TENGGELAM
Disusun oleh:
Tutorial B-2
M. Ariq Fiqih 1610211080
Denina Kusumaningayu P 1610211002
Nahdah Aidah 1610211110
Adhila Khairinnisa 1610211101
Mei Putra Daya 1610211060
Iqlima Luthfiya 1610211114
I Gusti Ayu Putu Kendran 1610211112
Hafshah 1610211062
Yoga Sugema 1610211038
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAKARTA
TAHUN AJARAN 2019/2020
Tanatologi
Ilmu kedokteran Forensik yang mempelajari kematian dan perubahan yang terjadi
setelah kematian serta faktor yang mempengaruhi disebut Tanatologi.
Tanatologi ini berguna dalam :
Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenal secara klinis pada
seseorang berupa tanda kematian, yaitu perubahan yang terjadi pada tubuh
mayat. Perubahan tersebut dapat timbul dini pada saat meninggal atau
beberapa menit kemudian, misalnya kerja jantung dan peredaran darah
berhenti, pernapasan berhenti, refleks cahaya dan refleks kornea mata
hilang, kulit pucat dan relaksasi otot. Setelah beberapa waktu timbul
perubahan pascamati yang jelas yang memungkinkan diagnosis kematian
lebih pasti.
Dahulu kematian ditandai dengan tidak berfungsinya lagi jantung.
Konsep baru sekarang ini mengenai kematian mencakup berhentinya
fungsi pernafasan, jantung dan otak. Dimana saat kematian ditentukan
berdasarkan saat otak berhenti berfungsi. Pada saat itulah jika diperiksa
dengan elektro-ensefalo-grafi (EEG) diperoleh garis yang datar.
Tanda yang segera dikenali setelah kematian;
Berhentinya pernafasan
Tanda-tanda kematian setelah beberapa saat kemudian:
Lebam mayat
Kaku mayat
Mumifikasi
Tanda kematian dibagi menjadi dua:
1. Tanda kematian tidak pasti:
a. Berhentinya sistim pernafasan dan sistim sirkulasi.
Secara teoritis, diagnosis kematian sudah dapat ditegakkan jika jantung
dan paru berhenti selama 10 menit, namun dalam prakteknya seringkali
terjadi kesalahan diagnosis sehingga perlu dilakukan pemeriksaan dengan
cara mengamati selama waktu tertentu. Pemeriksaan dapat dilakukan
dengan mendengarkannya melalui stetoscope pada daerah precordial dan
larynx dimana denyut jantung dan suara nafas dapat dengan mudah
terdengar.
Kadang-kadang jantung tidak segera berhenti berdenyut setelah nafas
terhenti, selain disebabkan ketahanan hidup sel tanpa oksigen yang
berbeda-beda dapat juga disebabkan depresi pusat sirkulasi darah yang
tidak adekwat, denyut nadi yang menghilang merupakan indikasi bahwa
pada otak terjadi hipoksia. Sebagai contoh pada kasus judicial hanging
dimana jantung masih berdenyut selama 15 menit walaupun korban sudah
diturunkan dari tiang gantungan.
b. Kulit yang pucat
Kulit muka menjadi pucat ,ini terjadi sebagai akibat berhentinya
sirkulasi darah sehingga darah yang berada di kapiler dan venula dibawah
kulit muka akan mengalir ke bagian yang lebih rendah sehingga warna
kulit muka tampak menjadi lebih pucat. Akan tetapi ini bukan merupakan
tanda yang dapat dipercaya. Kadang-kadang kematian dihubungkan
dengan spasme agonal sehingga wajah tampak kebiruan.
Pada mayat yang mati akibat kekurangan oksigen atau keracunan zat-
zat tertentu (misalnya karbon monoksida) warna semula dari raut muka
akan bertahan lama dan tidak cepat menjadi pucat.
c. Relaksasi otot
Pada saat kematian sampai beberapa saat sesudah kematian , otot-otot
polos akan mengalami relaksasi sebagai akibat dari hilangnya tonus.
Relaksasi pada stadium ini disebut relaksasi primer. Akibatnya rahang
turun kebawah yang menyebabkan mulut terbuka, dada menjadi kolap dan
bila tidak ada penyangga anggota gerakpun akan jatuh kebawah. Relaksasi
dari otot-otot wajah menyebabkan kulit menimbul sehingga orang mati
tampak lebih muda dari umur sebenarnya, sedangkan relaksasi pada otot
polos akan mengakibatkan iris dan sfincter ani akan mengalami dilatasi.
Oleh karena itu bila menemukan anus yang mengalami dilatasi harus hati-
hati menyimpulkan sebagai akibat hubungan seksual perani/anus corong.
d. Perubahan pada mata
Perubahan pada mata meliputi hilangnya reflek kornea dan reflek
cahaya yang menyebabkan kornea menjadi tidak sensitif dan reaksi pupil
yang negatif. Hilangnya reflek cahaya pada kornea ini disebabkan karena
kegagalan kelenjar lakrimal untuk membasahi bola mata.
Kekeruhan pada kornea akan timbul beberapa jam setelah kematian
tergantung dari posisi kelopak mata. Walaupun sering ditemui kelopak
mata tertutup secara tidak komplit, ini terjadi oleh karena kekakuan otot-
otot kelopak mata. Kekeruhan pada lapisan dalam kornea ini tidak dapat
dihilangkan atau diubah kembali walaupun digunakan air untuk
membasahinya.
Bila kelopak mata tetap terbuka sclera yang ada disekitar kornea akan
mengalami kekeringan dan berubah menjadi kuning dalam beberapa jam
yang kemudian berubah menjadi coklat kehitaman. Area yang berubah
warna ini berbentuk trianguler dengan basis pada perifer kornea dan
puncaknya di epikantus. Area ini disebut’taches noires de la sclerotiques’.
Iris masih bereaksi dengan stimulasi kimia sampai 4 jam sesudah
kematian somatik, tetapi reflek cahaya segera hilang bersamaan dengan
iskemik pada batang otak. Pupil biasanya pada posisi mid midriasis yang
disebabkan oleh karena relaksasi dari muskulus pupilaris walaupun ada
sebagian ahli yang menganggap ini sebagai proses rigor mortis. Diameter
pupil sering dihubungkan dengan sebab kematian seperti lesi di otak atau
intoksikasi obat seperti keracunan morphin dimana sewaktu hidup pupil
menunjukan kontraksi.
Setelah kematian tekanan intra okuler akan turun, tekanan intra okuler
yang turun ini mudah menyebabkan kelainan bentuk pupil sehingga pupil
kehilangan bentuk sirkuler setelah mati dan ukurannya pun menjadi tidak
sama ,pupil dapat berkontraksi dengan diameter 2 mm atau berdilatasi
sampai 9 mm dengan rata-rata 4-5 mm oleh karena pupil mempunyai sifat
tidak tergantung dengan pupil lainnya maka sering terdapat perbedaan
sampai 3 mm.
2. Tanda kematian pasti:
a. Penurunan suhu mayat (Algor Mortis)
Suhu tubuh pada orang yang sudah meninggal perlahan-lahan akan
sama dengan suhu lingkungannya karena mayat tersebut akan melepaskan
panas dan suhunya menurun. Proses pemindahan panas ini berlangsung
secara : Konduksi, Radiasi, dan evaporasi. Kecepatan penurunan suhu
pada mayat bergantung kepada suhu lingkungan dan suhu mayat tu
sendiri. Pada iklim yang dingin maka penurunan suhu mayat berlangsung
cepat. Menurut Sympson (Inggris), menyatakan bahwa dalam keadaan
biasa tubuh yang tertutup pakaian mengalami penurunan temperatur 2,50 F
setiap jam pada enam jam pertama dan 1,6-2,0 F pada enam jam
berikutnya, maka dalam 12 jam suhu tubuh akan sama dengan suhu
sekitarnya.
Maka itu penurunan suhu mayat dipengaruhi oleh faktor sbb:
o Besarnya perbedaan suhu tubuh mayat dengan lingkungan
o Sebab kematian
o Bila mayat mati dalam air, penurunan suhu tubuhnya tergantung dari
suhu, aliran dan keadaan airnya
o Perkiraan saat kematian dapat dihitung dari pengukuran suhu jenazah
perrektal (Rectal Temperature/RT). Saat kematian (dalam jam) dapat
dihitung rumus PMI (Post Mortem Interval) berikut.
Formula untuk suhu dalam Celcius
PMI = 37C – Suhu Rektal C + 3
Formula untuk suhu dalam Fahrenheit
PMI = 98,6F – Suhu Rektal F
(1,5)
b. Lebam mayat (Livor Mortis)
Lebam mayat terjadi akibat terkumpulnya darah pada jaringan kulit
dan subkutan disertai pelebaran pembuluh kapiler pada bagian tubuh yang
letaknya rendah atau bagian tubuh yang tergantung. Keadaan ini memberi
gambaran berupa warna ungu kemerahan.
Setelah seseorang meninggal, mayatnya menjadi suatu benda mati
sehingga darah akan berkumpul sesuai dengan hukum gravitasi. Lebam
mayat pada awalnya berupa bercak yang biasanya muncul seperti lebam
keunguan yang terlihat kurang dari 1 jam setelah kematian. Lebam ini
akan semakin jelas dalam beberapa jam berikutnya. Fenomena ini
biasanya menjadi lengkap dalam 6-12 jam dan dikatakan menetap (lebam
tidak hilang pada penekanan dengan jari dan tidak akan hilang bila mayat
dipindahkan).
Pembekuan darah terjadi dalam waktu 6-10 jam setelah kematian.
Lebam mayat ini bisa berubah baik ukuran maupun letaknya tergantung
dari perubahan posisi mayat. Karena itu penting sekali untuk memastikan
bahwa mayat belum disentuh oleh orang lain. Posisi mayat ini juga penting
untuk menentukan apakah kematian disebabkan karena pembunuhan atau
bunuh diri.
Ada 5 warna lebam mayat yang dapat kita gunakan untuk memperkirakan
penyebab kematian :
o Merah kebiruan merupakan warna normal lebam
o Jika mayat terletak pada posisi punggung dibawah, maka lebam mayat
pertama sekali terlihat pada bagian leher dan bahu, baru kemudian
menyebar ke punggung.
o Pada mayat dengan posisi tergantung, lebam mayat tampak pada bagian
tungkai dan lengan.
o Pada beberapa kasus, warna dari lebam mayat ini bisa lain daripada
normal.
o Dapat juga digunakan memperkirakan saat kematian.
Hal ini terjadi segera setelah kematian. Biasanya berlangsung selama 2-3 jam.
Seluruh otot tubuh mengalami relaksasi,dan bisa digerakkan ke segala
arah. Iritabilitas otot masih ada tetapi tonus otot menghilang. Pada kasus di
mana mayat letaknya berbaring rahang bawah akan jatuh dan kelopak
mata juga akan turun dan lemas.
o Kaku mayat (rigor mortis)
Kaku mayat akan terjadi setelah tahap relaksasi primer. Keadaan ini berlangsung
setelah terjadinya kematian tingkat sel, dimana aktivitas listrik otot tidak
ada lagi. Otot menjadi kaku. Fenomena kaku mayat ini pertama sekali
terjadi pada otot-otot mata, bagian belakang leher, rahang bawah, wajah,
bagian depan leher, dada, abdomen bagian atas dan terakhir pada otot
tungkai. Akibat kaku mayat ini seluruh mayat menjadi kaku, otot
memendek dan persendian pada mayat akan terlihat dalam posisi sedikit
fleksi. Keadaan ini berlangsung selama 24 - 48 jam pada musim dingin
dan 18 - 36 jam pada musim panas.
o Periode relaksasi sekunder
Otot menjadi relaks (lemas) dan mudah digerakkan. Hal ini terjadi karena
pemecahan protein, dan tidak mengalami reaksi secara fisik maupun
kimia. Proses pembusukan juga mulai terjadi. Pada beberapa kasus, kaku
mayat sangat cepat berlangsung sehingga sulit membedakan antara
relaksasi primer dengan relaksasi sekunder.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kaku Mayat
o Keadaan Lingkungan. Pada keadaan yang kering dan dingin, kaku mayat
lebih lambat terjadi dan berlangsung lebih lama dibandingkan pada
lingkungan yang panas dan lembab. Pada kasus di mana mayat
dimasukkan ke dalam air dingin, kaku mayat akan cepat terjadi dan
berlangsung lebih lama.
o Usia. Pada anak-anak dan orangtua, kaku mayat lebih cepat terjadi dan
berlangsung tidak lama. Pada bayi prematur biasanya tidak ada kaku
mayat. Kaku mayat baru tampat pada bayi yang lahir mati tetapi cukup
usia (tidak prematur)
o Cara kematian. Pada pasien dengan penyakit kronis, dan sangat kurus,
kaku mayat cepat terjadi dan berlangsung tidak lama. Pada pasien yang
mati mendadak, kaku mayat lambat terjadi dan berlangsung lebih lama.
o Kondisi otot. Terjadi kaku mayat lebih lambat dan berlangsung lebih lama
pada kasus di mana otot dalam keadaan sehat sebelum meninggal,
dibandingkan jika sebelum meninggal keadaan otot sudah lemah.
Otot yang Semua otot, termasuk otot Biasanya terbatas pada satu
terkena volunter dan involunter kelompok otot volunter
Kaku otot Tidak jelas, dapat dilawan Sangat jelas, perlu tenaga
yang kuat untuk
melawan
dengan sedikit tenaga. kekakuannya.
Pembusukan jenazah terjadi akibat proses degradasi jaringan karena autolisis dan
kerja bakteri. Mulai muncul 24 jam postmortem, berupa warna kehijauan
dimulai dari daerah sekum menyebar ke seluruh dinding perut dan berbau
busuk karena terbentuk gas seperti HCN, H2S dan lain-lain. Gas yang
terjadi menyebabkan pembengkakan. Akibat proses pembusukan rambut
mudah dicabut, wajah membengkak, bola mata melotot, kelopak mata
membengkak dan lidah terjulur. Pembusukan lebih mudah terjadi pada
udara terbuka suhu lingkungan yang hangat/panas dan kelembaban tinggi.
Bila penyebab kematiannya adalah penyakit infeksi maka pembusukan
berlangsung lebih cepat.
Tanda-tanda pembusukan:
o Warna kehijauan pada dinding perut daerah caecum, yang
disebabkan reaksi hemoglobin dengan H2S menjadi
sulfmethemolobin
o Wajah dan bibir membengkak
o Kuku dan rambut dapat terlepas, serta dinding perut dapat pecah
Jika pembusukan terus berlangsung, maka bau busuk yang timbul akan menarik
lalat untuk hinggap pada mayat. Lalat menempatkan telurnya pada mayat,
di mana dalam waktu 8-24 jam telur akan menetas menghasilkan larva-
yang sering disebut belatung. Dalam waktu 4-5 hari, belatung ini lalu
menjadi pupa, dimana setelah 4-5 hari kemudian akan menjadi lalat
dewasa. Pada tahap ini bagian dari tulang tengkorak mulai tampak.
Rektum dan uterus juga tampak dan uterus gravid juga bisa mengeluarkan
isinya
Proses-proses spesifik pada jenazah karena kondisi khusus:
o Mummifikasi
Mummifikasi terjadi pada suhu panas dan kering sehingga tubuh akan terdehidrasi
dengan cepat. Mummifikasi terjadi pada 12-14 minggu. Jaringan akan
berubah menjadi keras, kering, warna coklat gelap, berkeriput dan tidak
membusuk.
o Adipocere
Adipocere adalah proses terbentuknya bahan yang berwarna keputihan, lunak dan
berminyak yang terjadi di dalam jaringan lunak tubuh postmortem. Lemak
akan terhidrolisis menjadi asam lemak bebas karena kerja lipase endogen
dan enzim bakteri.
Faktor yang mempermudah terbentuknya adipocere adalah kelembaban dan suhu
panas. Pembentukan adipocere membutuhkan waktu beberapa minggu
sampai beberap bulan. Adipocere relatif resisten terhadap pembusukan.
Oleh karena Visum et Repertum itu juga mengandung makna sebagai pengganti
barang bukti, maka segala apa yang terdapat dalam barang bukti dalam hal ini
yaitu tubuh anak, harus dicatat dan dilaporkan. Dengan demikian selain ketiga
kejelasan tersebut di atas, masih ada dua hal lagi yang harus diutarakan dalam VR
yaitu:
Sehingga lebih jelas bahwa permasalahan tentang maturitas seperti cukup bulan
atau prematur merupakan hal yang penting, sama halnya dengan kemampuan anak
untuk hidup dengan wajar (viabilitas) tanpa kelainan bawaan yang diderita oleh
anak (Idries, 1997).
Sebelum melangkah lebih jauh, perlu ditinjau lebih dahulu pengertian lahir hidup
dan lahir mati. Perlu diketahui bahwa seorang dokter tidak dibenarkan membuat
kesimpulan lahir hidup atau lahir mati dari hasil pemeriksaan terhadap korban
kasus yang diduga akibat pembunuhan anak (Apuranto, H. dan Hoediyanto,
2007).
Lahir mati (still birth) adalah kematian hasil konsepsi sebelum keluar atau
dikeluarkan oleh ibunya, tanpa mempersoalkan usia kehamilan (baik sebelum
ataupun setelah kehamilan berumur 28 minggu dalam kandungan). Kematian
ditandai oleh janin yang tidak bernapas atau tidak menunjukkan tanda kehidupan
lain seperti denyut jantung, denyut nadi tali pusat atau gerakan otot rangka
(Budiyanto et al.,1997).
Pernapasan
o Paru mengembang
Menangis
Pergerakan otot
Isi usus
1. Pernapasan
Uji apung paru dilakukan dengan teknik tanpa sentuh (no touch technique), paru-
paru tidak disentuh untuk menghindari kemungkinan timbulnya artefak pada
sediaan histopatologik jaringan paru akibat manipulasi berlebihan.
Lidah dikeluarkan seperti biasa di bawah rahang bawah, ujung lidah dijepit
dengan pinset atau klem, kemudian ditarik ke arah ventrokaudal sehingga tampak
palatum mole. Dengan scalpel yang tajam, palatum mole disayat sepanjang
perbatasannya dengan palatum durum. Faring, laring, esophagus bersama dengan
trakea dilepaskan dari tulang belakang. Esofagus bersama dengan trakea diikat di
bawah kartilago krikoid dengan benang. Pengikatan ini dimaksudkan agar pada
manipulasi berikutnya cairan ketuban, mekonium atau benda asing lain tidak
mengalir ke luar melalui trakea; bukan untuk mencegah masuknya udara ke dalam
paru.
Pengeluaran organ dari lidah sampai paru dilakukan dengan forsep atau pinset
bedah dan scalpel, tidak boleh dipegang dengan tangan. Kemudian esophagus
diikat di atas diafragma dan dipotong di atas ikatan. Pengikatan ini dimaksudkan
agar udara tidak masuk ke dalam lambung dan uji apung lambung-usus (uji
Breslau) tidak memberikan hasil meragukan.
Setelah semua organ leher dan dada dikeluarkan dari tubuh, lalu dimasukkan ke
dalam air dan dilihat apakah mengapung atau tenggelam. Kemudian paru-paru kiri
dan kanan dilepaskan dan dimasukkan kembali ke dalam air, dilihat apakah
mengapung atau tenggelam. Setelah itu tiap lobus dipisahkan dan dimasukkan ke
dalam air, dan dilihat apakah mengapung atau tenggelam. Lima potong kecil dari
bagian perifer tiap lobus dimasukkan ke dalam air, diperhatikan apakah
mengapung atau tenggelam.
Hingga tahap ini, paru bayi yang lahir mati masih dapat mengapung oleh karena
kemungkinan adanya pembusukan. Bila potongan kecil itu mengapung, letakkan
di antara dua karton dan ditekan dengan arah penekanan tegak lurus jangan
digeser untuk mengeluarkan gas pembusukan yang terdapat pada jaringan
interstisial paru, lalu masukkan kembali ke dalam air dan diamati apakah masih
mengapung atau tenggelam. Bila masih mengapung berarti paru terisi udara residu
yang tidak akan keluar. Namun, terkadang dengan penekanan, dinding alveoli
pada mayat bayi yang telah membusuk lanjut akan pecah dan udara residu keluar
dan memperlihatkan hasil uji apung paru negatif.
Uji apung paru harus dilakukan menyeluruh sampai potongan kecil paru
mengingat kemungkinan adanya pernapasan sebagian (parsial respiration) yang
dapat bersifat buatan atau alamiah (vagitus uternus atau vagitus vaginalis) yaitu
bayi sudah bernapas walaupun kepala masih dalam uterus atau dalam vagina).
Hasil negatif belum berarti pasti lahir mati karena adanya kemungkinan bayi
dilahirkan hidup tapi kemudian berhenti bernapas meskipun jantung masih
berdenyut, sehingga udara dalam alveoli diresorpsi. Pada hasil uji negatif ini,
pemeriksaan histopatologik paru harus dilakukan untuk memastikan bayi lahir
mati atau lahir hidup.
Bila sudah jelas terjadi pembusukan, maka uji apung paru kurang dapat dipercaya,
sehingga tidak dianjurkan untuk dilakukan.
b. Mikroskopik paru-paru
Struktur seperti kelenjar bukan merupakan ciri paru bayi yang belum bernapas,
tetapi merupakan ciri paru janin yang belum mencapai usia gestasi 26 minggu.
Tanda khas untuk paru janin belum bernapas adalah adanya tonjolan (projection)
yang berbentuk seperti bantal (cushion-like) yang kemudian akan bertambah
tinggi dengan dasar menipis sehingga akan tampak seperti gada (club like). Pada
permukaan ujung bebas projection tampak kapiler yang berisi banyak darah. Pada
paru bayi belum bernapas yang sudah membusuk dengan perwarnaan Gomori atau
Ladewig, tampak serabut-serabut retikulin pada permukaan dinding alveoli
berkelok-kelok seperti rambut yang keriting, sedangkan pada projection berjalan
di bawah kapiler sejajar dengan permukaan projection dan membentuk gelung-
gelung terbuka (open loops).
Pada paru bayi yang lahir mati mungkin pula ditemukan tanda inhalasi cairan
amnion yang luas karena asfiksia intrauterin, misalnya akibat tertekannya tali
pusat atau solusio plasenta sehingga terjadi pernapasan janin prematur
(intrauterine submersion). Tampak sel-sel verniks akibat deskuamasi sel-sel
permukaan kulit, berbentuk persegi panjang dengan inti piknotik berbentuk huruf
“S”, bila dilihat dari atas samping terlihat seperti bawang. Juga tampak sel-sel
amnion bersifat asidofilik dengan batas tidak jelas dan inti terletak eksentrik
dengan batas yang juga tidak jelas.
Mekonium yang berbentuk bulat berwarna jernih sampai hijau tua mungkin
terlihat dalam bronkioli dan alveoli. kadang-kadang ditemukan deskuamasi sel-sel
epitel bronkus yang merupakan tanda maserasi dini, atau fagositosis mekonium
oleh sel-sel dinding alveoli.
Lahir mati ditandai pula oleh keadaan yang tidak memungkinkan terjadinya
kehidupaan seperti trauma persalinan yang hebat, perdarahan otak yang hebat,
dengan atau tanpa robekan tentorium serebeli, pneumonia intrauterin, kelainan
kongenitasl yang fatal seperti anensefalus (Budiyanto et al.,1997).
66. Kalau diperas hanya keluar Bila diperas keluar banyak darah
darah sedikit dan tidak berbuih walaupun belum ada
berbuih (kecuali bila sudah pembusukan (volume darah dua kali
ada pembusukan) volume sebelum napas.
87. Berat paru kurang lebih 1/70 Berat paru kurang lebih 1/35 BB
BB
2. Menangis
Bernapas dapat terjadi tanpa menangis, tetapi menangis tidak dapat terjadi tanpa
bernapas. Suara tangis yang terdengar belum berarti bayi tersebut lahir hidup
karena suara tangisan dapat terjadi dalam uterus atau dalam vagina. Yang
merangsang bayi menangis dalam uterus adalah masuknya udara dalam uterus dan
kadar oksigen dalam darah menurun dan atau kadar CO2 dalam darah meningkat.
3. Pergerakan Otot
Keadaan ini harus disaksikan oleh saksi mata, karena post mortem tidak dapat
dibuktikan. Kaku mayat dapat terjadi pada bayi yang lahir hidup kemudian mati
maupun yang lahir mati.
4. Peredaran Darah, Denyut Jantung, dan Perubahan pada Hemoglobin
Meliputi bukti fungsional yaitu denyut tali pusat dan detak jantung (harus ada
saksi mata) dan bukti anatomis yaitu perubahan-perubahan pada Hb serta
perubahan dalam duktus arteriosus, foramen ovale dan dalam duktus venosus
(cabang vena umbilicalis yang langsung masuk vena cava inferior).
Bila ada yang menyaksikan denyut nadi tali pusat/detak jantung pada bayi yang
sudah terlahir lengkap, maka ini merupakan bukti suatu kelahiran hidup. Foramen
ovale tertutup bila telah terjadi pernapasan dan sirkulasi (satu hari sampai
beberapa minggu). Duktus arteriosus perlahan-lahan menjadi jaringan ikat (paling
cepat dalam 24 jam) Duktus venosus menutup dalam 2-3 hari sampai beberapa
minggu.
Bila dalam lambung bayi ditemukan benda asing yang hanya dapat masuk akibat
reflek menelan, maka ini merupakan bukti kehidupan (lahir hidup). Udara dalam
lambung dan usus dapat terjadi akibat pernapasan wajar, pernapasan buatan, atau
tertelan. Keadaan-keadaan tersebut tidak dapat dibedakan. Cara pemeriksaan yaitu
esophagus diikat, dikeluarkan bersama lambung yang diikat pada jejunum lekuk
pertama, kemudian dimasukkan ke dalam air. makin jauh udara usus masuk dalam
usus, makin kuat dugaan adanya pernapasan 24-48 jam post mortem, mekonium
sudah keluar semua seluruhnya dari usus besar.
Yang harus diperhatikan pada tali pusat adalah pertama ada atau tidaknya denyut
tali pusat setelah kelahiran. Ini hanya dapat dibuktikan dengan saksi mata. Kedua,
pengeringan tali pusat, letak dan sifat ikatan, bagaimana tali pusat itu di putus
(secara tajam atau tumpul).
7. Keadaan Kulit
Tidak satupun keadaan kulit yang dapat membuktikan adanya kehidupan setelah
bayi lahir, sebaliknya ada satu keadaan yang dapat memastikan bahwa bayi
tersebut tidak lahir hidup yaitu maceration, yang dapat terjadi bila bayi sudah mati
in utero beberapa hari (8-10 hari). Hal ini harus dibedakan dengan proses
pembusukan yaitu pada maserasi tidak terbentuk gas karena terjadi secara steril.
Kematian pada bayi dapat terjadi waktu dilahirkan, sebelum dilahirkan atau
setelah terpisah sama sekali dari ibu.
o Maserasi ini terjadi bila bayi sudah mati 8-10 hari dalam
kandungan
A. Definisi Tenggelam
Tenggelam (drowning) adalah kematian yang disebabkan oleh aspirasi
cairan ke dalam pernapasan akibat terbenamnya seluruh atau sebagian tubuh ke
dalam cairan, sedangkan hampir tenggelam (near drowning) adalah keadaan
gangguan fisiologi tubuh akibat tenggelam, tetapi tidak terjadi kematian
(Onyekwelu, 2008). Mekanisme lain menyebutkan karena ketidakseimbangan
elektrolit serum yang mempengaruhi fungsi jantung (refleks kardiak) dan bisa
juga disebabkan karena laringospasme sebagai akibat refleks vagal (Idries AM,
1997).
Pada peristiwa tenggelam (drowning), seluruh tubuh tidak harus
tenggelam di dalam air. Asalkan lubang hidung dan mulut berada di bawah
permukaan air maka hal itu sudah cukup memenuhi kriteria sebagai peristiwa
tenggelam. Jumlah air yang dapat mematikan jika dihirup oleh paru adalah
sebanyak 2 L untuk orang dewasa dan 30-40 mL untuk bayi (Dahlan S, 2000).
B. Mekanisme Tenggelam
Mekanisme kematian pada korban tenggelam dapat berupa asfiksia
akibat spasme laring, asfiksia karena garggling dan choking, refleks vagal,
fibrilasi ventrikel (air tawar) dan edema pulmoner (dalam air asin) (Shepherd R,
2003)
1. Refleks vagal
Kematian terjadi sangat cepat dan pada pemeriksaan post mortem tidak
ditemukan adanya tanda-tanda asfiksia ataupun air di dalam parunya
sehingga sering disebut tenggelam kering (dry drowning) (Shepherd R,
2003).
2. Spasme laring
Spasme laring disebabkan karena rangsangan air, terutama air dingin,
yang masuk ke laring. Pada pemeriksaan post mortem ditemukan adanya
tanda-tanda asfiksia, tetapi parunya tidak didapati adanya air atau benda
air (Dahlan S, 2000).
3. Pengaruh air yang masuk paru
Hipoksia dan asidosis serta efek multiorgan dari proses ini yang
menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada tenggelam. Kerusakan
sistem saraf pusat dapat terjadi karena hipoksemia yang terjadi karena
tenggelam (kerusakan primer) atau dari aritmia, gangguan paru atau
disfungsi multiorgan (Cantwell PG et al, 2013).
C. Klasifikasi Tenggelam
1. Berdasarkan Morfologi Penampakan Paru
Berdasarkan morfologi penampakan paru pada otopsi, tenggelam
dibedakan atas tenggelam kering (dry drowning), tenggelam tipe basah (wet
drowning) (Dahlan S, 2000)
1. Tipe kering (dry drowning)
Tenggelam tipe kering paling banyak terjadi pada anak-anak dan dewasa
yang banyak di bawah pengaruh obat-obatan (hipnotik sedatif) atau alkohol,
dimana mereka tidak memperlihatkan kepanikan atau usaha penyelamatan diri
saat tenggelam. Selain itu, air tidak teraspirasi masuk ke traktus respiratorius
bawah atau ke lambung. Kematian terjadi secara cepat, merupakan akibat dari
refleks vagal yang dapat menyebabkan henti jantungatau akibat darispasme
laring karena masuknya air secara tiba-tiba ke dalam hidung dan traktus
respiratorius bagian atas.
Beberapa faktor predisposisi kematian akibat dry drowning seperti
intoksikasi alkohol (mendepresi aktivitas kortikal), adanya penyakit yang
sebelumnya (seperti aterosklerosis), kejadian tenggelam/ terbenam secara tak
terduga/ mendadak, ketakutan atau aktivitas fisik berlebih (peningkatan sirkulasi
katekolamin, disertai kekurangan oksigen, dapat menyebabka cardiac arrest)
(Dahlan S, 2000).
2. Tipe basah (wet drowning)
Pada tenggelam tipe basah (wet drowning) terjadi aspirasi cairan.
Aspirasi 1-3 ml/kgBB air akan signifikan dengan berkurangnya pertukaran udara.
Aspirasi air sampai paru menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah paru. Air
tawar bergerak dengan cepat ke membran kapiler alveoli. Surfaktan menjadi
rusak sehingga menyebabkan ninstabilitas alveoli, atelektasis, dan menurunnya
kemampuan paru untuk mengembang (Dahlan S, 2000).
Pada wet drowning, yang mana terjadia inhalasi cairan, korban menahan
nafas karena peningkatan CO2 dan penurunan kadar O2 terjadi megap-megap.
Dapat terjadi regurgitasi dan aspirasi isi lambung kemudian adanya
laringospasme yang diikuti dengan pemasukan air. Setelah itu, korban
kehilangan kesadaran dan terjadi apneu. Penderita kemudian megap-megap
kembali, bisa sampai beberapa menit diikuti kejang-kejang. Penderita akhirnya
mengalami henti nafas dan jantung (Dahlan S, 2000).
G. Pemeriksaan Dalam
Pada pemeriksaan bedah jenazah dapat ditemukan busa halus dan
benda asing, seperti pasir atau tumbuhan air, dalam saluran pernapasan (Ilmu
Kedokteran Forensik, 1997).
Pada korban tenggelam di air tawar biasanya ditemukan dalam keadaan
besar atau menggelembung tetapi ringan, dan pinggir depan biasanya overlap di
depan hati. Namun, dapat ditemukan paru-paru yang biasa karena cairan tidak
masuk ke dalam alveoli atau cairan sudah masuk ke aliran darah (melalui proses
imbibisi). Paru berwarna merah jambu pucat dan dapat mengalami emfisema.
Ketika paru tersebut dipindahkan dari dada, paru tetap mempertahankan bentuk
normalnya dan cenderung tidak kolaps. Ketika memotong paru yang mengalami
emfisema kering akan terdengar bunyi krepitasi yang mudah dinilai. Setelah
dipotong, masing-masing bagian paru mempertahankan bentuk normalnya
seperti sebelum dipotong dan cenderung berdiri tegak. Ketika jaringan dipotong
dan ditekan antara ibu jari dan keempat jari lainnya terdapat sedikit buih dan
tidak ada cairan dan gas, kecuali jika terdapat edema. Dengan demikian, paru
tetap kering pada kasus tenggelam di air tawar(Ilmu Kedokteran Forensik, 1997).
Pada kasus tenggelam di air laut, paru-paru dapat ditemukan membesar
seperti balon, lebih berat, sampai menutupi jantung (Ilmu Kedokteran Forensik,
1997). Pada pengirisan terdapat banyak cairan, beratnya kadang melebihi 2.000
gram. Karena paru sangat edema maka tepi depan paru overlap di depan
mediastinum sehingga berbentuk seperti cetakan iga. Paru berwarna keunguan
atau kebiruan dengan permukaan mengkilap. Paru lembab dan konsistensinya
seperti agar-agar dan hilang dengan penekanan. Ketika paru dipindahkan dari
tubuh dan ditempatkan pada meja pemotongan, paru tidak mempertahankan
bentuk normalnya tapi cenderung datar. Ketika dipotong, tidak ada suara
krepitasi yang terdengar dan bahkan tanpa penekanan jaringan mengeluarkan
banyak cairan. Jaringan paru ditekan maka akan ditemukan paru dipenuhi
cairan. Dengan demikian kasus tenggelam di air laut paru mengalami lembab
dan basah (Sauko et al, 2004).
Petekie yang sangat sedikit dapat ditemukan karena kapiler terjepit di
antara septum inter alveolar. Dapat ditemukan bercak-bercak perdarahan yang
disebut bercak Paltauf akibat robeknya penyekat alveoli (Polsin). Petekie
subpleura dan bula emfisema jarang ditemukan dan bukan merupakan tanda
khas tenggelam, tetapi sebagai usaha respirasi (Ilmu Kedokteran Forensik,
1997).
Sedangkan untuk mengetahui benda-benda air yang masuk ke saluran
pernafasan dapat dibuktikan dengan membuka saliran pernafasan dari trakea,
bronkus sampai percabangan bronkus di hilus. Jika dari pemeriksaan ditemukan
benda-benda air seperti pasir, kerikil, lumpur, tumbuhan air dan lain-lain maka
dapat dipastikan bahwa korban masih hidup sebelum tenggelam (Ilmu
Kedokteran Forensik, 1997).
Organ lain seperti otak, ginjal, hati, dan limpa dapat mengalami pembendungan.
Lambung dan usus halus dapat sangat membesar, berisi air dan lumpur(Ilmu
Kedokteran Forensik, 1997).
H. Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan diatom
Diatom merupakan alga (ganggang) bersel satu dengan dinding sel yang terbuat
dari silikat yang tahan panas dan asam kuat. Diatom dapat ditemukan dalam air
tawar, air laut, air sungai, air sumur, dan udara. Diatom dan elemen plankton lain
masuk ke dalam saluran pernapasan atau pencernaan ketika seseorang
tenggelam menelan air. Kemudian diatom akan masuk ke dalam aliran darah
melalui kerusakan dinding kapiler pada waktu korban masih hidup dan tersebar
ke seluruh jaringan. Di sisi lain, jika sebuah mayat ditenggelamkan dalam air
meskipun diatom dapat masuk ke dalam paru-paru secara pasif, tidak ada aliran
sirkulasi darah yang mungkin terjadi, sehingga (secara teori) tidak mungkin ada
diatom yang dapat ditemukan pada organ-organ dalam yang lebih jauh (Ilmu
Kedokteran Forensik, 1997).
Pemeriksaan diatom dilakukan pada jaringan paru mayat segar. Bila mayat telah
membusuk, pemeriksaan diatom dilakukan dari jaringan ginjal, otot skelet atau
sumsum tulang paha. Pemeriksaan diatom pada hati dan limpa kurang bermakna
sebab berasal dari penyerapan abnormal dari saluran pencernaan terhadap air
minum atau makanan(Ilmu Kedokteran Forensik, 1997).
Pemeriksaan diatom dengan metode destruksi (digesti asam) pada paru
dilakukan dengan mengambil dari jaringan perifer paru sebanyak 100 gram,
masukkan ke dalam labu Kjeldahl dan tambahkan asam sulfat pekat sampai
jaringan paru terendam, diamkan lebih kurang setengah hari agar jaringan
hancur. Kemudian dipanaskan dalam lemari asam sambil diteteskan asam nitrat
pekat sampai terbentuk cairan jernih, dinginkan dan cairan dipusing dalam
centrifuge (Ilmu Kedokteran Forensik, 1997).
Sedimen yang terbentuk ditambahkan dengan akuades, pusingkan
kembali dan akhirnya dilihat dengan mikroskop. Pemeriksaan diatom positif bila
pada jaringan paru ditemukan diatom cukup banyak, 4-5/LPB atau per 10-20 per
satu sediaan atau pada sumsum tulang cukup ditemukan hanya satu (Ilmu
Kedokteran Forensik, 1997).
Selain itu, dapat dilakukan pemeriksaan getah paru dengan cara
permukaan paru disiram dengan air bersih, lalu iris bagian perifer, ambil sedikit
cairan perasan dari jaringan perifer paru, taruh pada gelas obyek, tutup dengan
kaca penutup dan lihat dengan mikroskop. Selain diatom dapat pula terlihat
ganggang atau tumbuhan jenis lainnya(Ilmu Kedokteran Forensik, 1997).
Gambar 1. Prinsip Tes Diatom (Saukoet al, 2004)
Menurut Simpson, bahwa tes diatom terkadang negatif, bahkan pada
kasus-kasus yang jelas-jelas tenggelam pada air yang banyak diatom dan telah
banyak hasil positif palsu yang dikatakan terjadi karena alasan teknis dari karena
itu tes ini jadi sangat tidak realibel sehingga teknik ini seharusnya dilakukan dan
hasilnya diinterpretasikan dengan pertimbangan keadaan lain (Shepherd, 2003)
2. Pemeriksaan Elektrolit
Pada tahun 1921 Gettler mengemukakan bahwa penentuan ada
tidaknya klorida pada darah yang berasal dari ruang-ruang jantung adalah salah
satu tes yang baik yang dapat digunakan dalam mendiagnosis kasus tenggelam.
Banyak dari peneliti telah mengemukakan pandangan-pandangan yang berbeda
tentang validitas studi klorida dalam mendiagnosis kasus tenggelam. Pada tahun
1944 Moritz dan mengungkapkan pandangan bahwa perbedaan kadar klorida
pada sampel darah yang berasal dari ventrikel jantung kanan dan kiri dapat
bernilai diagnostik hanya jika analisa yang dilakukan adalah segera setelah
terjadinya kematian. Dia menetapkan bahwa perbedaan kadar klorida sekitar 17
mEq/L atau lebih pada kasus tenggelam di air tawar dapat ditetapkan sebagai
pendukung penegakan diagnosis tenggelam (Saukoet al, 2004)
Menurut Gettler, pada kasus tenggelam di air tawar, kadar serum
klorida di darah yang berasal dari jantung kiri lebih rendah dari jantung sebelah
kanan. Sedangkan pada tenggelam di air asin terjadi sebaliknya (Abrahamet al,
2009)
Selain itu, tes lain, tes Durlacher juga dapat digunakan untuk
menentukan diagnosis selain tes Gettler. Tes Durlacher digunakan untuk
menentukan perbedaan dari berat jenis plasma dari jantung kanan dan kiri. Bila
pada pemeriksaan ditemukan berat jenis jantung kiri lebih tinggi dibandingkan
dengan jantung kanan, maka dapat diasumsikan bahwa korban meninggal akibat
tenggelam (Abraham et al, 2009). Perbedaan kadar elektrolit lebih dari 10% dapat
menyokong diagnosis, walaupun secara tersendiri kurang bermakna (Shepherd,
2003)
Ketika air tawar memasuki paru-paru, natrium plasma turun dan kalium plasma
meningkat, sedangkan pada inhalasi air asin, natrium plasma meningkat cukup
tinggi dan kalium hanya meningkat ringan. Pada tenggelam pada air tawar,
konsentrasi natrium serum dalam darah dari ventrikel kiri lebih rendah
dibandingkan ventrikel kanan. Namun, angka ini dapat bervariasi, ini disebabkan
ketika post mortem dimulai maka difusi cairan dapat mengubah tingkat natrium
dan kalium yang sebenarnya. Oleh karena itu Simpson berpendapat bahwa
analisis dari kadar Na, Cl dan Mg telah dipergunakan, tetapi hasilnya terlalu
beragam untuk digunakan didalam praktek sehari-hari (Shepherd, 2003).