Anda di halaman 1dari 52

Mekanisme

Ototoksik
Klorokuin karena
Stress Oksidatif
Mekanisme Ototoksik Klorokuin Karena Stress Oksidatif

Oleh:
Hellena Hildegard G 991902028
Indah Sagitaisna Putri G 991902029
Herlina Kusuma Dewi G992003068
Intan Pratiwi G 991902030
Iqbal Rafsanzani G 991902031
Syifa Adiba Sari G992003142
Thomas Gilang Andaru G992003145
Arif Nurhadi Atmoko G00181012

Pembimbing:
dr. Novi Primadewi, Sp.THT-KL(K), M.Kes
DEFINISI
Ototoksik

obat dengan potensi


menyebabkan reaksi
toksik terhadap struktur
telinga bagian dalam
(koklea, vestibulum, kanal
berbentuk setengah
lingkaran, dan otolith)
Bisht dan Bist, 2011; Katzung, 2004
kecenderungan agen theraperutic tertentu dan zat kimia lainnya untuk
menyebabkan gangguan fungsi (gangguan pendengaran, tinitus, Vertigo) dan
degenerasi sel jaringan telinga bagian dalam
Ototoksisitas

– oto = telinga, toksisitas = keracunan,


– keracunan pada telinga yang merupakan hasil dari paparan obat atau bahan
kimia yang merusak telinga bagian dalam atau saraf vestibulo-koklea.
– Karena telinga bagian dalam terlibat dalam pendengaran dan keseimbangan,
ototoksisitas dapat mengakibatkan cochleotoksisitas dan vestibulototoksisitas.

Bisht dan Bist, 2011; Katzung, 2004


Ototoksisitas

– ASHA (American Speech Languange Hearing Association)


mendefinisikan ototoksisitas sebagai berikut:1,5
– (a) penurunan ambang batas pendengaran nada murni pada
frekuensi 20db atau lebih,
– (b) penurunan pada 2 frekuensi berturut-turut 10db atau lebih,
atau
– (c) hilangnya respon pada tes 3 frekuensi yang berurutan (OAE dan
BERA).

Mudd, 2019
KLASIFIKASI
Derajat Ototoksisitas

– Menurut CTCAE (the National Cancer Institute Common Terminology Criteria for
Adverse Events)
– 1. Derajat 1 - pergeseran ambang batas atau kehilangan pendengaran pada frekuensi
15-25 dB dibandingkan nilai dasar, pada pemeriksaan 2 frekuensi yang berurutan,
setidaknya pada satu telinga.
– 2. Derajat 2 - pergeseran ambang batas atau kehilangan pendengaran pada frekuensi
>25-90 dB, pada pemeriksaan 2 frekuensi yang berurutan, setidaknya pada satu telinga
– 3. Derajat 3 - kehilangan fungsi pendengaran yang memerlukan intervensi terapeutik,
termasuk alat bantu (misalnya, tuli frekuensi > 20 dB bilateral; tuli frekuensi > 30 dB
unilateral)
– 4. Derajat 4 - indikasi untuk implan koklea

Mudd, 2019
Derajat Tuli Brock

– 1. Derajat 0 - ambang batas pendengaran < 40 dB pada semua frekuensi


– 2. Derajat 1 - ambang batas pendengaran 40 dB atau lebih pada frekuensi 8.000
Hz
– 3. Derajat 2 - ambang batas pendengaran 40 dB atau lebih pada frekuensi
4.000-8.000 Hz
– 4. Derajat 3 - ambang batas pendengaran 40 dB atau lebih pada frekuensi
2.000-8.000 Hz
– 5. Derajat 4 - ambang batas pendengaran 40 dB atau lebih pada frekuensi
1.000-8.000 Hz

Mudd, 2019
GEJALA
Gejala

• Tinitus dan vertigo, biasanya menyertai segala jenis tuli sensorineural. Pada
ototoksik tinitus cirinya kuat dan bernada tinggi, berkisar antara 4 KHz sampai 6
KHz serta biasa bilateral.
• Pada kerusakan yang menetap, tinnitus lama-lama tidak begitu kuat tetapi juga
tidak hilang
• Gejala lainnya juga terdapat gangguan keseimbangan badan, sulit memfiksasi
pandangan, ataksia (kehilangan koordinasi otot) dan oscillopsia (pandangan kabur
dengan pergerakan kepala) tanpa adanya riwayat vertigo sebelumnya

Soepardi, 2011; Soetirto, Hendarmin, Bashiruddin, 2007


Gejala

• Gejala dini gangguan pendengaran ototoksisitas akibat aminoglikosida kadang


tidak disadari oleh pasien karena hanya bermanifestasi pada frekwensi tinggi. .
• Diuretik kuat dapat menimbulkan tinnitus yang kuat dalam beberapa menit
setelah diinjeksi, tetapi pada kasus yang tidak begitu berat dapat terjadi tuli
SNHL secara progresif dengan hanya disertai tinnitus yang ringan.
• Tinnitus dan kurang pendengaran yang reversibel dapat terjadi pada
penggunaan salisilat dan kina

Soepardi, 2011; Soetirto, Hendarmin, Bashiruddin, 2007


MEKANISME
Mekanisme

Akibat penggunaan obat-obat yang bersifat ototoksik akan dapat menimbulkan terjadinya
gangguan fungsional pada telinga dalam yang disebabkan telah terjadi perubahan struktur
anatomi pada organ telinga dalam. Kerusakan yang ditimbulkan oleh preparat ototoksik
tersebut antara lain :
– Degenerasi stria vaskularis. kelainan patologi ini terjadi pada pengguna semua jenis
ototoksik
– Degenerasi sel epitel sensori. kelainan patologi ini terjadi pada organa corti dan labirin
vestibular, akibat penggunaan antibiotika aminoglikosida sel rambut luar lebih
berpengaruh dari pada sel rambut dalam, dan perubahan generative ini terjadi di mulai
dari basal koklea dan lanjut terus hingga akhienya sampai kebagian apex.
– Degenerasi sel ganglion. kelainan ini terjadi skunder akibat adanya degenerasi dari sel
epitel sensori
(Soetirto et al., 2001; Miller et al., 2010)
STRES OKSIDATIF PADA
TELINGA
Stres Oksidatif

– Ketidakseimbangan produksi oksidan (radikal bebas) dan antioksidan akan menimbulkan


keadaaan yang disebut stres oksidatif (oxidative stress)
– H2O2 dilaporkan dapat memperlambat aktivitas gerak silia, meningkatkan permeabilitas
membran dan meningkatkan sekresi mukus. Perlambatan gerak silia di tuba Eustachius
dan telinga tengah (TT) dapat menimbulkan OME. Lebih jauh, kerusakan DNA sel dan
proteinnya dapat menyebabkan kerusakan struktur silia sel, menghambat regenerasi
seluler, mengganggu sintesa enzim antioksidan dan glutation.
– Pada OMA, H2O2 juga diproduksi oleh lekosit polimorfonuklear dan streptococcus
pneumonia. Setelah pemberian antibiotik, bakteri yang mati akan merangsang reaksi
inflamasi yang mengarah pada peroksidasi lipid membran sel.

(Yilmaz, 2004; Haddad, 2008)


OBAT OBAT OTOTOKSIK
Obat – obat Ototoksik
Obat Jenis otoksisitas
Kokleotoksik Vestibulotoksik
Antibiotik
Aminoglikosida
Neomisin  (irreversibel) 
Gentamisin  (irreversibel) 
Kanamisin  (irreversibel) 
Tobramisin  (irreversibel) 
Amikasin  (irreversibel) 
Glikopeptida
Vankomisin  (irreversibel)  
Makrolid
Eritromisin  (reversibel) 
Azitromisin  (reversibel) 
Antimalaria
Kuinin  (reversibel)  
Agen kemoterapi
Cisplatin  (irreversibel) 
Carboplatin  (irreversibel) 
Oxaliptalin  (irreversibel) 
Loop diuretics
Furosemid  (reversibel)  
Torasemid  (reversibel)  
Bumetanid  (reversibel)  
Obat anti-inflamasi non steroid (OAINS)
Salisilat  (reversibel)  

(Lanvers-Kaminsky et al., 2017).


– Antibiotik aminoglikosida
Tuli yang diakibatkannya bersifat bilateral dan bernada tinggi, sesuai dengan kehilangan sel-sel rambut pada putaran basal koklea.
Dapat juga terjadi tuli unilateral dan dapat disertai gangguan vestibular (Soetirto et al., 2007).

– Eritromisin
Dapat menyebabkan tuli sensorineural nada tinggi bilateral dan tinitus setelah pemberian intravena dosis tinggi atau oral. ( Soetirto et
al., 2007).

– Obat anti inflamasi


Salisilat termasuk aspirin dapat mengakibatkan tuli sensorineural berfrekuensi tinggi dan tinnitus. Dapat menghilang bila penggunaan
obat di hentikan (Soetirto et al., 2007).

– Obat Anti Tumor


Agen kemoterapi berbasis platinum menyebabkan kerusakan pada sel rambut luar terutama di daerah basal koklea. Penggunaan
turunan platinum berhubungan dengan gangguan pendengaran yang menetap (Lanvers-Kaminsky et al., 2017).

– Obat tetes telinga


Banyak obat tetes telinga mengandung antibiotik golongan aminioglikosida seperti neomisin dan polimiksin B. Terjadinya ketulian oleh
karena obat tersebut dapat menembus membran tingkap bundar (round window membrane). (Soetirto et al., 2007).
1) Antibiotik Aminoglikosida

• lebih banyak bersifat vestibulotoksik, meskipun ada variasi efek terhadap system
vestibular dan kokhlea.
• Kanamisin, amikasin, neomisin, dan dihidrostreptomisin lebih berisfat kokhleotoksik.
• Gentamisin mempengaruhi sistem koklear dan vestibular (beberapa pustaka
menyebutkan lebih bersifat vestibulotoksik dibandingkan kokhleotoksis).
• Streptomisin, gentamisin, dan tobramisin merupakan agen primer menyebabkan
toksisitas vestibular.
• Tuli yang diakibatkannya bersifat bilateral dan bernada tinggi, akibat hilangnya sel-sel
rambut pada koklea. Dapat juga terjadi tuli unilateral dan dapat disertai gangguan
vestibuler.

Soepardi, 2011; Soetirto, Hendarmin, Bashiruddin, 2007; Mudd, 2019


2) Antibiotik Makrolid

– Eritromisin dapat menyebabkan tuli sensorineural nada tinggi bilateral dan


tinitus setelah pemberian intravena dosis tinggi atau oral.
– Beberapa laporan efek toksisitas Vankomisin, biasanya berupa tinnitus telah
dilaporkan pada pasien yang dikaitkan dengan gagal ginjal atau pada pasien-
pasien yang sering menerima terapi aminoglycoside. Tidak ada studi
menunjukkan bukti konklusif ototoksis dengan administrasi Vankomisin tunggal
dan masih dalam dosis terapi. (para peneliti menyarankan hati-hati dengan
pemberian secara bersamaan Vankomisin dan agen ototoksik lain)

Soepardi, 2011; Soetirto, Hendarmin, Bashiruddin, 2007; Mudd, 2019


3) Kina & Kuinin

• Toksistas kina berupa tinnitus, gangguan pendegaran, vertigo, sakit kepala,


mual, dan gangguan peglihatan
• Kuinin dan kuinidin keduanya dapat menyebbakan sindrom cinchonism
• Karakteristik tuli sensorineural terjadi pada frekuensi 4k Hz dan bersifat
irreversible.

Soepardi, 2011; Soetirto, Hendarmin, Bashiruddin, 2007; Mudd, 2019


4) Cis-platinum & Carboplatin

– Ototoksitas yang ditimbulkan CIS platinum adalah tuli subjektif, tinitus dan
otalgia, tetapi dapat juga disertai dengan gangguan keseimbangan. Tuli
biasanya bilateral dimulai dengan frekuensi antara 6 KHz, kemudian mengenai
frekuensi yang lebih rendah. Pada tuli ringan pendengaran akan pulih jika obat
dihentikan, tetapi bila berat biasanya menetap.

Soepardi, 2011; Soetirto, Hendarmin, Bashiruddin, 2007; Mudd, 2019


5) Loop Diuretics

– Dua obat diuretic utama yang menyebabkan ototoksi adalah furosemide dan
asam etakrinik,
– Beberapa loop diuretic yang jarang digunakan juga dilaporkan dapat
menyebabkan ototoksisitas. Kelompok ini mencakup torsemide, azosemide,
ozolinone, indacrinone, dan piretanide.
– Mekanisme ototoksik belum diketahui secara lengkap, meksipun obat ini telah
diketahui mempengaruhi kanal ion di ginjal dan saluran di kokhlea.

Soepardi, 2011; Soetirto, Hendarmin, Bashiruddin, 2007; Mudd, 2019


6) Salisilat

– Asam asetilsalisilat, lebih dikenal sebagai aspirin memilik efek


samping utama ototoksik bersifat reversible, ringan-sedang
dengan tuli frekuensi tinggi dan dengan tinnitus nada tinggi.
– Tinnitus dapat terjadi pada kadar serum serendah 200 mcg/mL
– Belum ada bukti pengaruh pada system vestibular.
– Semua gejala dan keluhan akan cepat membaik secara reversible
setelah penghentian salisilat (biasanya dalam 24 jam)

Soepardi, 2011; Soetirto, Hendarmin, Bashiruddin, 2007; Mudd, 2019


CHLOROQUINE
Klorokuin
( 7 –Kloro-4-(4 dietilamino-1-metil-butil-amino)

 Klorokuin merupakan turunan dari 4-aminokuinolon.


 Klorokuin hanya efektif terhadap parasit dalam fase eritrosit,
sama sekali tidak efektif pada parasit di jaringan.
 Efektivitasnya sangat tinggi terhadap P. falcifarum dan P. vivax.
 Mekanisme kerja obat ini diduga menghambat DNA dan RNA
polimerase.

Gambar 1. Senyawa Kloroquin ( C18H26ClN3 )

Muti’ah, Roihatul. 2012; Syarif Amir , 2012


Farmakodinamik

– Selain sebagai antimalaria, klorokuin juga memperlihatkan efek antiradang. Efek


ini dimanfaatkan dalam pengobatan artritis rheumatoid, lupus erithromatosus,
lupus discoid , dan lain – lain
– untuk pengobatan penyakit tersebut ,dibutuhkan dosis yang jauh lebih tinggi
daripada dosis untuk malaria sehingga intoksikasi harus dipertimbangkan.
Bentuk hidroksi – klorokuin mempunyai toksisitas yang lebih rendah.

Muti’ah, Roihatul. 2012; Syarif Amir , 2012


Farmakodinamik

– Mekanisme kerja Klorokuin masih kontroversial, salah satu mekanisme yang


penting adalah penghambatan aktivitas polymerase heme plasmodia oleh
klorokuin.
– Polimerase heme plasmodia berperan mendetoksifikasi heme
ferriprotoporphyrin IX menjadi bentuk hemozoin yang tidak toksik. Heme ini
merupakan senyawa yang bersifat membranolitik dan terbentuk dari pemecahan
hemoglobin di vakuol makanan parasit.
– Peningkatan heme di dalam parasit menimbulkan lisis membrane parasit.

Muti’ah, Roihatul. 2012; Syarif Amir , 2012


Farmakokinetik

– makanan mempercepat absorbsi Klorokuin . Sedangkan kaolin dan antasid yang


mengandung kalsium atau magnesium dapat mengganggu absorpsi klorokuin.
– Metabolisme klorokuin dihambat oleh amodiakuin, hidroksiklorokuin dan
apamakuin.
– Kadar puncak plasma dicapai setelah 3- 5 jam.
– Metabolisme klorokuin dalam tubuh sangat lambat dan metabolitnya
diekskresikan lewat urin.

Sukarban, 1995; Syarif Amir , 2012


Efek Samping

– Sakit kepala ringan, gangguan pencernaan, gangguan penglihatan dan gatal-


gatal. Yang tersering adalah gangguan saluran cerna dan gatal-gatal.
– Pengobatan kronik sebagai terapi supresi kadang kala menimbulkan sakit
kepala, pengelihatan kabur , diplopia, erupsi kulit likenoid , rambut putih, dan
perubahan gambar EKG

Syarif Amir , 2012


Kontraindikasi

– kontraindikasi penggunaan klorokuin adalah pada penyakit hepar. Penggunaan


harus hati-hati pada gangguan pada gangguan gastrointestinal, gangguan darah,
dan gangguan neurologik yang berat.
– Pemberian Klorokuin lebih dari 250 mg / hari untuk jangka lama dapat
menimbulkan ototoksisitas dan retinopati yang menetap.
– Retinopati ini di duga berhubungan dengan akumulasi klorokuin di jaringan
yang kaya melanin.

Sukarban, 1995
Sediaan

– Klorokuin tersedia sebagai garam difosfat dan sulfat. Bentuk tablet 250 mg dan
500 mg yang masing masing setara dengan 150 mg dan 300 mg basa. Bentuk
sirup klorokuin fosfat 500mg/ 5 ml

Syarif Amir , 2012


Efek imunomodulator

Chloroquine
Menciptakan suasana basa
di vakuola dan lisosom

Sebagai zinc ionophore

Berikatan dengan asam


sialik

Pawlak-Buś et al., 2016; Tsang-A-Sjoe dan Bultink, 2015).


WELL.. WHAT ARE ITS SIDE EFFECTS?

GIT Skin

Renitopathy Arrythmia

Ototoxicity

(Borba et al., 2004; Bortoli R dan Mittermayer S, 2007).


MANIFESTATION OF CQ-INDUCED
OTOTOXICITY
1
SNHL

2
IMBALANCE DISTRUBANCE

3
COCHLEOVESTIBULAR MANIFESTATION

4
TINNITUS

Fernandez et al., 2018; Sherbel et al.,1958


HOW IS THE
MECHANISM?
injuri vaskuler dan
akumulasi
proses degenerative

Perubahan komposisi
endolimfe

Peroksidase
Sensitifitas thd
Enzim antioksidan Hipoksia
kuinin meningkat
X Melanogenesis

(Bhattacharyya et al., 1993; Dencker L dan Nils GL, 1975; Ni-Kumatsu L et al., 2008)
(Oliveira et al., 2019)
(Oliveira et al., 2019)
Chloroquine Glutamate Glutamate
uptake ekstrasel

Glial cell death


ROS

ROS

ROS

Chloroquine Glia cell


cytotoxicity

ROS

ROS

ROS
DAFTAR PUSTAKA
Bhattacharyya B, Chatterjee TK and Ghosh JJ. 1983. Effects of chloroquine on
lysosomal enzymes, NADPH-induced lipid peroxidation, and antioxidant
enzymes of rat retina. Biochem Pharmacol. 32: 2965-2968.

Bisht M, Bist SS. Ototoxicity: the hidden menace. Indian Journal of Otolaryngology
and Head & Neck Surgery. 2011 Jul 1;63(3):255-9.

Borba EF, Turrini-Filho JR, Kuruma KA, Bertola C, Pedalini ME, Lorenzi MC, Bonfá
E (2004). Chloroquine gestational use in systemic lupus erythematosus: assessing
the risk of child ototoxicity by pure tone audiometry. Lupus, 13 (4), 223–227.

Bortoli R, Santiago M (2007). Chloroquine ototoxicity. Clin. Rheumatol, 26, 1809–


1810.

Campbell KC, Le Prell CG.2018. Drug-induced ototoxicity: diagnosis and monitoring.


Drug safety. ;41(5):451-64.

Castoldi AF, Coccini T, Ceccatelli S, Manzo L (2001). Neurotoxicity and molecular


effects of methylmercury. Brain Res Bull, 55(02): 197–203.

Chambers, Henry F. Senyawa antimikroba aminoglikosida. Dalam : Hardman Joel,


Limbird Lee, E. Dasar farmakologi terapi. Volume 2. Jakarta : EGC,2007, h.
1195-1204.

Dencker L, Nils GL (1975). Distribution of Labeled Chloroquine in the Inner Ear. Arch
Otolaringol, (101).

Durrant JD, Campbell K, Fausti S, Guthrie O, Jacobson G, Poling G. Ototoxicity


monitoring. American Academy of Audiology Position Statement and Clinical
Practice Guidelines. 2009, hal. 5-25.

Ekborn, A. 2003. Cisplatin-Induced Toxicity: Pharmacokinetics, Prediction, and


Prevention. Stockholm: Repro print.
Fernandes MRN, Soares DBR, Thien CI, Carneiro S. Hydroxychloroquine ototoxicity
in a patient with systemic lupus erythematosus. An Bras Dermatol
2018;93(03):469–470

Fransiska F. Ototoksisitas Aminoglikosida. KELUWIH: Jurnal Kesehatan dan


Kedokteran. 2019 Dec 17;1(1):37-47.

Haddad J. Lipoperoxidation as a measure of free radical injury in otitis media.


Laryngoscope 2008; 108:524-30.

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3138949/ Indian J Otolaryngol Head


Neck Surg. 2011 Jul; 63(3): 255–259. Published online 2011 Feb 23. doi:
[10.1007/s12070-011-0151-8]

Katzung, B. 2004. Basic Clinical Pharmacology. US: Blackwell Science.

Lanvers-Kaminsky, C., Zehnhoff-Dinnesen, A. A., Parfitt, R., & Ciarimboli, G. (2017).


Drug-induced ototoxicity: Mechanisms, Pharmacogenetics, and protective
strategies. Clinical pharmacology and therapeutics, 101(4), 491–500.

Miller, Monica L., Blakenship, Crystal. Ototoxicity. Dalam Tisdale J, Miller D. Drug-
induced disease. Edisi kedua.America:ASHP, 2010, h.1049-1054

Mudd, P. A. 2012. Ototoxicity. Medscape Reference. Diakses dari


http//:www.emedicine.com.

Muti’ah, Roihatul. 2012. Penyakit Malaria dan Mekanisme Kerja Obta-Obat


Antimalaria. Alchemy, vol. 2 No. 1 ; hal. 80-91.

Ni-Komatsu L, Chungxiang T, Guangming C, dan Nelya B (2008). Identification of


Quinolines that Inhibit Melanogenesis by Altering Tyrosinase Family
Trafficking. Molecular Pharmacology, 74(6): 1576 – 86.

Oliveira KRHM et al. (2019). Ascorbic acid prevents chloroquine-induced toxicity in


inner glial cells. Toxicology in Vitro, 56 : 150 – 155.
Pamela A Mudd, MD, MBA, Arlen D Meyers, 2019. Ototoxicity. June 13 2019.
https://emedicine.medscape.com/article/857679-overview diakses 14 Agustus
2020

Pawlak-Buś, K, Gaca-Wysocka M, Grzybowski, A, Leszczyński P (2016). Current


view on chloroquine derivative treatment from rheumatologist perspective and
possible ocular side effects. Pol. Merkur. Lekarski, 40 (237), 202–206.

Reiter RJ, Tan D, Korkmaz A, Fuentes BL. Drug-mediated ototoxicity and tinnitus:
alleviation with melatonin. Journal of Physiology and Pharmacology. 2011, h. 1-
7.

Scherbel AL, Harrison JW, Atojian M (1958) Further observations on use of a 4-amino-
quinolone compounds in patients with rheumatoid arthritis or related diseases.
Clinical Quarterly, 25:95–111.

Slattery Eric L, dan Warchol Mark E. Cisplatin ototoxicity blocks sensory regeneration
avian inner ear. The Journal of Neuroscience.2010, hal. 1-5.

Soepardi, EA. 2011. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-KL, Edisi Keenam. Jakarta: Balai
Pustaka Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Soetirto, I., Hendarmin, H., Bashiruddin, J., 2007. Gangguan Pendengaran dan
Kelainan Telinga. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepala dan Leher Edisi VI. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Soetirto, I., Hendarmin, H., Bashiruddin, J., 2007. Gangguan Pendengaran dan
Kelainan Telinga. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepala dan Leher Edisi VI. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Soetirto, Indro, Bramantyo, B., dan Bashirudin, J. Gangguan pendengaran akibat obat
ototoksik. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu kesehatan
telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi kelima. Jakarta: FKUI, 2001, h. 53
- 56.

Sukarban, S dan Zunilda. 1995. Obat Malaria Dalam Farmakologi dan Terapi Edisi 4.
Jakarta: FKUI. pp; 545-59.
Syarif, Amir, dkk. 2012. Obat Malaria.Farmakologi dan Terapi Ed.5 . Jakarta : Badan
Penerbit FK UI. pp; 556-570

Tsang-A-Sjoe MW, Bultink IE (2015). Systemic lúpus erythematosus: review of


synthetic drugs. Expert. Opin. Pharmacother, 16 (18), 2793–2806.

Van der Heijden AJ, Tibboel D, Bogers AJ. Cohen AF, Helbing WA. Optimal
furosemid therapy in critically ill infants. 2007, h. 15-16.

Yilmaz T, Kocan EG, Besler HT, Yilmaz G, Gursel B. The role of oxidants and
antioxidants in otitis media with effusion in children. Otolaryngol Head Neck
Surg 2004; 131(6):797-803.

Anda mungkin juga menyukai