Ototoksik
Klorokuin karena
Stress Oksidatif
Mekanisme Ototoksik Klorokuin Karena Stress Oksidatif
Oleh:
Hellena Hildegard G 991902028
Indah Sagitaisna Putri G 991902029
Herlina Kusuma Dewi G992003068
Intan Pratiwi G 991902030
Iqbal Rafsanzani G 991902031
Syifa Adiba Sari G992003142
Thomas Gilang Andaru G992003145
Arif Nurhadi Atmoko G00181012
Pembimbing:
dr. Novi Primadewi, Sp.THT-KL(K), M.Kes
DEFINISI
Ototoksik
Mudd, 2019
KLASIFIKASI
Derajat Ototoksisitas
– Menurut CTCAE (the National Cancer Institute Common Terminology Criteria for
Adverse Events)
– 1. Derajat 1 - pergeseran ambang batas atau kehilangan pendengaran pada frekuensi
15-25 dB dibandingkan nilai dasar, pada pemeriksaan 2 frekuensi yang berurutan,
setidaknya pada satu telinga.
– 2. Derajat 2 - pergeseran ambang batas atau kehilangan pendengaran pada frekuensi
>25-90 dB, pada pemeriksaan 2 frekuensi yang berurutan, setidaknya pada satu telinga
– 3. Derajat 3 - kehilangan fungsi pendengaran yang memerlukan intervensi terapeutik,
termasuk alat bantu (misalnya, tuli frekuensi > 20 dB bilateral; tuli frekuensi > 30 dB
unilateral)
– 4. Derajat 4 - indikasi untuk implan koklea
Mudd, 2019
Derajat Tuli Brock
Mudd, 2019
GEJALA
Gejala
• Tinitus dan vertigo, biasanya menyertai segala jenis tuli sensorineural. Pada
ototoksik tinitus cirinya kuat dan bernada tinggi, berkisar antara 4 KHz sampai 6
KHz serta biasa bilateral.
• Pada kerusakan yang menetap, tinnitus lama-lama tidak begitu kuat tetapi juga
tidak hilang
• Gejala lainnya juga terdapat gangguan keseimbangan badan, sulit memfiksasi
pandangan, ataksia (kehilangan koordinasi otot) dan oscillopsia (pandangan kabur
dengan pergerakan kepala) tanpa adanya riwayat vertigo sebelumnya
Akibat penggunaan obat-obat yang bersifat ototoksik akan dapat menimbulkan terjadinya
gangguan fungsional pada telinga dalam yang disebabkan telah terjadi perubahan struktur
anatomi pada organ telinga dalam. Kerusakan yang ditimbulkan oleh preparat ototoksik
tersebut antara lain :
– Degenerasi stria vaskularis. kelainan patologi ini terjadi pada pengguna semua jenis
ototoksik
– Degenerasi sel epitel sensori. kelainan patologi ini terjadi pada organa corti dan labirin
vestibular, akibat penggunaan antibiotika aminoglikosida sel rambut luar lebih
berpengaruh dari pada sel rambut dalam, dan perubahan generative ini terjadi di mulai
dari basal koklea dan lanjut terus hingga akhienya sampai kebagian apex.
– Degenerasi sel ganglion. kelainan ini terjadi skunder akibat adanya degenerasi dari sel
epitel sensori
(Soetirto et al., 2001; Miller et al., 2010)
STRES OKSIDATIF PADA
TELINGA
Stres Oksidatif
– Eritromisin
Dapat menyebabkan tuli sensorineural nada tinggi bilateral dan tinitus setelah pemberian intravena dosis tinggi atau oral. ( Soetirto et
al., 2007).
• lebih banyak bersifat vestibulotoksik, meskipun ada variasi efek terhadap system
vestibular dan kokhlea.
• Kanamisin, amikasin, neomisin, dan dihidrostreptomisin lebih berisfat kokhleotoksik.
• Gentamisin mempengaruhi sistem koklear dan vestibular (beberapa pustaka
menyebutkan lebih bersifat vestibulotoksik dibandingkan kokhleotoksis).
• Streptomisin, gentamisin, dan tobramisin merupakan agen primer menyebabkan
toksisitas vestibular.
• Tuli yang diakibatkannya bersifat bilateral dan bernada tinggi, akibat hilangnya sel-sel
rambut pada koklea. Dapat juga terjadi tuli unilateral dan dapat disertai gangguan
vestibuler.
– Ototoksitas yang ditimbulkan CIS platinum adalah tuli subjektif, tinitus dan
otalgia, tetapi dapat juga disertai dengan gangguan keseimbangan. Tuli
biasanya bilateral dimulai dengan frekuensi antara 6 KHz, kemudian mengenai
frekuensi yang lebih rendah. Pada tuli ringan pendengaran akan pulih jika obat
dihentikan, tetapi bila berat biasanya menetap.
– Dua obat diuretic utama yang menyebabkan ototoksi adalah furosemide dan
asam etakrinik,
– Beberapa loop diuretic yang jarang digunakan juga dilaporkan dapat
menyebabkan ototoksisitas. Kelompok ini mencakup torsemide, azosemide,
ozolinone, indacrinone, dan piretanide.
– Mekanisme ototoksik belum diketahui secara lengkap, meksipun obat ini telah
diketahui mempengaruhi kanal ion di ginjal dan saluran di kokhlea.
Sukarban, 1995
Sediaan
– Klorokuin tersedia sebagai garam difosfat dan sulfat. Bentuk tablet 250 mg dan
500 mg yang masing masing setara dengan 150 mg dan 300 mg basa. Bentuk
sirup klorokuin fosfat 500mg/ 5 ml
Chloroquine
Menciptakan suasana basa
di vakuola dan lisosom
GIT Skin
Renitopathy Arrythmia
Ototoxicity
2
IMBALANCE DISTRUBANCE
3
COCHLEOVESTIBULAR MANIFESTATION
4
TINNITUS
Perubahan komposisi
endolimfe
Peroksidase
Sensitifitas thd
Enzim antioksidan Hipoksia
kuinin meningkat
X Melanogenesis
(Bhattacharyya et al., 1993; Dencker L dan Nils GL, 1975; Ni-Kumatsu L et al., 2008)
(Oliveira et al., 2019)
(Oliveira et al., 2019)
Chloroquine Glutamate Glutamate
uptake ekstrasel
ROS
ROS
ROS
ROS
ROS
DAFTAR PUSTAKA
Bhattacharyya B, Chatterjee TK and Ghosh JJ. 1983. Effects of chloroquine on
lysosomal enzymes, NADPH-induced lipid peroxidation, and antioxidant
enzymes of rat retina. Biochem Pharmacol. 32: 2965-2968.
Bisht M, Bist SS. Ototoxicity: the hidden menace. Indian Journal of Otolaryngology
and Head & Neck Surgery. 2011 Jul 1;63(3):255-9.
Borba EF, Turrini-Filho JR, Kuruma KA, Bertola C, Pedalini ME, Lorenzi MC, Bonfá
E (2004). Chloroquine gestational use in systemic lupus erythematosus: assessing
the risk of child ototoxicity by pure tone audiometry. Lupus, 13 (4), 223–227.
Dencker L, Nils GL (1975). Distribution of Labeled Chloroquine in the Inner Ear. Arch
Otolaringol, (101).
Miller, Monica L., Blakenship, Crystal. Ototoxicity. Dalam Tisdale J, Miller D. Drug-
induced disease. Edisi kedua.America:ASHP, 2010, h.1049-1054
Reiter RJ, Tan D, Korkmaz A, Fuentes BL. Drug-mediated ototoxicity and tinnitus:
alleviation with melatonin. Journal of Physiology and Pharmacology. 2011, h. 1-
7.
Scherbel AL, Harrison JW, Atojian M (1958) Further observations on use of a 4-amino-
quinolone compounds in patients with rheumatoid arthritis or related diseases.
Clinical Quarterly, 25:95–111.
Slattery Eric L, dan Warchol Mark E. Cisplatin ototoxicity blocks sensory regeneration
avian inner ear. The Journal of Neuroscience.2010, hal. 1-5.
Soepardi, EA. 2011. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-KL, Edisi Keenam. Jakarta: Balai
Pustaka Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Soetirto, I., Hendarmin, H., Bashiruddin, J., 2007. Gangguan Pendengaran dan
Kelainan Telinga. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepala dan Leher Edisi VI. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Soetirto, I., Hendarmin, H., Bashiruddin, J., 2007. Gangguan Pendengaran dan
Kelainan Telinga. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepala dan Leher Edisi VI. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Soetirto, Indro, Bramantyo, B., dan Bashirudin, J. Gangguan pendengaran akibat obat
ototoksik. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu kesehatan
telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi kelima. Jakarta: FKUI, 2001, h. 53
- 56.
Sukarban, S dan Zunilda. 1995. Obat Malaria Dalam Farmakologi dan Terapi Edisi 4.
Jakarta: FKUI. pp; 545-59.
Syarif, Amir, dkk. 2012. Obat Malaria.Farmakologi dan Terapi Ed.5 . Jakarta : Badan
Penerbit FK UI. pp; 556-570
Van der Heijden AJ, Tibboel D, Bogers AJ. Cohen AF, Helbing WA. Optimal
furosemid therapy in critically ill infants. 2007, h. 15-16.
Yilmaz T, Kocan EG, Besler HT, Yilmaz G, Gursel B. The role of oxidants and
antioxidants in otitis media with effusion in children. Otolaryngol Head Neck
Surg 2004; 131(6):797-803.