Anda di halaman 1dari 39

1. Jelaskan Anatomi dan Fisiologi Organ Terkait pada Skenario?

a. Anatomi

Gambar 1. Permukaan Luar Otak.

Cortex Cerebri,
Area ini menjadi basis dari aktivitas yang berkaitan dengan kemampuan rasional
seseorang. Mulai dari kemampuan menerima rangsang panca indera, memahaminya,
menganalisa, dan kemudian merespon secara motorik. Ahli neuroanatomi menduga
bahwa struktur seluler spesifik masing- masing area bersesuaian dengan tugas khusus
yang dijalankan.Bahkan memungkinkan untuk menentukan fungsi tunggal yang jelas
pada berbagai area, yang disebut area korteks primer.

Lobus Frontalis
Lobus frontalis dapat dibagi menjadi tiga komponen utama : korteks motorik primer,
korteks premotorik, dan regio prefrontalis (suatu area korteks yang luas yang terdiri
dari area asosiasi multimodal).Korteks motoric dan korteks premotorik membentuk

system fungsional untuk merencanakan dan mengontrol gerakan. Korteks prefrontalis


terutama berperan untuk aktivitas kognisi dan pengendalian perilaku.

Gambar 2. Sistem Limbik Otak

Sistem Limbik
Melalui hubungannya dengan hipotalamus dan juga dengan system saraf otonomsystem limbik ikut dalam pengaturan dorongan (drive) dan perilaku afektif.
Dikatakan fungsi utamnya, dari sisi teologis, adalah pembentukan perilaku yang
meningkatkan ketahanan (survival) individu dan spesies.

b. Fisiologi
Gejala mengamuk diduga berhubungan dengan lesi pada korteks prefrontalis dan
Stimuluasi nucleus amigdala dari sistem limbic. Lobus frontalis merupakan pusat

mental dan emosi manusia, sehingga jika terjadi lesi dibagian tersebut
akan mengakibatkan gangguan mental yang sukar / tidak dapat dikendalikan Selain
itu, stimulasi eksperimental pada amigdala dalam sistem limbic diketahui
menimbulkan aktivasi afektif. Reaksi emosional seperti kemarahan dan agresi muncul
disertai oleh reaksi otonom seperti peningkatan tekanan darah, frekuensi denyut
jantung dan frekuensi pernapasan, perubahan atensi, asupan nutrisi dan perubahan
perilaku seksual terjadi, tergantung pada subdivisi nucleus amigdala yang
terstimulasi.
Pengaturan Sifat Oleh Hipothalamus Dan Daerah Asosiasi
Sistem Limbik
a. Stimulasi pada lateral hipotalamus menimbulkan persepsi haus dan lapar serta
Mengarahkan pada sikap marah.
b. Stimulasi pada ventromedial nucleus memberikan sensasi kepuasan dan
Penurunan nafsu makan.
c. Stimulation pada thin zone of periventricular nuclei menimbulkan sensasi
Takut dan rasa bersalah.
d. Perubahan perilaku seksual khususnya disebabkan karena stimulus pada
Anterior dan posterior hypothalamus.
2. Jelaskan Perbedaan Gangguan Jiwa Organik dan Non Organik?
a. Gangguan Mental Organik
Gangguan mental organik adalah gangguan mental dimana terdapat suatu patologi
yang dapat diidentifikasi (contohnya tumor otak, penyakit cerebrovascular dan
intoksifikasi obat)1,2,3. Adapun jenis-jenis dari gangguan mental organik yaitu :
Menurut PPDGJ III, klasifikasi gangguan mental organik adalah sebagai berikut :
L. Demensia pada penyakit Alzheimer
1.1 Demensia pada penyakit Alzheimer dengan onset dini.
1.2.Demensia pada penvakit Alzheimer dengan onset lambat.

1.3.Demensia pada penyakit Alzheimer, tipe tak khas atau tipe campuran.
1.4. Demensia pada penyakit Alzheimer Yang tidak tergolongkan ( YTT).
2. Demensia Vaskular
2.1.Demensia Vaskular onset akut.
2.2. Demensia multi-infark
2.3 Demensia Vaskular subkortikal.
2.4. Demensia Vaskular campuran kortikal dan subkortikal
2.5. Demensia Vaskular lainnya
2.6. Demensia Vaskular YTT
3. Demensia pada penyakit lain yang diklasifikasikan di tempat lain (YDK)
3.1. Demensia pada penyakit Pick.
3.2. Demensia pada penyakit Creutzfeldt Jakob.
3. 3. Demensia pada penyakit huntington.
3.4. Demensia pada penyakit Parkinson.
3.5. Demensia pada penyakit human immunodeciency virus (HIV).
3.6. Demensia pada penyakit lain yang ditentukan (YDT) dan YDK
4. Demensia YTT.
Karakter kelima dapat digunakan untuk menentukan demensia pada 1-4 sebagai berikut:
1. Tanpa gejala tambahan.
2. Gejala lain, terutama waham.

3. Gejala lain, terutama halusinasi


4. Gejala lain, terutama depresi
5. Gejala campuran lain.
5. Sindrom amnestik organik bukan akibat alkohol dan zat psikoaktif lainnya
6. Delirium bukan akibat alkohol dan psikoaktif lain nya
6.1. Delirium, tak bertumpang tindih dengan demensia
6.2. Delirium, bertumpang tindih dengan demensia
6. 3. Delirium lainya.
6.4

deliriumytt.

7. Gangguan mental lainnya akibat kerusakan dan disfungsi otak dan penyakit fisik.
7.1. Halusinosis organik.
7.2. Gangguan katatonik organik.
7.3. Gangguan waham organik (lir-skizofrenia)
7.4. Gangguan suasana perasaan (mood, afektif) organik.
7.4.1. Gangguan manik organik.
7.4.2. Gangguan bipolar organik.
7.4.3. Gangguan depresif organik.
7.4.4. Gangguan afektif organik campuran.
7.5. Gangguan anxietas organik
7.6. Gangguan disosiatif organik.

7.7. Gangguan astenik organik.


7.8. Gangguan kopnitif ringan.
7.9. Gangguan mental akibat kerusakan dan disfungsi otak dan penyakit fisik lain YDT.
7.10. Gangguan mental akibat kerusakan dan disfungsi otak dan penyakit fisik YTT.
8. Gangguan keperibadian dan prilaku akibat penyakit, kerusakan dan fungsi otak
8.1. Gangguan keperibadian organik
8.2. Sindrom pasca-ensefalitis
8.3. Sindrom pasca-kontusio
8.4. Gangguan kepribadian dan perilaku organik akibat penyakit, kerusakan dan disfungsi otak
lainnya.
8.5. Gangguan kepribadian dan perilaku organik akibat penyakit, kerusakan dan disfungsi otak
YTT.
9. Gangguan mental organik atau simtomatik YTT

B. Gangguan Mental Non Organik


Gangguan mental non organik adalah ganggguan otak dimana tidak ada dasar
organic yang dapat diterima secara umum (misalnya schizophrenia dan depresi).
Didalam DSM IV diputusakan bahwa perbedaan lama antara gangguan organik dan
fungsional telah ketinggalan jaman dan dikeluarkan dari tata nama. Bagian yang
disebut Gangguan Mental Organik dalam DSM III-R sekarang disebut sebagai
Delirium, Demensia, Gangguan Amnestik Gangguan Kognitif lain, dan Gangguan
Mental karena suatu kondisi medis umum yang tidak dapat diklasifikasikan di
tempat lain.
3. Sebutkan Klasifikasi mengamuk dan Gangguan gangguan yang di sertai dengan
mengamuk?

A. Klasifikasi Mengamuk
A. Gangguan mental organik :

Delirium
Gambaran Klinik :

1. Gangguan kesadaran dan perhatian (kesadaran menurun, berkabut, perhatian


tidak terarah)
2. Gangguan fungsi kognitif secara menyeluruh (disorientasi, hendaya daya ingat
segera)
3. Gangguan psikomotor (Hipo/hiperaktif, bicara banyak atau

kurang)

4. Gangguan siklus tidur - bangun yang berubah atau terbalik dari

biasanya

(siang mengantuk, malam terjaga).


5. Gangguan emosional : depresi, cemas, marah, euforia, apati, hilang
6. Onset biasanya cepat, perjalanan penyakit hilang timbul sepanjang

akal.
hari.

7. Berlangsung kurang dari 6 bulan

Intoksikasi /sindro putus zat/obat psikoaktif

Tumor otak

Gangguan kepribadian organik


Gambaran Klinik :

1. Riwayat dan hasil pemeriksaan menunjukkan adanya penyakit, kerusakan atau


disfungsi otak.
2. Disertai dua atau lebih dari hal berikut :
a) Penurunan kemampuan mempertahankan aktivitas bertujuan untuk waktu yang
lama dan penundaan kepuasan.
b) Perubahan perilaku emosional
c) Pengungkapan

kebutuhan

dan

konsekwensi atau kelaziman sosial.


d) Gangguan proses pikir
e) Perubahan kecepatan arus bicara
f) Perubahan perilaku seksual
b. Gangguan psikotik fungsional :

Skizofrenia paranoid

keinginan

tanpa

mempertimbangkan

Gambaran Klinik :
a) Waham-waham kejaran, rujukan (reference), merasa dirinya tinggi (exalted
birth), misi khusus,perubahan tubuh atau kecemburuan;.
b) Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah, atau
halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit (whistling),
mendengung (humming), atau bunyi tawa (Laughing);
c) Halusinasi pembauan atau pengecapan, atau bersifat seksual, atau lain-lain
perasaan tubuh ; halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol

Skizofrenia karatonik/furor katatonik


Gambaran Klinik :

1. Stupor (amat

berkurang

reaktivitas terhadap lingkungan

dan

dalam

gerakan serta aktivitas spontan) atau mutisme;


2. Kegelisahan (aktivitas motor yang tampak tak bertujuan, yang tak dupengaruhi
oleh stimuli eksternal);
3. Berpose (secara sukarela mengambil dan mempertahankan sikap tubuh tertentu
yang tidak wajar atau bizarre);
4. Negativisme (perlawanan yang jelas tidak bermotif terhadap semua instruksi atau
upaya untuk digerakkan, atau bergerak kearah berlawanan);
5. Rigiditas (rigidity : mempertahankan sikap tubuh yang kaku melawan
upaya untuk memnggerakkannya);
6. Fleksibilitas serea (waxy flexibility : mempertahankan posisi anggota gerak
dan tubuh yang dilakukan dari luar;
Gejala-gejala lain seperti otomatis terhadap perintah (command automatisme ;
ketaatan secarra otomatis terhadap perintah), dan perseverasi kata-kata serta
kalimat.

Gangguan afektif bipolar


Gambaran klinik

1. Mood meningkat, euforia


2. Emosi Labil
3. Perubahan sementara yg cepat menjadi depresi akut
4. Irritabilitas,toleransi terhadap frustasi

rendah

5. Menuntut dan egosentris.

Gambaran Kognitif

1. Harga diri meningkat, grandiositas.


2. Bicara cepat dan membanjir (logorrhea)
3. Desakan pembicaraan (pressure of speech)
4. Lompat gagasan (flight of ideas)
5. Kadang-kadang inkoherensi
6. Daya nilai buruk, disorganisasi
7. Waham dan halusinasi.

Gangguan paranoid

Gangguan Psikotik akut termasuk psikosis pasca persalinan (post partum)

c. Gangguan kepribadian

Gangguan kepribadian Antisosial

Gangguan kepribadian Emosional tak stabil

Gangguan kepribadian Paranoid


Ditandai oleh paling sedikit tiga hal berikut :

1. Kepekaan yang berlebihan terhadap kegagalan dan penolakan.


2. Kecenderungan untuk tetap menyimpan dendam, misalnya menolak untuk
memaafkan suatu penghinaan dan luka hati atau masalah kecil.
3. Kecurigaan dan kecenderungan pervasif untuk menyalah artikan tindakan orang
lain yang netral atau bersahabat sebagai suatu sikap permusuhan atau penghinaan
4. Mempertahankan dengan gigih bila perlu dengan kekuatan fisik tentang hak
pribadinya yang
5. Kecurigaan yang berulang, tanpa dasar, tentang kesetiaan seksual dari
pasangannya
6. Kecendrungan untuk merasa dirinya penting secara berlebihan yang dinyatakan
dalam sikap menyangkut diri yang menetap.
7. Dirundung oleh rasa persekongkolan dari suatu peristiwa terhadap dirinya
maupun dunia pada umumnya tanpa bukti.
D.Masalah situasional

Perselisihan keluarga termasuk pencederaan anak

Perselisihan antar individu

Panik homoseksual

Keadaan disosiatif (misalnya kesurupan)

1. Tiba-tiba kehilangan ingatan yang berhubungan dengan maksud tertentu,


2. Perjalanan tanpa tujuan dan kebingungan,
3. Kehilangan ingatan yang menyeluruh untuk kehidupan masa lalu tanpa
kehilangan kesadaran.
4. Assumsi tampak normal,
5. Disorietasi dapat terjadi.
4. Patofisiologi Terjadinya Mengamuk?
Adanya stresor (dalam hal ini berupa faktor psikososial, yaitu saat wanita melihat
pacarnya berpelukan dengan wanita lain) memicu kadar opioid di otak menjadi menurun.
Secara otomatis hal ini akan memicu peningkatan dopamin, sehingga merasakan
meningkatnya kewaspadaan dan timbul kegelisahan. Tingginya dopamin menyebabkan
kelelahan emosi. Kada opioid rendah juga menyebabkan menurunnya neurotransmiter
GABA. Ketika hal ini terjadi, timbul perasaan gelisah, ketidakamanan dan panik. GABA
yang rendah otomatis membuat tubuh melawan kecemasan, depresi dengan melepaskan
norepinefrin. Zat kimia ini mendorong timbulnya respons emosi (dalam skenario ini
berupa mengamuk, berteriak-teriak, melompat-lompat, gelisah dan berbicara terus
menerus). Kadar rendah GABA akan menurunkan serotonin dna dapat membuat tidur
menjadi sulit. Orang yang kurang tidur menjadi tak rasional, mudah marah dan dapat
histeris. Serotonin level opioid semakin rendah, kemudian hal ini berulang seperti
sbelumnya.
5. Apa Hubungan Pasien Mengamuk dengan melihat pacarnya berpelukan dengan orang
lain?
Pada saat pasien melihat pacarnya berpelukan dengan orang lain membuat
stimulasi pada lateral hipothalamus menimbulkan sikap marah. Selain itu, stimulasi
eksperimental pada amigdala dalam sistem limbic diketahui menimbulkan aktivasi

afektif. Reaksi emosional seperti kemarahan dan agresi muncul disertai oleh reaksi
otonom seperti peningkatan tekanan darah, frekuensi

denyut jantung dan frekuensi

pernapasan, perubahan atensi, asupan nutrisi dan perubahan perilaku

seksual

terjadi,

tergantung pada subdivisi nucleus amigdala yang terstimulasi.


6. Sebutkan dan Jelaskan Langkah langkah diagnosis?
Langkah-langkah diagnosis :
Proses diagnosis gangguan jiwa mengikuti prosedur klinis yang lazim dilakukan
dalam praktek kedokteran klinis, yaitu meliputi langkah-langkah sebagai berikut :
Anamnesis :
Alasan berobat
Riwayat gangguan sekarang
Riwayat gangguan dahulu
Riwayat perkembangan diri
Latar belakang sosial, keluarga, pendidikan, pekerjaan, perkawinan, dan lain-lain
Pemeriksaan

Fisik-diagnostik
Status mentalis
Laboratorium
Radiologik
Evaluasi psikologik
Lain-lain

Diagnosis

Aksis I = Klinis
Aksis II = Kepribadian
Aksis III = Kondisi medik
Aksis IV = Psiko-sosial
Aksis V = Taraf fungsi

Terapi

Farmakoterapi
Psikoterapi
Terapi sosial
Terapi okupasional
Lain-lain

Tindak Lanjut

Evaluasi terapi
Evaluasi diagnosis
Lain-lain

Dengan rumusan matematis, dapat disimpulkan bahwa :


Diagnosis = anamnesis +
(data subjektif)

pemeriksaan
(data objektif)

Urutan hierarki blok diagnosis


Pada beberapa jenis gangguan jiwa (misalnya, Gangguan Mental Organik) terdapat
pelbagai tanda dan gejala yang sangat luas. Pada beberapa gangguan jiwa lainnya (seperti,
Gangguan Cemas) hanya terdapat tanda dan gejala yang sangat terbatas atas dasar ini,
dilakukan suatu penyusunan urutan blok-blok diagnosis yang berdasarkan suatu hierarki,
Diana suatu gangguan yang terdapat dalam urutan hierarki yang lebih tinggi, mungkin
mempunyai ciri-ciri dari gangguan yang terletak dalam hierarki lebih rendah, tetapi tidak
sebaliknya. Terdapatnya hubungan hierarki ini memungkinkan untuk penyajian diagnosis
banding dari pelbagai jenis gejala utama
Suatu diagnosis atau kategori diagnosis, baru dapat dipastikan setelah kemungkinan
kepastian diagnosis/diagnosis banding dalam blok di atasnya dapat ditiadakan dengan
pasti.
Urutan Hierarki Blok Diagnosis Gangguan Jiwa berdasarkan PPDGJ-III :
I.
II.
III.
IV.
V.

VI.
VII.
VIII.

= Gangguan Mental Organik & Simtomatik (F00-F09).


= Gangguan Mental & Perilaku Akibat Zat Psikoaktif (F10-F19).
Ciri khas: etiologi organik/fisik jelas, primer/sekunder.
= Skizofrenia, Gangguan Skizotipal & Gangguan Waham (F20-F29).
Ciri khas: gejala psikotik, etiologi organik tidak jelas.
= Gangguan Suasana Perasaan [Mood/Afektif] (F30-F39).
Ciri khas: gejala Gangguanafek (psikotik dan nun-psikotik).
= Gangguan Neurotik, Gangguan Somatoform & gangguanstres (F40-F49).
Ciri khas: gejala non-psikotik, etiologi non-organik
= Sindrom Perilaku Yang Berhubungan Dan Gangguan Fisiologis & Faktor Fisik
(F50-F59).
Ciri khas: gejala disfungsi fisiologis, etiologi non-organik
Gangguan Kepribadian & Perilaku Masa Dewasa (F60-F69).
Ciri khas: gejala perilaku, etiologi non-organik
= Retardasi Mental (F70-F79)
Ciri khas: gejala perkembangan IQ, onset masa kanak.
= Gangguan Perkembangan Psikologis (F80-F89).

IX.

X.

Ciri khas: gejala perkembangan khusus, onset masa kanak


= Gangguan Perilaku & Emosional dengan Onset Masa Kanak & Remaja (F90F99).
Ciri khas: gejala perilaku/emosional, onset masa kanak
= Kondisi Lain Yang Menjadi Fokus Perhatian Klinis (Kode Z)
Ciri khas: tidak tergolong gangguan jiwa
Diagnosis multiaksial
Dsm IV (DSM= Diagnostic & Statistical manual of Mental disorder) adalah suatu

sistem multiaksial yang menilai pasien dalam beberapa variabel dan mempunyai lima
aksis. Aksis I dan II terdiri dari semua klasifikasi gangguan mental, 17 klasifikasi dan
lebih dari 300 gangguan spesifik. Dalam banyak keadan, pasien mempunyai suatu
gangguan pada kedua aksis.
Aksis I mengandung gangguan klinis dan kondisi lain yang mungkin merupakan pusat
perhatian klinis.
Aksis IImengandung gangguan kepribadian dan retardasi mental.
Aksis IIImenuliskan tiap gangguan fisik atau kondisi medis umum yang ditemukan di
samping gangguan mental. Kondisi fisik mungkin merupakan penyebab, akibat dari
gangguan mental, atau gangguan medis yang tidak berhubungan. Jika suatu gangguan
medis adalah sebagai penyebab atau secara penyebab berhubungan dengan suatu
gangguan mental, gangguan mental karena kondisi umumn aksis III.
Aksis IV digunakan untuk memberi kode pada masalah psikologis dan lingkungan yang
secara bermakna berperan pada perkembangan atau eksaserbasi gangguan sekarang.
Aksis V adalah skala penilaian global terhadap fungsi (GAF; global assessment of
functioning) dimana dokter mempertimbangkan keseluruhan tingkat fungsional pasien
selama periode waktu tertentu. Fungsional dimengerti sebagai kesatuan dari tiga bidang
utama: fungsi social, fungsi pekerjaan, dan fungsi psikologis skala GAF, yang didasarkan
pada rangkaian kesatuan kesehatan mental dan penyakit mental, adalah skala dengan 100
poin, 100 mencerminkan tingkat fungsi tertinggi dalam semua bidang. Pasien yang
memiliki tingkat fungsional tertinggi sebelum suatu episode penyakit biasanya
mempunyai prognosis yang lebih baik dibandingkan mereka yang mempunyai tingkat
fungsional yang rendah.
Adalah skala penilaian global terhadap fungsi-sering-disebut GAF (Global Assesment

of

Functioning ) dimana dokter mempertimbangkan keseluruhan tingkat fungsional

pasien selama periode waktu tertentu ( misalnya : saat pemeriksaan atau tingkat
fungsional pasien tertinggi untuk sekurangnya 1 bulan selama 1 tahun terakhir)

Fungsional diartikan sebagai kesatuan dari 3 bidang utama yaitu fungsi sosial, fungsi

pekerjaan dan fungsi psikologis


Fungsi berupa skala dengan 100 poin. 100 mencerminkan tingkat fungsi tertinggi dalam
semua bidang.

Tujuan diagnosis multiaksial (Maramis, 2009):

Mencakup informasi yang menyeluruh (komprehensif) sehingga dapat membantu dalam


perencanaan terapi dan pembuatan prognosis.

Format yang mudah dan sistematik sehingga membantu dalam menata dan
mengkomunikasikan informasi klinis serta dalam menggambarkan perbedaan-perbedaan
individual pada pasien dengan diagnosis klinis yang sama
Antara aksis I, II, III, tidak selalu harus ada hubungan etiologi atau patogenesis. Namun,
hubungan antara aksis I-II-III dan aksis IV dapat timbal balik saling mempengaruhi.
Diagnosis Multiaksial memakai lima aksis, yaitu(Rusdi, M., 2001):

a. Aksis I:

Gangguan Klinis Kondisi Lain yang Mungkin Merupakan Pusat Perhatian Klinis

F00-F09

GANGGGUAN MENTAL ORGANIK (TERMASUK GANGGUAN

F10-F19

MENTAL SIMTOMATIK)
GANGGUAN MENTAL DAN PERILAKU AKIBAT

F20-F29

PENGGUNAAN ZAT PSIKOAKTIF


SKIZOFRENIA, GANGGUAN SKIZOTIPAL, DAN GANGGUAN

F30-F39
F40-F48

WAHAM
GANGGUAN SUASANA PERASAAN MOOD ATAU AFEKTIF)
GANGGUAN NEUROTIK, GANGGUAN SOMATOFORM DAN

F50-F59

GANGGUAN TERKAIT STRESS


SINDROM PERILAKU YANG BERHUBUNGAN DENGAN
GANGGUAN PSIKOLOGIS DAN FAKTOR FISIK

F62-F68

PERUBAHAN KEPRIBADIAN NON-ORGANIK, GANGGUAN


KEBIASAAN ATAU IMPULS, GANGGUAN IDENTITTAS JENIS
KELAMIN, GANGGUAN PREFERENSI SEKSUAL,
GANGGUAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN

F80-F89
F90-F98

PERKEMBANGAN DAN ORIENTASI SEKSUAL


GANGGUAN PERKEMBANGAN PSIKOLOGIS
GANGGUAN PERILAKU DAN EMOSIONAL, ONSET

F99

BIASANYA PADA MASA KANAK DAN REMAJA


GANGGUAN JIWA YTT

KONDISI LAIN YANG MENJADI FOKUS PERHATIAN KLINIS


F54

FAKTOR PSIKOLOGIS DAN TINGKAH LAKU YANG


BERHUBUNGAN DENGAN GANGGUAN ATAU PENYAKIT YDK
(YANG DI-KLASIFIKASI DI TEMPAT LAIN, CLASSIFIED

G21
G24
G25

ESLEWHERE)
PARKINSONISME SEKUNDER
G21.0: Sindrom neuroleptika maligna
G21.1 :Parkinsonisme sekunder akibat neuroleptika
DISTONIA
G24.0: Distonia akut akibat neuroleptika
G24.8: Tardive dyskinesia akibat neuroleptika
GANGGUAN EKSTRAPIRAMIDAL DAN PERGERAKAN
LAINNYA
G25.1 : Tremor akibat obat
G25.9 :Gangguan pergerakan akibat obat
Z63.0 : Masalah hubungan dengan pasangan (partner)
Z63.7 : Masalah dalam hubungan yang berkaitan dengan gangguan

F93.3
T74

Z91.1
Z76.5
Z72.8

jiwa atau kondisi medik umum


Z63.8 : Masalah hubungan orang tua-anak
Z63.9 : Masalah dalam hubungan yang lain
Masalah dalam hubungan antar saudara (sibling)
MASALAH BERKAITAN DENGAN ABUSE ATAU NEGLECT
T74.0: Neglect of child
T74.1: Physical abuse of child or adult
T74.2: Sexual abuse of child or adult
Ketidakpatuhan terhadap pengobatan
Berpura-pura sakit dengan motivasi yang jelas (malingering)
Masalah berkaitan dengan gaya hidup (perilaku antisosial)

R41.8
Z63.4
Z55.8
Z56.7
Z71.8
F93.8

Z 03.2
R 69

Penurunan fungsi kongnitif berkaitan dengan usia


Kehilangan dan kematian anggota keluarga (bereavement)
Masalah berkaitan dengan pendidikan dan melek huruf
Masalah berkaitan dengan pekerjaan dan pengangguran
Konseling tentang masalah agama dan kepercayaan
Masalah identitas pada anak dan remaja
Z60.0 : Masalah penyesuaian pada masa transisi siklus kehidupan
Z60.3 : Kesulitan akutrurasi
TIDAK ADA DIAGNOSIS AKSIS I
DIAGNOSIS AKSIS I TERTUNDA

b. Aksis II (gangguan Kepribadian dan retardasi mental):


F60
F60.0
F60.1
F60.2
F60.3
F60.4
F60.5
F60.6
F60.7
F60.8
F60.9
F61
F61.0
F61.1
F70-F79
Z 03.2
R 46.8

GANGGUAN KEPRIBADIAN KHAS


Gangguan Kepribadian paranoid
Gangguan Kepribadian skizoid
Gangguan Kepribadian Disosial
Gangguan Kepribadian Emosional Tak Stabil
Gangguan Kepribadian Histrionik
Gangguan Kepribadian Anankastik
Gangguan Kepribadian Cemas (menghindar)
Gangguan Kepribadian Dependen
Gangguan kepribadian Khas Lainnya
Gangguan Kepribadian YTT.
GANGGUAN KEPRIBADIAN CAMPURAN DAN LAINNYA
Gangguan Kepribadian Campuran
Perubahan Kepribadian yang bermasalah.
GAMBARAN KEPRIBADIAN MALADAPTIF (URAIKAN)
MEKANISME DEFENSI MALADAPTIF (URAIKAN)
RETARDASI MENTAL
TIDAK ADA DIAGNOSIS AKSIS II
DIAGNOSIS AKSIS II TERTUNDA.

c. Aksis III (kondisi medis umum menurut ICD-9-CM):


Bab I
Bab II
Bab IV
Bab VI
Bab VII
Bab VIII
Bab IX

A00-B99
C00-D48
E00-G90
G00-G99
H00-H59
H60-H95
I00-I99

Penyakit infeksi dan parasit tertentu


Neoplasma
Penyakit endokrin, nutrisi, dan metabolik
Penyakit susunan saraf
Penyakit mata dan adneksa
Penyakit telinga dan proses mastoid
Penyakit sistem sirkulasi

Bab X
Bab XI
Bab XII
Bab XIII
Bab XIV
Bab XV
Bab XVII
Bab

J00-J99
K00-K93
L00-L99
M00-M99
N00-N99
O00-O99
Q00-Q99
R00-R99

Penyakit sistem pernapasan


Penyakit sistem pencernaan
Penyakit kulit dan jaringan subkutan
Penyakit sistem muskuloskletal dan jaringan ikat
Penyakit sistem genitourinaria
Kehamilan, kelahiran anak dan masa nifas
Malformasi kongenital, deformasi, kelainan kranial
Gejala, tanda dan temuan klinis laboratorium abnormal

XVIII
Bab XIX
Bab XX
Bab XXI

S00-T98
V01-Y98
Z00-Z99

Cedera, keracunan, dan akibat kausa eksternal


Kausa eksternal dari morbiditas dan mortalitas
Faktor-faktor yang mempengaruhi status kesehatan dan
pelayanan

d. Aksis IV (Masalah Psikososial dan Lingkungan)


Masalah dengan primary support group (keluarga)
Masalah berkaitan dengan lingkungan sosial
Masalah pendidikan
Masalah pekerjaan
Masalah perumahan
Masalah ekonomi
Masalah akses ke pelayanan kesehatan
Masalah berkaitan interaksi dengan hukum/kriminal
Masalah psikososial dan lingkungan lain

e. Aksis V:
GAF Scale
100-91

Gejala tidak ada, fungsi maksimal, tidak ada masalah yang tidak
tertanggulangi

90-81

Gejala minimal, fungsi baik, cukup puas, tidak lebih dari masalah harian
biasa

80-71

Gejala sementara dan dapat diatasi, disabilitas ringan dalam sosial

70-61

Beberapa gejala ringan dan menetap, disabilitas ringan dalam fungsi,


secara umum baik

60-51

Gejala dan disabilitas sedang

50-41

Gejala dan disabilitas berat

40-31

Beberapa disabilitas dalam hubungan dengan realita dan komunikasi,


disabilitas berat dalam beberapa fungsi

30-21

Disabilitas berat dalam komunikasi dan daya nilai, tidak mampu


berfungsi dalam hampir semua bidang

20-11

Bahaya mencederai diri/orang lain, disabilitas sangat berat dalam


komunikasi dan mengurus diri

10-01

Persisten dan lebih serius

Informasi tidak adekuat

7. Sebutkan dan Jelaskan Diagnosis Diferensial dan Diagnosis Sementara?


A. Gangguan Afektif Bipolar
1. Definisi
Gangguan Bipolar dikenal juga dengan gangguan manik depresi, yaitu gangguan pada fungsi otak
yang menyebabkan perubahan yang tidak biasa pada suasana perasaan, dan proses berfikir. Disebut
Bipolar karena penyakit kejiwaan ini didominasi adanya fluktuasi periodik dua kutub, yakni kondisi
manik (bergairah tinggi yang tidak terkendali) dan depresi.
2. Etiopatofisiologi
Dahulu virus sempat dianggap sebagai penyebab penyakit ini. Serangan virus pada otak

berlangsung pada masa janin dalam kandungan atau tahun pertama sesudah kelahiran. Namun,
gangguan bipolar bermanifestasi 15-20 tahun kemudian. Telatnya manifestasi itu timbul karena diduga
pada usia 15 tahun kelenjar timus dan pineal yang memproduksi hormon yang mampu mencegah
gangguan psikiatrik sudah berkurang 50%.
Penyebab gangguan Bipolar multifaktor. Mencakup aspek bio-psikososial. Secara biologis
dikaitkan dengan faktor genetik dan gangguan neurotransmitter di otak. Secara psikososial dikaitkan
dengan pola asuh masa kana-kanak, stres yang menyakitkan, stres kehidupan yang berat dan
berkepanjangan, dan banyak lagi faktor lainnya.
Didapatkan fakta bahwa gangguan alam perasaan (mood) tipe bipolar (adanya episode manik dan
depresi) memiliki kecenderungan menurun kepada generasinya, berdasar etiologi biologik. 50% pasien
bipolar mimiliki satu orangtua dengan gangguan alam perasaan/gangguan afektif, yang tersering
unipolar (depresi saja). Jika seorang orang tua mengidap gangguan bipolar maka 27% anaknya
memiliki resiko mengidap gangguan alam perasaan. Bila kedua orangtua mengidap gangguan bipolar
maka 75% anaknya memiliki resiko mengidap gangguan alam perasaan. Keturunan pertama dari
seseorang yang menderita gangguan bipolar berisiko menderita gangguan serupa sebesar 7 kali.
Bahkan risiko pada anak kembar sangat tinggi terutama pada kembar monozigot (40-80%), sedangkan
kembar dizigot lebih rendah, yakni 10-20%.
Beberapa studi berhasil membuktikan keterkaitan antara gangguan bipolar dengan kromosom 18
dan 22, namun masih belum dapat diselidiki lokus mana dari kromosom tersebut yang benar-benar
terlibat. Beberapa diantaranya yang telah diselidiki adalah 4p16, 12q23-q24, 18 sentromer, 18q22,
18q22-q23, dan 21q22. Yang menarik dari studi kromosom ini, ternyata penderita sindrom Down
(trisomi 21) berisiko rendah menderita gangguan bipolar.
Sejak ditemukannya beberapa obat yang berhasil meringankan gejala bipolar, peneliti mulai
menduga adanya hubungan neurotransmiter dengan gangguan bipolar. Neurotransmiter tersebut adalah
dopamine, serotonin, dan noradrenalin. Gen-gen yang berhubungan dengan neurotransmiter tersebut
pun mulai diteliti seperti gen yang mengkode monoamine oksidase A (MAOA), tirosin hidroksilase,
catechol-Ometiltransferase (COMT), dan serotonin transporter (5HTT).
Penelitian terbaru menemukan gen lain yang berhubungan dengan penyakit ini yaitu gen yang
mengekspresi brain derived neurotrophic factor (BDNF). BDNF adalah neurotropin yang berperan
dalam regulasi plastisitas sinaps, neurogenesis dan perlindungan neuron otak. BDNF diduga ikut
terlibat dalam mood. Gen yang mengatur BDNF terletak pada kromosom 11p13. Terdapat 3 penelitian
yang mencari tahu hubungan antara BDNF dengan gangguan bipolar dan hasilnya positif.
Kelainan pada otak juga dianggap dapat menjadi penyebab penyakit ini. Terdapat perbedaan
gambaran otak antara kelompok sehat dengan penderita bipolar. Melalui pencitraan magnetic

resonance imaging (MRI) dan positron-emission tomography (PET), didapatkan jumlah substansia
nigra dan aliran darah yang berkurang pada korteks prefrontal subgenual. Tak hanya itu, Blumberg dkk
dalam Arch Gen Psychiatry 2003 pun menemukan volume yang kecil pada amygdala dan hipokampus.
Korteks prefrontal, amygdala dan hipokampus merupakan bagian dari otak yang terlibat dalam respon
emosi (mood dan afek).
Penelitian lain menunjukkan ekspresi oligodendrosit-myelin berkurang pada otak penderita
bipolar. Seperti diketahui, oligodendrosit menghasilkan membran myelin yang membungkus akson
sehingga mampu mempercepat hantaran konduksi antar saraf. Bila jumlah oligodendrosit berkurang,
maka dapat dipastikan komunikasi antar saraf tidak berjalan lancar.
3. Epidemiologi
Dapat dikatakan insiden gangguan bipolar tidak tinggi, berkisar antara 0,3-1,5%. Namun, angka
itu belum termasuk yang misdiagnosis. Risiko kematian terus membayangi penderita bipolar. Biasanya
kematian itu dikarenakan mereka mengambil jalan pintas yaitu bunuh diri. Risiko bunuh diri
meningkat pada penderita bipolar yang tidak diterapi yaitu 5,5 per 1000 pasien. Sementara yang
diterapi hanya 1,3 per 1000 pasien. Gangguan pada lelaki dan perempuan sama, umumnya timbul di
usia remaja atau dewasa. Hal ini paling sering dimulai sewaktu seseorang baru menginjak dewasa,
tetapi kasus-kasus gangguan bipolar telah didiagnosis pada remaja dan bahkan anak-anak.
4. Gambaran Klinis
Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual (DSM) IV, gangguan bipolar dibedakan menjadi
2 yaitu gangguan bipolar I dan II. Perbedaannya adalah pada gangguan bipolar I memiliki episode
manik sedangkan pada gangguan bipolar II mempunyai episode hipomanik. Beberapa ahli
menambahkan adanya bipolar III dan bipolar IV namun sementara ini yang 2 terakhir belum
dijelaskan.
Gangguan bipolar I dibagi lagi menjadi beberapa bagian menurut perjalanan longitudinal
gangguannya. Namun hal yang pokok adalah paling tidak terdapat 1 episode manik di sana. Walaupun
hanya terdapat 1 episode manik tanpa episode depresi lengkap maka tetap dikatakan gangguan bipolar
I. Adapun episode-episode yang lain dapat berupa episode depresi lengkap maupun episode campuran,
dan episode tersebut bisa mendahului ataupun didahului oleh episode manik.
Gangguan bipolar II mempunyai ciri adanya episode hipomanik. Gangguan bipolar II dibagi
menjadi 2 yaitu tipe hipomanik, bila sebelumnya didahului oleh episode depresi mayor dan disebut
tipe depresi bila sebelum episode depresi tersebut didahului oleh episode hipomanik.
Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III, gangguan ini
bersifat episode berulang yang menunjukkan suasana perasaan pasien dan tingkat aktivitasnya jelas
terganggu, dan gangguan ini pada waktu tertentu terdiri dari peninggian suasana perasaan serta

peningkatan energi dan aktivitas (mania atau hipomania), dan pada waktu lain berupa penurunan
suasana perasaan serta pengurangan energi dan aktivitas (depresi). Yang khas adalah terdapat
penyembuhan sempurna antar episode. Episode manik biasanya mulai dengan tiba-tiba dan
berlangsung antara 2 minggu sampai 4-5 bulan, sedangkan depresi cenderung berlangsung lebih lama.
Episode pertama bisa timbul pada setiap usia dari masa kanak-kanak sampai tua. Kebanyakan
kasus terjadi pada dewasa muda berusia 20-30 tahun. Semakin dini seseorang menderita bipolar maka
risiko penyakit akan lebih berat, kronik bahkan refrakter.
Episode manik dibagi menjadi 3 menurut derajat keparahannya yaitu hipomanik, manik tanpa
gejala psikotik, dan manik dengan gejala psikotik. Hipomanik dapat diidentikkan dengan seorang
perempuan yang sedang dalam masa ovulasi (estrus) atau seorang laki-laki yang dimabuk cinta.
Perasaan senang, sangat bersemangat untuk beraktivitas, dan dorongan seksual yang meningkat adalah
beberapa contoh gejala hipomanik. Derajat hipomanik lebih ringan daripada manik karena gejalagejala
tersebut tidak mengakibatkan disfungsi sosial.
Pada manik, gejala-gejalanya sudah cukup berat hingga mengacaukan hampir seluruh pekerjaan
dan aktivitas sosial. Harga diri membumbung tinggi dan terlalu optimis. Perasaan mudah tersinggung
dan curiga lebih banyak daripada elasi.
Tanda manik lainnya dapat berupa hiperaktifitas motorik berupa kerja yang tak kenal lelah
melebihi batas wajar dan cenderung non-produktif, euphoria hingga logorrhea (banyak berbicara, dari
yang isi bicara wajar hingga menceracau dengan 'word salad'), dan biasanya disertai dengan waham
kebesaran, waham kebesaran ini bisa sistematik dalam artian berperilaku sesuai wahamnya, atau tidak
sistematik, berperilaku tidak sesuai dengan wahamnya. Bila gejala tersebut sudah berkembang menjadi
waham maka diagnosis mania dengan gejala psikotik perlu ditegakkan.
5. Diagnosis Dan Klasifikasi
Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual (DSM) IV, gangguan bipolar dibedakan menjadi
2 yaitu gangguan bipolar I dan II. Gangguan bipolar I atau tipe klasik ditandai dengan adanya 2
episode yaitu manik dan depresi, sedangkan gangguan bipolar II ditandai dengan hipomanik dan
depresi. PPDGJ III membaginya dalam klasifikasi yang berbeda yaitu menurut episode kini yang
dialami penderita.
Pembagian Gangguan Afektif Bipolar Berdasarkan PPDGJ II (F31)
- F31.0 Gangguan afektif bipolar, episode kini hipomanik
- F31.1 Gangguan afektif bipolar, episode kini manik tanpa gejala psikotik
- F31.2 Gangguan afektif bipolar, episode kini manik dengan gejala psikotik
- F31.3 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif ringan atau sedang
- F31.4 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif berat tanpa gejala psikotik

- F31.5 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif berat dengan gejalapsikotik
- F31.6 Gangguan afektif bipolar, episode kini campuran
- F31.7 Gangguan afektif bipolar, kini dalam remisi
- F31.8 Gangguan afektif bipolar lainnya
- F31.9 Gangguan afektif bipolar yang tidak tergolongkan
6. Komorbid
Sebagian besar penderita bipolar tidak hanya menderita bipolar saja tetapi juga menderita
gangguan jiwa yang lain (komorbid). Penelitian oleh Goldstein BI dkk,seperti dilansir dari Am J
Psychiatry 2006, menyebutkan bahwa dari 84 penderita bipolar berusia diatas 65 tahun ternyata
sebanyak 38,1% terlibat dalam penyalahgunaan alkohol, 15,5% distimia, 20,5% gangguan cemas
menyeluruh, dan 19% gangguan panik. Sementara itu, attention deficit hyperactivity disorder (ADHD)
menjadi komorbid yang paling sering didapatkan pada 90% anak-anak dan 30% remaja yang bipolar.
7. Penatalaksanaan
A. Farmakoterapi

Obat

Dosis

Monitoring

Efek samping

Lithium

Dosis tunggal

Kadar lithiumdalam serum Tremor, poliuria,polidipsi,

800mg,malam hari.

harusdipantau setiap 3-

Peningkatan beratbadan,

Dosis

6bulan, sedangkantes

gangguankognitif,

direndahkanpadapasien

fungsi ginjaldan

gangguansaluran

diatas 65 tahundan

tiroiddiperiksa setiap

cerna,rambut

yangmempunyaigangguan 12bulan

rontok,leukositosis,jerawat

ginjal.

, dan edema

Valproate

Rawat inap:

Tes fungsi hati

Nyeri pada salurancerna,

(divalproate semisodium)

dosisinisial20-30

Pada 6 bulan pertama

peningkatanringan enzim

mg/kg/hari.

hati,tremor, dan sedasi

Rawat jalan:
dosisinisial500 mg, titrasi
250-500mg/hari.
Dosis maksimum 60
Mg/kg/hari.
Karbamazepin

Dosis inisial 400 mg.Dosis Darah rutin, dantes fungsi Lelah, mual,diplopia,
maintenance200-1600

hatidilakukan pada 2bulan pandangankabur, dan

mg/hari

pertama

ataxia

Lamotrigine

Dosis inisial

Rashkulit,hipersensitifitas,

25mg/haripada 2minggu

sindrom StevenJohnson,

pertama,lalu 50 mg pada

toksikepidermal nekrolisis

minggukedua dan
ketiga.Dosis
diturunkansetengahnya
bilapasienjuga
mendapatvalproate
Selain itu pengobatan dengan antidepresan, terutama yang mengandung agenserotonergik seperti
sertraline (zoloft 50 mg/hari). Beberapa pasien memberikan respon yang cukup bagus dengan
pemberian obat psikostimulan dalam dosis kecil seperti amfetamin 5-15 mg/ hari. Dalam semua kasus
harus ada kombinasi kedua hal tadi.
Gangguan bipolar harus diobati secara kontinu, tidak boleh putus. Bila putus, fase normal akan
memendek sehingga kekambuhan semakin sering. Adanya fase normal pada gangguan bipolar sering
mengakibatkan buruknya compliance untuk berobat karena dikira sudah sembuh. Oleh karena itu,
edukasi sangat penting agar penderita dapat ditangani lebih dini.
8. Psikoterapi
Sedikit data yang menguatkan keunggulan salah satu pendekatan psikoterapi dibandingkan yang
lain dalam terapi gangguan mood masa anak-anak dan remaja. Tetapi, terapi keluarga diperlukan
untuk mengajarkan keluarga tentang gangguan mood serius yang dapat terjadi pada anak-anak saat
terjadinya stres keluarga yang berat. Pendekatan psikoterapetik bagi anak terdepresi adalah pendekatan
kognitif dan pendekatan yang lebih terarah dan lebih terstruktur dibandingkan yang biasanya
digunakan pada orang dewasa. Karena fungsi psikososial anak yang terdepresi mungkin tetap
terganggu untuk periode yang lama, walaupun setelah episode depresif telah menghilang, intervensi
keterampilan sosial jangka panjang adalah diperlukan. Pada beberapa program terapi, modeling dan
permainan peran dapat membantu menegakkan keterampilan memecahkan masalah yang baik.
Psikoterapi adalah pilihan utama dalam pengobatan depresi.
9. Prognosis
Pasien dengan gangguan bipolar I mempunyai prognosis lebih buruk. Di dalam 2 tahun pertama
setelah peristiwa awal, 40-50% tentang pasien mengalami serangan manik lain.
Hanya 50-60% pasien dengan gangguan bipolar I yang dapat diatasi gejalanya dengan lithium. 7%
pasien ini, gejala tidak terulang. 45% Persen pasien mengalami lebih dari sekali kekambuhan dan lebih
dari 40% mempunyai suatu gejala yang menetap.

Faktor yang memperburuk prognosis :


- Riwayat pekerjaan yang buruk/kemiskinan
- Disertai dengan penyalahgunaan alkohol
- Disertai dengan gejala psikotik
- Gejala depresi lebih menonjol
- Jenis kelamin laki-laki
Prognosis lebih baik bila :
- Masih dalam episode manik
- Usia lanjut
- Sedikit pemikiran bunuh diri
- Tanpa atau minimal gejala psikotik
- Sedikit masalah kesehatan medis

B. Skizofrenia Paranoid
1. Definisi
Skizofrenia paranoid adalah salah satu tipe skizofrenia di mana penderitanya mengalami
delusi bahwa orang lain sedang bersekongkol melawan dirinya atau anggota keluarganya.
Paranoid juga merupakan jenis skizofrenia dengan jumlah kasus kejadian paling banyak.
Kebanyakan penderita skizofrenia paranoid mengalami halusinasi suara, di mana mereka
mendengar suara-suara yang tidak nyata. Umumnya, mereka juga mengalami delusi bahwa
diri mereka lebih hebat, lebih kuat, serta punya pengaruh besar daripada kenyataannya.
Penderita skizofrenia paranoid akan menghabiskan banyak waktunya untuk memikirkan cara
melindungi diri dari musuh-musuh khayalan mereka. Dengan penanganan yang benar serta
dukungan dari orang terdekat, biasanya pengidap kondisi ini punya kemungkinan sembuh
yang besar.
2. Gejala Skizofrenia Paranoid
Gejala-gejala utama yang dirasakan oleh penderita skizofrenia paranoid adalah:

Halusinasi suara.

Merasa cemas, curiga, berhati-hati, dan suka menyendiri.

Gangguan persepsi.

Merasa dirinya lebih hebat dari kenyataan (delusi kebesaran).

Delusi paranoid yang rutin dan stabil.

Mengalami perasaan cemburu tidak realistis (delusi cemburu).


Selain gejala-gejala utama, penderita skizofrenia paranoid juga mengalami beberapa gejala
ringan yaitu:

Suasana hati yang tidak stabil (tapi gejalanya disini lebih ringan dibanding pada
skizofrenia jenis lain).

Terobsesi dengan kematian, sekarat, atau kekerasan.

Merasa terperangkap atau putus asa.

Mengucapkan salam perpisahan yang tidak biasa.

Mendata orang-orang terdekat untuk membagikan barang-barang pribadi.

Meningkatnya konsumsi minuman keras atau obat-obatan.

Berubahnya pola tidur dan makan.

3. Penyebab dan Faktor Risiko Skizofrenia Paranoid


Sampai saat ini belum ditemukan penyebab pasti dari skizofrenia paranoid. Namun, beberapa
penelitian memperlihatkan bahwa kebanyakan jenis skizofrenia disebabkan oleh disfungsi
otak.
Dua faktor yang menyebabkan disfungsi otak tersebut adalah faktor keturunan dan
lingkungan. Sedangkan pemicu utama munculnya skizofrenia sendiri adalah stres dan trauma.
Selain faktor keturunan, ada beberapa hal yang menyebabkan seseorang berisiko terkena
skizofrenia paranoid, yaitu:

Penyalahgunaan obat-obatan.

Infeksi virus dan malnutrisi, yang terjadi pada janin.

Usia saat mengandung. Orang tua yang mengandung ketika sudah berusia lanjut punya
risiko lebih tinggi untuk melahirkan anak dengan skizofrenia.

Stres pada usia muda, bisa menjadi faktor pendukung munculnya skizofrenia.

Kekerasan atau trauma saat masih anak-anak.

4. Diagnosis Skizofrenia Paranoid


Diagnosis merupakan langkah dokter untuk mengidentifikasi penyakit atau kondisi yang
menjelaskan gejala dan tanda-tanda yang dialami oleh pasien. Untuk mendiagnosis

skizofrenia paranoid, dokter akan menjalankan beberapa pemeriksaan seperti:

Pemeriksaan fisik dan tesdarah (terutama untuk membuktikan adanya gangguan tiroid,
kadar alkohol, dan obat-obatan).

Tespencitraan, termasuk MRI dan CT scan untuk memeriksa apakah terdapat luka di otak
atau ketidaknormalan pada struktur otak.

Uji EEG (elektroensefalografi), untuk menguji fungsi otak penderita.

Evaluasi psikologis. Psikiater akan bertanya pada penderita tentang pikiran, perasaan,
serta perilaku penderita.

Pengambilan sampel neuron dari hidung penderita. Molekul mikro RNA yang ada di
dalam neuron akan diuji di laboratorium.

5. Pengobatan dan Komplikasi Skizofrenia Paranoid


Penderita membutuhkan penanganan rutin dan terus menerus, sebab skizofrenia paranoid
merupakan penyakit mental kronis. Beberapa jenis penanganan untuk penderita skizofrenia
paranoid adalah:

Pemberian obat-obatan. Jenis yang diberikan umumnya adalah obat antipsikotik atipikal,
antipsikotik tipikal, antidepresan, anti cemas, atau penstabil mood.

Perawatan di Rumah Sakit Jiwa. Jika gejala semakin parah, maka penderita harus ditangani di
Rumah Sakit Jiwa agar kebutuhan nutrisi serta istirahat bisa dipantau dan dipenuhi.

Terapi elektrokonvulsif (ECT). Penanganan ini digunakan bagi penderita yang mengalami
gejala depresi parah dan penderita yang punya risiko tinggi bunuh diri.

Pelatihan keterampilan dan bersosialisasi. Penderita akan dilatih untuk hidup higienis,
mengonsumsi makanan bernutrisi, dan memiliki komunikasi yang lebih baik.

6. Komplikasi
Bisa terjadi jika skizofrenia paranoid tidak ditangani. Beberapa komplikasi yang bisa
disebabkan oleh skizofrenia paranoid adalah:

Depresi.

Masalah kebersihan.

Penyalahgunaan zat.

Malnutrisi.

Dorongan pikiran dan perilaku bunuh diri.

Penyakit yang disebabkan merokok.


Dalam kehidupan sosialnya, penderita skizofrenia paranoid juga berisiko menjadi
pengangguran, tuna wisma, pelaku kriminal, menjadi korban kriminalitas serta
ketidakmampuan untuk belajar.

C. Delirium
A. Definisi
Delirium adalah diagnosis klinis, gangguan otak difus yang dikarasteristikkan dengan variasi
kognitif dan gangguan tingkah laku. Delirium ditandai oleh gangguan kesadaran, biasanya
terlihat bersamaan dengan fungsi gangguan kognitif secara global. Kelainan mood, persepsi
dan perilaku adalah gejala psikiatrik yang umum; tremor, asteriksis, nistagmus, inkoordinasi
dan inkontinensia urin merupakan gejala neurologis yang umum.
Biasanya

delirium mempunyai onset yang mendadak (beberapa jam atau hari),

perjalanan yang singkat dan berfluktuasi dan perbaikan yang cepat jika faktor penyebab
diidentifikasi dan dihilangkan. Tetapi masing-masing ciri karakteristik tersebut dapat
bervariasi pada pasien individual. Delirium dapat terjadi pada berbagai tingkat usia namun
tersering pada usia diatas 60 tahun. Menggigau merupakan gejala sementara dan dapat
berfluktuasi intensitasnya, kebanyakan kasus dapat sembuh dalam waktu 4 minggu atau
kurang. Akan tetapi jika delirium dengan fluktuasi yang menetap lebih dari 6 bulan sangat
jarang dan dapat menjadi progresif kearah dementia.
B. Epidemiologi
Delirium merupakan kelainan yang sering pada :
-

sekitar 10 sampai 15 persen adalah pasien bedah dan 15 sampai 25 persen


Pasien perawatan medis di rumah sakit. Sekitar 30 persen pasien dirawat di ICU bedah
dan ICU jantung. 40 sampai 50 pasien yang dalam masa penyembuhan dari tindakan
bedah pinggul memiliki episode delirium.

Penyebab dari pasca operasi delirium termasuk stress dari pembedahan, sakit pasca
operasi, pengobatan anti nyeri, ketidakseimbangan elektrolit, infeksi, demam, dan
kehilangan darah.

Sekitar 20% pasien dengan luka bakar berat dan 30-40 % pasien dengan sindrom
imunodefisiensi didapat (AIDS)

Usia lanjut merupakan faktor resiko dari terjadinya delirium, sekitar 30 40 persen dari
pasien yang dirawat berusia 65 tahun dan memiliki episode delirium

C. Etiologi
Penyebab utama delirium :
1. Penyakit pada CNS encephalitis, space occupying lesions, tekanan tinggi intrakranial
setelah episode epilepsi.
2. Demam - penyakit sistemik
3. Intoksikasi dari obat-obatan atau zat toksik
4. Withdrawal alkohol
5. Kegagalan metabolik kardiak, respiratori, renal, hepatik, hipoglikemia
Faktor predisposisi.

Demensia

Obat-obatan multipel

Umur lanjut

Kecelakaan otak seperti stroke, penyakit Parkinson

Gangguan penglihatan dan pendengaran

Ketidakmampuan fungsional

Hidup dalam institusi

Ketergantungan alkohol

Isolasi sosial

Kondisi ko-morbid multipel

Depresi

Riwayat delirium post-operative sebelumnya

Faktor pencetus (presipitasi).


Penyakit akut berat (termasuk, tetapi tak terbatas kondisi di bawah ini)
-

Infeksi, dll 10-35%

Intoksikasi obat/racun 22-39%

Withdrawal benzodiazepin

Withdrawal alkohol defisiensi thiamin

Ensefalopati metabolik (25%)

Asam basa dan gangguan elektrolit

Hipoglikemia

Hipoksia atau hiperkapnia

Gagal hepar/ginjal

Polifarmasi

Bedah dan anestesi

Nyeri post op yang tak dikontrol baik

Neurologis 8% (anoksia, stroke, epilepsi, dll)

Perubahan dari lingkungan keluarga

'Sleep deprivation'

Albumin serum rendah

Demam/hipothermia

Hipotensi perioperati

Pengekangan fisik

Pemekaian kateter terus menerus

Kardiovaskular 3%

Tak ditemukan penyebab 10%

Medikasi terkait delirium :


Beberapa jenis obat-obatan, baik yang resmi dan terlarang dapat menyebabkan delirium, antara
lain :
1.

Sedatif hipnotik
1.1. Benzodiazepin
1.2. Kloralhidrat, barbiturat
1.3. Anti kolinergik
1.4. Benztropin, oksibutirin
2. Antihistamin mis difenhidramin
3. Antispasmodik misal : belladona, propanthelin
4. Fenothiazin misal: thioridazin
5. Antidepresan trisklik
6. Antiparkinson misal levodopa, amantadin, pergolid, bromokriptin
7. Analgetik misal opiat (khususnya pethidin), jarang : NSAID,aspirin
8. Obat anestesi

9. Antipsikotik, khususnya beefek antikolinergik, misal klozapin


10. Steroid : dapat tergantung dosis
11. Antagonis histamin- 2, khususnya simetidin, tetapi juga golongan ranitidin.
12. Antibiotik:aminoglikosid, penicillin, sefalosporin, sulfonamid dan beberapa
flurokuinolon seperti siprofloksasin.
13. Obat

kardiovaskuler

dan

antihipertensi,

kinin,digoxin

(padakadar

valproat,

pirimidin,

normal),amiodaron, propanolol, methiodopa


14. Antikonvulsan

fenitoin,

karbamazepin,

klonazzepam,klobazam.
15. Lain-lain : lithium, flunoksilin, metoclopramid,imunosupresan.
D. Patofisiologi
Tanda dan gejala delirium merupakan manifestasi dari gangguan neuronal, biasanya
melibatkan area di korteks serebri dan reticular activating sistem. Dua mekanisme yang
terlibat langsung dalam terjadinya delirium adalah pelepasan neurotransmiter yang berlebihan
(kolinergik muskarinik dan dopamin) serta jalannya impuls yang abnormal. Aktivitas yang
berlebih dari neuron kolinergik muskarinik pada reticular activating sistem, korteks, dan
hipokampus berperan pada gangguan fungsi kognisi (disorientasi, berpikir konkrit, dan
inattention) dalam delirium. Peningkatan pelepasan dopamin serta pengambilan kembali
dopamin yang berkurang misalnya pada peningkatan stress metabolik. Adanya peningkatan
dopamin yang abnormal ini dapat bersifat neurotoksik melalui produksi oksiradikal dan
pelepasan glutamat, suatu neurotransmiter eksitasi. Adanya gangguan neurotransmiter ini
menyebabkan hiperpolarisasi membran yang akan menyebabkan penyebaran depresi
membran.
Berdasarkan tingkat kesadarannya, delirium dapat dibagi tiga:
1.

Delirium hiperaktif

Ditemukan pada pasien dalam keadaan penghentian alkohol yang tiba-tiba, intoksikasi
Phencyclidine (PCP), amfetamin, dan asam lisergic dietilamid (LSD)
2.

Delirium hipoaktif

Ditemukan pada pasien Hepatic Encefalopathy dan hiperkapnia


3.

Delirium campuran

Mekanisme delirium belum sepenuhnya dimengerti. Delirium dapat disebabkan oleh

gangguan struktural dan fisiologis. Hipotesis utama adalah adanya gangguan yang irreversibel
terhadap metabolisme oksidatif otak dan adanya kelainan multipel neurotransmiter.
Asetilkolin
Obat-obat anti kolinergik diketahui sebagai penyebab keadaan acute confusional states dan
pada pasien dengan gangguan transmisi kolinergik seperti pada penyakit Alzheimer. Pada
pasien dengan post-operative delirium, aktivitas serum anticholonergic meningkat.
Dopamin
Diotak terdapat hubungan reciprocal antara aktivitas kolinergic dan dopaminergic. Pada
delirium, terjadi peningkatan aktivitas dopaminergic
Neurotransmitter lain
Serotonin: ditemukan peningkatan serotonin pada pasien hepatic encephalopathy dan sepsis
delirium. Agen serotoninergic seperti LSD dapat pula menyebabkan delirium. Cortisol dan
beta-endorphins: pada delirium yang disebabkan glukokortikoid eksogen terjadi gangguan
pada ritme circadian dan beta-endorphin.
Mekanisme inflamasi
Mekanisme inflamasi turut berperan pada patofisiologi delirium, yaitu karena keterlibatan
sitokoin seperti intereukin-1 dan interleukin-6, Stress psychososial dan angguan tisur berperan
dalam onset delirium
Mekanisme struktural
Formatio retikularis batang otak adalah daerah utama yang mengatur perhatian kesadaran dan
jalur utama yang berperan dalam delirium adalah jalur tegmental dorsalis yang keluar dari
formatio reticularis mesencephalic ke tegmentum dan thalamus. Adanya gangguan metabolik
(hepatic encephalopathy) dan gangguan struktural (stroke, trauma kepala) yang mengganggu
jalur anatomis tersebut dapat menyebabkan delirium.
E. Diagnosis
Kriteria diagnostic delirium berdasar DSM IV :
Untuk Delirium karena kondisi medis umum:
1. Gangguan kesadaran disertai berkurangnya kemampuan untuk memusatkan perhatian,
mempertahankan perhatian, atau perubahan atensi.
2. Perubahan kognisi atau gangguan persepsi, yang tidak terkait demensia.
3. Gangguan yang berkembang dalam periode yang pendek (jam ke hari), dan berfluktuasi

sepanjang hari.
4. Adanya bukti-bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau temuan laboratorium bahwa
gangguan disebabkan oleh pengobatan umum, atau obat-obatan, atau gejala putus obat.
Untuk Delirium Intoksikasi Zat:
1.

Gangguan kesadaran disertai berkurangnya kemampuan untuk memusatkan perhatian,


mempertahankan perhatian, atau perubahan atensi.

2.

Perubahan kognisi atau gangguan persepsi, yang tidak terkait demensia.

3.

Gangguan yang berkembang dalam periode yang pendek (jam ke hari), dan berfluktuasi
sepanjang hari.

4.

Adanya bukti-bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau temuan laboratorium
(A) atau (B).

A.

Gejala dalam kriteria 1 dan 2 berkembang selama intoksikasi zat

B.

Pemakaian medikasi secara etiologi berhubungan dengan gangguan.


Untuk Delirium Putus Zat :

1.

Gangguan kesadaran disertai berkurangnya kemampuan untuk memusatkan perhatian,


mempertahankan perhatian, atau perubahan atensi.

2.

Perubahan kognisi atau gangguan persepsi, yang tidak terkait demensia.

3.

Gangguan yang berkembang dalam periode yang pendek (jam ke hari), dan berfluktuasi
sepanjang hari.

4.

Adanya bukti-bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau temuan laboratorium
bahwa gejala dalam kriteria (1) dan (2) berkembang selama , atau segera setelah suatu
sindroma putus
Untuk Delirium Karena Penyebab Multiple:

1.

Gangguan kesadaran disertai berkurangnya kemampuan untuk memusatkan perhatian,


mempertahankan perhatian, atau perubahan atensi.

2.

Perubahan kognisi atau gangguan persepsi, yang tidak terkait demensia.

3.

Gangguan yang berkembang dalam periode yang pendek (jam ke hari), dan berfluktuasi
sepanjang hari.

4.

Adanya bukti-bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau temuan laboratorium
bahwa delirium telah memiliki lebih dari satu penyebab (misalnya lebih dari satu penyebab
kondisi medis umum, suatu kondisi medis umum ditambah intoksikasi zat atau efek samping

medikasi).
Untuk Delirium Yang Tidak Ditentukan:
Kategori ini harus digunakan untuk mendiagnosis suatu delirium yang tidak memenuhi
kriteria salah satu tipe delirium yang dijelaskan pada bagian ini.
G. Gejala Klinis Dari Delirium :
Gangguan kesadaran

Disorientasi

Konsentrasi kurang
Tingkah laku

Hiperaktif

Hipoaktif
Pikiran

Bizarre

Ideas of reference

Waham
Mood

Cemas, Irritable

Depresi
Persepsi

Illusi

Hallusinasi (visual)
Memori

Terganggu
*Fluctuating course, worse in the evening
Gambaran kunci dari delirium adalah suatu gangguan kesadaran, yang dalam DSM IV
digambarkan sebagai penurunan kejernihan kesadaran terhadap lingkungan dengan penurunan
kemampuan untuk memusatkan, mempertahankan atau mengalihkan perhatian. Keadaan
delirium mungkin didahului selama beberapa hari oleh perkembangan kecemasan, mengantuk,
insomnia, halusinasi transient, mimpi menakutkan di malam hari, kegelisahan.
1. Kesadaran (arousal)

Dua pola umum kelainan kesadaran telah ditemukan pada pasien dengan delirium. Satu
pola ditandai oleh hiperaktivitas yang berhubungan dengan peningkatan dari kesiagaan.
Pasien dengan delirium yang berhubungan dengan pemusatan zat seringkali mempunyai
delirium hiperaktif yang juga dapat disertai dengann tanda otonomik, seperti kulit kemerahan,
pucat, berkeringat, takikardi, pupil berdilatasi, mual-muntah dan hipertermi. Pasien dengan
gejala hipoaktif kadang-kadang diklasifikasikan sebagai sedang depresi, katatonik atau
mengalami depresi.
2. Orientasi
Orientasi terhadap waktu, tempat dan orang harus di uji pada pasien dengan delirium.
Orientasi terhadap waktu seringkali hilang, bahkan pada kasus deliriun yang ringan orientasi
terhadap tempat dan kemampuan untuk mengenali orang lain mungkin juga terganggu pada
kasus yang berat.
3. Bahasa dan Kognisi
Kelainan dapat berupa bicara yang melantur, tidak relevan atau membingungkan
(inkoheren) dan gangguan kemampuan untuk mengerti pembicaraan. Fungsi kognitif lainnya
yang mungkin terganggu pada pasien delirium adalah fungsi ingatan dan kognitif umum.
Kemampuan untuk menyusu, mempertahankan dan mengingat kenangan munkin terganggu,
walaupun ingatan kenangan yang jauh mungkin dipertahankan. Pasien delirium juga
mempunyai waham yang tidak sistematis, kadang-kadang paranoid.
4.Persepsi
Pasien dengan delirium seringkali mempunyai ketidakmampuan umum untuk
membedakan stimulus sensorik dan untuk mengintegrasikan persepsi sekarang dengan
pengalaman masa lalu mereka. Halusinasi juga relatif sering pada pasien delirium. Halusinasi
paling sering adalah visual atau auditorik, walaupun halusinasi dapat taktil atau olfaktorius.
Ilusi visual dan auditoris juga sering pada delirium.
5. Mood
Gejala yang paling sering adalah kemarahan, kegusaran dan rasa takut yang tidak
beralasan. Kelainan mood lain yang sering adalah apati, depresi, dan euforia.
6. Gejala penyerta
A. Gangguan tidur bangun
Tidur pasien secara karakteristik terganggu. Pasien seringkali mengantuk selama siang

hari dan dapat ditemukan tidur sekejap ditempat tidurnya atau diruang keluarga. Tetapi tidur
pada pasien delirium hampir selalu singkat dan terputus-putus. Pasien seringkali mengalami
eksaserbasi gejala delirium tepat sebelum tidur, dikenal sebagai sundowning. Kadang-kadang
mimpi menakutkan di malam hari dan mimpi yang mengganggu pasien terus berlangsung ke
keadaan terjaga sebagai pengalaman halusinasi.
B. Gejala neurologis
Gejala neurologis yang sering menyertai berupa disfagia, tremor, asteriksis, inkordinasi
dan inkontinensia urin. Tanda neurologis fokal juga ditemukan sebagai bagian pola gejala
pasien dengan delirium.
H. Management Pengobatan
Pengobatan secara langsung baik identifikasi dari underlying physical cause maupun menilai
pengobatan dari anxietas, distress, dan problem prilaku.
-

Pasien perlu penentraman hati, dan reorientasi untuk mengurangi anxietas, cara ini perlu
dilakukan dengan sering.

Keluarga pasien perlu diberitahukan dan diterangkan secara jelas mengenai penyakit
pasien agar mengurangi kecemasannya sehingga keluarga pasien dapat menolong pasien
dalam perawat menjadi lebih tentram.

Pada perawatan di rumah sakit pasien sebaiknya dirawat di ruangan yang tenang juga
cukup cahaya agar pasien dapat tahu dimana dia berada namun dengan penerangan dimana
tidak mengganggu tidur pasien.

Keluarga maupun teman perlu menemani dan menjenguk pasien.

Penting untuk memberi sedapat mungkin sejak terjadi perburukan dari delirium.

Dosis yang kecil dari benzodiazepin atau obat hypnotic lain sangat berguna untuk
membut pasien tidur saat malam. Benzodiazepin harus dihindari saat siang dimana efek
sedasinya dapat meningkatkan disorientasi.

Ketika pasien dalam keadaan yang menderita dan gangguan prilaku, monitor pengobatan
antipsikotik secara hati-hati dapat sangat berharga. Ikuti dengan dosis inisial yng cukup untuk
mengobati situasi akut, dosis obat oral secara reguler dapat diberikan secara adekuat agar
pasien tidak mengantuk berlebihan. Haloperidal dapat diberikan dimana dosis harian 1060mg. Jika perlu dosis pertama antara 2-5mg dapat diberikan intramuskular.
Pengobatan Farmakologis Delirium :

Dua gejala utama dari delirium yang mungkin memerlukan pengobatan farmakologis adalah
psikosis dan insomnia. Obat yang terpilih untuk psikosis adalah Haloperidol. Droperidol
(Inapsine) adalah suatu butyrophenone yang tersedia sebagai suatu formula intravena
alternative , walaupun monitoring elektrokardiogram adalah sangat penting pada pengobatan
ini. Golongan phenothiazine harus dihindari pada pasien delirium

karena obat tersebut

disertai dengan aktifitas antikolinergik yang bermakna.Insomnia paling baik diobati dengan
golongan benzodiazepine dengan waktu paruh pendek atau dengan hydroxyzine (Vistaril), 25
sampai 100mg.
1.

Pengobatan termasuk pengobatan pada penyakit yang mendasari dan identifikasi


medikasi yang mempengaruhi derajat kesadaran.

2.

Olanzapine (Zyprexa) : adalah obat neuroleptic atipikal, dengan efek


ekstrapiramidal yang ringan, efektif untuk pengobatan delirium yang disertai agitasi. Dosisnya
dimulai dengan 2,5mg, dan meningkat sampai 20 mg po jika dibutuhkan. Olanzepine dapat
menurunkan ambang kejang, namun sisanya dapat ditoleransi dengan cukup baik.

3.

Risperidone (risperidal), juga efektif dan dapat ditoleransi dengan baik, dimulai
dengan 0,5 mg dua kali sehari atau 1mg sebelum waktu tidur, meningkat sampai 3 mg 2 kali
sehari jika dibutuhkan.

4.

Haloperidol (haldol), dpat digunakan dengan dosis yang rendah (0.5 mg sampai
dengan 2 mg 2 kali sehari), jika dibutuhkan secara intravena. Efek samping ekstra pyramidal
dapat terjadi, dapat ditambahkan sedative, misalnya lorazepam diawali 0,5 mg sampai 1 mg
setiap 3 sampai 8 jam jika dibutuhkan.

I. Prognosis
Setelah identifikasi dan menghilangkan faktor penyebab, gejala delirium biasanya
menghilang dalam periode 3-7 hari, walaupun beberapa gejala mungkin membutuhkan waktu
sampai 2 minggu untuk menghilang secara lengkap. Semakin lanjut usia pasien dan semakin
lama pasien mengalami delirium semakin lama waktu yang diperlukan bagi delirium untuk
menghilang. Ingatan tentang apa yang dialami selama delirium, jika delirium telah berlalu,
biasanya hilang timbul, dan pasien mungkin menganggapnya sebagai mimpi buruk, sebagai
pengalaman yang mengerikan yang hanya diingat secara samar-samar.

8. Jelaskan Diagnosis pada pasien ini masuk dalam golongan apa?


Pasien pada skenario ini didiagnosis sebagai gangguan afektif bipolar. Berdasarkan
struktur klasifikasi PPDGJ III Gangguan afektif bipolar ini termasuk dalam pembagian
atau golongan gangguan mental psikotik.
TABEL KLASIFIKASI GANGGUAN MENTAL PSIKOTIK BERDASARKAN PPDGJ
III
GANGGUAN MENTAL PSIKOTIK
Skizofrenia dan gangguan yang terkait

Gangguan afektif

F2 skizofrenia,gangguan skizotipal dan F3


gangguan waham

gangguan

suasana

perasaan

(mood[afektif])

F20, F21, F23 skizofrenia, gangguan F30, F31 episode manik, gangguan afektif
skizotipal, psikotik akut dan sementara. bipolar
F22, F24, gangguan waham menetap, F32-F39 episode depresif, gangguan depresit
gangguan waham terinduksi .
berulang, gangguan suasana perasaan
F25 gangguan skizoafektif
(mood/afektif)menetap/lainnya/YTT.
F28, F29 gangguan psikoaktif Nonorganik lainnya, atau YTT

Daftar Pustaka
1. Kaplan.H.I, Sadock. B.J, Sinopsis Psikiatri : Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis,
edisi ketujuh, jilid satu. Binarupa Aksara, Jakarta 1997. Hal 502-540.
2. Ingram.I.M, Timbury.G.C, Mowbray.R.M, Catatan Kuliah Psikiatri, Edisi keenam,
cetakan ke dua, Penerbit Buku kedokteran, Jakarta 1995. Hal 28-42.
3. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ketiga, jilid 1. Penerbit Media Aesculapsius Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2001. Hal 189-192.
4.

Israr,Y. A. 2009. Gangguan Afektif Bipolar. Riau : Fakultas Kedokteran Universitas Riau

5. Baehr, M., Frotscher M.,2010Diagnosis Topik Neurologi Duus: Anatomi, Fisiologi, Tanda,
Gejala. Ed 4. Jakarta: EGC.

6. Netter, F. 2015. Atlas anatomi manusia. Ed 5. Singapura: Elsevier.


7. Rohen, Johannes W.,dkk, 2010. Atlas Anatomi Manusia Ed. 7.Jakarta: EGC.
8. Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis edisi 7. Jakarta: Binarupa Aksara.

9. Buchanan R. W., & Carpenter W. T., Jr., Kaplan and Sadocks Comprehensive Textbook
of Phyciatry 7th edition, Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, 2000
10. Direktorat Jendral Pelayanan Medis, Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
Jiwa di Indonesia III, cetakan pertama, Jakarta : Departemen Kesehatan RI, 1993
11. Mycek M. J., Harvey R. A., Champe P. C., Lipincott Illustrated Reviews 2 nd edition,
Phildeaphia, Lippincott Williams & Wilkins,1997.
12. Michael Gelder, Richard Mayou, John Geddes., Psychiatry 2 nd edition, Oxford University,
New York, 1999.
13. Buku

Saku

Psikiatri

Edisi

6.Alih

bahasa.Martina

Wiwie.Edisi

bahasa

Indonesia.EGC.Jakarta:2003.
14. Maslim, Rusdi.2013. Buku Saku PPDGJ-III dan DSM-5. Jakarta : Bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.

Anda mungkin juga menyukai