbul, dan pasien mungkin menganggapnya sebagai mimpi buruk, sebagai
pengalaman yang mengerikan yang hanya diingat secara samar-samar.
Gangguan afektif
gangguan
suasana
perasaan
(mood[afektif])
F20, F21, F23 skizofrenia, gangguan F30, F31 episode manik, gangguan afektif
skizotipal, psikotik akut dan sementara. bipolar
F22, F24, gangguan waham menetap, F32-F39 episode depresif, gangguan depresit
gangguan waham terinduksi .
berulang, gangguan suasana perasaan
F25 gangguan skizoafektif
(mood/afektif)menetap/lainnya/YTT.
F28, F29 gangguan psikoaktif Nonorganik lainnya, atau YTT
Daftar Pustaka
1. Kaplan.H.I, Sadock. B.J, Sinopsis Psikiatri : Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis,
edisi ketujuh, jilid satu. Binarupa Aksara, Jakarta 1997. Hal 502-540.
2. Ingram.I.M, Timbury.G.C, Mowbray.R.M, Catatan Kuliah Psikiatri, Edisi keenam,
cetakan ke dua, Penerbit Buku kedokteran, Jakarta 1995. Hal 28-42.
3. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ketiga, jilid 1. Penerbit Media Aesculapsius Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2001. Hal 189-192.
4.
Israr,Y. A. 2009. Gangguan Afektif Bipolar. Riau : Fakultas Kedokteran Universitas Riau
5. Baehr, M., Frotscher M.,2010Diagnosis Topik Neurologi Duus: Anatomi, Fisiologi, Tanda,
Gejala. Ed 4. Jakarta: EGC.
9. Buchanan R. W., & Carpenter W. T., Jr., Kaplan and Sadocks Comprehensive Textbook
of Phyciatry 7th edition, Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, 2000
10. Direktorat Jendral Pelayanan Medis, Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
Jiwa di Indonesia III, cetakan pertama, Jakarta : Departemen Kesehatan RI, 1993
11. Mycek M. J., Harvey R. A., Champe P. C., Lipincott Illustrated Reviews 2 nd edition,
Phildeaphia, Lippincott Williams & Wilkins,1997.
12. Michael Gelder, Richard Mayou, John Geddes., Psychiatry 2 nd edition, Oxford University,
New York, 1999.
13. Buku
Saku
Psikiatri
Edisi
6.Alih
bahasa.Martina
Wiwie.Edisi
bahasa
Indonesia.EGC.Jakarta:2003.
14. Maslim, Rusdi.2013. Buku Saku PPDGJ-III dan DSM-5. Jakarta : Bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.